Anda di halaman 1dari 22

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi
A. Unit Sekretori
Kelenjar lakrimal yang utama adalah kelenjar eksokrin yang berada di
bagian superolateral orbital fossa kelenjar lakrimal. Pada proses
perkembangan embriologinya bagian ini terbagi menjadi dua yaitu lobus
orbital dan lobus palpebra. Kelenjar lakrimal tersusun atas lobus orbital
(yang lebih besar) dan lobus palpebral (yang lebih kecil). Kelenjar ini
terletak pada fossa os frontalis di superotemporal orbita. Ligamen superior
transversal (ligamen Whitnall) melewati kedua bagian ini. Duktus kedua
lobus ini akan melewati lobus palpebra.1,2

Gambar 2.1. Anatomi Sistem Drainase Lakrimal


Dikutip dari: Bowling, Brad. Lacrimal drainage system. In. Kanski’s Clinical
Ophthalmology 8th ed. Elsevier. 2016

Kelenjar eksokrin aksesori Krause dan Wolfring terdapat pada bagian


dalam forniks superior tepatnya diatas tarsus. Sekresi cairan lakrimal terbagi
menjadi sekresi basal tingkat rendah dan sekresi refleks.3

2
Lapisan film air mata tersusun atas:4
a. Sel goblet yang melapisi bagian dalam lapisan air mata dan akan
mensekresi musin
b. Kelenjar lakrimal utama dan aksesori yang akan mensekresikan lapisan
intermediet.
c. Kelenjar meibomian yang akan memproduksi lapisan luar yang
mengandung minyak untuk mengurangi tingkat penguapan lapisan air
mata.
Kelenjar lakrimal diperdarahi oleh arteri lakrimal, salah satu cabang
arteri oftalmikus, begitupun aliran venanya dibawa oleh vena lakrimal dan
akan dialirkan ke vena oftalmikus. Pembuluh limfenya mengikuti aliran
limfatik subkonjungtiva. 1,3
Adanya iritasi pada permukaan mata akan mengaktifasi produkasi
kelenjar lakrimal. Cabang oftaklmikus nervus trigiminal berperan sebagai
jalur aferen (sensorik). Jalur eferennya lebih rumit lagi. Serabut
parasimpatis yang berasal dari superior nukleus salivasi di pons, keluar
melalui nervus fasialis (N. VII). Serabut lakrimal tampak sebagai nervus
petrosal dan melewati ganglion sfenopalatina. Lalu memasuki kelenjar
lakrimal melalui cabang superior nervus zigomatikus dan akan
beranastomosis dengan nervus zigomatikustemporal dan nervus lakrimal,
namun hal ini masih diperdebatkan.1,3

B. Unit Eksretori
Jalur awal sistem drainase air mata adalah melalui punctum yang berada
di medial pinggir kelopak mata bagian atas dan bawah. Punctum bagian
bawah terletak sedikit lateral bila dibandingkan dnegan yang atas. Disekitar
punctum akan dilapisi oleh ampulla. Setiap punctum akan menuju masing-
masing kanalikulus. Kanalikus dilapisi oleh epitel non- keratinized dan
epitel skuamus yang tidak memproduksi musin. Pada 90% orang
kanalikulus akan bergabung menjadi satu saluran sebelum memasuki
dinding sakus lakrimal.1,3,5

3
Sistem drainase lakrimal tersusun atas beberapa bagian, sebagai berikut:3,5
- Punctum yang terletak pada posterior pinggir kelopak mata. Secara
normal akan tampak pada inspeksi kelopak mata yang dieversikan.
- Kanalikulus akan melewati pinggiran kelopak mata secara vertikal
sekitar 2 mm. Lalu akan mengarah ke medial dan berjarak 8 mm secara
horizontal untuk mencapai sakkus lakrimal. Kanalikulus superior dan
inferior akan menyatu dan 90% akan terbuka kearah dinding lateral
sakus lakrimal. Terdapat katup kecil (katup Rosenmuller) pada
perbatasan kanalikulus komunikata dan sakus lakrimal. Katup ini
berfungsi mencegah refluks air mata ke kanalikulus.
- Sakus lakrimal sepanjang 10-12 mm dan berada di fossa lakrimal
diantara krista lakrimal anterior dan posterior. Sakkus lakrimal terpisah
dari meatus media kavitas nasal karena dipisahkan oleh prosessus
frontalis maksila. Pada tindakan dakriostorinostomi dibuat sebuah
anastomosis antara sakkus dan mukosa hidung untuk melewati obstruksi
pada duktus nasolakrimal.
- Duktus nasolakrimal sepanjang 12-18 mm terletak pada bagian inferior
sakkus lakrimal. Duktus ini terletak pada lateral dan posterior meatus
nasal inferior. Pintu pembukaan duktus tertutupi oleh katup Hasner.

2.2. Fisiologi
Air mata disekresikan oleh kelenjar lakrimal utama dan aksesori serta akan
melewati permukaan mata. Sejumlah penyusun cairan akan menghilang akibat
penguapan.Aliran air mata akan tampak seperti pada gambar. Air mata akan
mengalir melalui batas atas dan bawah kelopak mata, menumpuk pada sakus
lakrimal dan menuju kanalikulus. Setiap kedipan mata mengakibatkan otot
orbikularis okuli akan menekan ampula, dan menekan kanalikuli untuk mencegah
refluks aliran. Secara simultan, kontraksi lakrimal orbikularis okuli akan membuat
sebuah tekanan positif yang membuat air mata mengalir ke duktus nasolakrimal dan
kehidung. Saat mata kembali terbuka, kanalikulus dan sakus kembali

4
mengembang dan menciptakan tekanan negatif yang menerik air mata dari
kanalikulus menuju sakus.1,3
Saat kelopak mata terbuka secara penuh, punctum akan terbuka dan tekanan
negatif akan menarik kembali air mata kekanalikulis. Kedipan mata yang melemah
dengan mekanisme lakrimasi yang normal menjadi alasan mengapa pada beberapa
pasien yang mengalami kelumpuhan nervus fasila mengalami epifora.3

Gambar 2.2. Fisiologi Pompa Lakrimal


Dikutip dari: American Academy of Ophthalmology. Development, Anatomy, and
Physiology of the Lacrimal Secretory and Drainage Systems. In Orbit,
Eyelids, and Lacrimal System. 2014-2015

2.3. Obstruksi Duktus Nasolakrimal


2.3.1. Definisi
Obstruksi duktus nasolakrimal adalah penyumbatan yang terjadi pada
sistem aliran lakrimal. Akibatnya keluhan yang sering dialami penderita adalah
epifora, yaitu aliran air mata yang berlebih pada bagian pinggiran kelopak mata,
epifora sendiri terjadi akibat adanya hipersekresi ataupun drainase yang tidak
efektif. Abnormalitas aliran air mata terbagi menjadi gangguan fungsional
(akibat fungsi pemompaan, kelainan letak punctum, orbikularis

5
melemah, atau kelumpuhan nervus VII) dan kelainan anatomi yang terjadi
kongenital ataupun didapat.6

2.3.2. Klasifikasi
Obstruksi duktus nasolakrimal diklasifikasikan sebagai berikut ini, yaitu :3,7,8,9
1. Obstruksi duktus nasolakrimal kongenital
Ini adalah penyebab epifora pada anak. Dapat disebabkan oleh
stenosis/atresia punctum dan kanalikula kongenital, malformasi nasal, dan
abnormalitas kraniofasial. Terlihat sejak lahir akibat perforasi katup Hasner
ataupun akibat kegagalan terbukanya duktus nasolakrimal.

Gambar 2.3. Obstruksi Dukstus Nasolakrimal Kongenital


A.Tampak peningkatan meniskus air mata pad amata kanan; B. Dakriosistokel kiri dengan nodul eritem
Dikutip dari: Angel, N.C., Adriana, V. Nasolacrimal Duct Obstruction. JOJ Ophthalmology 3(4): 2017

2. Obstruksi duktus nasolakrimal didapat


Klasifikasi obstruksi duktus nasolakrial didapat menurut Linberg dan
McCormick terbagi menjadi primer (diakibatkan oleh inflamasi atau fibrosis
tanpa penyebab yang diketahui, rasio kejadian 3:1 pada perempuan dewasa muda
dibandingkan dnegan yang berusia tua) dan sekunder (disebabkan oleh inflamasi
dan fibrosis dengan penyebab seperti infeksi, inflamasi, neoplasma, trauma, atau
faktor mekanik). Stadium penyakit obstruksi duktus lakrimal didapat ini terbagi
menjadi dua, yaitu dakriosistitis akut dan dakriosistitis kronik.

6
a. Dakriosistitis Akut
Ini adalah proses inflamasi akut pada skaus lakrimal yang kebnayakan
disebabkan oleh obstruksi duktus nasolakrimal. Pertumbuhan bakteri dan
proses inflamasi akan menyebabkan abses dan menimbulkan nyeri dan
massa eritem dibawah tendon kantus medial dan membutuhkan drainase
perkutaneus manual.

Gambar 2.4. Dakrosistitis Akut


Tampak pembengkakakn pada akus lakrimal kanan dan infeksi menyebar ke kelopak inferior
Dikutip dari: Angel, N.C. Nasolacrimal Duct Obstruction. JOJ Ophthalmology 3(4): 2017

b. Dakriosistitis Kronik
Gejala berupa epifora berulang, bengkak, dan kemerahan disekitar kantus
medial, atau dapat muncul massa yang tidak nyeri di bawah tendon kantus
medial. Sakus lakrimal terisi discharge mukoid ataupun purulen.

Gambar 2.5. Dakrosistitis Kronik


Tampak discharge mukopurulent keluar melalui punctum lakrimal
Dikutip dari: Angel, N.C.. Nasolacrimal Duct Obstruction. JOJ Ophthalmology 3(4): 2017

Ada sebuah laporan kasus mengenai mieloid sarkoma, salah satu variasi
leukemia mieloblastik akut yang sering diderita anak-anak, pada saat dewasa

7
ditemukan adanya massa pada kelopak mata dengan gejala berupa massa pada
kelopak mata sehingga mengakibatkan munculnya gejala tersumbatnya kelenjar
nasolakrimal. Banyak kasus seperti salah didiagnosa oleh seorang ahli
oftalmologis. Pada pemeriksaan CT scan didapatkan gambaran homogen dengan
massa yang melekat pada tulang dan struktur sekitarnya.13

2.3.3. Epidemiologi
Obstruksi duktus nasolakrimal kongenital diapatkan pada 2- 4% bayi baru
lahir. Penelitian terbaru menunjukkan insidensi obstruksi duktus nasolakrimal
pada anak penderita Down syndrome sebanyak 22% hingga 36%. Diketahui pula
selain Down syndrome, anak dengan kraniosinostosis, bibir sumbing,
mikrosomia hemifasial, dan anomali fasial lainnya mengalami peningkatan
resiko terjadinya obstruksi duktus nasolakrimal.7,9,10
Kejadian obstruksi duktus nasolakrimal yang didapat secara umum
insidensinya belum diketahui. Pada beberapa penelitian didapatkann insidensi
tinggi kejadian obstruksi duktus nasolakrimal yang didapat primer pada individu
berusia 50-70 tahun.8,9,10

2.3.4. Etiologi dan Faktor Resiko


Adapun etiologi terjadinya obstruksi duktus nasolakrimal kongenital
umumnya adalah obstruksi katup Hasner pada ujung distal duktus. Biasanya
disertai kelainan lain diakibatkan kelainan genetik, prematuritas, ataupun akibat
obat yang dikonsumsi ibu selama kehamilan. Didapatkan pula abnormalitas mata
pada 20% penderita, dan abnormalitas sitemik pada 25% penderita dengan
kelianan duktus nasolakrimal kongenital. Sedangkan stenosis duktus dapat
menjadi penyebab sekunder obstrusi duktus nasolakrimal. Disgenesis aliran
airmata bawaan/kongenital terjadi akibat kelainan letak punctum dan
kanalikulus. Mukokel sakus lakrimal kongenital atau dakriosistokel muncul
setelah terbentuk kista diujung distal duktus, dimana pada saat lahir sakus ini
terisi oleh cairan amnion jernih dan akan berubah

8
menjadi purulen seiring bertambahnya usia dan muncullah dakriosistitis
neonatus.6,7,11 Etiologi obstruksi duktus nasolakrimal didapat adalah setelah
terjadi trauma, konjungtivitis viral, dakriosistitis akut, dan penggunaan terapi
antivirus topikal.8,11

2.3.5. Patofisiologi
Obstruksi duktus nasolakrimal kongenital disebabkan oleh perforasi katup
Hasner ataupun kegagalan terbukanya duktus nasolakrimal. Kanalisasi sistem
duktus nasolakrimal telah terbentuk sempurna pada usia minggu ke 8 kehamilan.
Sehingga apabila terjadi gangguan proses perkembangan pada masa ini dapat
menyebabkan terjadinya gangguan ini, Saat lahir, sebagian jalur nasolakrimal
belum sepenuhnya terbuka sempurna. Mekanisme apoptosis spontan dimulai sejak
usia 3-4 minggu setelah lahir. Walaupun demikian, 20% kasus obstruksi terjadi
pada masa ini.3,7,11,12
Obstruksi duktus nasolakrimal didapat terbagi menjadi dua, yaitu primer
dan sekunder. Obsttruksi duktus nasolakrimal didapat primer baanyak didapati pada
wanita dewasa muda dan tua. Groessl et al mendemonstrasikan melalui CT scan
bahwa perempuan memilki ukuran lebih kecil pada fossa nasolakrimal dan duktus
nasolakrimal media. Adanya perbedaan ukuran ini menjelaskan mengapa insidensi
penyakit ini tinggi pada golongan ini. 8,11
Beberapa peneliti juga menduga keterkaitan antara menstruasi dan fluktuasi
hormon dan juga status imun yang berkontribusi dalam proses terjadinya penyakit
ini. Hal ini dikarenakan pada wanita dewasa muda dan lansia perubahan hormon
mengubah proses epitelisasi ditubuh yang juga terjadi pada sakus lakrimal dan
duktus. Sebelumnya telah ada fossa lakrimal yang sempit, lalu diperparah adanya
obstruksi akibat debris yang menumpuk. Sedangkan pada obstruksi duktus
nasolakrimal didapat sekunder dikategorikan berdasarkan penyebabnya yaitu akibat
infeksi, inflamasi, neoplasma, trauma, dan mekanik.8,11,12

9
Penyebab infeksi dapat disebebkan oleh bakteri, virus, jamur, dan parasit.
Virus sebagai penyebab infeksi pada penyakit ini dapat terlihat pada infeksi herpes
diman aterjadi obstruksi akibat kerusakan substansia propia jaringan elastis
kanalikular. Jamur dapat mengobstruksi dengan membentuk batu (dakrolit).
Obstruksi akibat parasit dilaporkan pada penderita Ascaris lumbricoides yang
memasuki sitem lakrimal melalui katup Hasner.8,11,12
Proses inflamasi dapat terjadi akibat endogen ataupun eksogen. Wegener
granulomatosis dan sarcoidosis adalah contoh penyakit yang dapat menyebabkan
obstruksi akibat inflamais progresif pada mukosa hidung dan sakus lakrimal.
Penyebab endogen dapat berasal dari sikatrical pemphigoid, Kawasaki disease, dan
skleroderma. Penyebab eksogen dapat berasal dari obat tetes mata, radiasi,
kemoterapi sitemik, dan transplantasi sumsum tulang belakang.8,11,12

2.3.6. Penegakan Diagnosa


A. Anamnesa
Keterangan yang biasa diperoleh dari penderita adalah keluhan rasa
tidaknyaman padamata dan kemerahan disertai adanya hipersekresi/air mata
berlebih. Kegagalan drainase diakibatkan oleh paparan terhadap cuaca
dingin ataupun berangin dan bahkan akibat ruangan hangat dan kering.
Adanya keluhan berupa aliran air mata yang mengalir kepipi lebih
mengindikasikan adanya kegagalan drainase daripada hipersekresi.3,11
Pada obstruksi duktus nasolakrimal kongenital maka dapat ditanyakan
riwayat kehamilan dan kelahiran, riwayat keluhan yang sama, glaukoma
kongenital ataupun kelainan kongenital lain yang mungkin diderita anggota
keluarga yang lain, dan dilakukan penilaian pula secara pediatrik.3,7,11

B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup:3,7,8,10,12

10
- Pada inspeksi akan tampak aliran air mata berlebih, disertai masa lunak
pada sakus lakrimal dan kantus media, terkadang tampak pula discharge
mukoid atau purulen.
- Punctum dan kelopak mata harus diperiksa menggunakan slit lamp.
Pemeriksaan ini penting dilakukan untuk mengetahui apaka ada masalah
pada aliran melalui tindakan dilatasi punctum. Pada slit lamp akan
tampak jarak meniskus yang melebar (normalnya 2 mm), punctal
stenosis, kanalikulitis, atau tampak bahan purulen saat punctum dibuka.
- Sakus lakrimal harus dipalpasi. Apabila terdapat punctal refleks berupa
material purulen pada saat penekanan maka hal ini mengindikasi adanya
mukokel (dilatasi sakus berisi mukus). Tindakan palpasi pada akut
dakriosistitis akan menimbulkan nyeri sehingga harus dihindari. Dapat
pula ditemukan batu ataupun tumor melalui palpasi.

11
Gambar 2.6. Gambaran Klinis
A. Punctal stenosis; B. Punctal ektropion dan stenosis; C. Konjungtivokalasis, D. Obstruksi
punctum akibat bulu mata; E. Karunkel; F. Pouting punctum
Dikutip dari: Bowling, Brad. Lacrimal drainage system. In.
Kanski’s Clinical Ophthalmology 8th ed. Elsevier. 2016

C. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Pewarnaan Flouresens
Marginal tear strip pada kedua ujung pinggiran kelopak mata harus
diperiksa mengunakan slit lamp. Banyak penderita dengan keluhan air
mata berlebih tidak merasakan kelebihan aliran ini, namun saat
dilakukan pemeriksaan didapatkan gambaran meniskus yang lebar
(marginal tear strip) yaitu 0,6 mm ataupun lebih (dengan nilai normal
0,2-0,4mm). Uji flouresens ini menggunakan flouresens 1-2% yang
diteteskan pada kedua forniks konjungtiva, dimana pada keadaan
normal dalam 5-10 menit tidak akan tampak lagi zat warna. Retensi
berkepanjangan menunjukkan adanya drainase lakrimal yang tidak

12
adekuat. Pemeriksaan ini tidaklah sama dengan pemeriksaan
flouresens yang dilakukan pada mata kering.3,4,10

Gambar 2.7. Marginal Tear Strip Pada Uji Flouresens


Dikutip dari: Bowling, Brad. Lacrimal drainage system. In. Kanski’s Clinical
Ophthalmology 8th ed. Elsevier. 2016

b. Irigasi lakrimal
Uji ini dilakukan setelah patensi punctum terbukti tidak terganggu. Uji
ini dikontraindikasikan pada infeksi akut. Sebelum tindakan dilakukan,
anestesi lokal disuntikkan pad asakus konjungtiva. Lalu dengan dilator
punctum dilakukan tindakan pendilatasian orifisium punctum. Kanul
lakrimal berukuran 26/27 gauge yang berisi 3 ml larutan salin dimasukkan
ke punctum bawah. Jika larutan salin melewati hidung dan tenggorokan
maka akan terasa oleh pasien. Apabila larutan salin tidak mencapai
kerongkongan maka hal ini menjadi indikasi adanya obstruksi total diduktus
lakrimal dan akan terlihat pula adanya refluks melalui punctum atas dan
bawah. 3,4,10

13
Gambar 2.8. Irigasi Lakrimal
A. Dilatasi punctum inferior; B dan C. Teknik Dilatasi; D. Gambaran Teknik Irigasi
Dikutip dari: Bowling, Brad. Lacrimal drainage system. In.
Kanski’s Clinical Ophthalmology 8th ed. Elsevier. 2016

c. Uji Pewarnaan Jones


Uji pewarnaan diindikasikan hanya pada pasien yang diduga megalami
obstruksi sebagian, yaitu adanya keluhan epifora namun tidak ada gangguan
pada punctum dan pasien dapat merasakan larutan salin dikerongkongannya
saat dilakukan irigasi.3,4,10
- Uji primer
Uji ini untuk membedakan apakah obstruksi terjadi pada jalur lakrimal
atau pada pompanya. Flouresens 2% diteteskan pada sakus konjungtiva
hanya pada satu mata saja. Setelah 5 menit, kapas yang telah dioleskan
anestesi lokal dimasukkan pada jalur orifisium duktus nasolakrimal.
Hasil uji positif bila terdapat flouresens pada hidung yang
mengidikasikan bahwa sistem drainase baik. Hasil uji negatif bila tidak
ada warna flouresens yang melekat, hal ini mengindikaiskan adanya
obstruksi parsial (lokasi belum diketahui) ataupun adanya kegagalan
mekanisme pompa lakrimal. Pada keadaan inilah uji pewarnaan
sekunder perlu dilakukan.

14
- Uji Sekunder
Ini dilakukan untuk mengidentifikasi apakah terjadi kegagalan pompa
lakrimal ataupun lokasi obstruksi yang terjadi. Anestesi topikal
dimasukkan lalu residu flourens sebelumnya dibersihkan. Lalu sistem
drainase dilakukan tindakan irigasi ulang. Hasil uji positif bila
didapatkan salin disertai floresens pada hidung yang menunjukkan
bahwa floresens memasuki sakus lakrimal dan mungkin terjadi obstruksi
parsial pada duktus nasolakrimal distal. Hasil uji negatif bila saline
ditemukan tanpa adanya zat pewarna yang menunjukkan bahwa flourens
tidak memasuki sakus lakrimal. Hal ini menunjukkan bahwa lakrimal
atas (punctum ataupun kanalikular) mengalami disfungsi sehingga
tampak sebagai oklusi fisik partial dan/atau kegagalan pompa.
Gambar 2.9. Uji Pewarnaan Jones
A. Gambaran Uji Pewarnaan Jones Primer; B.Uji Pewarnaan Jones Sekunder

Dikutip dari: Bowling, Brad. Chapter 2: Lacrimal drainage system. In.


Kanski’s Clinical Ophthalmology 8th ed. Elsevier. 2016

d. Dakriositografi dengan Kontras


Dakriositografi adalah tindakan pemberian kontras radioopak melalui
injeksi (ethiozed oil) ke kanalikuli lalu dilakukan pengambilan gambar.
Tindakan ini diindikasikan untuk mengkonfirmasi ketepatan lokasi

15
obstruksi drainase lakrimal untuk dilakukan pembedahan. Tindakan ini
tidak dapat dilakukan apabila terdapat infeksi akut. Gambaran
dakriosistogram normal dapat terlihat pada keluhan epifora dengan
kegagalan pompa lakrimal. 3,4,10

Gambar 2.10. Dakriosistografi


A. Dakriosistografi konvensional menunjukkan gambaran normal; B. Tampak obstruksi pada sakus dan
nuktus nasolakrimal kanan; C. Gambaran dakriosistogram substraksi pada objek B
Dikutip dari: Bowling, Brad. Chapter 2: Lacrimal drainage system. In. Kanski’s Clinical
Ophthalmology 8th ed. Elsevier. 2016

e. Nuclear Lacrimal Scintigraphy

Gambar 2.11. Scintigraphy Obstruksi Duktus Nasolakrimal Kiri


Dikutip dari: Bowling, Brad. Chapter 2: Lacrimal drainage system. In. Kanski’s Clinical
Ophthalmology 8th ed. Elsevier. 2016

Scintigraphy menggunakan prinsip fisiologi aliran air mata, hal ini


dilakukan melalui pemberian bahan radioaktif pada air mata sehingga dapat
dideteksi keberadaannya. Walaupun gambaran anatomi tidak sebaik
dakriosistogram, pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk mengidentifikasi

16
lokasi onstruksi parsial ataupun fungsional (seperti mengetahui penyebab
tidak adanya aliran air mata yang melalui kanalikuli, melokalisir lokasi
obstruksi pada kelopak mata), mengkonfirmasi obstruksi fungsional, dan
dapat pula digunakan untuk mengkonfirmasi aliran normal yang tidak
diindikasikan dilakukan pembedahan. 3,4,10

f. CT dan MRI
Computed Tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
dipilih sebagia pemeriksaan tambahan pada obstruksi lakrimal, terutama
bila diduga adanya kelainan pada sinus paranasal ataupun sakus lakrimal. 3

g. Pemeriksaan Kavitas Nasal


Pemeriksaan yang dimaksud adalah menggunakan endoskopi sehingga
dapat dideteksi apakah ada obstruksi akibat polip ataupun deviasi septum.3,4

2.3.7. Tatalaksana
a. Tatalaksana Obstruksi Duktus Nasolakrimalis
Beberapa ahli berpendapat bahwa stenosis parsial duktus nasolakrimal
dengan gejala epifora terkadang memberikan respon dengan intervensi
intubasi pada sistem drainase lakrimal. Prosedur ini sebaiknya dilakukan
jika tube dapat masuk dengan mudah. Pada obstruksi komplit, intubasi saja
tidak efektif, dakriosistorinostomi (DSR) sebaiknya menjadi pilihan.
Banyak ahli bedah merasa stening tidak menjadi pilihan pada obstruksi DNL
didapat, dan mereka biasanya langsung melakukan DSR.3,4,6,11
Dakriosistorinostomi (DSR) menjadi pilihan pada kasus obstruksi DNL
didapat. Indikasi DSR meliputi dakrosistitis rekuren, refluks mukoid kronis,
distensi sakus lakrimal yang nyerri, dan epiforia yang mengganggu. Pasien
dengan dakriosistitis, infeksi aktif harus diobati terlebih dahulu jika
memungkinkan sebelum DSR. 3,4,6,11

17
Meskipun terdapat beberapa variasi minor pada teknik operasi, DSR
meliputi pembuatan anastomosis antara sakus lakrimal dan rongga hidung
melalui ostium. Perbedaan substansial antara beberapa teknik terletak
apakah menggunakan pendekatan internal (intranasal) atau yang lebih
tradisional, ekternal (transkutan). 3,4,6,11
Keuntungan DSR internal meliputi tidak ada skar, waktu pulih yang
singkat, dan lebih nyaman. Selanjutnya, DSR internal pengerjaannya lebih
singkat. Meskipun demikian, angka kesuksesan DSR ekternal lebih tinggi
daripada DSR internal. Banyak laporan DSR ekternal 90% atau lebih
sedangkan DSR internal sekitar 70%. Pasien yang gagal DSR internal juga
menurunkan kesuksesan DSR ekternal pada pembedahan selanjutnya. DSR
eksternal juga lebih superior dalam terapi neoplasma atau komplikasi
intraoperatif. Jadi DSR ekternal masih menjadi prosedur pilihan pada ahli
bedah lakrimal optalmologis. DSR biasanya dikerjakan dengan
menggunaankan anestesi umum, tetapi pada kebanyakan orang dewasa,
infiltasi anestesi lokal dengan kombinasi tampon nasal anestetik dan
vasokontriksi dapat digunakan. 3,4,6,11

b. Terapi obstruksi duktus nasolakrimal kongenital


Terdapat beberapa pilihan terapi, dapat berupa konservatif (non- bedah)
dan pembedahan. Pilihan konservatif meliputi observasi, massase sakus
lakrimal, dan antibiotik topikal. Penggunaan jangka panjang antibiotik
topikal digunakan untuk menekan sekret mukoid kronis yang disertai
perlengketan bulu mata.3,7
Kebanyakan kasus obstruksi duktus nasolakrimal kongenital (80%)
akan sembuh sendiri tanpa intervensi apapun hingga berusia 10-12 bulan.
Adanya gejala yang persisten, pemasangan intubasi stent silkon
menunjukkan tingkat perbaikan yang tinggi hingga 90%. 14
Ketika pilihan terapi gagal, intervensi invasif lebih lanjut dilakukan.
Intervensi yang sering dilakukan yaitu probing duktus nasolakrimalis untuk
membuka membran yang diduga menyebabkan obstruksi duktus

18
nasolakrimalis pada ujung dekat hidung. Pada kasus yang berkaitan dengan
obstruksi jalan nafas atau dakriosistitis, penanganan yang cepat dibutuhkan.
Meskipun demikian, pada kasus ringan, terdapat perbedaan berapa lama
dokter harus dilakukan terapi konservatif sebelum probing.3,7,9
Pada banyak kasus obstruksi duktus nasolakrimalis kongenital,
termasuk infan dengan gejala simptomatik pada usia 6 bulan kemudian
menghilang pada usia 1 tahun. Beberapa laporan menunjukan penundaan
probing hingga usia 13 bulan menunjukan penurunan angka kesuksesan.
Kebanyakan, rendahnya angka kesuksesan probing setelah usia 1 tahun
dikarenakan akibat kesalahan seleksi/ bias seleksi. Jika probing ditunda
hingga usia setelah 1 tahun, beberapa pasien akan menunjukan perbaikan
spontan. Jika probing dilakukan pada pasien tersebut sebelum usia 1 tahun,
kasus tersebut menunjukan kesuksesan terapi probing. saat ini para ahli
bedah mengobservasi pasien dengan penyakit ini dengan harapan resolusi
spontan sampai pasien usia 1 tahun.3,7,9,12
Meskipun dalam melakukan probing pasien dalam keadaan sedasi jika
gejala menetap sampai usia 1 tahun, beberapa ahli melakukan lebih cepat,
pada usia 6 bulan. Pada anak yang lebih muda, probing di poliklinik lebih
mudah dilakukan dan dapat menggunakan topikal anestesi, sedangkan anak
usia 1 tahun atau lebih biasanya membutuhkan anestesi umum. Probing
dengan anestesi topikal lebih murah dan relatif aman pada klinisi yang
terlatih. Probing lebih awal di poli mencegah potensi sektert mukopurulen
dan penggunaan ruang operasi. Beberapa keuntungan lainnya probing lebih
awal menunjukan ttingkat nyeri yang diakibatkan prosedur ini sama dengan
suntik imunisasi. 3,7,9,12
Pemasangan sten Masterika menunjukkan tingkat perbaikan yang tinggi
dan dapat meningktkan angka perbaikan obstruksi duktus nasolakrimal
kongenital dengan kelainan akibat stenosis duktus, kelainan kraniofasial,
dan berbagai variasi lainnya. Pada beberapa obstruksi duktus nasolakrimal
kongenital, dakriosistitis dapat terjadi akibat inflamasi akut

19
sakus lakrimal dengan selulitis pada kulit di atasnya. Terapi yang dapat
diberikan berupa antibiotik sistemik segera. 9,12,14

c. Tatalaksana Obstruksi Kanalikular


Beberapa jenis obatan biasanya dapat menyebabkan obstruksi
kanalikular. Obat-obatan yang menyebabkan gangguan ini seperti agen
kemoterapi sistemik (5-flurourasil, dositaksel, idosuridin). Obat tersebut
disekresikan oleh air mata yang menyebabkan inflamasi dan skar kanalikuli.
Penggunaan drop topikal steroid dan air mata artifisial selama kemoterapi
dapat mencegah skar tersebut. Jika kondisi ini dapat diidentifikasi lebih
awal, sebelum obstruksi komplit, penggunaan stent dapat digunakan untuk
meregangkan kanalikuli yang menyempit dan juga mencegah progresi
ketika pasien telah menyelesaikan kemoterapinya. Obstruksi kanalikuli
umumnya jarang dilaporkan pada penggunaan obat- obatan topikal (iodine
fosfat, eserin).3,6,11
Intubasi atau stening sistem drainase lakrimal sebaiknya dipilih sebagai
terapi lini pertama. Intubasi sistem drainase nasolakrimal biasanya dapat
suskes dilakukan ketika pasien memiliki gejala konstriksi tetapi tidak pada
gejala penyumbatan. 3,6,11
Rekonstruksi obstruksi kanalikuli kebanyakan suskses ketika yang
terlibat hanya beberapa milimeter. Jika area oklusi total terbatas pada
punktum, oklusi kanalikulus dapat direseksi dan ujung potongan kanalikulus
dianastomose dengan menggunakan stent. Ketika obstruksi fokal terletak
pada distal atau kanalukulus komunis, pemotongan segmen skar akan
memberikan lumen yang paten. Pemasangan stent dibutuhkan untuk
mencegah kontraktur dan memberikan perancah untuk epitelisasi.
Pemotongan pungtum aatau plak kanalikuli juga dilakukan pada skar yang
kecil pada kanalikuli diikuti dengan rekonstruksi menggunakan stent. 3,6,11
Jika terjadi obsttruksi total pada kanalikuli komunis,
kanalikulidakrosistorinostomi dapat dilakukan. Pada prosedur ini, area
obstruksi total kanalikuli komunis ini dibuang, dan sistem kanalikuli yang

20
masih paten secara langsung dianastomose ke mukosa sakrum lakrimal.
Penggunaan stent silikon untuk sistem kanalikuli merupakan bagian penting
dari tipe rekonstruksi ini. Karena angka kegagalan reseksi kanalikuli untuk
obstruksi total signifika, pengguanaan Jones tube dapat sebagai alternatif.
3,6,11

2.3.8. Prognosis
Resolusi obstruksi duktus nasolakrimal dengan prosedur operasi adalah
baik. Data menunjukkan bahwa tingkat kesuksesan penggunaan probing juga
sangat memuaskan. Anak yang mengalami keadaan yang dapat meningkatkan
resiko kekagagal pemasangan probing memilki prognosis yang lebih buruk namun
dapat ditangani dengan prosedur tambahan lainnya. 4,6,10
Telah dilaporkan sebuah kasus pada anak perempuan berusia 6 tahun
dengan riwayat obstruksi duktus nasolakrimal bilateral yang telah dilakukan
intervensi probing dan stenting silikon binokular dan telah dilepaskan 7 bulan yang
lalu, ia datang dengan keluhan air mata berdarah dan ostruksi berulang. Hal ini
terjadi akibat terbentuknya piogenik granuloma akibat reaksi pemasangan stent
terdahulu. Air mata berdarah, dikenal dengan hemolakria, adalah keadaan ringan,
unilateral, dan dapat sembuh sendiri. 15

21
DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Ophthalmology. Development, Anatomy, and
Physiology of the Lacrimal Secretory and Drainage Systems. In Orbit,
Eyelids, and Lacrimal System. 2014-2015. p. 243-246
2. Crick, Ronald and Khaw, Peng Tee. Basic Studies: Lacrimal Ducts. In A
Textbook of Clinical Ophthalmology 3rd Ed. Singapore: World Scientific
Publishing. 2003. p. 27-29
3. Bowling, Brad. Chapter 2: Lacrimal drainage system. In. Kanski’s Clinical
Ophthalmology 8th ed. Elsevier. 2016. p.63-75
4. American Academy of Ophthalmology. Anatomy Lacrimal Functional
Unit. In External Disease and Cornea. 2014-2015. p. 5-6
5. American Academy of Ophthalmology. Examination Technique for the
External Eye and Cornea. In External Disease and Cornea. 2014-2015. p.
11-19
6. American Academy of Ophthalmology. Nasolacrimal Duct Obstruction,
Congenital.
http://eyewiki.aao.org/Nasolacrimal_Duct_Obstruction,_Congenital
[Downloaded: 20th February 2018]
7. Bashour, Mounir. Congenital Anomalies of the Nasolacrimal Duct.
https://emedicine.medscape.com/article/1210252-overview [Downloaded:
20th February 2018]
8. Worak, S., Roy, H. Obstruction Nasolacrimal Duct.
https://emedicine.medscape.com/article/1210141-overview#a6
[Downloaded: 20th February 2018]
9. Angel, N.C., Adriana, V. Nasolacrimal Duct Obstruction. JOJ
Ophthalmology 3(4): 2017. p.1-4 [Downloaded: 21st February 2018]
10. Riordan Eva, P. dan Whitcher, J.P. Lids, Lacrimal Apparatus & Tears. In
Vaughen General Ophthalmology 17th Ed. London: Mc. Graws Hill. p.86-
88

22
11. Crick, Ronald and Khaw, Peng Tee. Watering Eyes. In A Textbook of
Clinical Ophthalmology 3rd Ed. Singapore: World Scientific Publishing.
2003. p. 209-215
12. American Academy of Ophthalmology. Abnormalities of the Lacrimal
Secretory and Drainage Systems. In Orbit, Eyelids, and Lacrimal System.
2014-2015. p. 249-273
13. Pruksakorn, V, Tirakunwichcha, S, Assanasen, T. Orbital myelosarcoma in
adult mimicking nasolacrimal duct obstruction: A case report. American
Journal of Ophthalmology Case Report (4):16. 2016. p 35-37
14. Khatib, L., Nazemzadech, M., Reverek, Katowitz. Use of the Masterka for
complex Nasolacrimal Duct Obstruction in Children. American Assistant
for Pediatric Ophthalmology and Strabismus. 2017. P 380-384
15. Kempi, P., Allen, R. Bloody Tears and Recurrent Nasolacrimal Duct
Obstruction due to Retained Silicone Stent. American Assistant for
Pediatric Ophthalmology and Strabismus (18). 2014. p 285-286

23

Anda mungkin juga menyukai