Anda di halaman 1dari 256

TUGAS BEDAH

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)

DI SUSUN OLEH:
MAHASISWA PROFESI NERS

NENY MARWIYAH
NIM: 19640944

PENDIDIKAN PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS KADIRI

TAHUN 2019/2020
BAB 1
LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)

A. DEFINISI
BPH ( Benigna Prostat Hyperplasia ) adalah suatu keadaan dimana kelenjar
prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan
menyumbat aliran urine dengan menutup orifisium uretra (Smeltzer dan Bare, 2013).
Hyperplasia merupakan pembesaran ukuran sel dan diikuti oleh penambahan jumlah sel.
BPH merupakan suatu kondisi patologis yang paling umum di derita oleh laki-laki
dengan usia rata-rata 50 tahun ( Prabowo dkk, 2014 ).
Benigna prostat hiperplasia (BPH) merupakan pembesaran kelenjar dan
jaringan seluler kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan endokrin
berkenaan dengan proses penuaan (Suharyanto & Madjid, 2013).
Pembesaran prostat disebabkan oleh dua faktor penting yaitu
ketidakseimbangan hormon estrogen dan androgen, serta faktor umur atau proses
penuaan sehingga obstruksi saluran kemih dapat terjadi(Andredkk, 2011).
Adanya obstruksi ini akan menyebabkan, respon nyeri pada saat buang air
kecil dan dapat menyebabkan komplikasi yang lebih parah seperti gagal ginjal akibat
terjadi aliran balik ke ginjal selain itu dapat juga menyebabkan peritonitis atau radang
perut akibat terjadinya infeksi pada kandung kemih (Andredkk, 2011).

B. ETIOLOGI
Menurut Prabowo dkk (2014) etiologi BPH sebagai berikut:
1. Peningkatan DKT (dehidrotestosteron)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan resepto androgen akan menyebabkan epitel
dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hyperplasia.
2. Ketidak seimbangan esterogen-testosteron
Ketidak seimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada proses
penuaan, pada pria terjadi peningkan hormone estrogen dan penurunan hormon
testosteron. Hal ini yang memicu terjadinya hiperplasia stroma pada prostat.
3. Interaksi antar sel struma dan sel epitel prostat
Peningkatan kadar epidermal growth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan
epitel, sehingga akan terjadi BPH.
4. Berkurangnya kematian sel ( apoptosis )
Estrogen yang meningkat akan menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan
epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori stem sel
Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit dan memicu
terjadi BPH.

C. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Hariono ,(2012) tanda dan gejala BPH meliputi:
1. Gejala obstruktif
a. Hesitansi, yaitu memulai kencing yang lama dan sering kali disertai dengan
mengejan.
b. Intermittency, yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan oleh
ketidak mampuan otot destrussor dalam mempertahankan tekanan intra
vesika sampai berakhirnya miksi.
c. Terminal dribbling, yaitu menetesnya urin pada akhir kencing.
d. Pancaran lemah, yaitu kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
2. Gejala iritasi
a. Urgensi, yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit di tahan.
b. Frekuensi, yaitu penderita miksi lebih sering miksi dari biasanya dapat
terjadi pada malam dan siang hari.
c. Disuria, yaitu nyeri pada waktu kencing.

D. PATOFISIOLOGI
Pertama kali BPH terjadi salah satunya karena faktor bertambahnya usia, dimana
terjadi perubahan keseimbangan testosterone, esterogen, karena produksi testosterone
menurun, produksi esterogen meningkat dan terjadi konversi testosteron menjadi
estrogen pada jaringan adipose di perifer. Keadaan ini tergantung pada hormon
testosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi
dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron
inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk
mensistesis protein sehingga mengakibatkan kelenjar prostat mengalami hyperplasia
yang akan meluas menuju kandung kemih sehingga mempersempit saluran uretra
prostatika dan penyumbatan aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat
guna melawan tahanan itu (Presti et al, 2013). Kontraksi yang terus-menerus ini
menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor,
trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot
detrusor ini disebut fase kompensasi. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh
pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract
symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus. Dengan
semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase
dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin. Retensi urine ini diberikan obat-obatan non invasif tetapi obat-obatan ini
membutuhkan waktu yang lama, maka penanganan yang paling tepat adalah tindakan
pembedahan, salah satunya adalah TURP (Joyce, 2014) .
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan tabung
10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotongan dan counter
yang disambungkan dengan arus listrik. Trauma bekas resectocopy menstimulasi pada
lokasi pembedahan sehingga mengaktifkan suatu rangsangan saraf ke otak sebagai
konsekuensi munculnya sensasi nyeri (Haryono, 2012).
PATHWAY

Faktor usia
(usia lanjut)

Perubahan keseimbangan
hormon testosterone dan esterogen

Kadar testosteron menurun esterogen meningkat

memacu m-RNA di dalam


sel-sel kelenjar prostat Hiperplasia sel prostat

Poliferasi sel prostat BPH

Tindakan pembedahan TURP


(Trans Uretral Reseksi Prostat)

Hambatan Mobititas Fisik


Trauma bekas resectocopy Pemasangan DC

Rangsangan saraf Diameter kecil Resiko Infeksi

Saraf eferen memberi respon

Nyeri Akut

Bagan 2.1 Pathway BPH ( Benign Prostatic Hyperplasia )


E. KLASIFIKASI DATA
Menurut R. Sjamsuhidajat dan Wim De Jong ( 2010 ), klasifikasi BPH meliputi :
1. Derajat 1 :
Biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberi pengobatan konservatif.
2. Derajat 2 :
Merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan
reseksi endoskopik melalui uretra ( trans urethral resection / TUR ).
3. Derajat 3 :
Reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila diperkirakan prostate sudah cukup
besar, reseksi tidak cukup 1 jam sebaiknya dengan pembedahan terbuka, melalui
trans retropublik / perianal.
4. Derajat 4
Tindakan harus segera dilakukan membebaskan klien dari retensi urine total
dengan pemasangan kateter.

F. KOMPLIKASI
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan
tekanan intra abdomen yang akan menimbulkan herniadan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasidan
hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
Menurut Widijanto ( 2011 ) komplikasi BPH meliputi :
a. Aterosclerosis
b. Infark jantung
c. Impoten
d. Haemoragik post operasi
e. Fistula
f. Struktur pasca operasi dan inconentia urin
g. Infeksi
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Haryono (2012) pemeriksaan penunjang BPH meliputi :
1. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter anus
mukosa rectum kelainan lain seperti benjolan dalam rectum dan prostat.
2. Ultrasonografi (USG)
Digunakan untuk memeriksa konsistensi volume dan besar prostat juga
keadaan buli-buli termasuk residual urine.
3. Urinalisis dan kultur urine
Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBC (Red
Blood Cell) dalam urine yang memanifestasikan adanya pendarahan atau hematuria
(prabowo dkk, 2014).
4. DPL (Deep Peritoneal Lavage)
Pemeriksaan pendukung ini untuk melihat ada tidaknya perdarahan internal
dalam abdomen. Sampel yang di ambil adalah cairan abdomen dan diperiksa jumlah
sel darah merahnya.
5. Ureum, Elektrolit, dan serum kreatinin
Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini sebagai data
pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi dari BPH.
6. PA(Patologi Anatomi)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi. Sampel
jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk mengetahui apakah hanya
bersifat benigna atau maligna sehingga akan menjadi landasan untuk treatment
selanjutnya.

H. PENATALAKSANAAN
Menurut Haryono (2012) penatalaksaan BPH meliputi :
1. Terapi medikamentosa
a. Penghambat adrenergik, misalnya prazosin, doxazosin, afluzosin.
b. Penghambat enzim, misalnya finasteride
c. Fitoterapi, misalnya eviprostat
2. Terapi bedah
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala
dan komplikasi, adapun macam-macam tindakan bedah meliputi:
a. Prostatektomi
i. Prostatektomi suprapubis , adalah salah satu metode mengangkat
kelenjar melalui insisi abdomen yaitu suatu insisi yang di buat
kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.
ii. Prostaktektomi perineal, adalah mengangkat kelenjar melalui suatu
insisi dalam perineum.
iii. Prostatektomi retropubik, adalah suatu teknik yang lebih umum di
banding [endekatan suprapubik dimana insisi abdomen lebih rendah
mendekati kelenjar prostat yaitu antara arkuspubis dan kandung
kemih tanpa memasuki kandung kemih.
b. Insisi prostat transurethral (TUIP)
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan
instrumen melalui uretra. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat
berukuran kecil (30 gr / kurang) dan efektif dalam mengobati banyak kasus
dalam BPH.
c. Transuretral Reseksi Prostat (TURP)
Adalah operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop dimana resektroskop merupakan endoskopi
dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang di lengkapi dengan alat
pemotong dan counter yang di sambungkan dengan arus listrik.
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Pengkajian
a. Anamnese :
a) Identitas : identitas digunakan untuk mengetahui klien yg mengalami BPH
yang sering dialami oleh laki –laki diatas umur 45 tahun (Rendy clevo,
2012)
b) Keluhan Utama : pada klien post operasi BPH biasanya muncul keluhan
nyeri, sehingga yang perlu dikaji untk meringankan nyeri (provocative/
paliative), rasa nyeri yang dirasakan (quality), keganasan/intensitas
(saverity) dan waktu serangan, lama, (time) (Judha, dkk. 2012)
c) Riwayat penyakit sekarang: Keluhan yang sering dialami klien BPH dengan
istilah LUTS (Lower Urinary Tract Symtoms). Antara lain: hesistansi,
pancaran urin lemah, intermittensi, ada sisa urine pasca miksi, frekuensi dan
disuria (jika obstruksi meningkat).
d) Riwayat penyakit dahulu : tanyakan pada klien riwayat penyakit yang
pernah diderita, dikarenakan orang yang dulunya mengalami ISK dan faal
darah beresiko terjadinya penyulit pasca bedah (Prabowo, 2014)
2. Pemeriksaan Fisik (Data Objektif)
a. Vital sign (Tanda Vital)
a) Pemeriksaan temperature dalam batas normal
b) Pada klien post operasi BPH mengalami peningatan RR (Ackley, 2011)
c) Pada klien post operasi BPH mengalami peningkatan nadi
d) Pada klien post operasi BPH mengalami peningkatan tekanan darah
(Prabowo,2014).
3. Pemeriksaan fisik ( head to toe )
a. Mata : lihat kelopak mata, konjungtiva (pucat atau tidak) (aziz Alimul, 2009).
b. Mulut dan gigi : kaji bagaimana kebersihan rongga mulut dan bau mulut, warna
bibir (pucat atau kering), lidah (bersih atau kotor). Lihat jumlah gigi, adanya
karies gigi atau tidak (Aziz Alimul, 2009).
c. Leher : Palpasi daerah leher untuk merasakan adanya massa pada kalenjar tiroid,
kalenjar limfe, dan trakea, kaji juga kemampuan menelan klien, adanya
peningkatan vena jugularis (Aziz Alimul, 2009)
d. Dada : lihat bentuk dada, pergerakan dinding dada saat bernafas, apakah ada
suara nafas tambahan (Aziz Alimul, 2009)
e. Abdomen
Menurut Purnomo, 2009 pemeriksaan abdomen meliputi:
a) Perkusi : Pada klien post operasi BPH dilakukan perkusi pada 9 regio
abdomen untuk mengetahui ada tidaknya residual urine
b) Palpasi : Teraba kistus di daerah suprasimfisis akibat retensi urin dan
sering dilakukan teknik bimanual untuk mengetahui adanya hidronefrosis
dan pyelonefrosis.
f. Genetalia
a) Pada klien post operasi BPH terpasang treeway folley kateter dan
biasanya terjadi hematuria setelah tindakan pembedahan, sehingga
terdapat bekuan darah pada kateter. Dan dilakukan tindakan spolling
dengan Ns 0,9% / PZ, ini tergantung dari warna urine yang keluar. Bila
urine sudah jernih spolling dapat dihentikan dan pipa spolling di lepas (
Jitowiyono, dkk. 2010) .
b) Pada pemeriksaan penis, uretra dan skrotum tidak ditemukan adanya
kelainan, kecuali adanya penyakit penyerta seperti stenosis meatus,
striktur uretralis, urethralithiasis, Ca penis, maupun epididimitis
(Prabowo, 2014).
g. Ekstermitas
Pada klien post opersi BPH perlu dikaji kekuatan otot dikarenakan mengalami
penurunan kekuatan otot (Prabowo, 2014).

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera, fisisk, pembedahan
2. Hambatan aktivitas ditempat tidur berhubungan dengan keterbatasan lingkungan,
peralatan terapi.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive trauma, pembedahan
C. INTERVENSI KEPERAWATAN

DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI

1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan


keperawatan selama 3×24 jam 1. Monitor tanda-tanda vital.
berhubungan
Diharapkan nyeri berkurang,
dengan agens dengan hasil: 2. Kaji nyeri secara
1. Mampu mengontrol nyeri komprehensif termasuk
cedera, fisisk,
2. Mampu mengenal nyeri lokasi, karakteristik, durasi,
pembedahan (skala, intensitas, frekuensi) frekuensi, kualitas dan
faktor presipitasi.

3. Kaji skala nyeri dengan


pengkajian PQRST.

4. Berikan klien posisi


nyaman pada waktu
istirahat ataupun tidur.

5. Kaji tanda-tanda
pembengkakan pada daerah
post operasi.

6. Observasi reaksi non verbal


dari ketidaknyamanan dan
gunakan komunikasi
terapeutik untuk
mengetahui pengalaman
nyeri klien.

7. Ajarkan teknik relaksasi


seperti nafas dalam dan
tehnik distraksi seperti
menonton tv,
mendengarkan music, atau
hal kesukaan klien untuk
mengalihkan perhatian
nyeri klien.

8. Kontrol lingkungan yang


dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan.
9. Kolaborasi dengan tim
medis lain dalam pemberian
analgesic.

2. Hambatan Setelah dilakukan tindakan asuhan 1. Monitor Vital Sign


aktivitas keperawatan selama 3 x 24 jam
ditempat tidur diharapkan mobilitas ditempat tidur 2. Ajarkan ambulasi
berhubungan dapat dilakukan secara
dengan mandiri,dengan kriteria hasil: 3. Ajarkan ROM
keterbatasan 1. ADL dapat dilakukan secara
lingkungan, mandiri, Dapat mengatur 4. Ajarkan senam kegel
peralatan terapi posisi dari terlentangduduk
2. Dapat melakukan aktivitas 5. Latih pasien daalam
miring kanan-kiri
3. Mampu mengubah posisi 6. pemenuhan ADL secara
ditempat tidur mandiri

7. Dampingi dan bantu pasien


saat mobilisasi dan bantu
kebutuhan ADL

8. Ajarkan pasien bagaimana


merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan
3. Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan asuhan 1. Monitor kerentanan
keperawatan selama 3 x 24 jam terhadap infeksi
berhubungan
diharapkan tidak terjadi infeksi
dengan prosedur pada luka bekas operasi, dengan 2. Batasi pengunjung
kriteria hasil:
invasive trauma,
1. Tidak ada tanda-tanda infeksi 3.
pembedahan (kemerahan, pus, nyeri, 4. Pertahankan teknis asepsis
bengkak)
2. Mampu mencegah timbulnya 5. Inspeksi kondisi luka/insisi
infeksi bedah
3. Jumlah leukosit dalam jumlah
normal
4. Menunjukkan perilaku hidup 6. Berikan perawatan luka
sehat
7. Motivasi untuk istirahat

8. Ajarkan cuci tangan

9. Jika terlihat tanda-tanda


infeksi colaborasikan
kepada dokter
D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi merupakan tahap yang muncul jika perencanaan yang dibuat
diaplikasikan pada klien. Sebelum melakukan implementasi, seharusnya menerima
laporan tindakan dari perawat shift sebelumnya hal-hal tersebut merupakan kunci dari
efisiensi kerja pertukaran shift (Deswani, 2009).

E. EVALUASI
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan, pada tahap ini
membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan dengan kriteria hasil. Evaluasi
berfokus pada klien, baik itu individu ataupun kelompok (Deswani, 2009).
DAFTAR PUSTAKA

Ardiansyah, Muhammad. 2012. Medikal Bedah Untuk Mahasiswa. Jogjakarta : DIVA


Ekspres

Haryono, Rudi.2012. Keperawatan medical bedah system perkemihan.Yogyakarta :rapha


publishing

Herdman, T Heather. 2015. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-2016. Edisi
10. Jakarta: EGC

Hidayat,Alimul. 2011. Aplikasi konsep dan proses keperawatan. Jakarta:Selemba Medika

Hidayat, A. Aziz alimul.2009. Pengantar kebutuhan dasar manusia dan aplikasi konsep dan
proses keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Sjamsuhidajat R, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC

Smeltzer dan Bare. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth
Edisi 8. Jakarta: EGC
UNIVERSITAS KADIRI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


STATUS TER AKREDITASI BAN-PT
Program Studi : 1. Ners, 2. Ilmu Keperawatan (S.1), 3. Kebidanan (D.III), Bidan Pendidik (D.IV)
Sekretariat : Jl. Selomangleng No. 1 Kediri Telp. (0354) 775074/771846, Fax (0354) 775074

LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR FEMUR

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS


PRAKTEK STASE MEDIKAL BEDAH

OLEH

SALMIA
NIM : 1964O863

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KADIRI
TAHUN 2020
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR FEMUR

A.KONSEP DASAR MEDIS

1. Definisi

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan


tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Kapita Selekta
Kedokteran, 2000 : 36).
Fraktur adalah terputusnya tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya
(Brunner & Suddarth, 2001 dalam Wijaya & Putri, 2013 : 235).

Defenisi Fraktur Femur

Fraktur femur atau patah tulang paha adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha
yang disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, dan kondisi tertentu, seperti
degenerasi tulang atau osteoporosis (Muttaqin, 2008).
Fraktur femur adalah hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara
klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak
(otot, kulit, jaringan saraf, dan pembuluh darah) dam fraktur femur tertutup yang
disebabkan oleh trauma langsung pada paha (Helmi, 2014 : 508).

2. Etiologi
Penyebab fraktur femur antara lain:
a. Fraktur femur terbuka disebabkan oleh trauma langsung pad paha
b. Fraktur femur tertutup disebabkan oleh trauma langsung atau kondisi tertentu,
seperti degenerasi tulang (osteoporosis) dan tumor atau keganasan tulang paha yang
menyebabkan fraktur patologis. (Arif Muttaqin, 2011)

Selain itu ada pula yang menyebutkan penyebab fraktur femur


a. Peristiwa Trauma Tunggal

Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan seperti
:
 Pemuntiran (rotasi), yang menyebabkan fraktur spiral;
 Penekukan (trauma angulasi atau langsung) yang dapat menyebabkan fraktur
melintang;
 Penekukan dan penekanan, yang mengakibatkan fraktur sebagian melintang tetapi
disertai fragmen kupu-kupu berbentuk segitiga yang terpisah,
 Kombinasi dari pemuntiran, penekukan, dan penekanan yang menyebabkan fraktur
obliq pendek;
 Penarikan dimana tendon atau ligament benar-benar menarik tulang sampai
terpisah (Helmi, 2014 : 508).
b. Kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik)
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal jika tulang itu lemah (misalnya oleh
tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh (misalnya : pada penyakit paget) (Helmi,
2014: 508 )

3.Klasifikasi
Dua tipe fraktur femur adalah sebagai berikut;
a. Fraktur interkapsuler femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul, dan
melalui kepala femur (fraktur kapital).
b. Fraktur ekstrakapsular
 Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokanter femur yang lebih besar
/ lebih kecil/ pada daerah intertrokanter.
 Terjadi di bagian distal menuju leher femur, tetapi tidak lebih dari 2 inci di
bawah trokanter minor.
Klasifikasi fraktur femur:
a. Fraktur leher femur
Merupakan jenis fraktur yang sering ditemukan pada orang tua terutama wanita usia
60 tahun ke atas disertai tulang yang osteoporosis. Fraktur leher femur pada anak
anak jarang ditemukan fraktur ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak
perempuan dengan perbandingan 3:2. Insiden tersering pada usia 11-12 tahun.
b. Fraktur subtrokanter
Dapat terjadi pada semua usia, biasanya disebabkan trauma yang hebat.
Pemeriksaan dpat menunjukkan fraktur yang terjadi dibawah trokanter minor.
c. Fraktur intertrokanter femur
Pada beberapa keadaan, trauma yang mengenai daerah tulang femur. Fraktur daerah
troklear adalah semua fraktur yang terjadi antara trokanter mayor dan minor. Frkatur
ini bersifat ekstraartikular dan sering terjadi pada klien yang jatuh dan mengalami
trauma yang bersifat memuntir. Keretakan tulang terjadi antara trokanter mayor dan
minor tempat fragmen proksimal cenderung bergeser secara varus. Fraktur dapat
bersifat kominutif terutama pada korteks bagian posteomedial.

d. Fraktur diafisis femur


Dapat terjadi pada daerah femur pada setiap usia dan biasanya karena trauma hebat,
misalnya kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian.
e. Fraktur suprakondilar femur
Daerah suprakondilar adalah daerah antar batas proksimal kondilus femur dan batas
metafisis dengan diafisis femur. Trauma yang mengenai femur terjadi karena adanya
tekanan varus dan vagus yang disertai kekatan aksial dan putaran sehingga dapat
menyebabkan fraktur pada daerah ini. Pergeseran terjadi karena tarikan otot. (Arif
Muttaqin, 2008)

4.Manifestasi klinis
a.Tanda dan gejala yang khas
 Nyeri hebat di tempat fraktur
 Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah
 Rotasi luar dari kaki lebih pendek
 Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak, kripitasi,
sepsis pada fraktur terbuka, deformitas

b.Adapun gejala khas yang muncul menurut (Brunner Suddarth, 2001) :

 Nyeri
Terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang dimobilisasi.Spasme
otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirncang untuk
meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
 Gerakan luar biasa
Bagian –bagian yang tidak dapat digunkan cendrung bergerak secara tidak alamiah
bukannya tetap rigid seperti normalnya.
 Pemendekan tulang
Terjadi pada fraktur panjang. Karena kontraksi otot yang melekat di atas dan dibawah
tempat fraktur.
 Krepitus tulang (derik tulang)
Akibat gerakan fragmen satu dengan yang lain
 Pembengkakan dan perubahan warna tulang
Akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini terjadi setelah
beberapa jam atau hari.
5. Penatalaksanaan
a. Fraktur femur terbuka harus dinilai dengan cermat untuk mengetahui ada
tidaknya kehilangan kulit, kontaminasi luka, iskemia otot, cedera pada
pembuluh darah dan saraf. Intervensi tersebut meliputi:
1) Profilaksis antibiotik
2) Debridemen
Pembersihan luka dan debridemen harus dilakukan dengan sedikit mungkin
penundaan. Jika terdapat kematian jaringan yang mati dieksisi dengan hati-hati.
Luka akibat penetrasi fragmen luka yang tajam juga perlu dibersihkan dan
dieksisi.
3) Stabilisasi dilakukan pemasangan fiksasi interna atau eksterna.
b. Fraktur femur tertutup
Pengkajian ini diperlukan oleh perawat sebagai peran kolaboratif dalam melakukan
asuhan keperawatan.
1.Fraktur diafisis femur, meliputi:
 Terapi konservatif
 Traksi kulit merupakan pengobatan sementara sebelum dilakukan
terapi definitif untuk mengurangi spasme otot.
 Traksi tulang berimbang denmgan bagian pearson pada sendi lutut.
Indikasi traksi utama adalah faraktur yang bersifat kominutif dan
segmental.
 Menggunakan cast bracing yang dipasang setelah union fraktur secara
klinis.
2)Terapi Operasi
 Pemasangan plate dan screw pada fraktur proksimal diafisis atau distal
femur
 Mempengaruhi k nail, AO nail, atau jenis lain, baik dengan operasi
tertutup maupun terbuka. Indikasi K nail, AO nail terutama adalah farktur
diafisis.
 Fiksassi eksterna terutama pada fraktur segmental, fraktur kominutif,
infected pseudoarthrosis atau fraktur terbuka dengan kerusakan
jaringan lunak yang hebat.
3) Fraktur suprakondilar femur, meliputi:
 Traksi berimbang dengan menggunakan bidai Thomas dan penahan
lutut Pearson, cast bracing, dan spika panggul.
 Terapi operatif dilakukan pada fraktur yang tidak dapat direduksi secara
konservatif. Terapi dilakukan dengan mempergunakan nail- phorc dare
screw dengan berbagai tipe yang tersedia (Muttaqin, 2011).

6.Patofisiologi
Pada dasarnya penyebab fraktur itu sama yaitu trauma, tergantung dimana
fraktur tersebut mengalami trauma, begitu juga dengan fraktur femur ada dua faktor
penyebab fraktur femur, faktor-faktor tersebut diantaranya, fraktur fisiologis
merupakan suatu kerusakan jaringan tulang yang diakibatkan dari kecelakaan,
tenaga fisik, olahraga, dan trauma dan fraktur patologis merupakan kerusakan
tulang terjadi akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat
mengakibatkan fraktur (Rasjad, 2007).
Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan
adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolik dan
patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka ataupun
tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan pendarahan, maka
volume darah menurun. COP atau curah jantung menurun maka terjadi perubahan
perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi
edema lokal maka terjadi penumpukan didalam tubuh. Disamping itu fraktur terbuka
dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi
terkontaminasi dengan udara luar dan kerusakan jaringan lunak yang akan
mengakibatkan kerusakan integritas kulit.
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan
metabolik, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Baik fraktur terbuka atau
tertutup akan mengenai serabut syaraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa
nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang sehingga akan terjadi masalah
neurovaskuler yang akan menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik
terganggu. Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan
dilakukan immobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah
dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh.
PATHWAY
Trauma Langsung Trauma Tidak Langsung Kondisi Parhologis

Fraktur Femur

Fraktur Tulang tertutup Fraktur tulangTerbuka

Kerusakan struktur tulang


Kemampuan Kerusakan struktur tulang
pergerakan otot sendi
menurun
Patah tulang merusak jaringan
Fungsi Ekstremitas Patah tulang merusak jaringan
Menurun
Terputusnya kontinuitas jaringan
Terputusnya kontinuitas jaringan
Gangguan Mobilitas
Menekan saraf perasa nyeri Fisik
Terpapar Micro
Perubahan kapiler
Organisme
Penurunan moblitas ( SPASME Otot)

Stimulus neurotransmitter nyeri


Perdarahan
Peningkatan tekanan kapiler
Resiko Infeksi
Pelepasan mediator Pelepasan Histamin ( Protein Plasma Hilang
prostaglandin ) Kehilangan Volume Cairan

Penekanan prmbulu dara ( OEDEMA)


Respon nyeri hebat dan akut Resiko hipovolemi
Gangguan
integritas kulit
Nyeri Akut
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu
proses pengumpulan data yang sistematis dari berbagai sumber untuk mengevaluasi
dan mengidentifikasi status kesehatan klien (lyer et al, 1996 dalam nursalam 2011 :
29).

a.Anamnesis
 Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahsa yang digunkan, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, nomor register,
tanggal dan jam masuk rumah sakit, dan diagnosis medis.
Pada umumnya, keluhan utama pada kasus fraktur femur adalah rasa nyeri yang
hebat. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap mengenai rasa nyeri klien,
perawat mengunakan OPQRSTUV.
O (onset)
P (Provoking Incident): hal yang menjadi faktor presipitasi nyeri adalah trauma
bagian pada
Q (quality of pain): klien merasakan nyeri yang bersifat menusuk. R (Region,
Radiation, Relief): nyeri yang terjadi di bagian paha yang mengalami patah tulang.
Nyeri dapt reda dengan imobilisasi atau istirahat.
S (Scale of pain): Secara subyektif, nyeri yang dirasakan klien antara 2-4 pada skala
pengukuran 0-4
T (Treatment)
U (Understanding) V (Value)
 Riwayat penyakit sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang paha, pertolongan
apa yang telah didapatkan, dan apakah sudah berobt ke dukun patah. Dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaaan, perawat dapat mengetahui luka
kecelakaan yang lain.
 Riwayat penyakit dahulu
Penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget menybabkan fraktur
patologis sehingga tulang sulit untuk menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan
luka di kaki sangat beresiko terjadi osteomielitis akut dan kronis dan penyaklit
diabetes melitus menghambat proses penyembuhan tulang.
 Riwayat penyaklit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang paha adalah faktor
predispossisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang sering terjadi pada
beberapa keturunan dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
 Riwayat psikospiritual
Kaji respon emosis klien terhadap penyakit yang dideritanya, peran klien dalam
keluarga, masyarakat, serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari,
baik dalam keluarga maupun masyarakat.

b.Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status gheneral)
untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokal)
1.Pemeriksaan keadaan umum
Keadaan baik dan buruknya klien. Tanda-tanda gejala yang perlu dicatat adalah
kesadaran diri pasien (apatis, sopor, koma, gelisah, komposmetis yang bergantung
pada keadaan klien), kesakitan atau keadaaan penyakit (akut, kronis, berat, ringan,
sedang, dan pada kasus fraktur biasanya akut) tanda vital tidak normal karena ada
gangguan lokal baik fungsi maupun bentuk.

2.Pemeriksaan yang dilakukan persistem :


 B1 (Breathing)
Pada pemeriksaan sistem pernafasan, didapatkan bahwa klien fraktur femur tidak
mengalami kelainaan pernafasan. Pada palpasi
thorak, didapatkan taktil fremitus seimbang kanan dan kiri. Pada auskultasi tidak
terdapat suara tambahan.
 B2 (Blood)

Inspeksi tidak ada iktus jantung, palpasi nadi meningkat iktus tidak teraba,
auskultasui suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada murmur.

 B3 (Brain)
a) Tingkat kesadaran biasanya komposmentis.
 Kepala: Tidak ada gangguan, yaitu normosefalik, simetris., tidak ada
penonjolan, tidak ada sakit kepala.
 Leher: Tidak ada gangguan, simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
 Wajah : Wajah terlihat menahan sakit dan bagian wajah yang lain
tidak mengalami perubahan fungsi dan bentuk. Wjah simetris, tidak
ada lesi dan edema.
 Mata: Tidak ada gangguan, konjungtiva tidak anemis (pada klien
dengan patah tulang tertutup tidak terjadi perdarahan). Klien yang
mengalami fraktur femur terbuka biasanya mengfalami perdarahan
sehingga konjungtiva nya anemis.
 Telinga : Tes bisik dan weber msih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi dan nyeri tekan.
 Hidung: Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung.
 Mulut dan Faring: Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
b) Pemeriksaan fungsi serebral
Status mental, observasi penampilan, dan tingkah laku klien. Biasanya status
mental tidak mengalami perubahan.
c) Pemeriksaan saraf kranial
 Saraf I: fungsi pendiuman tidak ada gangguan.
 Saraf II: ketajaman penglihatan normal
 Saraf III, IV, VI: tidak ada gangguan mengangkat kelopak mata,
pupil isokor.
 Saraf V: tidak mengal;ami paralisis pada otot wajah dan reflek
kornea tidak ada kelainan.
 Saraf VII: persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah
simetris.
 Saraf VIII: tidak ditemukan tuli konduktif dan tuli persepsi.
 Saraf IX dan X: kemampuan menelan baik
 Saraf XI: tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius.
 Saraf XII: ;idah simeteris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada faskulasi. Indra pengecapan normal.
d) Pemeriksaan refleks
Biasnya tidak ditemukan reflek patologis.
e) Pemeriksaan sensori
Daya raba klien fraktur femur berkurang terutama pada bagian distal fraktur,
sedangkan indra yang lain dan kognitifnya tidak menga;lami
gangguan. Selian itu, timbul nyeri akibat fraktur.
 B4 (Bladder)
Kaji urine yang meliputi wana, jumlah dan karakteristik urine, termasuk
berat jenis urine. Biasanya klien fraktur femur tidak mengalami
gangguan ini.
 B5 (Bowel)
Inspeksi abdomen: bentuk datar, simetris, tidak ada hernia. Palpasi:
turgor baik, tidak ada defans muskular dan hepar tidk teraba. Perkusi:
suiara timpani, ada pantulan gelombang cairan. Auskultasi peristaltik
normal. Inguinal,genital: hernia tidak teraba, tidak ada pembesaran limfe
dan tidak ada kesulitan BAB.

 B6 (Bone)
Adanmya fraktur femur akan mengganggu secara lokal, baik fungsi
motorik, sensorik maupun peredaran darah.
 LOOK
Pada sistem integumen terdapat eritema, suhu disekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, edema dan nyeri tekan. Perhatikan adanya
pembengklakan yang tidak biasa (abnormal) dan deformitas. Perhatikan
adanya sindrom kompartemen pada bagian distal fraktur femur. Apabila
terjadi fraktur terbuka, perawat dapat menemukan adanya tanda-tanda
trauma jaringan lunak sam[pai kerusakann intergritas kulit. Fraktur obli,
spiral atau bergeser mengakibatkan pemendekan batang femur. Ada
tanmda cedera dan kemungkinan keterlibatan berkas neurovaskular
(saraf dan pembuluh darah) paha, seperti bengkak atau edema.
Ketidakmampuan menggerakkan tungkai. Terlihat adanya luka terbuka
pada paha dengan deformitas yang jelas.Kaji berapa luas kerusakan
jaringan lunak yang terlibat. Kaji apakah pada luka terbuka ada fragmen
tulang yang keluar dan apakah terdapat adanya kerusakan pada arteri
yang beresiko akan meningkatkan respons syok hipovolemik
 FEEL
Kaji adnya nyeri tekan (tenderness) dan krepitasi pada daerah paha.
 MOVE
Pemeriksaan dengan menggerakkan eksteremitas apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Dilakukan pencatatan rentang gerak.
Dilakukan pemeriksaan gerak aktif dan pasif. Berdasar pemeriksaan
didapat adanya gangguan / keterbatasan gerak tungkai,
ketidakmampuan menggerakkan tungkai, penurunan kekuatan otot.

Gerakan pada daerah tungkai yang patah tidak boleh dilakukan


karena akan memberikan respons trauma pada jaringan lunak disekitar
ujung fragmen tulang yang patah. Pasien terlihat tidak mampu
melakukan pergerakkan pada sisi yang patah (Helmi,2014 : 511).
2.Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan
respons manusia (status kesehatan atau risiko perubahan pola) dari individu
atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi
dan memberikan intervensi secara akuntabilitas (carpanito, 2000 dalam
Nursalam,2011 : 59).

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :

1.Nyeri akut berhubungan dengan cedera fisik (fraktur femur )

2.Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas


struktur tulang.
3.Gangguan integritas jaringan berhubungan dengan penurunan
mobilitas.(imobilisasi).
4. Resiko hipovolemi berhubungan dengan kehilangan volume darah
akibat trauma (fraktur).
5.Resiko infeksi berhubungan dengan paparan microorganism di
daerah trauma
3.Intervensi keperawatan

No Diagnosa keperawatan Tujuan Intervensi


1 Setelah di lakukan
Nyeri akut berhubungan tindakan perawatan 1 1.Observasi :
dengan cedera fisik (fraktur kali 24 jam di harapkan  Identifikasi, lokasi,
femur ) Nyeri dapat teratasi karakteristik, durasi, dan
intesitas nyeri .
 Identifikasi skala nyeri
 Idenifikasi faktor yang
memberberat dan
meringankan nyeri .
2.Terapeutik :
 Berikan tehnik
nonfarmakaologis untuk
mengurangi rasa nyeri (
misalnya kompres hangat
atau dingin )
 Kontrol lingkungan yang
memrperberat yang
memperberat dan
meringankan nyeri
3.edukasi :
 Jelaskan penyebab
,periode,dan pemicu nyeri.
 ajarkan tehnik nafas dalam
melakukan inspirasi dan
ekspirasi
 anjtkan penggunaan
analgetik secara tepat.
4.kolaborasi pemberian
analgetik

2 Gangguan mobilitas fisik Setelah di lakukan 1.Obsevasi :


berhubungan dengan tindakan perawatan 1  identifikasi adanya nyeri
kerusakan integritas struktur kali 24 jam diharapkan dan keluhan fisik lainnya
tulang. gangguan mobilitas fisik  identifikasi tolenransi
dapat teratasi dalam melakukan
ambulasi
 monitor kondisi umum
selama melakukan
ambulasi
2.Terapeutik :

 fasilitasi melakukan
ambulasi
 libatkan keluarga untuk
membantu pasien
meningkatkan ambulasi
 identifikasi kebiasaan
aktivitas sesuai usia
 berikan dukungan dalam
perawatan diri
 monitor tingkat
kemandirian
 identifikasi kebutuhan di
lakukan pembidaian,
 monitor bagian distal
area/daerah cedera
misalnya (pulsasi
nadi,pengisian
kapiler,gerakan motorik
dan sensasi serta adanya
perdarahan.
3 Edukasi :
 jelaskan tujuan dan
prosedur ambulasi
 ajarkan ambulasi
sederhana.
3 Gangguan integritas jaringan Setelah di lakukan 1. Observasi:
berhubungan dengan perawatan 1 kali 24 jam  Identifiksi penyebab
penurunan di harapkan gangguan gangguan integritas jaringan
mobilitas.(imobilisasi). integritas jaringan /kulit (mis,penurunan
teratasi mobilitas)
2. Therapeutik :
 Lakukan perawatan area luka
 gunakan produk berbahan
ringan Dan hipoalergik pada
kulit sensitif
 Berikan dukungan dalam
perawatan diri

3. Edukasi :
 Anjurkan menggunakan
pelembab
 Anjurkan minum air yang
cukup
 Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
 Anjurkan meningkatkan
asupan buah dan sayur
4. Kolaborasi dalam pemberian
obat kulit atau jaringan

4 Resiko hipovolemik Setelah di lakukan 1.Observasi :


berhubungan dengan perawatan 1 kali 24 jam  Periksa tanda dan gejala
kehilangan volume darah di harapkan tidak terjadi hipovolemi (misalnya
akibat trauma (fraktur). hipovolemi frekuensi nadi
meningkat,nadi teraba
lemah,tekanan darah
menurun)
 Identifikasi penyebab
perdarahan
 monitor tanda dan gejala
perdarahan
2.Therapeutik :
 berikan kebutuhan cairan
oral
 istirahatkan area yang
mengalami perdarahan
 tinggikan extremitas yang
mengalami perdarahan
 lakukan penekanan atau
balut tekan

 pertahankan akses intravena


3.Edukasi :
 anjurkan menghindari
perubahan posisi mendadak
 anjurkan melapor jika
menemukan tanfda
perdarahan
 anjurkan membatasi gerak

4.kolaborasi :
 pemberian cairan, dan
transfusi bila perlu.

5 Resiko infeksi berhubungan Setelah dilakukan 1.Observasi :


dengan paparan perawatan 1 kali 24 jam  monitor tanda dan gejala
microorganism di daerah di harapkan tidak terjadi infeksi lokal atau sistemik
trauma infeksi. 2. Therapeutik :
 berikan perawatankulit pada
area luka
 cuci tangan sebelum dan
sesudah kontak dengan
pasien dan lingkungan
 Pertahankan tehnik steril
saat melakukan perawatan
luka
3.Edukasi :
 Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
 Ajarkan mencuci tangan
yang benar
 Ajarkan cara memriksa luka
 Anjurkan meningkatkan
nutrisi.
4.Kolaborasi pemberian antibiotik
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Medica


Aesculpalus.

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.
Rasjad, C. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT.Yarsif
Watampone.

Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Muskuloskeletal. Jakarta:EGC.

Muttaqin, A. 2011. Buku Saku Gangguan Mulskuloskeletal Aplikasi pada


Praktik Klinik Keperawatan. Jakarta:EGC.
Lyer et al 1996 dalam Nursalam 2011 :29
Carpanito 2000 dalam Nursalam 2011 :59
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. Standar diagnosis keperawatan Indonesia edisi I
( revisi III) 2016
Tim pokja SDKI DPP PPNI. Standar Intervensi keperawatan Indonesia edisi I
(cetakan II ) 2018
LAPORAN PENDAHULUAN
CA MAMMAE

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS


PRAKTEK STASE MEDIKAL BEDAH

OLEH

SANTI MOH ARIF


NIM : 1964O923

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KADIRI
TAHUN 2020
LAPORAN PENDAHULUAN
CA MAMMAE

A. KONSEP DASAR MEDIS


1. Defenisi
Ca mammae adalah keganasan yang berasal dari sel kelenjar, saluran
kelenjar dan jaringan penunjang payudara, tidak termasuk kulit payudara. Ca
mammae adalah tumor ganas yang tumbuh di dalam jaringan payudara. Kanker bisa
mulai tumbuh di dalam kelenjar susu, saluran susu, jaringan lemak maupun jaringan
ikat pada payudara. (Medicastore, 2011)
Kanker payudara adalah sekelompok sel tidak normal pada payudara yang
terus tumbuh berupa ganda. Pada akhirnya sel-sel ini menjadi bentuk benjolan di
payudara. Jika benjolan kanker itu tidak dibuang atau terkontrol, sel-sel kanker bisa
menyebar (metastase) pada bagian-bagian tubuh lain. Metastase bisa terjadi pada
kelenjar getah bening (limfe) ketiak ataupun di atas tulang belikat. Selain itu sel-sel
kanker bisa bersarang di tulang, paru-paru, hati, kulit, dan bawah kulit. (Erik T,
2005, hal : 39-40).
Carsinoma mammae merupakan gangguan dalam pertumbuhan sel normal
mammae dimana sel abnormal timbul dari sel sel normal, berkembang biak dan
menginfiltrasi jaringan limfe dan pembuluh darah. (Sofian,2012)

2. Etiologi
Sampai saat ini, penyebab pasti tumor payudara
belum diketahui. Namun, secara garis besar penyebab ca mammae dapat
dikelompokkan dalam 3 kategori, yaitu :
1. Faktor Genetik
Setiap kanker bisa dipandang sebagai proses genetic karena kanker terjadi dari
perubahan genetic atau mutasi. Hanya sebagian kecil kanker herditer, sisanya
adalah sporadic dan berhubungan dengan mutasi yang didapatkan selama
hidup. Individu yang membawa mutasi genetik, lahir satu langkah lebih dekat
dengan timbulnyatumor dan mempunyai kecenderungan menderita kanker pada
usia muda. Pada kanker payudara prose ini bisa langsung dari mutasi genetik,
hyperplasia, karsinoma in situ, kemudian kanker metastatik. Pada kanker
payudara herediter, terjadi pertama kali adalah mutasi yang berhubungan
dengan repair DNA dan apoptosis.
2. Faktor Hormonal
Hormon estrogen merupakan hormone utama pemicu timbulnya kanker
payudara. Pada wanita dengan kadar estrogen yang tinggi seperti nuliparitas,
menarche awal, usia paparan estrogen lama, tidak laktasi dan terapi sulih
hormone pada menopause akan mempengaruhi perkembangan dan perubahan
dari kelenjar payudara yang memilikiberbagai macam reseptor hormone.
Paparan estrogen akan meningkatkan factor-faktor proliferasi sel dan bila tidak
terkendali secara biologis akan berkembang menjadi kanker mengikuti
tahapan-tahapannya.
3. Faktor Lingkungan
Paparan agen karsinogenesis dari lingkungan dapt berupa zat kimia , zat
makanan, infeksi, dan factor fisik seperti radioaktif dan trauma. Beberapa
factor lingkungan seperti bahan kimia organoklorin, lapangan elegtromagnetik,
merokok aktif dan pasif,dan penggunaan implant silicon, sampai saat ini belum
terbukti menaikkan resiko terjadinya kanker payudara.

3. Jenis jenis Karsinoma Mammae


a. Karsinoma insitu
Karsinoma insitu artinya adalah kanker yang masih berada pada tempatnya,
merupakan kanker dini yang belum menyebar atau menyusup keluar dari
tempat asalanya
b. Karsinoma ductal
Karsinoma duktal berasal dari sel-sel yang melapisi saluran yang menuju puting
susu. Sekitar 90% kanker payudara merupakan karsinoma duktal
c. Karsinoma lobuler
Karsinoma lobuler mulai tumbuh di dalam kelenjar susu, biasanya terjadi
setelah menopause
d. Karsinoma invasive
Karsinoma invasive adalah kanker yang telah menyebar dan merusak jaringan
lainnya, biasanya terinkalisir (terbatas pada payudara) maupun melastatik
(menyebar kebagian tubuh lainnya)
4. Manifestasi Klinik
Romauli & Vindari (2011) menyebutkan bahwa pada tahap awal tidak
terdapat tanda dan gejala yang khas. Tanda dan gejala dapat terlihat pada tahap lanjut
antara lain :
a. Adanya benjolan di payudara,
b. Adanya borok atau luka yang tidak sembuh,
c. Keluar cairan abnormal dari puting susu, cairan dapat berupa nanah, darah,
cairan encer atau keluar air susu pada perempuan yang tidak hamil dan
menyusui.
d. Perubahan bentuk dan besarnya payudara,
e. Kulit puting susu dan areola melekuk ke dalam atau berkerut.
f. Nyeri di payudara.

Menurut Mulyani & Nuryani (2013), jika metastase (penyebaran) luas, maka
tanda dan gejala yang biasa muncul adalah:

a. Pembesaran kelenjar getah bening supraklavikula dan servikal.


b. Hasil rontgen toraks abnormal dengan atau tanpa efusi pleura.
c. Gejala penyebaran yang terjadi di paru-paru ditandai dengan batuk yang sulit
untuk sembuh, terdapat penimbunan cairan antara paru-paru dengan dinding
dada sehingga akan menimbulkan kesulitan dalam bernafas.
d. Nyeri tulang dengan penyebaran ke tulang.
e. Fungsi hati abnormal.

5. Pentahapan Karsinoma Mammae


Stadium kanker payudara dibagi menjadi 4, yaitu :
a. Stadium 1: Terdiri atas tumor yang kurang dari 2 cm, tidak mengenai nodus
limfe dan tidak terdeteksi adanya metastasis.
b. Stadium II : Terdiri tas tumor yang lebih besar dari 2 cm tetapi kurang dari 5 cm
dan tidak terdeteksi adanya metastasis.
c. Stadium III : Terdiri atas tumor yang lebih besar dari 5 cm atau tumor dengan
sembarang ukuran yang menginvasi kulit atau dinding dengan nodus limfe
terfiksasi positif dalam area klavikula
d. Stadium IV : Terdiri atas tumor dalam sembarang ukuran dengan nodus limfe
normal atau kankerosa dan adanya metastasis jauh.
6. Patofisiologi
Normalnya, sel yang mati sama dengan jumlah sel yang tumbuh. Apabila sel
tersebut sudah mengalami malignansi/keganasan atau bersifat kanker maka sel
tersebut terus menerus membelah tanpa memperhatikan kebutuhan.
Neoplasma yang maligna terdiri dari sel-sel kanker yang menunjukkan
proliferasi yang tidak terkendali yang mengganggu fungsi jaringan normal dengan
menginfiltrasi dan memasukinya dengan cara menyebarkan anak sebar ke organ-
organ yang jauh. Di dalam sel tersebut terjadi perubahan secara biokimia terutama
dalam intinya. Hampir semua tumor ganas tumbuh dari suatu sel di mana telah
terjadi transformasi maligna dan berubah menjadi sekelompok sel-sel ganas di
antara sel-sel normal.
Proses jangka panjang terjadinya kanker ada 4 fase:
1. Fase induksi: 15-30 tahun
Sampai saat ini belum dipastikan sebab terjadinya kanker, tapi bourgeois
lingkungan mungkin memegang peranan besar dalam terjadinya kanker pada
manusia. Kontak dengan karsinogen membutuhkan waktu bertahun-tahun
sampai bisa merubah jaringan displasi menjadi tumor ganas. Hal ini tergantung
dari sifat, jumlah, dan konsentrasi zat karsinogen tersebut, tempat yang dikenai
karsinogen, lamanya terkena, adanya zat-zat karsinogen atau ko-karsinogen
lain, kerentanan jaringan dan individu
2. Fase in situ: 1-5 tahun
Pada fase ini perubahan jaringan muncul menjadi suatu lesi pre-cancerous
yang bisa ditemukan di serviks uteri, rongga mulut, paru-paru, saluran cerna,
kandung kemih, kulit dan akhirnya ditemukan di payudara.
3. Fase invasi
Sel-sel menjadi ganas, berkembang biak dan menginfiltrasi melalui
membrane sel ke jaringan sekitarnya ke pembuluh darah serta limfe. Waktu
antara fase ke 3 dan ke 4 berlangsung antara beberpa minggu sampai beberapa
tahun.
4. Fase diseminasi: 1-5 tahun
Bila tumor makin membesar maka kemungkinan penyebaran ke tempat-tempat
lain bertambah.
PATHWAY

Faktor predisposisi dan resiko tinggi hiperplasi pada sel mamae

Mendesak jaringan Mensuplai nutrisi ke Mendesak Mendesak sel


sekitar jaringan ca pembuluh darah saraf

Menekan jaringan Hipermetabolisme Aliran darah terhambat Interupsi sel


pada mammae ke jaringan saraf

Hipoksia
Peningkatan  Suplai nutrisi Nyeri
konsistensi mammae ke jaringan lain Akut
Necrosis jaringan

Mammae Berat badan turun


membengkak Bakteri patogen

Defisit Nutrisi
Massa tumor mendesak Resiko Infeksi
ke jaringan luar

Perfusi jaringan Ukuran mammae


abnormal Defisit pengetahuan
terganggu

Ulkus Mammae asimetrik Ansietas

Gangguan Gangguan citra


integritas kulit / tubuh
jaringan

Infiltrasi pleura
perietale

Ekspansi paru
menurun

Pola nafas tidak


efektif
7. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium meliputi :
a. Morfologi sel darah
b. Laju endap darah
c. Tes faal hati
d. Tes tumor marker (carsino Embrionyk Antigen/CEA) dalam serum atau
plasma
e. Pemeriksaan sitologik
Pemeriksaan ini memegang peranan penting pada penilaian cairan yang
keluar spontan dari putting payudar, cairan kista atau cairan yang keluar
dari ekskoriasi
2. Mammagrafi
Pengujian mammae dengan menggunakan sinar untuk mendeteksi secara
dini. Memperlihatkan struktur internal mammae untuk mendeteksi kanker yang
tidak teraba atau tumor yang terjadi pada tahap awal. Mammografi pada masa
menopause kurang bermanfaat karean gambaran kanker diantara jaringan
kelenjar kurang tampak.
3. Ultrasonografi
Biasanya digunakan untuk mndeteksi luka-luka pada daerah padat pada
mammae ultrasonography berguna untuk membedakan tumor sulit dengan kista.
kadang-kadang tampak kista sebesar sampai 2 cm.
4. Thermography
Mengukur dan mencatat emisi panas yang berasal; dari mammae atau
mengidentifikasi pertumbuhan cepat tumor sebagai titik panas karena
peningkatan suplay darah dan penyesuaian suhu kulit yang lebih tinggi.
5. Xerodiography
Memberikan dan memasukkan kontras yang lebih tajam antara
pembuluh-pembuluh darah dan jaringan yang padat. Menyatakan peningkatan
sirkulasi sekitar sisi tumor.
6. Biopsi
Untuk menentukan secara menyakinkan apakah tumor jinak atau ganas,
dengan cara pengambilan massa. Memberikan diagnosa definitif terhadap massa
dan berguna klasifikasi histogi, pentahapan dan seleksi terapi.
7. CT. Scan
Dipergunakan untuk diagnosis metastasis carsinoma payudara pada organ lain
8. Pemeriksaan hematologi
Yaitu dengan cara isolasi dan menentukan sel-sel tumor pada peredaran
darah dengan sendimental dan sentrifugis darah.

8. Penatalaksanaan
a. Pembedahan
Mastektomi adalah operasi pengangkatan mammae. Ada 3 jenis
mastektomi yaitu :
 Modified Radycal Mastectomy, yaitu operasi pengangkatan seluruh
mammae, jaringan mammae di tulang dada, tulang selangka dan tulang iga,
serta benjolan disekitar ketiak.
 Total (Simple) Mastectomy, yaitu operasi pengangkatan seluruh mammae
saja, tanpa kelenjar di ketiak.
 Radical Mastectomy, yaitu operasi pengangkatan sebagian dari mammae.
Biasanya disebut Lumpectomy, yaitu pengangkatan hanya pada jaringan
yang mengandung sel kanker, bukan seluruh mammae. Biasanya
lumpectomy direkomendasikan pada pasien yang besar tumornya kurang
dari 2 cm dan letaknya di pinggir mammae.
 Kelenjar Getah Bening (KGB) Ketiak.
Pengangkatan KGB Ketiak dilakukan terhadap penderita ca mammae yang
menyebar tetapi besar tumornya lebih dari 2,5 cm (Tapan, 2005).
b. Non Pembedahan
 Terapi radiasi
Radiasi adalah proses penyinaran pada daerah yang terkena ca dengan
menggunakan sinar X dan sinar gamma yang bertujuan membunuh sel
kanker yang masih tersisa di mammae setelah operasi. Efek pengobatan ini
adalah tubuh menjadi lemah, nafsu makan berkurang, warna kulit di sekitar
mammae menjadi hitam serta Hb dan leukosit cenderung menurun sebagai
akibat dari radiasi.
 Kemoterapi
Kemoterapi adalah proses pemberian obat-obatan anti kanker dalam bentuk
pil cair atau kapsul atau melalui infus yang bertujuan membunuh sel
kanker. Obat –obatan ini tidak hanya membunuh sel kanker pada mammae,
tetapi juga seluruh sel dalam tubuh. Efek dari kemoterapi adalah pasien
mengalami mual dan muntah serta rambut rontok. Sistematik setelah
mastektomi, paliatif pada penyakit yang lanjut.
 Terapi hormon dan endokrin
Pemberian hormon dilakukan apabila penyakit telah sistemik berupa
metastasis jauh. Terapi hormonal biasanya diberikan secara paliatif
sebelum kemoterapi. Obat-obat penghambat hormon (obat yang
mempengaruhi kerja hormon yang menyokong pertumbuhan sel kanker)
digunakan untuk menekan pertumbuhan sel kanker di seluruh tubuh.
Diberikan pada kanker yang telah menyebar, memakai estrogen, androgen,
antiestrogen, coferektomi adrenalektomi hipofisektomi (Tapan, 2005).

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap pengumpulan data yang berhubungan
dengan pasien secara sistematis. (Doenges, Moorhouse, & Burley, 2000).
2.
Menurut Wijaya & Putri (2013), data yang dikaji pada pengkajian
mencakup data yang dikumpulkan melalui riwayat kesehatan, pengkajian fisik,
pemeriksaan laboraturium dan diagnostik, serta review catatan sebelumnya.
Langkah-langkah pengkajian yang sistematik adalah pengumpulan data, sumber
data, klasifikasi data, anaisa data dan diagnose keperawatan.
a. Identitas
Meliputi data pasien dan data penanggung-jawab, seperti nama, umur (50 tahun
ke atas), alamat, agama, pendidikan, pekerjaan, nomor medical record.
b. Keluhan utama
Adanya benjolan pada payudara, sejak kapan, riwayat penyakit (perjalanan
penyakit, pengobatan yang telah diberikan), faktor etiologi/ resiko.
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya klien masuk ke rumah sakit karena merasakan adanya benjolan
yang menekan payudara, adanya ulkus, kulit berwarna merah dan mengeras,
bengkak dan nyeri.
d. Riwayat Kesehatan Dahulu
Adanya riwayat ca mammae sebelumnya atau ada kelainan pada
mammae, kebiasaan makan tinggi lemak, pernah mengalami sakit pada bagian
dada sehingga pernah mendapatkan penyinaran pada bagian dada, ataupun
mengidap penyakit kanker lainnya, seperti kanker ovarium atau kanker serviks.
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Adanya keluarga yang mengalami ca mammae berpengaruh pada
kemungkinan klien mengalami ca mammae atau pun keluarga klien pernah
mengidap penyakit kanker lainnya, seperti kanker ovarium atau kanker serviks.
f. Konsep diri
Mengalami perubahan pada sebagian besar klien dengan cancer mammae.
g. Pemeriksaan Fisik
1. Kepala : normal, kepala tegak lurus, tulang kepala umumnya bulat dengan
tonjolan frontal di bagian anterior dan oksipital dibagian posterior.
2. Rambut : biasanya tersebar merata, tidak terlalu kering, tidak terlalu
berminyak.
3. Mata : biasanya tidak ada gangguan bentuk dan fungsi mata. Mata anemis,
tidak ikterik, tidak ada nyeri tekan.
4. Telinga : normalnya bentuk dan posisi simetris. Tidak ada tanda-tanda
infeksi dan tidak ada gangguan fungsi pendengaran.
5. Hidung : bentuk dan fungsi normal, tidak ada infeksi dan nyeri tekan.
6. Mulut : mukosa bibir kering, tidak ada gangguan perasa.
7. Leher : biasanya terjadi pembesaran KGB.
8. Dada
Mencari benjolan karena organ payudara dipengaruhi oleh factor
hormon antara lain estrogen dan progesteron, maka sebaiknya pemeriksaan
ini dilakukan saat pengaruh hormonal ini seminimal mungkin/ setelah
menstruasi ± 1 minggu dari hari akhir menstruasi. Klien duduk dengan
tangan jatuh ke samping dan pemeriksa berdiri didepan dalam posisi yang
sama tinggi.
a. Inspeksi
 Simetri (sama antara payudara kiri dan kanan.
 Kelainan papilla. Letak dan bentuk, adakah putting susu, kelainan
kulit, tanda radang, peaue d’ orange, dimpling, ulserasi, dan lain-
lain.
b. Palpasi
 Klien berbaring dan diusahakan agar payudara tersebar rata atas
lapangan dada, jika perlu punggung diganjal bantal kecil.
 Konsistensi, banyak, lokasi, infiltrasi, besar, batas dan
operabilitas.
 Pembesaran kelenjar getah bening (kelenjar aksila)
 .Adanya metastase nodus (regional) atau organ jauh
 Stadium kanker (system TNM UICC)
h. Pengkajian 11 Pola Fungsional Gordon
 Persepsi dan Manajemen
Biasanya klien tidak langsung memeriksakan benjolan yang terasa
pada payudaranya kerumah sakit karena menganggap itu hanya benjolan
biasa.
 Nutrisi – Metabolik
Kebiasaan diet buruk, biasanya klien akan mengalami anoreksia,
muntah dan terjadi penurunan berat badan, klien juga ada riwayat
mengkonsumsi makanan mengandung MSG.
 Eliminasi
Biasanya terjadi perubahan pola eliminasi, klien akan mengalami
melena, nyeri saat defekasi, distensi abdomen dan konstipasi.
 Aktivitas dan Latihan
Anoreksia dan muntah dapat membuat pola aktivitas dan lathan klien
terganggu karena terjadi kelemahan dan nyeri.
 Kognitif dan Persepsi
Biasanya klien akan mengalami pusing pasca bedah sehingga
kemungkinan ada komplikasi pada kognitif, sensorik maupun motorik.
 Istirahat dan Tidur
Biasanya klien mengalami gangguan pola tidur karena nyeri.
 Persepsi dan Konsep Diri
Payudara merupakan alat vital bagi wanita. Kelainan atau kehilangan
akibat operasi akan membuat klien tidak percaya diri, malu, dan kehilangan
haknya sebagai wanita normal.
 Peran dan Hubungan
Biasanya pada sebagian besar klien akan mengalami gangguan dalam
melakukan perannya dalam berinteraksi social.
 Koping dan Toleransi Stress
Biasanya klien akan mengalami stress yang berlebihan, denial dan
keputus asaan.
 Nilai dan Keyakinan
Diperlukan pendekatan agama supaya klien menerima kondisinya
dengan lapang dada.
i. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan radiologist
 Mammografi/ USG Mamma
 X-foto thoraks
 Kalau perlu galktografi, tulang-tulang, USG abdomen, bone scan,
CT scan
2. Pemeriksaan laboraturium
 Darah lengkap, urin
 Gula darah puasa dan 2 jpp
 Enxym alkali sposphate, LDH
 CEA, MCA, AFP
 Hormon reseptor ER, PR
 Aktivitas estrogen/ vaginal smear
3. Pemeriksaan sitologis
 FNA dari tumor.
 Cairan kista dan efusi pleura.
 Sekret puting susu, ditemukannya cairan abnormal seperti darah atau
nanah.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Defisit nutrisi berhubungan dengan peningkatan nutrisi ke jaringan kanker
ditandai dengan berat badan menurun, nafsun makan menurun.
b. Nyeri Kronis berhubungan dengan adanya penekanan massa tumor ditandai
dengan nyeri, wajah Nampak meringis.
c. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ekspansi Paru ditandai dengan pola
nafas abnormal, penggunaan otot banttu pernafasan
d. Gangguan integritas kulit / jaringan berhubungan dengan perfusi jaringan
terganggu ditandai dengan perdarahan, kemerahan, nyeri.
e. Resiko infeksi ditandai dengan rubor, kalor, dolor, tumor.
f. Ansietas berhubungan dengan diagnosa, pengobatan, dan prognosanya ditandai
dengan gelisah, tegang, bingung.
g. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang pemajanan informasi ditandai
dengan menunjukan persepsi yang keliru terhadap masalah.
h. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan kehilangan bagian dan fungsi tubuh
ditandai dengan kehilangan bagian tubuh, focus berlebihan pada bagian tubuh,
hubungan social berubah.

3. Rencana Keperawatan
Perencanaan merupakan bagian proses keperawatan yang
mengidentifikasi masalah/ kebutuhan pasien, tujuan/ hasil perawatan, dan
intervensi untuk mencapai hasil yang diharapkan dan menangani masalah/
kebutuhan pasien. (Doenges, Moorhouse, & Burley, 2000).
4.
Diagnosa Tujuan Intervensi
Defisit nutrisi b/d Setelah dilakukan intervensi Manajemen nutrisi
peningkatan nutrisi keperawatan selama 3 x 24 1. Observasi
ke jaringan kanker jam diharapkan nutrisi Identifikasi status nutrisi
d/d berat badan tepenuhi dengan kriteria Identifikasi alergi dan intoleransi
menurun, nafsun Hasil : makanan
makan menurun Adanya peningkatan Identifikasi makanan yang disukai
berat badan sesuai Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
dengan tujuan nutrient
Mampu Identifikasi perlunya penggunaan
mengidentifikasi selang nasogastric
kebutuhan nutrisi Monitor asupan makanan
Tidak ada tanda tanda Monitor berat badan
malnutrisi Monitor hasil pemeriksaan
Tidak terjadi penurunan laboratorium
berat badan yang berarti 2. Teraupetik
Lakukan oral hygiene sebelum makan,
jika perlu
Fasilitasi menentukan pedoman diet (
mis, piramida makanan)
Sajikan makanan secara menarik dan
suhu yang sesuai
Berikan makanan tinggi serat untuk
menghindari konstipasi
Berikan makanan tinggi kalori dan
tinggi protein
Berikan suplemen makanan, jika perlu
Hentikan pemberian makanan melalui
selang nasogastric jika asupan oral dapt
ditoleransi
3. Edukasi
Anjurkan posisi duduk, jika mampu
Anjarkan diet yang diprogramkan
4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian medikasi
sebelum makan (mis, pereda nyeri,
antiemetic), jika perlu
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrient yang dibutuhkan, jika perlu.
Nyeri Kronis b/d Setelah dilakukan intervensi Manajemen nutrisi
adanya penekanan keperawatan selama 3 x 24 1. Observasi
massa tumor d/d jam diharapkan nyeri Identifikasi lokasi, durasi, frekuensi,
nyeri, wajah teratasi dengan kriteria kualitas, intensitas nyeri.
Nampak meringis Hasil : Identifikasi skala nyeri
Mampu mengontrol Identifikasi respon verbal dan non
nyeri (tahu penyebab verbal
nyeri, mampu Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
menggunakan tehnik nutrient
nonfarmakologi untuk Identifikasi factor yang memperberat
mengurangi nyeri, dan memperingan nyeri
mencari bantuan) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
Melaporkan bahwa nyeri tentang nyeri
berkurang dengan Identifikasi pengaruh budaya terhadap
menggunakan respon nyeri
manajemen nyeri Identifikasi pengaruh nyeri pada
Mampu mengenali nyeri kualitas hidup
(skala, intensitas, Monitor keberhasilan terapi
frekuensi dan tanda komplementeryang sudah diberikan
nyeri) Monitor efek samping penggunaan
Menyatakan rasa analgetik
nyaman setelah nyeri 9. Teraupetik
berkurang Berikan teknik non farmakologis untuk
Tanda vital mengurangi rasa nyeri(mis ; TENS,
dalam rentang normal akupresur, hypnosis, terapi
music,biofeddback, terapi
pijat,aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing,kompres hangat atau
dingin).
Control lingkungan yang memperberat
rasa nyeri.
Sajikan makanan secara menarik dan
suhu yang sesuai
Fasilitasi istirahat dan tidur
Pertimbangakan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri
Berikan suplemen makanan, jika perlu
Hentikan pemberian makanan melalui
selang nasogastric jika asupan oral dapt
ditoleransi
10. Edukasi
Jelaskan penyebab, periode dan pemicu
nyeri
Jelaskan strategi meredakan nyeri
Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
Anjurkan menggunakan anelgetik
secara tepat.
Anjurkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri.
11. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu
Pola nafas tidak Pemantauan respirasi
efektif 1. Observasi
berhubungan Monitor frekuensi, irama, kedalaaman
dengan ekspansi dan upaya nafas
Paru ditandai Monitor pola nafas (seperti bradipnea,
dengan pola nafas takipnea,hiperventilasi,
abnormal, kusmaul,cheyne-stokes, biot, ataksis)
penggunaan otot Monitoradanya sumbatan jalan nafas
banttu pernafasan Palpasi kesimetrisanekspansi paru
Auskultasi bunyi nafas
Monitor saturasi oksigen
Monitor nilai AGD
Monitor hasil x-ray thoraks
2. Teraupetik
Atur interval pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
Dokumentasikan hasil pemantauan
3. Edukasi
Jelaskan tujuan dan prosedur
pemanatauan
Informasikan hasil pemantauan, jika
perlu
Gangguan Setelah dilakukan intervensi Perawatan integritas kulit
integritas kulit / keperawatan selama 3 x 24 1. Observasi
jaringan b/d jam waktu penyembuhan Identifikasi penyebab gangguan
perfusi jaringan kulit meningkat, dengan integritas kulit (mis: perubahan
terganggu d/d kriteria hasil: sirkulasi, perubahan status nutrisi,
perdarahan, Perfusi jaringan baik penurunan kelembaban, suhu
kemerahan, nyeri Menunjukkan lingkungan ekstrem, penurunan
pemahaman dalam mobilitas).
proses perbaikan kulit 2. Teraupetik
dan mencegah terjdinya Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
cedera berulang 3. Edukasi
Mampu melindungi kulit Anjurkan minum air yang cukup
dan mempertahankan Anjurkan meningkatkan asuapan nutrisi
kelembaban kulit dan Anjurkan menghindari terpapar suhu
perawaatan alami ekstrem
Perawatan luka
1. Observasi
Monitor karakteristik luka(mis;
drainase, warna, ukuran ,bau)
Monitor tanda-tanda infeksi
2. Teraupetik
Lepaskan balutan dan plester secara
perlahan
Bersihan dengan cairan Naclatau
pembersih nontoksik, sesuai kebutuhan.
Bersihkan jaringan nekrotik
Berikan salep yang sesuai kekulit/lesi,
jika perlu
Pasang balutan sesuai jenis luka.
Pertahankan teknik steril saat
melakukan perawatan luka.
Ganti balutan sesuai jumlah eksudat
dan drainase
Jadwalkan pemberian posisi setiap 2
jam atau sesuai kondisi pasien
3. Edukasi
Jelaskan tanda dan gejala infeksi
Anjurkan mengkonsumsi makanan
tinggi kalori dan protein
Anjurkan prosedur perawatan luka
secara mandiri
4. Kolaborasi
Kolaborasi prosedur debridement (mis:
enzimatik, biologis, mekanis, autolitik),
jika perlu
Kolaborasi pemberian antibiotic, jika
perlu
Resiko infeksi d/d Setelah dilakukan intervensi Pencegahan Infeksi
rubor, kalor, dolor, keperawatan selama 3 x 24 1. Observasi
tumor jam diharapkan infeksi tidak Monitor tanda dan gejala infeksi local
terjadi dengan kriteria hasil: dan sistemik
Klien bebas dari tanda 2. Teraupetik
dan gejala infeksi Batasi jumlah pengunjung
Jumlah leukosit berada Berikan perawatan kulit pada area
pada batas normal edema.
Klien mampu Cuci tangan sebelum kontak dengan
mengidentifikasi dan pasien dan lingkungan pasien
berpartisipasi dalam Pertahankan teknik aseptic pada pasien
tindakan pencegahan beresiko tinggi.
infeksi 3. Edukasi
Jelaskan tanda dan gejala infeksi
Anjurkan cara mencuci tangan dengan
benar
Ajarkan cara memeriksa kondisi luka
atau luka operasi
Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
Anjurkan meningkatkan asupan cairan
4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian imunisasi, jka
perlu
Ansietas b/d Setelah dilakukan intervensi Reduksi Ansietas
diagnosa, keperawatan selama 1 x 24 1. Observasi
pengobatan, dan jam diharapkan cemas Identifikasi saat tingkat ansietas
prognosanya d/d berkurang, dengan kriteria berubah (mis: kondisi, waktu, stressor).
gelisah, tegang, hasil : Identifikasi kemampuan mengambil
bingung Klien mampu keputusan
mengidentifikasi dan Monitor tanda-tanda ansietas (verbal
mengungkapkan gejala dan non verbal)
cemas 2. Teraupetik
Mengidentifikasi, Ciptakan suasana teraupetik untuk
mengungkapkan, dan menumbuhkan kpercayaan
menunjukkan teknik Temani pasien untuk mengurangi
mengontrol cemas kecemasan, jika perlu.
Vital sign dalam batas Pahami situasi yang membuat ansietas.
normal Dengarkan dengan penuh perhatian.
Postur tubuh, ekspresi Gunakan pendekatan yang tenang
wajah, bahasa tubuh dan menyakinkan.
tingkat aktivitas Motivasi mengidentifikasi situasi yag
menunjukkan memicu kecemasan
berkurangnya 3. Edukasi
kecemasan Jelaskan prosedur, termasuk sensasi
yang mungkin dialami
Informasikan secara factual mengenai
diagnosis, pengobatan, dan prognosis.
Anjurkan keluarga untuk tetap bersama
pasien, jika perlu.
Anjurkan melakukan kegiatan yang
kompetatif sesuai kebutuhan.
Anjurkan mengungkapkan perasaan
dan persepsi.
Latih kegiatan pengalihan untuk
mengurangi ketegangan
Latih penggunaan mekanisme
pertahanan diri yang tepat
Latih teknik relaksasi.
Defisit Setelah dilakukan intervensi Edukasi kesehatan
pengetahuan b/d keperawatan selama 1 x 24 1. Observasi
kurang pemajanan jam diharapkan pasien dapat Identifikasi kesiapan dan kemapuan
informasi d/d mengetahui tentang menerima informasi.
menunjukan penyakitnya, dengan kriteria 2. Teraupetik
persepsi yang hasil: Sediakan materi dan media pendidikan
keliru terhadap Pasien dan keluarga kesehatan
masalah menyatakan pemahaman Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai
tentang penyakit, kesepakatan.
kondisi, prognosis dan Berikan kesempatan untuk bertanya
program pengobatan 3. Edukasi
Pasien dan keluarga Jelaskan factor resiko yang
mampu melaksanakan mempengaruhi kesehtan.
prosedur yang dijelaskan Ajarkan strategiyang dapat digunakan
secara benar untuk meninkatkan prilaku hidup sehat.
Pasien dan keluarga
mampu menjelaskan
kembali apa yang
dijelaskan perawat/ tim
kesehatan lainnya
Gangguan citra Setelah dilakukan intervensi Promosi citra tubuh
tubuh b/ d keperawatan selama 1 x 24 1. Observasi
kehilangan bagian jam citra tubuh kembali Identifikasi harapan citra tubuh
dan fungsi tubuh efektif, dengan kriteria berdasarkan tahap perkembangan
d/d kehilangan hasil: Identifikasi agama, budaya, jenis
bagian tubuh, Gambaran tubuh positif kelamin dan umur terkait citra tubuh.
focus berlebihan Mampu Identifikasi perubahan citra tubuh yang
pada bagian tubuh, mengidentifikasi mengakibatkan isolasi soisal
hubungan social kekuatan personal Monitor frekuensi pernyataan kritik
berubah Mendiskripsikan secara terhadap diri sendiri
factual perubahan fungsi Monitor apakah pasien bisa melihat
tubuh bagian tubuh yang berubah
Mempertahankan 2. Teraupetik
interaksi sosial Diskusikan perubahan tubuh dan
fungsinya
Diskusikan perbedaan penampilan fisik
terhadap harga diri
Diskusikan kondisi stress yang yang
mempengaruhi citra tubuh(mis: luka,
penyakit dan pembedahan).
Diskusikan cara mengembangkan
harapan citra tubuh secara realistis..
Diskusikan persepsi pasien dan
keluargatentang perubahan citra tubuh
3. Edukasi
Anjurkan kepada keluarga tentang
perawatan perubahan citra tubuh.
Anjurkan mengikuti kelompok
pendukung (mis: kelompok sebaya)
Latih peningkatan penampilan
diri(mis:berdandan)
.latih pengungkapan kemampuan diri
kepada orang lain amupun kelompok.
DAFTAR PUSTAKA

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi I cetakan
II. Jakarta ; Dewan Pengurus Persatuan Perawat Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Edisi I cetakan
III. Jakarta ; Dewan Pengurus Persatuan Perawat Indonesia
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah vol 2. Jakarta : EGC

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius

Marilyan, Doenges E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman untuk perencanaan


dan pendokumentasian perawatyan px) Jakarta : EGC
Juall,Lynda,Carpenito Moyet. (2003).Buku Saku Diagnosis Keperawatan edisi
10.Jakarta:EGC
Wijaya, Andra Saferi & Putri, Yessie Mariza. 2013. Keperawatan Medikal Bedah.Bengkulu :
Nuha Medika.
Bambang. 2010. Kejadian Cancer mammae Masih Tertinggi. Antara News, A4.
Depkes 2013. Angka Kejadian Kanker Payudara masih tinggi.
http://www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=2233. 2013. Jakarta.
Warda. 2012. file:///D:/My.%20Doc/warda-tik.pdf. Medan: Unimus.
Wiknjosastro. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
YKI.2012. Jakarta Race. April 3, 2014. Yayasan Kanker Indonesia.
http://yayasankankerindonesia.org/2012/yki-jakarta-race/
Siregar,C.2011.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27630/4/Chapter%20II.pdf.
Medan : Universitas Sumatera Utara
Tapan, Erik. 2005. Kanker, Antioksidan, dan Terapi Komplementer. Jakarta : Elex Media
Komputindo.

Mahli, Ridhani. 2013. Laporan Pendahuluan Ca Mammae. Tersedia di


http://ridhanimahli.blogspot.co.id/2013/09/laporan-pendahuluan-ca-mammae.html Diakses
tanggal 20 Juni 2016
http://lpkeperawatan.blogspot.co.od/2014/01/laporan-pendahuluan-ca-mammae-carsinoma-
mammae-kanker-payudara.html#.V2JdSHVmls Diakses tanggal 20 Juni 2016
LAPORAN PENDAHULUAN
CEDERA KEPALA

Dalam Rangka Memenuhi Tugas Praktek Profesi


Stase Medikal Bedah
Dosen Pembimbing : Ibu Sri Haryuni., S.Kep., Ns., M.Kep

Di Susun
Oleh

Fazrin Y. Nani
NPM : 19640922

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KADIRI
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
CEDERA KEPALA

1. KONSEP DASAR MEDIS


a. Definisi
Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak,
dan otak (Morton,2012).
Cedera kepala merupakan proses di mana terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak (Grace,
Pierce A & Borley, Neil R, 2007).
Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak. Secara
anatomis otak dilindungi dari cedera oleh rambut, kulit kepala, tulang dan tentorium
(helm) yang membungkusnya (Muttaqin, Arif, 2008).
Cedera kepala merupakan penyebab kematian terbanyak untuk kelompok usia
muda (15-44 tahun) dan merupakan penyebab kematian ketiga secara keseluruhan
(Satyanegara, dkk, 2014).
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan
fungsi fisik.
b. Etiologi
Penyebab cidera kepala antara lain: kecelakaan lalu lintas, perkelahian, terjatuh, dan
cidera olah raga. Cidera kepala terbuka seringdisebabkan oleh peluru atau pisau.
a. Cedera Kepala Primer yaitu cedera yang terjadi akibat langsung dari trauma:
- Kulit : Vulnus, laserasi, hematoma subkutan, hematoma subdural.
- Tulang : Fraktur lineal, fraktur bersih kranial, fraktur infresi (tertutup &terbuk
a)
- Otak : Cedera kepala primer, robekan dural, contusio (ringan, sedang,berat),
difusi laserasi.
b. Cedera Kepala Sekunder yaitu cedera yang disebabkan karena komplikasi :
- Oedema otak
- Hipoksia otak
- Kelainan metabolic
- Kelainan saluran nafas
- Syok
c. Patofisiologi
Mekanisme cedera memegan peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi)
terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam seperti trauma
akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera
periambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak
bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara
bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung seperti yang
terjadi bila posisi badan berubah secara kasar dan cepat. kekuatan ini bisa dikombinasi
dengan pengubahan posisi rotasi pada kepalayang menyebabkan trauma regangan dan
robekan pada substansi alba, dan batang otak.
Cedera primer yang terjadi pada waktu benturan pada waktu benturan, mungkin
karena memar pada permukaan otak. Landasan substansi alba, cedera robekan atau
hemoragi sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan auto
regulasi dikurangi atau tidak ada pada area cedera. Konsekuensinya
meliputi : hiperemia (peningkatan olume darah) pada area peningkatan permeabilitas
kapiler serta vasodilatasi, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial dan
akhirnya peningkatan tekanan intra kranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat
menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia dan hipotensi.
Bennarelli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera “fokal” dan “menyebar”
sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggunakan hasil dengan
lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan lokal yang meliputi kontusio
serebral dan hematom intra serebral serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan
oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia.
Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas
dan terjadi dalam 2 bentuk yaitu : cedera akson menyebar hemoragi
kecil multiple pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena
kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral,
batang otak atau dua-duanya, situasi yang terjadi pada hampir 50% pasien yang
mengalami cedera kepala berat bukan karena peluru.
PATHWAY
d. Klasifikasi
Klasifikasi cedera kepala sebagai berikut :
• Berdasarkan patologi
1. Cedera kepala primer
Merupakan akibat cedera awal. Cedera awal menyebabkan gangguan integritas
fisik, kimia, dan listrik dari sel diarea tersebut, yang menyebabkan kematian
sel.
2. Cedera kepala sekunder
Cedera ini merupakan cedera yang menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut
yang terjadi setelah trauma sehingga meningkatkan TIK yang tak terkendali,
meliputi respon fisiologis cedera otak, termasuk edema serebral iskemia
serebral dan infeksi lokal atau sistemik.
• Menurut jenis cedera
1. Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan
laserasi duameter. Trauma yang menembus tengkorak dan jaringan otak.
2. Cedera kepala tertutup : dapat disamakn pada pasien dengan gegar otak ringan
dengan cedera serebral yang luas.
• Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glasgown Coma Scale)
1. Cedera kepala ringan/minor
- GCS 14-15
- Dapat terjadi kehilangan kesadaran, amnesia, tetapi kurang dari 30 menit
- Tidak ada fraktur tengkorak
- Tidak ada kontusio serebral, hemotoma
2. Cedera kepala sedang
- GCS 9-13
- Kehilangan kesadaran dan asam anamnesa lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam
- Dapat mengalami fraktur tengkorak
- Diikuti kontusio serebral, laserasi dan hematoma intrakranial
3. Cedera kepala berat
- GCS 3-8
- Kehilangan kesadaran dan ataur terjadi amnesia lebih dari 24 jam
- Juga meliputi kontusio serebral, laserasi atau hematoma intrakranial
e. Manifestasi Klinis
Pada pasien cedera kepala biasanya terjadi nyeri yang menetap atau setempat,
biasanya menunjukkan adanya fraktur (Smeltzer, suzanna, 2002).
Manifestasi klinis antara lain :
1) Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur
2) Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga dan hidung
3) Laserasi atau kontusio otak ditunjukkan oleh cairan spinal berdarah
Kondisi cedera kepala yang dapat terjadi antara lain :
1) Komosio serebri
Tidak ada jaringan otak yang rusak, tetapi hanya kehilangan fungsi otak sesaat
(pingsan < 10 menit)
2) Kontusio serebri
Adanya kerusakan jaringan otak dan fungsi otak (pingsan > 10 menit )
3) Laserasi serebri
Kerusakan otak yang luas disertai robekan durameter serta fraktur terbuka pada
kranium.
4) Epidural Hematom (EDH)
Hematom antara durameter dan tulang, biasanya sumber perdarahannya adalah
robeknya arteri meningea media. Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan
ketidakseimbangan neurologis sisi kiri dan kanan.
5) Subdural Hematom (SDH)
Subdural hematom adalah terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan
otak, dapat terjadi akut dan kronik. Gejalanaya adalah nyeri kepala, bingung,
mengantuk, kejang dan udem pupil.
6) Subarachnoid Hematom (SAH)
Merupakan perdarahan fokal di daerah subarachnoid. Gejala klinisnya
menyerupai kontusio serebri.
7) Intracerebral Hematom (ICH)
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak
biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak.
8) Fraktur basis kranii
Fraktur dasar tengkorak, biasanay melibatkan tulang temporal, oksipital, sphenoid
dan etmoid.
f. Komplikasi
Komplikasi pada cedera kepala sebagai berikut :
1) Edema serebral dan herniasi
Edema serebral adalah penyebab paling umum peningkatan TIK pada pasienyang
mendapat cedera kepala, puncak pembengkakan yang terjadi kira kira
72 jam setelah cedera. TIK meningkat karena ketidakmampuan tengkorak untukm
embesar meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan
trauma.
2) Defisit neurologik dan psikologik
Pasien cedera kepala dapat mengalami paralysis saraf fokal seperti anosmia(tidak
dapat mencium bau bauan) atau abnormalitas gerakan mata, dan defisit neurologik
seperti afasia, defek memori, dan kejang post traumatic atau epilepsy.
3) Komplikasi lain secara traumatic :
- Infeksi sitemik (pneumonia, ISK, sepsis)
- Infeksi bedah neurologi (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, abses otak)
- Osifikasi heterotropik (nyeri tulang pada sendi sendi)
4) Komplikasi lain
- Peningkatan TIK
- Hemorarghi
- Kegagalan nafas
- Diseksi ekstrakranial
g. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium khusus, tetapi untuk memonitoring kadarO2
dan CO2 dalam tubuh di lakukan pemeriksaan AGD adalah salah satu test
diagnostic untuk menentukan status respirasi..
2) CT-scan : mengidentifikasi adanya hemoragik dan menentukan pergeseran
jaringan otak.
3) Foto Rontgen : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur) perubahan struktur
garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
4) MRI : sama dengan CT-scan dengan/ tanpa kontras
5) Angiografi serebral : menunjukan kelainan sirkulasi serebral, perdarahan.
6) Pemeriksaan pungsi lumbal: mengetahui kemungkinan perdarahan subarahnoid
h. Penatalaksanaan
Penanganan cedera kepala yaitu :
1) Prinsip – prinsip ABC (Airway-breathing-Circulation). Keadaan hipoksemia,
hipotensi, anemia akan cenderung memperhebat peninggian TIK.
2) Semua cedera kepala berat memerlukan tindakan intubasi pada kesempatan
pertama.
3) Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau gangguan –
gangguan dibagian tubuh lainnya.
4) Pemeriksaan neurologhis mencakup semua respon mata, motorik, verbal,
pemeriksaan pupi.
5) Penanganan cedera – cedera dibagian lainnya
6) Pemberian pengobatan seperti ; anti edema serebri, anti kejang, dan natrium
bikarbonat
7) Penatalaksanaan lainnya sebagai berikut :
8) Pemberian analgetika
9) Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak dapat
diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5% , aminofusin, aminofel (18 jam
pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikana makanan lunak.
10) Pemantauan TIK dengan ketat, Oksigenisasi adekuat, Pemberian manitol,
Penggunaan steroid, Peningkatan kepala tempat tidur, Bedah neuro.
11) Awasi kemungkinan munculnya kejang.
2. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1) Pengkajian
Pengkajian merupakan dasar utama atau langkah awal dalam proses
keperawatan secara keseluruhan. Pada tahap ini semua data tentang klien yang
dibutuhkan, dikumpulkan dan dianalisa untuk menentukan diagnosa keperawatan.
a. Identitas
Nama, umur, suku/bangsa, agama, pendidikan pekerjaan, tanggal dan jam masuk
rumah sakit, nomor RM, diagnosa medis, alamat pasien serta nama penanggung
jawab dan alamat penanggung jawab.
b. Alasan Masuk
Berisi tentang alasan masuk rumah sakit. Kaji kronologi yang menyebabkan cedera
kepala serta keluhan-keluhan yang biasa muncul.
c. Riwayat penyakit sekarang
Berisi tentang kesehatan kondisi pasien saat dilakukan pengkajian. Data subjektif
yang sering muncul, selain itu dapat diperkuat dengan data objektif.
d. Riwayat penyakit dahulu
Berisi tentang kondisi kesehatan pasien di masa lalu yang menunjang ke penyakit
yang dialami oleh pasien.
e. Riwayat penyakit keluarga
Berisi tentang riwayat keluarga yang mempunyai penyakit.
f. Pemeriksaan Fisik
- Cek Airway, Breathing dan Circulation
• Airway
1) Pertahankan kepatenan jalan nafas
2) Atur posisi : posisi kepala flat dan tidak miring ke satu sisi
untuk mencegahpenekanan/bendungan pada vena jugularis
3) Cek adanya pengeluaran cairan dari hidung, telinga atau mulut
• Breathing
1) Kaji pola nafas, frekuensi, irama nafas, kedalaman
2) Monitoring ventilasi : pemeriksaan analisa gas darah, saturasi
oksigenc.
• Circulation
1) Kaji keadaan perfusi jaringan perifes (akral, nadi capillary rafill,
sianosis pada kuku, bibir)
2) Monitor tingkat kesadaran, GCS, periksa pupil, ukuran, reflek
terhadap cahaya
3) Monitoring tanda-tanda vital
4) Pemberian cairan dan elektrolit
5) Monitoring intake dan output
- Status keadaan umum
Berisi tentang status kesadaran pasien, dinilai dari GCS pasien
- TTV
Mencakup tekanan darah, nadi, suhu dan pernapasan
- Kepala : bagaimana keadaan kepala, dan kulit kepala.
- Rambut : perhatikan distribusi, warna dan kekuatan rambut
- Mata : perhatikan keadaan konjungtiva, dan perhatikan keadaan sklera,
perhatikan apakah ada hematom atau tidak
- Telinga : perhatikan keadaan telinga, apakah ada gangguan pendengaran atau
tidak, apakah keluar darah atau tidak
- Hidung : perhatikan keadaan hidung, dan catat jika ada penggunaan alat bantu
nafas.
- Mulut : perhatikan keadaan mukosa bibir, perhatikan keadaan gigi, kebersihan,
dan apakah ada caries atau tidak, perhatikan kelengkapan gigi, perhatikan
keadaan lidah, kebersihan lidah, dan apakah ada lesi pada lidah atau tidak.
- Leher : perhatikan apakah ada pembesaran kelenjar tiroid, dan pembesaran
kelenjar limfe atau kelenjar getah bening
- Integumen : perhatikan turgor kulit, perhatikan adanya jejas
- Thorax : mencakup pemeriksaan secara inspeksi, palpasi, perkusi,dan
auskultasi. Perhatikan apakah dada simetris atau tidak, atau apakah ada
penggunaan otot bantu nafas atau tidak, nilai bagaimana suara nafas pasien.
- Jantung : mencakup pemeriksaan secara inspeksi, palpasi, dan auskultasi.
Perhatikan iktus, dan dengarkan bunyi jantung.
- Abdomen : mencakup pemeriksaan secara inpeksi, auskultasi, palpasi, dan
perkusi. Lihat keadaan abdomen, kesimetrisan, adanya nyeri tekan atau nyeri
lepas, adanya jejas dan dengarkan bising usus.
- Genitalia : apakah terpasang kateter atau tidak, apakah ada keluhan pasien
terkait genitalia
- Ekstremitas : periksa bagaimana keadan ekstremitas pasien mencakup
kekuatan otot pasien.
g. Kebutuhan sehari-hari
- Aktivitas/Istirahat
Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia cara berjalan tak
tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (tauma) ortopedi,kehilangan
tonus otot, otot spastic
- Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan
frekuensi jantung (bradikardi, takikardi yang diselingi dengan
bradikardi,disritmiac.
- Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis)
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan
inpulsif
- Eliminasi
Gejala : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsie
- Makanan/Cairan
Gejala : Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera
Tanda : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur
keluar,disfagia)
- Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian.
Vertigo,sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada
ekstermitas. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia.
- Gangguan pengecapan dan juga penciuman.
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah,pengaruh
emosi/tingkah laku dan memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya,
simetri), deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan
pengindraan, spt: pengecapan, penciuman dan pendengaran.Wajah tidak
simetris, genggaman lemah, tidak seimbang, reflek tendon dalam tidak ada
atau lemah, apraksia, hemiparese, quadreplegia, postur (dekortikasi,
deserebrasi), kejang. Sangat sensitive terhadap sentuhan dan gerakan,
kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
- Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang
hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.
- Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas
berbunyi, stridor, tersedak. Ronkhi, mengi positif (kemungkinan karena
respirasi)
- Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan.
- Kulit: laserasi, abrasi, perubahan warna, spt “raccoon eye”, tanda battle
disekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma). Adanya aliran cairan
(drainase) dari telinga/hidung (CSS).
- Gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan
secara umum mengalami paralysis. Demam, gangguan dalam regulasi suhu
tubuh.\
- Interaksi Sosial
Tanda : Afasia motorik dan sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang
ulang,disartris, anomia.
- Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : Penggunaan alcohol/obat lain
h. Pemeriksaan Penunjang
Catat apa saja pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan kepada pasien terkait
kondisinya.
i. Pengobatan
Catat terapi obat-obatan yang diberikan kepada pasien.
2) Diagnosa keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
2. Resiko perfusi serebral tidak efektif dibuktikan dengan cedera kepala
3. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan napas
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot
5. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan mobilitas
6. Risiko jatuh dibuktikan dengan kejang

3) Intervensi (Sesuai dengan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI))

Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi


No.
Keperawatan Hasil

1. Nyeri akut Setelah dilakukan ➢ Observasi


berhubungan intervensi keperawatan 1. Identifikasi lokasi, karakteristik,
dengan agen selama 1x24 jam maka durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
pencedera tingkat nyeri menurun nyeri
fisik dengan, 2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi faktor yang memperberat
Kriteria hasil :
atau memperingan nyeri
- Keluhan nyeri ➢ Terapeutik
menurun 1. Berikan teknik non farmakologis
- Tanda vital dalam untuk mengurangis nyeri (terapi
rentang normal musik, kompres hangat/dingin)
- Perasaan takut 2. Kontrol lingkungan yang
mengalami cedera memperberat rasa nyeri (suhu
berulang menurun ruangan, pencahayaan)
- Pola tidur membaik 3. Fasilitasi istirahat dan tidur
➢ Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode dan
pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
➢ Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu

2. Resiko perfusi Setelah dilakukan ➢ Observasi


serebral tidak intervensi keperawatan 1. Identifikasi penyebab peningkatan
efektif selama 1x24 jam maka TIK (lesi, edema serebral)
dibuktikan perfusi serebral 2. Monitor tanda/gejala peningkatan TIK
dengan cedera meningkat dengan, (tekanan darah meningkat,
kepala bradikardia, kesadaran menurun)
Kriteria hasil :
3. Monitor cairan serebro-spinalis
- Tingkat kesadaran (mis:warna, konsistensi)
meningkat ➢ Terapeutik
- Tekanan intra 1. Minimalkan stimulus dengan
kranial menurun menyediakan lingkungan yang tenang
- Sakit kepala 2. Berikan posisi semifowler
menurun 3. Cegah terjadinya kejang
- Refleks saraf ➢ Kolaborasi
membaik 1. Kolaborasi pemberian sedasi dan anti
konvulsan, jika perlu

3. Bersihan jalan Setelah dilakukan ➢ Observasi


napas tidak intervensi keperawatan 1. Identifikasi kemampuan batuk
efektif selama 1x24 jam maka 2. Monitor adanya retensi sputum
berhubungan bersihan jalan napas 3. Monitor tanda dan gejala infeksi
dengan meningkat dengan, saluran napas
hipersekresi ➢ Terapeutik
Kriteria hasil :
jalan napas 1. Atur posisi semi fowler
- Produksi sputum 2. Pasang perlak dan bengkok di
menurun pangkuan pasien
- Frekuensi napas 3. Buang sekret pada tempat sputum
membaik ➢ Edukasi
- Pola napas membaik 1. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk
- Tidak terjadi sulit efektif
bicara 2. Anjurkan tarik napas dalam melalui
hidung selama 4 detik, ditahan selama
2 detik, kemudian keluarkan dari
mulut dengan bibir mencucu
(dibulatkan) selama 8 detik
3. Anjurkan mengulangi tarik napas
dalam hingga 3 kali
➢ Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian mukolitik atau
ekspektoran, jika perlu

4. Gangguan Setelah dilakukan ➢ Observasi


mobilitas fisik intervensi keperawatan 1. Identifikasi keluhan nyeri atau
berhubungan selama 1x24 jam maka keluhan fisik lainnya
dengan mobilitas fisik 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan
penurunan meningkat dengan, pergerakan
kekuatan otot 3. Monitor kondisi umum selama
Kriteria hasil :
melakukan mobilisasi
- Pergerakan ➢ Terapeutik
ekstremitas 1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan
meningkat alat bantu (mis, pagar tempat tidur)
- Kekuatan otot 2. Fasilitasi melakukan gerakan, jika
meningkat perlu
- Rentang gerak 3. Libatkan keluarga untuk membantu
(ROM) meningkat pasien dalam meningkatkan
- Kaku sendi menurun pergerakan
- Gerakan terbatas ➢ Edukasi
menurun 1. Jelaskan tujuan dan prosedur
- Kelemahan fisik mobilisasi
menurun 2. Anjurkan melakukan mobilisasi dini
3. Ajarkan mobilisai sederhana yang
harus dilakukan (mis pindah dari
tempat tidur ke kursi)

5. Gangguan Setelah dilakukan ➢ Observasi


Integritas kulit intervensi keperawatan
1. Identifikasi penyebab gangguan
berhubungan selama 1x24 jam maka integritas kulit (mis, perubahan
dengan integritas kulit sirkulasi, perubahan status nutrisi)
penurunan meningkat dengan, ➢ Terapeutik
mobilitas 1. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah
Kriteria hasil :
baring
- Kerusakan lapisan 2. Lakukan pemijatan pada area
kulit menurun penonjolan tulang, jika perlu
- Tidak ada 3. Hindari produk berbahan dasar
kemerahan kulit alkohol pada kulit kering
- Tidak ada hematoma ➢ Edukasi
- Suhu kulit membaik 1. Anjurkan menggunakan pelembab
2. Anjurkan minum air yang cukup
3. Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi

6. Risiko Jatuh Setelah dilakukan ➢ Observasi


dibuktikan intervensi keperawatan 1. Identifikasi faktor resiko jatuh (mis,
dengan kejang selama 1x24 jam maka penurunan tingkat kesadaran)
tingkat jatuh menurun 2. Identifikasi faktor lingkungan yang
dengan, meningkatkan risiko jatuh (mis, lantai
licin)
Kriteria hasil :
3. Hitung risiko jatuh menggunakan
- Jatuh dari tempat skala (mis, humpty Dumpty Scale)
tidur menurun ➢ Terapeutik
- Jatuh saat berdiri 1. Orientasikan ruangan pada pasien dan
menurun keluarga\
- Jatuh saat duduk 2. Atur tempat tidur mekanis pada posisi
menurun terendah
- Jatuh saat berjalan 3. Gunakan alat bantu berjalan
menurun ➢ Edukasi
- Jatuh saat 1. Anjurkan memanggil perawat jika
dipindahkan membutuhkan bantuan untuk
menurun berpindah
2. Anjurkan menggunakan alas kaki
yang tidak licin
3. Anjurkan berkontrasi untuk menjaga
keseimbangan tubuh

4) Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan bagian dari proses keperawatan. Tujuan
implementasi adalah mengatasi masalah yang terjadi pada manusia. Setelah rencana
keperawatan disusun, maka rencana tersebut diharapkan dalam tindakan nyata untuk
mencapai tujuan yang diharapkan, tindakan tersebut harus terperinci sehingga dapat
diharapkan tenaga pelaksanaan keperawatan dengan baik dan sesuai dengan waktu
yang ditentukan Implementasi ini juga dilakukan oleh perawat dan harus menjunjung
tinggi harkat dan martabat sebagai manusia yang unik.
5) Evaluasi
Evaluasi adalah tahapan akhir dari proses keperawatan. Evaluasi menyediakan
nilai informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah direncanakan dan
merupakan perbandingan dari hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang telah
dibuat pada tahap perencanaan.
DAFTAR PUSTAKA

Fadhillah, Harif dkk. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Dewan Pengurus
Pusat. Jakarta Selatan.
Fadhillah, Harif dkk. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Dewan Pengurus
Pusat. Jakarta Selatan.
Fadhillah, Harif dkk. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Dewan Pengurus Pusat.
Jakarta Selatan.
Maudy, Sucy. 2018. Laporan Pendahuluan Cedera Kepala. Diambil dari :
https://www.studocu.com/id/document/universitas-muhammadiyah
palembang/keperawatan/summaries/laporan-pendahuluan-cedera-kepala/7810803/view.
Diakses pada tanggal 23 Juli 2020
Putra, Eka Prima. Laporan Pendahuluan Cedera Kepala. Diambil dari
https://www.academia.edu/28406122/LAPORAN_PENDAHULUAN_CIDERA_KEPALA_
ok. Diakses pada tanggal 23 Juli 2020
Grace, Pierce A & Borley, Neil R. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Erlangga.
Jakarta Timur
Satyanegara, dkk. 2014. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara Edisi V. PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta
Muttaqin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Salemba Medika. Jakarta
Morton, Gallo, Hudak, 2012. Keperawatan Kritis Volume 1 & 2 edisi 8. EGC, Jakarta
LAPORAN PENDAHULUAN
DENGAN KASUS “APENDESITIS”

OLEH: DARIYATI. B. LADJAMU


NIM: 19640935

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITS KADIRI TAHUN 2020
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN APENDISITIS

A. DEFINISI/PENGERTIAN
a. Peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ, dimana patogenis
utamanya diduga karena obstruksi pada lumen yang disebabkan oleh fekalit (feses
keras yang terutama disebabkan oleh serat). Patofisiologi Edisi 4 hal 448.
b. Appendisitis adalah inflamasi akut pada appendisits verniformis dan merupakan
penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat Brunner & Suddart, 2008.
c. Appendisitis adalah merupakan peradangan pada appendik periformil, yaitu saluran
kecil yang mempunyai diameter sebesar pensil dengan panjang 2-6 inci. Lokasi
appendik pada daerah illiaka kanan, dibawah katup illiocaecal, tepatnya pada dinding
abdomen dibawah titik Mc burney.

B. KLASIFIKASI
Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni:
1. Apendisitis akut, dibagi atas:
a. Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul
striktur lokal.
b. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
2. Apendisitis kronis, dibagi atas: a. Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh
akan timbul striktur lokal. b. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring,
biasanya ditemukan pada usia tua.

C. PENYEBAB/ FACTOR PREDISPOSISI


Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang
bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya Hiperplasia jaringan
limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa
merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. Namun ada beberapa faktor yang
mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya:
a. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang
diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan
lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab
lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obsrtruksi yang disebabkan
oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut diantaranya;
fekalith ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus
apendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan
rupture.
b. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut.
Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan
memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks,
pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes
fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus.
Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96%
dan aerob<10%
c. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ,
apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah
terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga
terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekolith dan
mengakibatkan obstruksi lumen.
d. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa
kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari
Negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik.
Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru
Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan
rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi.
e. Faktor infeksi saluran pernapasan
Setelah mendapat penyakit saluran pernapasan akut terutama epidemi influenza
dan pneumonitis, jumlah kasus apendisitis ini meningkat.

D. MANIFESTASI KLINIS/TANDA DAN GEJALA


 Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis antara lain:
a. Nyeri perut
Nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau
periumbilikus. Nyeri perut yang klasik pada apendisitis adalah nyeri yang dimulai
dari ulu hati, lalu setelah 4-6 jam nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah, ke
titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga
merupakan nyeri somatik setempat. Namun pada beberapa keadaan tertentu
(bentuk apendiks yang lainnya), nyeri dapat dirasakan di daerah lain (sesuai posisi
apendiks). Ujung apendiks yang panjang dapat berada pada daerah perut kiri
bawah, punggung, atau di bawah pusar. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya
nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforasi.
b. Anoreksia (penurunan nafsu makan).
c. Mual dan muntah
Dapat terjadi, tetapi gejala ini tidak menonjol atau berlangsung cukup lama,
kebanyakan pasien hanya muntah satu atau dua kali.
d. Keinginan BAB atau kentut
e. Demam
Juga dapat timbul, tetapi biasanya kenaikan suhu tubuh yang terjadi tidak lebih dari
1oC (37,8oC – 38,8oC). Jika terjadi peningkatan suhu yang melebihi 38,8oC. Maka
kemungkinan besar sudah terjadi peradangan yang lebih luas di daerah perut
(peritonitis).

 Timbulnya gejala yang bergantung pada letak apendiks ketika meradang.


Berikut gejala yang timbul tersebut:
a. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum
(terlindung oleh sekum),
 Tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda
rangsangan peritoneal.
 Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan
gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan.
 Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi mpsoas mayor yang menegang dari
dorsal.
b. Bila apendiks terletak di rongga pelvis
c. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala
dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristaltik meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).
d. Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.

Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan
diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga
biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana
gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.

E. PATOFISIOLOGI
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fecolith, benda asing, striktur akibat peradagan sebelumnya
atau tumor.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang di produksi oleh mukosa
mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak namun elastisitas
dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe
yang mengakibatkan edema, diapendesis bakteri dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah
terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai nyeri epigastrium.
Bila sekresi mucus berlanjut, tekanan akan terus meningkat, hal tersebut akan
mengakibatkan obstruksi vena, udem bertambah, dan bakteri menembus dinding.
Karena obstruksi vena dapat terbentuk thrombus yang menyebabkan timbulnya iskemi
yang bercampur kuman yang mengakibatkan timbulnya pus. Peradangan ini dapat
meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah
kanan bawah. Keadaan ini disebut appendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu maka akan terjadi infark dinding appendiks
yang diikuti dengan gangren. Stadium ini diserbut appendisitis gangrenosa. Bila dinding
yang telah raouh ini pecah maka akan terjadi appendisitis perforasi. Bila semua proses
diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah
appendiks hingga timbul suatu masa lokal yang disebut infiltrat appendikularis.
Peradangan appendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
F. PATHWAY

Apendiks

Hiperplasifolikel Benda asing Erosi mukosa fekalit striker Tumor


apendiks

Obstruksi

Mukukosa terbendung

Apendiks tereggang

Tekanan inta luminal


NYERI
Aliran darah tergganggu
Ulserasi dan infasi pada dinding apendiks

Appendicitis
Keperotenium Trombosit pada vena
Peritonitis intramular

Pembengkakan pada iskemia


cemas Pembedahan saat operasi perforasi
Luka insisi PK perdarahan
Devisit self Nyeri Jalan masuk kuman

Resiko infeksi
G. PEMERIKSAAN FISIK
a. Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga
pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
b. Palpas
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan
kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan
nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila
tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan
bawah. Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).
c. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak apendiks,
apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri,
maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan
ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika.
d. Pemeriksaan uji psoas
Dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan
dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi
aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang
meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan
nyeri.
e. Pemeriksaan uji obturator
Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi
panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan
mobturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan
menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika.
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Laboratorium
 Pemeriksaan darah lengkap → Ditemukan jumlah leukosit antara
10.00020.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%. Jika terjadi peningkatan
yang lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi
(pecah).
 Test protein reaktif (CRP). → Ditemukan jumlah serum yang meningkat.
b. Radiologi
 Pemeriksaan ultrasonografi → Ditemukan bagian memanjang pada tempat yang
terjadi inflamasi pada apendiks. Cukup membantu dalam penegakkan diagnosis
apendisitis (71 – 97 %)
 CT-scan → Ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan
dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat
keakuratannya 93 – 98 %.
I. PENATALAKSANAAN
a. Bila dari hasil diagnosis positif apendisitis akut, maka tindakan yang paling tepat
adalah segera dilakukan apendiktomi. Apendiktomi dapat dilakukan dalam dua cara,
yaitu:
1. Cara terbuka
2. Cara laparoskopi.
b. Apabila apendisitis baru diketahui setelah terbentuk massa periapendikuler, maka
tindakan yang pertama kali harus dilakukan adalah pemberian/terapi antibiotik
kombinasi terhadap penderita. Antibiotik ini merupakan antibiotik yang aktif
terhadap kuman aerob dan anaerob.
 Setelah gejala membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi dapat
dilakukan. Jika gejala berlanjut, yang ditandai dengan terbentuknya abses,
maka dianjurkan melakukan drainase dan sekitar 6-8 minggu kemudian
dilakukan apendisektomi.
 Namun, apabila ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan
pemeriksaan klinis serta pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan tanda
radang atau abses setelah dilakukan terapi antibiotik, maka dapat
dipertimbangkan untuk membatalkan tindakan bedah.
c. Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan
 Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan
 analgetik diberikan setelah diagnosa ditegakkan
Apendektomi dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.
(Brunner & Suddart, 1997)

J. KOMPLIKASI YANG DAPAT TERJADI


Komplikasi utama adalah perforasi appediks yang dapat berkembang menjadi
peritonitis atau abses apendiks :
a. Tromboflebitis supuratif
b. Abses subfrenikus
c. Obstruksi intestinal
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI

A. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. PENGKAJIAN
a) Identitas klien
Merupakan biodata klien yang meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa/ras, pendidikan, bahasa yang dipakai, pekerjaan, penghasilan dan
alamat. Jenis kelamin dalam hal ini klien adalah laki - laki berusia lebih dari 50
tahun.
b) Keluhan utama
Keluhan utama nyeri bekas luka operasi.
c) Riwayat penyakit sekarang
Timbul keluhan nyeri perut, nyeri dirasakan seperti tertusuk tusuk, nyeri
dirasakan pada luka bekas operasi dengan skala (0-10) dan nyeri timbul
memberat ketika bergerak.
d) Riwayat penyakit dahulu
Kebiasaan makan makanan rendah serat yang dapat menimbulkan konstipasi
sehingga meningkatkan tekanan intrasekal yang menimbulkan timbulnya
sumbatan fungsi appendiks dan meningkatkan pertumbuhan kuman folar kolon
sehingga menjadi appendisitis akut.
e) Pola –pola fungsi kesehatan
1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena di rawat di rumah
sakit.
2. Pola nutrisi dan metabolisme
Klien yang di lakukan anasthesi tidak boleh makan dan minu m
sebelum flatus.
3. Pola eliminasi
Setelah menjalani post operasi appendiks, pasien masih menggunakan dower
chateter karena masih dalam pengaruh anastesi, dan pasien akan dilatih
untuk berkemih.
4. Pola aktivitas dan latihan
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah. Namun,
setelah 6 jam pasien diharapkan pasien sudah mampu untuk bergerak miring
kanan dan miring kiri dan dilanjutkan dengan duduk kemudian berjalan.
5. Pola tidur dan istirahat
Rasa nyeri akibat post operasi dan perubahan situasi karena hospitalisasi
dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat.
6. Pola kognitif perseptual
Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan Penghidu tidak
mengalami gangguan.
7. Pola persepsi dan konsep diri Klien
dapat mengalami cemas karena ketidaktahuan tentang per awatan post
operasi appendiks.
8. Pola hubungan dan peran
Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit maka d apat
mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga te mpat
kerja dan masyarakat.
9. Pola reproduksi seksual
Klien tidak mengalami masalah produksi karena bekas operasi tidak ada
hubungannya dengan alat reproduksi.
10. Pola penanggulangan stress Stress
dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang p erawatan post
operasi. Gali adanya stres pada klien dan mekanisme koping klien
terhadap stres te rsebut.
11. Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya dower chateter dan nyeri post operasi memerlukan adaptasi klien
dalam menjalankan ibadahnya .
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
 Diagnosa pre-tindakan
1) Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan spasme otot polos sekunder akibat
infeksi gastrointestinal.
2) Hipertermia berhubungan dengan penyakit atau trauma.
3) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
4) Ansietas berhubungan dengan krisis situasional.
 Diagnosa post-tindakan
1) Nyeri akut berhubungan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder akibat
operasi
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder
akibat pembedahan
3) Defisit pengetahuan (perawatan luka post operasi) berhubungan dengan kurangnya
paparan informasi mengenai perawatan luka post operasi.
3. RENCANA TINDAKAN
 Diagnosa pre-tindakan
1. Dx 1: Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan spasme otot polos sekunder
akibat infeksi gastrointestinal.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....x 24 jam diharapkan
pasien dapat melakukan manajemen nyeri dengan kriteria hasil:
 Pasien tampak lebih tenang.
 Pasien dapat melakukan aktivitas ringan, seperti bermain dengan orang tua.
 Pasien tidak meringis kesakitan lagi.
Intervensi:
1. Observasi skala nyeri pasien.
R/: Untuk mengetahui tingkat nyeri pasien dan membandingkan sebelum dan
sesudah dilakukan intervensi.
2. Beri lingkungan yang nyaman.
R/: Lingkungan berpengaruh terhadap keadaan nyeri pasien.
3. Lakukan tehnik distraksi.
R/: Dengan mengalihkan perhatian pasien diharapkan perhatian pasien tidak
terfokus pada nyeri sehingga pasien dapat memanajemen nyeri.
4. Pantau perkembangan nyeri pasien.
R/: Untuk segera mengambil tindakan rujukan apabila nyeri yang dialami pasien
sudah tidak dapat ditoleransi lagi.
2. Dx 2: Hipertermia berhubungan dengan penyakit atau trauma.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .... x 24 jam diharapkan
suhu tubuh pasien dapat turun menjadi rentang normal (36,5 – 37,5o C / aksila).
Intervensi:
1. Observasi TTV.
R/: Untuk membandingkan TTV sebelum dan sesudah intervensi dilakukan.
2. Beri lingkungan yang nyaman.
R/: Keadaan lingkungan berpengaruh terhadap keadaan pasien.
3. Lakukan kompres air hangat.
R/: Untuk mengembalikan fungsi termostat dalam keadaan normal.
4. Ukur TTV.
R/: Untuk mengetahui perubahan suhu tubuh pasien.
3. Dx 3: Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x 24 jam diharapkan
kebutuhan cairan pasien dapat terpenuhi dengan kriteria hasil:
 Pasien tidak menunjukkan tanda-tanda dehidrasi (turgor kulit normal, mukosa
bibir tidak kering)
 Pasien tidak merasa haus.
 Pasien tampak segar.
Intervensi:
1. Kaji tanda-tanda dehidrasi pasien.
R/: Untuk melihat apakah pasien mengalami tanda-tanda dehidrasi agar dapat
mengetahui tindakan yang harus dilakukan
2. Awasi cairan masuk dan cairan keluar.
R/: Untuk menjaga keseimbangan volume cairan tubuh.
3. Apabila pasien menunjukkan tanda-tanda dehidrasi, berikan cairan melalui
intravena.
R/: Untuk memenuhi kebutuhan cairan pasien, jangan memberi cairan per oral
karena pasien yang akan dilakukan tindakan apendiktomi harus dipuasakan.
4. Dx 4 : Ansietas berhubungan dengan krisis situasional.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .....x 24 jam diharapkan
cemas pasien berkurang, dengan kriteria hasil :
 Pasien tampak tenang.
 Pasien kooperatif dengan tindakan keperawatan dan tindakan medis yang akan
dilakukan.
Intervensi:
1. Kaji keadaan emosi pasien.
R/: Dengan mengetahui keadaan pasien saat itu, jadi kita dapat menentukan
tindakan dan waktu yang tepat untuk melakukan tindakan keperawatan.
2. Lakukan BHSP apabila keadaan emosi pasien saat itu memungkinkan.
R/: Sebelum melakukan tindakan keperawatan, kita harus melaksanakan
pendekatan agar tindakan keperawatan yang dilakukan lebih mudah.
3. Eksplorasi perasaan pasien.
R/: Untuk menggali lebih jauh apa yang dirasakan pasien.
4. Biarkan pasien mengungkap perasaannya.
R/: Agar emosi pasien dapat tersalurkan sehingga pasien merasa lebih tenang.
5. Berikan feed back positif dan berikan support kepada pasien.
R/: Agar pasien merasa nyaman dan merasa ada yang mendukungnya.
 Diagnosa post-tindakan
1. Dx 1: Nyeri akut berhubungan trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder
akibat operasi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ..x 24 jam, diharapkan nyeri
yang dialami pasien berkurang dengan kriteria hasil :
 Pasien tidak meringis.
 Pasien tampak tenang.
 Pasien dapat melakukan aktivitas ringan, seperti bermain dengan orang tua.
Intervensi:
1. Observasi skala nyeri pasien.
R/: Untuk mengetahui tingkat nyeri pasien dan membandingkan sebelum dan
sesudah dilakukan intervensi.
2. Beri lingkungan yang nyaman.
R/: Lingkungan berpengaruh terhadap keadaan nyeri pasien.
3. Lakukan tehnik distraksi.
R/: Dengan mengalihkan perhatian pasien diharapkan perhatian pasien tidak
terfokus pada nyeri sehingga pasien dapat memanajemen nyeri.
4. Beri analgetik
R/: Untuk mengurangi nyeri pasien.
2. Dx 2: Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme
sekunder akibat pembedahan
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ....x 24 jam diharapkan
luka pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, lubor, tumor,
perubahan fungsi)
Intervensi:
1. Kaji tanda-tanda infeksi pada pasien.
R/: Untuk melihat apakah ada tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, lubor, tumor, dan
perubahan fungsi), pus, jaringan nekrotik.
2. Lakukan perawatan luka.
R/: Ganti balutan agar luka post-op tetap kering.
3. Jaga luka agar tetap steril.
R/: Untuk menghindari perkembangan bakteri pada luka.
3. Informasikan kepada keluagra pasien untuk tidak membuka balutan luka, menjaga
luka agar tetap kering.
R/: Luka yang lembab menyebabkan infeksi karena bakteri dapat berkembang.
4. Berikan salep betadine di atas luka pasien.
R/: Untuk mencegah infeksi pada luka.
3. Dx 3: defisit pengetahuan (perawatan luka post operasi) berhubungan dengan
kurangnya paparan informasi mengenai perawatan luka post operasi.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x 24 jam diharapkan
tingkat pengetahuan orang tua pasien tentang perawatan luka dapat meningkat.
Intervensi:
1. Kaji tingkat pengetahuan orang tua pasien.
R/ menentukan cara penyampaian informasi kepada keluarga pasien.
2. Lakukan BHSP.
R/ mempermudah perawat dalam melakukan tindakan keperawatan.
3. Berikan penjelasan mengenai perawatan luka kepada orang tua pasien.
R/ memberikan penjelasan kepada orang tua pasien.
4. Berikan kesempatan kepada orang tua pasien untuk mengungkapkan
perasaannya.
R/ memberikan kesempatan kepada orang tua pasien untuk mengungkap
kesulitan yang dihadapi.
5. Evaluasi tingkat pengetahuan pasien.
R/ untuk mengetahui keberhasilan intervensi.

4.IMPLEMENTASI
Implementasi dilakukan berdasarkan perencanaan yang telah dibuat.
5. EVALUASI
 Diagnosa pre-tindakan
1. Pasien dapat melakukan manajemen nyeri
2. Suhu tubuh pasien dapat turun menjadi rentang normal (36,5 – 37,5o C / aksila).
3. Kebutuhan cairan pasien dapat terpenuhi
4. Cemas pasien berkurang
 Diagnosa post-tindakan
1. Nyeri yang dialami pasien berkurang
2. Luka pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, lubor, tumor,
perubahan fungsi)
3. Tingkat pengetahuan orang tua pasien tentang perawatan luka dapat meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth, 2008, Keperawatan Medikal Bedah, Vol. 2, Jakarta: EGC.
Carpenito, Lynda Juall- Moyet, 2007, Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10, Jakarta: EGC
Doenges, E. Marilynn, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3, Jakarta: EGC
Guyton dan Hall, 2003, Fisiologi Tubuh Manusia, Jakarta: EGC
Mansjoer A, dkk., 2012, Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media Aesculapius
Price, A. Sylvia, 2006, Patofisiologi Edisi 4, Jakarta: EGC
LAPORAN PENDAHULUAN
TUMOR OTAK

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS


PRAKTEK STASE MEDIKAL BEDAH

Disusun Oleh:
Ilmiati
NIM: 19640875

PROGRAM STUDINPENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KADIRI
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
TUMOR OTAK

A. KONSEP DASAR MEDIS


1. PENGERTIAN
a. Tumor otak adalah terdapatnya lesi yang ditimbulkan karena ada desakan ruang baik
jinak maupun ganas yang tumbuh di otak, meningen, dan tengkorak. (price, A.
Sylvia, 1995: 1030).
b. Tumor ialah Istilah umum yang mencakup setiap pertumbuhan benigna (jinak) dalam
setiap bagian tubuh. Pertmbuhan ini tidak bertujuan, bersifat parasit dan berkembang
dengan mengorbankan manusia yang menjadi hospesnya. (Sue Hinchliff, kamus
Keperawatan, 1997).
c. Tumor otak adalah suatu lesi ekspansif yang bersifat jinak (benigna) ataupun ganas
(maligna) membentuk massa dalam ruang tengkorak kepala (intra cranial) atau di
sumsum tulang belakang (medulla spinalis). Neoplasma pada jaringan otak dan
selaputnya dapat berupa tumor primer maupun metastase. Apabila sel-sel tumor
berasal dari jaringan otak itu sendiri disebut tumor otak primer dan bila berasal dari
organ-organ lain (metastase) seperti kanker paru, payudara, prostate, ginjal, dan lain-
lain disebut tumor otak sekunder. (Mayer. SA,2002).
d. Tumor otak adalah tumor jinak pada selaput otak atau salah satu otak (Rosa Mariono,
MA, Standard Asuhan Keperawatan, St. Carolus, 2000)
e. Tumor otak adalah sebuah lesi yang terletak pada intrakranial yang menempati ruang
di dalm tengkorak. Tumor-tumor selalu bertumbuh sebagai sebuah massa yang
berbentuk bola tetapi juga dapat tumbuh menyebar masuk ke dalam jaringan
(Suzanne c. Smeltzer, 2001 KMB volume 3, Hal 2167 ).

2. ETIOLOGI
1. Herediter
Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang ditemukan kecuali pada
meningioma, astrocytoma dan neurofibroma dapat dijumpai pada anggota-anggota
sekeluarga. Sklerosis tuberose atau penyakit Sturge-Weber yang dapat dianggap
sebagai manifestasi pertumbuhan baru memperlihatkan faktor familial yang jelas.
Selain jenis-jenis neoplasma tersebut tidak ada bukti-bukti yang kuat untuk
memikirkan adanya faktor-faktor hereditas yang kuat pada neoplasma.

2. Sisa-sisa Sel Embrional (Embryonic Cell Rest)


Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi bangunan-bangunan yang
mempunyai morfologi dan fungsi yang terintegrasi dalam tubuh. Ada kalanya
sebagian dari bangunan embrional tertinggal dalam tubuh menjadi ganas dan
merusak bangunan di sekitarnya. Perkembangan abnormal itu dapat terjadi pada
kraniofaringioma, teratoma intrakranial dan kordoma.

3. Radiasi
Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat mengalami
perubahan degenerasi namun belum ada bukti radiasi dapat memicu terjadinya suatu
glioma. Meningioma pernah dilaporkan terjadi setelah timbulnya suatu radiasi.

4. Virus
Banyak penelitian tentang inokulasi virus pada binatang kecil dan besar yang
dilakukan dengan maksud untuk mengetahui peran infeksi virus dalam proses
terjadinya neoplasma tetapi hingga saat ini belum ditemukan hubungan antara infeksi
virus dengan perkembangan tumor pada sistem saraf pusat.

5. Substansi-substansi karsinogenik
Penyelidikan tentang substansi karsinogen sudah lama dan luas dilakukan. Kini
telah diakui bahwa ada substansi yang karsinogenik seperti methylcholanthrone,
nitroso-ethyl-urea. Ini berdasarkan percobaan yang dilakukan pada hewan.

6. Trauma Kepala
Trauma yang berulang menyebabkan terjadinya meningioma (neoplasma selaput
otak). Pengaruh trauma pada patogenesis neoplasma susunan saraf pusat belum
diketahui.

3. ANATOMI OTAK
Susunan saraf adalah sistim yang mengontrol tubuh kita yang terus menerus
menerima, menghantarkan dan memproses suatu informasi dan bersama sistim hormon,
susunan saraf mengkoordinasikan semua proses fungsional dari berbagai jaringan tubuh,
organ dan sistim organ manusia.
a. Susunan saraf sadar (Voluntary nervous system):
Mengontrol fungsi yang dikendalikan oleh keinginan atau kemauan kita. Saraf ini
mengontrol otot rangka dan menghantarkan impuls sensori ke otak. Melalui saraf ini
kita dapat melakukan gerakan aktif dan menyadari keadaan diluar tubuh kita dan
secara sadar mengendalikannya.

b. Susunan saraf otonom/ tak sadar (automatic nervous system):


Saraf ini menjaga organ tubuh bagian dalam supaya berfungsi dengan baik seperti
: hati, paru-paru, jantung dan saluran cerna. Fungsi dasar yang penting bagi
kehidupan seperti makan, metabolisme, sirkulasi darah dan pernafasan dikendalikan
dengan bantuan susunan saraf otonom. Susunan saraf otonom dibagi menjadi
susunan saraf simpatik (menyebabkan tubuh dalam keadaan aktif) dan susunan saraf
para simpatik (sistim pengontrol konstruktif dan menyenangkan).

Serebrum terdiri dari dua hemisfer yaitu kiri dan kanan, empat lobus yaitu:

 Lobus frontal berfungsi mengontrol perilaku individu, membuat keputusan,


kepribadian dan menahan diri.
 Lobus parietal merupakan lobus sensori berfungsi menginterpretasikan sensasi,
berfungsi mengatur individu mampu mengetahui posisi dan letak bagian tubuhnya.
 Lobus temporal berfungsi menginterpretasikan sensasi kecap, bau, pendengaran dan
ingatan jangka pendek.
 Lobus oksipital bertanggung jawab menginterpretasikan penglihatan.

Otak berfungsi sebagai pusat integrasi dan koordinasi organ-organ sensorik dan
sistim efektor perifer tubuh, sebagai pengatur informasi yang masuk, simpanan
pengalaman, impuls yang keluar dan tingkah laku. Dari dalam ke arah luar otak
diselubungi oleh tiga lapisan meningen, lapisan pelindung yang paling luar adalah
tengkorak.

Secara fungsional dan anatomis otak dibagi menjadi empat bagian yaitu:

1. Batang otak yang menghubungkan medulla spinalis dengan serebrum terdiri dari
medulla oblongata, pons dan mesensefalon (otak tengah).
2. Medulla oblongata adalah bagian otak yang langsung menyambung dengan medulla
spinalis. Berkas saraf yang berjalan disini berasal dari serebrum dan berfungsi untuk
pergerakan otot rangka. Di medulla oblongata berkas ini menyebrang ke sisi yang
berlawanan yang disebut jalan/ traktus poramidalis. Itu sebabnya jika kerusakan otak
bagian kiri akan menyebabkan kelumpuhan bagian kanan tubuh dan sebaliknya. Selain
traktus piramidalis ada kelumpuhan sel-sel saraf yang terdapat di medulla oblongata
yakni pusat otot yang mengontrol fungsi vital seperti pernafasan, denyut jantung dan
tonus pembuluh darah.
3. Pons berupa ninti (neucleus). Pons merupakan switch dari jalur yang menghubungkan
korteks serebri dan serebllum.
4. Mesensefalon merupakan bagian otak yang sempit terletak antara medulla oblongata
dan diensefalon. Pada mesensefalon terdapat formation retikularis, suatu rangkaian
penting yang antara lain mengatur irama tidur dan bantun, mengontrol refleks menelan
dan muntah.
Secara Anatomi :
1. Otak kecil (cerebelum)
Cerebellum terletak dibelakang fossa krenialis dan melekat ke bagian belakang
batang otak. Cerebllum berperan penting dalam menjaga keseimbangan dan mengatur
koordinasi gerakan yang diterima dari segmrn posterior medulla spinalis yang
memberi informasi tentang keregangan otot dan tanda serta posisi-posisi sendi.

2. Otak besar (cerebrum)


Cerebrum adalah bagian otak yang paling besar dan terbagi atas dua belahan
yaitu:
hemisper kiri dan kanan. Sebagian dari kedua hemisper dipisahkan oleh pistula
longitu-dinal dan sebagian dipersatukan oleh pita serabut saraf yang melebar (korpus
kolosum).

3. Diensefalon
Dibagi menjadi empat wilayah :
1. Thalamus
Thalamus merupakan stasiun pemancar yang menerima impuls ageren dari
seluruh tubuh lalu memprosesnya dan meneruskannya ke segmen otak yang lebih
tinggi.
Kapsula interna yang terletak disekitar thalamus berupa berkas saraf
penting yang datang dari serebri dan dikompres kedalam rongga yang kecil.

2. Hipotalamus
Hypothalamus merupakan pusat pengontrol susunan saraf otonom juga
mempengaruhi metabolisme, observasi makanan dan mengatur suhu tubuh,
karena letaknya sangat dekat dengan kelenjar pitviteri.

3. Subtalamus
Fungsinya belum dapat dimengerti sepenuhnya, tetapi lesi pada
subtalamus dapat menimbulkan diskenisia diamatis yang disebut nemibalismus
yang ditandai oleh gerakan kaki atau tangan yang terhempas kuat pada satu sis
tubuh. Gerakan infontuler biasanya lebih nyata pada tangan dan kaki.

4. Epitalamus
Epitalamus dengan sistim limbic dan berperan pada beberapa dorongan
emosi dasar dan integrasi informasi olfaktorius.

Pembuluh darah yang mendarahi otak terdiri dari :


a. Sepasang pembuluh darah karotis : denyut pembuluh darah besar ini dapat kita raba
dileher depan, sebelah kiri dan kanan dibawah mandibula, sepasang pambuluh darah
ini setelah masuk ke rongga tengkorak akan bercabang menjadi tiga yaitu: sebagian
menuju ke otak depan (arteri serebri anterior). Sebagian menuju ke otak belakang
(arteri serebri posterior). Sebagian menuju otak bagian dalam (arteri serebri interior).
Ketiganya akan saling berhubungan melalui pembuluh darah yang disebut arteri
komunikan posterior.
b. Sepasang pembuluh darah vertebralis : denyut pembuluh darah ini tidak dapat diraba
oleh karna kedua pembuluh darah ini menyusup ke bagian samping tulang leher,
pembuluh darah ini mendarahi batang otak dan kedua otak kecil, kedua pembuluh
darah teersebut akan saling berhubungan pada permukaan otak pembuluh darah yang
disebut anastomosis.

4. KLASIFIKASI
1. Berdasarkan jenis tumor
a. Jinak
 Acoustic neuroma
 Meningioma
 Pituitary adenoma
 Astrocytoma (grade I)
b. Malignant
 Astrocytoma (grade 2,3,4)
 Oligodendroglioma
 Apendymoma

2. Berdasarkan lokasi
a. Tumor intradural
1. Ekstramedular
 Cleurofibroma
 Meningioma
2. Intramedular
 Apendymoma
 Astrocytoma
 Oligodendroglioma
 Hemangioblastoma

b. Tumor ekstradural
Merupakan metastase dari lesi primer, biasanya pada payudara, prostal,
tiroid, paru–paru, ginjal dan lambung.
5. PATOFISIOLOGI
Tubuh manusia terdiri dari sel-sel. Sel-sel ini tumbuh dan berkembang dengan
cara yang tersusun untuk membentuk sel-sel baru. Apabila sel-sel ini kehilangan
kemampuan untuk mengawal pertumbuhannya, ia akan tumbuh dengan bebasnya. Sel-sel
yang tumbuh berlebihan tanpa dikontrol ini akhirnya menjadi tumor. Tumor otak
menyebabkan gangguan neurologis. Gejala neurologik pada tumor otak biasanya
dianggap disebabkan oleh 2 faktor gangguan fokal, disebabkan oleh tumor dan tekanan
intrakranial. Gangguan fokal terjadi apabila penekanan pada jaringan otak dan
infiltrasi/invasi langsung pada parenkim otak dengan kerusakan jaringan neuron.
Perubahan suplai darah akibat tekanan yang ditimbulkan tumor yang tumbuh
menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada umumnya
bermanifestasi sebagai kehilangan fungsi secara akut dan mungkin dapat dikacaukan
dengan gangguan cerebrovaskuler primer. Beberapa tumor membentuk kista yang juga
menekan parenkim otak sekitarnya sehingga memperberat gangguan neurologis fokal.
Peningkatan tekanan intra kranial dapat diakibatkan oleh beberapa faktor: bertambahnya
massa dalam tengkorak, terbentuknya oedema sekitar tumor dan perubahan sirkulasi
cerebrospinal. Pertumbuhan tumor menyebabkan bertambahnya massa, karena tumor
akan mengambil ruang yang relatif dari ruang tengkorak yang kaku. Tumor ganas
menimbulkan oedema dalam jaruingan otak. Obstruksi vena dan oedema yang
disebabkan kerusakan sawar darah otak, semuanya menimbulkan kenaikan volume
intrakranial. Observasi sirkulasi cairan serebrospinaldari ventrikel laseral ke ruang sub
arakhnoid menimbulkan hidrocepalus.
PATHWAY
6. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi secara umum pada tumor otak antara lain:
1. Nyeri kepala
Nyeri kepala biasanya terlokalisir, tapi bisa juga menyeluruh. Biasanya muncul
pada pagi hari setelah bangun tidur dan berlangsung beberapa waktu, datang pergi
(rekuren) dengan interval tak teratur beberapa menit sampai beberapa jam. Serangan
semakin lama semakin sering dengan interval semakin pendek. Nyeri kepala ini
bertambah hebat pada waktu penderita batuk, bersin atau mengejan (misalnya waktu
buang air besar atau koitus). Nyeri kepaia juga bertambah berat waktu posisi
berbaring, dan berkurang bila duduk. Penyebab nyeri kepala ini diduga akibat tarikan
(traksi) pada pain sensitive structure seperti dura, pembuluh darah atau serabut saraf.
Nyeri kepala merupakan gejala permulaan pada tumor otak yang terletak di daerah
lobus oksipitalis.

2. Perubahan Status Mental


Gangguan konsentrasi, cepat lupa, perubahan kepribadian, perubahan mood dan
berkurangnya inisiatif adalah gejala-gejala umum pada penderita dengan tumor lobus
frontal atau temporal. Gejala ini bertambah buruk dan jika tidak ditangani dapat
menyebabkan terjadinya somnolen hingga koma.

3. Seizure
Adalah gejala utama dari tumor yang perkembangannya lambat seperti
astrositoma, oligodendroglioma dan meningioma. Paling sering terjadi pada tumor di
lobus frontal baru kemudian tumor pada lobus parietal dan temporal.

4. Edema Papil
Gejala umum yang tidak berlangsung lama pada tumor otak, sebab dengan teknik
neuroimaging tumor dapat segera dideteksi. Edema papil pada awalnya tidak
menimbulkan gejala hilangnya kemampuan untuk melihat, tetapi edema papil yang
berkelanjutan dapat menyebabkan perluasan bintik buta, penyempitan lapangan
pandang perifer dan menyebabkan penglihatan kabur yang tidak menetap. Penyebab
edema papil ini biasanya terjadi bila tumor yang lokasi atau pembesarannya menekan
jalan aliran likuor sehingga mengakibatkan bendungan dan terjadi hidrocephallus

5. Muntah
Muntah sering mengindikasikan tumor yang luas dengan efek dari massa tumor
tersebut juga mengindikasikan adanya pergeseran otak. Muntah berulang pada pagi
dan malam hari, dimana muntah yang proyektil tanpa didahului mual menambah
kecurigaan adanya massa intrakranial.

6. Vertigo
Pasien merasakan pusing yang berputar dan mau jatuh.

7. Kejang
Ini terjadi bila tumor berada di hemisfer serebri serta merangsang korteks
motorik. Kejang yang sifatnya lokal sukar dibedakan dengan kejang akibat lesi otak
lainnya, sedang kejang yang sifatnya umum atau general sukar dibedakan dengan
kejang karena epilepsi. Tapi bila kejang terjadi pertama kali pada usia dekade III dari
kehidupan harus diwaspadai kemungkinan adanya tumor otak.

Gejala spesifik tumor otak yang berhubungan dengan lokasi:

1. Lobus frontal
 Menimbulkan gejala perubahan kepribadian
 Bila tumor menekan jaras motorik menimbulkan hemiparese kontra lateral, kejang
fokal
 Bila menekan permukaan media dapat menyebabkan inkontinentia
 Bila tumor terletak pada basis frontal menimbulkan sindrom foster kennedy
 Pada lobus dominan menimbulkan gejala afasia

2. Lobus parietal
 Dapat menimbulkan gejala modalitas sensori kortikal hemianopsi homonym
 Bila terletak dekat area motorik dapat timbul kejang fokal dan pada girus angularis
menimbulkan gejala sindrom gerstmann’s

3. Lobus temporal
 Akan menimbulkan gejala hemianopsi, bangkitan psikomotor, yang didahului dengan
aura atau halusinasi
 Bila letak tumor lebih dalam menimbulkan gejala afasia dan hemiparese
 Pada tumor yang terletak sekitar basal ganglia dapat diketemukan gejala
choreoathetosis, parkinsonism.

4. Lobus oksipital
 Menimbulkan bangkitan kejang yang dahului dengan gangguan penglihatan
 Gangguan penglihatan yang permulaan bersifat quadranopia berkembang menjadi
hemianopsia, objeckagnosia

5. Tumor di ventrikel ke III


Tumor biasanya bertangkai sehingga pada pergerakan kepala menimbulkan
obstruksi dari cairan serebrospinal dan terjadi peninggian tekanan intrakranial mendadak,
pasen tiba-tiba nyeri kepala, penglihatan kabur, dan penurunan kesadaran
6. Tumor di cerebello pontin angie
 Tersering berasal dari N VIII yaitu acustic neurinoma
 Dapat dibedakan dengan tumor jenis lain karena gejala awalnya berupa gangguan
fungsi pendengaran
 Gejala lain timbul bila tumor telah membesar dan keluar dari daerah pontin angel

7. Tumor Hipotalamus
 Menyebabkan gejala TTIK akibat oklusi dari foramen Monroe
 Gangguan fungsi hipotalamus menyebabkan gejala: gangguan perkembangan seksuil
pada anak-anak, amenorrhoe,dwarfism, gangguan cairan dan elektrolit, bangkitan
8. Tumor di cerebelum
 Umumnya didapat gangguan berjalan dan gejala TTIK akan cepat erjadi disertai
dengan papil udem
 Nyeri kepala khas didaerah oksipital yang menjalar keleher dan spasme dari otot-otot
servikal

9. Tumor fosa posterior


Diketemukan gangguan berjalan, nyeri kepala dan muntah disertai dengan
nystacmus, biasanya merupakan gejala awal dari medulloblastoma.

7. KOMPLIKASI
1. Edema Serebral
Peningkatan cairan otak yang berlebih yang menumpuk disekitar lesi sehingga
menambah efek masa yang mendesak (space-occupying). Edema Serebri dapat terjadi
ekstrasel (vasogenik) atau intrasel (sitotoksik).

2. Hidrosefalus
Peningkatan intracranial yang disebabkan oleh ekspansin massa dalamrongga
cranium yang tertutup dapat di eksaserbasi jika terjadi obstruksi pada aliran cairan
serebrospinal akibat massa.

3. Herniasi Otak
Peningkatan intracranial yang terdiri dari herniasi sentra, unkus, dan singuli.

4. Kematian
Kematian adalah gangguan fungsi luhur. Gangguan ini sering diistilahkan dengan
gangguan kognitif dan neurobehavior sehubungan dengan kerusakan fungsi pada area
otak yang ditumbuhi tumor atau terkena pembedahan maupun radioterapi.
5. Gangguan kognitif dan neurobehavior
Sehubungan dengan kerusakan fungsi pada area otak yang ditumbuhi tumor
atau terkena pembedahan maupun radioterapi. Neurobehavior adalah keterkaitan
perilaku dengan fungsi kognitif dan lokasi / lesi tertentu di otak.

6. Disartria
Gangguan wicara karena kerusakan di otak atau neuromuscular perifer yang
bertanggung jawab dalam proses bicara.

7. Disfagi
Merupakan komplikasi lain dari penderita ini yaitu ketidakmampuan menelan
makanan karena hilangnya refleks menelan. Gangguan bisa terjadi di fase oral,
pharingeal atau oesophageal. Komplikasi ini akan menyebabkan terhambatnya asupan
nutrisi bagi penderita serta berisiko aspirasi pula karena muntahnya makanan ke paru.

8. Kelemahan otot
Kelemahan otot terjadi pada pasien tumor otak umumnya dan yang mengenai
saraf khususnya ditandai dengan hemiparesis, paraparesis dan tetraparesis.

8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. CT scan dan MRI
Memperlihatkan semua tumor intrakranial dan menjadi prosedur investigasi awal
ketika penderita menunjukkan gejala yang progresif atau tanda-tanda penyakit otak
yang difus atau fokal, atau salah satu tanda spesifik dari sindrom atau gejala-gejala
tumor. Kadang sulit membedakan tumor dari abses ataupun proses lainnya.

2. Foto polos dada


Dilakukan untuk mengetahui apakah tumornya berasal dari suatu metastasis yang
akan memberikan gambaran nodul tunggal ataupun multiple pada otak.

3. Pemeriksaan cairan serebrospinal


Dilakukan untuk melihat adanya sel-sel tumor dan juga marker tumor. Tetapi
pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan terutama pada pasien dengan massa di otak yang
besar. Umumnya diagnosis histologik ditegakkan melalui pemeriksaan patologi
anatomi, sebagai cara yang tepat untuk membedakan tumor dengan proses-proses
infeksi (abses cerebri).

4. Biopsi stereotaktik
Dapat digunakan untuk mendiagnosis kedudukan tumor yang dalam dan untuk
memberikan dasar-dasar pengobatan dan informasi prognosis.

5. Angiografi Serebral
Memberikan gambaran pembuluh darah serebral dan letak tumor serebral.

6. Elektroensefalogram (EEG)
Mendeteksi gelombang otak abnormal pada daerah yang ditempati tumor dan
dapat memungkinkan untuk mengevaluasi lobus temporal pada waktu kejang.

9. PENATALAKSANAAN MEDIK
1. Surgery
Therapy pre-surgery seperti:
 Steroid untuk menghilangkan swelling
Contoh obat: dexamethazone.
 Anticonvulsan untuk mencegah dan mengontrol kejang
Contoh obat: carbamazephine
 Shunt untuk mengalirkan cairan serebrospinal

2. Pembedahan
Pembedahan pada tumor otak dilakukan untuk mengangkat tumor dan dikompresi
dengan cara mereduksi efek massa sebagai upaya menyelamatkan nyawa serta
memperoleh efek paliasi.
3. Radiotherapy
Merupakan salah satu modalitas penting dalam pelaksanaan proses keganasan.

4. Pembedahan
Tindakan ini bertujuan untuk membunuh sel tumor. Diberikan secara oral IV atau
secara shunt.

10. PENCEGAHAN
1. Hindari stress dan terapkan koping yang efektif terhadap stress
2. Terapkan pola hidup sehat dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang
dan olahraga secara teratur
3. Hindari menggunakan telepon seluler yang terlalu lama dan penggunaan headset
ketika berkomunikasi dengan orang lain melalui telepon
4. Hindari rokok

11. PROGNOSIS
Meskipun diobati, hanya sekitar 25% penderita kanker otak yang bertahan hidup
setelah 2 tahun. Prognosis yang lebih baik ditemukan pada astrositoma dan
oligodendroglioma, dimana kanker biasanya tidak kambuh dalam waktu 3-5 tahun setelah
pengobatan.
Sekitar 50% penderita meduloblastoma yang diobati bertahan hidup lebih dari 5
tahun.

B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Identitas
Nama, umur, jenis kelamin, usia, status, agama, alamat, pekerjaan, dan identitas
penanggung jawab.
b. Riwayat Sakit dan Kesehatan
 Keluhan utama
Biasanya klien mengeluh nyeri kepala
 Riwayat penyakit saat ini
Klien mengeluh nyeri kepala, muntah, papiledema, penurunan tingkat
kesadaran, penurunan penglihatan atau penglihatan double, ketidakmampuan
sensasi (parathesia atau anasthesia), hilangnya ketajaman atau diplopia.
 Riwayat penyakit dahulu
Klien pernah mengalami pembedahan kepala
 Riwayat penyakit keluarga
Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang mungkin ada
hubungannya dengan penyakit klien sekarang, yaitu riwayat keluarga dengan
tumor otak.

2. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Perubahan kepribadian dan perilaku klien, perubahan mental, kesulitan
mengambil keputusan, kecemasan dan ketakutan hospitalisasi, diagnostic test dan
prosedur pembedahan, adanya perubahan peran.

3. Pemeriksaan Fisik (ROS : Review of System)


Pemeriksaan fisik pada klien dengan tomor otak meliputi pemeriksaan fisik umum
per system dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1
(breathing), B2 (Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone).
a. Pernafasan B1 (breathing)
 Bentuk dada : normal
 Pola napas : tidak teratur
 Suara napas : normal
 Sesak napas : ya
 Batuk : tidak
 Retraksi otot bantu napas; ya
 Alat bantu pernapasan: ya (O2 2 lpm)

b. Kardiovaskular B2 (blooding)
 Irama jantung : irregular
 Nyeri dada : tidak
 Bunyi jantung ; normal
 Akral : hangat
 Nadi : Bradikardi
 Tekanan darah Meningkat

c. Persyarafan B3 (brain)
 Penglihatan (mata) : Penurunan penglihatan, hilangnya ketajaman atau
diplopia.
 Pendengaran (telinga): Terganggu bila mengenai lobus temporal
 Penciuman (hidung) : Mengeluh bau yang tidak biasanya, pada lobus
frontal
 Pengecapan (lidah) : Ketidakmampuan sensasi (parathesia atau anasthesia)

d. Perkemihan B4 (bladder)
 Kebersihan : bersih
 Bentuk alat kelamin : normal
 Uretra : normal
 Produksi urin: normal

e. Pencernaan B5 (bowel)
 Nafsu makan : menurun
 Porsi makan : setengah
 Mulut : bersih
 Mukosa : lembap

f. Muskuloskeletal/integument B6 (bone)
 Kemampuan pergerakan sendi : bebas
 Kondisi tubuh: kelelahan
4. gangguan neurologi
1. Afasia: Kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa, kemungkinan ekspresif atau
kesulitan berkata-kata, reseotif atau berkata-kata komprehensif, maupun kombinasi
dari keduanya.
2. Ekstremitas: Kelemahan atau paraliysis genggaman tangan tidak seimbang,
berkurangnya reflex tendon.
3. GCS: Skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien, (apakah pasien
dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan
yang diberikan.

Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang angka 1– 6


tergantung responnya yaitu :

a. Eye (respon membuka mata)


 (4) : Spontan
 (3) : Dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
 (2) : Dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya
menekan kuku jari)
 (1) : Tidak ada respon
b. Verbal (respon verbal)
 (5) : Orientasi baik
 (4) : Bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang )
disorientasi tempat dan waktu.
 (3) : Kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas,
namun tidak dalam satu kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”)
 (2) : Suara tanpa arti (mengerang)
 (1) : Tidak ada respon
c. Motor (respon motorik)
 (6) : Mengikuti perintah
 (5) : Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat
diberi rangsang nyeri)
 (4) : Withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh
menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri)
 (3) : Flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas
dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
 (2) : Extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi
tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang
nyeri).
 (1) : Tidak ada respon

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan tekanan
intrakranial, pembedahan tumor, edema serebri, hipoksia seebral.
3. Gangguan mobilitas fisik b.d gangguan pergerakan dan kelemahan.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual, muntah dan tidak nafsu
makan.

C. INTERVENSI
 Dx 1: Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial
Tujuan: Nyeri yang dirasakan berkurang
Kriteria Hasil:
 Klien mengungkapkan nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi
ditunjukkan penurunan skala nyeri. Skala = 2
 Klien tidak merasa kesakitan.
 Klien tidak gelisah

Intervensi:

1. Teliti keluhan nyeri: intensitas, karakteristik, lokasi, lamanya, faktor yang


memperburuk dan meredakan.
R/ Nyeri merupakan pengalaman subjektif dan harus dijelaskan oleh pasien.
Identifikasi karakteristik nyeri dan faktor yang berhubungan merupakan suatu hal
yang amat penting untuk memilih intervensi yang cocok dan untuk mengevaluasi
keefektifan dari terapi yang diberikan.
2. Observasi adanya tanda-tanda nyeri non verbal seperti ekspresi wajah, gelisah,
menangis/meringis, perubahan tanda vital.
R/ Merupakan indikator/derajat nyeri yang tidak langsung yang dialami.

3. Instruksikan pasien/keluarga untuk melaporkan nyeri dengan segera jika nyeri


timbul.
R/ Pengenalan segera meningkatkan intervensi dini dan dapat mengurangi
beratnya serangan.

4. Berikan kompres dingin pada kepala.


R/ Meningkatkan rasa nyaman dengan menurunkan vasodilatasi.

5. Mengajarkan tehnik relaksasi dan metode distraksi


R/ Mengurangi rasa nyeri yang dialami klien.

6. Kolaborasi pemberian analgesic.


R/ Analgesik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri berkurang

 Dx 2: Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan tekanan


intrakranial, pembedahan tumor, edema serebri, hipoksia seebral.
Tujuan: Perfusi jaringan membaik ditandai dengan tanda-tanda vital stabil
Kriteria hasil:
 Tekanan perfusi serebral >60mmHg, tekanan intrakranial <15mmHg, tekanan arteri
rata-rata 80-100mmHg
 Menunjukkan tingkat kesadaran normal
 Orientasi pasien baik
 RR 16-20x/menit
 Nyeri kepala berkurang atau tidak terjadi

Intervensi:

1. Pantau status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar.
R/ Mengkaji adanya perubahan pada tingkat kesadran dan potensial peningkatan TIK
dan bermanfaat dalam menentukan okasi, perluasan dan perkembangan kerusakan
SSP.

2. Pantau tanda vital tiap 4 jam.


R/ Normalnya autoregulasi mempertahankan aliran darah ke otak yang stabil.
Kehilangan autoregulasi dapat mengikuti kerusakan vaskularisasi serebral lokal dan
menyeluruh.
3. Pertahankan posisi netral atau posisi tengah, tinggikan kepala 200-300.
R/ Kepala yang miring pada salah satu sisi menekan vena jugularis dan menghambat
aliran darah vena yang selanjutnya akan meningkatkan TIK.

4. Pantau ketat pemasukan dan pengeluaran cairan, turgor kulit dan keadaan membran
mukosa.
R/ Bermanfaat sebagai indikator dari cairan total tubuh yang terintegrasi dengan
perfusi jaringan.

5. Bantu pasien untuk menghindari/membatasi batuk, muntah, pengeluaran feses yang


dipaksakan/mengejan.
R/ Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intra toraks dan intra abdomen yang
dapat meningkatkan TIK.

6. Perhatikan adanya gelisah yang meningkat, peningkatan keluhan dan tingkah laku
yang tidak sesuai lainnya.
R/ Petunjuk non verbal ini mengindikasikan adanya penekanan TIK atau
menandakan adanya nyeri ketika pasien tidak dapat mengungkapkan keluhannya
secara verbal.

7. Kolaborasi:
 Kolaborasi dalam pemberian oksigen
R/ Memenuhi kebutuhan oksigen
 Berikan sedative atau analgetik dengan kolaboratif.
R/ Mengurangi peningkatan TIK

 Dx 3: intoleransi aktivitas b.d gangguan pergerakan dan kelemahan


Tujuan : intoleransi aktivitas teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan
Kriteria Hasil :
Pasien mendemonstrasikan tehnik / prilaku yang memungkinkan dilakukannya kembali
aktifitas.
Intervensi:
1. Kaji derajat mobilisasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan ( 0-4 )
R/ Seseorang dalam semua kategori sama-sama mempunyai resiko kecelakaan.

2. Letakkan pasien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan karena tekanan.
R/ Perubahan posisi yang teratur meningkatkan sirkulasi pada seluruh tubuh.

3. Bantu untuk melakukan rentang gerak


R/ Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi.
4. Tingkatkan aktifitas dan partisipasi dalam merawat diri sendiri sesuai kemampuan
R/ Proeses penyembuhan yang lambat sering kali menyertai trauma kepala,
keterlibatan pasien dalam perencanaan dan keberhasilan.
5. Berikan perawatan kulit dengan cermat, masase dengan pelembab.
R / : Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit

 Dx 5: Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual, muntah dan tidak nafsu
makan.
Tujuan: Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi setelah dilakukan keperawatan
Kriteria Hasil:
 Nutrisi klien terpenuhi
 Mual berkurang sampai dengan hilang.

Intervensi:

1. Hidangkan makanan dalam porsi kecil tapi sering dan hangat.


R/ Makanan yang hangat menambah nafsu makan.

2. Kaji kebiasaan makan klien.


R/ Jenis makanan yang disukai akan membantu meningkatkan nafsu makan klien.

3. Ajarkan teknik relaksasi yaitu tarik napas dalam.


R/ Tarik nafas dalam membantu untuk merelaksasikan dan mengurangi mual.

4. Timbang berat badan bila memungkinkan.


R/ Untuk mengetahui kehilangan berat badan.

5. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian vitamin


R/ Mencegah kekurangan karena penurunan absorsi vitamin larut dalam lemak

D. IMPLEMENTASI
Sesuai intervensi

E. EVALUASI
Sesuai tujuan
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa:
WaluyoAgung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta

Doenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1993,Rencana Asuhan Keperawatan untuk


perencanaan dan pendukomentasian perawatan Pasien, Edisi-3, Alih bahasa;
Kariasa,I.M.,Sumarwati,N.M., EGC, Jakarta

Suyono,dkk, 2001, Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II, edisi 3, Balai penercit FKUI,Jakarta.

University IOWA., NIC and NOC Project., 1991, Nursing outcome Classifications,Philadelphia,
USA
LAPORAN
PENDAHULUAN
HERNIA
PRAKTEK PROFESI MEDICAL BEDAH

FAKULTAS ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS KADIRI
TAHUN 2020

LiesHandayani S.Kep
Nim : 19640874
1
LAPORAN PENDAHULUAN
HERNIA

Diajukan Untuk Menyelesaikan Tugas Stase Medikal Bedah


Program Profesi Ners

Disusun Oleh:
LIES HANDAYANI. S.Kep
NIM. 19640874

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KADIRI
2020

2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunianya
sehingga dapat menyelesaikan tugas untuk memenuhi mata kuliah Departemen Medikal
Bedah pada kegiatan profesi ners keperawatan.
Dalam penyusunan tugas Laporan pendahuluan ini tidak terlepas dari adanya
bimbingan, arahan dan dukungan dari berbagai pihak yang ikut membantu terselesaikannya
laporan ini. Pada kesempatan ini, memperkenankan saya mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya dengan hati yang tulus kepada:
1. Sri Haryuni S.Kep.Ns.M.Kep selaku Pembimbing Institusi Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Kadiri
2. Rekan – rekan mahasiswa seprofesi progsus Palu yang ikut memberikan semangat
dalam meyelesakan tugas manajemen ini.

Semoga Allah SWT membalas semua pihak yang telah memberikan bantuan dan
dukungannya dalam menyelesaikan laporan ini. Tentu saja Laporan Praktik Profesi Ners
Departemen Medikal Bedah ini agar lebih sempurna, sehingga memerlukan saran dan
masukan. Semoga laporan ini memberi manfaat untuk sebagai pembelajaran khususnya di
departemen stase medikal bedah dan kemajuan pelayanan keperawatan.

Tolitoli, 2020

Penulis
LIES HANDAYANI.S.Kep

Laporan Pendahuluan Hernia 3


LAPORAN PENDAHULUAN
HERNIA

A. Pengertian
Hernia adalah penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah dari
dinding rongga bersangkutan. Pada hernia abdomen isi perut menonjol melalui defek atau
bagian lemah dari lapisan dinding perut (Sjamsuhidayat, 2004).
Hernia adalah proporsi abnormal organ jaringan atau bagian organ melalui stuktur
yang secara normal berisi bagian ini. Hernia paling sering terjadi pada rongga abdomen
sebagai akibat dari kelemahan muskular abdomen konginental atau didapat (Ester, 2004).
Hernia adalah menonjolnya suatu organ atau struktur organ dari tempatnya yang
normal melalui sebuah defek kongenital atau yang didapat (Long, 2002).

B. Etiologi
a. Umur
Penyakit ini dapat diderita oleh semua kalangan tua, muda, pria maupun
wanita. Pada Anak – anak penyakit ini disebabkan karena kurang sempurnanya
procesus vaginalis untuk menutup seiring dengan turunnya testis. Pada orang dewasa
khususnya yang telah berusia lanjut disebabkan oleh melemahnya jaringan penyangga
usus atau karena adanya penyakit yang menyebabkan peningkatan tekanan dalam
rongga perut .
b. Jenis Kelamin
Hernia yang sering diderita oleh laki – laki biasanya adalah jenis hernia
Inguinal. Hernia Inguinal adalah penonjolan yang terjadi pada daerah selangkangan,
hal ini disebabkan oleh proses perkembangan alat reproduksi. Penyebab lain kaum
adam lebih banyak terkena penyakit ini disebabkan karena faktor profesi, yaitu pada
buruh angkat atau buruh pabrik. Profesi buruh yang sebagian besar pekerjaannya
mengandalkan kekuatan otot mengakibatkan adanya peningkatan tekanan dalam
rongga perut sehingga menekan isi hernia keluar dari otot yang lemah tersebut
c. Penyakit penyerta
Penyakit penyerta yang sering terjadi pada hernia adalah seperti pada kondisi
tersumbatnya saluran kencing, baik akibat batu kandung kencing atau pembesaran
prostat, penyakit kolon, batuk kronis, sembelit atau konstipasi kronis dan lain-lain.
Laporan Pendahuluan Hernia 4
Kondisi ini dapat memicu terjadinya tekanan berlebih pada abdomen yang dapat
menyebabkan keluarnya usus melalui rongga yang lemah.
d. Keturunan
Resiko lebih besar jika ada keluarga terdekat yang pernah terkena hernia.
e. Obesitas
Berat badan yang berlebihan menyebabkan tekanan berlebih pada tubuh,
termasuk di bagian perut. Ini bisa menjadi salah satu pencetus hernia. Peningkatan
tekanan tersebut dapat menjadi pencetus terjadinya penonjolan organ melalui dinding
organ yang lemah.
f. Kehamilan
Kehamilan dapat melemahkan otot di sekitar perut sekaligus memberi tekanan
lebih di bagian perut. Kondisi ini juga dapat menjadi pencetus terjadinya hernia.
g. Pekerjaan
Beberapa jenis pekerjaan yang membutuhkan daya fisik dapat menyebabkan
terjadinya hernia. Contohnya, pekerjaan buruh angkat barang. Aktivitas yang berat
dapat mengakibatkan peningkatan tekanan yang terus-menerus pada otot-otot
abdomen. Peningkatan tekanan tersebut dapat menjadi pencetus terjadinya prostrusi
atau penonjolan organ melalui dinding organ yang lemah.
h. Kelahiran prematur
Bayi yang lahir prematur lebih berisiko menderita hernia inguinal daripada
bayi yang lahir normal karena penutupan kanalis inguinalis belum sempurna,
sehingga memungkinkan menjadi jalan bagi keluarnya organ atau usus melalui
kanalis inguinalis tersebut. Apabila seseorang pernah terkena hernia, besar
kemungkinan ia akan mengalaminya lagi.(Giri Made Kusala, 2009).

C. Jenis- jenis Hernia


a. Hernia hiatal
Kondisi di mana kerongkongan (pipa tenggorokan) turun, melewati diafragma
melalui celah yang disebut hiatus sehingga sebagian perut menonjol ke dada (toraks).
b. Hernia epigastrik
Terjadi di antara pusar dan bagian bawah tulang rusuk di garis tengah perut.
Hernia epigastrik biasanya terdiri dari jaringan lemak dan jarang yang berisi usus.
Terbentuk di bagian dinding perut yang relatif lemah, hernia ini sering menimbulkan

Laporan Pendahuluan Hernia 5


rasa sakit dan tidak dapat didorong kembali ke dalam perut ketika pertama kali
ditemukan.
c. Hernia umbilikal
Berkembang di dalam dan sekitar umbilikus (pusar) yang disebabkan bukaan
pada dinding perut, yang biasanya menutup sebelum kelahiran, tidak menutup
sepenuhnya.
d. Hernia inguinalis
Merupakan hernia yang paling umum terjadi dan muncul sebagai tonjolan di
selangkangan atau skrotum. Hernia inguinalis terjadi ketika dinding abdomen
berkembang sehingga usus menerobos ke bawah melalui celah. Hernia tipe ini lebih
sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan.
e. Hernia femoralis
Hernia ini muncul sebagai tonjolan di pangkal paha. Tipe ini lebih sering
terjadi pada wanita dibandingkan pada pria.
f. Hernia insisional
Hernia ini dapat terjadi melalui luka pasca operasi perut. Hernia ini muncul
sebagai tonjolan di sekitar pusar yang terjadi ketika otot sekitar pusar tidak menutup
sepenuhnya.

D. Patofisiologi
Hernia berkembang ketika intra abdominal mengalami pertumbuhan tekanan
seperti tekanan pada saat mengangkat sesuatu yang berat, pada saat buang air besar atau
batuk yang kuat atau bersin dan perpindahan bagian usus ke daerah otot abdominal,
tekanan yang berlebihan pada daerah abdominal itu tentu saja akan menyebabkan suatu
kelemahan mungkin disebabkan dinding abdominal yang tipis atau tidak cukup kuatnya
pada daerah tersebut dimana kondisi itu ada sejak atau terjadi dari proses perkembangan
yang cukup lama, pembedahan abdominal, kemudian terjadi hernia. Karena organ– organ
selalu saja melakukan pekerjaan yang berat dan berlangsung dalam waktu yang cukup
lama, sehingga terjadilah penonjolan yang mengakibatkan kerusakan yang sangat parah.
Sehingga akhirnya menyebabkan kantung yang terdapat dalam perut menjadi atau
mengalami kelemahan.

Laporan Pendahuluan Hernia 6


PATHWAY HERNIA

Adanya tekanan Aktivitas berat

Hernia

Hernia umbilikalis Hernia para Hiatus Hernia Hernia


konginetal umbilikalis Hernia Insisional Inguinalis

Kantung hernia Kantung Kantung Kantung Kantung hernia


Keluar Hernia hernia hernia memasuki celah
melalui umbilikalis Melewati memasuki memasuki inguinal
Dinding rongga celah bekas
Abdomen thorak insisi Terdorong lewat
Dinding posterior
Canalis inguinal
Yg lemah

Benjolan pd regio
Inguinal

Diatas ligamentum
Inguinal mengecil
Bila berbaring

Pembedahan

Insisi bedah

Resiko infeksi Asupan gizi kurang Mual

Terputusnya
Jaringan Peristaltik usus Nafsu makan
Syaraf Menurun Menurun

Nyeri akut Intake maknan


inadekuat
G3 eliminasi
G3 rasa nyaman Nutrisi kurang
dari kebut.tubuh

Laporan Pendahuluan Hernia 7


E. Manifestasi klinik
a. Berupa benjolan
b. Adanya rasa nyeri pada daerah benjolan
c. Terdapat gejala mual dan muntah atau distensi bila telah ada komplikasi
d. Terdapat keluhan kencing berupa disuria pada hernia femoralis yang berisi kandung
kencing

F. Penatalaksanaan medis
a. Secara konservatif (non operatif)
• Reposisi hernia
Hernia dikembalikan pada tempat semula bisa langsung dengan tangan
• Penggunaan alat penyangga dapat dipakai sebagai pengelolaan sementara,
misalnya pemakaian korset
b. Secara operatif
• Hernioplasti
Memindahkan fasia pada dinding perut yang lemah, hernioplasti sering dilakukan
pada anak – anak
• Herniographi
Pada bedah elektif, kanalis dibuka, isi hernia di masukkan, kantong diikat, dan
dilakukan bainy plasty atau teknik yang lain untuk memperkuat dinding belakang
kanalis inguinalis. Ini sering dilakukan pada orang dewasa
• Herniotomi
Seluruh hernia dipotong dan diangkat lalu dibuang. Ini dilakukan pada klien
dengan hernia yang sudah nekrosis

G. Fokus Keperawatan
1. Pengkajian
a. Aktivitas/istirahat
Tanda dan gejala: Atropi otot, gangguan dalam berjalan, riwayat pekerjaan yang
perlu mengangkat benda berat, duduk dalam waktu lama.
b. Eliminasi
Gejala: Konstipasi, mengalami kesulitan dalam defekasi adanya inkontinensia
atau retensi urin.

Laporan Pendahuluan Hernia 8


c. Integritas ego
Tanda dan gejala: Cemas, depresi, menghindar ketakutan akan timbulnya
paralisis, ansietas masalah pekerjaan, finansial keluarga.
d. Neuro sensori
Tanda dan gejala: Penurunan reflek tendon dalam kelemahan otot hipotonia, nyeri
tekan, kesemutan, ketakutan kelemahan dari tangan dan kaki.
e. Nyeri atau ketidaknyamanan
Gejala: Sikap, perubahan cara berjalan, nyeri seperti tertusuk benda tajam,
semakin memburuk dengan batuk, bersin membengkokkan badan.
f. Keamanan
Gejala: adanya riwayat masalah punggung yang baru saja terjadi.

2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi


Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul dan intervensi yang dapat
dilakukan adalah:
a. Gangguan rasa nyaman (nyeri) sehubungan dengan kompresi syaraf, spasme
otot
Kriteria hasil:
• Melaporkan nyeri hilang dan terkontrol.
• mengungkapkan metode yang memberi penghilangan.
• mendemonstrasikan penggunaan intervensi terapeutik.
Intervensi:
1) Kaji adanya keluhan nyeri, catat lokasi lamanya serangan, faktor pencetus
atau yang memperberat
Rasional: Membantu menentukan pilihan intervensi dan memberikan dasar
untuk perbandingan dan evaluasi terhadap terapi
2) Pertahankan tirah baring selama fase akut letakkan pasien pada posisi semi
fowler dengan tulang spinal, pinggang dan lutut dalam keadaan fleksi,
posisi terlentang dengan atau tanpa meninggikan kepala 10-30 derajat pada
posisi lateral
Rasional: Tirah baring dalam posisi yang nyaman memungkinkan pasien
untuk menurunkan spasme otot menurunkan penekanan pada bagian tubuh
tertentu dan memfasilitasi terjadinya reduksi dari tonjolan discus.

Laporan Pendahuluan Hernia 9


3) Batasi aktivitas selama fase akut sesuai dengan kebutuhan
Rasional: Menurunkan gaya gravitasi dan gerak yang dapat
menghilangkan spasme otot dan menurunkan edema dan tekanan pada
struktur sekitar discus intervertebralis.
4) Instruksikan pada pasien untuk melakukan teknik relaksasi atau visualisasi
Rasional: Memfokuskan perhatian klien membantu menurunkan tegangan
otot dan meningkatkan proses penyembuhan.
5) Kolaborasi dalam pemberian terapi
Rasional: Intervensi cepat dan mempercepat proses penyembuhan.

b. Koping individu tidak efektif (ansietas) sehubungan dengan krisis


situasional, perubahan status kesehatan
Kriteria hasil:
• Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang.
• Mengkaji situasi terbaru dengan akurat mendemonstrasikan ketrampilan
pemecahan masalah.
Intervensi:
1) Kaji tingkat ansietas klien, tentukan bagaimana pasien menangani
masalahnya sebelumnya dan sekarang
Rasional: Mengidentifikasi keterampilan untuk mengatasi keadaannya
sekarang.
2) Berikan informasi yang akurat
Rasional: Memungkinkan pasien untuk membuat keputusan yang
didasarkan pada pengetahuannya.
3) Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan masalah yang
dihadapinya
Rasional: Kebanyakan pasien mengalami permasalahan yang perlu
diungkapkan dan diberi respon.
4) Catat perilaku dari orang terdekat atau keluarga yang meningkatkan peran
sakit pasien
Rasional: Orang terdekat mungkin secara tidak sadar memungkinkan
pasien untuk mempertahankan ketergantungannya.

Laporan Pendahuluan Hernia 10


c. Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan nyeri, spasme otot
Kriteria hasil:
• Mengungkapkan pemahaman tentang situasi atau faktor resiko dan aturan
pengobatan individual.
Intervensi:
1) Berikan tindakan pengamanan sesuai indikasi dengan situasi yang spesifik
Rasional: Tergantung pada bagian tubuh yang terkena atau jenis prosedur
yang kurang hati-hati akan meningkatkan kerusakan spinal.
2) Catat respon emosi atau perilaku pada saat immobilisasi, berikan aktivitas
yang disesuaikan dengan pasien
Rasional: Immobilitas tang dipaksakan dapat memperbesar kegelisahan,
peka terhadap rangsang.
3) Bantu pasien dalam melakukan aktivitas ambulasi progresif
Rasional: Keterbatasan aktivitas tergantung pada kondisi tang khusus
tetapi biasanya berkembang dengan lambat sesuai toleransi.
4) Ikuti aktivitas atau prosedur dengan periode istirahat
Rasional: Meningkatkan penyembuhan dan membentuk kekuatan otot.
5) Berikan atau bantu pasien untuk melakukan latihan rentang gerak aktif,
dan pasif
Rasional: Memperkuat otot abdomen dan fleksor tulang belakang,
memperbaiki mekanika tubuh.

d. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan


dengan muntah, mual, gangguan peristaltic usus
Kriteria hasil:
• Meningkatkan masukan oral.
• Menjelaskan faktor penyebab apabila diketahui.
Intervensi:
1) Tentukan kebutuhan kalori harian yang adekuat, kolaborasi dengan ahli
gizi.
Rasional: Mencukupi kalori sesuai kebutuhan, memudahkan menentukan
intervensi yang sesuai dan mempercepat proses penyembuhan.

Laporan Pendahuluan Hernia 11


2) Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat, negosiasikan dengan klien
tujuan masukan untuk setiap kali makan dan makan makanan kecil
Rasional: Klien dapat mengontrol masukan nutrisi yang adekuat sesuai
kebutuhan, yang digunakan sebagai cadangan energi yang untuk
beraktivitas.
3) Timbang berat badan dan pantau hasil laboratorium
Rasional: Dapat digunakan untuk memudahkan melakukan intervensi yang
akurat dan sesuai dengan kondisi klien.
4) Anjukan klien untuk menjaga kebersihan mulut secara teratur pantau klien
dalam melakukan personal hygiene.
Rasional: Meningkatkan nafsu makan dan memberi kenyamanan dalam
mengkonsumsi makanan sehingga kebutuhan kalori terpenuhi.
5) Atur rencana perawatan untuk mengurangi atau menghilangkan
ketidaknyamanan yang dapat menyebabkan mual, muntah, dan
mengurangi nafsu makan
Rasional: Menentukan intervensi yang sesuai meningkatkan masukan oral.

e. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah


pembentukan hematoma
Kriteria hasil:
• Melaporkan atau mendemonstrasikan situasi normal.
Intervensi:
1) Lakukan penilaian terhadap fungsi neurologist secara periodik
Rasional: Penurunan atau perubahan mungkin mencerminkan resolusi
edema, inflamasi sekunder.
2) Pertahankan pasien dalam posisi terlentang sempurna selama beberapa jam
Rasional: Penekanan pada daerah operasi dapat menurunkan resiko
hematoma.
3) Pantau tanda-tanda vital catat kehangatan, pengisian kapiler
Rasional: Perubahan kecepatan nadi mencerminkan hipovolemi akibat
kehilangan darah, pembatasan pemasukan oral mual, muntah.
4) Kolaborasi dalam pemberian cairan atau darah sesuai indikasi
Rasional: Terapi cairan pengganti tergantung pada derajat hipovolemi.

Laporan Pendahuluan Hernia 12


DAFTAR PUSTAKA

Long, Barbara C. (2002). Perawat Medical Bedah. Volume I. (terjemahan). Yayasan Ikatan
Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran: Bandung

Mansjoer, A. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid II. Media Aesculapius FKUI:
Jakarta

Poppy Kumala, dkk. (2005). Kamus Saku Kedokteran Dorland. EGC: Jakarta

R. Sjamsuhidayat & Wim, D.J. (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerbit Buku Kedokteran EGC:
Jakarta

Laporan Pendahuluan Hernia 13


LAPORAN PENDAHULUAN
SPAIN STRAIN

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS


PRAKTEK STASE MEDIKAL BEDAH

Disusun Oleh:
Fitriani
NIM: 19640876

FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KADIRI


KOTA KEDIRI
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
SPAIN STRAIN

A. KONSEP DASAR MEDIS


1. Pengertian
Sprain adalah kekoyakan pada otot, ligament atau tendon yang dapat bersifat
sedang atau parah.
Sedangkan strain adalah tarikan pada otot, ligament atau tendon yang
disebabkan oleh regangan (streech) yang berlebihan.

2. ETIOLOGI
Penyebab sprain:
1. Pemuntiran mendadak dengan tenaga yang lebih kuat dari pada kekuatan ligamen
dengan menimbulkan gerakan sendiri diluar kisaran gerak (RPS) normal.
2. Fraktur atau dislokasi yang terjadi secara bersamaan.

Penyebab strain:
1. Penggunaan atau tekana berlebihan pada otot sehingga otot tersebut teregang diluar
kapasitas normalnya khususnya ketika otot belum teregang dengan baik sebelum
aktivitas dilakukan (strain akut)
2. Luka tusuk atau luka tembak yang menyebabkan ruptur traumatik (strain akut).
3. Penggunaan otot secara berlebihan yang dilakukan berkali-kali (strain kronis).

