Anda di halaman 1dari 17

JOURNAL

READING
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RSU HAJI MEDAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI 2020

RETNA PURNAMA SARI

PEMBIMBING: dr. Martanta, Sp. B,


Latar Belakang

 Kolesterol merupakan penyusun dari banyak batu empedu yang dibentuk berdasarkan
proses super saturasi, akselerasi kristal nukleasi, dan disfungsi motilitas kantung
empedu
 Obesitas, usia lanjut, perempuan dengan kehamilan multiple memiliki resiko tinggi
menderita batu empedu
 Meskipun banyak kasus merupakan asimptomatik, tetapi beberapa kasus dapat terjadi
komplikasi serius seperti akut kolesistitis, pankreatitis hingga kanker kantung empedu
 Setelah dikenalnya laparoskopi, manajemen dan tatalaksana batu empedu terus
ditingkatkan
Metode Penelitian

• Sumber data dan syarat penelitian


Review jurnal ini menggunakan pencarian komperensif dari MEDLINE, PubMed, dan
EMBASE, sejak 2001 hingga februari 2017. Kata kunci yang digunakan yaitu kolelitiasis,
open cholecystomy, pembedahan laparoskopi, dan manajemen bau empedu.

• Ekstraksi data
Dua orang reviewer menganalisa data studi, abstrak, dan hasil perselisihan pendapat.
studi dievaluasi berdasarkan kualitas dan protokol review
Presentasi Klinis Penyakit Batu Empedu

 Gambaran klasik simptomatik batu empedu yaitu pasien mengeluhkan nyeri berulang
pada kuadran kanan atas abdomen (terkadang pada epigastrium) yang dipicu oleh
makanan berlemak serta lebih sering pada malam hari
 Nyeri dapat disertai dengan mual dan muntah
 Boas’ Sign  nyeri menjalar ke area skapula
Presentasi Klinis Penyakit Batu Empedu

 Pada beberapa kasus, batu berdampak pada penyumbatan saluran


empedu menyebabkan obstruksi dan membentuk kolestatis
 Jaundice dan infeksi dapat terjadi saat penyumbatan saluran empedu  nyeri pada
kuadran kanan atas atau epigastrium
Diagnosis Penyakit Batu Empedu

 Diagnosis didapatkan berdasarkan anamnesis dan manifestasi klinis


 Nyeri kuadran kanan atas yang memberat saat makan makanan berlemak
 Demam
 Nyeri lepas kuadran kanan atas
 Murphy’s sign
 Ortner’s sign
Diagnosis Penyakit Batu Empedu

 USG  sensitivitas dan spesifitas tinggi


 X-ray
 Cholescintigraphy
 Oral cholecystography
Tatalaksana

 Biasanya hanya kasus simptomatik dengan episode berulang


 Tatalaksana definitif  elektif kolesistektomi
Kolesistektomi Profilaksis

Beberapa studi menyerankan kolesistektomi profilaksis sebagai terapi pencegahan gejala,


dimana pilihan terapi ini lebih baik dilakukan daripada menunggu hingga status emergensi.
Terkadang pada pasien dengan obesitas ditemukan adanya kolelitiasis pada saat operasi
bedah lainnya, juga direkomendasikan untuk dilakukannya kolesistektomi.

Beberapa guideline menyarankan dilakukannya kolesistektomi apabila ditemukan adanya


kolelitiasis pada operasi pembedahan apapun.
Laparoskopi Kolesistektomi

Indikasi
Laparoskopi diindikasikan pada batu empedu simptomatik dengan kolik bilier, akut/kronik
kolesistitis, pankreatitis batu empedu, diskinesia bilier, dan komplikasi lainnya

Kontraindikasi
Tidak bisa dilakukan pada pasien yang tidak bisa dilakukan general anestesi
Kolesistektomi Terbuka

Indikasi
Kolesistektomi terbuka merupakan pilihan terbaik dan gold standar pada kasus batu empedu
hingga dikenalnya laparoskopi kolesistektomi. Pada umumnya kolesistektomi terbuka aman
dilakukan dengan tingkat mortalitas <1% pada pasien sehat. Satu- satunya yang menjadi
keterbatasan adalah rasa nyeri pasca operasi yang dapat bertahan hingga beberapa minggu.
Selain itu faktor yang berhubungan dengan operasi terbuka yaitu: pasien dengan usia >60
tahun, laki-laki, berat badan >65 kg, akut kolesistitis, riwayat bedah abdomen, diabetes
tidak terkontrol
Kolesistektomi Terbuka vs Laparoskopi
Kolesistektomi
Laparoskopi berhubungan dengan rendahnya tingkat morbiditas, komplikasi dan mortalitas
daripada bedah terbuka. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa laparoskopi memiliki
tingkat 1,9% dan 1% angka morbiditas dan mortalitas apabila dibandingkan dengan bedah
terbuka dengan 7,7% dan 5% angka morbiditas dan mortalitas.
Kolesistektomi Terbuka vs Laparoskopi
Kolesistektomi
Pada pasien dengan obesitas laparoskopi menunjukkan adanya peningkatan morbiditas dan
mortalitas daripada bedah terbuka serta mengurangi infeksi luka dan hernia. Pada beberapa
laporan, laparoskopi juga memiliki kekurangan serta komplikasi seperti trauma saluran
empedu, perdarahan, abses sub hepatic, meskipun resiko ini lebih rendah daripada bedah
terbuka. Rata-rata trauma pada saluran empedu lebih tinggi daripada bedah terbuka, namun
data ini tidak terlalu signifikan.
Manajemen non-bedah

Beberapa pasien bisa saja menolak ataupun tidak dapat mentoleransi tindakan bedah. Terapi
non bedah ditujukan untuk menargetkan batu serta melarutkannya menggunakan garam
empedu oral, misalnya obat seperti Chenodeoxycholic acid (chenodiol) dan ursodeoxycholic
acid (ursodiol) meskipun obat ini memiliki efek merugikan seperti diare dan tingkat
aminotransferase yang abnormal. Ursodiol memiliki keamanan dan lebih dapat ditoleransi
daripada chenodiol. Akan tetapi pada kasus akut kolesistitis atau ditemukannya batu pada
saluran empedu, bedah emergensi tetap diperlukan dan tidak disarankan untuk
menggunakan terapi oral. Ketika terapi oral dihentikan, ada kemungkinan batu akan muncul
kembali.
Kesimpulan

Batu empedu saat ini masih menjadi masalah utama bidang bedah di dunia. Gejala
simptomatik biasanya yaitu nyeri pada perut kanan atas yang dipicu oleh makanan berlemak
serta lebih sering nyeri pada malam hari. Kolik bilier dan adanya batu pada pemeriksaan
menggunakan foto dapat mengonfirmasi diagnosis kolesistitis kronik.
Kesimpulan

Komplikasi batu empedu yaitu koledokolitiasis, ileus batu empedu, dan pankreatitis batu
empedu akut. Tatalaksana pada umumnya dilakukan pada pasien dengan gejala
simptomatik. Metode dan teknik pengobatan batu empedu terus ditingkatkan. Laparoskopi
kolesistektomi hingga sekarang merupakan salah satu intervensi dalam pengobatan batu
empedu.

Anda mungkin juga menyukai