Anda di halaman 1dari 25

PRESENTASI KASUS

BENIGN PROTATIC HYPERPLASIA

Pembimbing :
dr. Nugroho Budi Utomo, Sp.U

Disusun Oleh :
Abdillah Khoirul Fat-hi
2110221052

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN


NASIONAL VETERAN JAKARTA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

RSPAD GATOT SOEBROTO PERIODE 7 JUNI – 14 AGUSTUS


2021
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus yang berjudul :


“Benign Prostatic Hyperplasia”

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kegiatan Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Bedah
RSPAD Gatot Subroto

Disusun oleh :
Abdillah Khoirul Fat-hi
2110221052

Disetujui dan disahkan:


Jakarta, 08 Juli 2021

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Nugroho Budi Utomo , Sp.U

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah banyak
melimpahkan berkah dan karunianya sehingga penulis bisa menyelesaikan
presentasi kasus yang berjudul “Benign Prostatic Hyperplasia”. Presentasi kasus
ini merupakan salah satu tugas di SMF Ilmu Bedah, dan juga menjadi salah satu
syarat kelulusan. Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini
masih banyak kekurangan, oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan
kritik untuk perbaikan penulisan di masa yang akan datang. Tidak lupa penyusun
mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. dr. Nugroho Budi Utomo, Sp.U selaku dosen pembimbing yang senantiasa
memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan presentasi kasus ini dengan baik.
2. Rekan-rekan Dokter Muda Bagian Ilmu Bedah atas semangat dan dorongan
serta doanya sehingga penulis bisa menyelesaikan presentasi kasus ini dengan
baik.
Semoga presentasi kasus ini bermanfaat bagi semua pihak yang ada di
dalam maupun diluar lingkungan RSPAD Gatot Subroto.

Jakarta, 08 Juli 2021

Penyusun

iii
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. TB
Jenis Kelamin : Laki - laki
Usia : 59 Tahun
Alamat : Balimatraman RT 9 RW 6 Tebet, Jakarta Selatan
Agama : Islam
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Mengeluh Tidak Bisa Buang Air Kecil
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke RSPAD pada tanggal 23 Juni 2021, sudah
mengeluh tidak bisa BAK. Keluhan berawal dari tanggal 14 mei 2021
pasien sulit untuk BAK, perlu mengejan untuk memulai BAK, nyeri saat
BAK. Pasien menyatakan gejala yang dirasakan gejala bertambah, BAK
menjadi lebih sering dan air kencing yang keluar menjadi tetesan. Tanggal
9 Juni pasien sudah tidak bisa BAK sehingga dipasang kateter. Pasien juga
mengeluhkan sedikit keluar darah saat berkemih, warna darah seperti batu
bata. Keluhan juga disertai terbangun saat tidur untuk BAK, dalam
semalam bisa 3-4 kali untuk BAK. Daerah pubis tidak nyeri saat ditekan.
Gejala tanpa disertai dengan demam.

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Mempunyai riwayat masalah perkemihan seperti perlu mengejan,
kencing menetes sudah dari 2018
 Sudah pernah biopsi 2 kali

Riwayat Penyakit Keluarga :


 Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal
 Riwayat keluarga dengan alergi disangkal
 Riwayat keluarga dengan asma disangkal

1
 Riwayat keluarga dengan penyakit kencing manis disangkal
 Riwayat hipertensi disangkal

Riwayat Pengobatan
 Pasien rutin meminum Harnal setiap malam

C. STATUS GENERALIS
1. Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Tanda Vital :
Tekanan Darah : 140/100 mmHg
Nadi : 80 kali/menit
Suhu : 36,4 o C
RR : 19 kali/menit
BB : 67 kg
TB : 170 cm
4. Status Generalis
a. Pemeriksaan Kepala
Bentuk : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-),
edema palpebra (-/-), reflex cahaya (+/+) normal,
pupil bulat isokor
Hidung : Sekret (-)
Mulut : Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-)
Leher : Deviasi trakea (-), tidak ada pembesaran KGB
Paru
Inspeksi : Dada simetris (+), retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Fremitus ka=ki
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung

2
Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC V 2 jari latelal LMCS
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V 2 jari lateral LMCS,
kuat angkat (+)
Perkusi : Batas jantung
Kanan atas : SIC II LPSD
Kiri atas : SIC II LPSS
Kanan bawah: SIC IV LPSD 1 jari lateral
Kiri bawah : SIC V 2 jari lateral LMCS
Auskultasi : S1>S2, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut tampak datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Kencang, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ekstremitas
Superior: edem (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+)
Inferior: edem (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+)

3
D. STATUS LOKALIS
Regio Genetalia Externa
Inspeksi:
 Orificium uretra eksterna baik
Palpasi:
 Testis teraba dua buah, kanan dan kiri. Konsistensi Kenyal.
Regio Anal
Inspeksi :
 Bentuk Normal, Benjolan (-)
 Rectal Touche : Sfingter Ani Menjepit, Mukosa teraba masa yang
konsistensi kenyal, permukaan sedikit tidak rata, teraba nodul, Pole
atas tidak teraba, Handscoon darah, lendir dan feses tidak ada.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Hasil Laboratorium RSMS
24/06/2021
Hemoglobin 14.3 g/dL (L)
Leukosit 5190 U/L
Hematorkit 40 % (L)

Eritrosit 5,2 jt/Ul (L)


Trombosit 268.000/Ul
Ureum Darah 34.00
Kreatinin Darah 1.24
SGOT 11 U/L
SGPT 8 U/L
HBSAG Non Reaktif
GDS 128 mg/dl

b. Urinalisis

Urin Lengkap 24/06/2021


Warna Kuning
Kejernihan Jernih
Berat Jenis 1,025

pH 5,0
Protein Negatif

4
Glukosa Negatif
Keton Negatif
Darah Negatif
Bilirubin Negatif
Urobilinogen Negatif
Nitrit Negatif
Leukosit Negatif

c. Imunoserologi
PSA Total = 49 ng/ml
d. MRI
PIRADS 5
F. PENATALAKSANAAN
 Medikamentosa
Cefixime 10 tab 200 mg 2 kali Per Oral
Paracetamol 15 tab 500 mg 3 kali Per Oral
 Nonmedikamentosa
Tindakan Biopsi Prostat
G. RESUME
1. Anamnesis
 Keluhan Utama : Tidak bisa BAK
 Riwayat Penyakit Sekarang : Sulit untuk BAK, Nyeri saat BAK,
Butuh mengejan sebelum BAK, Frekuensi BAK meningkat,
Sering terbangun saat malam hari untuk BAK, Merasa tidak
puas saat selesai BAK.
 Riwayat Penyakit Dahulu : Sudah ada riwayat gangguan BAK
dari tahun 2018. Hanya diberi rawat jalan terapi Harnal. Sudah
pernah 2 kali untuk biopsi, hasilnya Hiperplasia Prostat
Bilateral.
 Riwayat Pengobatan : Diberikan Harnal 1x 0,4 mg
2. Pemeriksaan Fisik
 Rectal Touche : Sfingter Ani Menjepit, Mukosa teraba masa
yang konsistensi kenyal, permukaan sedikit tidak rata, teraba

5
nodul, Pole atas tidak teraba, Handscoon darah, lendir dan feses
tidak ada
3. Pemeriksaan Penunjang
 Imunoserologi : Kadar PSA 2018 (Oktober) = 17
Kadar PSA 2018 (Desember ) = 22
Kadar PSA 2021 = 49
 MRI : PIRADS 5
H. DIAGNOSIS KERJA
Retensi Urin e.c. Susp BPH dd Ca Prostat
I. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam

J. KESIMPULAN
Pasien sudah dilakukan biopsi prostat untuk melihat apakah terdapat
keganasan pada prostat. Hasil biopsi belum keluar. Pasien akhirnya
memutuskan untuk rawat jalan dan diberi obat yaitu paracetamol dan
cefixime. Pasien akan kembali untuk mengambil hasil PA. Selanjutnya
pasien akan memikirkan untuk tindakan prostatektomi.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Benign Prostatic Hyperplasia


Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) selanjutnya disebut BPH,
merupakan pembengkakan kelenjar prostat, yang memanjang ke arah
superior ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan
menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi obstruksi pada leher kandung
kemih 1. Penyakit ini sering terjadi pada pria dewasa terutama di usia 50
tahun dan kerap menurunkan kualitas hidup penderitanya 2.

2.2. Epidemiologi
BPH merupakan penyakit urutan kedua setelah batu saluran kemih yang
sering dikeluhkan oleh laki – laki di Indonesia. Gejala utamanya adalah retensi
urin atau sulit untuk berkemih 3. Prevalensi BPH di dunia pada usia 40an adalah
sebesar 40%, sedangkan pada usia 60 hingga 70 tahun, persentase meningkat
hingga 90%. Hasil penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sekitar 20%
BPH terjadi pada usia 41-50 tahun, 50 % terjadi pada usia 51-60 tahun dan 90%
terjadi pada usia 80 tahun.

2.3. Anatomi Prostat

Gambar 1. Anatomi Prostat (Sobotta, Edisi 15)

7
Prostat adalah organ fibromuskular dan glandular yang terletak di
sebelah inferior vesika urinaria, di anterior dari rektum dan membungkus
uretra posterior. Memiliki berat sekitar 20 gram, dan di dalamnya terdapat
uretra posterior yang panjangnya kurang lebih 2,5 cm. Prostat diselimuti
oleh capsula fibrosa dan bagian luar fascia prostatica yang tebal. Fascia
prostatica berasal dari fascia pelvic yang melanjutkan diri ke fascia
superior diaphragmatic urogenital, dan melekat pada os pubis dengan
disokong oleh ligamentum puboprostaticum. Bagian posterior fascia
prostatica membentuk lapisan lebar dan tebal yang disebut fascia
Denovillers. Fascia ini sudah dilepas dari fascia rectalis dibelakangnya.
Hal ini bermakna bagi tindakan operasi prostat 3.

Gambar 2. Anatomi Prostat (Sobotta, Edisi 15)

Prostat sendiri terbagi menjadi beberapa zona, yaitu : zona perifer,


zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler, zona anterior, dan
zona periurethral. Zona yang paling luas adalah zona perifer, mencakup
70% dari prostat itu sendiri, kemudian zona sentral sendiri mencakup 25 %
luas dari prostat, dan yang paling sedikit adalah zona transisional hanya
5%. Permasalahan pada prostat sendiri seperti BPH paling sering terjadi
pada zona transisional, sedangkan untuk karsinoma prostat banyak pada
zona perifer.

8
Jalur invervasi untuk prostat sendiri mendapatkan dari otonomik
simpatis dan parasimpatis dari plexus prostatikus. Plexus tersebut
menerima impuls dari serabut parasimpatis dari corda spinalis S2-4 dan
simpatis dari nervus hipogastrikus T10-L2. Stimulasi parasimpatis
meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan
simpatis menyebabkan pengeluaran cairan prostat ke dalam uretra
posterior seperti pada saat ejakulasi. Sistem simpatis memberikan inervasi
pada otot polos prostat, kapsula prostat dan leher vesika urinaria. Pada
lokasi tersebut banyak reseptor adrenergic α, reseptor ini yang
berhubungan pada proses patofisiologi pada penyakit BPH. Rangsangan
simpatis mempertahankan tonus otot polos tersebut, jika kelenjar ini
mengalami hiperplasia jinak atau berubah menjadi tumor ganas, dapat
terjadi penekanan uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi
saluran kemih 4.

2.4. Etiologi
Sampai sekarang etiologi dari BPH sendiri belum diketahui secara jelas.
Banyak pendapat para ahli urologi dalam menjelaskan hipotesis yang diduga
sebagai penyebab timbulnya BPH, yaitu:
1. Teori Dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau yang lebih dikenal DHT, adalah sebuah metabolit
androgen yang berperan vital pada pertumbuhan sel – sel kelenjar prostat.
DHT sendiri dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5α-
reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk
berikatan dengan reseptor androgen membentuk kompleks DHT-RA pada
inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor growth factor
yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Menurut penelitian yang telah
banyak dilakukan, dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh
berbeda dengan jumlahnya pada prostat normal, akan tetapi pada BPH,
aktivitas enzim 5α reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak
pada BPH. Hal itu akan berakibatkan sel – sel prostat pada BPH lebih

9
sensitif terhadap DPT sehinggal replikasi sel lebih banyak terjadi
dibandingkan pada prostat orang normal.
2. Hormon Estrogen-Testosteron yang Tidak Seimbang
Pada Usia geriartri, jumlah testosteron menurun, sedangkan jumlah
estrogen relatif tetap, sehingga perbandingan antara estrogen dan
testosteron relatif meningkat. Estrogen sendiri diketahui berperan dalam
terjadinya proliferasi sel – sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan
sensitifitas sel – sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen,
meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menunrunkan jumlah
kematian sel – sel prostat (apoptosis). Akibatnya, meskipun rangsangan
terbentuknya sel – sel baru akibat rangsangan testosteron menurun, tetapi
sel – sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang
sehingga ukuran prostat jadi bertambah 3.
3. Hubungan Stroma – Epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung
dikontrol oleh sel – sel stroma melalui suatu mediator (growth factor)
tertentu. Sel – sel stroma yang mendapatkan stimulasi dari DHT dan
estradiol, selanjutnya akan mensintesis suatu growth factor yang
selanjutnya memperngaruhi sel – sel stroma itu sendiri secara intrakrin dan
autokrin, serta mempengaruhi sel - sel epitel maupun sel stroma.

2.5 Patofisiologi
Prostat yang membesar berakibat lumen yang menyempit uretra
prostatika dan menghambat aliran urine. Kondisi ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikal. Akibat aliran urine yang terhambat,
vesika urinaria harus berkontraksi dengan kuat agar urine segera mengalir
menuju ureter. Kontraksi yang terjadi terus menerus menjadikan anatomi
dari vesika urinaria mengalami beberapa perubahan seperti hipertrofi otot
detrusor vesika urinaria3. Fase penebalan otot detrusor disebut fase
kompensasi, keaadan tersebut akan berlanjut pada otot detrusor yang lelah
dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Dalam artian pasien tidak bisa
mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi stasis

10
urin. Urin yang tersisa atau residu urin itu akan menjadi media yang baik
untuk pertumbuhan bakteri 5
Obstruksi urin yang terjadi terus menerus dapat menimbulkan gejala
yang kerap dirasakan pada pasien BPH, seperti pancaran miksi lemah, urin
terus menetes setelah berkemih, miksi yang terputus – putus (intermiten),
kesulitan untuk memulai berkemih (hesistensi). Gejala diatas termasuk
jenis gejala obstruksi. Selain itu ada beberapa gejela iritatif yaitu,
peningkatan frekuensi berkemih, terbangun pada malam hari untuk
berkemih (nokturia), perasaan yang ingin miksi namun tidak dapat ditahan
(urgensi) dan ada nyeri saat berkemih (disuria) 3.
Tekanan intravesika yang lebih tinggi dibandingkan tekanan sfingter
dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Resistensi kronik yang
terjadi menyebabkan refluks vesikoureter. Hal tersebut akan berakibat
komplikasi seperti hidronefrosis dan gagal ginjal. Komplikasi lain dapat
berupa batu vesika urinaria dikarenakan selalu terdapat residu urin yang
menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam vesika urinaria. Batu ini
dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria 1.

2.6 Gejala Klinis

11
Gejala yang dialami oleh pasien BPH sendiri dapat dibagi menjadi 2,
yaitu gejala obstruktif dan iritatif.

Gambar 3. Skor IPSS (Tjahjodjati, 2015)

Contoh dari gejala obstruksi, yaitu hesistensi, penurunan pancaran


miksi, rasa tidak tuntas saat miksi, mengejan saat berkemih dan urin
menetes setelah berkemih. Sedangkan gejala iritatif dapat berupa urgensi,
frekuensi dan nokturia. Kumpulan gejala tersebut sering dikatakan sebagai
gejala saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptomps
(LUTS) 6
Organisasi Kesehatan Dunia atau (WHO) mempunyai cara penilaian
yang digunakan untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran
kemih bagian bawah, yang dinamakan International Prostatic Symptoms
Score atau disingkat IPSS. IPSS sendiri merupakan pengembangan dari
AUA symptom score yang ditambah dengan satu pertanyaan mengenai

12
kualitas hidup. Sistem ini berisikan tujuh pertanyaan mengenai gejala dan
satu pertanyaan untuk menilai kualitas hidup, dimana pasien dapat menilai
keluhan secara mandiri dan kuantitatif. Setiap pertanyaan yang berkorelasi
dengan keluhan berkemih diberi nilai dari 0 sampai dengan 5, sedangkan
keluhan yang menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga
7. Hasil dari skor IPSS tersebut dapat diklasifikasikan dalam 3 derajat,
yaitu ringan dengan rentang skor 0 – 7, sedang dengan rentang skor 8 – 19
dan berat dengan rentang skor 20 – 35 7

2.7 Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis dari BPH dapat menggali beberapa
keluhan yang dialami oleh pasien. Pasien datang dengan gejala LUTS
terutama gejala obstruktif. Dapat juga kita gali riwayat penyakit yang
sedang diderita lain seperti infeksi, hematuria ataupun batu ginjal dan batu
vesica urinaria. Selain dari anamnesis, beberapa pemeriksaan juga dapat
sangat membantu dalam menegakkan diagnosis BPH, pemeriksaan nya
antara lain :
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik berupa colok dubur dan pemeriksaan neurologis bisa
membantu dalam menegakkan diagnosis BPH. Hal yang dinilai pada
pemeriksaan colok dubur adalah ukuran dan konsistensi prostat. Colok
dubur pada pembesaran prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal
seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri yang simetris, tidak
didapatan nodul. Sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi prostat
keras atau teraba nodul dan mungkin di antara prostat tidak simetri 3.
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan
hematuria. Kecurigaan adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan
pemeriksaan kultur urin, berguna untuk mencari jenis kuman yang
menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan sisitifitas kuman terhadap
beberapa antimikroba yang diujikan.
3. Pemeriksaan Penunjang

13
Pemeriksaan berupa foto polos perut dapat berguna dalam menentukan
sudah sejauh mana BPH menyebabkan kerusakan. Pencitraan saluran
kemih bagian atas intravena pyelograf dan USG dianjurkan apabila
didapatkan kelainan penyerta dan atau terdapat komplikasi misalnya
hematuria, ISK, dan riwayat batu ginjal.
Pemeriksaan USG pada kelenjar prostat, terlihat pada zona sentral dan
perifer terlihat abu – abu muda/hoipoekoik sampai gelap homogen.
Sedangkan zona transisional yang terletak lebih anterior terlihat
hipoekogenik heterogen.

2.8 Penatalaksanaan
Tujuan yang ingin dicapai pada terapi pasien BPH adalah,
mengembalikan kualitas hidup pasien, memperbaiki keluhan miksi, dan
menyingkirkan komplikasi komplikasi yang ada. Terapi nya sendiri
terbagi menjadi tiga, sesuai keluhan yang dialami oleh pasien, yaitu :
Konservatif atau Watchful Waiting, Medikamentosa, dan pembedahan 8.
1. Konservatif / Watchful Waiting
Pada manajemen konservatif, ditujukan pada pasien BPH dengan skor
IPSS dibawah 7. Pasien tidak mendapatkan terapi apapun, namun
mendapatkan edukasi dan pengawasan yang dilakukan dalam bentuk
kontrol berkala setiap 3 – 6 bulan sekali untuk melihat perubahan pada
keluhan, skor IPSS, dan volume residu urin. Edukasi dapat berupa anjuran
jangan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, kurangi
konsumsi makanan atau minuman yang dapat mengiritasi vesika urinaria
seperti kopi atau cokelat, batasi penggunaaan obat – obat influenza yang
mengandung fenilpropanolamin, jangan menahan kencing terlalu lama,
dan dianjurkan untuk menghindari mengangkat barang yang berat agar
perdarahan dapat dicegah 3. Jika keluhan BPH telah berkembang menjadi
lebih parah, terapi medikamentosa bisa menjadi suatu pilihan untuk
mengganti manajemen konservatif ini 7
2. Medikamentosa

14
Tujuan terapi medikamentosa adalah mengurangi resistensi otot polos
prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi intravesika dengan
obat – obatan penghambat adrenergik alfa atau biasa disebut adrenergik
alfa blocker selain itu dokter juga akan berusaha mengurangi volume
prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan kadar hormon
testosteron atau dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5α-
reduktase.
a. Penghambat reseptor adrenergik-α
Obat ini dapat menginhibisi reseptor yang ditemukan pada otot – otot
polos di leher vesika urinaria, prostat, dan kapsul prostat sehingga bisa
terjadi relaksasi didaerah prostat. Fungsi obat ini dapat memperbaiki
gejala gejala LUTS dan meningkatkan laju pancaran urin. Hal ini akan
menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika. Obat – obat yang
sering digunakan adalah Prazosin, Terazosin, Doxazosin atau
Tamsulosin. Dosis yang digunakan 1mg/hari sedangkan dosis pada
tamsulosin adalah 0,2 – 0,4 mg/hari. Tamsulosin sendiri dapat sangat
selektif terhadap otot polos prostat, penelitian yang ada
memperlihatkan bahwa tamsulosin dapat memperbaiki pancaran miksi
tanpa menimbulkan efek terhadap tekanan darah 3
b. Penghambat 5α – reduktase
Obat ini bekerja dengan cara menginduksi kematian sel atau apoptosis
pada sel – sel penyusun jaringan epitel prostat melalui inhibisi
isoenzim 5α-reduktase, enzim yang dapat mengkonversi testosteron
menjadi dihidrotestosteron (DHT). Karena itu, obat ini dapat
mengecilkan volume prostat. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa
dampak pengecilan ini mampu mencapai 30 %. Obat golongan ini
yang sering digunakan adalah Finasteride dan Dutasteride. Indikasi
penggunaan dutasteride adalah jika volume prostat lebih dari 30 cc,
sementara indikasi finasteride bila volume lebih dari 40 cc.
Dutasteride digunakan dengan dosis 0,5 mg, sementara Finasteride
dengan dosis lebih tinggi yaitu 5 mg. Beberapa efek samping yang

15
dapat muncul adalah disfungsi ereksi, penurunan libido, ginekomastia,
dan muncul bercak – bercak kemerahan di kulit 8.
c. Anatagonis reseptor Muskarinik
Cara kerja obat – obatan antagonis reseptor muskarinik adalah dengan
menginhibisi stimulasi reseptor muskarinik. Hal ini menyebabkan
berkurangnya kontraksi jaringan otot polos pada vesika urinaria. Oleh
sebab itu, antagonis reseptor muskarinik, seperti fesoterodine
fumarate, propiverine HCL, dan solifenacin succinate, kerap
digunakan jika α1 blocker tidak berhasil mengurangi gejala iritatif
BPH. Antagonis reseptor muskarinik diduga bermanfaat dalam
penurunan gejala iritatif BPH pada pasien dengan volume prostat yang
belum begitu besar. Di sisi lain, penggunaan antagonis muskarinik
dapat menimbulkan kekeringan mulut, kontipasi dan pusing 8.
3. Pembedahan
Pembedahan merupakan suatu tindakan tata laksana BPH yang bersifat
invasif. Oleh sebab itu, harus ada indikasi untuk seseorang yang akan
dilakukan pembedahan. Pasien yang tidak menunjukkan perbaikan setelah
terapi obat – obatan, retensi urin akut, infeksi saluran kemih berulang,
hematuria makroskopik, penurunan fungsi ginjal, dan gagal berkemih
setelah melepaskan kateter, tanda – tanda tersebut merupakan indikasi
dilakukannya pembedahan. Berikut pilihan terapi pembedahan yang dapat
dilakukan, sesuai kondisi masing – masing pasien.
a. Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
Merupakan suatu pembedahan invasif minimal yang kerap digunakan
pada pasien BPH dengan volume prostat 30 – 80 cc. Prosedur TURP
merupakan pilihan utama dari semua tindakan pembedahan prostat
pada pasien BPH. TURP lebih sedikit menimbulkan trauma
dibandingkan prosedur bedah terbuka dan memerlukan masa
pemulihan yang lebih singkat. Prosedur ini berupa reseksi kelenjar
prostat dilakukan secara transuretra dengan mempergunakan cairan
pembilas agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak
tertutup oleh darah. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup

16
murah serta tidak menimbulkan hantaran listrik pada saat operasi,
yaitu H2O steril (aquades). Alat yang digunakan berupa resektoskop
dan elektrokauter yang berfungsi sebagai penggerok prostat dan
dengan bantuan endoskopi. Komplikasi yang dapat timbul adalah
ejakulasi retrograde sekitar 75%, impotensi 5-10 %, inkontinensia 1 %
dan komplikasi lain berupa perdarahan, striktur uretra, dan sindrom
TURP 9`
b. Transurethral Incicion of the Prostat (TUIP)
TUIP atau insisi leher vesika urinaria (bladder neck insicion)
direkomendasikan pada prostat yang ukurannya kecil kurang dari 30
gram atau kurang. Teknik yang dilakukan adalah dengan memasukkan
instrument kedalam uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada
prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada
uretra dan mengurangi konstriksi uretral. Komplikasi dari TUIP
adalah pasien harus menggunakan kateter yang berkepanjangan meski
tanpa perlu melakukan perawtan inap di rumah sakit 3
c. Prostatektomi terbuka
Diindikasikan pada prostat yang terlalu besar untuk dilakukan
tindakan endoskopik, juga dapat dilakukan pada penderita
divertikulum vesika urinaria atau ada batu vesika urinaria.
Prostatektomi terbuka dibagi menjadi 2 cara pendekatan yaitu
suprapubik (Millin procedure) dan retropubik (Freyer procedure) 3.
d. TUNA (Transurethral needle ablation of the Prostate)
Teknik ini memakai energi dari frekuensi radio yang menimbulkan
panas sampai mencapai 100°C, sehingga menyebabkan nekrosis
jaringan prostat. Sistem ini terdiri atas kateter TUNA yang
dihubungkan engan generator yang dapat membangkitkan energi pada
frekuensi radio 490 kHz. Kateter dimasukkan ke dalam uretra melalui
sistoskopi dengan pemberian anestesi topikal xylocaine sehingga
jarum yang terletak pada ujung kateter terletak pada kelenjar prostat.
Pasien sering kali masih mengeluh hematuria, disuria, dan retensi urin.
e. Stent

17
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi
obstruksi karena pembesaran prostat. Stent dipasang intraluminal di
antara leher vesika urinaria dan di sebelah proksimal verumontanum
sehingga urin dapat leluasa melewati lumen uretra prostatika. Stent
dapat dipasang secara temporer atau permanen. Yang temporer
dipasang selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yang tidak diserap
dan tidak mengadakan reaksi dengan jaringan. Alat ini dipasang dan
dilepas kembali secara endoskopi. Stent yang permanen terbuat dari
anyaman dari bahan logam super alloy, nikel, atau titanium. Dalam
jangka waktu lama bahan ini akan diliputi oleh urotelium sehingga
jika suatu saat ingin dilepas harus membutuhkan anestesi umum atau
regional. Pemasangan alat ini diperuntukkan bagi pasien yang tidak
mungkin menjalani operasi karena resiko pembedahan yang cukup
tinggi.

2.9 Komplikasi
1
Menurut komplikasi dari BPH yang tidak ditangani dengan baik seperti,
retensi urin akut dapat terjadi apabila vesika urinaria menjadi dekompensasi.
Komplikasi lain Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin
terus berlanjut maka pada suatu saat vesika urinaria tidak mampu lagi menampung
urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat dan menyebabkan
refluks sehingga aliran menuju ke arah ginjal. Hematuri juga dapat terjadi, karena
selalu terdapat sisa sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu endapan didalam
vesika urinaria, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula
menimbulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
2.10 Prognosis
Prognosis pada benign prostatic hyperplasia umumnya baik. Pasien-
pasien dengan lower urinary tract symptoms (LUTS) berkepanjangan
dapat berisiko mengalami glaukoma (10%) serta disfungsi ereksi dan
ejakulasi. Pilihan terapi yang tepat sesuai kondisi klinis pasien sangat
penting dalam menentukan progresifitas benign prostatic hyperplasia.

18
Sebanyak 10% pasien dengan benign prostatic hyperplasia juga dapat
mengalami kekambuhan meskipun telah dilakukan reseksi prostat 10.

