Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN GERONTIK PADA KLIEN BPH


(BENIGNA PROSTATIC HIPERPLASIA)

Tugas Mandiri

Siklus Praktek Keperawatan Gerontik

Disusun oleh :

AFRIMA DONI NAFIN, S.KEP


NIM 2014901072

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ALIFAH PADANG
T.A 2020/202
LAPORAN PENDAHULUAN

(BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA)

I. Konsep Dasar

A. Pengertian

Benigna prostat hyperplasia merupakan penyakit perbesaran dari prostat.


BPH seringkali menyebabkan terganggunya eliminasi urine akibat pembesaran
prostat yang cenderung kearah depan sehingga menekan vesika urinaria (Eko
Prabowo & Andi Eka Pranata, 2014).
BPH (Benigna Prostat Hiperplasia) adalah pembesaran kelenjar prostat
secara progresif yang dapat menyebabkan obtruksi dan ritriksi pada jalan urine
(urethra) (M. Clevo Rendi & Margareth TH, 2012).
Benign Prostate Hyperplasia adalah nama yang biasa digunakanuntuk
kelainan jinak umum dari prostat, ketika meluas, Mengakibatkanberbagai tingkat
obstruksi saluran kemih, kadang-kadang membutuhkan intervensi bedah. Istilah
hiperplasia nodular, sepertiyang diusulkan oleh Moore dalam studi klasiknya,
adalah sebutan yanglebih tepat. Penyakit ini merupakan pembesaran nodular
kelenjar yangdisebabkan oleh hiperplasia dari kedua kelenjar dan
komponenstromanya (Rosai, 2010).
B. Anatomi Fisiologi Sistem Perkemihan (Rose, 2010)
1. Struktur sistem perkemihan

Gambar 2.1 Anatomi Sistem Perkemihan


2. BPH (BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA)

a. Perubahan Organ karena BPH

Gambar 2.2 Perubahan Organ karena BPH

b. Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit

Gambar 2.3 Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit

c. Perubahan peningkatan terjadi dengan Derajat BPH

Gambar 2.4 Perubahan peningkatan terjadi dengan Derajat BPH


d. Obstruksi saluran kemih karena urin tidak mampu lewati prostat

Gambar 2.5 Obstruksi saluran kemih karena urin tidak mampu lewati
prostat

C. Etiologi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

Penyebab terjadinya BPH belum diketahui secara pasti, namun factor usia
dan hormonal menjadi predisposisi terjadinya BPH. Beberapa hipotesis
menyebutkan bahwa hyperplasia prostat sangat erat kaitannya dengan (Eko
Prabowo & Andi Eka Pranata, 2014) :
a. Peningkatan DHT (dehidrosteron)

Peningkatan enzim 5 alfa reduktsase dan reseptor androgen menyebabkan


epitel dan stroma dari kelenjer prostat mengalami hyperplasia.
Hal ini terjadi karena, enzim 5 alfa reduktase dan reseptor androgen (RA)
berikatan membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel, yang nantinya akan
mensintesis protein growth factor yang akan menstimulasi pertumbuhan sel
prostat (Purnomo, 2012).
b. Ketidakseimbangan estrogen-testosteron

Ketidakseimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada proses


penuaaan yang terjadi pada pria, hormone estrogen akan meningkat dan
hormone testosterone akan menurun. Hal inilah yang akan memicu terjadinya
hyperplasia stroma dan epitel.
Estrogen di dalam prostat itu berfungsi dalam proliferasi sel-sel prostat
terhadap rangsangan hormone androgen, yang akan meningkatkan jumlah
reseptor androgen, dan mengurangi terjadinya kematian sel-sel prostat
(apoptosis) (Purnomo, 2012).
c. Interaksi antar sel stroma dan sel epitel prostat

Peningkatan kadar epidermal growth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasia stroma
dan epitel, sehingga akan terjadi BPH.
d. Berkurangnya kematian sel (apoptosis)

Estrogen yang meningkat akan menyebabkan peningkatan lamanya hidup


stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
e. Teori stem sel

Sel stem yang meningkat akan menyebabkan poliferasi sel transit dan
memicu terjadinya BPH.
Sel-sel yang mati akibat dari apoptosis, akan digantikan oleh sel-sel baru. Sel
stem inilah yang akan berproliferasi membentuk sel-sel baru tersebut.
Keberadaan sel ini bergantung kepada hormone androgen. Terjadinya
proliferasi sel pada penderita BPH diasumsikan sebagai bentuk dari
ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan
pada sel stroma maupun sel pada kelenjar (Purnomo, 2012).

D. TANDA DAN GEJALA

Menurut Arora P.Et al 2010

1. Gejala iritatif meliputi :


a. Peningkatan frekuensi berkemih
b. Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
c. Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda (urgensi)
d. Nyeri pada saat miksi (disuria)

2. Gejala obstruktif meliputi :


a. Pancaran urin melemah
b. Rasa tidak puas sehabis miksi, kandung kemih tidak kosong dengan baik
c. Kalau mau miksi harus menunggu lama
d. Volume urin menurun dan harus mengedan saat berkemih
e. Aliran urin tidak lancar/terputus-putus
f. Urin terus menetes setelah berkemih
g. Waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan
inkontinensia karena penumpukan berlebih.
h. Pada gejala yang sudah lanjut, dapat terjadi Azotemia (akumulasi produk
sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urin kronis dan volume
residu yang besar.
3. Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan
rasa tidak nyaman pada epigastrik.
Berdasarkan keluhan dapat dibagi menjadi (Sjamsuhidajat dan De jong, 2008)

a. Derajat I : penderita merasakan lemahnya pancaran berkemih, kencing tak


puas, frekuensi kencing bertambah terutama pada malam hari
b. Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan
mengeluh waktu miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam
bertambah hebat.
c. Derajat III : timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa
timbul aliran refluk ke atas, timbul infeksi ascenden menjalar ke ginjal dan
dapat menyebabkan pielonfritis, hidronefrosis.

E. PATOFISIOLOGI
Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun.

Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan

patologi,anatomi yang ada pada pria usia 50 tahunan. Perubahan hormonal

menyebabkan hiperplasia jaringan penyangga stromal dan elemen glandular pada

prostat.

Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan

pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah

terjadi pembesaran prostat, resistensi urin pada leher buli-buli dan daerah prostat

meningkat, serta otot detrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi
atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi. Apabila

keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami

dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi

urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran

kemih atas.(Basuki B Purnomo,2008) Adapun patofisiologi dari masing-masing

gejala yaitu :

1. Penurunan kekuatan dan aliran yang disebabkan resistensi uretra adalah

gambaran awal dan menetap dari BPH. Retensi akut disebabkan oleh edema

yang terjadi pada prostat yang membesar.

2. Hesitancy (kalau mau miksi harus menunggu lama), terjadi karena detrusor

membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan resistensi uretra.

3. Intermittency (kencing terputus-putus), terjadi karena detrusor tidak dapat

mengatasi resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa

belum puas sehabis miksi terjadi karena jumlah residu urin yang banyak

dalam buli-buli.

4. Nocturia miksi pada malam hari) dan frekuensi terjadi karena pengosongan

yang tidak lengkap pada tiap miksi sehingga interval antar miksi lebih pendek.

5. Frekuensi terutama terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan

normal dari korteks berkurang dan tonus sfingter dan uretra berkurang selama

tidur.

6. Urgensi (perasaan ingin miksi sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat

miksi) jarang terjadi. Jika ada disebabkan oleh ketidak stabilan detrusor

sehingga terjadi kontraksi involunter,

7. Inkontinensia bukan gejala yang khas, walaupun dengan berkembangnya


penyakit urin keluar sedikit-sedikit secara berkala karena setelah buli-buli

mencapai complience maksimum, tekanan dalam buli-buli akan cepat naik

melebihi tekanan spingter.

8. Hematuri biasanya disebabkan oleh oleh pecahnya pembuluh darah

submukosa pada prostat yang membesar.

9. Lobus yang mengalami hipertropi dapat menyumbat kolum vesikal atau

uretra prostatik, sehingga menyebabkan pengosongan urin inkomplit atau

retensi urin. Akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal

(hidronefrosis) secara bertahap, serta gagal ginjal.

10. Infeksi saluran kemih dapat terjadi akibat stasis urin, di mana sebagian urin

tetap berada dalam saluran kemih dan berfungsi sebagai media untuk

organisme infektif. Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu

endapan dalam buli-buli, Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan

menimbulkan hematuri. Batu tersebut dapat pula menimbulkan sistiitis dan

bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis.


WOC Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

Growth Faktor Sel Prostat Prolokerasi


umur panjang Abnormal
Estrogen dan Sel Stroma Sel strem
Testoteron Pertumbuhan
tidak seimbang Berpacu Sel yang Produksi sel
Mati kurang stroma dan epitel
berlebih

Prostat membesar

Penyempitan lumen posterior TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat)

Obstruksi Iritasi mukosa Pemasangan DC Kurangnya informasi

Kandung kencing terhadap tindakan

pembedahan
Retensi urin
Resiko infeksi

Nyeri akut Cemas


F. Komplikasi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
1. Urinary traktus ingection
2. Retensi urin akut
3. Obstruksi dengan dilatasi uretra, hydronefrosis dan gangguan fungsi ginjal

G. Manifestasi Klinis Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

BPH adalah penyakit yang diderita oleh laki-laki usia rata-rata 50 tahun.
BPH merupakan gambaran klinis dari dampakn obstruksi saluran kencing, sehingga
pasien sulit untuk miksi (buang air kecil). Berikut beberapa gambaran klinis pada
klien BPH (Eko Prabowo & Andi Eka Pranata, 2014) :
a. Gejala prostismus (nokturia, urgency, penurunan aliran urine)

Kondisi ini disebabkan oleh kemampuan vesika urinaria yang gagal


mengeluarkan urine secara spontan dan regular, sehingga volume urine
sebagian besar masih tertinggal di dalam vesika.
b. Retensi urine

Pada awal obstruksi, biasanya pancaran urine lemah, akan terjadi hesistansi,
intermitensi, urine menetes, dorongan mengejan yang kuat saat miksi, dan
retensi urine. Retensi urine sering dialami oleh penderita BPH krronik. Secara
fisiologis vesika urinaria memiliki kemampuan untuk mengeluarkan urine
melalui kontraksi otot destrusor. Namun obstruksi yang berkepanjangan akan
membuat beban kerja m. destrusor semakin berat dan pada akhirnya akan
mengalami dekompensasi.
c. Pembesaran prostat

Hal ini diketahui melalui rectal toucher (RT) anterior. Biasanya didapatkan
gambaran pembesaran prostat dengan konsistensi jinak.
d. Inkontinensia

Inkotinensia yang terjadi menunjukkan bahwa m. destrusor gagal melakukan


kontraksi. Dekompensasi yng berlangsung yang berlangsung lama akan
mengiritabilitas serabut syaraf urinarius, sehingga control untuk melakukan
miksi hilang.

H. Penatalaksanaan Medis Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) Dalam


Keperawatan

Penyakit BPH merupakan penyakit bedah, sehingga terapi bersifat


simptomatis untuk mengurangi tanda dan gejala yang diakibatkan oleh obstruksi
pada saluran kemih. Terapi simptosis ditujukan untuk merelaksasi otot polos
prostat, sehingga obstruksi akan berkurang. Jika keluhan masih bersifat ringan,
maka observasi diperlukan dengan pengobatan simptosis untuk mengevaluasi
perkembangan klien. Namun, jika telah terjadi obstruksi / retensi urine, infeksi,
vesikolithiasis, insufiensi ginjal, maka harus dilakukan pembedahan.
1) Terapi Simptomatis

Pemberian obat golongan reseptor alfa-adrenegik inhibitor mampu


merelaksasikan otot polos prostat dan saluran kemih akan lebih terbuka.
Obat goloingan 5-alfa-reduktase inhibitor mampu menurunkan kadar
dehidrotesteron intraprostat, sehingga dengan turunnya kadar testosterone
dalam plasma maka prostat akan mengecil (Schwartz, 2000)
2) TUR – P (Transuretral Resection Prostatectomy)

Tindakan ini merupakan tindakan pembedahan non insisi, yaitu


pemotongan secara elektris prostat melalui meatus uretralis. Jaringan
prostat yang membesar dan menghalangi jalannya urine akan dibuang
melalui elektrokauter dan dikeluarkan melalui irigasi dilator. Tindakan ini
memiliki banyak keuntungan, yaitu meminimalisir tindakan npembedahan
terbuka, sehinggga masa penyembuhan lebih cepat dan tingkat infeksi
resiko bisa ditekan.
3) Pembedahan Terbuka (Prostatectomy)

Tindakan ini dilakukan jika prostat terlalu besar diikuti oleh penyakit
penyerta lainnya, misalnya tumor vesika urinaria, vesikolithiasis, dan
adanya adenoma (Schwartz.2008)
I. Pemeriksaaa Diagnostik dan Pemeriksaan Penunjang Benigna Prostat
Hiperplasia (BPH)

Pemeriksaan klinis dilakukan untuk,mengetahui apakah pembesaran ini bersifat


benigna atau maligna dan untuk memastikan tidak adanya penyakit penyakit
penyerta lainnya. Berikut pemeriksaannya (Grace,2010) :
1) Urinalisis dan Kultur Urine

Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBB (Red Blood
Cell) dalam urine yang memanifestasikan adanya perdarahan / hematuria.

2) DPL (Deep Peritoneal Lavage)

Pemeriksaan pendukung ini untuk melihat ada tidaknya perdarahan internal


dalam abdomen. Sampel yang diambil adalah cairan abdomen dan diperiksa sel
darah merahnya.
3) Ureum, Elektrolit dan Serum Kreatinin

Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini sebagai data
pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi dari BPH, karena obstruksi
yang berlangsung kronis seringkali menimbulkan hidronefrosis yang lambat
laun akan memperberat fungsi ginjal dan pada akhirnya menjadi gagal ginjal.
4) PA ( Patologi Anatomi)

Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi. Sampel


jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk mengetahui apakah
hanya berseifat benigna atau maligna, sehingga akan menjadi landasan
treatment selanjutnya.
5) Catatan Harian Berkemih
Setiap hari perlu dilakukan evaluasi output urine, sehingga akan terlihat
bagaimana siklus rutinitas miksi dari pasien. Data ini menjadi bekal untuk
membandingkan dengan pola eleminasi urine yang normal.
6) Urovloumetri

Dengan menggunakan alat pengukur, maka akan terukur pancaran urine. Pada
obstruksi dini seringkali pancaran melemah bahkan meningkat.. hal ini
disebabkan obstruksi dari kelenjar prostat pada traktus urinarius. Selain itu,
volume residu urine juga harus diukur. Normalnya residual urine < 100ml.
namun, residual yang tinggi membuktikan bahwa vesika urinaria tidak mampu
mengeluarkan urine secara baik karena adanya obstruksi.
7) USG Ginjal dan Vesika Urinaria

USG ginjal bertujuan untuk melihat adanya komplikasi penyerta dari BPH,
misalnya hidronephrosis. Sedangkan USG pada vesika urinaria akan
memperliharkan gambaran pembesaran kelenjar prostat.
B. Asuhan Keperawatan Teoritis
a. Pengkajian
1. Anamnesa
Prostat hanya dialami pada laki-laki. Keluhan yang sering dialami oleh klien
dikenal dengan istilah LUTS (Lower Urininary Tract Symptoms), yaitu hesistansi,
pancaran urin lemah, intermittensi, urgensi, ada sisa urin pasca miksi, frekuensi
dan disuria (jika obstruksi meningkat)
2. Pemeriksaan Fisik
 Peningkatan nadi dan tekanan darah (tidak signifikan, kecuali ada penyakit
yang menyertai). Ini merupakan bentuk kompensasi dari nyeri akibat
obstruksi meatus uretralis dan adanya distensi bladder. Jika retensi urin
berlangsung lama akan ditemukan ditemukan tanda dari gejala urosespsis
(peningkatan suhu tubuh) .
 Obstruksi kronis pada saluran kemih akibat BPH menimbulkan retensi urin
pada bladder hal ini akan memicu terjadinya refluks urin dan terjadi
hidronefrosis serta pyelonefrosis, sehingga jika kita palpasi secara secara
bimanual akan ditemukan rabaan pada ginjal. Pada palpasi suprasimfisis
akan teraba distensi bladder
 pada pemeriksaan penis, pada pemeriksaan ini uretra dan skrotum tidak akan
ditemukan kelainan kecuali penyakit ini disertai oleh penyakit seperti
stenosis meatus, stiktur uretralis, uretralithiasis, kanker penis maupun
epididimitis.
 Pemeriksaan rectal toucher, pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan
sederhgana dan paling mudah untuk menegakkan BPH. Tujuannya adalah
menentukan konsistensi system persarafan unit resiko uretra dan besarntya
prostat.

3. Pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan darah lengkap tidak menunjukkan adanya kelainan,


kecuali jika BPH disertai oleh urosepsis, yaitu adanya peningkatan leukosit. Pada
pemeriksaan urin lengkap akan ditemukan bakteri pathogen pada kultur jika
adanya infeksi dan adanya eritrosis jika terjadinya rupture pada jaringan prostat.
Pada kondisi pois operasi, pemeriksaan PA dilakukan untuk menentukan
keganasan atau jinaknya jaringan prostat yang mengalami hyperplasia.

4. Pemeriksaan Penunjang Lainnya

Pemeriksaan penunjang lainnya bisa membantu untuk menegakkan


diagnosisi BPH yaitu USG ginjal (melihat komplikasi) dan vesika urinaria
(tampak pembesaran jaringan prostat). Pemeriksaan uroflowmetri sangat penting
untuk melihat pancaran urin.
Berikut penilaian dari pemeriksaan uroflowmetri:
a. Flowret maksimal > 15 ml/detik = non obstruktif\
b. Flowret maksimal 10-15 ml/detik = borderline
c. Flowret maksimal < 15ml/detik = obstruktif

b. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi


2. Cemas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi
proses bedah
3. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
faktor biologi
4. Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan spasme kandung kemih
c. Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa NOC NIC
1 Nyeri akut  Pain level  Kaji skala Nyeri
berhubungan  Pain control  Observasi reaksi non
dengan agen  Comfort Level verbal dari ketidak
injuri biologi Kriteria Hasil : nyamanan
- Mampu mengontrol Nyeri  Gunakan teknik
- Rasa Nyeri berkurang komunikasi
- Mampu mengenal Nyeri terapeutik untuk
(Skala,intensitas,frekuensi) mengkaji
pengalaman nyeri
 Ciptakan
lingkunganm yang
nyaman (Suhu
ruangan,Pencahayaa
n dan kebisingan)
 Ajarkan pasien
pengobatan non
farmakologi
(Managemen Nyeri)
 Kolaborasikan
pemberian analgetik
(Anti nyeri)

2 Cemas  Anxiety self-Control  Gunakan


berhubungan  Anxiety level pendekatan yang
dengan  Coping menenangkan
perubahan  Jelaskan prosedur
status kesehatan Kriteria Hasil : dan apa yang
atau - Mampu mengontrol dirasakan selama
menghadapi Cemas prosedur
proses bedah. - Vital Sign dalam batas  Pahami
normal perspektifpasien
- Menunjukan terhadap situasi
berkurangnya strees
kecemasan  Motivasi keluarga
untuk menemani
 Identifikasi tingkat
kecemasan
 Motivasi pasien
untuk
mengungkapkan
perasaannya
 Intruksikan pasien
menggunakan teknik
relaksasi

3 Ketidakseimban  Nutrisitional status  Kaji adanya alergi


gan nutrisi : makanan
 Nutrisitional status : food  Kolaborasikan
kurang dari and Fluid intake dengan ahli gizi
kebutuhan  Nutrisitional status : untuk menentukan
tubuh Nutrien intake jumlah kalori dan
berhubungan nutrisi yang
 Weight control dibutuhkan pasien
dengan factor  Monitor intake dan
Kriteria Hasil : output pasien
biologi  informasikan
pentingnya nutrisi
 Berat badan (BB) ideal bagi pasien
sesuai tinggi badan
 Mampu
mengidentifikasi
kebutuhan nutrisi
 tidak ada tanda-tanda
malnutrisi
 Peningkatan fungsi
pengecapan dan
menelan
 Tidak ada penurunan
BB yang berarti
4 Perubahan pola  Urinary elimination  Observasi output
eliminasi urine
berhubungan  Urinary Contiunence  Masukan kateter
dengan spasme Kriteria Hasil : kemih
kandung kemih  Anjurkan pasien
- Kandung kemih atau keluarga
kosongkan secara penuh merekam output
- Tidak ada residu urine > urine
100-200 cc
- Intake cairan dalam
rentang normal
- Bebas dari ISK
- Tidak ada spasme bladder
- Balance Cairan seimbang
d. Implementasi

Implementasi keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan


dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan
(Nursalam, 2013). Tahapannya yaitu :
a. Mengkaji kembali klien
b. Menelaah dan memodifikasi rencana perawatan yang sudah ada
c. Melakukan tindakan keperawatan.
Prinsip implementasi:
a. Berdasarkan respons pasien
b. Berdasarkan hasil penelitian keperawatan
c. Berdasarkan penggunaan sumber-sumber yang tersedia
d. Mengerti dengan jelas apa yang ada dalam rencana intervensi
keperawatan
e. Harus dapat menciptakan adaptasi dengan pasien untuk
meningkatkan peran serta untuk merawat diri sendiri (self care)
f. Menjaga rasa aman dan melindungi pasien
g. Kerjasama dengan profesi lain melakukan dokumentasi

e. Evaluasi

Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan dengan cara


melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau
tidak (Nursalam, 2013).

Anda mungkin juga menyukai