3. PATOFISIOLOGI
Sprain adalah kekoyakan (avulsion) seluruh atau sebagian dari dan disekeliling
sendi, yang disebabkan oleh daya yang tidak semestinya, pemelintiran atau mendorong /
mendesak pada saat berolah raga atau aktivitas kerja.
Kebanyakan keseleo terjadi pada pergelangan tangan dan kaki, jari-jari tangan
dan kaki. Pada trauma olah raga (sepak bola) sering terjadi robekan ligament pada sendi
lutut.
Sendi-sendi lain juga dapat terkilir jika diterapkan Jaya tekanan atau tarikan yang
tidak semestinya tanpa diselingi peredaan.
Sedangkan strain adalah daya yang tidak semestinya yang diterapkan pada otot,
ligament atau tendon. Daya (force) tersebut akan meregangkan serabut-serabut tersebut
clan menyebabkan kelemahan dan mati rasa temporer serta perdarahan jika pembuluh
darah clan kapiler dalam jaringan yang sakit tersebut mengalami regangan yang
berlebihan.

4. TANDA DAN GEJALA


Tanda dan gejala sprain adalah :
1. Sama dengan strain (kram) tetapi lebih parah.
2 Edema, perdarahan dan perubahan warna yang lebih nyata.
3 Ketidakampuan untuk menggunakan sendi, otot dan tendon.
4 Tidak dapat menyangga beban, nyeri lebih hebat dan konstan.
Sedangkan tanda dan gejala strain adalah :
1 Kelemahan
2 Mati rasa
3 Perdarahan yang ditandai dengan :4
 Perubahan warna
 Bukaan pada kulit
 Perubahan mobilitas, stabilitas dan kelonggaran sendi.
 Nyeri
 Odema

5. KLASIFIKASI
Therapist mengkategorikan sprain dan strain berdasarkan berat ringannya cidera.
1. Derajat I (ringan)
Berupa beberapa stretching atau kerobekan ringan pada otot atau ligament. Cidera
derajat I biasanya sembuh dengan cepat dengan pemberian istirahat, es, kompresi dan
elevasi (RICE). Terapi latihan dapat membantu mengembalikan kekuatan dan
fleksibilitas.
2. Derajat II (sedang)
Berupa kerobekan parsial tetapi masih menyambung. Cidera derajat II
terapinya sama hanya saja ditambah dengan immobilisasi pada daerah yang cidera.
3. Derajat III (berat)
Berupa kerobekan penuh pada otot dan ligament, yang menghasilkan
ketidakstabilan sendi. Terapi derajat III biasanya dilakukan immobilisasi dan
kemungkinan pembedahan untuk mengembalikan fungsinya.

6. PATOFISIOLOGI
Sprain adalah kekoyakan (avulsion) seluruh atau sebagian dari dan disekeliling
sendi, yang disebabkan oleh daya yang tidak semestinya, pemelintiran atau mendorong /
mendesak pada saat berolah raga atau aktivitas kerja.
Kebanyakan keseleo terjadi pada pergelangan tangan dan kaki, jari-jari tangan dan
kaki. Pada trauma olah raga (sepak bola) sering terjadi robekan ligament pada sendi lutut.
Sendi-sendi lain juga dapat terkilir jika diterapkan Jaya tekanan atau tarikan yang
tidak semestinya tanpa diselingi peredaan.
Sedangkan strain adalah daya yang tidak semestinya yang diterapkan pada otot,
ligament atau tendon. Daya (force) tersebut akan meregangkan serabut-serabut tersebut
clan menyebabkan kelemahan dan mati rasa temporer serta perdarahan jika pembuluh
darah clan kapiler dalam jaringan yang sakit tersebut mengalami regangan yang
berlebihan.
PATHWAY

Penggunaan berlebihan, Tekanan yang berulang. Peregangan yang berlebihan

Perubahan Jarinagan
Cedera otot
sekitar

Spasme otot

Gerakan minimal Nyeri Akut Hospitalisasi

Gangguan Kurang Pengetahuan


Mobilitas Fisik

Ansietas
7. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan sprain adalah :
1. Pembedahan.
Mungkin diperlukan agar sendi dapat berfungsi sepenuhnya; pengurangan-
pengurangan perbaikan terbuka terhadap jaringan yang terkoyak.
2. Kemotherapi.
Dengan analgetik Aspirin (100-300 mg setiap 4 jam) untuk meredakan nyeri
dan peradangan. Kadang diperlukan Narkotik (codeine 30-60 mg peroral setiap 4 jam)
untuk nyeri hebat.
3. Elektromekanis.
1. Penerapan dingin
Dengan kantong es 24o C
2. Pembalutan / wrapping ekstemal.
Dengan pembalutan, cast atau pengendongan (sung).
3. Posisi ditinggikan.
Jika yang sakit adalah bagian ekstremitas.
4. Latihan ROM.
Tidak dilakukan latihan pada saat terjadi nyeri hebat dan perdarahan. Latihan pelan-
pelan dimulai setelah 7-10 hari tergantung jaringan yang sakit.
5. Penyangga beban.
Menghentikan penyangga beban dengan penggunaan kruk selama 7 hari atau lebih
tergantung jaringan yang sakit.

Sedangkan penatalaksanaan strain adalah :


1. Kemotherapi. Dengan analgetik seperti Aspirin (300 – 600 mg/hari) atau
Acetaminofen (300 – 600 mg/hari).
2. Elektromekanis.
3. Penerapan dingin.
Dengan kantong es 24OC
4. Pembalutan atau wrapping ekstemal.
Dengan pembalutan atau pengendongan bagian yang sakit.
5. Posisi ditinggikan atau diangkat.
Dengan ditinggikan jika yang sakit adalah ekstremitas.
6. Latihan ROM.
Latihan pelan-pelan dan penggunaan semampunya sesudah 48 jam.
7. Penyangga beban.
Semampunya dilakukan penggunaan secara penuh.

B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Identitas pasien.
b. Keluhan Utama.
Nyeri, kelemahan, mati rasa, edema, perdarahan, perubahan mobilitas /
ketidakmampuan untuk menggunakan sendi, otot clan tendon.

c. Riwayat Kesehatan.
1. Riwayat Penyakit Sekarang.
a. Kapan keluhan dirasakan, apakah sesudah beraktivitas kerja atau setelah
berolah raga.
b. Daerah mana yang mengalami trauma.
c. Bagaimana karakteristik nyeri yang dirasakan.
2. Riwayat Penyakit Dahulu.
a. Apakah klien sebelumnya pernah mengalami sakit seperti ini atau
mengalami trauma pada sistem muskuloskeletal lainnya.
3. Riwayat Penyakit Keluarga.
a. Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini.

d. Pemeriksaan Fisik.
 Inspeksi :
 Kelemahan
 Edema
 Perdarahan perubahan warna kulit
 Ketidakmampuan menggunakan sendi
 Palpasi :
 Mati rasa
 Auskultasi
 Perkusi.

e. Pemeriksaan Penunjang.
Pada sprain untuk diagnosis perlu dilaksanakan rontgen untuk membedakan
dengan patah tulang.

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri / ketidakmampuan, ditandai dengan
ketidakmampuan untuk mempergunakan sendi, otot dan tendon.
2. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan atau kekoyakan pada otot, ligament atau
tendon ditandai dengan kelemahan, mati rasa, perdarahan, edema, nyeri.

D. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN


a. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri / ketidakmampuan, ditandai
dengan ketidakmampuan untuk mempergunakan sendi, otot dan tendon.
Tujuan :
1. Meningkatkan / mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang
mungkin.
2. Menunjukkan teknik memampukan melaksanakan aktivitas (ROM aktif dan pasif).
Intervensi :
1. Kaji derajat mobilitas yang dihasilkan oleh cedera / pengobatan dan perhatikan
persepsi pasien terhadap mobilisasi.
2. Ajarkan untuk melaksanakan latihan rentang gerak pasien/aktif pada ekstremitas
yang sehat dan latihan gerak pasif pada ekstremitas yang sakit.
3. Berikan pembalutan, pembebatan yang sesuai.
b. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan atau kekoyakan pada otot, ligament atau
tendon ditandai dengan kelemahan, mati rasa, perdarahan, edema, nyeri.
Tujuan :
1. Menyatakan nyeri hilang.
Intervensi :
1. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips dan
pembalutan.
2. Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena.
3. Pemberian kompres dingin dengan kantong es 24 o C.
4. Ajarkan metode distraksi dan relaksasi selama nyeri akut.
5. Berikan individu pereda rasa sakit yang optimal dengan analgesik.
E. IMPLEMENTASI
Sesuai intervensi

F. EVALUASI
Sesuai tujuan
DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Suddarth. Keperawatan Medikal-Bedah. 2002. Jakarta : EGC

Corwin, Elizabeth J. Buku Saku Patofisiologi. 2009. Jakarta : EGC

Suraton dkk. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. 2008. Jakarta :
EGC

Nanda Internasional. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. 2012-2014. 2012. Jakarta
: EGC
LAPORAN PENDAHULUAN
DISLOKASI

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS


PRAKTEK STASE MEDIKAL BEDAH

Disusun Oleh:
Mushalpah Jam’an
NIM: 19640934

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KADIRI
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
DISLOKASI

A. KONSEP DASAR MEDIS


1.PENGERTIAN
Dislokasi adalah cedera struktur ligameno di sekitar sendi, akibat gerakan
menjepit atau memutar / keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi
tidak lagi berhubungan, secara anatomis (tulang lepas dari sendi). (Brunner &
Suddarth. 2002).
Dislokasi adalah keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya,
dislokasi merupakan suatu kedaruratan yang membutuhkan pertolongan segera.
(Arif Mansyur, 2000).
Dislokasi merupakan keadaan ruptura total atau parsial pada ligamen
penyangga yang mengelilingi sebuah sendi. Biasanya kondisi ini terjadi sesudah
gerakan memuntuir yang tajam (Kowalak, 2011).
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi.
Dislokasi ini terdapat hanya kepada komponen tulangnya saja yang bergeser atau
terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk
sendi).

2. ETIOLOGI
1. Umur
Faktor umur sangat menentukan karena mempengaruhi kekuatan serta
kekenyalan jaringan. Misalnya pada umur 30- 40 tahun kekuatan otot akan
relative menurun. Elastisitas tendon dan ligamen menurun pada usia 30 tahun.
2. Terjatuh atau kecelakan
Dislokasi dapat terjadi apabila terjadi kecelakan atau terjatuh sehingga
lutut mengalami dislokasi.
3. Pukulan
Dislokasi lutut dapat terjadi apabila mendapat pukulan pada bagian
lututnya dan menyebabkan dislokasi.
4. Tidak melakukan pemanasan
Pada atlet olahraga sering terjadi keseleo karena kurangnya pemanasan.
5. Benturan keras pada sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan
dislokasi.
6. Cedera olahraga. Pemain basket dan kiper pemain sepak bola paling sering
mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja
menangkap bola dari pemain lain.
7. Terjatuh. Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin.
8. Kongenital : Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan.

3. JENIS-JENIS DISLOKASI SENDI


Dislokasi sendi dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Dislokasi kongenital
Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan
b. Dislokasi patologik
Terjadi akibat penyakit sendi dan jaringan sekitar sendi. Misalnya tumor,
infeksi, atau osteoporosis tulang. Hal ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang
berkurang.
c. Dislokasi traumatic
Kedaruratan orteoprodi( pasokan darh, susunan saraf rusuk dan
mengalami stres berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat edema (karena
mengalami pengerasan) terjadi karena trauma yang kuat sehingga dapat
mengeluarkan tulang dari jaringan disekelilingnya dan merusak struktur sendi,
ligamen, syaraf, dan sistem vaskular. Kebanyakan terjadi pada orang dewasa.
Berdasarkan tipe kliniknya dibagi sebagai berikut:
a. Dislokasi akut
Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip serta disertai nyeri akut
dan pembengkakan disekitar sendi
b. Dislokasi berulang
Jika suatu trauma dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi dislokasi
yang berlanjut dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi berulang.
Umumnya terjadi pada shoulder joint. Dislokasi biasanya sering dikaitkan
dengan patah tulang yang disebabkan berpindahnya ujung tulang yang patah
oleh karena kuatnya trauma, tonus/kontraksi otot dan tarikan.
Berdasarkan tempaat terjadiny
a. Dislokasi sendi rahang
Dislokasi sendi rahang dapat terjadi karena menguap/terlalu lebar serta
terkena pukulan keras ketika rahang sedang terbuka, akibatnya penderita tidak
dapat menutup mulutnya kembali
b. Dislokasi sendi bahu
Pergeseran kaput humerus dari sendi glenohumeral berada dianteriordan
medial glenoid (dislokasi anterior), di posteroir (dislokasi posterior), dan
bawah glenoid (dislokasi inferior).
c. Dislokasi sendi siku
Mekanisme cideranya biasanya jatuh pada tangan yang dapat
menimbulkan dislokasi sendi siku ke arah posterior dengan siku jelas berubah
bentuk dengan kerusakan sambungan tonjolan-tonjolan tulang siku.
d. Dislokasi sendi jari
Sendi jari mudah mengalami dislokasi dan bila tidak ditolong dengan
segera sendi tersebut akan menjadi kaku kelak. Sendi jari dapat mengalami
dislokasi kearah telapak tangan / punggung tangan.
e. Dislokasi sendi metacarpophalangeal dan interphalangeal
Merupakan dislokasi yang disebabkan oleh hiperektensi-ekstensi
persendian
f. Dislokasi panggul
Bergesernya caput femur dari sendi panggul, berada diposterior dan atas
acetabulum (dislokasi posterior), dianterior acetabulum(dislokasi anterior),
dan caput femur menembus acetabulum(dislokasi sentra)
g. Dislokasi patella
Dislokasi patella paling sering terjadi kearah lateral. Reduksi dicapai
dengan memberikan tekanan kearah medial pada sisi lateral patella sambil
mengekstensikan lutut perlahan-lahan. Apabila dislokasi dilakukan berulang-
ulang diperlukan stabilisasi secara bedah. Dislokasi biasanya sering dikaitkan
dengan patah tulang/fraktur yang disebabkan oleh berpindahnya ujung tulang
yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus/kontraksi otot dan tarikan.

4. MANIFESTASI KLINIS
 Adanya bengkak / oedema
 Mengalami keterbatasan gerak
 Adanya spasme otot(kekauan otot)
 Nyeri lokal (khususnya pada saat menggerakkan sendi)
 Pembengkakan dan rasa hangat akibat inflamasi
 Gangguan mobilitas akibat rasa nyeri
 Perubahan warna kulit akibat ekstravasasi darah ke dalam jaringan
sekitarnya (tampak kemerahan).
 Perubahan kontur sendi
 Perubahan panjang ekstremitas
 Kehilangan mobilitas normal
 Perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi

5. PATOFISIOLOGI
Penyebab terjadinya dislokasi sendi ada tiga hal yaitu karena kelainan
congenital yang mengakibatkan kekenduran pada ligamen sehingga terjadi
penurunan stabilitas sendi. Dari adanya traumatic akibat dari gerakan yang berlebih
pada sendi dan dari patologik karena adanya penyakit yang akhirnya terjadi
perubahan struktur sendi. Dari 3 hal tersebut, menyebabkan dislokasi sendi.
Dislokasi mengakibatkan timbulnya trauma jaringan dan tulang, penyempitan
pembuluh darah, perubahan panjang ekstremitas sehingga terjadi perubahan
struktur. Dan yang terakhir terjadi kekakuan pada sendi. Dari dislokasi sendi, perlu
dilakukan adanya reposisi.
Adanya tekanan eksternal yang berlebih menyebabkan suatu masalah yang
disebut dengan dislokasi yang terutama terjadi pada ligamen. Ligamen akan
mengalami kerusakan serabut dari rusaknya serabut yang ringan maupun total
ligamen akan mengalami robek dan ligamen yang robek akan kehilangan
kemampuan stabilitasnya. Hal tersebut akan membuat pembuluh darah akan
terputus dan terjadilah edema. Sendi mengalami nyeri dan gerakan sendi terasa
sangat nyeri. Derajat disabilitas dan nyeri terus meningkat selama 2 sampai 3 jam
setelah cedera akibat membengkak dan pendarahan yang terjadi maka
menimbulkan masalah yang disebut dengan dislokasi.
PATHWAY

Etiologi

Cedera olahraga Trauma kecelakaan

Terlepasnya kompresi jar. Tulang dari kesatuan sendi

Merusak struktur sendi, ligamen

Kompresi jaringan tulang yg terdorong ke depan

Merobek kapsul/menyebabkan tepi glenoid teravulsi

Ligamen memberikan jalan

Tlg. Berpindah dari posisi yg normal

dislokasi

radang Cedera jar.lunak ekstremitas

Ketidakmampuan mengunyah Spasme otot Gangguan


mobilitas fisik

Ketidak seimbangan Nyeri akut


nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
6.PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan keperawatan
a. Penatalaksanaan keperawatan dapat dilakukan dengan RICE.
 R: Rest = Diistirahatkan adalah pertolongan pertama yang penting untuk
mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut.
 I : Ice = Terapi dingin, gunanya mengurangi pendarahan dan meredakan rasa
nyeri.
 C: Compression = Membalut gunanya membantu mengurangi pembengkakan
jaringan dan pendarahan lebih lanjut.
 E: Elevasi = Peninggian daerah cedera gunanya mengurangi oedema
(pembengkakan) dan rasa nyeri.
b. Terapi dingin
Cara pemberian terapi dingin sebagai berikut :
1) Kompres dingin
Teknik : potongan es dimasukkan dalam kantong yang tidak
tembus air lalu kompreskan pada bagian yang cedera. Lamanya : dua
puluh – tiga puluh menit dengan interval kira-kira sepuluh menit.
2) Massage es
Tekniknya dengan menggosok-gosokkan es yang telah dibungkus
dengan lama lima - tujuh menit, dapat diulang dengan tenggang waktu
sepuluh menit.
3) Pencelupan atau perendaman
Tekniknya yaitu memasukkan tubuh atau bagian tubuh kedalam
bak air dingin yang dicampur dengan es. Lamanya sepuluh – dua puluh
menit.
4) Semprot dingin
Tekniknya dengan menyemprotkan kloretil atau fluorimethane
ke bagian tubuh yang cedera.
c. Latihan ROM
Tidak dilakukan latihan pada saat terjadi nyeri hebat dan perdarahan,
latihan pelan-pelan dimulai setelah 7-10 hari tergantung jaringan yang sakit.
Penatalaksanaan medis : Farmakologi
d. Analgetik
Analgetik biasanya digunakan untuk klien yang mengalami nyeri.
Berikut contoh obat analgetik :
1) Aspirin:
Kandungan : Asetosal 500mg ; Indikasi : nyeri otot ; Dosis dewasa
1tablet atau 3tablet perhari, anak > 5tahun setengah sampai 1tablet,
maksimum 1 ½ sampai 3tablet perhari.
2) Bimastan :
Kandungan : Asam Mefenamat 250mg perkapsul, 500mg perkaplet ;
Indikasi : nyeri persendian, nyeri otot ; Kontra indikasi : hipersensitif,
tungkak lambung, asma, dan ginjal ; efeksamping : mual muntah,
agranulositosis, aeukopenia ; Dosis: dewasa awal 500mg lalu 250mg tiap
6jam.
3) Pemberian kodein atau obat analgetik lain (jika cedera berat).

7. KOMPLIKASI
Komplikasi dislokasi meliputi :
a. Komplikasi dini
 Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera. Pasien tidak dapat mengerutkan oto
deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot tersebut.
 Cedera pembuluh darah : arteri aksilla dapat rusak
 Fraktur dislokasi
 Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena trauma dapat ditandai dengan tidak adanya
nadi,CRT(capillary refill time) menurun,sianosis pada bagian
distal,hematoma melebar,dan dingin pada ekstremitas yang disebabkan oleh
tindakan darurat spilinting,perubahan posisi pada yang sakit,tindakan
reduksi,dan pembedahan.
b. Sindrome kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Hal
ini disebabkan oleh edema atau perdarahan yang menentukan otot, saraf dan
pembuluh darah, atau karena tekanan dari luar seperti gips dan pembebatan
yang terlalu kuat.
c. Komplikasi lanjut
d. Kekakuan sendi bahu
Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan kekakuan sendi bahu.
Terjadinya kehilangan rotasi lateral, yang secara otomatis membatasi abduksi.
e. Kelemahan otot.
f. Dislokasi yang berulang
Terjadi kalau labrum glenoid robek atau kapsul terlepas dari bagian
depan leher glenoid.
B.KONSEP DASAR KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a..anamneses
1. Identitas klien meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa
yang digunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi
golongan darah, nomor registrasi, tanggal dan jam masuk rumah sakit,
(MRS), dan diagnosis medis. Dengan fokus ,meliputi :
1) Umur
pada pasien lansia terjadi pengerasan tendon tulang sehingga
menyebabkan fungsi tubuh bekerja secara kurang normal dan dislokasi
cenderung terjadi pada orang dewasa dari pada anak-anak, biasanya klien
jatuh dengan keras dalam keadaan strecth out
2) Pekerjaan
Pada pasien dislokasi biasanya di akibatkan oleh kecelakaan yang
mengakibatkan trauma atau ruda paksa, biasaya terjadi pada klien yang
mempunyai pekrjaan buruh bangunan. Seperti terjatuh, atupun
kecelakaan di tempat kerja, kecelakaan industri dan atlit olahraga,
seperti pemain basket , sepak bola dll
3) Jenis kelamin
Dislokasi lebih sering di temukan pada anak laki – laki dari pada
permpuan karna cenderung dari segi aktivitas yang berbeda .
2. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan adalah nyeri, kelemahan dan kelumpuhan, ekstermitas, nyeri
tekan otot, dan deformitas pada daerah trauma, untuk mendapatkan
pengkajian yang lengkap mengenai nyeri klien dapat menggunakan metode
PQRS.
3. Riwayat penyakit sekarang
Kaji adanya riwayat trauma akibat kecelakaan pada lalu lintas,
kecelekaan industri, dan kecelakaan lain, seperti jatuh dari pohon atau
bangunan, pengkajian yang di dapat meliputi nyeri, paralisis extermitras
bawah, syok.
4. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit, seperti
osteoporosis, dan osteoaritis yang memungkinkan terjadinya kelainan,
penyakit alinnya seperti hypertensi, riwayat cedera, diabetes milittus,
penyakit jantung, anemia, obat-obat tertentu yang sering di guanakan klien,
perlu ditanyakan pada keluarga klien .
5. Pengkajian Psikososial dan Spiritual
Kaji bagaimana pola interaksi klien terhadap orang – orang disekitarnya
seperti hubungannya dengan keluarga, teman dekat, dokter, maupun dengan
perawat.
B. Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan klien
pemekrisaan fisik sangat berguna untuk mendukung pengkajian anamnesis
sebaiknya dilakukan persistem B1-B6 dengan fokus pemeriksaan B3( brain )
dan B6 (bone)
1. Keadaan umum
Klien yang yang mengalami cedera pada umumnya tidak mengalami
penurunan kesadaran, periksa adanya perubahan tanda-tanda vital yang
meliputi brikardia, hipotensi dan tanda-tanda neurogenik syok.
2. B3 ( brain)
 Tingkat kesedaran pada pasien yang mengalami dislokasi adalah
kompos mentis
 Pemeriksaan fungsi selebral
Status mental :observasi penampilan ,tingkah laku gaya bicara ,ekspresi
wajah aktivitas motorik klien .
 Pemeriksaan saraf kranial
 Pemeriksaan refleks .pada pemeriksaan refleks dalam ,reflecs achiles
menghilang dan refleks patela biasanya meleamh karna otot hamstring
melemah
3. B6 (Bone)
 Paralisis motorik ekstermitas terjadi apabila trauma juga mengompresi
sekrum gejala gangguan motorik juga sesuai dengan distribusi
segmental dan saraf yang terkena
 Look ,pada insfeksi parienum biasanya di dapatkan adanya pendarahan
,pembengkakakn dan deformitas
 Fell , kaji adanya derajat ketidakstabilan daerah trauma dengan palpasi
pada ramus dan simfisi fubis
 Move , disfungsi motorik yang paling umum adalah kelemahan dan
kelumpuhan pada daerah ekstermitas.

c. klasifikasi data
A. Data subjektif
a) Klien mengatakan nyeri apabila beraktivitas
b) Klien mengatakan nyeri seperti ditekan benda berat
c) Klien mengatakan terjadi kekauan pada sendi
d) Klien mengatakan adanya nyeri pada sendi
e) Klien mengatakan sangat lemas
f) Klien bertanya-tanya tentang keadaannya
g) Klien mengatakan susah bergerak
B. Data objektif
a) Klien nampak lemas
b) Wajah nampak meringis
c) Keterbatasan mobilitas
d) Skala nyeri 6 (0-10)
e) Klien nampak cemas

B.DIAAGNOSA KEPERAWATAN
a. nyeri akut berhubungan dengan diskontinuitas jaringan.
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas dan nyeri saat
mobilisasi.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan
untuk mencerna atau ketidakmampuan mencerna makanan atau absorpsi nutrient
yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah.

C.Intervensi keperawatan
Diagnosa Tujuan dan Intervensi Rasional
Kriteria Hasil
nyeri akut nyeri teratasi dengan  Kaji skala nye  Mengetahui
berhubunga Kriteria Hasil :  Berikan posisi intensitas
n dengan  Klien tampak relaks pada pasien nyeri.
diskontinuit tidak  Ajarkan teknik  Posisi
as jaringan. meringis lagi. distraksi dan relaksasi
 Klien tampak relaksasi pada pasien
rileks  Berikan dapat
lingkungan yang mengalihkan
nyaman, dan focus pikiran
aktifitas hiburan pasien pada
 Kolaborasi nyeri.
pemberian  Tehnik
analgesic relaksasi dan
distraksi
dapat
mengurangi
rasa nyeri.
 Meningkatka
n relaksasi
pasien
 Analgesic
Mengurangi
nyeri

Gangguan Memberikan  Kaji tingkat  menunjukkan


mobilitas kenyamanan dan mobilisasi pasien tingkat
fisik melindungi sendi Berikan latihan mobilisasi
berhubunga selama masa ROM pasien dan
n dengan penyembuhan.  Anjurkan menentukan
deformitas Kriteria hasil penggunaan alat intervensi
dan nyeri  melaporkan bantu jika selanjutnya.
saat peningkatan diperlukan  Memberikan
mobilisasi toleransi  Monitor tonus otot latihan ROM
aktivitas  Membantu pasien kepada klien
(termasuk untuk imobilisasi untuk
aktivitas sehari- baik dari perawat mobilisasi
hari) maupun keluarga  Alat bantu
 menunjukkan memperinga
penurunan tanda n mobilisasi
intolerasi pasien
fisiologis,  Agar
misalnya nadi, mendapatkan
pernapasan, dan data yang
tekanan darah akurat
masih dalam  Dapat
rentang normal membantu
pasien untuk
imobilisasi

Perubahan Kebutuhan nutrisi  Kaji riwayat  Mengidentifi


nutrisi terpenuhi nutrisi, termasuk kasi
kurang dari Kriteria hasil: makan yang defisiensi,
kebutuhan  Menunujukkan disukai memudahkan
tubuh b.d peningkatan  Observasi dan intervensi
kegagalan atau catat masukkan  Mengawasi
untuk mempertahanka makanan pasien masukkan
mencerna n berat badan  Timbang berat kalori atau
atau ketidak dengan nilai badan setiap hari. kualitas
mampuan laboratorium  Berikan makan kekurangan
mencerna normal. sedikit dengan konsumsi
makanan  Tidak frekuensi sering makanan
/absorpsi mengalami dan atau makan  Mengawasi
nutrient tanda mal diantara waktu penurunan
yang nutrisi. makan berat badan
diperlukan  Menununjukkan  Observasi dan atau
untuk perilaku, catat kejadian mual efektivitas
pembentuka perubahan pola atau muntah, flatus intervensi
n sel darah hidup untuk dan dan gejala lain nutrisi
merah meningkatkan yang berhubungan  Menurunkan
dan atau  Berikan dan Bantu kelemahan,
mempertahanka hygiene mulut meningkatka
n berat badan yang baik : n
yang sesuai sebelum dan pemasukkan
sesudah makan, dan
gunakan sikat gigi mencegah
halus untuk distensi
penyikatan yang gaster
lembut. Berikan  Gejala GI
pencuci mulut dapat
yang di encerkan menunjukkan
bila mukosa oral efek anemia
luka. (hipoksia)
 Kolaborasi : pada organ.
pantau hasil  Meningkatka
pemeriksaan n nafsu
laboraturium. makan dan
 Kolaborasi : pemasukkan
berikan obat sesuai oral.
indikasi Menurunkan
pertumbuhan
bakteri,
meminimalk
an
kemungkinan
infeksi.
Teknik
perawatan
mulut khusus
mungkin
diperlukan
bila jaringan
rapuh/luka/p
erdarahan
dan nyeri
berat.
 Meningkatak
an efektivitas
program
pengobatan
 Kebutuhan
penggantian
tergantung
pada tipe
anemia dan
atau adanya
masukkan
oral yang
buruk dan
defisiensi
yang
diidentifikasi
D IMPEMENTASI KEPERAWATAN
Sesuai intervensi

E. EVALUASI
Sesuai Tujuan
DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Suddarth. Keperawatan Medikal-Bedah. 2002. Jakarta : EGC

Corwin, Elizabeth J. Buku Saku Patofisiologi. 2009. Jakarta : EGC

Suraton dkk. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. 2008.
Jakarta : EGC

Nanda Internasional. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. 2012-2014.


2012. Jakarta : EGC
LAPORAN PENDAHULUAN
CA COLON

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS


PRAKTEK STASE MEDIKAL BEDAH

Disusun Oleh:
Irda
NIM: 19640921

FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KADIRI


KOTA KEDIRI
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
CA COLON

A. KONSEP DASAR MEDIS


1. DEFINISI
Neoplasma / Kanker adalah pertumbuhan baru (atau tumor) massa yang tidak
normal akibat proliferasi sel-sel yang beradaptasi tanpa memiliki keuntungan dan tujuan.
Neoplasma terbagi atas jinak atau ganas. Neoplasma ganas disebut juga sebagai kanker
(cancer). (SylviaA Price, 2005).
Karsinoma atau kanker kolon ialah keganasan tumbuh lambat yang paling sering
ditemukan daerah kolon terutama pada sekum, desendens bawah, dan kolon sigmoid.
Prognosa optimistik; tanda dan gejala awal biasanya tidak ada. (Susan Martin Tucker,
1998).
Kanker kolorektal adalah tumbuhnya sel-sel ganas dalam tubuh di dalam
permukaan usus besar atau rektum. Kebanyakan kanker usus besar berawal dari
pertumbuhan sel yang tidak ganas biasa disebut adenoma yang dalam stadium awal
membentuk polip (sel yang tumbuh sangat cepat). (www.republika.co.id).
Dari beberapa pengertian diatas penulis menyimpulkan kanker kolon adalah
tumbunhya sel-sel ganas di permukaan dalam usus besar (kolon) atau rektum. Lokasi
tersering timbulnya kanker kolon adalah di bagian sekum, asendens, dan kolon sigmoid,
salah satu penatalaksanaannya adalah dengan membuat kolostomi untuk mengeluarkan
produksi faeces. Kanker colon adalah penyebab kedua kematian di Amerika Serikat
setelah kanker paru-paru ( ACS 1998 )
Penyakit ini termasuk penyakit yang mematikan karena penyakit ini sering tidak
diketahui sampai tingkat yang lebih parah.Pembedahan adalah satu-satunya cara untuk
mengubah kanker Colon.

2. ETIOLOGI
Penyebab dari pada kanker Colon tidak diketahui. Diet dan pengurangan waktu
peredaran pada usus besar (Aliran depan feces) yang meliputi faktor kausatif. Petunjuk
pencegahan yang tepat dianjurkan oleh Amerika Cancer Society, The National Cancer
Institute, dan organisasi kanker lainnya.
Faktor resiko telah teridentifikasi. Faktor resiko untuk kanker kolon :
 Usia lebih dari 40 tahun
 Darah dalam feses
 Riwayat polip rektal atau polip kolon
 Adanya polip adematosa atau adenoma villus
 Riwayat keluarga dengan kanker kolon atau poliposis dalam keluarga
 Riwayat penyakit usus inflamasi kronis
 Diet tinggi lemak, protein, daging dan rendah serat.

Makanan-makanan yang pasti di jurigai mengandung zat-zat kimia yang


menyebabkan kanker pada usus besar ( Tabel 56-1 ). Makanan tersebut juga mengurangi
waktu peredaran pada perut,yang mempercepat usus besar menyebabkan terjadinya
kanker. Makanan yang tinggi lemak terutama lemak hewan dari daging
merah,menyebabkan sekresi asam dan bakteri anaerob, menyebabkan timbulnya kanker
didalam usus besar. Daging yang di goreng dan di panggang juga dapat berisi zat-zat
kimia yang menyebabkan kanker. Diet dengan karbohidrat murni yang mengandung serat
dalam jumlah yang banyak dapat mengurangi waktu peredaran dalam usus besar.
Beberapa kelompok menyarankan diet yang mengadung sedikit lemak hewan dan tinggi
sayuran dan buah-buahan ( e.g Mormons,seventh Day Adventists ).

a) Makanan yang harus dihindari :


 Daging merah
 Lemak hewan
 Makanan berlemak
 Daging dan ikan goreng atau panggang
 Karbohidrat yang disaring(example:sari yang disaring)

b) Makanan yang harus dikonsumsi:


 Buah-buahan dan sayur-sayuran khususnya Craciferous Vegetables dari golongan
kubis ( seperti brokoli,brussels sprouts )
 Butir padi yang utuh
 Cairan yang cukup terutama air

Karena sebagian besar tumor Colon menghasilkan adenoma,faktor utama yang


membahayakan terhadap kanker Colon menyebabkan adenoma. Ada tiga type adenoma
Colon : tubular,villous dan tubulo villous ( akan di bahas pada polips ).Meskipun hampir
besar kanker Colon berasal dari adenoma,hanya 5% dari semua adenoma Colon menjadi
manigna,villous adenoma mempunyai potensial tinggi untuk menjadi manigna.
Faktor yang menyebabkan adanya adenoma benigna atau manigna tumor tidak
diketahui poliposis yang bergerombol bersifat herediter yang tersebar pada gen autosom
dominan. Ini di karakteristikkan pada permulaan adematus polip pada colon dan rektum.
Resiko dari kanker pada tempat femiliar poliposis mendekati 100 % dari orang yang
berusia 20 – 30 tahun.
Orang-orang yang telah mempunyai ucerative colitis atau penyakit Crohn’s juga
mempunyai resiko terhadap kanker Colon. Penambahan resiko pada permulaan usia muda
dan tingkat yang lebih tinggi terhadap keterlibatan colon. Resiko dari kanker Colon akan
menjadi 2/3 kali lebih besar jika anggota keluarga menderita penyakit tersebut.

3. MANIFESTASI KLINIS
Gejala sangat ditentukan oleh lokasi kanker, tahap penyakit, dan fungsi segmen
usus tempat kanker berlokasi. Gejala paling menonjol adalah perubahan kebiasaan
defekasi. Pasase darah dalam feses gejala paling umum kedua. Gejala dapat juga anemia
yang tidak diketahui penyebabnya, anoreksi, atau penurunan berat badan dan keletihan.
Gejala yang sering dihubungkan dengan lesi sebelah kanan adalah nyeri dangkal
abdomen dan melena (feses hitam, seperti ter). Gejala yang sering dihubungkan dengan
lesi sebelah kiri adalah yang berhubungan dengan obstruksi (nyeri abdomen dan kram,
penipisan feses, konstipasi dan distensi) serta adanya darah merah segar dalam feses.
Gejala yang dihubungakan dengan lesi rektal adalah evakuasi feses yang tidak lengkap
setelah defekasi, konstipasi dan diare bergantian, serta feses berdarah.
4. PATOFISIOLOGI
Penyebab jelas kanker usus besar belum diketahui secara pasti, namun makanan
merupakan faktor yang penting dalam kejadian kanker tersebut. Yaitu berkorelasi dengan
faktor makanan yang mengandung kolesterol dan lemak hewan tinggi, kadar serat yang
rendah, serta adanya interaksi antara bakteri di dalam usus besar dengan asam empedu
dan makanan, selain itu dapat juga dipengaruhi oleh minuman yang beralkohol,
khususnya bir.
Kanker kolon dan rektum terutama berjenis histopatologis (95%) adenokarsinoma
(muncul dari lapisan epitel dalam usus = endotel). Munculnya tumor biasanya dimulai
sebagai polip jinak, yang kemudian dapat menjadi ganas dan menyusup, serta merusak;
jaringan normal dan meluas ke dalam struktur sekitarnya. Tumor dapat berupa masa
polipoid, besar, tumbuh ke dalam lumen, dan dengan cepat meluas ke sekitar usus
sebagai striktura annular (mirip cincin). Lesi annular lebih sering terjadi pada bagi
rektosigmoid, sedangkan lesi polipoid yang datar lebih sering terjadi pada sekum dan
kolon asendens.

Tumor dapat menyebar melalui :


1) Infiltrasi langsung ke struktur yang berdekatan, seperti ke dalam kandung kemih
(vesika urinaria).
2) Penyebaran lewat pembuluh limfe limfogen ke kelenjar limfe perikolon dan
mesokolon.
3) Melalui aliran darah, hematogen biasanya ke hati karena kolon mengalirkan darah
balik ke sistem portal.

Stadium pada pasien kanker kolon menurut Syamsu Hidyat (1197) diantaranya:
1) Stadium I bila keberadaan sel-sel kanker masih sebatas pada lapisan dinding usus
besar (lapisan mukosa).
2) Stadium II terjadi saat sel-sel kanker sudah masuk ke jaringan otot di bawah
lapisan mukosa.
3) Pada stadium III sel kanker sudah menyebar ke sebagian kelenjar limfe yang
banyak terdapat di sekitar usus.
4) Stadium IV terjadi saat sel-sel kanker sudah menyerang seluruh kelenjar limfe
atau bahkan ke organ-organ lain.
PATHWAY
5. KLASIFIKASI
Klasifikai kanker kolon dapat ditentukan dengan sistem TNM (T = tumor, N =
kelenjar getah bening regional, M =jarak metastese).
T Tumor primer
TO Tidak ada tumor
TI Invasi hingga mukosa atau sub mukosa
T2 Invasi ke dinding otot
T3 Tumor menembus dinding otot
N Kelenjar limfa
N0 tidak ada metastase
N1 Metastasis ke kelenjar regional unilateral
N2 Metastasis ke kelenjar regional bilateral
N3 Metastasis multipel ekstensif ke kelenjar regional
M Metastasis jauh
MO Tidak ada metastasis jauh
MI Ada metastasis jauh

Karsinoma Colon sebagian besar menghasilkan adenomatus polip. Biasanya


tumor ini tumbuh tidak terditeksi sampai gejala-gejala muncul secara berlahan dan
tampak membahayakan. Penyakit ini menyebar dalam beberapa metode. Tumor mungkin
menyebar dalam tempat tertentu pada lapisan dalam di perut,mencapai serosa dan
mesenterik fat. Kemudian tumor mulai melekat pada organ yang ada
disekitarnya,kemudian meluas kedalam lumen pada usus besar atau menyebar ke limpa
atau pada sistem sirkulasi. Sistem sirkulasi ini langsung masuk dari tumor utama
melewati pembuluh darah pada usus besar melalui limpa,setelah sel tumor masuk pada
sistem sirkulasi,biasanya sel bergerak menuju liver. Tempat yang kedua adalah tempat
yang jauh kemudian metastase ke paru-paru.
Tempat metastase yang lain termasuk:
 Kelenjar Adrenalin
 Ginjal
 Kulit
 Tulang
 Otak
Penambahan untuk infeksi secara langsung dan menyebar melalui limpa dan sistem
sirkulasi,tumor colon juga dapat menyebar pada bagian peritonial sebelum pembedahan
tumor belum dilakukan. Penyebaran terjadi ketika tumor dihilangkan dan sel kanker dari
tumor pecah menuju ke rongga peritonial.

6. KOMPLIKASI
Komplikasi pada pasien dengan kanker kolon yaitu:
1) Pertumbuhan tumor dapat menyebabkan obstruksi usus parsial atau lengkap.
2) Metastase ke organ sekitar, melalui hematogen, limfogen dan penyebaran langsung.
3) Pertumbuhan dan ulserasi dapat juga menyerang pembuluh darah sekitar kolon yang
menyebabkan hemorragi.
4) Perforasi usus dapat terjadi dan mengakibatkan pembentukan abses.
5) Peritonitis dan atau sepsis dapat menimbulkan syok.
6) Pembentukan abses

Pembentukan fistula pada urinari bladder atau vagina. Biasanya tumor menyerang
pembuluh darah dan sekitarnya yang menyebabkan pendarahan. Tumor tumbuh kedalam
usus besar dan secara berangsur-angsur membantu usus besar dan pada akirnya tidak bisa
sama sekali. Perluasan tumor melebihi perut dan mungkin menekan pada organ yang
berada disekitanya ( Uterus, urinary bladder,dan ureter ) dan penyebab gejala-gejala
tersebut tertutupi oleh kanker.

7. PENCEGAHAN
Pencegahan Kanker Kolon.
1) Konsumsi makanan berserat. Untuk memperlancar buang air besar dan menurunkan
derajat keasaman, kosentrasi asam lemak, asam empedu, dan besi dalam usus besar.
2) Asam lemak omega-3, yang terdapat dalam ikan tertentu.
3) Kosentrasi kalium, vitamin A, C, D, dan E dan betakarotin.
4) Susu yang mengandung lactobacillus acidophilus.
5) Berolahraga dan banyak bergerak sehingga semakin mudah dan teratur untuk buang
air besar.
6) Hidup rileks dan kurangi stress.

8. PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksanaan medis
Pasien dengan gejala obstruksi usus diobati dengan cairan IV dan pengisapan
nasogastrik. Apabila terjadi perdarahan yang cukup bermakna terapi komponen darah
dapat diberikan. Pengobatan medis untuk kanker kolorektal paling sering dalam
bentuk pendukung atau terapi ajufan. Terapi ajufan biasanya diberikan selain
pengobatan bedah. Pilihan mencakup kemoterapi, terapi radiasi dan atau
imunoterapi.
Kemoterapi yang diberikan ialah 5-flurourasil (5-FU). Belakangan ini sering
dikombinasi dengan leukovorin yang dapat meningkatkan efektifitas terapi. Bahkan
ada yang memberikan 3 macam kombinasi yaitu: 5-FU, levamisol, dan leuvocorin.
Dari hasil penelitian, setelah dilakukan pembedahan sebaiknya dilakukan radiasi dan
kemoterapi

b. Penatalaksanaan bedah
Pembedahan adalah tindakan primer untuk kebanyakan kanker kolon dan
rektal, pembedahan dapat bersifat kuratif atau paliatif. Kanker yang terbatas pada
satu sisi dapat diangkat dengan kolonoskop. Kolostomi laparoskopik dengan
polipektomi merupakan suatu prosedur yang baru dikembangkan untuk
meminimalkan luasnya pembedahan pada beberapa kasus. Laparoskop digunakan
sebagai pedoman dalam membuat keputusan dikolon, massa tumor kemudian di
eksisi. Reseksi usus diindikasikan untuk kebanyakan lesi kelas A dan semua kelas B
serta lesi C. Pembedahan kadang dianjurkan untuk mengatasi kanker kolon kelas D.
Tujuan pembedahan dalam situasi ini adalah paliatif. Apabila tumor sudah menyebar
dan mencakup struktur vital sekitar, operasi tidak dapat dilakukan. Tipe pembedahan
tergantung dari lokasi dan ukuran tumor.
Prosedur pembedahan pilihan adalah sebagai berikut.
1) Reseksi segmental dengan anastomosis (pengangkatan tumor dan porsi usus
pada sisi pertumbuhan, pembuluh darah dan nodus limfatik)
2) Reseksi abominoperineal dengan kolostomi sigmoid permanen (pengangkatan
tumor dan porsi sigmoid dan semua rektum serta sfingter anal)
3) Kolostomi sementara diikuti dengan reseksi segmental dan anastomosis serta
reanastomosis lanjut dari kolostomi
4) Kolostomi permanen atau iliostomy (untuk menyembuhkan lesi obstruksi yang
tidak dapat direseksi)

c. Difersi vekal untuk kanker kolon dan rektum


Berkenaan dengan tehnik perbaikan melalui pembedahan, kolostomi dilakukan
pada kurang dari sepertiga pasien kanker kolorektal. Kolostomi adalah pembuatan
lubang (stoma) pada kolon secara bedah. Stoma ini dapat berfungsi sebagai difersi
sementara atau permanen. Ini memungkinkan drainase atau evakuasi isi kolon keluar
tubuh. Konsistensi drainase dihubungkan dengan penempatan kolostomi yang
ditentukan oleh lokasi tumor dan luasnya invasi pada jaringan sekitar.

d. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Dukungan adaptasi dan kemandirian.
2. Meningkatkan kenyamanan.
3. Mempertahankan fungsi fisiologis optimal.
4. Mencegah komplikasi.
5. Memberikan informasi tentang proses/ kondisi penyakit, prognosis, dan
kebutuhan pengobatan.

e. Penatalaksanaan Diet
1) Cukup mengkonsumsi serat, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Serat dapat
melancarkan pencemaan dan buang air besar sehingga berfungsi menghilangkan
kotoran dan zat yang tidak berguna di usus, karena kotoran yang terlalu lama
mengendap di usus akan menjadi racun yang memicu sel kanker.
2) Kacang-kacangan (lima porsi setiap hari)
3) Menghindari makanan yang mengandung lemak jenuh dan kolesterol tinggi
terutama yang terdapat pada daging hewan.
4) Menghindari makanan yang diawetkan dan pewarna sintetik, karena hal tersebut
dapat memicu sel karsinogen / sel kanker.
5) Menghindari minuman beralkohol dan rokok yang berlebihan.
6) Melaksanakan aktivitas fisik atau olahraga secara teratur.

9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Endoskopi. Pemeriksaan endoskopi perlu dikerjakan, baik sigmoidoskopi maupun
kolonoskopi. Gambaran yang khas karsinoma atau ulkus akan dapat dilihat dengan
jelas pada endoskopi, dan untuk menegakkan diagnosis perlu dilakukan biopsi.
2) Radiologi. Pemeriksaan radiologi yang dapat dikerjakan antara lain adalah : foto
dada dan foto kolon (barium enema).
Pemeriksaan dengan enema barium mungkin dapat memperjelas keadaan
tumor dan mengidentifikasikan letaknya. Tes ini mungkin menggambarkan adanya
kebuntuan pada isi perut, dimana terjadi pengurangan ukuran tumor pada lumen.
Luka yang kecil kemungkinan tidak teridentifikasi dengan tes ini. Enema barium
secara umum dilakukan setelah sigmoidoscopy dan colonoscopy.
Computer Tomografi (CT) membantu memperjelas adanya massa dan luas
dari penyakit. Chest X-ray dan liver scan mungkin dapat menemukan tempat yang
jauh yang sudah metastasis.
Pemeriksaan foto dada berguna selain untuk melihat ada tidaknya metastasis
kanker pada paru juga bisa digunakan untuk persiapan tindakan pembedahan. Pada
foto kolon dapat dapat terlihat suatu filling defect pada suatu tempat atau suatu
striktura.
3) Ultrasonografi (USG). Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi ada tidaknya
metastasis kanker kelenjar getah bening di abdomen dan di hati.
4) Histopatologi/ Selain melakukan endoskopi sebaiknya dilakukan biopsi di beberapa
tempat untuk pemeriksaan histopatologis guna menegakkan diagnosis. Gambaran
histopatologi karsinoma kolorektal ialah adenokarsinoma, dan perlu ditentukan
differensiasi sel.
5) Laboratorium. Tidak ada petanda yang khas untuk karsinoma kolorektal, walaupun
demikian setiap pasien yang mengalami perdarahan perlu diperiksa Hb. Tumor
marker (petanda tumor) yang biasa dipakai adalah CEA. Kadar CEA lebih dari 5 mg/
ml biasanya ditemukan karsinoma kolorektal yang sudah lanjut. Berdasarkan
penelitian, CEA tidak bisa digunakan untuk mendeteksi secara dini karsinoma
kolorektal, sebab ditemukan titer lebih dari 5 mg/ml hanya pada sepertiga kasus
stadium III. Pasien dengan buang air besar lendir berdarah, perlu diperiksa tinjanya
secara bakteriologis terhadap shigella dan juga amoeba.
6) Scan (misalnya, MR1. CZ: gallium) dan ultrasound: Dilakukan untuk tujuan
diagnostik, identifikasi metastatik, dan evaluasi respons pada pengobatan.
7) Biopsi (aspirasi, eksisi, jarum): Dilakukan untuk diagnostik banding dan
menggambarkan pengobatan dan dapat dilakukan melalui sum-sum tulang, kulit,
organ dan sebagainya.
8) Jumlah darah lengkap dengan diferensial dan trombosit: Dapat menunjukkan anemia,
perubahan pada sel darah merah dan sel darah putih: trombosit meningkat atau
berkurang.
9) Sinar X dada: Menyelidiki penyakit paru metastatik atau primer.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Pengumpulan data
1. Identitas pasien
Meliputi nama, umur, jenis, pekerjaan, alamat, tempat tinggal
2. Riwayat penyakit sekarang
Pada pengkajian ini yang perlu dikaji adanya keluhan pada area abdomen terjadi
pembesaran
3. Riwayat penyakit dahulu
Adakah riwayat penyakit dahulu yang diderita pasien dengan timbulnya kanker
kolon
4. Riwayat penyakit keluarga
Adalah anggota keluarga yang mengalami penyakit seperti yang dialami pasien,
adakah anggota keluarga yang mengalami penyakit kronis lainnya
5. Riwayat psikososial dan spiritual
Bgaimana hubungan pasien dengan anggota keluarga lain dan lingkungan sekitar
sebelum maupun saat sakit, apakah pasien mengalami kecemasan, rasa sakit,
karena penyakit yang dideritanya dan bagaimana pasien menggunakan koping
mekanisme untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

b. Riwayat biopsikososial spiritual


1. Pola nutrisi
Bagaiman kebiasaan makan, minum sehari – hari, jenis makanan apa saja yang
sering di konsumsi, makanan yang paling disukai, frekuensi makanannya
2. Pola eliminasi
kebiasaan BAB, BAK, frekuensi, warna BAB, BAK, adakah keluar darah, atau
tidak, keras, lembek, cair?
3. Pola istirahat dsn tidur
Kebiasan istirahat tidurberapa jam?
Kebiasan sebelum tidur apa saja yang dilakukan?
4. Pola personal hygiene
Kebiasan dalam pola hidup bersih, mandi, menggunakan atau tidak menyikat
gigi
5. Pola aktivitas dan latihan
Kegiatan sehari – hari, olahraga yang sering dilakukan, aktivitas diluar kegiatan
olahraga, misalnya nmengurusi urusan adat di kampung dan sekitarnya
6. Kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan
Kebiasaan merokok, mengkonsumsi minum – minuman keras ketergantungan
dengan obat – obatan (narkoba)
7. Hubungan peran
Hubungan dengan keluarga harmonis, dengan tetagga, teman – teman sekitar
lingkungan rumah, aktif dalam kegiatan adat?
8. Pola persepsi dan konsep diri
Pandangan terhadap image diri pribadi, kecintaan terhadap keluarga,
kebersamaan dengan keluarga
9. Pola nilai kepercayaan
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, keyakinan terhadap agama yang
dianut, mengerjakan perintah agama yang dianut dan patuh terhadap perintah
dan larangannya
10. Pola reproduksi dan seksual
Hubungan dengan keluarga harmonis, bahagia, hubungan dengan keluarga
besarnya dan lingkungan sekitar.

c. Riwayat pengkajian nyeri


 P: provokasi paliatif
Apa yang menyebabkan gejala? Apa yang bisa memperberat? Apa yang bisa
mengurangi?
 Q: quality – quantity
Bagaiman gejala dirasakan, sejauh mana gejal dirasakan?
 R: region – radiasi
Dimana gejala yang dirasakan? Apakah menyebar?
 S: skal – severity
Seberapa tingkat keparahan dirasakan? Pada skala berapa?
 T: time
Kapan gejala mulai timbul? Seberapa serng gejala dirasakan? Tiaba – tiba atau
bertahap? Seberapa lama gejala dirasakan?

d. Pemeriksaan fisik
 Keadaan umum sakit sedang, kesadaran compos metis, suhu 37,5 0 C, nadi 60 –
100 x / menit. RR 16 – 20 x / menit, TD 120 / 80 mmHg
 Pemeriksaan head to toe
1. Kepala dan leher
Dengan teknik inspeksi dan palpasi:
a. Rambut dan kulit kepala
Perdarahan, pengelupasan, perlukaan, penekanan
b. Telinga
Perlukaan, darah, cairan, bau?
c. Mata
Perlukaan, darah, cairan, pembengkakan, rteflek pupil, kondisi keplopak
mata, adanya benda asing, sklera putih?
d. Mulut
Benda asing, gigi, simetris, kering?
e. Hidung
Perlukaan, darah, cairan, nafas cuping, kelainan anatomi, akibat trauma?
f. Leher
Bendungan vena, deviasi trakea, pembesaran kelenjar tiroid

2. Pemeriksaan dada
a. Inspeksi
Bentuk simetris kanan dan kiri, inspirasi dan ekspirasi pernafasan, irama,
gerakan cuping hidung, terdengar suara napas tambahan bantu dada?
b. Palpasi
Pergerakan simetris kanan kiri, taktil premitus sama antara kanan kiri
dinding dada
c. Perkusi
Adanya suara – suara sonor pada kedua paru – paru, suara redup pada
batas paru dan hepar
d. Auskultasi
Terdengar adanya suara vesikuler di kedua lapisan paru, suara ronchi dan
wheezing

3. Kardiovaskuler
a. Inspeksi
Bentuk dada simetris
b. Palpasi
Frekuensi dada simetris
c. Perkusi
Suara pekak
d. Auskultasi
Irama regular, systole / murmur

4. Secara system pencernaan / abdomen


a. Inspeksi
Pada inspeksi perlu diperlihatkan, apakah abdomen membuncit atau
datar, tapi perut menonjol atau tidak, umbilikus menonjol atau tidak,
apakah ada benjolan – benjolan / massa
b. Palpasi
Adakah nyeri tekan abdomen, adakah masssa (tumor, teses) turgor kulit
perut untuk mengetahui derajatbbildrasi pasien, apakah hepar teraba?
c. Perkusi
Abdomen normal tympanik, adanya massa padat atau cair akan
menimbulkan suara pekak (hepar, asites, vesika urinaria, tumor)
d. Auskultasi
Secara peristaltic usus dimana nilai normal 5 – 35 x/ menit

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata
maupun potensial berdasarkan data yang telah di kumpulkan (Boedihartono, 1994 :
17).
Diagnosa keperawatan yang muncul meliputi :
a. Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan, trauma muskuloskletal, kehancuran
yang terus-menerus (misalnya lokalisasi)
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual / muntah
3. Rencana asuhan keperawatan

No Diagnosa Tujuan dari kriteria Intervensi Rasional


keperawatan hasil
1. Nyeri Tujuan : pasien  Pantau tempat dan  Mengetahui cara
berhubungan mengatakan bahwa respons pasien mengatasi nyeri
dengan insisi rasa nyeri telah terhadap nyeri yang tepat
pembedahan, terkontrol atau hilang.  Ajarkan tindakan  Pasien merasa
trauma untuk lebih nyaman dan
muskuloskletal, Criteria hasil :pasien meningkatkan pasien bisa
kehancuran tampak rileks, dapat kenyamanan mengatasi
yang terus- beristirahat / tidur dan perubahan posisi, nyerinya
menerus melakukan pergerakan gosokan  Meningkatkan
(misalnya yang berarti sesuai (massase) dan istirahat dan tidur
lokalisasi) toleransi.. teknik relaksasi yanf adekuat
 Ciptakan untuk
lingkungan yang memfasilitasi
kondusif untuk peredaan nyeri
relaksasi,  Mengurangi rasa
membatasi nyeri
pengunjung
 Kolaborasi
pemberian
analgetik

2. Perubahan Tujuan : klien  Kaji sejauh mana  menganalisa


nutrisi kurang mampu ketidak adekuatan penyebab
dari kebutuhan mempertahankan & nutrisi pasien melaksanakan
tubuh b.d mual meningkatkan intake  Timbang berat intervensi
/ muntah nutrisi. badan sesuai  mengawasi
indikasi kefektifan secara
Criteria hasil :  Anjurkan makan diet
 Klien akan sedikit tapi sering  tidak memberi
memperlihatkan  Tawarkan minum rasa bosan dan
perilaku saat makan bila pemasukan
mempertahankan toleran nutrisi dapat di
atau  Kolaborasi tingkatkan
meningkatkan dengan ahli gizi  dapat mengurangi
berat badan pemberian mual dan
dengan nilai makanan yang menghilangkan
laboratorium bervariasi gas.
normal.  Menstimulasi
 Klien mengerti nafsu makan dan
dan mengikuti mempertahankan
anjuran diet intake nutrisi
 Tidak ada mual / yang adekuat.
muntah.

4. IMPLEMENTASI
Sesuai Intervensi

5. EVALUASI
Sesuai Tujuan
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa:
WaluyoAgung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta

Doenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1993,Rencana Asuhan Keperawatan untuk


perencanaan dan pendukomentasian perawatan Pasien, Edisi-3, Alih bahasa;
Kariasa,I.M.,Sumarwati,N.M., EGC, Jakarta

Suyono,dkk, 2001, Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II, edisi 3, Balai penercit FKUI,Jakarta.

University IOWA., NIC and NOC Project., 1991, Nursing outcome Classifications,Philadelphia,
USA
TUGAS BEDAH
PROGRAM PROFESI NERS
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN
DENGAN ATRESIA ANI

O
L
E
H

NAMA: DESSYANA S. BAHUR

NIM: 19640859

TAHUN 2019/2020
BAB I

TINJAUAN TEORI

1.1 DEFINISI
Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforate
meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz. Ed 3 tahun 2002).
Atresia ini atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran yang
memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak
sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus
namun tidak berhubungan langsung dengan rectum. (sumber Purwanto. 2001 RSCM)
Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran
anus (Donna L. Wong, 520 : 2003).
Atresia berasal dari bahasa Yunani, artinya tidak ada, trepis artinya nutrisi atau
makanan. Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau
tertutupnya lubang badan normal atau organ tubular secara kongenital disebut juga
clausura. Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya berlubang atau
buntunya saluran atau rongga tubuh, hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau
terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu. Atresia dapat terjadi
pada seluruh saluran tubuh, misalnya atresia ani. Atresia ani yaitu tidak berlubangnya
dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu anus imperforata. Jika atresia terjadi maka
hampir selalu memerlukan tindakan operasi untuk membuat saluran seperti keadaan
normalnya.
1.2 ETIOLOGI

Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber mengatakan
kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus
dari tonjolan embriogenik. Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa
lubang dubur.

2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum
bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai
keenam usia kehamilan.

4. Berkaitan dengan sindrom down ( kondisi yang menyebabkan sekumpulan gejala mental
dan fisik khas ini di sebabkan oleh kelainan gen dimana terdapat ekstra salinan
kromosom 21)

5. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan.

1.3 PATOFISIOLOGI
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan
embrional. Anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari
bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinaria dan
struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal.
Terjadi atresia ani karena tidak ada kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon
antara 7 dan 10 mingggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena
kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada
pembukaan usus besar yang keluar melalui anus menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan
sehingga intestinal mengalami obstruksi.
Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini
mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya.
Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga
terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir ke arah traktus urinarius
menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara
rektum dengan organ sekitarnya. Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina)
atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki biasanya letak tinggi, umumnya fistula
menuju ke vesika urinaria atau ke prostate. (rektovesika). Pada letak rendah fistula menuju
ke uretra (rektourethralis).
1.4 POHON MASALAH
1.5 MANIFESTASI KLINIS
1. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
2. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.
3. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya.
4. Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tdk ada fistula).
5. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
6. Pada pemeriksaan rectal touché terdapat adanya membran anal.
7. Perut kembung. (Betz. Ed 7. 2002)

GAMBARAN KLINIS :
1.6 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain:
a. Asidosis hiperkloremia.
b. Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan.
c. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
d. Komplikasi jangka panjang yaitu eversi mukosa anal, stenosis (akibat konstriksi
jaringan perut dianastomosis).
e. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
f. Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi).
g. Prolaps mukosa anorektal.
h. Fistula (karena ketegangan abdomen, diare, pembedahan dan infeksi).
(Ngastiyah, 2005).

1.7 KLASIFIKASI
a. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses tidak dapat
keluar.
b. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
c. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rektum dengan anus.
d. Rektal atresia adalah tidak memiliki rektum.
1.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
1. Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik yang umum
dilakukan pada gangguan ini.
2. Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel mekonium.
3. Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat menunjukkan
adanya kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu pada mekonium yang
mencegah udara sampai keujung kantong rectal.
4. Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong.
5. Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan jarum tersebut
sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk
1,5 cm Derek tersebut dianggap defek tingkat tinggi.

6. Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan :


a. Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di daerah tersebut.
b. Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir dan
gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia reftil/anus impoefartus, pada
bayi dengan anus impoefartus. Udara berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid,
kolon/rectum.
c. Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala dibawah
dan kaki diatas pada anus benda bang radio-opak, sehingga pada foto daerah antara
benda radio-opak dengan dengan bayangan udara tertinggi dapat diukur.

1.9 PENATALAKSANAAN
1. Pembedahan
Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan
kelainan. Semakin tinggi gangguan, semakin rumit prosedur pengobatannya. Untuk
kelainan dilakukan kolostomi beberapa hari setelah lahir, kemudian anoplasti perineal
yaitu dibuat anus permanen (prosedur penarikan perineum abnormal) dilakukan pada
bayi berusia 12 bulan. Pembedahan ini dilakukan pada usia 12 bulan dimaksudkan
untuk memberi waktu pada pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk
berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badan dan
bertambah baik status nutrisnya. Gangguan ringan di atas dengan menarik kantong
rectal melalui afingter sampai lubang pada kulit anal fistula, bila ada harus tutup
kelainan membranosa hanya memerlukan tindakan pembedahan yang
minimal membran tersebut dilubangi degan hemostratau skapel
2. Pengobatan
a. Aksisi membran anal (membuat anus buatan)
b. Fiktusi yaitu dengan melakukan kolostomi sementara dan setelah 3 bulan dilakukan
korksi sekaligus (pembuat anus permanen) (Staf Pengajar FKUI. 205).
BAB II

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA ATRESIA ANI

2.1 PENGKAJIAN

2.1.1 IDENTITAS PASIEN

Nama, Tempat tgl lahir, umur, Jenis Kelamin, Alamat, Agama, Suku Bangsa
Pendidikan, Pekerjaan , No. CM, Tanggal Masuk RS, Diagnosa Medis
2.1.2 RIWAYAT KESEHATAN
a. Keluhan Utama : Distensi abdomen
b. Riwayat Kesehatan Sekarang :Muntah, perut kembung dan membuncit, tidak bisa
buang air besar, meconium keluar dari vagina atau meconium terdapat dalam urin
c. Riwayat Kesehatan Dahulu : Klien mengalami muntah-muntah setelah 24-48 jam
pertama kelahiran
d.Riwayat Kesehatan Keluarga : Merupakan kelainan kongenital bukan kelainan/
penyakit menurun sehingga belum tentu dialami oleh angota keluarga yang lain
e.Riwayat Kesehatan Lingkungan : Kebersihan lingkungan tidak mempengaruhi
kejadian atresia ani
2.1.3 POLA FUNGSI KESEHATAN
a. Pola persepsi terhadap kesehatan
Klien belum bisa mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang apa yang
dirasakan dan apa yang diinginkan
b. Pola aktifitas kesehatan/latihan
Pasien belum bisa melakukan aktifitas apapun secara mandiri karena masih
bayi.

AKTIFITAS 0 1 2 3 4
Mandi 
Berpakaian 
Eliminasi 
Mobilitas ditempat tidur 
Pindah 
Ambulansi 
Makan . 
Keterangan :
0 : Mandiri
1 : Dengan menggunakan alat bantu
2 : Dengan menggunakan bantuan dari orang lain
3 : Dengan bantuan orang lain dan alat bantu
4 : Tergantung total, tidak berpartisipasi dalam beraktifitas
c. Pola istirahat/tidur
Diperoleh dari keterangan sang ibu bayi atau kelurga yang lain
d. Pola nutrisi metabolik
Klien hanya minum ASI atau susu kaleng
e.Pola eliminasi
Klien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium
f. Pola kognitif perseptual
Klien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientas i dengan baik pada
orang lain
g. Pola konsep diri
1) Identitas diri : belum bisa dikaji
2) Ideal diri : belum bisa dikaji
3) Gambaran diri : belum bisa dikaji
4) Peran diri : belum bisa dikaji
5) Harga diri : belum bisa dikaji
h. Pola seksual Reproduksi
Klien masih bayi dan belum menikah
i. Pola nilai dan kepercayaan
Belum bisa dikaji karena klien belum mengerti tentang kepercayaan
j. Pola peran hubungan
Belum bisa dikaji karena klien belum mampu berinteraksi dengan orang lain secara
mandiri
k. Pola koping
Belum bisa dikaji karena klien masih bayi dan belum mampu berespon terhadap
adanya suatu masalah
2.1.4 PEMERIKSAAN FISIK

Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah anus
tampak merah, usus melebar, kadang – kadang tampak ileus obstruksi, termometer
yang dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi terdengan
hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin dan
vagina (FKUI, Ilmu Kesehatan Anak:1985).

 Pemeriksaan Fisik Head to toe


1. Tanda-tanda vital
• Nadi : 110 X/menit.
• Respirasi : 32 X/menit.
• Suhu axila :37º Celsius.
2. Kepala
Kepala simetris, tidak ada luka/lesi, kulit kepala bersih, tidak ada
benjolan/tumor, tidak ada caput succedanium, tidak ada chepal hematom.
3. Mata
Simetris, tidak konjungtifistis, tidak ada perdarahan subkonjungtiva, tidak
ikterus, tidak nistagamus/ tidak episnatus, conjungtiva tampak agak pucat.
4. Hidung
Simetris, bersih, tidak ada luka, tidak ada secret, tidak ada pernafasan cuping
hidung, tidak ada pus dan lendir.
5. Mulut
Bibir simetris, tidak macrognatia, micrognatia, tidak macroglosus, tidak
cheilochisis.
6. Telinga
Memiliki 2 telinga yang simetris dan matur tulang kartilago berbentuk
sempurna
7. Leher
Tidak ada webbed neck.
8. Thorak
Bentuk dada simetris, silindris, tidak pigeon chest, tidak funnel shest,
pernafasan normal
9. Jantung
Tidak ada mur-mur, frekuensi jantung teratur
10. Abdomen
Simetris, teraba lien, teraba hepar, teraba ginjal, tidak termasa/tumor, tidak
terdapat perdarahan pada umbilicus
11. Getalia
Terdapat lubang uretra, tidak ada epispandia pada penis tidak ada hipospandia
pada penis, tidak ada hernia sorotalis.
12. Anus
Tidak terdapat anus, anus nampak merah, usus melebar, kadang-kadang
tampak ileus obstruksi. Thermometer yang dimasukan kedalam anus tertahan
oleh jaringan. Pada auskultasi terdengar peristaltic.
13. Ektrimitas atas dan bawah
Simetris, tidak fraktur, jumlah jari lengkap, telapak tangan maupun kaki dan
kukunya tampak agak pucat
14. Punggung
Tidak ada penonjolan spina gifid
15. Pemeriksaan Reflek
a. Suching +
b. Rooting +
c. Moro +
d. Grip +
e. Plantar +

2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Dx pre operasi
a. Konstipasi berhubungan dengan aganglion.
b. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan menurunnya intake, muntah.
c. Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan
prosedur perawatan.
2. Dx Post Operasi
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma saraf jaringan.
b. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi.
c. Resiko infeksi Berhubungan dengan prosedur pembedahan.
d. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di rumah.
2.3 INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Diagnosa Pre Operasi
No. Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional

1. Konstipasi Setelah dilakukan 1. Lakukan enema 1. Evaluasi bowel


b/d ganglion tindakan atau irigasi rectal meningkatkan
keperawatan sesuai order kenyaman pada anak
selama 1x 24 jam 2. Kaji bising usus 2. Meyakinkan
Klien mampu dan abdomen setiap berfungsinya usus
mempertahankan 4 jam
pola eliminasi 3. Ukur lingkar 3. Pengukuran
BAB dengan abdomen lingkar abdomen
teratur membantu
KH : Penurunan mndeteksi trjadinya
distensi distensi
abdomen,
meningkatnya
kenyamanan
2. Resiko Setelah dilakukan 1. Monitor intake – 1. Dapat
kekurangan tindakan output cairan mengidentifikasi
volume keperawatan status cairan klien
cairan b/d selama 1x 24 jam 2. Lakukan 2. Mencegah
menurunnya Klien dapat pemasangan infus dehidrasi
intake, mempertahankan dan berikan cairan
muntah keseimbangan IV
cairan 3. Observasi TTV 3. Mengetahui
KH: Output urin kehilangan cairan
1-2 melalui suhu tubuh
ml/kg/jam, capill yang tinggi
4. Monitor status
ary refill 3-5 4. Mengetahui tanda-
hidrasi (kelembaban
detik, trgor kulit tanda dehidrasi
membran mukosa,
baik, membrane
nadi adekuat,
mukosa lembab
takanan darah
ortostatik)

3. Cemas Setelah dilakukan 1. Jelaskan dg 1. Agar orang tua


orang tua tindakan istilah yg mengerti kondisi
b/d kurang keperawatan dimengerti tentang klien
pengetahuan selama 1x 24 jam anatomi dan
tentang Kecemasan orang fisiologi saluran
penyakit tua dapat pencernaan normal.
dan berkurang 2. Gunakan alat, 2. Pengetahuan
prosedur KH: Klien tidak media dan gambar tersebut diharapkan
perawatan lemas Beri jadwal studi dapat membantu
diagnosa pada menurunkan
orang tua kecemasan
3. Beri informasi 3. Membantu
pada orang tua mengurangi
tentang operasi kecemasan klien
kolostomi

2. Diagnosa post oprasi


No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
1. Gangguan Setelah dilakukan 1. Hindari kerutan 1. Mencegah
integritas tindakan pada tempat tidur perlukaan pada
kulit b/d keperawatan selama kulit
kolostomi. 1 x 24 jam 2. Jaga kebersihan 2. Menjaga
diharapkan kulit agar tetap ketahanan kulit
integritas kulit bersih dan kering
dapat dikontrol. 3. Monitor kulit akan 3. Mengetahui
KH : - temperatur adanya kemerahan adanya tanda
jaringan dalam kerusakan
batas normal, jaringan kulit
sensasi dalam batas 4. Oleskan 4. Menjaga
normal, elastisitas lotion/baby oil kelembaban
dalam batas normal, pada daerah yang kulit
hidrasi dalam bats tertekan
normal, pigmentasi 5. Monitor status 5. Menjaga
dalam batas normal, nutrisi klien keadekuatan
perfusi jaringan nutrisi guna
baik. penyembuhan
luka

2. Resiko Setelah dilakukan 1. Monitor tanda dan 1. mengetahui


infeksi b/d tindakan gejala infeksi tanda infeksi
prosedur keperawatan selama sistemik dan lokal lebih dini
pembedaha 1 x 24 jam 2. Batasi pengunjung 2. menghindari
n diharapkan klien kontaminasi
bebas dari tanda- dari pengunjung
tanda infeksi 3. Pertahankan 3. mencegah
KH : bebas dari teknik cairan penyebab infeks
tanda dan gejala asepsis pada klien
infeksi yang beresiko
4. Inspeksi kondisi 4. mengetahui
luka/insisi bedah kebersihan luka
dan tanda
infeksi
5. Ajarkan keluarga 5. Gejala infeksi
klien tentang dapat di deteksi
tanda dan gejala lebih dini
infeksi 6. Gejala infeksi
6. Laporkan dapat segera
kecurigaan infeksi teratasi
4. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
 Diagnosa Pre oprasi

Tanggal Jam Diagnosa Implementasi TTD


Konstipasi b/d 1. Enema atau irigasi rectal sesuai
ganglion order
2. Mengauskultasi bising usus dan
abdomen
3. Mengukur lingkar abdomen
Resiko 1. Memonitor intake – output cairan
kekurangan 2. Memasang infus
volume cairan 3. Mengobservasi TTV
b/d 4. Memonitor status hidrasi
menurunnya (kelembaban membran mukosa, nadi
intake, muntah adekuat, takanan darah ortostatik)
Cemas orang 1. Menjelaskan dengan istilah yg
tua b/d kurang dimengerti tentang anatomi dan
pengetahuan fisiologi saluran pencernaan normal.
tentang 2. Menggunakan alat, media dan
penyakit dan gambar
prosedur 2. Memberi jadwal studi diagnosa
perawatan pada orang tua
3. Memberi informasi pada orang
tua tentang operasi kolostomi
 Diagnosa Post Oprasi
Tanggal Jam Diagnosa Implementasi TTD
Gangguan 1. Menghindarkan kerutan pada
integritas kulit tempat tidur
b/d kolostomi. 2. Menjaga kebersihan kulit agar
tetap bersih dan kering
3. Memonitor kulit akan adanya
kemerahan
4. Mengoleskan lotion/baby oil pada
daerah yang tertekan

5. Memonitor status nutrisi klien


Resiko infeksi 1. Memonitor tanda dan gejala
b/d prosedur infeksi sistemik dan lokal
pembedahan 2. Membatasi pengunjung
3. Mempertahankan teknik cairan
asepsis pada klien yang beresiko
4. Menginspeksi kondisi luka/insisi
bedah
5. Mengajarkan keluarga klien
tentang tanda dan gejala infeksi
6. Melaporkan kecurigaan infeksi
5.IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

 Diagnosa Pre oprasi


Tanggal Jam Diagnosa Evaluasi TTD
Konstipasi b/d S : Klien mampu mempertahankan
ganglion pola eliminasi BAB dengan teratur
O : distensi abdomen menurun
A : Diagnosa keperawatan konstipasi
teratasi
P : Intervensi dihentikan
Resiko S : Klien dapat mempertahankan
kekurangan keseimbangan cairan
volume cairan O : Output urin 1-2
b/d ml/kg/jam, capillary refill 3-5
menurunnya detik, turgor kulit baik, membrane
intake, muntah mukosa lembab
A : Diagnosa keperawatan Resiko
kekurangan volume cairan teratasi
P : Intervensi dihentikan
Cemas orang S : orang tua mengatakan sudah

tua b/d kurang tidak cemas


pengetahuan O : klien tidak lemas
tentang A : Diagnosa Keperawatan Cemas
penyakit dan orang tua Teratasi
prosedur P : Intervensi dihentikan
perawatan
 Diagnosa Post Oprasi
Tanggal Jam Diagnosa Implementasi TTD
Gangguan S : integritas kulit klien dapat
integritas kulit terkontrol
b/d kolostomi. O : Temperatur jaringan dalam batas
normal, sensasi dalam batas normal,
elastisitas dalam batas normal,
hidrasi dalam batas normal,
pigmentasi dalam batas normal,
perfusi jaringan baik.
A : Diagnosa Keperawatan
Gangguan integritas kulit teratasi
P : Intervensi dihentikan
Resiko infeksi S : Klien sudah tidak mengalami
b/d prosedur infeksi
pembedahan O : tanda gejala infeksi tidak ada
A : Diagnosa Keperawatan Resiko
infeksi teratasi
P : Intervensi dihentikan
DAFTAR PUSTAKA

Daengaoes, Maryllin E.1999. Rencana asuhan keperawatan. Jakarta : EGC


Ngastiyah.1995. perawatan anak sakit . Jakarta :EGC
Syamsuhidajat, R. 2004.Buku ajar Ilmu bedah. Jakatra:EGC
Wong, Dona L. 2004. pedoman klinis keperawatan pediatric. Jakatra : EGC
www. Bedah Anak . Atresia Ani dengan Fistula Rektovestibularis.co.id
http://bedahugm.net/Bedah-Anak/Atresia-Ani.html
LAPORAN PENDAHULUAN

HISPRUNG

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS

PRAKTEK STASE MEDIKAL BEDAH

OLEH

MARIA OKTAVIANA BENU

NIM 19640865

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KADIRI

TAHUN 2019/2020
LAPORAN PENDAHULUAN HISPRUNG

A. KONSEP DASAR MEDIS


1. Defenisi

Penyakit hirschprung adalah suatu gangguan perkembangan dari sistem saraf

enterik dengan karakteristik tidak adanya sel-sel ganglion (tidak adanya pleksus

mienterik) pada bagian distal kolon dan kolon tidak bisa mengembang dengan

memberikan manifestasi perubahan struktur dari kolon. Pada kondisi klinik penyakit

Hirschprung lebih dikenal dengan megakolon kongenital.

Menurut Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI(1996), hischsprung dibedakan

sesuai dengan panjang segmen yang terkena, Hischsprung dibedakan menjadi dua

tipe berikut:

a. Segmen pendek

Segmen pendek aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid, terjadi

pada sekitar kasus penyakit Hischsprung dan tipe ini lebih sering ditemukan

pada laki-laki dibandingkan anak perempuan. Pada tipe segmen pendek yang

umum, insidensinya 5 kali lebih besar pada laki-laki. dibandingkan wanita dan

kesempatan bagi saudara laki-laki dari penderita anak untuk mengalami

penyakit ini adalah 1 dari 20 (Sodikin, Asuhan Keperawatan anak: Gangguan

Sistem Gastrointestinal dan Hepatobilier, 2011)

b. Segmen panjang

Daerah aganglionosis dapat melebihisigmoid, bahkan kadang dapat


mengenai seluruh kolon atau sampai usus halus. Laki-laki dan perempuan
mempunyai peluang yang sama, terjadi pada 1 dari 10 kasus tanpa
membedakan jenis kelamin (Sodikin, 2011).
2. Etiologi dan Manifestasi Klinis Hirschprung

Penyebab tidak diketahui, tetapi ada hubungan dengan kondisi genetik. Mutasi
pada Ret proto-onkogen telah dikaitkan dengan neoplasia endokrin 2A atau 2B pada
penyakit Hirschprung familiar. Gen lain yang berhubungan dengan penyakit
Hirschprung termasuk sel neurotrofik glial yang diturunkan dari faktor gen, reseptor
gen endothelin-B, dan gen endothelin -3. Penyakit Hirschprung juga terkait dengan
Down syndrome, sekitar 5-15% dari pasien dengan penyakit Hirschprung juga
memiliki trisomi 21 (Muttaqin & Sari, 2013).
Adapun tanda dan gejala yang bisa di temukan pada hirschprung adalah
sebagai berikut:

Obstipasi (sembelit) merupakan tanda utama pada Hischsprung, dan pada bayi
baru lahir dapat merupakan gejala obstruktif akut. Tiga tanda (trias) yang sering
ditemukan meliputi mekonium yang terlambat keluar (lebih dari 24 jam), perut
kembung, dan muntah berwarna hijau. Pada neonatus, kemungkinan ada riwayat
keterlambatan keluarnya mekonium selama 3 hari atau bahkan lebih mungkin
menandakan terdapat obstruksi rektum dengan distensi abdomen progresif dan
muntah, sedangkan pada anak yang lebih besar kadang-kadang ditemukan keluhan
adanya diare dan enterokolitis kronik yang lebih menonjol daripada tanda-tanda
obstipasi (sembelit).
Terjadinya diare yang berganti-gantidengan konstipasi merupakan hal yang
tidak lazim. Pabila disertai dengan komplikasi enterokolitis,anak akan mengeluarkan
feses yang besar dan mengandung darah serta sangat berbau, dan terdapat peristaltik
dan bising usus yang nyata.

Sebagian besar tanda dapat ditemukan pada minggu pertama kehidupan, sengkan
yang lain ditemukan sebagai kasus konstipasi kronik dengan tingkat keparahan yang
meningkat sesuai dengan perubahan umur anak. Dimana, pada anak yang lebih tua
biasanya terdapat konstipasi kronik disertai anoreksia dan kegagalan pertumbuhan.
(Sodikin, Asuhan Keperawatan anak: Gangguan Sistem Gastrointestinal dan
Hepatobilier, 2011)

3. Patofisiologi Hirschprung

Dalam keadaan normal, bahan makanan yang dicerna dapat berjalan di sepanjang
usus karena adanya kontraksi ritmis dari otot-otot yang melapisi usus (kontraksi
ritmis ini disebut geraka peristaltik ). Kontraksi otot-otot tersebut dirangsang oleh
sekumpulan saraf yang disebut ganglion, yang terletak di bawah lapisan otot. Pada
penyakit Hirschprung ganglion/pleksis yang memerintahkan gerakan peristaltik tidak
ada, biasanya hanya sepanjang beberapa sentimeter. Segmen usus yang tidak
memiliki gerakan peristaltik tidak dapat mendorong bahan-bahan yang dicerna
sehingga terjadi penyumbatan .
Dengan kondisi tidak adanya ganglion, maka akan memberikan manifestasi
ganggguan atau tidak adanya peristalsis sehingga akan terjadi tidak adanya evakuasi
usus spontan. Selain itu, sfingter rektum tidak dapat berelaksasi secara optimal,
kondisi ini dapat mencegah keluarnya feses secara normal. Isi usus kemudian
terdorong ke segmen aganglionik dan terjadi akumulasi fese di daerah tersebut
sehingga memberikan manifestasi dilatasi usus pada bagian proksimal.
4. Pathway Hisprung
Respon psikologis keluarga dan Predisposisi gangguan genetic
pasien (bayi atau anak) serta perkembangan dari system saraf
misinterpretasi terhadap enterik
perawatan dan pengobatan

Tidak adanya sel-sel ganglion


 Kecemasan (aganglionik) pada bagian distal
 Perubahan peran keluarga kolon
(perubahan family center)
Gangguan peristaltik usus pada area aganglionik
 Gangguan proses bermain
 Gangguan tumbuh kembang
Penyakit Hirschprung

Obstruksi kolon distal


Gangguan
absorpsi air Kecemasan
baik pada
Konstipasi
anak maupun
Nyeri
Cairan yang tidak keluarga
di absorpsi Obstruksi kolon
proksimal
Intervensi Rasa penuh
pembedahan atau kembung
Feses bercampur
dalam perut
dengan cairan di Distensi
kolon abdomen
Pascaoperasi
Merangsang
pusat muntah
Feses Kerusakan Kongesti
di medulla otak
menjadi cair jaringan vaskuler, edema
Nyeri pascaoperasi dinding usus
Mual,
Terjadi Diare Gangguan aliran muntah
Port de darah vaskuler
entrée luka gastrointestinal  Anoreksia, atau
Penurunan volume pascabedah  Risiko kehilangan
cairan dalam tubuh cairan & elektrolit
Iskemia dinding
Risiko infeksi usus
Intake asupan
 Risiko kekurangan nutrisi kurang
volume cairan, atau
 Risiko tinggi syok Risiko injuri Nekrosis
hipovolemik dinding usus  Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan
Perforasi peritonitis  Risiko ketidakseimbanagan
cairan
5. Pemeriksaan Penunjang Hirschprung

a. Pemeriksaan colok dubur


Pada penderita Hirschprung, pemeriksaan colok anus sangat penting untuk
dilakukan. Saat pemeriksaan ini, jari akan merasakan jepitan karena lumen rektum
yang sempit, pada saat ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara dan mekonium
(feses) yang menyemprot.
b. Pemeriksaan lain
 Foto polos abdomen tegak akan memperlihatkan usus-usus melebar atau
terdapat gambaran obstruksi usus rendah.

 Pemeriksaan radiologis akan memperlihatkan kelainan pada kolon setelah


enema barium. Radiografi biasa akan memperlihatkan dilatasi dari kolon
di atas segmen aganglionik.
 Biopsi rektal dilakukan dengan anestesi umum, hal ini melibatkan
diperolehnya sampel lapisan otot rektum untuk pemeriksaan adanya sel
ganglion dari pleksus Aurbach (biopsi) yang lebih superfisial untuk
memperoleh mukosa dan submukosa bagi pemeriksaan pleksus meissner.
 Manometri anorektal merupakan uji dengan suatu balon yang ditempatkan
dalam rektum dan dikembangkan. Secara normal, dikembangkannya balon
akan menghambat sfingter ani interna. Efek inhibisi pada penyakit
Hirschprung tidak ada dan jika balon berada dalam usus aganglionik,
dapat diidentifikasi gelombang rektal yang abnormal. Uji ini efektif
dilakukan pada masa neonatus karena dapat diperoleh hasil baik positif
palsu atau negatif palsu. (Sodikin, 2011)
6. Penatalaksanaan Hirschprung
Setelah ditemukan kelainan patologik dari Hirscprung, selanjtnya mulai dikenal
Teknik operasi yang rasional untuk penyakit ini. Tindakan defenitif bertujuan
menghilangkan hambatan pada segmen usus yang menyempit. Tindakan konservatif
adalah tindakan untuk menghilangkan tanda-tanda obstruksi rendah dengan jalan
memasang anal tube dengan atau tanpa disertai pembilasan air garam hangat secara
teratur. Air tidak boleh digunakan karena bahaya absorpsi air mengarah pada
intoksikasi air, hal ini disebabkan karena difusi cepat dari usus yang mengalami
dilatasi air ke dalam sirkulasi. Penatalaksanaan dari gejala obstipasi dan mencegah
enterokolitis dapat dilakukan dengan bilas kolon menggunakan garam faal, cara ini
efektif dilakukan pada hirscprung tipe segmen pendek-untuk tujuan yang sama dapat
dilakukan dengan tindakan kolostomi di daerah ganglioner.
Membuang segmen aganglionik dan mengembalikan kontinuitas usus dapat
dikerjakan dengan satu atau dua tahap, teknik ini disebut operasi definitive yang
dapat dikerjakan bila berat badan bayi sudah cukup (lebih dari 9 kilogram). Tindakan
konservatif ini sebenarnya akan mengaburkan gambaran pemeriksaan barium enema
yang di buat kemudian.
Kolostomi merupakan tindakan operasi darurat untuk menghilangkan gejala
obstruksi usus, saling menunggu dan memperbaiki keadaan umum penderita sebelum
operasi definitive berikan dukungan kepada orang tua, karena kolostomi sementara
sukar di terima. Orang tua harus belajar bagaimana merawat anak dengan kolostomi,
observasi apa yang perlu dilakukan, bagaimana membersihkan stoma, dan bagaimana
menggunakan kantong kolostomi.
Intervensi bedah terdiri atas pengangkatan segmen usus aganglionik yang
mengalami obstruksi. Pembedahan rektosimoidektomi dilakukan dengan teknik pull
through dan dapat dicapai dengan prosedur tahap pertama, tahap kedua, dan tahap
ketiga., rektosigmoidoskopi didahului oleh suatu kolostomi. Kolostomi di tutup dalam
prosedur tahap kedua. Pull through (Swenson, renbein, dan Duhamel) yaitu jenis
pembedahan dengan mereseksi segmen yang menyempit dan menarik usus sehat ke
arah anus.
Operasi Swenson dilakukan dengan teknik anastomosisintususepsi ujung ke ujung
usus aganglionik dan ganglionic melalui anus dan reseksi serta anastomosis sepanjang
garis bertitik-titik. Secara lebih spesifik prosedur Duhamel dilakukan dengan cara
menaikkan kolon normal ke arah bawah dan menganastomosiskannya di belakang
usus aganglionik, membuat dinding ganda yaitu selubung aganglionik dan bagian
posterior kolon normal yang telah di tarik (Sodikin, 2011).
7. Pengkajian Hirschprung
Pengkajian penyakit Hirschprung terdiri atas pengkajian anamnesis, pemeriksaan
fisik dan evaluasi diagnostic. Pada anamnesis, keluhan utama yang lazim ditemukan
pada anak adalah nyeri abdomen. Keluhan orangtua pada bayinya dapat berupa
muntah – muntah. Keluhan gastrointestinal lain yang menyertai, seperti distensi
abdominal, mual, muntah, dan nyeri kolik abdomen.
Pengkajian riwayat penyakit sekarang, keluhan orangtua pada bayi dengan tidak
adanya evakuasi mekonium dalam 24 – 48 jam pertama setelah lahir diikuti obstruksi
konstipasi,muntah, dan dehidrasi. Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa
minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Konstipasi ringan
entrokolitis dengan diare, distensiabdomen, dan demam. Adanya feses yang
menyemprot pada saat colok dubur merupakan tanda yang khas.
Pada anak, selain tanda pada bayi, anak akan rewel dan keluhan nyeri pada
abominal. Didapatkan Keluhan lainnya berupa kontipasi atau diare berulang. Pada
kondisi kroni, orangtua sering mengeluh anak mengalami gangguan pertumbuhan dan
perkembangan. Anak mungkin didapatkan mengalami kekurangan kalori – protein.
Kondisi gizi buruk ini merupakan hail dari anak karena selalu merasa kenyang, perut
tidak nyaman, dan distensi terkait dengan konstipasi kronis. Dengan berlanjutnya
proses penyakit, maka akan terjadi enterokolitis. Kondisi enterokolitis dapat berlanjut
ke sepsis, transmural nekrosis usus, dan perforasi.
Pada pengkajian riwayat penyakit keluarga sering didapatkan kondisi yang sama
pada generasi terdahulu. Kondisi ini terjadi sekitar 30% dari kasus.
Pengkajian psikososial akan didapatkan peningkatan kecemasan, serta perlunya
pemenuhan informasi intervensi keperawatan dan pengobatan.
Pemeriksaan fisik yang didapatkan sesuai dengan manifestasi klinik. Pada survey
umum terlihat lemah atau gelisah. TTV biasa didapatkan hipertermi dan takikardi dimana
menandakan terjadinya iskemia usus dan gejala terjadinya perforasi.
Tanda dehidrasi dan demam bisa didapatkan pada kondisi syok atau sepsis.
Pada pemeriksaan fisik fokus pada area abdomen, lipat paha, dan rectum akan
didapatkan:
Inspeksi : tanda khas didapatkan adanya distensi abdominal. Pemeriksaan
rectum dan feses akan didapatkan adanya perubahan feses seperti pita dan dan berbau
busuk.
Auskultasi : pada fase awal didapatkan penurunan bisisng usus, dan berlanjut
dengan hilangnya bising usus.
Perkusi : timpani akibat abdominal mengalami kembung.
Palpasi : teraba dilatasi kolon pada abdominal.
Pengkajian diagnostic yang dapat membantu, meliputi pemeriksaan laboratorium
untuk mendeteksi adanya leukositosis dan gangguan elektrolit atau metabolic; foto polos
abdomen dengan dua posisi, yaitu posisi tegak dan posisi berbaring untuk mendeteksi
obstruksi intestinal pola gas usus, serta USG untuk mendeteksi kelainan intraabdominal
(Muttaqin & Sari, 2013)
8. Diagnosa Keperawatan Hirschprung yang bisa muncul
1) Resiko injuri b.d pascaprosedur bedah, iskemia, nekrosis dinding intestinal
sekunder dari kondisi obstruksi usus
2) Nyeri b.d distensi abdomen, iritasi intestinal.\, respon pembedahan
3) Resiko ketidakseimbangan cairan tubuh b.d keluar cairantubuh dan muntah,
ketidakmampuan absorpsi air oleh intestinal
4) Resiko tinggi infeksi b.d adanya port de entreeluka pasca bedah
5) Konstipasi b.d penyempitan kolon , sekunder obstruksi mekanik

6) Kecemasan b.d prognosis penyakit, misinterpretasi informasi, rencana pembedahan


(Muttaqin & Sari, 2013)
7) Pemenuhan informasi b.d adanya kolostomi,evaluasi diagnostik, rencana
pembedahan, dan rencana perawatan rumah.
Risiko injuri b.d pascaprosedur pembedahan (Herdman & Kamitsuru, 2016)

Outcome ( NIC ) : Dalam waktu 2 x 24 jam pascaintervensi reseksi kolon pasien


tidak mengalami injuri
kriteria evaluasi :
 TTV dalam batas normal
 Kondisi kardio respirasi optimal
 Tidak terjadi infeksi pada insisi.
(Moorhead, Johnson , Mass, & Swanson , 2016)

Intervensi Rasional

Kaji faktor yang meningkatkan Pascabedah terdapat risiko rekuren dari


risiko injuri hernia umbilicus akibat peningkatan tekanan
intraabdomen
Monitor tanda dan gejala perforasi Perawat mengantisipasi risiko terjadinya
atau peritonitis perforasi atau peritonitis. Tanda dan gejala
yang penting adalah anak rewel tiba-tiba dan
tidak bisa dibujuk untuk diam oleh orang tua
atau perawat, muntah-muntah, peningkatan
suhu tubuh dan hilangnya bising usus.
Adanya pengeluaran pada anus berupa
cairan fases bercampur darah merupakan
tanda klinik penting bahwa telah terjadi
perforasi. Semua perubahan yang terjadi
dokumentasikan oleh perawat dan
dilaporkan pada dokter yang merawat.
Lakukan pemasangan selang Tujuan pemasangan selang nasogastric
nasogatrik adalah intervensi dekompresi akibat respons
dilatasi dari kolon dan obstruksi dari kolon
aganglionik. Apabila tindakan dekompresi
ini optima, maka akan menurunkan distensi
abdominal yang menjadi penyebab utama
nyeri abdominal pada pasien Hirschprung.
Monitor adanya komplikasi Perawat memonitor adanya komplikasi
pascabedah pascabedah seperti mencret atau
inkontinensia fekal, kebocoran anastomosis
formasi striker, obstruksi usus, dan
enterokolitis. Secara umum kondisi
pascabedah biasanya menghasilkan kondisi
optimal, namun pada anak-anak dengan
sindrom Down terdapat penurunan
kemmapuan dalam menahan fekal, dan
beberapa penulis mendukung penempatan
ostomi permanen.
Pertahankan status hemodinamik Pasien akan mendapat cairan intravena
yang optimal sebagai pemeliharaan status hemodinamik.
Bantu ambulasi dini Pasien dibantu turun dari tempat tidur pada
hari pertama pascaoperatif dan didorong
untuk mulai berpartisipasi dalam ambulasi
dini. Pada bayi pasca bedah pemenuhan
informasi dan melibatkan orang tua dalam
intervensi dapat menurunkan kecemasan
orang tua.
Hadirkan orang terdekat Pada pasien anak, orang terdekat dapat
mengetahui penurunan respon nyeri. Orang
terdekat bisa merupakan orang tua kandung,
babysister , atau neneknya. Pada suatu studi
mengnai penurunan respons nyeri dengan
kehadiran orang terdekat menampakkan
hubungan yang relative positif untuk
menurunkan skala nyeri.
Pada orang dewasa, kehadiran orang
terdekat merupakan tambahan dukungan
psikologis dalam menghadapi masalah
kondisi nyeri baik akibat dari kolik abdomen
atau nyeri pascabedah.
Kolaborasi untuk pemberian Antibiotik menurunkan risiko infeksi yang
antibiotic pascabedah (Bulechek, akan menimbulkan reaksi inflamasi local
Butcher , Dochterman, & Wagner , dan dapat memperlama proses
2016) penyembuhan pascafunduplikasi lambung.

Pemenuhan informasi b.d adanya rencana pembedahan, perencanaan pasien pulang

Tujuan: Dalam waktu 1 × 24 jam informasi kesehatan terpenuhi.


Kriteria evaluasi:
- Pasien dan keluarga jadwal pembedahan.
- Pasien dan keluarga kooperatif pada setiap intervensi keperawatan, serta secara subjektif
menyatakan bersedia dan termotivasi untuk melakukan aturan atau prosedur prabedah
yang telah dijelaskan.
- Pasien dan keluarga mengungkaapkan alasan pada setiap instruksi dan latihan
preoperatif.
- Secara subjektif pasien menyatakan rasa nyaman dan relaksasi emosional.
- Pasien mampu menghindarkan cedera selama periode perioperatif.
Intervensi Rasional

Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang Bila pasien mendapat intervensi, peran
intervensi konservatif, intervensi bedah, dan perawat adlah memberikan informasi yang
program perawatan rumah. sesuai dengan kebutuhan individu.
Apabila pasien mendapat keputusan
pembedahan atas kondisi penyakitnya,
maka persiapan prabedah sama seperti
persiapan pembedahan abdomen lainnya.
Peran perawat mengklarifikasi bahwa
informasi dimengerti dan dilaksanakan
pasien.
Intervensi konservatif: Keluarga terdekat dengan pasien perlu
 Cari sumber yang meningkatkan dilibatkan dalam pemenuhan informasi
penerimaan informasi. untuk menurunkan risiko misinterpretasi
terhadap informasi yang diberikan.

 Kaji kondisi komplikasi enterokolitis. Sebelum intervensi bedah pada paasien


dengan penyakit Hirschsprung, dilakukan
pengkajian untuk memastikan perawatan
yang memadai dekompresi usus dan bahwa
tanda-tanda atau gejala enterokolitis tidak
berkembang.
 Beritahu pada keluarga mengenai
intervensi teknik dekompresi dan irigasi Maksud dan tujuan pemberian teknik
rektal. dekompresi dan irigasi rektal perlu
disampaikan pada keluarga, yaitu terapi ini
membantu mengurangi pelebaran kolon
dalam persiapan untuk operasi.
Intervensi passien dengan pembedahan:
 Beritahu persiapan pembedahan Tujuan persiapan prabedah dilakukan untuk
(persiapan pada orang dewasa sama efisiensi dan efektivitas pada fase
seperti persiapan prabedah abdominal intraoperatif.
lainnya).

 Libatkan keluarga dalam mempersiapan Hernia umbilikalis biasanya dilakukan


anak pada tahap praoperatif. perbaikan di bawah anestesi umum.
Biasanya, anak tidak boleh makan atau
minum selama sekitar enam jam
sebelumnya.
Penting bagi perawat untuk menanyakan
adanya alergi atau jika ada riwayat masalah
pendarahan dalam keluarga.
Perawat mendukung keluarga dalam
penandatanganan formulir persetujuan
sebelum operasi. Hal ini menegaskan bahwa
keluarga telah memahami risiko,
keuntungan, dan kemungkinan alternatif
prosedur, serta telah memberikan izin
pembedahan.

 Jelaskan tentang prosedur pembedahan Operasi biasanya membutuhkan waktu 40-


60 menit. Tujuan dari operasi kolostomi
adalah untuk membuat anus buatan pada
dinding abdominal secara sementara dan
apabila toleransi anak membaik, maka akan
dikembalikan ke tempat semula.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit hirschprung adalah suatu gangguan perkembangan dari sistem saraf
enterik dengan karakteristik tidak adanya sel-sel ganglion (tidak adanya pleksus
mienterik) pada bagian distal kolon dan kolon tidak bisa mengembang dengan
memberikan manifestasi perubahan struktur dari kolon. Pada kondisi klinik penyakit
Hirschprung lebih dikenal dengan megakolon kongenital
B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini, saya menyadari bahwa makalah ini masih banyak
terdapat beberapa kekurangan karena masih banyak hal-hal yang perlu ditambahkan lagi
dalam makalah ini. Maka dari itu saya sangat mengharapkan adanya saran dan kritik yang
dapat membangun, agar makalah saya kedepannya dapat lebih baik. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., Butcher , H. K., Dochterman, J. M., & Wagner , C. M. (2016). Nursing
Interventions Classification (NIC) . Jakarta : ELSEVIER .

Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2016). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi .
Jakarta : EGC .

Kowalak , J. P., Welsh, W., & Mayer, B. (2011). Buku Ajar Patofisiologi . Jakarta : EGC.
Muttaqin, A., & Sari, K. (2013). Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.
Moorhead, S., Johnson , M., Mass, M. L., & Swanson , E. (2016). Nursing Outcomes
Classification (NOC) . Jakarta : ELSEVIER .

Sodikin. (2011). Asuhan Keperawatan anak: Gangguan Sistem Gastrointestinal dan


Hepatobilier. Jakarta: Salemba Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN
ATRESIA BILLIER

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS


PRAKTEK PROFESI STASE MEDIKAL BEDAH

DISUSUN OLEH :

HELEN UBWARIN, S.Kep


Nim 19640872

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KADIRI
TAHUN 2020
LAPORAN PENDAHULUAN
ATRESIA BILLIER

A. Pengertian
Atresia Billier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak adanya atau
obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau intrahepatik (Suriadi dan Rita
Yulianni, 2006)
Atresia bilier merupakan kegagalan perkembangan lumen pada korda epitel yang akhirnya
menjadi duktus biliaris, kegagalan ini bisa menyeluruh atau sebagian. (Chandrasoma &
Taylor,2005)
Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau lebih dari duktus
biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus persisten dan kerusakan hati
yang bervariasi dari statis empedu sampai sirosis biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut
menjadi hipertensi porta. (Kamus Kedokteran Dorland 2002: 206)
Atresia Billier adalah suatu keadaan dimana saluran empedu tidak terbentuk atau tidak
berkembang secara normal. Atresia biliaris adalah kelainan konginetal yang ditandai dengan
obstruksi atau tidak adanya duktus atau saluran empedu. Atresia bilier merupakan suatu defek
congenital yang merupakan hasil dari tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu
pada ekstrahepatik atau intrahepatik. Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari
hati ke kandung empedu. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati, yang jika tidak
diobati bisa berakibat fatal.
Tipe- tipe atresia biliary, secara empiris dapat dikelompokkan dalam 2 tipe:
a. Tipe yang dapat dioperasi / Operable/ correctable.
Jika kelainan/sumbatan terdapat dibagian distalnya. Sebagian besar dari saluran-saluran
ekstrahepatik empedu paten.
b. Tipe yang tidak dapat dioperasi / Inoperable/ incorrectable
Jika kelainan / sumbatan terdapat dibagian atas porta hepatic, tetapi akhir-akhir ini dapat
dipertimbangakan untuk suatu operasi porto enterostoma hati radikal. Tidak bersifat paten
seperti pada tipe operatif.
Klasifikasi dengan menggunakan system klasifikasi Kasai, cara ini banyak digunakan.
Mengklasifikasikan kasus atresia biliaris berdasarkan lokasi dan tingkat patologinya. Klasifikasi
atresia bliaris sesuai dengan area yang terlibat.
a. Tipe I: saluran empedu umumnya paten pada daerah proksimal.
b. Tipe II: atresia pada saluran empedu dapat terlihat, dengan sumbatan saluran empedu
ditemukan pada porta hepatis.
c. Tipe IIa: fibrosis dan saluran empedu umumnya bersifat paten
d. Tepi IIb: umumnya duktus biliaris dan duktus hepatic tidak ada.
e. Tipe III : lebih mengacu pada terputusnya duktus hepatic kanan dan kiri sampai pada porta
hepatic. Bentuk atresia ini adalah umum terjadi, sekitar lebih dari 90% kasus

B. Epidemiologi
Atresia billiaris lebih banyak terjadi pada perempuan. Kondisi ini jarang terjadi, prevalensinya
1 : 15.000 kelahiran. Insidensi lebih banyak terjadi pada anak-anak asia dan anak kulit hitam. Di
US, sekitar 300 bayi yang lahir setiap tahunnya dengan kondisi atresia billiaris. Bentuk janin-
embrio yang ditandai dengan kolestasis awal, muncul dalam 2 minggu pertama kehidupan, dan
menyumbang 10-35% dari semua kasus. Dalam bentuk ini, saluran-saluran empedu terputus saat
lahir, dan 10-20% dari neonatus yang terkena dampak telah dikaitkan cacat bawaan,
termasuk Situs inversus , polysplenia , malrotasi, atresia usus, dan anomali jantung, antara lain.
Atresia billiaris dtemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak
perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1. Meski jarang tetapi jumlah penderita atresia billiaris
yang ditangani rumah sakit Cipt Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2002-2003, mencapai 37-
38 bayi atau 23 persen dari 162 bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati. Sedangkan di
Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Suromo Surabaya antara tahun 1999-2001 dari 19270
penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan penyakit kuning gangguan fungsi hati di
dapatkan atresia bilier 9 (9,4%).
Dari 904 kasus atresia billiris yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia billiaris didapat pada
ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), hispantik (11%), Asia (4,2) dan Indian Amerika
(1,5%). Kasus atresia bilier dilaporkan sebanyak 5/100.000 kelahiran hidup di belanda, 5/100.000
kelahiran hidup di perancis, 6/100.000 klahiran hidup di Inggris, 6,5/100.000 kelhiran hidup di
Texas, 7/100.000 kelahiran hidup di australia, 7,4/100.000 kelahiran hidup di USA, dan
10,6/100.000 kelahiran hidup di Jepang.

C. Etiologi
Penyebab atresia billiaris tidak diketahui dengan jelas, tetapi diduga akibat proses inflamasi
yang destruktif. Atresia billiaris terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran
empedu di dalam maupun diluar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran
empedu ini tidak diketahui. Meskipun penyebabnya belum diketahui secara pasti, tetapi diduga
karena kelainan kongenital, didapat dari proses-proses peradangan, atau kemungkinan infeksi
virus dalam intrauterine.
Penyebab atresia masih kontroversial, beberapa ahli percaya bahwa hal ini terjadi akibat
infeksi intrauterine. Atresia biasanya hanya mengenai duktus biliaris ekstrahepatik, duktus
intrahepatik lebih jarang terkena. Atresia biliaris komplit yang mengenai seluruh system
menyebabkan kematian yang tinggi. Hati menunjukan gambaran obstruksi hebat duktus biliaris
yang besar dengan sirosis biliaris sekunder. Tanpa pengobatan, kematian terjadi pada masa bayi.
Terapi bedah dapat berhasil pada kasus atresia parsial. Pada kasus atresia yang mengenai duktus
intrahepatik, transplantasi hati merupakan satu-satunya harapan.
Hal yang penting perlu diketahui adalah bahwa atresia billiaris adalah bukan merupakan
penyakit keturunan. Kasus atresia billiaris tidak diturunkan dari keluarga. Atreia billiaris paling
sering disebabkan karena sebuah peristiwa yang terjadi saat bayi dalam kandungan. Kemungkinan
hal yang dapat memicu terjadinya atresia billiaris diantaranya: infeksi virus atau bakteri, gangguan
dalam system kekebalan tubuh, komponen empedu yang abnormal, kesalahan dalam
perkembangan hati dan saluran empedu.

D. Tanda dan Gejala


Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu berupa:
a. Air kemih bayi berwarna gelap
b. Kulit berwarna kuning
c. Tinja berwarna pucat
d. Berat badan tidak bertambah atau penambahan berat badan berlangsung lambat
e. Hati membesar.
f. Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
1. Gangguan pertumbuhan
2. Gatal-gatal
3. Rewel
4. Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung,
usus dan limpa ke hati).

E. Patofisiologi
Penyebabnya sebenarnya atresia billiaris tidak diketahui sekalipun mekanisme imun atau viral
injurio bertanggung jawab atas progresif yang menimbulkan obstruksi saluran empedu. Berbagai
laporan menunjukkan bahwa atresia billiaris tidak terlihat pada janin, bayi yang baru lahir.
Keadaan ini menunjukan bahwa atresia billiaris terjadi pada akhir kehamilan atau pada periode
perinatal dan bermanisfestasi dalam waktu beberapa minggu sesudah dilahirkan. Inflamasi terjadi
secara progresif dengan menimbulkan obstruksi dan fibrosis pada saluran empedu intrahepatik
atau ekstrahepatik (Wong, 2008).
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal empedu
keluar hati, kantung empedu dan usus akhirnya akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi
hati, bahkan hati menjadi fibrosis dan sirosis.
Obstruksi melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus biliaris yang menimbulkan ikterus dan
duktus didalam lobus hati yang meningkatkan ekskresi bilirubin. Obstruksi yang terjadi mencegah
terjadi bilirubin ke dalam usus menimbulkan tinja berwarna pucat seperti kapur.
Obstruksi billier menyebabkan akumulasi garam empedu di dalam darah sehingga
menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena tidak adanya empedu dalam usus, lemak dan
vitamin A, D, E, K tidak dapat di absorbsi sehingga mengalami kekurangan vitamin yang
menyebabkan gagal tumbuh pada anak.

F. Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi yang dapat terjadi pada atresia billiaris yaitu:
a. Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal empedu keluar
hati dan kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk sumbatan dan menyebabkan empedu balik
ke hati ini akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati. Bahkan hati menjadi fibrosis
dan cirrhosis. Dan hipertensi portal sehingga akan mengakibatkan gagal hati.
b. Progresif serosis hepatis terjadi jika aliran hanya dapat dibuka sebagian oleh prosedur pembedahan,
permasalahan dengan pendarahan dan penggumpalan.
c. Degerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan hepatomegali.
d. Karena tidak ada empedu dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak dapat diabsorbsi,
kekurangan vitamin larut lemak dan gagal tumbuh.
e. Hipertensi portal
f. Pendarahan yang mengancam nyawa dari pembesaran vena yang lemah di esofagus dan perut,
dapat menyebabkan Varises Esophagus.
g. Asites merupakan akumulasi cairan dalam kapasitas abdomen yang disebabkan penurunan
produksi albumin dalam protein plasma.
h. Komplikasi pasca bedah yakni kolangitis menaik.
Harapan hidup pasien yang tidak diobati adalah 18 bulan. Progresi fibrosis hepatic sering terjadi
walaupun sudah mendapat terapi bedah paliatif, meskipun 30 – 50 % pasien mungkin tetap
anikterik. Angka harapan hidup transplantasi jangka pendek sekitar 75 %. Menurut Carlassone &
Bensonsson (1977) menyatakan bahwa operasi atresia billiaris tipe “noncorrectable” adalah buruk
sekali sebelum adanya operasi Kasai, tetapi sampai sekarang hanya sedikit penderita yang dapat
disembuhkan. Bila pasase empedu tidak dikoreksi, 50 % anak akan meninggal pada tahun pertama
kehidupan, 25 % pada tahun ke dua, dan sisanya pada usia 8-9 tahun. Penderita meninggal akibat
kegagalan fungsi hati dan sirosis dengan hipertensi portal.

G. Pengobatan
a. Medik

1) Terapi medikamentosa yang bertujuan untuk :

 Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu dengan
memberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis peroral misal : luminal
 Melindungi hati dari zat dari zat toksik dengan memberikan asam ursodeoksikolat 310
mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis peroral misal : urdafalk

2) Terapi nutrisi yang bertujuan untuk memungkinkan anak untuk bertumbuh dan berkembang
seoptimal mungkin yaitu:
 Pemberian makanan yang mengandung middle chain triglycerides(MCT)untuk mengatasi
malabsorpsi lemak. Contoh : susu pregestinil dan pepti yunior.
 Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak.
 Dan pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif harus
dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang progresif
dapat dikurangi.

3) Terapi Bedah

Setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan maka segera dilakukan intervensi bedah
Portoenterostomi terhadap atresia bilier yang Correktable yaitu tipe Idan II. Pada atresia bilier
yang Non Correktable terlebih dahulu dilakukan laparatomi eksplorasi untuk menentukan potensi
duktus bilier yang ada di daerah hilus hati dengan bantuan Frozen section. Bila masih ada duktus
bilier yang paten maka dilakukan operasi kasai. Tetapi meskipun tidak ada duktus bilier yang paten
tetap dikerjakan operasi kasai dengan tujuan untuk menyelamatkan penderita (tujuan jangka
pendek) dan bila mungkin untuk persiapan transplantasi hati (tujuan jangka panjang). Pembedahan
itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif harus dilaksanakan dalam periode 2
hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang progresif dapat dikurangi.
4) Pemeriksaan diagnostik

 Darah lengkap dan fungsi hati

Pada pemeriksaan laboratorium ini menunjukkan adanya hiperbilirubinemia direk, serta


peningkatan kadar serum transaminase,fosfatase alkali, dan gamma glutamil transpeptidase
yang dapat membantu diagnosis atresia bilier pada tahap awal.

 Pemeriksaan urin

Pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang mengalami ikterus, tetapi urobilin
dalam urine negative, hal ini menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.

 Pemeriksaan feses

Warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja/stercobilin dalam tinja berkurang
karena adanya sumbatan.
 Biopsi hati

Untuk mengetahui seberapa besar sumbatan dari hati yang dilakukan dengan pengambilan
jaringan hati.

 USG abdomen

Kandung empedu yang kecil atau tidak sama sekali, adanya tanda Triangular cord sangat
sensitive menunjukkan adanya atresia bilier.

b. Keperawatan

Terdapat beberapa intervensi keperawatan yang penting bagi anak yang menderita atresia bilier.
Penyuluhan yang meliputi semua aspek rencana penanganan dan dasar pemikiran bagi tindakan
yang akan dilakukan harus disampaikan kepada anggota keluarga pasien. Segera pembedahan
portoenterestomi asuhan keperawatannya serupa dengan yang dilakukan pada setiap pembedahan
abdomen yang berat. Penyuluhan yang diberikan meliputi pemberian obat dan terapi gizi yang
benar termasuk penggunaan formula khusus, suplemen vitamin serta mineral, terapi nutrisi enteral
atau parenteral. Pruritus menjadi persoalan signifikan namun dapat dikurangi dengan obat atau
tindakan seperti mandi rendam dan memotong kuku jari tangan.

Anak-anak dan keluarga memerlukan dukungan psikososial khusus. Prognosis yang tidak pasti,
gangguan rasa nyaman, dan penantian untuk tranpalantasi dapat menimbulkan stress yang cukup
besar. Perawatan yang lama di rumah sakit, terapi farmakologis dan nutrisi dapat membawa beban
financial yang besar pada keluarga.

H. Pencegahan
Dapat mengetahui setiap faktor risiko yang dimiliki, sehingga bisa mendapatkan prompt
diagnosis dan pengobatan jika saluran empedu tersumbat. Penyumbatan itu sendiri tidak dapat
dicegah. (Attasaranya S, Fogel EL,2008)
Dalam hal ini perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan pada orang tua untuk
mengantisipasi setiap faktor resiko terjadinya obstruksi biliaris (penyumbatan saluran empedu),
dengan keadaan fisik yang menunjukan anak tampak ikterik, feses pucat dan urine berwarna gelap
(pekat). (Sarjadi,2000)
I. PATHWAY
ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Identitas
Meliputi Nama,Umur, Jenis Kelamin dan data-data umum lainnya. Hal ini dilakukan sebagai
standar prosedur yang harus dilakukan untuk mengkaji keadaan pasien. Umumnya Atresia
billiaris lebih banyak terjadi pada perempuan. Atresia bilier dtemukan pada 1 dari 15.000
kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1.
b. Keluhan Utama
Keluhan utama dalam penyakit Atresia Biliaris adalah Jaundice dalam 2 minggu sampai 2
bulan Jaundice adalah perubahan warna kuning pada kulit dan mata bayi yang baru lahir.
Jaundice terjadi karena darah bayi mengandung kelebihan bilirubin, pigmen berwarna kuning
pada sel darah merah.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Anak dengan Atresia Biliaris mengalami Jaundice yang terjadi dalam 2 minggu atau 2 bulan
lebih, apabila anak buang air besar tinja atau feses berwarna pucat. Anak juga mengalami
distensi abdomen, hepatomegali, lemah, pruritus. Anak tidak mau minum dan kadang disertai
letargi (kelemahan).
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya suatu infeksi pada saat Infeksi virus atau bakteri masalah dengan kekebalan tubuh.
Selain itu dapat juga terjadi obstruksi empedu ektrahepatik. yang akhirnya menimbulkan
masalah dan menjadi factor penyebab terjadinya Atresia Biliaris ini.
Riwayat Imunisasi: imunisasi yang biasa diberikan yaitu BCG, DPT, Hepatitis, dan Polio.
e. Riwayat Perinatal
1) Antenatal:
Pada anak dengan atresia biliaris, diduga ibu dari anak pernah menderita infeksi penyakit,
seperti HIV/AIDS, kanker, diabetes mellitus, dan infeksi virus rubella
2) Intra natal:
Pada anak dengan atresia biliaris diduga saat proses kelahiran bayi terinfeksi virus atau bakteri
selama proses persalinan.
3) Post natal:
Pada anak dengan atresia diduga orang tua kurang memperhatikan personal hygiene saat
merawat atau bayinya. Selain itu kebersihan peralatan makan dan peralatan bayi lainnya juga
kurang diperhatikan oleh orang tua ibu.
f. Riwayat Kesehatan Keluarga
Anak dengan atresia biliaris diduga dalam keluarganya, khususnya pada ibu pernah menderita
penyakit terkait dengan imunitas HIV/AIDS, kanker, diabetes mellitus, dan infeksi virus
rubella. Akibat dari penyakit yang di derita ibu ini, maka tubuh anak dapat menjadi lebih
rentan terhadap penyakit atresia biliaris. Selain itu terdapat kemungkinan adanya kelainan
kongenital yang memicu terjadinya penyakit atresia biliaris ini.
g. Pemeriksaan Tingkat Perkembangan
Pemeriksaan tingkat perkembangan terdiri dari adaptasi sosial, motorik kasar, motorik halus,
dan bahasa. Tingkat perkembangan pada pasien atresia biliaris dapat dikaji melalui tingkah
laku pasien maupun informasi dari keluarga. Selain itu, pada anak dengan atresia biliaris,
kebutuhan akan asupan nutrisinya menjadi kurang optimal karena terjadi kelainan pada organ
hati dan empedunya sehingga akan berpengaruh terhadap proses tumbuh kembangnya.
h. Keadaan Lingkungan yang mempengaruhi timbulnya penyakit
Kedaan lingkungan yang mempengaruhi timbulnya atresia pada anak yaitu pola kebersihan
yang cenderung kurang. Orang tua jarang mencuci tangan saat merawat atau menetekkan
bayinya. Selain itu, kebersihan botol atau putting ketika menyusui bayi juga kurang
diperhatikan.
i. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Aktivitas/Istirahat : Pola aktivitas dan istirahat anak dengan atresia biliaris terjadi
gangguan yaitu ditandai dengan anak gelisah dan rewel yang gejalanya berupa letargi atau
kelemahan
2) Pola Sirkulasi : Pola sirkulasi pada anak dengan atresia biliaris adalah ditandai dengan
takikardia, berkeringat yang berlebih, ikterik pada sklera kulit dan membrane mukosa.
3) Pola Eliminasi : Pola eliminasi pada anak dengan atresia biliaris yaitu terdapat distensi
abdomen dan asites yang ditandai dengan urine yang berwarna gelap dan pekat. Feses
berwarna dempul, steatorea. Diare dan konstipasi pada anak dengan atresia biliaris dapat
terjadi.
4) Pola Nutrisi : Pola nutrisi pada anak dengan atresia biliaris ditandai dengan
anoreksia,nafsu makan berkurang, mual-muntah, tidak toleran terhadap lemak dan
makanan pembentuk gas dan biasanya disertai regurgitasi berulang.
5) Pola kognitif dan persepsi sensori: pola ini mengenai pengetahuan orang tua terhadap
penyakit yang diderita klien
6) Pola konsep diri: bagaimana persepsi orang tua dan/atau anak terhadap pengobatan dan
perawatan yang akan dilakukan.
7) Pola hubungan-peran: biasanya peran orang tua sangat dibutuhkan dalam merawat dan
mengobati anak dengan atresia biliaris.
8) Pola seksual-seksualitas: apakah selama sakit terdapat gangguan atau tidak yang
berhubungan dengan reproduksi sosial. Pada anak yang menderita atresia biliaris biasanya
tidak ada gangguan dalam reproduksi.
9) Pola mekanisme koping: keluarga perlu memeberikan dukungan dan
semangat sembuh bagi anak.
10) Pola nilai dan kepercayaan: orang tua selalu optimis dan berdoa agar penyakit pada
anaknya dapat sembuh dengan cepat.
j. Pemeriksaan Fisik
Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu berupa:
1) Air kemih bayi berwarna gelap
2) Tinja berwarna pucat
3) Kulit berwarna kuning
4) Berat badan tidak bertambah atau penambahan berat badan berlangsung lambat
5) Hati membesar.
6) Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
a) Gangguan pertumbuhan
b) Gatal-gatal
c) Rewel
d) Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah dari
lambung, usus dan limpa ke hati).
7) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum : lemah.
TTV : Tekanan Darah : terjadi peningkatan terutama pada vena porta
Suhu : Suhu tubuh dalam batas normal
Nadi : takikardi
RR : terjadi peningkatan RR akibat diafragma yang tertekan (takipnea)
b) Kepala dan leher
Inspeksi : Wajah : simetris
Rambut : lurus/keriting, distribusi merata/tidak
Mata : pupil miosis, konjungtiva anemis
Hidung : kemungkinan terdapat pernafasan cuping Hidung
Telinga : bersih
Bibir dan mulut : mukosa biibir kemungkinan terdapat ikterik
Lidah : normal
Palpasi : tidak ada pembesaran kelenjar thyroid dan limfe pada leher
c) Dada
Inspeksi : asimetris, terdapat tarikan otot bantu pernafasan dan tekanan pada otot
diafragma akibat pembesaran hati (hepatomegali).
Palpasi : denyutan jantung teraba cepat, terdapat nyeri tekan(-)
Perkusi : Jantung : dullness
Paru : sonor
Auskultasi : tidak terdengar suara ronchi kemungkinan terdengar bunyi wheezing
d) Abdomen
Inspeksi : terdapat distensi abdomen
Palpasi : dapat terjadi nyeri tekan ketika dipalpasi
Perkusi : sonor
Auskultasi : kemungkinan terjadi pada bising usus
e) Kulit
Turgor kurang, pucat, kulit berwarna kuning (jaundice)
f) Ekstremitas
Tidak terdapat odem pada pada extremitas
k. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
a) Bilirubin direk dalam serum meninggi (nilai normal bilirubin total < 12 mg/dl) karena kerusakan
parenkim hati akibat bendungan empedu yang luas.
b) Tidak ada urobilinogen dalam urine.
c) Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan transaminase alkalifosfatase (5-20 kali lipat nilai
normal) serta traksi-traksi lipid (kolesterol fosfolipid trigiliserol)
2) Pemeriksaan diagnostik
a) USG yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab kolestasis ekstra hepatic (dapat berupa
dilatasi kristik saluran empedu)
b) Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenum lalu cairan duodenum di aspirasi. Jika tidak
ditemukan cairan empedu dapat berarti atresia empedu terjadi
c) Sintigrafi radio kolop hepatobilier untuk mengetahui kemampuan hati memproduksi empedu dan
mengekskresikan ke saluran empedu sampai tercurah ke duodenum. Jika tidak ditemukan empedu
di duodenum, maka dapat berarti terjadi katresia intra hepatik
d) Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat kehijauan dan noduler. Kandung empedu
mengecil karena kolaps. 75% penderita tidak ditemukan lumen yang jelas

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan penyerapan
lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva anemis
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi abdomen ditandai oleh adanya
perasaan sesak pada pasien
c. Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada duktusbilier
ekstrahepatik
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting pada pasien
ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien
e. Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
3. Perencanaan Keperawatan
a. Diagnosa Keperawatan: Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
dan gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva anemis
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
1. 1. Kaji distensi abdomen
keperawatan 2 x 24 jam selama proses
2. 2. Pantau masukan nutrisi dan perhatikan frekuensi
keperawatan, diharapkan pola nutrisi pasien muntah klien
menjadi adekuat 3. 3. Timbang BB setiap hati
Kriteria Hasil: 4. 4. Berikan diet yang sedikit namun sering
a. a. BB pasien stabil 5. 5. Atur kebersihan oral sebelum makan
b. b. Konjungtiva tidak anemis 6. 6. Konsulkan dengan ahli diet sesuai indikasi
7. 7. Berikan diet rendah lemak, tinggi serat, dan
batasi makanan penghasil gas
8. 8. Kolaborasikan pemberian makanan yang
mengandung MCT sesuai indikasi
9. 9. Monitor kadar albumin, protein sesuai program
10. Berikan vitamin-vitamin larut lemak (A, D, E,
K)

b. Diagnosa keperawatan: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi
abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak pada pasien
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: Setelah dilakukan perawatan 2 x 24 1. Kaji distensi abdomen
jam, diharapkan pasien menunjukkan tanda- 2. Kaji RR, kedalaman nafas, dan kerja pernafasan
tanda pola nafas yang efektif 3. Awasi klien agar tidak sampai mengalami leher
Kriteria Hasil: tertekuk
a. a. RR mencapai 30-40 napas/mnt 4. Posisikan klien semi ekstensi atau eksensi pada
b.Kedalaman inspirasi dan kedalaman saat beristirahat
bernafas 5. Kolaborasikan operasi apabila dibutuhkan
c. Tidak ada penggunaan otot bantu nafas
pada pasien
c. Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada duktusbilier
ekstrahepatik, ditandai oleh peningkatan suhu tubuh, dan pasien demam
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: setelah dilakukan pemeriksaan 1. Berikan kompres air biasa pada daerah
keperawatan 1 x 24 jam diharapkan suhu aksila, kening, leher, dan lipatan paha
tubuh pasien akan kembali menjadi normal 2. Pantau suhu minimal setiap 2 jam sekali
Kriteria Hasil: disesuaikan dengan kebutuhan
a. Nadi dan pernapasan dalam rentang normal 3. Berikan pasien pakaian tipis
b. Suhu normal 36,50 – 37,50 4. Menipulasi lingkungan menjadi senyaman
mungkin seperti penggunaan kipas angin
atau AC
5. Kolaborasikan pemberian obat anti piretik
sesuai kebutuhan

d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting pada pasien
ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: pasien akan mempertahankan 1. Pantau asupan dan carian pasien perjam
keseimbangan cairan dan elektrolit setelah (cairan infus, susu per NGT, atau jumlah ASI
dilakukan perawatan didalam rumah sakit yang diberikan
selama 2 x 24 jam 2. Periksa feses pasien tiap harinya
Kriteria Hasil: 3. Pantau lingkar perut pasien
a. Kembalinya pengisian kapiler darah 4. Observasi tanda-tanda dehidrasi
kurang dari 3 detik 5.Kolaborasikan pemeriksaan elektrolit
b. Turgor kulit membaik pasien, kadar protein total, albumin, nitrogen
c. Produksi urin 1-2ml/kgBB/jam urea darah dan kreatinin serta darah lengkap
e. Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi.
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: pola BAB pasien normal setelah 1. Evaluasi jenis intake makanan
perawatan yang dilakukan 2 x 24 jam 2. Monitor kulit sekitar perianal terhadap
Kriteria Hasil: adanya iritasi dan ulserasi
a. Tidak ada diare 3. Ajarkan pada keluarga penggunaan obat
b. Elektrolit normal anti diare
c. Asam basa normal 4. Instruksikan pada pasien dan keluarga untuk
mencatat warna, volume, frekuensi dan
konsistensi feses
5. Kolaborasi jika tanda dan gejala diare
menetap
6. Monitor hasil Lab (elektrolit dan leukosit)
7. Monitor turgor kulit, mukosa oral sebagai
indikator dehidrasi
8. Konsultasi dengan ahli gizi untuk diet yang
tepat

f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan


Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: pasien akan dapat beraktivitas secara 1. Observasi adanya pembatasan klien dalam
normal setelah pemeriksaan yang dilakukan 2 melakukan aktivitas
x 24 jam 2. Kaji adanya faktor yang menyebabkan
Kriteria Hasil: kelelahan
a. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa 3. Monitor nutrisi dan sumber energi yang
disertai peningkatan tekanan darah, nadi dan adekuat
RR 4. Monitor respon kardivaskuler terhadap
b. Mampu melakukan aktivitas sehari hari aktivitas (takikardi, disritmia, sesak nafas,
(ADLs) secara mandiri diaporesis, pucat, perubahan hemodinamik)
c. Keseimbangan aktivitas dan istirahat
5. Monitor pola tidur dan lamanya
tidur/istirahat pasien
6. Bantu klien untuk mengidentifikasi
aktivitas yang mampu dilakukan

D. Implimentasi Keperawatan
a. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan penyerapan
lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva anemis
1) mengkaji adanya distensi pada abdomen pasien
2) memantau masukan nutrisi dan frekuensi muntah
3) menimbang berat badan pasien
4) mengkolaborasikan pemberian diet pada pasien sedikit namun sering
5) mempertahankan kebersihan oral pasien sebelum makan
6) mengkonsultasikan dengan ahli diet sesuai indikasi
7) memberikan diet rendah lemak, tinggi serat, dan batasi makanan penghasil gas
8) memberikan makanan mengandung MCT sesuai indikasi
9) memonitor laboratorium untuk kadar albumin dan protein sesuai program
10) memberikan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi abdomen ditandai oleh adanya
perasaan sesak pada pasien
1) mengkaji ada tidaknya distensi abdomen klien
2) mengkaji RR, kedalaman nafas, dan kerja pernafasan
3) mengawasi leher klien agar tidak tertekuk atau memosisikan leher klien semi ekstensi saat
istirahat
4) mempersiapkan operasi apabila diperlukan
c. Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada duktusbilier
ekstrahepatik
1) memberikan kompres air biasa pada aksila, kening, leher, dan lipatan paha
2) memantau suhu minimal setiap 2 jam sekali sesuai kebutuhan
3) memberikan pasien pakaian tipis
4) memanipulasi lingkungan senyaman mungkin bagi pasien dengan penggunaan AC / kipas angin
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting pada pasien
ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien
1) memantau asupan dan cairan pasien perjam
2) memeriksa feses pasien setiap hari
3) memantau lingkar perut bayi
4) mengobservasi tanda-tanda dehidrasi pada pasien
5) mengkolaborasikan pemeriksaan elektrolit, kadar protein total termasuk albumin, nitrogen urea,
darah dan kreatinin serta darah lengkap
e. Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi.
1) Mengvaluasi jenis intake makanan
2) Memonitor kulit sekitar perianal terhadap adanya iritasi dan ulserasi
3) Mengajarkan pada keluarga penggunaan obat anti diare
4) Menginstruksikan pada pasien dan keluarga untuk mencatat warna, volume, frekuensi dan
konsistensi feses
5) Berkolaborasi jika tanda dan gejala diare menetap
6) Memonitor hasil Lab (elektrolit dan leukosit)
7) Memonitor turgor kulit, mukosa oral sebagai indikator dehidrasi
8) Berkonsultasi dengan ahli gizi untuk diet yang tepat
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
1) Mengobservasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas
2) Mengkaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
3) Memonitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat
4) Memonitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas (takikardi, disritmia, sesak nafas,
diaporesis, pucat, perubahan hemodinamik)
5) Memonitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
6) Membantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan
E. Evaluasi
a. Diagnosa 1: Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan
penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva anemis
S: Orang tua pasien mengatakan jika sang anak tidak mau menghabiskan makanannya
O: BB menurun, Muntah, dan konjungtiva tampak anemis
A: Masalah teratasi
P: Lanjutkan intervensi
b. Diagnosa 2: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi abdomen ditandai
oleh adanya perasaan sesak pada pasien
S: Orang tua mengeluhkan anaknya sering sesak
O: adanya sesak nafas, RR: 60 x/menit
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
c. Diagnosa 3: Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada
duktusbilier ekstrahepatik
S: Pasien mengatakan tubuhnya panas
O: suhu meningkat, takikardi, dan RR meningkat
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
d. Diagnosa 4: Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting
pada pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien
S: Keluarga mengatakan sejak pagi pasien muntah-muntah setelah makan
O: muntah sebanyak ¼ gelas kecil, wajah terlihat pucat dan sianosis
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
e. Diagnosa 5: Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi
S: keluarga mengatakan pasien sudah mulai berkurang BABnya
O: pasien BAB 2 kali dalam sehari, dengan konsentrasi cair
A: masalah teratasi sebangian
P: lanjutkan intervensi
f. Diagnosa 6: Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
S: pasien mengatakan sudah dapat beraktivitas, dan tidak lelah
O: nadi 95 kali / menit, RR: 21 kali / menit
A: masalah teratasi
P: lanjutkan intervensi
DAFTAR PUSTAKA

Attasaranya S, 2008. Choledocholithiasis, ascending cholangitis, and gallstone


pancreatitis.http://health.nytimes.com/health/guides/disease/cholangitis/overview.html. (di
akses pada tanggal 11 maret 2015 pukul 16.22)

Craft-Rosernberg, Martha & Smith, Kelly. 2010. Nanda Diagnosa Keperawatan. Yogyakarta:
Digna Pustaka

Parlin.1991.Atresia Bilier. Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak FK UI.

Price, Sylvia A dan Wilson, Lorraine M.2006. Patofisiologi, Konsep Klinis, Proses-proses
Penyakit, Volume 1, edisi 6.J akarta: EGC

Sarjadi, 2000. Patologi umum dan sistematik. Jakarta. EGC

Sloane, Ethel.2004. Anatomi dan Fisiologi untk Pemula. Jakarta:EGC

Smeltzer, Suzanne C., dan Bare, Brenda G.. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi
8. Volume 2. Jakarta: EGC

Wilkinson, Judith M.2007. Buku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria
Hasil NOC. Jakarta: EGC

Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Edisi 4. Jakarta : EGC.

http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2012/05/pustaka_unpad_atresia_biliaris.pdf(
diakses tanggal 10 Maret 2015)

http://mka.fk.unand.ac.id/images/articles/No_2_2009/hal_190-195-isi.pdf (diakses tanggal 10


Maret 2015)
LAPORAN PENDAHULUAN
KOLELHITIASIS

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS


STASE MEDICAL BEDAH

Disusun Oleh:

LYSA FASTI NINGSIH


NIM. 19640932

Mengetahui:
DOSEN PEMBIMBING

SRI HARYUNI, S.Kep.,Ns. M.Kep

PENDIDIKAN PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS KADIRI
2019/2020

Manajemen Keperawatan
LAPORAN PENDAHULUAN
KOLELITHIASIS

A. TINJAUAN TEORITIS
1. DEFINISI KOLELITIASIS
Kolelitasis adalah inflamasi kandung empedu yang bisa menjadi Kolesistisis akut
biasanya terjadi setelah obstruksi saluran sistik oleh batu. Obstruksi akan meningkatkan
tekanan di dalam kandung empedu, menyebabkan iskemia dinding dan mukosa kandung
empedu. Tertahannya empedu menyebabkan iritasi kimia dan sering kali diikuti oleh
terjadinya inflamsi bakteri. Iskemia dapat menyebabkan nekrosis dan perforasi dinding
kandung empedu (Pricilla, 2015).
Kolelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah
kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu
kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material
mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Batu Empedu adalah timbunan
kristal di dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di
dalam kandung empedu disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu
disebut koledokolitiasis (Nucleus Precise Newsletter, edisi 72, 2011).
Kolelitiasis adalah pembentukan batu (kalkuli) di dalam kandung empedu atau
saluran bilier. Batu terbentuk dari unsur-unsur padat yang membentuk cairan empedu.
Kolelitiasis pada saluran kandung empedu yang pada umumnya komposisi utamanya
adalah kolesterol (Bare, 2009)

Gambar 1.1 Batu empedu pada kantung


dan saluran empedu Gambar 2.1 Batu empedu pada kantung
dan saluran empedu

STASE BEDAH
2. ETIOLOGI
Menurut Nian Afrian (2015) penyebab kolelitiasis adalah:
a) Jenis Kelamin
Wanita mempunyai risiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dengan pria. Ini
dikarenakan oleh hormoneosterogen berpengaruh terhadap peningkatan ekskresi
kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan yang meningkatkan kadar esterogen
juga meningkatkan risiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil dan kontrasepsi dan
terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu
dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
b) Usia
Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang dengan usia yang lebih muda.
c) Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar
kolesterol dalam kandung empedu tinggi, dan juga mengurangi garam empedu
serta mengurangi kontraksi / penggosongan kandung empedu.
d) Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gastrointestinal) mengakibtkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan
dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
e) Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga.
f) Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
g) Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah diabetes,
anemia, sel sabit, trauma, dan ileus pralitik

STASE BEDAH
h) Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi
untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan / nutrisi yang melewati intestinal.
Sehingga risiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam
kandung empedu.

3. MANIFESTASI KLINIS
Penderita batu saluran empedu sering mempunyai gejala-gejala kronis dan akut.
GEJALA AKUT GEJALA KRONIS

TANDA : TANDA:

1. Epigastrium kanan terasa nyeri dan 1. Biasanya tak tampak gambaran pada

spasme. abdomen.

2. Usaha inspirasi dalam waktu diraba pada 2. Kadang terdapat nyeri di kwadran

kwadran kanan atas. kanan atas

3. Kandung empedu membesar dan nyeri

4. Ikterus ringan

GEJALA: GEJALA:

1. Rasa nyeri (kolik empedu) yang Menetap 1. Rasa nyeri (kolik empedu), Tempat :

2. Mual dan muntah abdomen bagian atas (mid epigastrium),

3. Febris (38,5C) Sifat : terpusat di epigastrium menyebar

ke arah skapula kanan.

2. Nausea dan muntah

3. Intoleransi dengan makanan berlemak

4. Flatulensi

5. Eruktasi (bersendawa)

STASE BEDAH
4. KLASFIKASI DATA
Pada kolelitiasis, kalkulus (batu empedu) biasanya terbuka di kantung empedu
dari zat padat empedu dan memiliki ukuran, bentuk dan komposisi yang sangat beragam.
Terdapat dua tipe utama batu empedu: batu pigmen, yang mengandung kelebihan pigmen
tak terkonjugasi tau tak jenuh (unconjugated) didalam empedu, batu kolesterol (bentuk
yang lebih sering), sangat terjadi akibat batu empedu yang tersupersaturasi dengan
kolesterol karena peningkatan sintesis kolesterol dan penurunan sintesis asam batu
empedu yang melarutkan kolesterol. Faktor resiko untu batu pigmen mencakup jenis
kelamin (wanita dua sampai tiga kali lebih cenderung mengalami batu kolesterol) ,
penggunaan kontrasepsi oral,estrogen,dan klofibrat usia (biasanya lebih dari 40 tahun),
status multipara dan obesitas. Terdapat juga peningkatan resiko yang terkait dengan
diabetes penyakit saluran GI, fistula selang T dan reseksi ileum atau pintas ileum.
 Menurut Nian (2015) Kolelitiasis digolongkan atas 3 golongan :
1. Batu Kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol.
2. Batu kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung
kalsium bilirubinat sebagai komponen utama.
3. Batu pigmen hitam
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan
kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi.
 Menurut Corwin (2008) ada 3 tipe utama kolelitiasis :
1. Batu pigmen, kemungkinan berbentuk pigmen tak terkonjugasi dalam empedu
melakukan pengendapan sehingga terjadi batu.
2. Batu kolesterol, terjadi akibat konsumsi makanan berkolesterol seperti fast
food dengan jumlah tinggi. Kolesterol yang merupakan unsur normal
pembentuk empedu tidak dapat larut dalam air. Pada pasien yang cenderung
menderita batu empedu akan terjadi penurunan sintesis asam empedu dan
peningkatan sintesis kolesterol dalam hati. Keadaan ini mengakibatkan
supersaturasi getah empedu oleh kolesterol yang kemudian keluar dari getah
empedu, mengendap dan menjadi batu empedu.

STASE BEDAH
3. Batu campuran, batu campuran dapat terjadi akibat kombinasi antara batu
pigmen dan batu kolesterol atau salah satu dari batu dengan beberapa zat lain
seperti kalsium karbonat, fosfat, dan garam empedu.

5. PATOFISIOLOGI
Menurut Corwin (2008) patofisiologi kolelitiasis yaitu perubahan komposisi
empedu. Perubahan komposisi ini membentuk inti, lalu lambat laun menebal dan
mengkristal. Proses pengkristal. Proses pengkristalan dapat berlangsung lama, bisa
sampai bertahun-tahun dan akhirnya akan menghasilkan batu empedu, bila adanya
peradangan pada kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif,
perubahan sususan kimia dan pengendapan beberapa unsur konstituen seperti kolesterol,
kalsium, bilirubin. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam
pembentukan batu, melalui peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan mukus. Mukus
meningkatan viskositas dan unsur seluler atay bakteri dapat berperan sebagai pusat
presipitasi. Adanya proses infeksi ini terkait mengubah komposisi empedu dengan
meningktkan reabsorpsi garam empedu dan lesitin. Genetik. Salah satu faktor genetikk
yang menyebabkan terjadinya batu empedu adalah obesitas karena orang dengan dengan
obesitas cenderung mempunyai kadar kolesterol yang tinggi. Kolesterol tersebut dapat
mengendap di saluran pencernaan juga di saluran kantung empedu, yang lama kelamaan
akan berubah menjadi batu empedu.

STASE BEDAH
PATHWAY:

Gangguan kontraksi Infeksi bakteri dalam saluran empedu


kandung empedu, spasme
sfingter Oddi, hormone
kehamilan ( perlambatan
pengosongan kandung Unsur sel/bakteri, mukus,meningkatkan viskosita empedu
empedu)

Stasis bilier RESIKO INFEKSI

Supersaturasi progresif

KERUSAKAN INTEGRITAS KULIT

Perubahan unsur kimia

Pengendapan Batu empedu Pembedahan (Laparaskopi)

Obstruksi duktus Inflamasi


Sistikus

Distensi kandung empedu bersifat iritasi saluran cerna

Gangguan epigastirum: penurunan peristaltik


Rasa penuh, nyeri, samar,
Kuadran kanan atas
makanan tertahan dilambung

NYERI AKUT KETIDAKSEIMBANGAN NUTRISI

STASE BEDAH
6. KOMPLIKASI
6.1 Kolesistisis
Peradangan kandung empedu, saluran kandung empedu tersumbat oleh batu
empedu, menyebabkan infeksi dan peradangan kandung empedu.
6.2 Kolangitis
Peradangan pada saluran empedu, terjadi karena infeksi yang menyebar
melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah saluran-saluran menjadi terhalang oleh
sebuah batu empedu.
6.3 Hidrops
Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops kandung
empedu. Dalam keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan sindrom yang berkaitan
dengannya. Hidrops biasanya disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus sehingga
tidak dapat diisi lagi empedu pada kandung empedu yang normal. Kolesistektomi
bersifat kuratif
6.4 Empiema
Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini dapat
membahayakan jiwa dan membutuhkan kolesistektomi darurat segera.

7. PENCEGAHAN
7.1 Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah usaha mencegah timbulnya kolelitiasis pada orang
sehat yang memiliki risiko untuk terkena kolelitiasis. Pencegahan primer yang
dilakukan terhadap individu yang memiliki risiko untuk terkena kolelitiasi adalah
dengan menjaga kebersihan makanan untuk mencegah infeksi, misalnya S.Thyposa,
menurunkan kadar kolesterol dengan mengurangi asupan lemak jenuh, meningkatkan
asupan sayuran, buah-buahan, dan serat makanan lain yang akan mengikat sebagian
kecil empedu di usus sehingga menurunkan risiko stagnasi cairan empedu di kandung
empedu , minum sekitar 8 gelas air setiap hari untuk menjaga kadar air yang tepat
dari cairan empedu.
7.2 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan diagnosis dini terhadap
penderita kolelitiasis dan biasanya diarahkan pada individu yang telah positif
menderita kolelitiasis agar dapat dilakukan pengobatan dan penanganan yang tepat.

STASE BEDAH
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan non bedah ataupun bedah.
Penanggulangan non bedah yaitu disolusi medis, ERCP, dan ESWL. Penanggulangan
dengan bedah disebut kolesistektomi

8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
8.1 Pemeriksaan Sinar X Abdomen
a) Ultrasonografi
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostic pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat serta
akurat dan dapat digunakan pada penderita disfungsi hati dan icterus.
b) Pemeriksaan pencitraan radionuklida atau koleskintografi
Dalam prosedur ini preparat radioaktif disuntikkan secara intravena. Preparat ini
kemudian diambil oleh hepatosit dan dengan cepat disekresikan ke dalam
system bilier. Selanjutnya dilakukan pemindaian saluran empedu untuk
mendapatkan gambar kandung empedu dan percabangan bilier.
c) Kolesistografi
Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu untuk
melakukan pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan
isinya. Media kontras yang mengandung iodium yang disekresikan oleh hati dan
dipekatkan dalam kandung empedu diberikan kepada pasien. Kandung empedu
yang normal akan terisi oleh bahan radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu,
bayanganny akan tampak pada foto rontgen.
8.2 Pemeriksaan Laboratoirum
a) Darah lengkap : leukositosis sedang (akut)
b) Bilirubin dan amylase serum : meningkat
c) Enzim hati serum : AST (SGOT) ; ALT (SGPT) ; LDH agak meningkat ; alkalin
fosfat dan 5-nukleotidase : ditandai peningkatan obstruksi bilier.
d) Kadar protrombin : menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus
menurunkan absorpsi vitamin K.
e) Kalangopankreatografi retrograde ndoskopik (ERCP) : memeprlihatkan
percabangan bilier dengan kanulasi duktus koledukus melalui duodenum.

STASE BEDAH
f) Kolangiografi transhepatik perkutaeus : pembedahan gambaran dengan
fluoroskopi antara penyakit kandung empedu dan kanker pankreas (bila ikterik
ada).
g) Scan CT : dapat menyatakan kista kandung empedu, diatasi duktus empedu, dan
membedakan antara iketrik obstruksi/ non obstruksi.
h) Scan hati (dengan zat radioaktif) : menunjukkan obstruksi per-cabangan bilier
i) Foto abdomen (multiposisi) : menyatakan gambaran radiologi (klarifikasi) batu
empedu, kalrifikasi dinding atau pembesaran kandung empedu.
j) Foto dada : menunjukkan pernapasan yang menyebabkan penyebaran nyeri

9. PENATALAKSANAAN
9.1 Penatalaksanaan Medik
Menurut Brunner dan Suddarth (2013) penatalaksanaan medis kolelitasis :
a) Terapi Nutrisi
Diet segera setelah operasi biasanya berupa cairan rendah lemak dengan
protein dan karbohidrat tinggi dilanjutkan denngan makanan padat yang
lembut, hindari telur, krim, babi, maknan gorengan, keju, sayuran
pembentukan gas, dan alkohol.
b) Terapi Farmakologi
1. Untuk menghancurkan batu : ursodiol/aktigal.
2. Efek samping : diare, bersifat hepatotoksik, pada fetus sehingga
kontraindikasi pada ibu hamil.
3. Mengurangi konten kolesterol dalam batu empedu : chenodiol/chenix.
4. Untuk mengurangi gatal-gatal : cholestyramine (Questran)
5. Menurunkan rasa nyeri : analgesik.
6. Mengobati infeksi : antibiotik.
9.2 Penatalaksanaan Bedah
a) Kolesistektommi laparaskopi : dilakukan melalui insiasi atau tusukan kecil
yang dibuat menembus dinding abdomen di umbilikus. Rongga abdomen
ditiup dengan gas karbon monoksid untuk membantu pemasangan endoskopi.
b) Kolesisitektomi : kantung empedu diangkat setelah asteri dan duktus sistikus
diligasi. Sebuah drain (penrose) ditempatkan dalam kandung empedu dan
dibiarkan menjulur ke luar lewat luka operasi untuk mengalirkan darah, cairan

STASE BEDAH
serosanguinus dan getah empedu ke dalam kasa absorben. Minikolesistektomi
: kantung empedu dikeluarkan melalui sebuah insiasi kecil selebar 4cm.
c) Kolesistostomi (bedah atau perkutan) : kantung empedu dibuka, dan batu,
empedu, atau drainase purulent dikeluarkan.

STASE BEDAH
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Identitas atau biodata pasien Meliputi, nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat,
suku bangsa, status perkawinan, pekerjaan, pendidikan tanggal masuk rumah sakit
nomor registrasi dan diagnosa keperawatan.
2. Keluhan Utama
Tentang keluhan yang dirasakan pasien pada saat perawat Melakukan pengkajian
pada kontak pertama dengan pasien.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
a) Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit kronis atau menular dan menurun seperti jantung, hipertensi, DM,
TBC, hepatitis
b) Riwayat kesehatan sekarang
Diisi tentang perjalanan penyakit pasien, dari pertama kali mengurangi keluhan
(diobati dengan obat apa, dibawa ke puskesmas atau ke pelayanan kesehatan
lain), sampai dibawa kerumah sakit dan menjalani perawatan.
c) Riwayat kesehatan keluarga
Adakah penyakit keturunan dalam keluarga seperti jantung, DM, HT, TBC,
kelainan kongenita hidrosefalus, yang mungkin penyakit tersebut diturunkan
kepada pasien.
4. Pemeriksaan Fisik
Menurut Suratun dan Lusianah (2010) pemeriksaan fisik kolelitiasi ialah :
a) Aktivitas / istirahat : Gejala : kelemahan, Tanda : gelisah
b) Sirkulasi: Gejala / Tanda : takikardia, berkeringat.
c) Eliminasi: Gejala : Perubahan warna urine dan fases,Tanda : Distensi
abdomen, teraba massa pada kuadran kanan
atas, urine gelap, pekat, fases warna tanah liat, steatorea.
d) Makanan / cairan: Gejala : Anoreksia, mual/muntah, tidak toleran terhadap
lemak dan makanan pembentukan gas, regurgitasi berulang, nyeri epigastrium,
tidak dapat makan, flatus, dyspepsia. Tanda : kegemukan, adanya penurunan
berat badan.
e) Nyeri / Kenyamanan: Gejala : Nyeri abdomen atas berat, dapat menyebar ke
punggung atau bahu kanan, kolik epigastrium tengah sehubungan dengan
makan, nyeri mulai tiba-tiba dan biasanya memuncak dalam 30 menit. Tanda :

STASE BEDAH
Nyeri lepas, otot tegang atau kaku bila kuadran kanan atas ditekan, tanda
Murphy positif.
f) Pernapasan: Tanda : Peningkatan frekuensi pernapasan, pernapasan
tertekan ditandai oleh nafas pendek, dangkal.
g) Keamanan: Tanda : Demam, menggigil, ikterik, dan kulit berkeringat dan gatal
(pruritus), kecendrungan perdarahan (kekurangan Vit K).
h) Penyuluhan dan Pembelajaran: Gejala : Kecendrungan keluarga untuk terjadi
batu empedu, adanya kehamilan/melahirkan ; riwayat DM, penyakit inflamsi
usus, diskrasias darah.

C. DIAGNOSA MEDIS
1. Nyeri akut berhubungan kerusakan jaringan lunak pasca bedah.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakadekuatan sekresi empedu.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan insiasi pembedahan.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan keluarnya cairan empedu

D. INTERVENSI KEPERAWATAN
DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI
1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji nyeri dengan
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam PQRST.
obstruksi / spasme diharapkan nyeri dapat
duktus, proses berkurang. Dengan kriteria 2. Kaji kemampuan pasien
inflamasi, iskemia hasil : mengontrol nyeri.
jaringan / nekrisis. 1. Mampu mengontrol nyeri.
3. Ajarkan teknik relaksaasi
2. Melaporkan bahwa nyeri nafas pernafasan pada
berkurang secara verbal nyeri muncul.
dan non verbal.
4. Tingkatkan tirah baring,
3. Nyeri berkurang biarkan psien melakukan
posisi yang nyaman.
4. Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang. 5. Kolaborasi dengan dokter,
pemberian analgesik.

1. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji status nutrisi pasien,


nutrisi kurang dari keperawatan selama 3 x 24 turgor kulit, berat badan
kebutuhan tubuh jam diharapkan pemenuha dan kemampuan
berhubungan dengan nutrisi pasien terpenuhi menelan serta mual dan

STASE BEDAH
ketidakadekuatan dengan kriteria hasil : muntah pasien.
sekresi empedu. 1. Berat badan pasien
dengan rentan normal 2. Pantau asupan dan
menurut IMT. output makanan dan
timbang berat badan
2. Pasien menghabiskan secara periodik (sekali
porsi makan yang seminggu).
diberikan rumah sakit.
3. Lakukan dan ajarkan
perawatan mulut.

4. Jelaskan pentingnya
nutrisi untuk tubuh dan
berikan multivitamin

5. Kolaborasi dengan ahli


gizi untuk diet yang
tepat.

2. Kerusakan integritas Setelah dilakukan tindakan 1. Pantau perkembangan


kulit berhubungan keperawatan 3 x 24 jam kerusakan kulit pasien
dengan inisiasi diharapkan integritas kulit setiap hari.
pembedahan tidak mengalami kerusakan
lebih lanjut, dengan kriteria 2. Monitor karakteristik
hasil : luka, meliputi warna
1. Suhu pasien normal. ukuran dan bau.

2. Warna kulit normal 3. Cegah penggunaan linen


tetap bersih, tidak lembab.
3. Tidak ada perluasan
tepi luka 4. Lakukan perawatan luka
setiap hari.

5. Pertahankan teknik steril


dalam perawatan luka
pasien.

3. Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji tanda dan gejala


berhubungan dengan keperawatan 3x 24 jam infeksi.
keluarnya cairan diharapkan infeksi tidak
empedu terjadi dengan kriteria hasil: 2. Observasi karakteristik,
1. Pasien bebas dari tanda warna, ukuran, cairan, bau
dan gejala infeksi. luka.

STASE BEDAH
2. Menunjukkan prilaku 3. Rawat luka dengan konsep
hidup sehat. steril.

4. Berikan penjelasan kepada


pasien dan keluarga
mengenai tanda dan gejala
infeksi.

5. Kolaborasi dengan dokter


dalam pemberian
antibiotik.

STASE BEDAH
DAFTAR PUSTAKA

Joyce M.Black & Jane H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Penerbit Elsevier

Diagnosis Keperawatan,(2015-2017) edisi 10. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.

Pierce A. Grace & Neil R.Borley. (2006). At Glace Ilmu Bedah. (ed.3). Penerbit Erlangga.

Diagnosis Keperawatan,(2015-2017) edisi 10. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.

Andessa, 2011, Asuhan Keperawatan Kolelitiasis,.


http://hesa-andessa.blogspot.com/2011/01/asuhan-keperawatan-kolelitiasis.html

Nucleus Precise Newsletter. (2011). Batu Empedu. Jakarta : PT.Nucleus Precise

Dr. H. Y. Kuncara Aplikasi klinis patofisiologi: Pemeriksaan dan manajemen, edisi 2: 2009;
Buku kedokteran EGC

STASE BEDAH
LAPORAN PENDAHULUAN
BATU BULI-BULI

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS


PRAKTEK STASE MEDIKAL BEDAH

DISUSUN OLEH
HARTATY, S.Kep
Nim 19640936

PROGRAM STUDY PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS KADIRI
TAHUN 2020
BAB I
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Definisi Batu Buli-buli / BSK (Batu saluran kemih) adalah batu yang terbetuk
dari berbagai macam proses kimia di dalam tubuh manusia dan terletak di dalam
ginjal serta saluran kemih pada manusia seperti ureter
Batu saluran kemih (urolithiasis) merupakan obstruksi benda padat pada saluran
kencing yang berbentuk karena faktor presifitasi endapan dan senyawa tertentu.
Batu tersebut bias berbentuk dari berbagai senyawa, misalnya kalsium oksalat
(60%), fosfat (30%), asam urat (5%) dan sistin (1%). (Prabowo. E dan Pranata,

2014)

B. Etiologi

Penyebab terbentuknya batu saluran kemih sampai saat ini belum diketahui pasti,
tetapi ada beberapa faktor predisposisi terjadinya batu pada saluran kemih yaitu :

1. Infeksi
Infeksi saluran kencing dapat menyebabkan nekrosis jaringan ginjal dan akan
menjadi inti pembentukan batu saluran kemih . Infeksi bakteri akan memecah
ureum dan membentuk amonium yang akan mengubah pH urine menjadi
alkali.
2. Stasis dan obstruksi urine
Adanya obstruksi dan stasis urine akan mempermudah pembentukan batu
saluran kemih.
3. Ras
Pada daerah tertentu angka kejadian batu saluran kemih lebih tinggi daripada
daerah lain, Daerah seperti di Afrika Selatan hampir tidak dijumpai penyakit
batu saluran kemih.
4. Keturunan
Herediter atau faktor keturunan yang juga memainkan dari semua jenis
penyakit yang menjadi alasan suatu penyakit dapat diturunkan oleh orang tua
ke anak
5. Asupan air minum
Pekerja keras yang banyak bergerak mengurangi kemungkinan terbentuknya
batu daripada pekerja yang lebih banyak duduk.
6. Pekerjaan
Pekerja keras yang banyak bergerak mengurangi kemungkinan terbentuknya
batu daripada pekerja yang lebih banyak duduk.
7. Suhu
Tempat yang bersuhu panas menyebabkan banyak mengeluarkan keringat
sedangkan asupan air kurang dan tingginya kadar mineral dalam air minum
meningkatkan insiden batu saluran kemih
8. Makanan
Mineralisasi pada semua system biologi merupakan temuan umum. Tidak
terkecuali batu saluran kemih, yang merupakan kumpulan kristal yang terdiri
dari bermacam-macam Kristal dan matrik organik. Teori yang menjelaskan
mengenai penyakit batu saluran kemih kurang lengkap. Proses pembentukan
membutuhkan supersaturasi urine. Supersaturasi tergantung pada PH urine,
kekuatan ion, konsntrasizat terlarut, dan kompleksasi. (Stoller 2010 : hal 4).
C. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis adanya batu dalam traktus urinarius tergantung pada adanya
obstruksi, infeksi dan edema.
1. Ketika batu menghambat aliran urin, terjadi obstruksi piala ginjal serta ureter
proksimal.
a. Infeksi pielonefritis dan sintesis disertai menggigil, demam dan disuria,
dapat terjadi iritasi batu yang terus menerus. Beberapa batu menyebabkan
sedikit gejala, namun secara perlahan merusak unit fungsional (nefron)
ginjal.
b. Nyeri hebat dan ketidaknyamanan.
2. Batu di ginjal
a. Nyeri dalam dan terus menerus di area kontovertebral.
b. Hematuri.
c. Nyeri berasal dari area renal menyebar secara anterior dan pada wanita
nyeri kebawah mendekati kandung kemih sedangkan pada pria mendekati
testis.
d. Mual dan muntah.
e. Diare.
3. Batu di ureter
a. Nyeri menyebar kepaha dan genitalia.
b. Rasa ingin berkemih namun hanya sedikit urin yang keluar.
c. Hematuri akibat abrasi batu.
d. Biasanya batu keluar secara spontan dengan diameter batu 0,5 – 1 cm.
4. Batu di kandung kemih
a. Biasanya menimbulkan gejala iritasi dan berhubungan dengan infeksi
traktus urinarius dan hematuri.
b. Jika batu menimbulkan obstruksi pada leher kandung kemih akan terjadi
retensi urin.
D. Patofisiologi
Urolitiasis mengacu pada adanya batu (kalkuli) di traktus urinarius. Batu
terbentuk ketika konsentrasi supstansi seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat dan
asam urat meningkat. Batu juga dapat terbentuk ketika difisiensi supstrats
tertentu. Seperti sitrat yang secaa normal mencegah kristalisasi dalam urine, serta
status cairan pasien. Infeksi, stasis urine, serta drainase renal yang lambat dan
perubahan metabolic kalsium, hiperparatiroid, malignansi, penyakit granulo
matosa (sarkoldosis, tuberculosis), masukan vitamin D berlebih merupakan
penyebab dari hiperkalsemia dan mendasari pembentukan batu kalsium. Batu
asam urat dapat dijumpai pada penyakit Gout. Batu struvit mengacu pada batu
infeksi, terbentuk dalam urine kaya ammonia – alkalin persisten akibat uti
kronik. Batu urinarius dapat terjadi pada inflamasi usus atau ileostomi. Batu
sistin terjadi pada pasien yang mengalami penurunan efek absorbsi sistin (asam
ammonia) turunan. (brunner and suddatrh, 2002: 1461).
Pathway
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisa : warna kuning, coklat gelap, berdarah. Secara umum menunjukkan
adanya sel darah merah, sel darah putih dan kristal serta serpihan, mineral,
bakteri, pus, pH urine asam.
2. Urine (24 jam) : kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat atau sistin
meningkat.
3. Kultur urine : menunjukkan adanya infeksi saluran kemih.
4. Survei biokimia : peningkatan kadar magnesium, kalsium, asam urat, fosfat,
protein dan elektrolit.
5. Kadar klorida dan bikarbonat serum : peningkatan kadar klorida dan
penurunan kadar bikarbonat menunjukkan terjadinya asidosis tubulus ginjal.
6. Darah lengkap :
Sel darah putih : meningkat menunjukkan adanya infeksi.
Sel darah merah : biasanya normal.
Hb, Ht : abnormal bila pasien dehidrasi berat atau polisitemia.
7. Foto rontgen : menunjukkan adanya kalkuli atau perubahan anatomik pada
area ginjal dan sepanjang ureter.
8. IVP : memberikan konfirmasi cepat urolithiasis, seperti penyebab nyeri
abdominal atau panggul.
9. USG Ginjal : untuk menentukan perubahan obstruksi, lokasi batu.
F. Penatalaksanaan Medis
Tujuan dasar penatalaksanaan medis batu saluran kemih adalah untuk
menghilangkan batu, menentukan jenis batu, mencegah kerusakan nefron,
mengendalikan infeksi, dan mengurangi obstruksi yang
terjadi. Batu dapat dikeluarkan dengan cara medikamentosa,
pengobatan medik selektif dengan pemberian obat-obatan, tanpa operasi, dan
pembedahan terbuka.
1. Medikamentosa
Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang berukuran lebih kecil yaitu
dengan diameter kurang dari 5 mm, karena diharapkan batu dapat keluar
tanpa intervensi medis. Dengan cara mempertahankan keenceran urine dan
diet makanan tertentu yang dapat merupakan bahan utama pembentuk batu (
misalnya kalsium) yang efektif mencegah pembentukan batu atau lebih jauh
meningkatkan ukuran batu yang telah ada. Setiap pasien batu saluran kemih
harus minum paling sedikit 8 gelas air sehari.
Diet atau pengaturan makanan sesuai jenis batu yang ditemukan :
a. Batu kalsium oksalat
Makanan yang harus dikurangi adalah jenis makanan yang mengandung
kalsium oksalat seperti bayam, daun seledri, kacang-kacangan, kopi, teh,
dan coklat. Sedangkan batu kalsium fosfat : mengurangi makanan yang
mengandung kalsium tinggi seperti : ikan laut, kerang, daging, sarden,
keju dan sari buah.
b. Batu asam urat
Makanan yang dikurangi : daging, kerang, gandum, kentang, tepung-
tepungan, saus dan lain-lain.
c. Batu struvite
Makanan yang dikurangi : keju, telur, buah murbai, susu dan daging.
d. Batu cystin
Makanan yang dikurangi : sari buah, susu, kentang. Anjurkan pasien
banyak minum : 3-4 liter/hari serta olahraga yang teratur.
2. Pengobatan medic selektif dengan pemberian obat-obatan
Analgesik dapat diberikan untuk meredakan nyeri dan mengusahakan agar
batu dapat keluar sendiri secara spontan. Opioid seperti injeksi morfin sulfat
yaitu petidin hidroklorida atau obat anti inflamasi nonsteroid seperti ketorolac
dan naproxen dapat diberikan tergantung pada intensitas nyeri. Propantelin
dapat digunakan untuk mengatasi spasme ureter. Pemberian antibiotik apabila
terdapat infeksi saluran kemih atau pada pengangkatan batu untuk mencegah
infeksi sekunder. Setelah batu dikeluarkan, batu saluran kemih dapat
dianalisis untuk mengetahui komposisi dan obat tertentu dapat diresepkan
untuk mencegah atau menghambat pembentukan batu berikutnya.
3. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)
Merupakan tindakan non-invasif dan tanpa pembiusan, pada tindakan ini
digunakan gelombang kejut eksternal yang dialirkan melalui tubuh untuk
memecah batu. Alat ESWL adalah pemecah batu yang diperkenalkan
pertama kali oleh Caussy pada tahun 1980. Alat ini dapat memecah batu
ginjal, batu ureter proximal, atau menjadi fragmen-fragmen kecil sehingga
mudah dikeluarkan melalui saluran kemih. ESWL dapat mengurangi
keharusan melakukan prosedur invasif dan terbukti dapat menurunkan lama
rawat inap di rumah sakit.
4. Endourologi
Tindakan endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk mengeluarkan
batu saluran kemih yang terdiri atas memecah batu, dan kemudian
mengeluarkannya dari saluran kemih melalui alat yang dimasukan langsung
kedalam saluran kemih.
5. Tindakan Operasi
Tindakan bedah dilakukan jika batu tidak merespon terhadap bentuk
penanganan lainnya. Ada beberapa jenis tindakan pembedahan, nama dari
tindakan pembedahan tersebut tergantung dari lokasi dimana batu berada,
yaitu :
 Nefrolitotomi merupakan operasi terbuka untuk mengambil batu yang
berada di dalam ginjal
 Ureterolitotomi merupakan operasi terbuka untuk mengambil batu yang
berada di ureter
 Vesikolitomi merupakan operasi tebuka untuk mengambil batu yang
berada di vesica urinaria
 Uretrolitotomi merupakan operasi terbuka untuk mengambil batu yang
berada di uretra
BAB II
(Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Batu Saluran Kemih/Batu Buli-buli)

A. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu
proses yang sistematik dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2000) yang
terdiri dari :
1. Identitas Klien
Identitas klien terdiri atas nama, jenis kelamin, usia, status perkawinan,
agama, suku bangsa, pendidikan, bahasa yang digunakan, pekerjaan dan
alamat.
2. Riwayat Keperawatan
 Riwayat kesehatan masa lalu
 Apakah klien pernah menderita batu saluran kemih sebelumnya atau
infeksi saluran kemih, apakah klien pernah dirawat atau dioperasi
sebelumnya
 Riwayat kesehatan sekarang
 Biasanya klien mengalami nyeri pada sudut kostovertebralis, dan
didapatkan nyeri tekan dan nyeri ketok, biasanya klien mengalami mual,
muntah, hematuri, Buang Air Kecil (BAK) menetes, BAK tidak tampias,
rasa terbakar, penurunan haluaran urin, dorongan berkemih.
3. Riwayat Kesehatan keluarga
Adakah riwayat batu saluran kemih dalam keluarga
4. Riwayat Psikososial
Adakah ditemukan depresi, marah atau stress
5. Pola Kebiasaan sehari-hari
a. Aktivitas / Istirahat
Gejala : Pekerjaan monoton, pekerjaan dimana pasien terpajan pada
lingkungan bersuhu tinggi. Keterbatasan aktivitas / mobilisasi
sehubungan dengan kondisi sebelumnya
b. Sirkulasi
Tanda : Peningkatan TD/nadi (nyeri, ansietas, gagal Ginjal), Kulit
kemerahan dan hangat; pucat.
c. Eliminasi
Gejala :
a) Riwayat adanya ISK kronis, obstruksi sebelumnya (kalukulus)
b) Penurunan haluaran urine, kandung kemih penuh.
c) Rasa terbakar, dorongan berkemih
d) Diare
Tanda : Olisuria, hematuria, piuria, perubahan pola berkemih
d. Makanan/cairan
Gejala :
a) Mual / muntah, nyeri tekan abdomen
b) Diet tinggi purin, kalsium oksalat, dan / atau fosfat
c) Ketidak cukupan pemasukan cairan; tidak minum air dengan cukup
Tanda : Distensi abdominal, penurunan / tak adanya bising usus. Muntah.
e. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Episode akut nyeri beri, nyeri kolik. Lokasi tergantung pada
lokasi batu, contoh pada panggul diregion sudut kostovertebra, dapat
menyebar kepunggung, abdomen dan turun kelipat paha/genital. Nyeri
dangkal konstan menunjukkan kalkulus ginjal. Nyeri dapat digambarkan
sebagai akut, hebat tidak hilang dengan posisi atau tindakan lain.
Tanda : Melindungi ; perilaku distraksi. Nyeri tekan pada area ginjal pada
palpasi
f. Keamanan
Gejala : Penggunaan alcohol. Demam, menggigil.
Penyuluhan/pembelajaran
Gejala :
 Riwayat kalkulus dalam keluarga, penyakit ginjal, hipertensi, cout,
ISK kronis
 Riwayat penyakit usus halus, bedah abdomen sebelumnya,
hiperparatinoklisme
 Penggunaan antibiotic, antihipertensi, natrium bikarbonat, alupurinol,
fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan kalsium atau vitamin.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat kami angkat yakni :
1. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan frekuensi / dorongan
kontraksi ureteral, trauma jaringan.
2. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan stimulasi kandung kemih
oleh batu, iritasi ginjal atau ureteral, obstruksi mekanik
3. Resti kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual / muntah
4. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajan, salah
interpretasi informasi, sikap acuh terhadap interpretasi.
C. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan frekuensi / dorongan kontraksi
ureteral, trauma jaringan.
Intervensi Keperawatan
 Kaji intensitas, lokasi, frekuensi dan penyebaran nyeri
 Kaji tanda keringat dingin, tidak dapat beristirahat, dan ekspresi wajah
 Tingkatkan pemasukan sampai 2500 ml/hari sesuai toleransi
 Berikan tindakan kenyamanan ( sentuhan terapeutik, pengubahan
posisi, pijatan punggung ) dan aktivitas terapeutik. Dorong
penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan napas dalam,
visualisasi, pedoman imajinasi.
 Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi
2. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan stimulasi kandung kemih oleh
batu, iritasi ginjal atau ureteral, obstruksi mekanik
Intervensi Keperawatan
 Awasi pemasukan dan pengeluaran cairan dan karakteristik urine
 Tingkatkan pemasukan sampai 2500 ml/hari sesuai toleransi
 Observasi perubahan status mental
 Periksa urine
 Awasi pemeriksaan laboratorium untuk elektrolit, BUN, dan kreatinin
 Kolaborasi pemberian acstazolamid/alupurinol, dan antibiotik
3. Resti kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual / muntah
Intervensi Keperawatan :
 Catat insiden muntah, diare, perhatikan karakteristik, dan frekuensi.
 Tingkatkan pemasukan cairan 3-4 lt / hari dalam toleransi jantung.
 Monitor tanda vital, evaluasi nadi, turgor kulit dan membran mukosa.
 Timbang berat badan tiap hari
 Kolaborasi:
Awasi Hb,Ht,elektrolit,
Berikan diet tepat,cairan jernih,makanan lembut s/d toleransi
4. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajan, salah interpretasi
informasi, sikap acuh terhadap interpretasi.
Intervensi Keperawatan :
 Kaji tingkat pengetahuan klien mengenai kondisinya
 Menjelaskan jenis tindakan yang akan dihadapi klien
 Memotivasi untuk minum air putih 2,5 L perhari untuk pencegahan
 Memotivasi untuk melakukan diit rendah kalsium dan protein hewani
untuk pencega
DAFTAR PUSTAKA

Blackwell, Wiley. 2014. Nursing Diagnosis: Definitions 7 Classification 2015-2017


Tenth Edition. UK NANDA International, Inc.
Borley, P. A. (2006). At a Glance Ilmu Bedah Edisi ketiga. Jakarta: Erlangga
Bulecheck G. et al. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC) Sixth Edition.
Elsevier: Saunders
Chang, Esther. 2009. Patofisiologi Aplikasi Pada Praktek Keperawatan. Jakarta:
EGC
Corwin, Elizabeth J. 2007. Buku Saku Patofisiologi Ed.3. Jakarta: EGC
Moorhead et al. 2013. Nursing Outcome Classification (NOC) Fifth Edition. Elsevier:
Saunders
Nursalam .2006. Sistem Perkemihan.Jakarta : Salemba Medika
Stoller ML Bolton DM Urinary Stone Disease In: Tanagho EA, Mc Aninch JW
Smith’s General Urology,ed.5. New York: Mc Graw-Hill Companie, 2000, 291-316.
Suharyanto, Toto dan Madjid, Abdul. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan
Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta Timur: CV. Trans Info Media
Syaifuddin,H. 2011. Anatomi Fisiologi Kurikulum Berbasis Kompetensi Edisi
ke tiga. Jakarta :EGC

Anda mungkin juga menyukai