Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)

1. Pengertian Benigna Prostat Hiperplasia


Benigna prostat hiperplasia (BPH) merupakan pembesaran progresif
kelenjar prostat yang menyebabkan penyumbatan saluran kemih dan
pembatasan aliran urin (Nurmariana, 2014). Benigna prostate hiperplasia
merupakan kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan
penyebab kedua yang paling sering untuk perencanaan medis pada pria diatas
usia 60 tahun (Smeltzer & Bare, 2013).
Hipertrofi merupakan kelainan yang sering ditemukan. Istilah hipertrofi
sebenarnya kurang tepat karena yang terjadi sebenarnya adalah hiperplasia
kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan
menjadi simpai bedah (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
BPH merupakan pembesaran kelenjar prostat, memanjang ke atas ke
dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium
uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis)
secara bertahap (Febrianto & Ismonah, 2015).
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Benigna
Prostate Hiperplasia (BPH) adalah pembesaran dari prostat yang biasanya
terjadi pada orang yang berusia lebih dari 60 tahun yang mendesak saluran
perkemihan.

2. Mekanisme Etiologi Benigna Prostat Hiperplasia


Menurut Tanto (2014) teori yang umum digunakan adalah bahwa BPH
bersifat multifactorial dan pengaruh oleh sistem endokrin, selain itu ada pula
yang menyatakan bahwa penuaan menyebabkan peningkatan kadar estrogen
yang menginduksi reseptor adrogen sehingga meningkat sensitivitas prostat
terhadap testosteron bebas, secara patologis, pada BPH terjadi proses
hiperplesia sejati disertai peningkatan jumlah sel. Pemeriksaan micropis
menunjukan bahwa bPH tersusun atas stroma dan epitel dengan rasio yang
bervariasi.
3. Tipe dan Jenis Benigna Prostat Hiperplasia
Derajat berat BPH menurut Tanto (2014) adalah sebagai berikut :
1) Stadium I
Ada obstruksi tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine
sampai habis.
2) Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine
walaupun tidak sampai habis masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa
tidak enak saat BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
3) Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc
4) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan. Urine
menetes secara periodik.

4. Faktor yang Mempengaruhi Benigna Prostat Hiperplasia


Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :
1) Dihydrotestosteron Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen
menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami
hiperplasi.
2) Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
3) Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
4) Interaksi stroma – epitel
5) Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi
stroma dan epitel.
6) Berkurangnya sel yang mati Estrogen yang meningkat menyebabkan
peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
7) Teori sel stem Menerangkan bahwa terjadinya poliferasi abnormal sel
stem sehingga menyebabkan produksi sel stoma dan sel epitel kelenjar
prostat menjadi berlebihan (Basuki B Purnomo,2013).
5. Patofisiologi Benigna Prostat Hiperplasia
Hal ini banyak dipengaruhi oleh Growth factor. Basic fibroblast growth
factor (B-FGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan
konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostat jinak.
Proses reduksi ini difasilitasi oleh enzim areduktase.
BFGF dapat dicetuskan oleh mikrotrauma karena miksi, ejakulasi dan
infeksi. Teori kebangkitan kembali (reawakening) atau reinduksi dari
kemampuan mesenkim sinus urogenital untuk berploriferasi dan membentuk
jaringan prostat. Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan
sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan.
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi urin pada leher
buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan
merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor
ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor
menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi
untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin yang selanjutnya dapat
menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.
Adapun patofisiologi dari masing-masing gejala yaitu :
1) Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah
gambaran awal dan menetap dari BPH. Retensi akut disebabkan oleh
edema yang terjadi pada prostat yang membesar.
2) Hesitancy (kalau mau miksi harus menunggu lama), terjadi karena detrusor
membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra.
3) Intermittency (kencing terputus-putus), terjadi karena detrusor tidak dapat
mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa
belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urin yang banyak
dalam buli-buli.
4) Nocturia (miksi pada malam hari) dan frekuensi terjadi karena
pengosongan yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar
miksi lebih pendek.
5) Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan
normal dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang
selama tidur.
6) Urgensi (perasaan ingin miksi sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada
saat miksi) jarang terjadi. Jika ada disebabkan oleh ketidak stabilan
detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter.
7) Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya
penyakit urin keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli
mencapai complience maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik
melebihi tekanan spingter.
8) Hematuri biasanya disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah submukosa
pada prostat yang membesar.
9) Lobus yang mengalami hipertropi dapat menyumbat kolum vesikal atau
uretra prostatik, sehingga menyebabkan pengosongan urin inkomplit atau
retensi urin. Akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal
(hidronefrosis) secara bertahap, serta gagal ginjal.
10) Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat stasis urin, di mana sebagian
urin tetap berada dalam saluran kemih dan berfungsi sebagai media untuk
organisme infektif.
11) Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan dalam buli-
buli, batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri.
Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat
terjadi pielonefritis.
12) Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama kelamaan dapat
menyebabkan hernia dan hemoroid.

Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa


majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral
sebagai poliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal
yang tersisa.Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma
fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran
prostate terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih
juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran
prostate, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostate meningkat, serta
otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau
divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan
berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi dekompensasi
sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa mengosongkan vesika urinaria
dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin yang statis akan menjadi
alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri (Baradero, 2011).

6. Tanda dan Gejala/ Manifestasi klinis dari Benigna Prostat Hiperplasia


Menurut Tanto (2014) pada umumnya pasien BPH datang dengan gejala-
gejala truktus urinarius bawah (lower urinari tract symptoms -LUTS) yang
terdiri atas gejala obstruksi dan iritasi.
Gejala obtruksi :
a. Miksi terputus
b. Hesitancy: saat miksi pasien harus menunggu sebelum urin keluar
c. Harus mengedang saat mulai miksi
d. Kurangannya kekuatan dan pancaran urine
e. Sensasi tidak selesai berkemih
f. Miksi ganda (berkemih untuk kedua kalinya dala waktu ≤ 2 jam setelah
miksi sebelumnya )
g. Menetes pada akhir miksi

Gejala Iritasi

a. Frekuensi sering miksi


b. Urgensi : rsa tidak dapat menahan lagi, rasa ingin miksi
c. Nokuria : terbangun dimalam hari untuk miksi
d. Inkotenensia: urine keluar di luar kehendak

7. Masalah yang mungkin muncul /Komplikasi dari Benigna Prostat


Hiperplasia
Komplikasi yang dapat terjadi pada Benign Prostatic Hyperplasia adalah
retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter dan
hidronefrosis. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi
urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi
menampung urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat
sehingga menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Proses perusakan ginjal
dapat dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi. Kemudian komplikasi
lainnya adalah hernia/hemoroid, kerusakan traktus urinarius bagian atas
akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada
miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan
menimbulkan hernia dan hemoroid. Hematuria, sistitis dan pielonefritis
(Andra dan Yessie., 2013).
Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang
menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika
urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
(Sjamsuhidajat dan de Jong, 2010).
8. Pathways

Pathway : (Nurarif.A.H. dan Kusuma.H. (2015). APLIKASI Asuhan


Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC.
Jogjakarta: MediAction.
9. Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah mengembalikan kualitas hidup
pasien. Terapi yang ditawarkan pada pasien tergantung pada derajat keluhan,
keadaan pasien, maupun kondisi obyektif kesehatan pasien yang diakibatkan
oleh penyakitnya (Anonim, 2015). Pilihannya adalah mulai dari watchful
waiting, terapi farmakologi, dan terapi intervensi (Lee, 2015).
1) Watchful Waiting diberikan kepada pasien dengan tingkat penyakit
ringan. Pasien ditinjau pada interval waktu 6 sampai 12 bulan dan
diedukasikan tentang 16 perubahan perilaku (Lee, 2015). Watchful
Waiting adalah strategi manajemen dimana pasien dipantau oleh dokter
akan tetapi tidak menerima intervensi aktif untuk BPH. Tingkat gejala
distress pasien sangat bervariasi sehingga dilakukan pemantauan. Gejala
distress data dikurangi dengan langkah-langkah sederhana seperti
menghindari atau mengurangi asupan cairan pada waktu tidur,
mengurangi asupan kafein dan alkohol (McVary et al, 2011).
2) Medical Therapies atau terapi farmakologi adalah terapi yang diberikan
kepada pasien BPH yang memiliki gejala sedang. Terapi farmakologi
mengganggu efek stimulasi testosterone pada pembesaran kelenjar
prostat atau melemaskan otot polos prostat. Terapi farmakologi yang
digunakan adalah antagonis α-adrenergic dan inhibitor 5α-reduktase.
Antagonis α-adrenergic memiliki onset yang lebih cepat dan
memungkinkan untuk mengatasi gejala pada BPH, sedangkan 5α-
reduktase berfungsi untuk menurunkan volume prostat (Lee, 2015).
3) Terapi Intervensi
a. Transurethral needle ablation (TUNA) adalah teknik yang memakai
energi dari frekuensi radio yang menimbulkan panas sampai
mencapai 100oC, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat.
Sistem ini terdiri atas kateter TUNA yang dihubungkan dengan
generator yang dapat membangkitkan energi pada frekuensi radio
490 kHz. Kateter dimasukkan ke dalam uretra melalui sistoskopi
dengan pemberian anastesi topikal xylocaine sehingg jarum yang
terletak pada ujung kateter terletak pada kelenjar prostat (Purnomo,
2010). Semakin tinggi suhu di dalam jaringan prostat, semakin baik
hasil klinik yang didapatkan, tetapi semakin banyak juga efek
samping yang ditimbulkan. Teknik ini seringkali tidak memerlukan
perawatan di rumah sakit, tetapi masih harus memakai kateter dalam
jangka waktu lama. Angka terapi ulang TUNA (20-50% dalam 20
bulan). Stent dipasang intraluminal diantara leher kandung kemih
dan di proksimal verumontanum, sehingga urine dapat melewati
lumen uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer 18
atau permanen. Stent yang telah terpasang bisa mengalami
enkrustasi, obstruksi, menyebabkan nyeri perineal, dan dysuria
(Anonim, 2015).
b. Transurethral gelombang mikro thermotherapy (TUMT) adalah salah
satu dari berbagai prosedur yang digunakan untuk pengobatan gejala
saluran kemih bawah (LUTS) karena hiperplasia prostat jinak (BPH)
pada pria. TUMT dilakukan dengan memasukkan kateter kemih
dirancang khusus ke dalam kandung kemih, yang memungkinkan
gelombang mikro untuk diposisikan dalam prostat untuk
memanaskan dan menghancurkan jaringan prostat hiperplastik.
Pasien yang menggunakan TUMT adalah pasien yang mengalami
gejala sedang hingga berat akibat pembesaran prostat jinak (BPH),
orang yang telah menjalani terapi medis tapi gagal dan orang-orang
yang tidak ingin ditangani secara medis (Rubenstein, 2015).

10. Pemeriksaan Penunjang


1) Urinalisa.
2) Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel
leukosit, sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri
harus diperhitungkan adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran
kemih, batu, infeksi saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat
menyebabkan hematuri. Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah
merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan status metabolik.
Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai
PSA < 4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml,
dihitung. Prostate specific antigen density (PSAD) yaitu PSA serum
dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD > 0,15, sebaiknya dilakukan
biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml.
3) Pemeriksaan darah lengkap Karena perdarahan merupakan komplikasi
utama pasca operatif maka semua defek pembekuan harus diatasi.
Komplikasi jantung dan pernafasan biasanya menyertai penderita BPH
karena usianya yang sudah tinggi maka fungsi jantung dan pernafasan
harus dikaji.Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung
jenis leukosit, CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin
serum.
4) Pemeriksaan radiologis Biasanya dilakukan foto polos abdomen,
pielografi intravena, USG, dan sitoskopi. Tujuan pencitraan untuk
memperkirakan volume BPH, derajat disfungsi buli, dan volume residu
urin.Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius,
pembesaran ginjal atau bulibuli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik
sebagai tanda metastase dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat
kegagalan ginjal. Dari pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit
dari fungsi renal, hidronefrosis dan hidroureter, gambaran ureter
berbelok-belok di vesika urinaria, residu urin. Dari USG dapat
diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi
residu urin dan batu ginjal. BNO /IVP untuk menilai apakah ada
pembesaran dari ginjal apakah terlihat bayangan radioopak daerah traktus
urinarius. IVP untuk melihat /mengetahui fungsi ginjal apakah ada
heronefrosis. Dengan IVP buli-buli dapat dilihat sebelum, sementara dan
sesudah isinya dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat
adanya tumor, divertikel. Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk
melihat adanya refluks urin. Sesudah kencing adalah untuk menilai
residual urin.
TEORI KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPHa

1. Pengkajian Fokus Keperawatan


Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan
untuk mengumpulkan informasi atau data tentang klien, agar dapat
mengidentifikasi, mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan
keperawatan klien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan (Nursalam,
2012).
Pengkajian data dasar dalam pengkajian klien dengan Benigh Prostatic
Hyperplasia (BPH)dilakukan mulai dari 3 jam–sampai 3 hari adalah :
1) Pemeriksaan fisik
1. Kepala dan leher Inspeksi : merintih, menahan aasakit. Rambut :
Lurus/keriting, warna, Ketombe, kerontokan Mata : Simetris/tidak,
pupil isokhor, akonjunctiva tidak anemis Hidung : Terdapat
mukus/tidak, pernafasan cuping hidung. Telinga : Simetris, terdapat
mukus/tidak Bibir : Lembab,tidak ada stomatitis. Palpasi : Tidak ada
pembesaran kelenjar thyroid
2. Dada Inspeksi : Simetris, tidak terdapat tarikan otot bantu pernafasan
Palpasi : Denyutan jantung teraba cepat, badan terasa panas, nyeri
tekan(-) Perkusi : Jantung : Dullness Auskultasi : Suara nafas normal
3. Abdomen Inspeksi : terdapat luka post operasi di abdomen region
inguinal Palpasi : Teraba massa, terdapat nyeri tekan pada daerah
inguinalis Perkusi : Dullness Auskultasi : Terdengar bising usus
(N=<5 permenit)
4. Ekstremitas Atas : Simetris, tidak ada edema Bawah : Simetris, tidak
ada edema
5. Genetalia Inspeksi : Scrotum kiri dan kanan simetris, ada lesi

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernytaan yang jelas mengenai status
kesehatan atau masalah actual atau resiko dalam rangka mengidentifikasi dan
menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan, dan
mencegah maslah keperawatan klien yang ada pada tanggung jawabnya.
Adapun diagnosa keperawatan yang muncul adalah :
a. Pre Operasi :
1) Ansietas b.d kurangnya pengetahuan dan informasi
2) Nyeri akut b.d trauma jaringan (insisi operasi), pemasangan kateter
spasme kandungan
b. Post Operasi :
1) Nyeri akut b.d trauma jaringan (insisi operasi), pemasangan kateter
spasme kandungan
2) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d tidak
adekuatnya intake
3) Gangguan pola tidur b. perubahan status kesehatan
4) Resiko tinggi infeksi b.d pembedahan

3. Perencanaan Keperawatan
1) Nyeri akut b.d trauma jaringan (insisi operasi), pemasangan kateter
spasme kandungan
SLKI : Tingkat Nyeri (L.08066)
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan
tingkat nyeri menurun dan kontrol nyeri meningkat dengan kriteri hasil :
a. Tidak mengeluh nyeri
b. Tidak meringis
c. Kesulitan tidur
d. Tidak bersikap protektif
e. Tidak gelisah

SIKI : Manajemen Nyeri (I. 08238)

1. Observasi
 lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
 Identifikasi skala nyeri
 Identifikasi respon nyeri non verbal
 Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
 Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
 Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
 Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
 Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
 Monitor efek samping penggunaan analgetik
2. Terapeutik
 Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat,
aroma terapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
 Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
3. Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Anjurkan memonitor nyri secara mandiri
 Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
 Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

Rasional :

1) Mengetahui lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas


nyeri, skala nyeri, respon nyeri non verbal, faktor yang memperberat
dan memperingan nyeri, menggali pengetahuan dan keyakinan pasien
tentang nyeri, mengetahui pengaruh budaya terhadap respon nyeri,
pengaruh nyeri pada kualitas hidup, mengetahui keberhasilan terapi
komplementer yang sudah diberikan
2) Memberikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri dan
merasa rileks (terapi pijat, teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin)
3) Mengatur lingkungan yang memperberat rasa nyeri agar mengurangi
rasa nyeri (mis. Suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan)
4) Memfasilitasi istirahat dan tidur agar pasien nyaman
5) Memperrtimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri

2) Ansietas b.d kurangnya pengetahuan dan informasi


SLKI : Tingkat Ansietas (L.09093)
a. Perilaku gelisah menurun
b. Perilaku tegang menurun
c. Anoreksia tidak ada
d. Frekuensi pernapasan membaik
e. Pucat tidak ada
SIKI : Reduksi Anxietas (I.09314)

1.  Observasi
 Identifikasi saat tingkat anxietas berubah (mis. Kondisi, waktu,
stressor)
 Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
 Monitor tanda anxietas (verbal dan non verbal)
2. Terapeutik
 Ciptakan suasana  terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan
 Temani pasien untuk mengurangi kecemasan , jika memungkinkan
 Pahami situasi yang membuat anxietas
 Dengarkan dengan penuh perhatian
 Gunakan pedekatan yang tenang dan meyakinkan
 Motivasi mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
 Diskusikan perencanaan  realistis tentang peristiwa yang akan datang
3. Edukasi
 Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami
 Informasikan secara factual mengenai diagnosis, pengobatan, dan
prognosis
 Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu
 Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif, sesuai
kebutuhan
 Anjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
 Latih kegiatan pengalihan, untuk mengurangi ketegangan
 Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat
 Latih teknik relaksasi
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian obat anti anxietas, jika perlu

Rasional :

1) Mengidentifikasi saat tingkat anxietas berubah (mis. Kondisi, waktu,


stressor), kemampuan mengambil keputusan
2) Memonitor tanda anxietas (verbal dan non verbal)
3) Menjelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami
4) Menginformasikan secara factual mengenai diagnosis, pengobatan, dan
prognosis
5) Menganjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien, jika perlu
6) Menganjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif, sesuai
kebutuhan
7) Menganjurkan mengungkapkan perasaan dan persepsi
8) Melatih kegiatan pengalihan, untuk mengurangi ketegangan
9) Melatih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang tepat
10) Melatih teknik relaksasi

3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d tidak


adekuatnya intake
SLKI : Status nutrisi membaik (L. 03030)
SIKI : Manajemen Nutrisi (I. 03119)

1. Observasi
 Identifikasi status nutrisi
 Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
 Identifikasi makanan yang disukai
 Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
 Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
 Monitor asupan makanan
 Monitor berat badan
 Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
2. Terapeutik
 Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
 Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. Piramida makanan)
 Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
 Berikan makan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
 Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
 Berikan suplemen makanan, jika perlu
 Hentikan pemberian makan melalui selang nasigastrik jika asupan oral
dapat ditoleransi
3. Edukasi
 Anjurkan posisi duduk, jika mampu
 Ajarkan diet yang diprogramkan
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis. Pereda nyeri,
antiemetik), jika perlu
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrient yang dibutuhkan, jika perlu

4) Risiko infeksi b.d kerusakan integritas kulit


SLKI : Tingkat Infeksi (L.14137)
1) Demam menurun
2) Kemerahan menurun
3) Nyeri menurun
4) Cairan berbau busuk tidak ada

SIKI : Pencegahan Infeksi (I.14539)

1. Observasi

 Identifikasi riwayat kesehatan dan riwayat alergi


 Identifikasi kontraindikasi pemberian imunisasi
 Identifikasi status imunisasi setiap kunjungan ke pelayanan kesehatan

2. Terapeutik

 Berikan suntikan pada pada bayi dibagian paha anterolateral


 Dokumentasikan informasi vaksinasi
 Jadwalkan imunisasi pada interval waktu yang tepat

3. Edukasi

 Jelaskan tujuan, manfaat, resiko yang terjadi, jadwal dan efek samping
 Informasikan imunisasi yang diwajibkan pemerintah
 Informasikan imunisasi yang melindungiterhadap penyakit namun saat
ini tidak diwajibkan pemerintah
 Informasikan vaksinasi untuk kejadian khusus
 Informasikan penundaan pemberian imunisasi tidak berarti mengulang
jadwal imunisasi kembali
 Informasikan penyedia layanan pekan imunisasi nasional yang
menyediakan vaksin gratis

5) Risiko perdarahan b.d gangguan gastrointestinal


SLKI : Tingkat Pengetahuan (L.12111)
a. Keluhan mual menurun
b. Jumlah saliva menurun
c. Pucat menurun
d. Takikardia
e. Dilatasi pupil
SIKI : Pencegahan Perdarahan (I.02067)
Observasi

 Monitor tanda dan gejala perdarahan


 Monitor nilai hematokrit/homoglobin sebelum dan setelah kehilangan
darah
 Monitor tanda-tanda vital ortostatik
 Monitor koagulasi (mis. Prothombin time (TM), partial
thromboplastin time (PTT), fibrinogen, degradsi fibrin dan atau
platelet)

Terapeutik

 Pertahankan bed rest selama perdarahan


 Batasi tindakan invasif, jika perlu
 Gunakan kasur pencegah dikubitus
 Hindari pengukuran suhu rektal

Edukasi

 Jelaskan tanda dan gejala perdarahan


 Anjurkan meningkatkan asupan cairan untuk menghindari konstipasi
 Anjurkan menghindari aspirin atau antikoagulan
 Anjurkan meningkatkan asupan makan dan vitamin K
 Anjrkan segera melapor jika terjadi perdarahan

Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian obat dan mengontrol perdarhan, jika perlu


 Kolaborasi pemberian pelunak tinja, jika perlu
4. Pelaksanaan Keperawatan
Pelaksanaan atau implementasi merupakan bagian aktif dalam asuhan
keperawatan yang dilakukan oleh perawat sesuai dengan rencana tindakan.
Tindakan keperawatan meliputi, tindakan keperawatan, observasi
keperawatan pendidikan kesehatan/keperawatan, tindakan medis yang
dilakukan oleh perawat atau tugas limpah,(Suprajitno, 2014).
Pelaksanaan implementasi nyeri akut (T. PPNI, 2018) meliputi :
1) Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
2) Mengidentifikasi respon nyeri non verbal
3) Mengidentifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
4) Memonitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
5) Memonitor efek samping penggunaan analgetik
6) Memberikan teknik non farmakologis untuk mengurangi nyeri
(misalnya akupresure, terapi pijat, kompres hangat/dingin)
7) Mengontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (misalnya suhu
ruangan, pencahayaan, dan kebisingan)
8) Memfasilitasi istirahat dan tidur
9) Menjelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
10) Mengkolaborasikan pemberian analgesik

Tindakan keperawatan adalah perilaku atau aktivitas spesifik yang


dikerjakan oleh perawat untuk mengimplementasikan perencanaan
keperawatan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018). Tindakan keperawatan
yang diberikan disesuaikan dengan perencanaan keperawatan yang telah
dirancang oleh perawat.

1) Memonitor pola dan jam tidur


2) Memonitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
3) Menyediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis. cahaya,
suara, kunjungan)
4) Melakukan rentang gerak pasif dan/atau aktif
5) Memfasilitas duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah
atau berjalan
6) Menganjurkan tirah baring
7) Menganjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
8) Mengajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan

Klasifikasi perencanaan keperawatan retensi urine termasuk dalam


kategori fisiologi dan termasuk ke dalam subkategori (Tim Pokja SIKI
DPP, 2018). Dalam perencanaan keperawatan dibuat prioritas dengan
kolaborasi pasien dan keluarga, konsultasi tim kesehatan lain, modifikasi
asuhan keperawatan dan catat informasi yang relevan tentang kebutuhan
perawatan kesehatan pasien dan penatalaksanaan klinik.

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah membandingkan status keadaan pasien dengan tujuan atau
kriteria hasil yang ditetapkan. Evaluasi merupakan tahap akhir dari suatu
proses keperawatan untuk dapat menentukan suatu keberhasilan asuhan
keperawatan. Evaluasi didokumentasikan dalam bentuk SOAP (subjektif,
objektif, assessment, planning). Adapun evaluasi keperawatan yang
diharapkan pada pasien dengan hipertermi yaitu menggigil menurun,kulit
merah menurun, takikardi menurun, takipnea menurun, suhu tubuh membaik
(dalam rentang normal 36,5ºC – 37,5ºC), suhu kulit membaik, tekanan darah
membaik (117/77 mmHg) ,(Suprajitno, 2014).

Proses evaluasi menurut Rohmah dan Walid (2014), proses evaluasi,


meliputi :
a) Mengatur pencapaian tujuan
1) Tujuan dari aspek kognitif, pengukuran kognitif dapat dilakukan
dengan empat cara yaitu : interview, komprehensif, aplikasi fakta
dan tulis.
2) Tujuan aspek afektif, untuk mengukur pencapaian tujuan aspek
afektif. Dapat dilakukan dengan cara observasi, feed back dari
kesehatan lain, psikomotor, perubahan fungsi tubuh.
b) Macam-macam evaluasi
1) Evaluasi proses (Formative)
a) Evaluasi yang dilakukan setiap selesai tindakan.
b) Berorientasi pada etiologis.
c) Dilakukan secara terus-menerus sampai tujuan yang telah
ditentukan tercapai.
2) Evaluasi hasil (Suamative)
a) Evaluasi yang dilakuakn akhir tindakan keperawatan secara
lengkap.
b) Berorientasi pada masalah keperawatan.
c) Menjelaskan keberhasilan/ ketidak berhasilan.
d) Rekapitulasi dan kesimpulan status kesehatan klien sesuai
dengan kerangka waktu yang telah ditetapkan.
3) Komponen SOAP Untuk memudahkan perawat mengevaluasi atau
memantau perkembangan klien, digunakan komponen SOAP.
Penggunaan tergantung dari kebijakan setempat.
Menurut Rohmah dan Walid (2014), pengertian SOAP adalah
sebagai berikut :
 S : Data Subjektif Perawat menuliskan keluhan pasien yang
masih dirasakan setelah dilakukan tindakan keperawatan.
 O : Data Objektif Data obejektif adalah data berdasarkan hasil
pengukuran atay observasi perawat secara langsung kepada
klien, dan yang dirasakan klien setelah dilakukan tindakan
keperawatan.
 A : Analisis Interperestasi dari data subjektif dan data obejktif,
analisis merupakan suatu masalah atau diagnosis keperawatan
yang masih terjadi atau juga dapat dituliskan masalah/
diagnosis baru yang terjadi akibat perubahan status kesehatan
klien yang telah teridentifikasi datanya dalam data subjektif
dan objektif.
 P : Planning Perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan,
dihentikan di modifikasi, atau ditambah dari rencana tindakan
keperawatan yang telah ditentukan sebelumnnya.
 I : Implementasi Pelaksanaan asuhan sesuai rencana yang telah
disusun sesuai dengan keadaan dan dalam rangka mengatasi
masalah pasien. Pelaksanaan tindakan harus disetujui oleh
pasien, kecuali bila tindakan tidak dilaksanakan akan
membahayakan keselamatan pasien. Bila kondisi pasien
berubah, analisis juga berubah, maka rencana asuhan maupun
implementasinya pun kemungkinan besar akan ikut berubah
atau disesuaikan.
 E : Evaluasi Adalah tafsiran dari efek tindakan yang telah
diambil untuk menilai efektivitas asuhan/hasil pelaksanaan
tindakan. Evaluasi berisi analisis hasil yang telah dicapai dan
merupakan fokus ketetapan nilai tindakan atau asuhan.
 R : Revisi Mencerminkan perubahan rencana asuhan dengan
cepat, memperhatikan hasil evaluasi, serta implementasi yang
telah dilakukan. Hasil evaluasi dapat dijadikan petunjuk perlu
tidaknya melakukan perbaikan/perubahan intervensi dan
tindakan.
DAFTAR PUSTAKA

(Nurarif.A.H. dan Kusuma.H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI),  Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Sjamjuhidajat, R & Jong Wim De. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC

Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R. 2012. Buku


ajar ilmu bedah Sjamsuhidajat-De jong. Edisi ke-3. Jakarta: EGC.

Tanto. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius : Jakarta

Taufan. 2011. Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah, dan Penyakita


Dalam. Nuha Medika : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai