Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN KASUS SISTEM PERKEMIHAN

DENGAN DIAGNOSA MEDIS BPH (BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA)

I. KONSEP TEORI
A. Pengertian
Benigna Prostat Hiperplasia( BPH ) adalah suatu kondisi yang sering terjadi sebagai hasil
dari pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat ( Nanda Nic-Noc, 2015 ).
Benigna Prostat Hiperplasia atau BPH adalah keadaan kondisi patologis yang paling
umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang paling sering ditemukan untuk
intervensi medis pada pria di atas usia 50 tahun (Wijaya. A & Putri. Y, 2013).
Hiperplasia Prostat Benigna (BPH) adalah pembesanan prostat yang jinak bervariasi
berupa hiperplasia kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Namun orang sering
menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secara histologi yang dominan adalah
hyperplasia (Sabiston, David C,2004).
BPH (Hiperplasia Prostat Benigna) adalah suatu keadaan di mana kelenjar prostat
mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan menyumbat
aliran urin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi patologis yang
paling umum pada pria. (Smeltzer dan Bare, 2002).
BPH adalah hiperplasia kelenjar periuretra yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan
menjadi simpai bedah ( Mansjoer. A, 2000 )
B. Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yang
pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat
kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan Ada beberapa factor kemungkinan
penyebab antara lain :
1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma
dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan
testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan
transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari
kelenjar prostat
5. Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit
C. Tanda dan Gejala
1. Gejala iritatif
a. Peningkatan frekuensi berkemih
b. Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
c. Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda (urgensi)
d. Nyeri pada saat miksi (disuria)
2. Gejala obstruktif meliputi :
a. Pancaran urin melemah
b. Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik
c. Kalau mau miksi harus menunggu lama
d. Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
e. Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
f. Urin terus menetes setelah berkemih
g. Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan inkontinensia
karena penumpukan berlebih.
h. Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi produk sampah
nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis dan volume residu yang besar.
i. Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa
tidak nyaman pada epigastrik.
Jenis penangangan pada pasien tumor prostat tergantung pada berat gejala kliniknya.
Berat derajat klinik dibagi dalam empat gradasi berdasarkan penemuan colok dubur dan
sisa volume urin
DERAJAT COLOK DUBUR SISA VOLUME URINE

1 Penonjolan prostat, atas mudah diraba < 50 ml


2 Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat dicapai 50 – 100 ml
3 Batas atas prostat tidak dapat teraba  100 ml
4 Batas atas prostat tidak dapat teraba Retensi urine total

Berdasarkan keluhan dibagi dalam :


1. Derajat I : Penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing tak puas,
frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari
2. Derajat II : Adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan mengeluh
waktu miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam bertambah hebat.
3. Derajat III : Timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa timbul
aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke ginjal dan
dapat menyebabkan pielonfritis, hidronefrosis.
D. Patofisiologi
Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia  30-40 tahun. Bila
perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologi anatomi yang
ada pada pria usia 50 tahunan. Perubahan hormonal menyebabkan hiperplasia jaringan
penyangga stromal dan elemen glandular  pada prostat.
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran
kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran
prostat, resistensi urin pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot
detrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase
penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor
menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urin yang selanjutnya dapat menyebabkan
hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas. Adapun patofisiologi dari masing-masing
gejala yaitu :
 Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah gambaran
awal dan menetap dari BPH. Retensi akut disebabkan oleh edema yang terjadi pada
prostat yang membesar.
 Hesitancy (kalau mau miksi harus menunggu lama), terjadi karena detrusor
membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra.
 Intermittency (kencing terputus-putus), terjadi karena detrusor tidak dapat mengatasi
resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa belum puas sehabis
miksi terjadi karena jumlah residu urin yang banyak dalam buli-buli.
 Nocturia miksi pada malam hari) dan frekuensi terjadi karena pengosongan yang tidak
lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek.
 Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan normal dari
korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama tidur.
 Urgensi (perasaan ingin miksi sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi)
jarang terjadi. Jika ada disebabkan oleh ketidak stabilan detrusor sehingga terjadi
kontraksi involunter,
 Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya penyakit urin
keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli mencapai complience
maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik melebihi tekanan spingter.
 Hematuri biasanya disebabkan oleh oleh pecahnya pembuluh darah submukosa pada
prostat yang membesar.
 Lobus yang mengalami hipertropi dapat menyumbat kolum vesikal atau uretra
prostatik, sehingga menyebabkan pengosongan urin inkomplit atau retensi urin.
Akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara
bertahap, serta gagal ginjal.
 Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat stasis urin, di mana sebagian urin tetap
berada dalam saluran kemih dan berfungsi sebagai media untuk organisme infektif.
 Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli, Batu ini
dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri. Batu tersebut dapat pula
menimbulkan sistiitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.
 Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama kelamaan dapatmenyebabkan
hernia dan hemoroid.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisa
 Analisis urin dan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya sel leukosit,
sedimen, eritrosit, bakteri dan infeksi. Bila terdapat hematuri harus diperhitungkan
adanya etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran
kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuri.
 Elektrolit, kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi
ginjal dan status metabolik.
 Pemeriksaan prostate spesific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan
perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4 ng/ml tidak
perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, dihitung Prostate specific
antigen density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan volume prostat. Bila PSAD
> 0,15, sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian pula bila nilai PSA > 10 ng/ml
2. Pemeriksaan darah lengkap
Karena perdarahan merupakan komplikasi utama pasca operatif maka semua defek
pembekuan harus diatasi. Komplikasi jantung dan pernafasan biasanya menyertai
penderita BPH karena usianya yang sudah tinggi maka fungsi jantung dan pernafasan
harus dikaji. Pemeriksaan darah mencakup Hb, leukosit, eritrosit, hitung jenis leukosit,
CT, BT, golongan darah, Hmt, trombosit, BUN, kreatinin serum.
3. Pemeriksaan radiologis
Biasanya dilakukan foto polos abdomen, pielografi intravena, USG, dan sitoskopi.
Tujuan pencitraan untuk memperkirakan volume BPH, derajat disfungsi buli, dan
volume residu urin. Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius,
pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda
metastase dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal. Dari
Pielografi intravena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal, hidronefrosis dan
hidroureter, gambaran ureter berbelok-belok di vesika urinaria, residu urin. Dari USG
dapat diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin
dan batu ginjal.
BNO /IVP untuk menilai apakah ada pembesaran dari ginjal apakah terlihat bayangan
radioopak daerah traktus urinarius. IVP untuk melihat /mengetahui fungsi ginjal
apakah ada hidronefrosis. Dengan IVP buli-buli dapat dilihat sebelum, sementara dan
sesudah isinya dikencingkan. Sebelum kencing adalah untuk melihat adanya tumor,
divertikel. Selagi kencing (viding cystografi) adalah untuk melihat adanya refluks urin.
Sesudah kencing adalah untuk menilai residual urin.
F. Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin
beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati
prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksisaluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat
mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000).
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harusmengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdomen yang akan menimbulkan herniadan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko
urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasidan hematuria.
Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme,yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)
G. Penatalaksanaan Medis
Rencana pengobatan tergantung pada penyebab, keparahan obstruksi, dan kondisi pasien.
Jika pasien masuk RS dengan kondisi darurat  karena ia tidak dapat berkemih maka
kateterisasi segera dilakukan. Pada kasus yang berat mungkin digunakan kateter logam
dengan tonjolan kurva prostatik. Kadang suatu insisi dibuat ke dalam kandung kemih
(sitostomi supra pubik) untuk drainase yang adekuat.
Jenis pengobatan pada BPH  antara lain:
1. Observasi (watchfull waiting)
Biasa dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang diberikan adalah
mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia, menghindari
obat-obat dekongestan, mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum
alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Setiap 3 bulan dilakukan kontrol keluhan, sisa
kencing, dan pemeriksaan colok dubur

2. Terapi medikamentosa
 Penghambat adrenergik  (prazosin, tetrazosin) : menghambat reseptor pada otot
polos di leher vesika, prostat sehingga terjadi relaksasi. Hal ini akan menurunkan
tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-
gejala berkurang.
 Penghambat enzim 5--reduktase, menghambat pembentukan DHT sehingga
prostat yang membesar akan mengecil.
3. Terapi bedah
Tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi absolut untuk terapi bedah
yaitu : - Retensi urin berulang
- Hematuri
- Tanda penurunan fungsi ginjal
- Infeksi saluran kemih berulang
- Tanda obstruksi berat seperti hidrokel
- Ada batu saluran kemih.
a. Prostatektomi
Pendekatan transuretral merupakan pendekatan tertutup. Instrumen bedah dan
optikal dimasukan secara langsung melalui uretra ke dalam prostat yang kemudian
dapat dilihat secara langsung. Kelenjar diangkat dalam irisan kecil dengan loop
pemotong listrik. Prostatektomi transuretral jarang menimbulakan disfungsi erektil
tetapi dapat menyebabkan ejakulasi retrogard karena pengangkatan jaringan prostat 
pada kolum kandung kemih dapat menyebabkan cairan seminal mengalir ke arah
belakang ke dalam kandung kemih dan bukan melalui uretra.
1) Prostatektomi Supra pubis.
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu
suatu insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat
dari atas.
2) Prostatektomi  Perineal.
Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini lebih
praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi terbuka. Lebih
jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal dapat mungkin terjadi  dari
cara ini. Kerugian lain adalah kemungkinan kerusakan pada rectum dan spingter
eksternal serta  bidang operatif terbatas.
3) Prostatektomi retropubik.
Adalah insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara
arkus pubis  dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
Keuntungannya adalah periode pemulihan lebih singkat serta kerusakan spingter
kandung kemih lebih sedikit. 
Pembedahan seperti prostatektomi dilakukan untuk membuang jaringan prostat
yang mengalami hiperplasi. Komplikasi yang mungkin terjadi pasca prostatektomi
mencakup perdarahan, infeksi, retensi oleh karena pembentukan bekuan, obstruksi
kateter dan disfungsi seksual. Kebanyakan prostatektomi tidak menyebabkan
impotensi, meskipun pada prostatektomi perineal dapat menyebabkan impotensi
akibat kerusakan saraf pudendal. Pada kebanyakan kasus aktivitas seksual dapat
dilakukan kembali dalam 6 sampai 8 minggu karena saat itu fossa prostatik telah
sembuh. Setelah ejakulasi maka cairan seminal mengalir ke dalam kandung kemih
dan diekskresikan bersama uin. Perubahan anatomis pada uretra posterior
menyebabkan ejakulasi retrogard.
b. Insisi Prostat Transuretral ( TUIP ) yaitu suatu prosedur  menangani BPH dengan
cara memasukkan instrumen melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada
prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan
mengurangi kontriksi uretral. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat
berukuran kecil ( 30 gram/kurang ) dan efektif dalam mengobati banyak kasus
BPH. Cara ini dapat dilakukan  di klinik rawat jalan dan mempunyai angka
komplikasi lebih rendah di banding cara lainnya.
c. TURP ( TransUretral Reseksi Prostat ). TURP adalah suatu operasi pengangkatan
jaringan prostat lewat uretra menggunakan resektroskop, dimana resektroskop
merupakan endoskop dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang
dilengkapi dengan alat pemotong dan counter yang disambungkan dengan arus
listrik. Tindakan ini memerlukan pembiusan umum maupun spinal dan merupakan
tindakan invasive yang masih dianggap aman dan tingkat morbiditas minimal.
TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai efek
merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang
mengalami pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan
irigasi digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama prosedur.
Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan granulasi dan reepitelisasi
uretra pars prostatika .
TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP ialah gejala-gejala dari
sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 60 gram dan pasien cukup sehat
untuk menjalani operasi. Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan,
infeksi, hiponatremia atau retensio oleh karena bekuan darah. Sedangkan
komplikasi jangka panjang adalah striktura uretra, ejakulasi retrograd (50-90%),
impotensi (4-40%). Karena pembedahan tidak mengobati penyebab BPH, maka
biasanya penyakit ini akan timbul kembali 8-10 tahun kemudian.
H. Pengelolaan Pasien
1. Pre operasi
 Pemeriksaan darah lengkap (Hb minimal 10g/dl, Golongan Darah, CT, BT, AL)
 Pemeriksaan EKG, GDS mengingat penderita BPh kebanyakan lansia
 Pemeriksaan Radiologi: BNO, IVP, Rongen thorax
 Persiapan sebelum pemeriksaan BNO puasa minimal 8 jam.  Sebelum
pemeriksaan IVP pasien diberikan diet bubur kecap 2 hari, lavemen puasa
minimal 8 jam, dan mengurangi bicara untuk meminimalkan masuknya udara
2. Post operasi
a. Irigasi/Spoling dengan Nacl
 Post operasi hari 0 : 80 tetes/menit
 Hari pertama post operasi  : 60 tetes/menit
 Hari ke 2 post operasi : 40 tetes/menit
 Hari ke 3 post operasi : 20 tetes/menit
 Hari ke 4 post operasi diklem
 Hari ke 5 post operasi dilakukan aff irigasi bila tidak ada masalah (urin dalam
kateter bening)

b. Hari ke 6 post operasi dilakukan aff drain bila tidak ada masalah (cairan
serohemoragis < 50cc)
c. Infus diberikan untuk maintenance dan memberikan obat injeksi selama 2 hari, bila
pasien sudah mampu makan dan minum dengan baik obat injeksi bisa diganti
dengan obat oral.
d. Tirah baring selama 24 jam pertama. Mobilisasi setelah 24 jam post operasi
e. Dilakukan perawatan luka dan perawatan DC hari ke-3 post oprasi dengan betadin
f. Anjurkan banyak minum (2-3l/hari)
g. DC bisa dilepas hari ke-9 post operasi
h. Hecting Aff pada hari k-10 post operasi.
i. Cek Hb post operasi bila kurang dari 10 berikan tranfusi
j. Jika terjadi spasme kandung kemih pasien dapat merasakan dorongan untuk
berkemih, merasakan tekanan atau sesak pada kandung kemih dan perdarahan dari
uretral sekitar kateter. Medikasi yang dapat melemaskan otot polos dapat membantu
mengilangkan spasme. Kompres hangat pada pubis dapat membantu
menghilangkan spasme.
k. Jika pasien dapat bergerak bebas pasien didorong untuk berjalan-jalan tapi tidak
duduk terlalu lama karena dapat meningkatkan tekanan abdomen, perdarahan
l. Latihan perineal dilakukan untuk membantu mencapai kembali kontrol berkemih.
Latihan perineal harus dilanjutkan sampai passien mencapai kontrol berkemih.
m. Drainase diawali sebagai urin berwarna merah muda kemerahan kemudian jernih
hingga sedikit merah muda dalam 24 jam setelah pembedahan.
n. Perdarahan merah terang dengan kekentalan yang meningkat dan sejumlah bekuan
biasanya menandakan perdarahan arteri. Darah vena tampak lebih gelap dan kurang
kental. Perdarahan vena diatasi dengan memasang traksi pada kateter sehingga
balon yang menahan kateter pada tempatnya memberikan tekannan pada fossa
prostatik.
II. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Sebelum Operasi
 Data Subyektif
 Klien mengatakan nyeri saat berkemih
 Sulit kencing
 Frekuensi berkemih meningkat
 Sering terbangun pada malam hari untuk miksi
 Keinginan untuk berkemih tidak dapat ditunda
 Nyeri atau terasa panas pada saat berkemih
 Pancaran urin melemah
 Merasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik
 Kalau mau miksi harus menunggu lama
 Jumlah urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
 Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
 Urin terus menetes setelah berkemih
 Merasa letih, tidak nafsu makan, mual dan muntah
 Klien merasa cemas dengan pengobatan yang akan dilakukan
 Data Obyektif
 Ekspresi wajah tampak menahan nyeri
 Terpasang kateter
2. Sesudah Operasi
 Data Subyektif
 Klien mengatakan nyeri pada luka post operasi
 Klien mengatakan tidak tahu tentang diet dan pengobatan setelah operas
 Data Obyektif
 Ekspresi tampak menahan nyeri
 Ada luka post operasi tertutup balutan
 Tampak lemah
 Terpasang selang irigasi, kateter, infus
3. Riwayat kesehatan : riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit keluarga, pengaruh BPH terhadap gaya hidup, apakah masalah urinari yang
dialami pasien.
4. Pengkajian fisik
a. Gangguan dalam berkemih seperti
 Sering berkemih
 Terbangun pada malam hari untuk berkemih
 Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak
 Nyeri pada saat miksi, pancaran urin melemah
 Rasa tidak puas sehabis miksi
 Jumlah air kencing menurun dan harus mengedan saat berkemih
 Aliran urin tidak lancar/terputus-putus, urin terus menetes setelah berkemih.
 Nyeri saat berkemih
 Ada darah dalam urin
 Kandung kemih terasa penuh
 Nyeri di pinggang, punggung, rasa tidak nyaman di perut.
 Urin tertahan di kandung kencing, terjadi distensi kandung kemih
b. Gejala umum seperti keletihan, tidak nafsu makan, mual muntah, dan rasa tidak
nyaman pada epigastrik
c. Kaji status emosi : cemas, takut
d. Kaji urin : jumlah, warna, kejernihan, bau
e. Kaji tanda vital
f. Kaji pemeriksaan diagnostik : Pemeriksaan radiografi, urinalisa, lab seperti kimia
darah, darah lengkap, urin
g. Kaji tingkat pemahaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang keadaan dan
proses penyakit, pengobatan dan cara perawatan di rumah.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Pre operasi
 Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik ( spasme kandung kemih)
 Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi proses
bedah.
 Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan spasme kandung kemih.
 Retensi urine berhubungan dengan adanya sumbatan
 Resiko ketidakefektifan perfusi ginjal berhubungan dengan penurunan refluk urine
2. Post operasi
 Nyeri akut berhubungan agen injuri fisik (insisi sekunder pada TURP)
 Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasiv pembedahan
 Resiko perdarahan berhubungan dengan efek pembedahan
C. Intervensi Perawatan
Diagnosa Tujuan Dan Kriteria Hasil Intervensi
Nyeri Akut Setelah dilakukan asuhan 1. Manajemen Nyeri
keperawatan selama ….x 24 jam,  Kaji secara menyeluruh tentang nyeri,
klien dapat: meliputi: lokasi, karakteristik, waktu
1. Mengontol nyeri kejadian, lama, frekuensi, kualitas,
indikator: intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor
 Mengenal faktor-faktor pencetus
penyebab  Observasi isyarat-isyarat non verbal dari
 Mengenal onset/waktu ketidaknyamanan
kejadian nyeri  Berikan analgetik sesuai dengan anjuran
 tindakan pertolongan non-  Gunakan komunkasi terapeutik agar klien
analgetik dapat mengekspresikan nyeri
 Menggunakan analgetik  Kaji latar belakang budaya klien
 melaporkan gejala-gejala  Tentukan dampak dari ekspresi nyeri
kepada tim kesehatan terhadap kualitas hidup: pola tidur, nafsu
(dokter, perawat) makan, aktifitas mood, hubungan,
 nyeri terkontrol pekerjaan, tanggungjawab peran
2. Menunjukkan tingkat nyeri  Kaji pengalaman individu terhadap nyeri, 
Indikator: Melaporkan nyeri, keluarga dengan nyeri kronis
frekuensi nyeri, lamanya  Evaluasi  tentang keefektifan dari tindakan
episode nyeri, ekspresi nyeri: mengontrol nyeri yang telah digunakan
wajah, posisi melindungi  Berikan dukungan terhadap klien dan
tubuh, perubahan vital sign keluarga
 Berikan informasi tentang nyeri, seperti:
penyebab, berapa lama terjadi, dan tindakan
pencegahan
 Kontrol faktor-faktor lingkungan yang
dapat mempengaruhi respon klien terhadap
ketidaknyamanan
 Anjurkan klien untuk memonitor sendiri
nyeri
 Ajarkan penggunaan teknik non-
farmakologi, ex: relaksasi, guided imagery,
terapi musik, distraksi, aplikasi panas-
dingin, massase)
 Evaluasi keefektifan dari tindakan
mengontrol nyeri
 Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil
atau terjadi keluhan
2. Pemberian Analgetik
 Tentukan lokasi nyeri, karakteristik,
kualitas,dan keparahan sebelum pengobatan
 Berikan obat dengan prinsip 5 benar
 Cek riwayat alergi obat
 Libatkan klien dalam pemilhan analgetik
yang akan digunakan
 Pilih analgetik secara tepat /kombinasi lebih
dari satu analgetik jika telah diresepkan
 Tentukan pilihan analgetik (narkotik, non
narkotik, NSAID) berdasarkan tipe dan
keparahan nyeri
 Monitor tanda-tanda vital, sebelum dan
sesudah pemberian analgetik, monitor
reaksi obat dan efeksamping obat
 Dokumentasikan respon dari analgetik dan
efek-efek yang tidak diinginkan
3. Manajemen lingkungan : kenyamanan
 Batasi pengunjung
 Tentukan hal-hal yang menyebabkan
ketidaknyamanan seperti pakaian lembab,  
Perhatikan hygiene pasien untuk menjaga
kenyamanan
 Sediakan tempat tidur yang nyaman dan
bersih
 Tentukan temperatur ruangan yang paling
nyaman
 Sediakan lingkungan yang tenang
 Atur posisi pasien yang membuat nyaman.

Ancietas Setelah dilakukan asuhan Menurunkan cemas


keperawatan selama......x24 jam  Tenangkan pasien
pasien dapat menunjukan  Jelaskan seluruh prosedurt tindakan kepada
1. Mengontrol cemas: pasien dan perasaan yang mungkin muncul
Indikator : pada saat melakukan tindakan
 Monitor intensitas cemas  Berusaha memahami keadaan pasien
 Meghilangkan penyebab  Berikan informasi tentang diagnosa,
cemas prognosis dan tindakan
 Menurunkan stimulus  Mendampingi pasien untuk mengurangi
lingkungan ketika cemas kecemasan dan meningkatkan kenyamanan
 Mencari informasi untuk  Dorong pasien untuk menyampaikan tentang
menurunkan cemas isi perasaannya
 Gunakan strategi koping  Kaji tingkat kecemasan
efektif  Dengarkan dengan penuh perhatian
 menggunakan teknik  Ciptakan hubungan saling percaya
relaksasi  untuk menurunkan  Bantu pasien menjelaskan keadaan yang bisa
cemas menimbulkan kecemasan
 Melaporkan kepada perawat  Bantu pasien untuk mengungkapkan hal hal
bahwa cemas tidak yang membuat cemas
mempengatruhi keadaan  Ajarkan pasien teknik relaksasi
fisik  Berikan obat obat yang mengurangi cemas
 Tidak adanya tingkahlaku
yang menunjukan cemas
2. Koping yang baik
Indikator :
 Mengenal koping efektif dan
koping tak efektif
 Melaporkan menurunnya
stress
 Mencari informasi yang
berkaitan dengan penyakit
dan pengobatannya
 Mengerjakan sesuatu yang
menurunkan stress
 Menggunakan strategi
koping efektif
 Melaporkan menurunnya
keluhan fisik

G3 Eleminasi Setelah dilakukan  tindakan  Kaji haluaran urine dan system


Urine keperawatan  selama ..... hari kateter/drainase, khususnya selama irigasi
pasien tidak mengalami kandung kemih
inkontinensia  Bantu pasien memilih posisi normal untuk
Kriteria : berkemih (berdiri, berjalan ke kamar
 pasien dapat buang air kecil mandi) dengan frekuensi sering setelah
teratur kateter dilepas
 bebas dari distensi kandung  Perhatikan waktu, jumlah urine, ukuran
kemih aliran setelah kateter dilepas.
 kandung kemih kosong secara  Beri tindakan asupan oral 2000-3000
penuh atau tidak ada residu ml/hari, jika tidak ada kontraindikasi
urin > 100 – 200 cc  Beri latihan perineal (Kegel traning) 15-20
 balance cairan seimbang kali/jam
 Pertahankan irigasi kandung kemih secara
kontinyu sesuai indikasi pada periode
pascaoperasi dini
 Gunakan kekuatan sugesti
 Sediakan waktu yang cukup untuk
pengosongan kandung kemih jangan
terburu buru
Retensio urine  penuh atau tidak ada residu  Monitor intake dan output
urin > 100 – 200 cc  Monitor penggunaan obat antikoliornergik
 balance cairan seimbang  Monitor derajat distensi bladder
 tidak ada spasme bladder  Sediakan privacy untuk eleminasi
 Stimulasi refleks bladder dengan kompres
dingin pada abdomen
 Kateterisasi jika perlu

Resiko Setelah dilakukan asuhan Manajemen asam- basa


Ketidakefektifa keperawatan selama......x24 jam
 Observasi status hidrasi
n Perfusi Ginjal pasien dapat
 Tekanan darah dalam batas  Observasi tanda cairan berlebih
normal
 Elektrolit dalam batas normal  Perhatikan intake dan output secara akurat
 Tidak ada distensi JVP  Monitor ttv
 Tidak ada bunyi paru tambahan
 Intake dan output seimbang  Manajemen akses intravena
 Tidak ada udem dan asites
 Tidak ada haus secara abnormal
 Hematokrit dalam batas normal
 Warna dan bau urine dalam
batas normal

Resiko infeksi Setelah dilakukan asuhan Kontrol Infeksi


keperawatan selama......x24 jam  Batasi pengunjung
pasien dapat menunjukan hasil  Terapkan kebiasaan cuci tangan bagi
dengan indikator pengunjung
 Klien bebas dari tanda dan  Pertahankan lingkungan aseptik
gejala infeksi  Tingkatkan intake nutrisi
 Medeskripsikan proses  Monitor tanda infeksi
penularan penyakit, faktor yang  Berikan terapi antibiotik
mempengaruhi penularan serta  Pertahankan teknik asepsis pada pasien
penatalaksanaanya  Pertahankan teknik isolasi bila perlu
 Menunjukan kemampuan untuk  Ajarkan cara menghindari infeksi
mencegah infeksi
 Instruksikan pasien untuk minum antibiotik
 Jumlah leukosit dalam batas sesuai resep
normal
 Gunakan sabun antimikrobial untuk cuci
 Menunjukkan PHBS
tangan
 Lakukan universal precaution
 Gunakan sarung tangan steril
 Lakukan teknik perawatan luka yang tepat
Resiko Setelah dilakukan tindakan  Pantau tanda dan gejala hemoragi
Perdarahan keperawatan selama ...hari  Pantau balutan, kateter, drain yang
perawat mengatasi dan bervariasi tergantung jenis pembedahan yg
meminimalkan komplikasi dilakuakan (TUR, suprpubik, retropubik,
dengan kriteria perineal)
 tidak terjadi perdarahan  Instruksikan klien menghindari ngejan, tidak
 tidak pasien syok hemoragik duduk di kursi tegak lurus
 Lakukan irigasi kandung kemih
 Pastikan asupan cairan yang adekuat

D. Implementasi
Implementasi merupakan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah dirumuskan
dalam rangka memenuhi kebutuhan pasien. Hal ini tentu saja disesuaikan dengan
intervensi yang ada serta disesuaikan dengan tingkat kebutuhan klien.
Dalam pelaksanaan keperawatan haruslah melibatkan tim kesehatan lain dalam bentuk
tindakan kolaborasi dan serta berdasarkan atas kebijakan dari rumah sakit.
E. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan yang bertujuan menilai
keberhasilan dari asuhan keperawatan yang telah dibuat. Dari rumusan seluruh rencana
keperawatan serta implementasinya, maka evaluasi akan di fokuskan pada masing-masing
criteria yang akan dicapai pada tiap masalah keperawatan yang timbul.
Dicharge Planning
 Berhenti merokok
 Biasakan hidup bersih
 Makan makanan yang mengandung vitamin dan hindari minuman beralkohol
 Olahraga secara teratur
 Mengajarkan pasien untuk menilai tanda hematuria dan infeksi
 Mendorong untuk selalu chek up
DAFTAR PUSTAKA

Johnson, MS. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC). Mosby: Philadelphia


Mansjoer, A, et all, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid I, Media Aesculapis, Jakarta
McCloskey, J dan Bulechek, G. 2000. Nursing Interventions Classification (NIC). Mosby:
Philadelphia
Nanda (2015), Diagnosis Keperawatan, Definisi Dan Klasication, 2015-2017. Edisi 10. EGC,
Jakarta
Smeltzer, S.C, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, Vol 2, 
EGC, Jakarta
Wijaya, S. A. & Putri, M. Y. 2013. Keperawatan Medikal Bedah: Keperawatan Dewasa,
Teori, Contoh Askep. Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai