Disusun Oleh:
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia jumlah lanjut usia (usila) terus meningkat dari tahun ke tahun tentunya akan
menimbulkan persoalan-persoalan baru, tidak saja di bidang sosial-ekonomi, tetapi juga
di bidang kesehatan, baik tingkat negara, masyarakat, maupun individu. Perubahan-
perubahan yang terjadi dapat mengakibatkan kemunduran fungsi sehingga
kemampuan fisik menurun (disability) atau kekacauan koordinasi (disorder) sehingga
dapat menimbulkan hambatan atau rintangan (handicap), bahkan sampai dapat mengarah
pada suatu penyakit (disease). Perubahan-perubahan itu akan berjalan terus, dan akan
semakin cepat (progressive), setelah umur melampaui dekade ke-enam. Dari sekian
banyak Geriatric Giant (problem yang banyak diderita usila) pada pria adalah
inkontinentia urine (ketidak mampuan mengendalikan diri dalam kencing) yang pada
lanjut usia salah satu penyebabnya adalah Pembesaran Prostat.
Pembesaran Prostat Jinak menurut kejadiannya disebabkan oleh
dua faktor penting yaitu ketidak seimbangan hormon estrogentestosteron,
serta faktor umur/ proses menua. Secara umum kira-kira 50% pada usia 60 tahun, dan
meningkat menjadi 70% pada usia 70 tahun dan 90% pada usia 90 tahun, namun
hanya 50% yang mengalami gejala/ keluhan yang jelas. Di Indonesia
prevalensinya belum diketahui dengan pasti (Soebandi, 2001)
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Memperoleh informasi tentang penyakit BPH dan asuhan keperawatannya.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu menjelaskan konsep dasar teori Asuhan Keperawatan dengan
diagnosa BPH
b. Mampu melakukan pengkajian pada klien dengan diagnosa BPH
c. Mampu menentukan diagnosa keperawatan pada klien dengan diagnosa BPH
d. Mampu membuat rencana tindakan asuhan keperawatan pada klien dengan
diagnosa BPH
e. Mampu menerapkan rencana yang telah disusun pada klien dengan diagnosa
BPH
f. Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada klien dengan diagnosa BPH
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat,
disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi
jaringan kelenjar/jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars
prostatika (Lab/UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 2004).
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria lebih
tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran
urinarius (Marilynn, E.D, 2000).
Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara
umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi urethral dan
pembatasan aliran urinarius (Doengoes, Moorhouse & Geisler, 2009).
Kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra Pars
Prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli (Poernomo,
2006).
B. Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya Benigna Prostat Hyperplasia sampai sekarang belum
diketahui secara pasti, tetapi hanya 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya Benign
Prostatic Hyperplasia yaitu testis dan usia lanjut.
Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga
timbulnya Benign Prostatic Hyperplasia antara lain :
1. Hipotesis Dihidrotestosteron (DHT)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen akan menyebabkan epitel dan
stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasia.
2. Ketidak seimbangan estrogen – testoteron
Dengan meningkatnya usia pada pria terjadi peningkatan hormon Estrogen dan
penurunan testosteron sedangkan estradiol tetap. yang dapat menyebabkan
terjadinya hyperplasia stroma.
3. Interaksi stroma - epitel
Peningkatan epidermal gorwth faktor atau fibroblas gorwth faktor dan penurunan
transforming gorwth faktor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel.
4. Penurunan sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel
dari kelenjar prostat.
5. Teori stem cell
Teori sel steam menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel steam sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan
(Poernomo, 2000). Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.
C. Manifestasi Klinik
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigna Prostat Hyperplasia disebut sebagai
Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
1. Gejala Obstruktif yaitu :
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan
waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya
tekanan dalam uretra prostatika.
b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika
sampai berakhirnya miksi.
c. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d. Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
2. Gejala Iritasi yaitu :
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada
malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
3. Menurut Purnomo (2006), pada pasien post operasi BPH, mempunyai tanda dan
gejala:
a. Haemoragi
b. Hematuri
c. Peningkatan nadi
d. Tekanan darah menurun
e. Gelisah
f. Kulit lembab
g. Temperatur dingin
h. Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat
i. Gejala-gejala intoksikasi air secara dini:
- Bingung
- Agitasi
- Kulit lembab
- Anoreksia
- Mual
- Muntah
D. Patofisiologi
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan seiring dengan bertambahnya
usia sehingga terjadi perubahan keseimbangan hormonal yaitu terjadi reduksi testosteron
menjadi Dehidrotestosteron dalam sel prostat yang kemudian menjadi faktor terjadinya
penetrasi DHT ke dalam inti sel. Hal ini dapat menyebabkan inskripsi pada RNA
sehingga menyebabkan terjadinya sintesis protein yang kemudian menjadi hiperplasia
kelenjar prostat (Mansjoer, 2000 dan Poernomo, 2006).
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, maka akan terjadi penyempitan
lumen uretra prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intra vesikel. Untuk dapat mengeluarkan urine buli-buli harus
berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan tersebut, sehingga akan terjadi resistensi
pada buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor menebal dan meregang
sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut fase
kompensasi. Apabila keadaan berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urine (Mansjoer, 2000, dan Poernomo, 2000).
Tekanan intravesikel yang tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak
terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat
menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks-vesiko ureter.
Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis
bahkan akhirnya dapat terjadi gagal ginjal (Poernomo, 2000).
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Meliputi ureum (BUN), kreatinin, elekrolit, tes sensitivitas dan biakan urin.
2. Radiologis
Intravena pylografi (IVP), BNO, sistogram, retrograd, USG, CT-Scan, cystoscopy,
foto polos abdomen. Indikasi sistogram retrogras dilakukan apabila fungsi ginjal
buruk, ultrasonografi dapat dilakukan secara trans abdominal atau trans rectal
(TRUS = Trans Rectal Ultra Sonografi), selain untuk mengetahui pembesaran
prostat ultra sonografi dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukut sisa urine
dan keadaan patologi lain seperti difertikel, tumor dan batu (Syamsuhidayat, 2005).
C. Penatalaksanaan
1. Non Operatif
a. Pembesaran hormon estrogen & progesteron
b. Massase prostat, anjurkan sering masturbasi
c. Anjurkan tidak minum banyak pada waktu yang pendek
d. Cegah minum obat antikolinergik, antihistamin & dengostan
e. Pemasangan kateter.
2. Operatif
Indikasi : terjadi pelebaran kandung kemih dan urine sisa 750 ml
a. TURP (Trans Uretral Resection Perineal)
b. STP (Suprobic Transersal Prostatectomy)
c. REP (Retropubic Extravesical Prostatectomy)
d. Prostatectomy terbuka
3. Terapi medikamentosa
a. Penghambat adrenergic alfa, contoh: prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin
b. Penghambat enzim 5 alfa reduktasi, contoh: firasterid (proscar).
BAB III
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa / ras, pendidikan, bahasa yang dipakai, pekerjaan, penghasilan dan alamat.
Jenis kelamin dalam hal ini klien adalah laki – laki berusia lebih dari 50 tahun
2. Keluhan utama
Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH pasca TURP adalah nyeri yang
berhubungan dengan spasme buli – buli. Pada saat mengkaji keluhan utama perlu
diperhatikan faktor yang mempergawat atau meringankan nyeri
(provokative/paliative), rasa nyeri yang dirasakan (quality), keganasan/intensitas
(saverity) dan waktu serangan, lama, kekerapan (time).
3. Riwayat penyakit sekarang
Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan Lower Urinari Tract
Symptoms ( LUTS ) antara lain : hesitansi, pancar urin lemah, intermitensi, terminal
dribbling, terasa ada sisa setelah selesai miksi, urgensi, frekuensi dan disuria
(Harjowidjoto, 2001).
Perlu ditanyakan mengenai permulaan timbulnya keluhan, hal-hal yang dapat
menimbulkan keluhan dan ketahui pula bahwa munculnya gejala untuk pertama kali
atau berulang.
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan penyakit
sekarang perlu ditanyakan. Diabetes Mellitus, Hipertensi, PPOM, Jantung Koroner,
Dekompensasi Kordis dan gangguan faal darah dapat memperbesar resiko terjadinya
penyulit pasca bedah. Ketahui pula adanya riwayat penyakit saluran kencing dan
pembedahan terdahulu.
5. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit pada anggota keluarga yang sifatnya menurun seperti : Hipertensi,
Diabetes Mellitus, Asma perlu digali .
6. Riwayat psikososial
Kaji adanya emosi kecemasan, pandangan klien terhadap dirinya serta hubungan
interaksi pasca tindakan TURP.
7. Pola – pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat.
Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena tirah baring selama 24 jam
pasca TURP. Adanya keluhan nyeri karena spasme buli – buli memerlukan
penggunaan anti spasmodik sesuai terapi dokter. (Marilynn. E.D, 2000).
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Klien yang di lakukan anasthesi SAB tidak boleh makan dan minum sebelum
flatus .
c. Pola eliminasi
Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Retensi urin dapat
terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter. Sedangkan inkontinensia dapat
terjadi setelah kateter di lepas (Harjowidjoto, 2001)
d. Pola aktivitas dan latihan
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan terpasang
traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter
tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
e. Pola tidur dan istirahat
Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat mempengaruhi pola
tidur dan istirahat.
f. Pola kognitif perseptual
Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan Penghidu tidak
mengalami gangguan pasca TURP.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Klien dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang perawatan dan
komplikasi pasca TURP.
h. Pola hubungan dan peran
Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka dapat
mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga tempat kerja dan
masyarakat.
i. Pola reproduksi seksual
Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan ejakulasi retrograd
j. Pola penanggulangan stress
Stress dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang perawatan dan
komplikasi pasca TURP. Gali adanya stres pada klien dan mekanisme koping
klien terhadap stres tersebut.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya traksi kateter memerlukan adaptasi klien dalam menjalankan ibadahnya .
8. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Setelah operasi klien dalam keadaan lemah dan kesadaran baik, kecuali bila
terjadi shock. Tensi, nadi dan kesadaran pada fase awal ( 6 jam ) pasca operasi
harus diminitor tiap jam dan dicatat. Bila keadaan tetap stabil interval monitoring
dapat diperpanjang misalnya 3 jam sekali (Tim Keperawatan RSUD. dr.
Soetomo, 1997 ).
b. Sistem pernafasan
Klien yang menggunakan anasthesi SAB tidak mengalami kelumpuhan
pernapasan kecuali bila dengan konsentrasi tinggi mencapai daerah thorakal atau
servikal (Oswari, 1999).
c. Sistem sirkulasi
Tekanan darah dapat meningkat atau menurun pasca TURP. Lakukan cek Hb
untuk mengetahui banyaknya perdarahan dan observasi cairan (infus, irigasi, per
oral) untuk mengetahui masukan dan haluaran.
d. Sistem neurologi
Pada daerah kaudal akan mengalami kelumpuhan (relaksasi otot) dan mati rasa
karena pengaruh anasthesi SAB (Oswari , 1999).
e. Sistem gastrointestinal
Anasthesi SAB menyebabkan klien pusing, mual dan muntah (Oswari, 1999) .
Kaji bising usus dan adanya massa pada abdomen .
f. Sistem urogenital
Setelah dilakukan tindakan TURP klien akan mengalami hematuri . Retensi dapat
terjadi bila kateter tersumbat bekuan darah. Jika terjadi retensi urin, daerah supra
sinfiser akan terlihat menonjol, terasa ada ballotemen jika dipalpasi dan klien
terasa ingin kencing. Residual urin dapat diperkirakan dengan cara perkusi.
Traksi kateter dilonggarkan selama 6 – 24 jam.
g. Sistem muskuloskaletal
Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang direkatan kateter
tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan. (Tim Keperawatan RSUD. dr.
Soetomo, 1997).
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Pre Operasi
1. Retensi urine berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran
prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung kemih untuk
berkontraksi secara adekuat.
2. Nyeri akut berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli, distensi kandung kemih,
kolik ginjal, infeksi urinaria.
3. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi prosedur
bedah.
Post Operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan diskontinuitas jaringan sekunder akibat pembedahan
2. Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan kehilangan darah
berlebihan.
3. Resiko tinggi terjadinya kelebihan cairan yang berhubungan dengan absorbsi cairan
irigasi (TURP).
4. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi sekunder dari TURP.
5. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan kateterisasi, irigasi kandung
kemih dan luka insisi
6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas
7. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan katerisasi, drainase dan irigasi
kandung kemih
8. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan otot sekunder akibat
pembedahan
C. RENCANA KEPERAWATAN
Pre Operasi:
1. Retensi urine berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran
prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung kemih untuk
berkontraksi secara adekuat.
a. Tujuan : tidak terjadi retensi urine
b. Kriteria hasil :Berkemih dalam jumlah yang cukup, tidak teraba distensi
kandung kemih
c. Rencana tindakan dan rasional:
- Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.
R/ Meminimalkan retensi urina distensi berlebihan pada kandung kemih
- Observasi aliran urina perhatian ukuran dan kekuatan pancaran urina
R / Untuk mengevaluasi ibstruksi dan pilihan intervensi
- Awasi dan catat waktu serta jumlah setiap kali berkemih
R/ Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan yang
dapat mempengaruhi fungsi ginjal
- Berikan cairan sampai 3000 ml sehari dalam toleransi jantung.
R/ Peningkatkan aliran cairan meningkatkan perfusi ginjal serta
membersihkan ginjal ,kandung kemih dari pertumbuhan bakteri
- Berikan obat sesuai indikasi ( antispamodik)
R/ mengurangi spasme kandung kemih dan mempercepat penyembuhan
2. Nyeri akut berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli, distensi kandung kemih,
kolik ginjal, infeksi urinaria.
a. Tujuan: Nyeri hilang / terkontrol.
b. Kriteria hasil: Klien melaporkan nyeri hilang / terkontrol, menunjukkan
ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik sesuai indikasi untuk situasi
individu. Tampak rileks, tidur / istirahat dengan tepat.
c. Rencana tindakan dan rasional:
- Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0 - 10 ).
R/ Nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih / masase urin sekitar
kateter menunjukkan spasme buli-buli, yang cenderung lebih berat pada
pendekatan TURP ( biasanya menurun dalam 48 jam ).
- Pertahankan potensi kateter. Pertahankan selang bebas dari lekukan dan
bekuan.
R/ Mempertahankan fungsi kateter dapat menurunkan resiko distensi /
spasme buli - buli.
- Pertahankan tirah baring bila diindikasikan
R/ Diperlukan selama fase awal selama fase akut.
- Berikan tindakan kenyamanan ( sentuhan terapeutik, pengubahan posisi,
pijatan punggung ) dan aktivitas terapeutik.
R / Menurunkan tegangan otot, memfokusksn kembali perhatian dan dapat
meningkatkan kemampuan koping.
- Kolaborasi dalam pemberian analgeik
R / Menghilangkan nyeri
Post Operasi:
1. Nyeri akut berhubungan dengan diskontinuitas jaringan sekunder akibat
pembedahan.
a. Tujuan: nyeri teratasi/terkontrol
b. Kriteria hasil: Klien melaporkan nyeri berkurang, Ekspres wajah rileks
c. Rencana tindakan dan rasional
1) Mengkaji karakreristik nyeri, catat lokasi, faktor pencetus nyeri, minta klien
untuk menetapkan skala nyeri 1-10.
Rasional : Membantu menentukan pilihan intervensi dan memberikan dasar
untuk perbandingan evaluasi
2) Memonitor tanda-tanda vital
Rasional : Peningkatan tekanan darah, nadi dapat mengindikasikan nyeri
meningkat
3) Mengajarkan tehnik distraksi relaksasi dengan nafas dalam
4) Rasional : membantu menurunkan tegangan otot sehingga dapat
menghilangkan stress.
5) Kolaborasi pemberian analgetik
Rasional : merelaksasi otot dan menurunkan nyeri
3. Resiko tinggi terjadinya kelebihan cairan yang berhubungan dengan absorbsi cairan
irigasi (TURP).
a. Tujuan: Keseimbangan cairan tetap terpelihara.
b. Kriteria hasil: Masukan dan haluaran seimbang, irigan keluar secara total, sadar
penuh, berorientasi, dan menunjukkan tak ada abnormalitas fungsi motorik.
c. Rencana tindakan dan rasional
1) Pantau dan laporkan tanda dan gejala difusi hiponatremia.
Rasional : Hiponatremi adalah tanda kelebihan cairan.
2) Pantau masukan dan haluaran tiap 4 – 8 jam.
Rasional : indikator keseimbangan cairan dan kebutuhan penggantian.
3) Hentikan irigasi saat saat tanda kelebihan cairan terjadi dan laporkan tim
medis
Rasional : mencegah absorbsi yang berlebihan.
4) Gunakan spuit untuk mengirigasi kateter oleh bekuan darah jika
diinstruksikan
Rasional: mencegah terjadinya retensi
Lab/UPF Ilmu Bedah, 2004. Pedoman Diagnosis Dan Terapi. Surabaya, Fakultas Kedokteran
Airlangga, RSUD. dr. Soetomo.
Doenges, M. E., Moorhous, M. F., & Geissler, A. C. (2009). Rencana Asuhan Keperawatan:
Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3. Jakarta:
EGC
Mansjoer, A., dkk, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius
Oswari, Dr. 1999. Bedah Dan Perawatannya. Jakarta: PT. Gramedia. Anggota IKAPI.
Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997. Standar Asuhan Keperawatan Penyakit
Bedah. Surabaya, Bidang Perawatan RSUD. Dr. Soetomo.
http://askep-laporan-pendahuluan.blogspot.co.id/2015/09/asuhan-keperawatan-untuk-bph-
benigna.html. Diakses pada tanggal 18 Agustus 2016 pukul 19.07 WIB