Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN

KASUS : BPH (BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA)

DEFINISI
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat
nonkanker, (Corwin, 2000).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh
penuaan. Price&Wilson (2005).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesanan prostat yang jinak
bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atauhiperplasia fibromuskular. Namun
orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun secarahistologi yang
dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David C,2004)
BPH (Hiperplasia prostat benigna) adalah pembesaran kelenjar prostat
yang memanjang ke atas, ke dalam kandung kemih yang disebabkan oleh
peninhkatan jumlah sel stroma dan epitelia karena adanya proliferasi atau
gangguan pemrograman kematian sel akibatnya menghambat aliran urine serta
menutupi orifisium uretra. (Sylvia A. Price, 2006).

ETIOLOGI

Penyebab  yang  pasti  dari  terjadinya  BPH  sampai  sekarang  belum 


diketahui.  Namun  yang  pasti  kelenjar  prostat  sangat  tergantung  pada 
hormon  androgen.  Faktor  lain  yang  erat  kaitannya   dengan  BPH  adalah 
proses  penuaan  Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :
1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan
stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
2. Perubahan  keseimbangan  hormon  estrogen  -  testoteron
Pada  proses  penuaan  pada  pria  terjadi  peningkatan  hormon  estrogen 
danpenurunan   testosteron  yang  mengakibatkan  hiperplasi  stroma.
3. Interaksi  stroma  -  epitel
Peningkatan  epidermal  gorwth  factor  atau  fibroblast   growth    factor  dan 
penurunan  transforming  growth  factor  beta  menyebabkan  hiperplasi 
stroma  dan  epitel.
4. Berkurangnya  sel  yang  mati
Estrogen  yang  meningkat  menyebabkan   peningkatan  lama  hidup  stroma 
dan  epitel  dari  kelenjar  prostat.
5. Teori  sel  stem
Sel  stem  yang  meningkat  mengakibatkan    proliferasi  sel  transit  ( Roger 
Kirby,  1994 :  38 ).

MANIFESTASI KLINIK
Menurut Yuliana Elin (2011), pasien BPH dapat menunjukkan berbagai
macam tanda dan gejala. Gejala BPH berganti-ganti dari waktu-kewaktu dan
mungkin dapt semakin parah, menjadi stabil, atau semakin buruk secara spontan.
Menurut Andra Saferi dan Yessie Mariza (2013) tanda dan gejala BPH dibagi
menjadi 2 katagori, yaitu :
1. Gejala iritatif meliputi :
a. Retensi urine.
b. Kurangnya atau lemahnya pancaran kencing
c. Miksi yang tidak puas
d. Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari (nokturia)
e. Miksi harus mengejan dan terasa panas, nyeri waktu miksi(disuria)
f. Urgency (dorongan yang mendesak dan mendadak untuk mengeluarkan
urine)
g. Kesulitan mengawali dan mengakhiri miksi, kolik renal, berat badan
turun.
2. Gejala obstruktif meliputi :
a. Pancaran lemah, hesistansi, intermitensi, menetes/dribbling, mengejan
saat berkemih, retensi urine akut
b. Ketidakstabilan destrusor yang mengakibatkan kandung kemih
teraba(inkontinensia), kndung kemih tidak kosong dengan baik.
c. Pembesaran prostat pada saat pemeriksaan RT.
3. Klasifikasi BPH:
a. Derajat ringan/derajat I :
Asimtomatik, penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih,
kencing tidak puas, frekuensi kencing bertambah terutama pada malam
hari, peningkatan BUN dan kreatinin serum, saat dilakukan colok dubur
didapatkan penonjolan prostat, batas atas dapat diraba, sisa urine <50ml
b. Derajat sedang/derajat II :
Adanya retensi urine, muncul infeksi. Penderita akan mengeluh miksi
terasa panas dan kencing malam bertambah hebat, saat dilakukan RT
penonjolan prostas jelas, batas atas dapat dicapai dan sisa urine 50-
100ml.
c. Derajat parah/derajat III :
Saat dilakukan RT batas atas prostat tidak dapat teraba dan terjadi retensi
total akibatnya timbul aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden
menjalar ke ginjal dan dapat menyebabkan pielonefritis, hidronefrosis.

PATHOFISIOLOGI
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia yang terletak di sebelah
inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah
kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20gr. Menurut
purnomo (2011) prostat terbagi dalam beberapa seperti zona perifer, zona sentral,
zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra. Pada usia lanjut
akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi
testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada
jaringan adipose di perifer. Purnomo (2011) menjelaskan bahwa pertumbuhan
kelenjar ini sangat tergantung pada hormon testosteron, yang di dalam sel-sel
kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehitestosteron (DHT) dengan
bantuan enzim alfa reduktase. DHT inilah yang secara langsung memacu m-RNA
di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi
pertumbuhan kelenjar prostat.
Karena pembesaran prostat terjadi secara perlahan, maka efek terjadinya
perubahan pada traktur urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan
patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh
kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan
kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem
parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada
tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang
bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian destrusor akan
mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan destrusor
menjadi lebih tebal. Penonjolan serat destrusor ke dalam kandung kemih dengan
sistokopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi. Mukosa dapat
menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan
sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan destrusor ini
disebut fase kompensasi otot dinding kandung kemih, apabila keadaan berlanjut
maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak
mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urine. Pada BPH
digolongkan dua tanda gejala yaitu gejala obstruksi dan gejala iritasi. Gejala
obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat
sehingga kontraksi terputus-putus , miksi terputus, menetes pada akhir miksi,
pancaran lemah, rasabelum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena
pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan meransang
kandung kemih, sehingga sering bberkontraksi walaupun belum penuh atau
dikatakan sebagai hipersensitivitas otot detrusor akibatnya frekuensi miksi
meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgncy, disuria. Karena produksi urin
terus menerus terjadi maka suatu saat vesika urinaria tidak mampu lagi
menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter
dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox. Retensi kronik
menyebabkan refluks vesika ureter dan dilatasi ureter dan ginjal maka ginjal akan
rusak dan terjdi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari
obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan saat miksi yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia
dan hemoroid. Stasis urin dalam vesika urinaria akan membentuk batu endapan
yang menambal sehingga menimbulkan iritasi dan hematuri. Selain itu stasis urin
dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme yang
dapat menyebabkan cystitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis.
(sjamsuhidajat, 2005).

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG
1. Cek darah lengkap, untuk mengevaluasi adanya infeksi dan anemia dalam
hematuria
2. Blood Urea Nitrogen (BUN) , untuk mengetahui tingkat serum kreatinin dan
mengevaluasi fungsi renal
3. A Prostate-specific Antigen (PSA), jika terkena kanker prostat dapat
diketahui dari tingkat keasaman fosfat.
4. TRUS (Transrectal Ultrasound Antigen)  untuk mendeteksi adanya kanker
prostat, aliran urine, dan systoscopy
5. Cystoureroscopy : untuk mengevaluasi obstruksi leher kandung kemih
6. Pemeriksaan Trans Abdominal Ultra Sound (TAUS) dapat mendeteksi adanya
hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama.

PENATALAKSANAAN
1. Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien dianjurkan
untuk mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan agar tidak terjadi
nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi
minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering
miksi. Pasien dianjurkan untuk menghindari mengangkat barang yang berat agar
perdarahan dapat dicegah. Ajurkan pasien agar sering mengosongkan kandung
kemih (jangan menahan kencing terlalu lama) untuk menghindari distensi
kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih. Secara periodik pasien dianjurkan
untuk melakukan control keluhan, pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan
pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011) dapat
diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin:
a. Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur
dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan
pemeriksaan USG setelah miksi.
b. Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah urin
dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat
urofometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
2. Terapi medikamentosa Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat
yang diberikan pada penderita BPH adalah :
a. Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk
mengurangi tekanan pada uretra
b. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa
blocker (penghambat alfa adrenergenik)
c. Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone
testosterone/ dehidrotestosteron (DHT).
3. Pembedahan
Macam-macam pembedahan
a. TUIP (Transurethral incision of the Prostate)
Yaitu dilakukan anastesi local pada pembedahan ini. Pembedahan ini
dilakukan pada pria yang baru mengalami gejala awal dan mengurangi
tekanan pada ureter.
b. Transuretral microwave thermotherapy (TUMT): memanaskan dan
menggumpalkan jaringan prostat melalui probe transuretal. Kateter
kemih dapat dibiarkan di tempat selama satu minggu setelah perawatan
untuk memfasilitasi lewatnya jaringan nekrotik dan mencegah retensi
urin.
c. Teansuretral nedlle ablation (TUNA): menempatkan jarum frekuensi
radio langsung ke prostat untuk membekukan daerah jaringan spesifik
hematuria.
d. Transuretral Resection of the prostate (TURP): suatu operasi
pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan resektoskop.
TURP merupakan operasi tertutup tanpa insisi serta tidak mempunyai
efek merugikan terhadap potensi kesembuhan. Operasi ini dilakukan
pada prostat yang mengalami pembesaran antara 30-60 gram dan
kemudian dilakukan reseksi. Setelah dilakukan TURP, dipasang kateter
folly 3 saluran yang dilengkapi balon 30 ml, untuk memperlancar
pembuangan gumpalan darah dari kandung kemih. Irigasi kandung kemih
yang konstan dilakukan setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan darah
lagi. Kemudian kateter dibilas tiap 4 jam sampai cairan jernih. Kateter
diangkat setelah 3-5 hari setelah operasi dan pasien harus sudah dapat
berkemih dengan lancar. TURP masih merupakan standar emas.

KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan
semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak
mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan
apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000)
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid.
Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah
keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria
menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan
sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
WOC Benigna Prostat Hiperplasia

Idiopatik, Penuaan

Perubahan kseimbangan estrogen & testosteron

Produksi testosteron metrogen menurun dan estrogen meningkat

Simulasi sel stroma yg


dipengaruhi infeksi
BPH Berpoliferasi

Stimulasi sel stroma oleh pengaruh GH

Pre operasi Post operasi

Pembesaran prostat Kurangnya informasi pasca bedah Prostalektomi

Penyempitan uretra pars prostat


Trauma
Kurangnya Kurangnya bekas insisi
pengetahuan perawatan
Urine terhambat Nyeri
BAK perdarahan
Bakteri mudah
Tekanan VU masuk

Resiko tinggi
retensi VU Retensi urine Distensi VU Resiko tinggi kekurangan
infeksi cairan

Otot2 destrusor menebal Nyeri Akut

Terjadi
Terbentuknya gelisah obstruksi
sakula/trabekula
PK Anemia
Kondisi tubuh Retensi urine
Kemampuan fungsi VU tidak baik
menurun
Intoleransi
Cemas aktivitas
Sensitivitas VU
menurun

DAFTAR PUSTAKA
Upaya berkemih Gangguan pola
menurun  Purnomo, B.B.urine
eliminasi (2011). Dasar-dasar urologi .Jakarta: Penerbit Sagung Seto
 Sjamsuhidajat, R., & Jong, de.W. (2005). Buku ajar ilmu bedah (Edisi 2).
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
 Mansjoer. A. Dkk. (2007). Kapita selekta kedokteran. Jilid 2. Edisi 3.
Jakarta : Media Aesculapius.
 https://www.academia.edu/10659142/
Asuhan_Keperawatan_Pada_Pasien_BPH?email_work_card=view-paper
diakses tgl 14/9/2019

Anda mungkin juga menyukai