Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

FRAKTUR CRANIUM

PEMBIMBING:

dr. Iqbal Rivai, Sp.BS

DISUSUN OLEH:
Achmad Qinthara
1820221111

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UPN "VETERAN" JAKARTA

RSUP PERSAHABATAN

2019
KATA PENGANTAR

Dalam kesempatan ini puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT karena atas rahmat dan nikmat-Nya lapran kasus yang berjudul fraktur
cranium dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis ucapkan terima kasih kepada dr. Iqbal Rivai, Sp.BS selaku
pembimbing selama penulis menjalani kepaniteraan klinik di RSUP Persahabatan
serta teman-teman yang saling membantu dan mendukung.

Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penulisan laporan kasus


ini, oleh karena itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga laporan
kasus yang disusun penulis ini dapat bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan di
masa yang akan datang.

Jakarta, 2019

Penulis
PENGESAHAN

Laporan kasus diajukan oleh:

Nama : Achmad Qinthara

NRP : 1820221111

Program studi : Profesi Dokter

Judul : Fraktur Cranium

Telah berhasil dipertahankan di hadapan pembimbing dan diterima sebagai syarat


yang diperlukan untuk ujian kepaniteraan klinik bedah Program Studi Profesi
Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Jakarta.

Ditetapkan di : Jakarta

Tanggal : , 2019
BAB I
PENDAHULUAN

Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa
tumpul / tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral
sementara.Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini
diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan
kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping
penanganan pertama yang belum benar - benar , serta rujukan yang terlambat.
Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah
sakit.80 % di kelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10%termasuk cedera
sedang dan 10 % termasuk cedera kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para
dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama
pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan
tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera
otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk
keberhasilan kesembuhan penderita.Sebagai tindakan selanjutnya yang penting
setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan
tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan
kepala.
BAB II

PEMBAHASAN

1. LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. AF 


Umur : 18 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki 


Tempat/Tanggal lahir : Jakarta, 12-04-2000 


Agama : Islam 


Status : Lajang 


Pendidikan terakhir : SMA 


Pekarjaan : Pelajar 


Alamat : Jl. Pisangan Lama 004/005, P.Gadung, Jakarta Timur 


Tanggal masuk RS : 30 September 2019 


Ruangan : ICU IGD 


Jaminan : BPJS 


No. RM : 251-79-05 


1.2 ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara Alloanamnesis pada salah satu keluarga pasien pada
pukul 14.00 hari Rabu tanggal 02 Oktober tahun 2019 di ruang rawat ICU IGD.
Keluhan Utama:

Pasien penurunan kesadaran pasca kecelakaan lalulintas 1 hari sebelum masuk


RS.

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien laki-laki usia 18 tahun datang ke IGD RSP dengan keluhan utama
penurunan kesadaran disertai nyeri kepala. Berdasarkan alloanamnesis, 1 hari
sebelum masuk RS pasien mengalami kecelakaan lalu lintas, pasien terjatuh dari
motornya saat mengendarai motornya yang oleng dan saat jatuh kepalanya
terbentur aspal, mekanisme jatuh sulit dijelaskan oleh pasien. Pasien sempat
mengalami muntah sebanyak 2x. Setelah itu pasien dibawa ke RS Sentosa dan
direncanakan dilakukan CT Scan, namun karena adanya kendala dengan alat CT
scan yang sedang bermasalah, akhirnya pasien dibawa ke RSP untuk penanganan
yang lebih memadai. Pasien tidak sedang dibawah pengaruh alkohol, pasien juga
tidak menggunakan helm saat mengendarai motor.

Riwayat Penyakit Dahulu:

- Riwayat Hipertensi (-)

- Riwayat Stroke (-)

- Riwayat Trauma kepala (-) 


- Riwayat Penyakit Jantung (-)

- Riwayat Penyakit Paru (-)

- Riwayat Operasi sebelumnya (-) 


Riwayat Obat-Obatan:

- Tidak ada alergi obat-obatan.


- Tidak ada riwayat mengonsumsi obat-obatan khusus.


Riwayat Sosial dan Ekonomi Pasien:

Community:Pasien tinggal di rumah bersama keluarganya di Pulo Gadung 


Occupational: Pasien merupakan pelajar dan belum bekerja 


Personal Habit: Pasien sering mengendarai motor dan sering tidak


menggunakan helm kepala. 


1.3 PEMERIKSAAN FISIK

 Keadaan Umum: Tampak Sakit Berat


 Kesadaran: Somnolen
 Tanda Vital:

1. Airway: Clear

2. Breathing: Reguler, Retraksi dada (-),RR: 20x/menit, SpO2: 99%

3. Circulation:

Tanda Vital : 110/70

Heart Rate: 80x/menit

4. Disability : GCS E3M6V4 = 13


5. Suhu: 36 C


 Status Generalis:
1) Kepala : Vulnus excoriatum regio frontalis (+)
2) Mata : Reflek pupil anisokhor, gerak bola mata normal,
Racoon eye (-) Anemis (-)
3) Telinga 
 : Battle sign (-)

4) Hidung 
 : Napas cuping hidung (-)

5) Mulut 
 : Sumbatan jalan napas (-)

6) Thorax 
 : Dinding dada simetris (+), Retraksi dada (-)

7) Jantung 
 : S1>S2 Reguler, Murmur (-), Gallop (-)

8) Paru 
 : Suara Dasar Vesikuler (+/+),
Ronki basah kasar (-/-),Ronki basah halus (-/-)
9) Abdomen : Bising usus (+) Normal, Jejas (-),
Laserasi (-)Hematom (-)
10) Ekstremitas : Akral hangat +/+/+/+, Edema -/-/-/-, Sianosis -/-/-/-
11) Motorik : +/+/+/+ 

12) Genitalia : Tidak ada kelainan urologis 


1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Penunjang Lab Darah Lengkap

Tabel 1 Hasil Lab Darah Tanggal 01 Oktober 2019

Darah Perifer Lengkap Nilai Rujukan


Hasil

Hemoglobin 12.7 L 13.0-16.0

Hematokrit 36.3 L 40.0-48.0

Eritrosit 4.53 4.50-5.50

MCV 80.1 82.0-92.0

MCH 28.0 27.0-31.0

MCHC 35.0 32.0-36.0

Trombosit 137 150-400

Leukosit 10.33 H 5.00-10.00

Basofil 0.2 0-1

Eosinofil 1.0 1-3

Neutrofil 90.8 H 52.0-76.0


Limfosit 6.9 L 20-40

Monosit 2.2 2-8

RDW 12.8 11.5-14.5

PT 12.8 H 9.8-11.2

APTT 25.2 L 31.0-47.0

PO2 184.20 H 75-100

PCO2 41.10 35-45

Hco3 23.7 22-24

CT Scan Kepala

1. Gambaran CT Scan Kepala Post Trauma

Gambar 1 Gambar CT Scan Kepala 01/10/2019

Kesan : Tampak fraktur impresi os parietal dextra dan fraktur linear os


temporal dextra, epidural dan subdural hematom regio temporoparietal dextra,
tampak edema serebral, herniasi subfalcin.

1.5 DIAGNOSIS

1. Traumatik Hematoma Subdural


2. Hematoma Epidural


3. Fraktur Impresi Os parietale dextra

1.6 TINDAKAN DAN TERAPI

. Inf. Mannitol 1gr 


. Cefotaxime 3x1gr 

. Ketorolac 3x30mg 


. Ranitidin 50mg 3x1 amp 


. Pro Craniotomy 


2. FRAKTUR KRANIAL

2.1. Definisi

Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat
berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup.
Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan
dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-
tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk
melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis
periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran
CSS(Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus fasialis.

Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya


hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput
duramater. Keadaan ini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur
tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga
mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktur tengkorak bervariasi,
lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih
banyak mempunyai cedera berat. Fraktur kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada
pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma
intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang
tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien
untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan.

2.2. Epidemiologi
Cedera kepala merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
padausia muda di berbagai Negara. Insiden cedera kepala meningkat secara tajam
di seluruh dunia, hal ini terutama diakibatkan oleh meningkatnya penggunaan
kendaraan bermotor di negara-negara berkembang. Insiden bervariasi antara 67
sampai 317 per 100.000 individu dan rasio mortalitas berkisar antara 4% sampai
7% untuk cedera kepala sedang dan sekitar 50% pada cedera kepala berat.
Kejadian cedera kepala berat di Indonesia berkisar antara 6% sampai 12%
dari semua cedera kepala dengan mortalitas berkisar antara 25 sampai 37%.
Angka kejadian cedera kepala tertinggi adalah pada kelompok usia dewasa
muda yang berusia 15-24 tahun, dimana kejadian pada laki-laki 58% lebih banyak
dibandingkan dengan wanita.

2.3. Etiologi
Terdapat beberapa fator yang dapat menebabkan cedera kepala, yaitu:
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Jatuh
3. Trauma benda tumpul
4. Kecelakaan kerja
5. Kecelakaan rumah tangga
6. Kecelakaan olahraga
7. Trauma tembak

2.4. Klasifikasi Fraktur Tulang Tengkorak

Fraktur kranium diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomisnya,


dibedakan menjadi fraktur calvaria dan fraktur basis cranii. Berdasarkan keadaan
lukanya, dibedakan menjadi fraktur terbuka yaitu fraktur dengan luka tampak
telah menembus duramater, dan fraktur tertutup yaitu fraktur dengan fragmen
tengkorak yang masih intak.

Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai


berikut:

1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :


a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. Depressed
2. Lokasi Anatomis, dibedakan atas :
a. Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak )
b. Basis cranii ( dasar tengkorak )
3. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup

2.4.1 Fraktur Linear

Fraktur linear, adalah fraktur yang paling tersering ditemukan, terjadi


retakan pada fraktur linear tetapi tidak terjadi displacement, dan umumnya tidak
terlalu memerlukan perawatan.

Fraktur tengkorak linier pada umumnya dihasilkan dari energi yang tidak
kuat seperti halnya trauma tumpul pada permukaan yang luas dari tulang tengkorak.
Dalam tidaknya fraktur mempengaruhi bagian dari tengkorak. Secara umum fraktur
ini tidak terlalu memberikan arti klinis yang berarti, kecuali mengenai jaringan
vaskuler, sinus pembuluh darah. Epidural hematom bisa memperberat. Fraktur
linier yang terjadi pada tulang tengkorak tanpa adanya fraktur depresi tidaklah
begitu berat kecuali terdapat robekan pembuluh darah yang dapat membuat
hematom ekstra dural, sehingga diperlukan depresi tulang secepatnya. Apabila
ujung tulang mengenai otak dapat merusak otak tersebut, sehingga dapat terjadi
penurunan kesadaran, kejang, koma hingga kematian.
Gambar Fraktur Linier

2.4.2 Fraktur Diastase

Fraktur yang terjadi pada sutura sehingga terjadi pemisahan sutura kranial.
Fraktur ini biasa terjadi pada anak usia di bawah 3 tahun.

Gambar Fraktur Diastase

2.4.3 Fraktur Comminuted

Fraktur dengan dua atau lebih fragmen fraktur.


Gambar Fraktur Comminuted

2.4.4 Fraktur Depresi

Fraktur depresi apabila fragmen tulang tertekan, dengan atau tanpa robekan
pada kulit kepala. Fraktur Depresi bisa saja memerlukan perawatan pembedahan
untuk mengoreksi kelainannya. Fraktur Basilar adalah yang paling parah dan terjadi
retakan pada dasar tulang tengkorak.

Pukulan yang kuat pada tulang tengkorak dapat mengakibatkan patah tulang
depresi. Misalnya benturan oleh martil, kayu, batu, pipa besi, dll. Fraktur ini
biasanya comuniti, dengan fragmen tulang yang mulai dari fragmen maksimum
tumbukan dan tersebar ke daerah perifer. Sebagian besar fraktur depresi meliputi
regio frontoparietal, karena tulang pada daerah ini relatif tipis.

Fraktur dengan klinik yang signifikan memerlukan elevasi dimana fragmen


tulang menekan lebih dalam dan berbatasan dengan inner table. Fraktur depresi
dapat tertutup atau terbuka. Fraktur terbuka mungkin dapat terpapar jika
berhubungan dengan laserasi kulit atau jika fraktur meluas ke daerah sinus
paranasal dan struktur telinga tengah.(10)
Gambar Fraktur Depresi

2.5. Pemeriksaan Diagnostik Cedera Kepala

1. Anamnesis
 Pemeriksaan awal pasien pada pasien cedera kepala berat

meliputi:

a) Tanyakan keluhan seperti: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, kejang,


vertigo

b) Mekanisme, waktu dan perjalanan trauma 


c) Tanyakan riwayat pingsan atau sadar setelah trauma 


d) Dapat ditemukan amnesia retrograde atau antegrade 


e) Riwayat mabuk, alkohol, narkotika, post operasi kepala 


f) Penyakit penyerta: epilepsy, jantung, asma, riwayat operasi kepala

hipertensi 
 dan gangguan pembekuan darah. 



2. Pemeriksaan Fisik

a) Primary Survey

1) Airway : Periksa apakah adanya patensi saluran napas atau suara 
 tambahan,

apakah terdapat obstruksi pada jalan napas 


2) Breathing : Cek apakah oksigenasi efektif dari pemeriksaan respiratory


 rate, gerakan dinding dada, apakah terdapat sianosis, dilakukan

pemeriksaan X- ray atau foto rontgen dengan segera. 


3) Circulation : Cek apakah perfusi jaringan adekuat dengan periksa pulsasi dan
volume nadi, perhatikan warna kulit dan cek capillary return, cek apakah ada
perdarahan. Lakukan pemeriksaan abdomen dan jika dicurigai adanya
kemungkinan perdarahan periksa dengan pemeriksaan USG dan CT abdomen

(jika pasien stabil). 


4) Disability : Cek apakah terdapat kecacatan neurologis dengan menilai tingkat


kesadaran menggunakan sistem GCS, periksa pupil apakah reflek cahaya baik
dan bandingkan antara kanan dan kiri. Jika terdapat penurunan kesadaran dan

curiga adanya trauma spinal periksa CT scan kepala atau CT/X- ray spinal 


5) Exposure : Cek apakah terdapat cedera pada organ lain dengan perhatikan
adanya jejas, deformitas dan gerakan ekstremitas. Evaluasi respon terhadap

perintah atau rangsang nyeri. 


b) Secondary survey


Dilakukan pemeriksaan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi,


serta pemeriksaan khusus untuk menentukan kelainan patologis, dengan
pemeriksaan head to toe atau per organ.
c) Pemeriksaan Fraktur basis cranium

1) Tanda adanya fraktur basis cranium fossa anterior:

a. Terdapat perdarahan atau adanya discharge yang mengandung cairan yang


dicurigai cairan cerebrospinal (CSF) curiga adanya fraktur fossa anterior

b. Terdapat tanda bruising (memar) periorbital bilateral 


c. Terdapat perdarahan subconjunctival 


2) Tanda adanya fraktur petrous atau fraktur bassis cranium fossa media

a. Adanya perdarahan dari meatus auditory eksterna 


b. Adanya memar pada area mastoid atau battle’s sign yang muncul pada


 24-48 jam post trauma. 


d) Respon pupil


Periksa reflek cahaya untuk memeriksa fungsi nervus opticus (II) dan
oculomotor (III). Herniasi lobus temporal ke arah tentorial hiatus yang disebabkan
adanya hematoma cerebral akan menyebabkan kerusakan pada nervus III, sehingga
pemeriksaan nervus oculomotor jika curiga adanya cedera kepala merupakan
pemeriksaan yang penting. Kerusakan nervus III akan menyebabkan adanya tanda
dilatasi pada pupil. Peningkatan intracranial yang berlangsung lama juga dapat
menyebabkan gangguan pada nervus III yang menyebabkan dilatasi pupil bilateral.

2.6. Pemeriksaan Penunjang



Pemeriksaan penunjang pasien trauma kapitis adalah pemeriksaan CT scan
kepala. Beberapa indikasi dilakukan pemeriksaan CT scan kepala terutama pada
dewasa adalah jika pasien datang ke unit gawat darurat di rumah sakit dengan
GCS <15 2 jam setelah trauma kepala, curiga fraktur tertutup atau adanya fraktur
terbuka pada tulang kepala, ditemukan tanda-tanda fraktur basis cranium, pasien
post traumatic, adanya defisit neurologi fokal, muntah >1x episode.

2.7. Penatalaksanaan

Penanganan fraktur cranium dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat,


tepat, dan aman. Pendekatan ‘tunggu dulu’ pada penderita fraktur kranium sangat
berbahaya, karena diagnosis dan penanganan yang cepat sangatlah penting.

a. Primary Survey (ABCDE)

Adalah penilaian utama terhadap pasien, dilakukan dengan cepat, bila


ditemukan hal yang membahayakan nyawa pasien, langsung dilakukan
tindakan resusitasi. Penanganan atau Pertolongan pertama dari penderita
dengan fraktur cranium mengikuti standart yang telah ditetapkan dalam
ATLS (Advanced Trauma Life Support) yang meliputi,

 Pertahankan A (airway)

Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil. Dengarkan suara


yang dikeluarkan pasien, ada obstruksi airway atau tidak. Jika pasien tidak sadar
lihat ada sumbatan airway atau tidak dan suara-suara nafas serta hembusan
nafas pasien. Pemeriksaan jalan napas pasien dilakukan dengan cara kepala
dimiringkan, buka mulut, bersihkan muntahkan darah, adanya benda asing.
Perhatikan tulang leher, Immobilisasi, cegah gerakan hiperekstensi, hiperfleksi
ataupun rotasi.

 Pertahankan B (Breathing)

Dapat segera dinilai dengan cara menentukan apakah pasien


bernafas spontan/tidak kemudain pasang oksimeter nadi untuk menjaga
saturasi O2 minimum 95%. Jika tidak usahakan untuk dilakukan intubasi
dan support pernafasan dengan memberikan masker O2 sesuai indikasi. Setelah
jalan nafas bebas sedapat mungkin pernafasannya diperhatikan frekwensi
normalnya antara 16 – 20 x/menit, kemudian lakukan monitor terhadap gas darah
dan pertahankan PCO2 antara 28 – 35 mmHg .

 Pertahankan C (Circulation)

Pada pemeriksaan sistem sirkulasi ukur dan catat frekuensi denyut jantung
dan tekanan darah jika diperlukan pasang EKG. Apabila denyut nadi/jantung,
tidak teraba lakukan resusitasi jantung, Kemudian tentukan perdarahan dan
kenali tanda-tanda siaonosis. Waspada terjadinya shock dan lakukan penanganan
luka secara baik serta pasang infus dengan larutan RL.

 Disability

Pada pemeriksaan disability, pemeriksaan kesadaran memakai


glasgow coma scale (GCS). Penilaian neorologis untuk menilai apakah pasien
sadar, memeberi respon suara terhadap rangsang nyeri atau pasien tidak sadar.
Periksa kedua pupil bentuk dan besarnya serta catat reaksi terhadap
cahaya, Periksa adanya hemiparese/plegi, Periksa adanya reflek patologis kanan
kiri.

 Exposure.

Tanggalkan pakaian pasien dan cari apakah ada luka atau trauma lain
secara generalis. Tetapi jaga agar pasien tidak hipotermi.

b. SECONDARY SURVEY

Secondary survey baru dilakukan setelah primary survey selesai dan ABC
sudahmulai stabil dan membaik. Dilakukan secondary survey dengan
anamnesis danpemeriksaan fisik lebih lanjut dan melakukan pemeriksaan
ambahan seperti skull foto, foto thorax, MRI dan CT Scan. (ATLS).

Bila fraktur depres disertai dengan adanya luka pada kulit kepala maka
disebut fraktur depres terbuka, yang memerlukan tindakan operasi mutlak. Hal
yang harus diperhatikan adalah bahaya perdarahan yang berasal dari luka pada
kulit kepala. Hal ini jarang diperhatikan sehingga banyak pasien
ditemukan dalam keadaan anemia atau syok. Penanganan sementara sangat
diperlukan terutaana saat transport ke rumah sakit dengan cara membalut tekan
luka dengan kassa atau jika diperlukan dengan elastik verband.

Indikasi Operasi
 Fraktur depresi terbuka
 Adanya kebocoran LCS
 Mengenai sinus paranasalis
 Defisit neurologis otak dibawahnya
 Kosmetik

Komplikasi operasi
 Perdarahan
 Infeksi
 Robeknya duramater
 Kejang dan kelainan neurologis lainnya

Perawatan pasca bedah

Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti


biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Pemberian antibiotika dan anti
konvulsan masih diperdebatkan. Bila luka yang terjiadi sudah sangat
terkontaminasi atau kejadiannya sudah lebih dari 24 jam, tindakan
pemasangan fragmen tulang atau cranioplasty dianjurkan dilakukan setelah 6-
8 minggu kemudian.
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonym. 2009. Cedera Kepala.


2. DN, Fitrian. 2011. Advance Trauma Life Support.
3. Dochterman, Joanne M., Gloria N. Bulecheck. 2004. Nursing
Interventions Classifications (NIC)
4. Fourth Edition. Missouri: Mosby Elsevier.
5. Moorhed, Sue, Marion Jhonson, Meridean L. Mass, dan Elizabeth
Swanson. 2008. Nursing
6. Outcomes Classifications (NOC) Fourth Edition. Missouri: Mosby
Elsevier.
7. NANDA International. 2010. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan
Klasifikasi 2009-2011. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
8. Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC
9. Sjamsuhidajat & Jong, W.D. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
10. Smelzer, Suzanne. C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth Ed. 8 Vol. 3. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai