Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGNA PROSTAT HYPERLASIA (BPH)

OLEH :

NI MADE SRI ARI RATIH

2214901067

FAKULTAS KESEHATAN PROGRAM STUDI


PENDIDIKAN PROFESI NERS INSTITUT
TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI DENPASAR
2022
A. TINJAUAN TEORI
1. Pengertian
BPH (Benigna Prostat Hyperplasia) adalah suatu keadaan dimana kelenjar prostat
mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan
menyumbat aliran urine dengan menutup orifisium uretra (Smeltzer dan Bare,
2013). Hyperplasia merupakan pembesaran ukuran sel dan diikuti oleh
penambahan jumlah sel. BPH merupakan suatu kondisi patologis yang paling
umum di derita oleh laki-laki dengan usia rata-rata 50 tahun (Prabowo dkk, 2014
dalam Azizah, 2018)
BPH terjadi pada zona transisi prostat, dimana sel stroma dan sel epitel
berinteraksi. Sel sel ini pertumbuhannya dipengaruhi oleh hormon seks dan respon
sitokin. Pada penderita BPH hormon dihidrotestosteron (DHT) sangat tinggi
dalam jaringan prostat. Sitokin dapat memicu respon inflamasi dengan
menginduksi epitel. Prostat membesar mengakibatkan penyempitan uretra
sehingga terjadi gejala obstruktif yaitu: hiperaktif kandung kemih, inflamasi,
pancaran miksi lemah (Skinder et al, 2016).
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) dikaitkan dengan gejala saluran kemih
bawah. Gejala-gejala yang biasanya dirasakan oleh penderita pembesaran prostat
jinak yaitu nookturia, inkontinensia urin, aliran urin tersendat-sendat,
mengeluarkan urin disertai darah, dan merasa tidak tuntas setelah berkemih
(Dipiro et al, 2015)
Menurut R. Sjamsuhidajat dan Wim De Jong (2010 dalam Azizah, 2018),
klasifikasi BPH meliputi :
a. Derajat 1 : Biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberi
pengobatan konservatif.
b. Derajat 2 : Merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya
dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra ( trans urethral resection /
TUR ).
c. Derajat 3 : Reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila diperkirakan prostate
sudah cukup besar, reseksi tidak cukup 1 jam sebaiknya dengan
pembedahan terbuka, melalui trans retropublik / perianal.
d. Derajat 4 : Tindakan harus segera dilakukan membebaskan klien dari
retensi urine total dengan pemasangan kateter.
2. Etiologi
Menurut Prabowo dkk (2014) etiologi BPH sebagai berikut:
a. Peningkatan DKT (dehidrotestosteron)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan resepto androgen akan menyebabkan
epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hyperplasia.
b. Ketidakseimbangan esterogen-testosteron
Ketidakseimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada proses
penuaan, pada pria terjadi peningkan hormone estrogen dan penurunan
hormon testosteron. Hal ini yang memicu terjadinya hiperplasia stroma
pada prostat.
c. Interaksi antar sel struma dan sel epitel prostat
Peningkatan kadar epidermal growth factor atau fibroblast growth factor
dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasia
stroma dan epitel, sehingga akan terjadi BPH.
d. Berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Estrogen yang meningkat akan menyebabkan peningkatan lama hidup
stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
e. Teori stem sel
Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit dan
memicu terjadi BPH.
3. Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah
kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal
(1976 dalam Purnomo, 2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona,
antara lain zona perifer, zona sentral, zona trasisional, zona fibromuskuler anterior
dan periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada
usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena
produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen
pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000), menjelaskan bahwa
pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon testosteron, yang du
dalam sel- sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi
dehidrotestosteron (DTH) dengan bantuan enzim alfa reduktase.
Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel
kelejar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar
prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan
pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang
disebabpak pembesaran prostat sebenarnya disebebkan oleh kombinasi resistensi
uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi
detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis,
sedangkan trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap
awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensiyang bertambah
pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian, detrusor akan mencoba
mengatasi keadaan ini dengan jalan kontrasi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih
tebal. Penonjolan serat destrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi
akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa
dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil
dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan
destrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila
keadaan berlanjuy maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin. Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan
iritasi. Gejala obstruksi disebabkan destrusor gagal berkontraksi dengan cukup
lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi),
miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas
setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot
destrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency,
disuria).
Karena produksi urine terus terjadi, maka suatu saat vesiko urinaria tidak mampu
lagi menampung urine, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan
sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontenesia paradox (overflow
incontinence). Retensi kronik meyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi,
ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan
traktus urinarius begian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita
hars mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen
yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria
akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria.
Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks
meyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).

4. Manifestasi Klinis
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) selalu terjadi pada orang tua, tetapi tak selalu
disertai gejala-gejala klinik, hal ini terjadi karena dua hal yaitu :
a. Penyempitan uretra yang meneybabkan kesulitan berkemih
b. Retensi urine dalam kandung kemih menyebabkan dilatasi kandung kemih,
hipertrofi kanudng kemih dan cystitis (Hidayat, 2009).

Menurut Haryono (2012) tanda dan gejala pada pasien dengan BPH meliputi:

Gelaja obstruktif

a. Hesitansi, yaitu memulai kencing yang lama dan sering kali disertai
dengan mengejan.
1) Intermittency, yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang
disebabkan oleh ketidak mampuan otot destrussor dalam
mempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
2) Terminal dribbling, yaitu menetesnya urin pada akhir kencing.
3) Pancaran lemah, yaitu kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran
destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di
uretra.
4) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa
belum puas.
b. Gejala iritasi
1) Urgensi, yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit di tahan.
2) Frekuensi, yaitu penderita miksi lebih sering miksi dari biasanya
dapat terjadi pada malam dan siang hari.
3) Disuria, yaitu nyeri pada waktu kencing

Tanda-tanda diatas merupakan keluhan yang terjadi pada saluran kemih bagian
bawah. Selain itu adapun gejala yang terjadi yaitu :

a. Gejala pada sluran kemih bagian atas yaitu : Nyeri pinggang, demam
(infeksi), hidronefrosis.
b. Gejala di luar saluran kemih :
Keluhan pada penyakit hernia/hemoroid sering mengikuti penyakit
hipertropi prostat. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan
pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra
abdominal (Sjamsuhidajat, 2005).
Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan, anoreksi,
mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik (Brunner &
Suddarth, 2001).
5. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Haryono (2012) pemeriksaan penunjang BPH meliputi :
a. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter
anus mukosa rectum kelainan lain seperti benjolan dalam rectum dan
prostat.
b. Ultrasonografi (USG)
Digunakan untuk memeriksa konsistensi volume dan besar prostat juga
keadaan buli-buli termasuk residual urine.
c. Urinalisis dan kultur urine
Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBC (Red
Blood Cell) dalam urine yang memanifestasikan adanya pendarahan atau
hematuria (prabowo dkk, 2014).
d. DPL (Deep Peritoneal Lavage)
Pemeriksaan pendukung ini untuk melihat ada tidaknya perdarahan
internal dalam abdomen. Sampel yang di ambil adalah cairan abdomen dan
diperiksa jumlah sel darah merahnya.
e. Ureum, Elektrolit, dan serum kreatinin
Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini sebagai
data pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi dari BPH.
f. PA (Patologi Anatomi)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi. Sampel
jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk mengetahui
apakah hanya bersifat benigna atau maligna sehingga akan menjadi
landasan untuk treatment selanjutnya.
6. Penatalaksanaan
Menurut Haryono (2012) penatalaksaan BPH meliputi :
a. Terapi medikamentosa
1) Penghambat adrenergik, misalnya prazosin, doxazosin, afluzosin.
2) Penghambat enzim, misalnya finasteride
3) Fitoterapi, misalnya eviprostat
b. Terapi bedah
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala
dan komplikasi, adapun macam-macam tindakan bedah meliputi:
1) Prostatektomi
a) Prostatektomi suprapubis , adalah salah satu metode
mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen yaitu suatu
insisi yang di buat kedalam kandung kemih dan kelenjar
prostat diangkat dari atas.
b) Prostaktektomi perineal, adalah mengangkat kelenjar
melalui suatu insisi dalam perineum.
c) Prostatektomi retropubik, adalah suatu teknik yang lebih
umum di banding [endekatan suprapubik dimana insisi
abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat yaitu
antara arkuspubis dan kandung kemih tanpa memasuki
kandung kemih.
2) Insisi Prostat Transurethral (TUIP)
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan
instrumen melalui uretra. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar
prostat berukuran kecil (30 gr / kurang) dan efektif dalam
mengobati banyak kasus dalam BPH.
3) Transuretral Reseksi Prostat (TURP)
Adalah operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop dimana resektroskop merupakan
endoskopi dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang di
lengkapi dengan alat pemotong dan counter yang di sambungkan
dengan arus listrik.
B. TINJAUAN ASKEP
1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan proses
yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan pasien (Setiadi,2012).
Menurut Padila (2012), data yang perlu dikaji yaitu:
a. Anamnesa
1) Identitas pasien
Meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang
digunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi
golongan darah, nomor register, tanggal dan jam masuk rumah
sakit (MRS), dan diagnosis medis. Pada pasien BPH biasanya
sering dialami oleh pasien laki-laki diatas umur 45 tahun.
1. Pre-Operasi
Data Subjektif :
 Klien mengatakan nyeri saat berkemih
 Sulit kencing
 Frekuensi berkemih meningkat
 Sering terbangun pada malam hari untuk miksi
 Keinginan untuk berkemih tidak dapat ditunda
 Nyeri atau terasa panas pada saat berkemih
 Pancaran urin melemah
 Merasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak
kosong dengan baik, merasa letih, tidak nafsu makan, mual
dan muntah
 Klien merasa cemas dengan pengobatan yang akan
dilakukan
Data Objektif :
 Ekspresi wajah tampak menahan nyeri
 Terpasang kateter
2. Post-Operasi
Data Subjektif
 Klien mengatakan nyeri pada luka post operasi
 Klien mengatakan tidak tahu tentang diet dan pengobatan
setelah operasi
Data Objektif
 Ekspresi tampak menahan nyeri
 Ada luka post operasi tertutup balutan
 Tampak lemah
 Terpasang selang irigasi, kateter, infus
1) Riwayat Kesehatan
Riwayat penyakit terdahulu, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit keluarga, pengaruh BPH terhadap gaya hidup, apakah
masalah urinari yang dialami oleh pasien.
2) Pengkajian Fisik
 Gangguan dalam berkemih seperti : Sering berkemih,
terbangun pada malam hari untuk berkemih, perasaan ingin
miksi yang sangat mendesak, Nyeri pada saat miksi,
pancaran urin melemah, rasa tidak puas sehabis miksi,
jumlah air kencing menurun dan harus mengedan saat
berkemih, aliran urin tidak lancar/terputus-putus, urin terus
menetes setelah berkemih, ada darah dalam urin, kandung
kemih terasa penuh, nyeri di pinggang, punggung, rasa
tidak nyaman di perut, urin tertahan di kandung kencing,
terjadi distensi kandung kemih
 Gejala umum seperti keletihan, tidak nafsu makan, mual
muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik
 Kaji status emosi : cemas, takut
 Kaji urin : jumlah, warna, kejernihan, bau
 Kaji tanda vital
3) Kaji Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan radiografi
b. Urinalisa
c. Lab seperti kimia darah, darah lengkap, urine
d. Kaji tingkat pemahaman dan pengetahuan pasien dan
keluarga tentang keadaan dan proses penyakit, pengobatan
dan cara perawatan di rumah

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan merupakan keputusan klinis mengenai seseorang,


keluarga atau masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses
kehidupan yang aktual atau potensial. Setelah mengumpulkan data-data klien
yang relevan, informasi tersebut dibandingkan dengan ukuran normal sesuai
umur klien, jenis kelamin, tingkat perkembangan, latar belakang sosial dan
psikologis. Diagnosa keperawatan menggunakan Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia (PPNI, 2017):
a. Diagnosa Keperawatan Pre-Operasi

1) Hambatan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi anatomik


(pembesaran prostat).
2) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik (spasme kandung
kemih ditandai dengan perasaan nyeri saat kencing
3) Ansietas berhubungan dengan stress dan perubahan besar terkait
status kesehatan ditandai dengan khawatir tentang perubahan
dalam peristiwa hidup (pembedahan) dan merasa takut.
b. Diagnosa Keperawatan intra-operasi
1) Hipotermia berhubungan dengan efek agen farmakologi
c. Diagnosa Keperawatan Post-Operasi
1) Resiko perdarahan berhubungan dengan program pengobatan
tindakan pembedahan
2. Perencanaan
Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat
yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian kelinis untuk mencapai luaran
(outcome) yang diharapkan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).
Prioritas Masalah
a. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf,distensi
kandung kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder dari
pembesaran prostat dan obstruksi uretra, spasme kandung kemih dan insisi
sekunder pada pembedahan.
b. Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik,
pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan
kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat, bekuan darah, edema,
trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.
c. Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan
statuskesehatan, kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau
menghadapi prosedur bedah.
d. Hipotermia berhubungan dengan efek agen farmakologis
e. Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler
(tindakan pembedahan), reseksi bladder, kelainan profil darah.
f. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih.
g. Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan impoten
akibat dari pembedahan.
h. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek pembedahan

Rencana Perawatan

a. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf,distensi


kandung kemih, infeksi urinaria, efek mengejan saat miksi sekunder
dari pembesaran prostat dan obstruksi uretra, spasme kandung kemih
dan insisi sekunder pada pembedahan.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama ….x24 jam
diharapkan nyeri berkurang dengan kriteria hasil:
- Klien mengatakan skala nyeri berkurang
- Ekspresi wajah klien tenang
- Klien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.
- Klien akan tidur / istirahat dengan tepat
- Tanda-tanda vital dalam batas normal.

Intervensi

- Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0-10)


Rasional: nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih
sekitar kateter menunjukkan spasme kandung kemih.
- Jelaskan pada klien tentang gejala dini spasmus kandung kemih.
Rasional: Klien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung
kemih.
- Pertahankan patensi kateter dan system drainase. Pertahankan
selang bebas dari lekukan dan bekuan
Rasional: mempertahankan fungsi kateter dan drainase system.
Menurunkan resiko distensi/spasme kandung kemih
- Berikan informasi yang akurat tentang kateter, drainase, dan
spasme kandung kemih
Rasional: menghilangkan ansietas dan meningkatkan kerjasama.
- Kolaborasi pemberian antispasmodic contoh:
Oksibutinin klorida (Ditropan), supositoria
Rasional: merilekskan otot polos, untuk memberikan penurunan
spasme dan nyeri
Propantelin bromide (pro-bantanin)
Rasional: menghilangkan spasme kandung kemih oleh kerja
antikolinergik.
b. Retensi urin akut/kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik,
pembesaran prostat, dekompensasi otot destrusor, ketidakmampuan
kandung kemih untuk berkontraksi dengan adekuat, bekuan darah,
edema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama ….x24 jam
diharapkan tidak terjadi retensi urine kriteria hasil:
- Klien menunjukkan residu pasca berkemih kurangdari 50 ml,
dengan tidak adanya tetesan atau kelebihan cairan.
- Menunjukkan perilaku yang meningkatkan control kandung
kemih/urinaria, klien mempertahankan keseimbangan cairan :
asupan sebanding dengan haluaran.

Intervensi

- Kaji haluaran urine dan system drainase, khususnya selama irigasi


berlangsung
Rasional: retensi dapat terjadi karena edema area bedah, bekuan
darah dan spasme kandung kemih.
- Bantu klien memilih posisi normal untuk berkemih
Rasional: mendorong pasase urine dan meningkatkan rasa
normalitas.
- Perhatikan waktu, jumlah berkemih dan ukuran aliran setelah
kateter dilepas.
Rasional: kateter biasa lepas 2-5 hari setelah bedah, tetapi
berkemih dapat berlanjut sehingga menjadi masalah untuk
beberapa waktu karena edema uretral dan kehilangan tonus.
- Dorong pemasukan cairan 3000 ml sesuai toleransi, batasi cairan
pada malam hari setelah kateter dilepas
Rasional: mempertahankan hidrasi adekuat dan perfusi ginjal untuk
aliran urine “penjadwalan” masukan cairan menurunkan kebutuhan
berkemih/gangguan tidur selama malam hari.
- Pertahankan irigasi kandung kemih continue (continous bladder
irrigation)/CBI sesuai indikasi pada periode pasca operasi
Rasional: mencuci kandung kemih dari bekuan darah dan debris
untuk mempertahankan patensi kateter.
c. Ansietas/cemas berhubungan dengan krisis situasi, perubahan
statuskesehatan, kekhawatiran tentang pengaruhnya pada ADL atau
menghadapi prosedur bedah.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama ….x24 jam
diharapkan klien tampak rileks dengan kriteria hasil:
- Verbalisasi khawatir akibat kondisi yang dihadapi menurun
- Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi
- Menunjukkan rentang tepat tentang perasaan
- Penurunan rasa takut

Intervensi

- Dampingi klien dan bina hubungan saling percaya


Rasional: menunjukkan perhatian dan keinginan untuk membantu.
- Berikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan
Rasional: Membantu klien dalam memahami tujuan dari suatu
tindakan.
- Dorong klien/orang terdekat untuk menyatakan masalah/perasaan
Rasional: Memberikan kesempatan pada klien dan konsep solusi
pemecahan masalah
- Beri informasi pada klien sebelum dilakukan tindakan
Rasional: memungkinkan klien untuk menerima kenyataan dan
menguatkan kepercayaan pada pemberi perawatan dan pemberian
informasi.
d. Hipotermia berhubungan dengan efek agen farmakologis
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama ….x24 jam
diharapkan suhu tubuh pasien dalam rentan normal dengan ktiteria
hasil:
- Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program
pengobatan

Intervensi

- Menggigil berkurang
Rasional: Mengetahui keadaan umum pasien
- Suhu tubuh dalam rentan normal
Rasional: mengetahui penyebab hipotermia sehingga dapat
membantu dalam pemberian intervensi
- Suhu teraba hangat
Rasional: untuk mengetahui perburukan kondisi akibat hipotermia
e. Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler
(tindakan pembedahan), reseksi bladder, kelainan profil darah.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama ….x24 jam
diharapkan tidak terjadi perdarahan dengan kriteria kriteria hasil:
- Klien tidak menunjukkan tanda-tanda perdarahan
- Tanda-tanda vital dalam batas normal.
- Urine lancar lewat kateter

Intervensi
- Jelaskan pada klien tentang sebab terjadi perdarahan setelah
pembedahan dan tanda-tanda perdarahan.
Rasional: Menurunkan kecemasan klien dan mengetahui tanda-
tanda perdarahan.
- Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalam saluran
kateter.
Rasional: Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan
peregangan dan perdarahan kandung kemih
- Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk
memudahkan defekasi
Rasional: Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang
akan mengendapkan perdarahan
- Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rektal atau
huknah, untuk sekurang-kurangnya satu minggu
Rasional: Dapat menimbulkan perdarahan prostat
- Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapantraksi
dilepas.
Rasional: Traksi kateter menyebabkan pengembangan balonke sisi
fosa prostatik, menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3-6 jam
setelah pembedahan
- Observasi tanda-tanda vital tiap 4 jam, masukan dan keluarnya
warna urine
Rasional: Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi
yang tepat mencegah kerusakan jaringan yang permanen.
f. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama ….x24 jam
diharapkan klien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi dengan
kriteria hasil :
- Klien tidak mengalami infeksi.
- Dapat mencapai waktu penyembuhan.
- Tanda-tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda-tanda
syok.
Intervensi

- Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan


steril.
Rasional: Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi.
- Anjurkan intake cairan yang cukup (2500-3000) sehingga dapat
menurunkan potensial infeksi.
Rasional: Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK
dikurangi dan mempertahankan fungsi ginjal
- Pertahankan posisi urine bag dibawah
Rasional: Menghindari reflex balik urine yang dapat memasukkan
bakteri ke kandung kemih.
- Observasi tanda-tanda vital, laporkan tanda-tanda shock dan
demam.
Rasional: Mencegah sebelum terjadi shock.
- Observasi urine: warna, jumlah, bau.
Rasional: Mengidentifikasi adanya infeksi.
- Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotik
Rasional: Untuk mencegah infeksi dan membantu proses
penyembuhan.
g. Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan
impoten akibat dari pembedahan.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama ….x24 jam
diharapkan klien tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun
sampai tingkat dapat diatasi dengan kriteria hasil:
- Menyatakan pemahaman situasional individu, menunjukan
pemecahan masalah dan menunjukkan rentang yang tepat tentang
perasaan dan penurunan rasa takut.

Intervensi

- Dampingi klien dan bina hubungan saling percaya


Rasional: Menunjukka perhatian dan keinginan untuk membantu
- Berikan informasi yang tepat tentang harapan kembalinya fungsi
seksual
Rasional: impotensi fisiologis terjadi bila syaraf perineal dipotong
selama prosedur radikal.
- Diskusikan ejakulasi retrograde bila pendekatan
transurethral/suprapubik digunakan
Rasional: cairan seminal mengalir kedalam kandung kemih dan
disekresikan melalui urine, hal ini tidak mempengaruhi fungsi
seksual tetapi akan menurunkan kesuburan dan menyebabkan urine
keruh
- Anjurkan klien untuk latihan perineal dan interupsi/continue aliran
urin
Rasional: meningkatkan peningkatan control otot kontinensia urin
dan fungsi seksual.
h. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek
pembedahan
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama ….x24 jam
diharapkan kebutuhan istirahat dan tidur klien terpenuhi dengan
kriteria hasil :
- Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup
- Klien mengungkapan sudah bisa tidur
- Klien mampu menjelaskan factor penghambat tidur

Intervensi

- Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan


kemungkinan cara untuk menghindari.
Rasional: meningkatkan pengetahuan klien sehingga mau
kooperatif dalam tindakan perawatan
- Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan
mengurangi kebisingan
Rasional: Suasana tenang akan mendukung istirahat
- Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan
tidur.
Rasional: Menentukan rencana mengatasi gangguan
- Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat
mengurangi nyeri/analgetik.
Rasional: Mengurangi nyeri sehingga klien bisa istirahat dengan
cukup.

3. Implementasi
Implementasi adalah pengelolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah
disusun pada tahap perencanaan. Menurut Wahyuni (2016) implementasi tindakan
keperawatan dibedakan berdasarkan kewenangan dan tanggung jawab perawat secara
professional antara lain:
a. Independent yaitu suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh perawat
tanpa petunjuk dan perintah dari dokter atau tenaga kesehatan lainnya.
b. Interdependent yaitu suatu kegiatan yang memerlukan suatu kerja
sama dengan tenaga kesehatan lainnya, misalnya tenaga sosial, ahli
gizi, fisioterapi dan dokter.
c. Dependent yaitu pelaksanaan rencana tindakan medis

Tujuan dari implementasi adalah membantu dalam mencapai tujuan yang telah di
tetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit,
pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping (Efendi & Makhfudli, 2010).
Implementasi keperawatan terdiri dari 7 proses yaitu:

a. Bekerja sama dengan pasien dalam pelaksanaan tindakan


Keperawatan.
b. Kolaborasi profesi kesehatan, meningkatkan status kesehatan.
c. Melakukan tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah kesehatan
klien.
d. Melakukan supervisi terhadap tenaga pelaksanaan, tenaga keperawatan
dibawah tanggung jawabnya.
e. Menjadi coordinator pelayanan dan advokasi terhadap klien tentang
status kesehatan dan fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada.
f. Memberikan pendidikan kepada klien tentang status keluarga
mengenai konsep, keterampilan asuhan diri serta membantu klien
memodifikasi lingkungan yang digunakan.
g. Mengkaji ulang dan merevisi pelaksanaan tindakan keperawatan
berdasarkan respon klien.
4. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap teralhir dalam proses keperawatan. Tahap evaluasi dalam
keperawatan menyangkut pengumpulan data subjektif dan data objektif yang akan
menunjukkan apakah tujuan asuhan keperawatan sudah tercapai sepenuhnya,
sebagian, atau belum tercapai. Serta menentukan masalah apa yang perlu dikaji,
direncanakan, dilaksanakan, dan dinilai kembali. Tujuan tahap evaluasi adalah
untuk memberikan umpan balik rencana keperawatan, menilai, meningkatkan
mutu asuhan keperawatan melalui perbandingan asuhan keperawatan yang
diberikan serta hasilnya dengan standar yang telah ditetapkan lebih dulu.
WOC BPH

Estrrogen Perubahan keseimbangan


meningkat antara hormone estrogen dan
testosterone

Apoptosis Proses menua Dehidro Testosterone (DHT)


menurun

Diikat reseptor (dalam sitoplasma sel Interaksi sel


Pembentukan Estrogen prostat)
meningkat dan epitel dan
sel baru
testosterone stroma
menurun
Mempengaruhi
Sel punca inflamasi
inti sel (RNA)
meningkat Epidermal
growth factor
Ketidakseimbangan meningkat & Volume
hormon transforming prostat
Poliferasi sel
Poliferasi sel growth factor tumbuh lebih
transit menurun cepat

Ketidaktepatan
aktivitas sel Hyperplasia pada epitel dan
punca stroma pada kelenjer prostat

Produksi Benign Prostatic Hyperplasia


berlebihan
Penyempitan saluran Prosedur
PRE OPERASI
uretra prostica Pembedahan
perambatan
antara suhu
Perubahan Terpapar suhu permukaan kulit
Menghambat aliran INTRA
status lingkungan dan suhu
urine OPERASI Suhu tubuh
kesehatan rendah lingkungan
dibawah nilai
normal
Bendungan Khawatir Gangguan
Ansietas Efek
vesica urinaria mengenai pengaturan
anastesi
pembedahan suhu
HIPOTERMIA
Peningkatan tekanan
intra vesical
Merangsang Pasien
Tekanan
Persepsi nyeri mengeluh NYERI AKUT
mekanis nosiseptor
Peningkatan kontraksi nyeri di supra
otot destrusor pubis
trabekulasi
Kontraksi otot Kontraksi tidak Tidak bisa Tindakan
Hipertropi otot RETENSI URIN Trauma
suprapubik edekuat berkemih invasif
bekas insisi

Hipertropi otot Urgency


destrusor Perdarahan
Frequency
Gejala iritatif
Dysuria
Terbentuknya
GANGGUAN RESIKO
selula sekula Hesitansi,
Gejala ELIMINASI URINE KETIDAKSEIMBANGAN
obstruktif Intermittency CAIRAN
Terminal Dribbling
Pancaran lemah
Rasa tidak puas
Prostatektomi Pemasangan
/ Tindakan POST OPERASI
TURP Kateter

Trauma
Merangsang Persepsi NYERI AKUT
bekas insisi Traksi kateter
nosiseptor nyeri

Kurang Pembatasan
informasi gerak
pasca bedah

Ganguan
Mobilitas Fisik
Daftar Pustaka

Azizah, L. (2018). Asuhan Keperawatan Klien Post Operasi Bph (Benign Prostatic
Hyperplasia) Dengan Masalah Nyeri Akut Di Rumah Sakit Panti Waluya
Malang. Jurnal Keperawatan, 2.
Basuki B. Purnomo. 2000. Dasar-dasar Urologi. Jakarta : CV Sagung Seto. h. 1- 4.
Brunner and Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Dipiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., Dipiro, C.V., 2015,
Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition-Section 4 Chapter 19, The
McGraw-Hill Companies, Inc, United States.
Haryono, Rudi.2012. Keperawatan medical bedah system perkemihan.Yogyakarta

:rapha publishing
Padila. (2012). Buku Ajar: Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika
PPNI, T. P. S. D. (2017). Buku Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (1st ed.).
Jakarta: DPP PPNI.
Prabowo Eko dan Pranata Eka. 2014 .Buku ajar asuhan keperawatan sistem
perkemihan. Yogyakarta : Nuha Medika
Saputra, R. N. I. (2016). Kejadian Batu Saluran Kemih Pada Pasien Benign Prostate
Hyperplasia (BPH) Periode Januari 2013 – Desember 2015 Di RSUP Dr.
Kariadi Semarang. [KTI]. Diakses dari
http://eprints.undip.ac.id/50788/3/RISKI_NOVIAN_INDRA_SAPUTRA_22
010112110111_Lap.KTI_BAB_II.pdf pada 3 desember 2022

Setiadi. (2012). Konsep dan Penulisan Dokumentasi Proses Keperawatan Teori dan
Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta: EGC.
Skinder D, Zacharia I, Studin J, Covino J . Benign Prostatic Hyperplasia. Journal of
the American Academy of Physician Assistants. 2016;29(9):19-23
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Widijanto G. 2011. Nursing: Menafsirkan Tanda-Tanda dan Gejala Penyakit.
PT

Indeks Permata Puri Media : Jakarta BaratYustiana Olfah. (2016). Bahan Ajar Keperawatan
Dokumentasi Keperawatan. Kementerian Kesehatan RI

Anda mungkin juga menyukai