19
BAB III
ANALISA KASUS

Pada kasus ini, pasien didiagnosis dengan suspect Benign Prostatic


Hiperplasia diagnosis banding Karsinoma Prostat.
Pada saat anamnesis, bapak Tami mengaku mempunyai keluhan kesulitan
untuk BAK, ditambah dengan keluhan lain seperti. Butuh waktu untuk mulai
berkemih dan diawali dengan mengejan, pancaran yang lemah. Selain itu pasien
juga mengeluhkan frekuensi miksi yang bertambah, dan terbangun saat malam
hari untuk kecing dengan intensitas yang sering. Gejala gejala yang dialami oleh
pasien merupakan gabungan gejala yang sering dinamakan LUTS (Lower Urinary
Tract Symptoms). Gejala tersebut sering dialami oleh pria lanjut usia yang
mempunyai masalah pada prosat nya.
Pada riwayat penyakit dahulu pasien mengaku sudah pernah melakukan
biopsi prostat dan pemeriksaan PSA pada tahun 2018 dan 2019. Hasil biopsi
tersebut menunjukkan terdapat hiperplasia prostat bilateral. Kadar PSA pasien
pada tanggal 15 Agustus 2018 sejumlah 17, sedangkan 27 Desember 2018
meningkat menjadi 25, dan pada akhirnya meningkat kembali menjadi 49 pada
tahun 2021.
Pemeriksaan rectal touche pasien juga menunjukkan keadaan patologis,
ditemukan pada pasien batas pole prostat tidak teraba merupakan indikasi dari
pembesaran prostat. Pada mukosa juga menunjukkan nodul yang menandakan
tanda tanda dari Karsinoma Prostat. Pada pemeriksaan lab menunjukkan semua
dalam keadaan normal, hal ini menandakan tidak ada tanda tanda penurunan
fungsi ginjal terlihat dari kadar ureum dan kreatinin.
Permasalahan pada pasien ini adalah dalam hal penegakkan diagnostik.
Belum ada diagnostik jelas terhadap pasien ini sehingga belum dilakukan tindakan
operatif. Pada tanggal 25 Juni 2021 pasien dilakukan biopsi ke tiga kalinya. Hasil
Biopsi tersebut menunjukkan terdapat Hiperplasia Prostat Dextra et Sinistra. Hal
itu mempertegas diagnosis pada pasien ini adalah BPH.
Pada tanggal 26 Juni 2021, pasien dipulangkan untuk rawat jalan. Pasien
diberikan obat Paractemol sejumlah 10 tab dengan dosis 200 mg sehari 2 kali

20
diminum dengan cara Per Oral. Pasien juga diberikan pemasangan kateter selama
dirumah dan akan kontrol lagi pada tanggal 9 Juli 2021. Kontrol tersebut untuk
memutuskan tindakan selanjutnya untuk menatalaksana BPH dari pasien.
Selain itu juga diberikan profilaksis berupa antibiotik spektrum luas yaitu
Cefixime sejumlah 15 tab dengan dosis 500 mg diberikan sebanyak 3 kali sehari
dengan cara per oral. Pasien ketika dipulangkan dalam kondisi baik.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat, Jong D. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerbit Buku Kedokt Egc.
2017;
2. Naderi N, Mochtar CA, De La Rosette JJMCH. Real life practice in the
management of benign prostatic hyperplasia. Current Opinion in Urology.
2004.
3. Purnomo BB. Dasar-dasar Urologi. Revue Medicale Suisse. 2011.
4. Hollenbeck BK. Commentary on “Urologist density and county-level
urologic cancer mortality”. Odisho AY, Cooperberg MR, Fradet V, Ahmad
AE, Carroll PR, Department of Urology, University of California-San
Francisco, San Francisco, CA. J Clin Oncol 2010;28:2499-504 (Epub 2.
Urologic Oncology: Seminars and Original Investigations. 2011.
5. mina nurul adhyah. ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. I DENGAN
GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN: POST OPERASI BENIGNA
PROSTAT HIPERPLASIA (BPH) HARI KE-0 DI RUANG
FLAMBOYAN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANDANARANG
BOYOLALI. Univ MUHAMMADIYAH SURAKARTA. 2015;
6. McAninch JW, Lue TF. Smith & Tanagho’s General Urology. McGraw-
Hill. 2013.
7. Tjahjodjati, Soebadi DM, Umbas R, Purnomo BB, Widjanarko S, Mochtar
CA, et al. Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran Prostat Jinak
(Benign Prostatic Hyperplasia / BPH). Ikat Ahli Urol Indones. 2017;
8. Sutanto RL. HIPERPLASIA PROSTAT JINAK: MANAJEMEN
TATALAKSANA DAN PENCEGAHAN. JIMKI. 2020;
9. Punnen S, Cooperberg MR, D’Amico A V., Karakiewicz PI, Moul JW,
Scher HI, et al. Management of biochemical recurrence after primary
treatment of prostate cancer: A systematic review of the literature.
European Urology. 2013.
10. McVary KT, Roehrborn CG, Avins AL, Barry MJ, Bruskewitz RC,
Donnell RF, et al. Management of Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
Guideline. AUA Clin Guidel. 2016;

22

Anda mungkin juga menyukai