LAPORAN PENDAHULUAN
DI SUSUN OLEH:
MAHASISWA PROFESI NERS
NENY MARWIYAH
NIM: 19640944
TAHUN 2019/2020
BAB 1
LAPORAN PENDAHULUAN
A. DEFINISI
BPH ( Benigna Prostat Hyperplasia ) adalah suatu keadaan dimana kelenjar
prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan
menyumbat aliran urine dengan menutup orifisium uretra (Smeltzer dan Bare, 2013).
Hyperplasia merupakan pembesaran ukuran sel dan diikuti oleh penambahan jumlah sel.
BPH merupakan suatu kondisi patologis yang paling umum di derita oleh laki-laki
dengan usia rata-rata 50 tahun ( Prabowo dkk, 2014 ).
Benigna prostat hiperplasia (BPH) merupakan pembesaran kelenjar dan
jaringan seluler kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan endokrin
berkenaan dengan proses penuaan (Suharyanto & Madjid, 2013).
Pembesaran prostat disebabkan oleh dua faktor penting yaitu
ketidakseimbangan hormon estrogen dan androgen, serta faktor umur atau proses
penuaan sehingga obstruksi saluran kemih dapat terjadi(Andredkk, 2011).
Adanya obstruksi ini akan menyebabkan, respon nyeri pada saat buang air
kecil dan dapat menyebabkan komplikasi yang lebih parah seperti gagal ginjal akibat
terjadi aliran balik ke ginjal selain itu dapat juga menyebabkan peritonitis atau radang
perut akibat terjadinya infeksi pada kandung kemih (Andredkk, 2011).
B. ETIOLOGI
Menurut Prabowo dkk (2014) etiologi BPH sebagai berikut:
1. Peningkatan DKT (dehidrotestosteron)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan resepto androgen akan menyebabkan epitel
dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hyperplasia.
2. Ketidak seimbangan esterogen-testosteron
Ketidak seimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada proses
penuaan, pada pria terjadi peningkan hormone estrogen dan penurunan hormon
testosteron. Hal ini yang memicu terjadinya hiperplasia stroma pada prostat.
3. Interaksi antar sel struma dan sel epitel prostat
Peningkatan kadar epidermal growth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasia stroma dan
epitel, sehingga akan terjadi BPH.
4. Berkurangnya kematian sel ( apoptosis )
Estrogen yang meningkat akan menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan
epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori stem sel
Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit dan memicu
terjadi BPH.
C. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Hariono ,(2012) tanda dan gejala BPH meliputi:
1. Gejala obstruktif
a. Hesitansi, yaitu memulai kencing yang lama dan sering kali disertai dengan
mengejan.
b. Intermittency, yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan oleh
ketidak mampuan otot destrussor dalam mempertahankan tekanan intra
vesika sampai berakhirnya miksi.
c. Terminal dribbling, yaitu menetesnya urin pada akhir kencing.
d. Pancaran lemah, yaitu kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
2. Gejala iritasi
a. Urgensi, yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit di tahan.
b. Frekuensi, yaitu penderita miksi lebih sering miksi dari biasanya dapat
terjadi pada malam dan siang hari.
c. Disuria, yaitu nyeri pada waktu kencing.
D. PATOFISIOLOGI
Pertama kali BPH terjadi salah satunya karena faktor bertambahnya usia, dimana
terjadi perubahan keseimbangan testosterone, esterogen, karena produksi testosterone
menurun, produksi esterogen meningkat dan terjadi konversi testosteron menjadi
estrogen pada jaringan adipose di perifer. Keadaan ini tergantung pada hormon
testosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi
dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron
inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk
mensistesis protein sehingga mengakibatkan kelenjar prostat mengalami hyperplasia
yang akan meluas menuju kandung kemih sehingga mempersempit saluran uretra
prostatika dan penyumbatan aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat
guna melawan tahanan itu (Presti et al, 2013). Kontraksi yang terus-menerus ini
menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor,
trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot
detrusor ini disebut fase kompensasi. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh
pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract
symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus. Dengan
semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase
dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin. Retensi urine ini diberikan obat-obatan non invasif tetapi obat-obatan ini
membutuhkan waktu yang lama, maka penanganan yang paling tepat adalah tindakan
pembedahan, salah satunya adalah TURP (Joyce, 2014) .
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan tabung
10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotongan dan counter
yang disambungkan dengan arus listrik. Trauma bekas resectocopy menstimulasi pada
lokasi pembedahan sehingga mengaktifkan suatu rangsangan saraf ke otak sebagai
konsekuensi munculnya sensasi nyeri (Haryono, 2012).
PATHWAY
Faktor usia
(usia lanjut)
Perubahan keseimbangan
hormon testosterone dan esterogen
Nyeri Akut
F. KOMPLIKASI
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan
tekanan intra abdomen yang akan menimbulkan herniadan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasidan
hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
Menurut Widijanto ( 2011 ) komplikasi BPH meliputi :
a. Aterosclerosis
b. Infark jantung
c. Impoten
d. Haemoragik post operasi
e. Fistula
f. Struktur pasca operasi dan inconentia urin
g. Infeksi
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Haryono (2012) pemeriksaan penunjang BPH meliputi :
1. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter anus
mukosa rectum kelainan lain seperti benjolan dalam rectum dan prostat.
2. Ultrasonografi (USG)
Digunakan untuk memeriksa konsistensi volume dan besar prostat juga
keadaan buli-buli termasuk residual urine.
3. Urinalisis dan kultur urine
Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBC (Red
Blood Cell) dalam urine yang memanifestasikan adanya pendarahan atau hematuria
(prabowo dkk, 2014).
4. DPL (Deep Peritoneal Lavage)
Pemeriksaan pendukung ini untuk melihat ada tidaknya perdarahan internal
dalam abdomen. Sampel yang di ambil adalah cairan abdomen dan diperiksa jumlah
sel darah merahnya.
5. Ureum, Elektrolit, dan serum kreatinin
Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini sebagai data
pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi dari BPH.
6. PA(Patologi Anatomi)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi. Sampel
jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk mengetahui apakah hanya
bersifat benigna atau maligna sehingga akan menjadi landasan untuk treatment
selanjutnya.
H. PENATALAKSANAAN
Menurut Haryono (2012) penatalaksaan BPH meliputi :
1. Terapi medikamentosa
a. Penghambat adrenergik, misalnya prazosin, doxazosin, afluzosin.
b. Penghambat enzim, misalnya finasteride
c. Fitoterapi, misalnya eviprostat
2. Terapi bedah
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala
dan komplikasi, adapun macam-macam tindakan bedah meliputi:
a. Prostatektomi
i. Prostatektomi suprapubis , adalah salah satu metode mengangkat
kelenjar melalui insisi abdomen yaitu suatu insisi yang di buat
kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.
ii. Prostaktektomi perineal, adalah mengangkat kelenjar melalui suatu
insisi dalam perineum.
iii. Prostatektomi retropubik, adalah suatu teknik yang lebih umum di
banding [endekatan suprapubik dimana insisi abdomen lebih rendah
mendekati kelenjar prostat yaitu antara arkuspubis dan kandung
kemih tanpa memasuki kandung kemih.
b. Insisi prostat transurethral (TUIP)
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan
instrumen melalui uretra. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat
berukuran kecil (30 gr / kurang) dan efektif dalam mengobati banyak kasus
dalam BPH.
c. Transuretral Reseksi Prostat (TURP)
Adalah operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop dimana resektroskop merupakan endoskopi
dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang di lengkapi dengan alat
pemotong dan counter yang di sambungkan dengan arus listrik.
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Pengkajian
a. Anamnese :
a) Identitas : identitas digunakan untuk mengetahui klien yg mengalami BPH
yang sering dialami oleh laki –laki diatas umur 45 tahun (Rendy clevo,
2012)
b) Keluhan Utama : pada klien post operasi BPH biasanya muncul keluhan
nyeri, sehingga yang perlu dikaji untk meringankan nyeri (provocative/
paliative), rasa nyeri yang dirasakan (quality), keganasan/intensitas
(saverity) dan waktu serangan, lama, (time) (Judha, dkk. 2012)
c) Riwayat penyakit sekarang: Keluhan yang sering dialami klien BPH dengan
istilah LUTS (Lower Urinary Tract Symtoms). Antara lain: hesistansi,
pancaran urin lemah, intermittensi, ada sisa urine pasca miksi, frekuensi dan
disuria (jika obstruksi meningkat).
d) Riwayat penyakit dahulu : tanyakan pada klien riwayat penyakit yang
pernah diderita, dikarenakan orang yang dulunya mengalami ISK dan faal
darah beresiko terjadinya penyulit pasca bedah (Prabowo, 2014)
2. Pemeriksaan Fisik (Data Objektif)
a. Vital sign (Tanda Vital)
a) Pemeriksaan temperature dalam batas normal
b) Pada klien post operasi BPH mengalami peningatan RR (Ackley, 2011)
c) Pada klien post operasi BPH mengalami peningkatan nadi
d) Pada klien post operasi BPH mengalami peningkatan tekanan darah
(Prabowo,2014).
3. Pemeriksaan fisik ( head to toe )
a. Mata : lihat kelopak mata, konjungtiva (pucat atau tidak) (aziz Alimul, 2009).
b. Mulut dan gigi : kaji bagaimana kebersihan rongga mulut dan bau mulut, warna
bibir (pucat atau kering), lidah (bersih atau kotor). Lihat jumlah gigi, adanya
karies gigi atau tidak (Aziz Alimul, 2009).
c. Leher : Palpasi daerah leher untuk merasakan adanya massa pada kalenjar tiroid,
kalenjar limfe, dan trakea, kaji juga kemampuan menelan klien, adanya
peningkatan vena jugularis (Aziz Alimul, 2009)
d. Dada : lihat bentuk dada, pergerakan dinding dada saat bernafas, apakah ada
suara nafas tambahan (Aziz Alimul, 2009)
e. Abdomen
Menurut Purnomo, 2009 pemeriksaan abdomen meliputi:
a) Perkusi : Pada klien post operasi BPH dilakukan perkusi pada 9 regio
abdomen untuk mengetahui ada tidaknya residual urine
b) Palpasi : Teraba kistus di daerah suprasimfisis akibat retensi urin dan
sering dilakukan teknik bimanual untuk mengetahui adanya hidronefrosis
dan pyelonefrosis.
f. Genetalia
a) Pada klien post operasi BPH terpasang treeway folley kateter dan
biasanya terjadi hematuria setelah tindakan pembedahan, sehingga
terdapat bekuan darah pada kateter. Dan dilakukan tindakan spolling
dengan Ns 0,9% / PZ, ini tergantung dari warna urine yang keluar. Bila
urine sudah jernih spolling dapat dihentikan dan pipa spolling di lepas (
Jitowiyono, dkk. 2010) .
b) Pada pemeriksaan penis, uretra dan skrotum tidak ditemukan adanya
kelainan, kecuali adanya penyakit penyerta seperti stenosis meatus,
striktur uretralis, urethralithiasis, Ca penis, maupun epididimitis
(Prabowo, 2014).
g. Ekstermitas
Pada klien post opersi BPH perlu dikaji kekuatan otot dikarenakan mengalami
penurunan kekuatan otot (Prabowo, 2014).
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera, fisisk, pembedahan
2. Hambatan aktivitas ditempat tidur berhubungan dengan keterbatasan lingkungan,
peralatan terapi.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive trauma, pembedahan
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
5. Kaji tanda-tanda
pembengkakan pada daerah
post operasi.
E. EVALUASI
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan, pada tahap ini
membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan dengan kriteria hasil. Evaluasi
berfokus pada klien, baik itu individu ataupun kelompok (Deswani, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Herdman, T Heather. 2015. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-2016. Edisi
10. Jakarta: EGC
Hidayat, A. Aziz alimul.2009. Pengantar kebutuhan dasar manusia dan aplikasi konsep dan
proses keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Sjamsuhidajat R, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC
Smeltzer dan Bare. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth
Edisi 8. Jakarta: EGC
UNIVERSITAS KADIRI
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR FEMUR
OLEH
SALMIA
NIM : 1964O863
1. Definisi
Fraktur femur atau patah tulang paha adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha
yang disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, dan kondisi tertentu, seperti
degenerasi tulang atau osteoporosis (Muttaqin, 2008).
Fraktur femur adalah hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara
klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak
(otot, kulit, jaringan saraf, dan pembuluh darah) dam fraktur femur tertutup yang
disebabkan oleh trauma langsung pada paha (Helmi, 2014 : 508).
2. Etiologi
Penyebab fraktur femur antara lain:
a. Fraktur femur terbuka disebabkan oleh trauma langsung pad paha
b. Fraktur femur tertutup disebabkan oleh trauma langsung atau kondisi tertentu,
seperti degenerasi tulang (osteoporosis) dan tumor atau keganasan tulang paha yang
menyebabkan fraktur patologis. (Arif Muttaqin, 2011)
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan seperti
:
Pemuntiran (rotasi), yang menyebabkan fraktur spiral;
Penekukan (trauma angulasi atau langsung) yang dapat menyebabkan fraktur
melintang;
Penekukan dan penekanan, yang mengakibatkan fraktur sebagian melintang tetapi
disertai fragmen kupu-kupu berbentuk segitiga yang terpisah,
Kombinasi dari pemuntiran, penekukan, dan penekanan yang menyebabkan fraktur
obliq pendek;
Penarikan dimana tendon atau ligament benar-benar menarik tulang sampai
terpisah (Helmi, 2014 : 508).
b. Kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik)
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal jika tulang itu lemah (misalnya oleh
tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh (misalnya : pada penyakit paget) (Helmi,
2014: 508 )
3.Klasifikasi
Dua tipe fraktur femur adalah sebagai berikut;
a. Fraktur interkapsuler femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul, dan
melalui kepala femur (fraktur kapital).
b. Fraktur ekstrakapsular
Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokanter femur yang lebih besar
/ lebih kecil/ pada daerah intertrokanter.
Terjadi di bagian distal menuju leher femur, tetapi tidak lebih dari 2 inci di
bawah trokanter minor.
Klasifikasi fraktur femur:
a. Fraktur leher femur
Merupakan jenis fraktur yang sering ditemukan pada orang tua terutama wanita usia
60 tahun ke atas disertai tulang yang osteoporosis. Fraktur leher femur pada anak
anak jarang ditemukan fraktur ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak
perempuan dengan perbandingan 3:2. Insiden tersering pada usia 11-12 tahun.
b. Fraktur subtrokanter
Dapat terjadi pada semua usia, biasanya disebabkan trauma yang hebat.
Pemeriksaan dpat menunjukkan fraktur yang terjadi dibawah trokanter minor.
c. Fraktur intertrokanter femur
Pada beberapa keadaan, trauma yang mengenai daerah tulang femur. Fraktur daerah
troklear adalah semua fraktur yang terjadi antara trokanter mayor dan minor. Frkatur
ini bersifat ekstraartikular dan sering terjadi pada klien yang jatuh dan mengalami
trauma yang bersifat memuntir. Keretakan tulang terjadi antara trokanter mayor dan
minor tempat fragmen proksimal cenderung bergeser secara varus. Fraktur dapat
bersifat kominutif terutama pada korteks bagian posteomedial.
4.Manifestasi klinis
a.Tanda dan gejala yang khas
Nyeri hebat di tempat fraktur
Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah
Rotasi luar dari kaki lebih pendek
Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak, kripitasi,
sepsis pada fraktur terbuka, deformitas
Nyeri
Terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang dimobilisasi.Spasme
otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirncang untuk
meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
Gerakan luar biasa
Bagian –bagian yang tidak dapat digunkan cendrung bergerak secara tidak alamiah
bukannya tetap rigid seperti normalnya.
Pemendekan tulang
Terjadi pada fraktur panjang. Karena kontraksi otot yang melekat di atas dan dibawah
tempat fraktur.
Krepitus tulang (derik tulang)
Akibat gerakan fragmen satu dengan yang lain
Pembengkakan dan perubahan warna tulang
Akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini terjadi setelah
beberapa jam atau hari.
5. Penatalaksanaan
a. Fraktur femur terbuka harus dinilai dengan cermat untuk mengetahui ada
tidaknya kehilangan kulit, kontaminasi luka, iskemia otot, cedera pada
pembuluh darah dan saraf. Intervensi tersebut meliputi:
1) Profilaksis antibiotik
2) Debridemen
Pembersihan luka dan debridemen harus dilakukan dengan sedikit mungkin
penundaan. Jika terdapat kematian jaringan yang mati dieksisi dengan hati-hati.
Luka akibat penetrasi fragmen luka yang tajam juga perlu dibersihkan dan
dieksisi.
3) Stabilisasi dilakukan pemasangan fiksasi interna atau eksterna.
b. Fraktur femur tertutup
Pengkajian ini diperlukan oleh perawat sebagai peran kolaboratif dalam melakukan
asuhan keperawatan.
1.Fraktur diafisis femur, meliputi:
Terapi konservatif
Traksi kulit merupakan pengobatan sementara sebelum dilakukan
terapi definitif untuk mengurangi spasme otot.
Traksi tulang berimbang denmgan bagian pearson pada sendi lutut.
Indikasi traksi utama adalah faraktur yang bersifat kominutif dan
segmental.
Menggunakan cast bracing yang dipasang setelah union fraktur secara
klinis.
2)Terapi Operasi
Pemasangan plate dan screw pada fraktur proksimal diafisis atau distal
femur
Mempengaruhi k nail, AO nail, atau jenis lain, baik dengan operasi
tertutup maupun terbuka. Indikasi K nail, AO nail terutama adalah farktur
diafisis.
Fiksassi eksterna terutama pada fraktur segmental, fraktur kominutif,
infected pseudoarthrosis atau fraktur terbuka dengan kerusakan
jaringan lunak yang hebat.
3) Fraktur suprakondilar femur, meliputi:
Traksi berimbang dengan menggunakan bidai Thomas dan penahan
lutut Pearson, cast bracing, dan spika panggul.
Terapi operatif dilakukan pada fraktur yang tidak dapat direduksi secara
konservatif. Terapi dilakukan dengan mempergunakan nail- phorc dare
screw dengan berbagai tipe yang tersedia (Muttaqin, 2011).
6.Patofisiologi
Pada dasarnya penyebab fraktur itu sama yaitu trauma, tergantung dimana
fraktur tersebut mengalami trauma, begitu juga dengan fraktur femur ada dua faktor
penyebab fraktur femur, faktor-faktor tersebut diantaranya, fraktur fisiologis
merupakan suatu kerusakan jaringan tulang yang diakibatkan dari kecelakaan,
tenaga fisik, olahraga, dan trauma dan fraktur patologis merupakan kerusakan
tulang terjadi akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat
mengakibatkan fraktur (Rasjad, 2007).
Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan
adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolik dan
patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang terbuka ataupun
tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan pendarahan, maka
volume darah menurun. COP atau curah jantung menurun maka terjadi perubahan
perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi
edema lokal maka terjadi penumpukan didalam tubuh. Disamping itu fraktur terbuka
dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi
terkontaminasi dengan udara luar dan kerusakan jaringan lunak yang akan
mengakibatkan kerusakan integritas kulit.
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan
metabolik, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Baik fraktur terbuka atau
tertutup akan mengenai serabut syaraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa
nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang sehingga akan terjadi masalah
neurovaskuler yang akan menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik
terganggu. Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan
dilakukan immobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah
dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh.
PATHWAY
Trauma Langsung Trauma Tidak Langsung Kondisi Parhologis
Fraktur Femur
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu
proses pengumpulan data yang sistematis dari berbagai sumber untuk mengevaluasi
dan mengidentifikasi status kesehatan klien (lyer et al, 1996 dalam nursalam 2011 :
29).
a.Anamnesis
Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahsa yang digunkan, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, nomor register,
tanggal dan jam masuk rumah sakit, dan diagnosis medis.
Pada umumnya, keluhan utama pada kasus fraktur femur adalah rasa nyeri yang
hebat. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap mengenai rasa nyeri klien,
perawat mengunakan OPQRSTUV.
O (onset)
P (Provoking Incident): hal yang menjadi faktor presipitasi nyeri adalah trauma
bagian pada
Q (quality of pain): klien merasakan nyeri yang bersifat menusuk. R (Region,
Radiation, Relief): nyeri yang terjadi di bagian paha yang mengalami patah tulang.
Nyeri dapt reda dengan imobilisasi atau istirahat.
S (Scale of pain): Secara subyektif, nyeri yang dirasakan klien antara 2-4 pada skala
pengukuran 0-4
T (Treatment)
U (Understanding) V (Value)
Riwayat penyakit sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang paha, pertolongan
apa yang telah didapatkan, dan apakah sudah berobt ke dukun patah. Dengan
mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaaan, perawat dapat mengetahui luka
kecelakaan yang lain.
Riwayat penyakit dahulu
Penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget menybabkan fraktur
patologis sehingga tulang sulit untuk menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan
luka di kaki sangat beresiko terjadi osteomielitis akut dan kronis dan penyaklit
diabetes melitus menghambat proses penyembuhan tulang.
Riwayat penyaklit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang paha adalah faktor
predispossisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang sering terjadi pada
beberapa keturunan dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
Riwayat psikospiritual
Kaji respon emosis klien terhadap penyakit yang dideritanya, peran klien dalam
keluarga, masyarakat, serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari,
baik dalam keluarga maupun masyarakat.
b.Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status gheneral)
untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokal)
1.Pemeriksaan keadaan umum
Keadaan baik dan buruknya klien. Tanda-tanda gejala yang perlu dicatat adalah
kesadaran diri pasien (apatis, sopor, koma, gelisah, komposmetis yang bergantung
pada keadaan klien), kesakitan atau keadaaan penyakit (akut, kronis, berat, ringan,
sedang, dan pada kasus fraktur biasanya akut) tanda vital tidak normal karena ada
gangguan lokal baik fungsi maupun bentuk.
Inspeksi tidak ada iktus jantung, palpasi nadi meningkat iktus tidak teraba,
auskultasui suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada murmur.
B3 (Brain)
a) Tingkat kesadaran biasanya komposmentis.
Kepala: Tidak ada gangguan, yaitu normosefalik, simetris., tidak ada
penonjolan, tidak ada sakit kepala.
Leher: Tidak ada gangguan, simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
Wajah : Wajah terlihat menahan sakit dan bagian wajah yang lain
tidak mengalami perubahan fungsi dan bentuk. Wjah simetris, tidak
ada lesi dan edema.
Mata: Tidak ada gangguan, konjungtiva tidak anemis (pada klien
dengan patah tulang tertutup tidak terjadi perdarahan). Klien yang
mengalami fraktur femur terbuka biasanya mengfalami perdarahan
sehingga konjungtiva nya anemis.
Telinga : Tes bisik dan weber msih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi dan nyeri tekan.
Hidung: Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung.
Mulut dan Faring: Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
b) Pemeriksaan fungsi serebral
Status mental, observasi penampilan, dan tingkah laku klien. Biasanya status
mental tidak mengalami perubahan.
c) Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I: fungsi pendiuman tidak ada gangguan.
Saraf II: ketajaman penglihatan normal
Saraf III, IV, VI: tidak ada gangguan mengangkat kelopak mata,
pupil isokor.
Saraf V: tidak mengal;ami paralisis pada otot wajah dan reflek
kornea tidak ada kelainan.
Saraf VII: persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah
simetris.
Saraf VIII: tidak ditemukan tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X: kemampuan menelan baik
Saraf XI: tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius.
Saraf XII: ;idah simeteris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada faskulasi. Indra pengecapan normal.
d) Pemeriksaan refleks
Biasnya tidak ditemukan reflek patologis.
e) Pemeriksaan sensori
Daya raba klien fraktur femur berkurang terutama pada bagian distal fraktur,
sedangkan indra yang lain dan kognitifnya tidak menga;lami
gangguan. Selian itu, timbul nyeri akibat fraktur.
B4 (Bladder)
Kaji urine yang meliputi wana, jumlah dan karakteristik urine, termasuk
berat jenis urine. Biasanya klien fraktur femur tidak mengalami
gangguan ini.
B5 (Bowel)
Inspeksi abdomen: bentuk datar, simetris, tidak ada hernia. Palpasi:
turgor baik, tidak ada defans muskular dan hepar tidk teraba. Perkusi:
suiara timpani, ada pantulan gelombang cairan. Auskultasi peristaltik
normal. Inguinal,genital: hernia tidak teraba, tidak ada pembesaran limfe
dan tidak ada kesulitan BAB.
B6 (Bone)
Adanmya fraktur femur akan mengganggu secara lokal, baik fungsi
motorik, sensorik maupun peredaran darah.
LOOK
Pada sistem integumen terdapat eritema, suhu disekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, edema dan nyeri tekan. Perhatikan adanya
pembengklakan yang tidak biasa (abnormal) dan deformitas. Perhatikan
adanya sindrom kompartemen pada bagian distal fraktur femur. Apabila
terjadi fraktur terbuka, perawat dapat menemukan adanya tanda-tanda
trauma jaringan lunak sam[pai kerusakann intergritas kulit. Fraktur obli,
spiral atau bergeser mengakibatkan pemendekan batang femur. Ada
tanmda cedera dan kemungkinan keterlibatan berkas neurovaskular
(saraf dan pembuluh darah) paha, seperti bengkak atau edema.
Ketidakmampuan menggerakkan tungkai. Terlihat adanya luka terbuka
pada paha dengan deformitas yang jelas.Kaji berapa luas kerusakan
jaringan lunak yang terlibat. Kaji apakah pada luka terbuka ada fragmen
tulang yang keluar dan apakah terdapat adanya kerusakan pada arteri
yang beresiko akan meningkatkan respons syok hipovolemik
FEEL
Kaji adnya nyeri tekan (tenderness) dan krepitasi pada daerah paha.
MOVE
Pemeriksaan dengan menggerakkan eksteremitas apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Dilakukan pencatatan rentang gerak.
Dilakukan pemeriksaan gerak aktif dan pasif. Berdasar pemeriksaan
didapat adanya gangguan / keterbatasan gerak tungkai,
ketidakmampuan menggerakkan tungkai, penurunan kekuatan otot.
fasilitasi melakukan
ambulasi
libatkan keluarga untuk
membantu pasien
meningkatkan ambulasi
identifikasi kebiasaan
aktivitas sesuai usia
berikan dukungan dalam
perawatan diri
monitor tingkat
kemandirian
identifikasi kebutuhan di
lakukan pembidaian,
monitor bagian distal
area/daerah cedera
misalnya (pulsasi
nadi,pengisian
kapiler,gerakan motorik
dan sensasi serta adanya
perdarahan.
3 Edukasi :
jelaskan tujuan dan
prosedur ambulasi
ajarkan ambulasi
sederhana.
3 Gangguan integritas jaringan Setelah di lakukan 1. Observasi:
berhubungan dengan perawatan 1 kali 24 jam Identifiksi penyebab
penurunan di harapkan gangguan gangguan integritas jaringan
mobilitas.(imobilisasi). integritas jaringan /kulit (mis,penurunan
teratasi mobilitas)
2. Therapeutik :
Lakukan perawatan area luka
gunakan produk berbahan
ringan Dan hipoalergik pada
kulit sensitif
Berikan dukungan dalam
perawatan diri
3. Edukasi :
Anjurkan menggunakan
pelembab
Anjurkan minum air yang
cukup
Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
Anjurkan meningkatkan
asupan buah dan sayur
4. Kolaborasi dalam pemberian
obat kulit atau jaringan
4.kolaborasi :
pemberian cairan, dan
transfusi bila perlu.
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.
Rasjad, C. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT.Yarsif
Watampone.
OLEH
2. Etiologi
Sampai saat ini, penyebab pasti tumor payudara
belum diketahui. Namun, secara garis besar penyebab ca mammae dapat
dikelompokkan dalam 3 kategori, yaitu :
1. Faktor Genetik
Setiap kanker bisa dipandang sebagai proses genetic karena kanker terjadi dari
perubahan genetic atau mutasi. Hanya sebagian kecil kanker herditer, sisanya
adalah sporadic dan berhubungan dengan mutasi yang didapatkan selama
hidup. Individu yang membawa mutasi genetik, lahir satu langkah lebih dekat
dengan timbulnyatumor dan mempunyai kecenderungan menderita kanker pada
usia muda. Pada kanker payudara prose ini bisa langsung dari mutasi genetik,
hyperplasia, karsinoma in situ, kemudian kanker metastatik. Pada kanker
payudara herediter, terjadi pertama kali adalah mutasi yang berhubungan
dengan repair DNA dan apoptosis.
2. Faktor Hormonal
Hormon estrogen merupakan hormone utama pemicu timbulnya kanker
payudara. Pada wanita dengan kadar estrogen yang tinggi seperti nuliparitas,
menarche awal, usia paparan estrogen lama, tidak laktasi dan terapi sulih
hormone pada menopause akan mempengaruhi perkembangan dan perubahan
dari kelenjar payudara yang memilikiberbagai macam reseptor hormone.
Paparan estrogen akan meningkatkan factor-faktor proliferasi sel dan bila tidak
terkendali secara biologis akan berkembang menjadi kanker mengikuti
tahapan-tahapannya.
3. Faktor Lingkungan
Paparan agen karsinogenesis dari lingkungan dapt berupa zat kimia , zat
makanan, infeksi, dan factor fisik seperti radioaktif dan trauma. Beberapa
factor lingkungan seperti bahan kimia organoklorin, lapangan elegtromagnetik,
merokok aktif dan pasif,dan penggunaan implant silicon, sampai saat ini belum
terbukti menaikkan resiko terjadinya kanker payudara.
Menurut Mulyani & Nuryani (2013), jika metastase (penyebaran) luas, maka
tanda dan gejala yang biasa muncul adalah:
Hipoksia
Peningkatan Suplai nutrisi Nyeri
konsistensi mammae ke jaringan lain Akut
Necrosis jaringan
Defisit Nutrisi
Massa tumor mendesak Resiko Infeksi
ke jaringan luar
Infiltrasi pleura
perietale
Ekspansi paru
menurun
8. Penatalaksanaan
a. Pembedahan
Mastektomi adalah operasi pengangkatan mammae. Ada 3 jenis
mastektomi yaitu :
Modified Radycal Mastectomy, yaitu operasi pengangkatan seluruh
mammae, jaringan mammae di tulang dada, tulang selangka dan tulang iga,
serta benjolan disekitar ketiak.
Total (Simple) Mastectomy, yaitu operasi pengangkatan seluruh mammae
saja, tanpa kelenjar di ketiak.
Radical Mastectomy, yaitu operasi pengangkatan sebagian dari mammae.
Biasanya disebut Lumpectomy, yaitu pengangkatan hanya pada jaringan
yang mengandung sel kanker, bukan seluruh mammae. Biasanya
lumpectomy direkomendasikan pada pasien yang besar tumornya kurang
dari 2 cm dan letaknya di pinggir mammae.
Kelenjar Getah Bening (KGB) Ketiak.
Pengangkatan KGB Ketiak dilakukan terhadap penderita ca mammae yang
menyebar tetapi besar tumornya lebih dari 2,5 cm (Tapan, 2005).
b. Non Pembedahan
Terapi radiasi
Radiasi adalah proses penyinaran pada daerah yang terkena ca dengan
menggunakan sinar X dan sinar gamma yang bertujuan membunuh sel
kanker yang masih tersisa di mammae setelah operasi. Efek pengobatan ini
adalah tubuh menjadi lemah, nafsu makan berkurang, warna kulit di sekitar
mammae menjadi hitam serta Hb dan leukosit cenderung menurun sebagai
akibat dari radiasi.
Kemoterapi
Kemoterapi adalah proses pemberian obat-obatan anti kanker dalam bentuk
pil cair atau kapsul atau melalui infus yang bertujuan membunuh sel
kanker. Obat –obatan ini tidak hanya membunuh sel kanker pada mammae,
tetapi juga seluruh sel dalam tubuh. Efek dari kemoterapi adalah pasien
mengalami mual dan muntah serta rambut rontok. Sistematik setelah
mastektomi, paliatif pada penyakit yang lanjut.
Terapi hormon dan endokrin
Pemberian hormon dilakukan apabila penyakit telah sistemik berupa
metastasis jauh. Terapi hormonal biasanya diberikan secara paliatif
sebelum kemoterapi. Obat-obat penghambat hormon (obat yang
mempengaruhi kerja hormon yang menyokong pertumbuhan sel kanker)
digunakan untuk menekan pertumbuhan sel kanker di seluruh tubuh.
Diberikan pada kanker yang telah menyebar, memakai estrogen, androgen,
antiestrogen, coferektomi adrenalektomi hipofisektomi (Tapan, 2005).
3. Rencana Keperawatan
Perencanaan merupakan bagian proses keperawatan yang
mengidentifikasi masalah/ kebutuhan pasien, tujuan/ hasil perawatan, dan
intervensi untuk mencapai hasil yang diharapkan dan menangani masalah/
kebutuhan pasien. (Doenges, Moorhouse, & Burley, 2000).
4.
Diagnosa Tujuan Intervensi
Defisit nutrisi b/d Setelah dilakukan intervensi Manajemen nutrisi
peningkatan nutrisi keperawatan selama 3 x 24 1. Observasi
ke jaringan kanker jam diharapkan nutrisi Identifikasi status nutrisi
d/d berat badan tepenuhi dengan kriteria Identifikasi alergi dan intoleransi
menurun, nafsun Hasil : makanan
makan menurun Adanya peningkatan Identifikasi makanan yang disukai
berat badan sesuai Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
dengan tujuan nutrient
Mampu Identifikasi perlunya penggunaan
mengidentifikasi selang nasogastric
kebutuhan nutrisi Monitor asupan makanan
Tidak ada tanda tanda Monitor berat badan
malnutrisi Monitor hasil pemeriksaan
Tidak terjadi penurunan laboratorium
berat badan yang berarti 2. Teraupetik
Lakukan oral hygiene sebelum makan,
jika perlu
Fasilitasi menentukan pedoman diet (
mis, piramida makanan)
Sajikan makanan secara menarik dan
suhu yang sesuai
Berikan makanan tinggi serat untuk
menghindari konstipasi
Berikan makanan tinggi kalori dan
tinggi protein
Berikan suplemen makanan, jika perlu
Hentikan pemberian makanan melalui
selang nasogastric jika asupan oral dapt
ditoleransi
3. Edukasi
Anjurkan posisi duduk, jika mampu
Anjarkan diet yang diprogramkan
4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian medikasi
sebelum makan (mis, pereda nyeri,
antiemetic), jika perlu
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrient yang dibutuhkan, jika perlu.
Nyeri Kronis b/d Setelah dilakukan intervensi Manajemen nutrisi
adanya penekanan keperawatan selama 3 x 24 1. Observasi
massa tumor d/d jam diharapkan nyeri Identifikasi lokasi, durasi, frekuensi,
nyeri, wajah teratasi dengan kriteria kualitas, intensitas nyeri.
Nampak meringis Hasil : Identifikasi skala nyeri
Mampu mengontrol Identifikasi respon verbal dan non
nyeri (tahu penyebab verbal
nyeri, mampu Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
menggunakan tehnik nutrient
nonfarmakologi untuk Identifikasi factor yang memperberat
mengurangi nyeri, dan memperingan nyeri
mencari bantuan) Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
Melaporkan bahwa nyeri tentang nyeri
berkurang dengan Identifikasi pengaruh budaya terhadap
menggunakan respon nyeri
manajemen nyeri Identifikasi pengaruh nyeri pada
Mampu mengenali nyeri kualitas hidup
(skala, intensitas, Monitor keberhasilan terapi
frekuensi dan tanda komplementeryang sudah diberikan
nyeri) Monitor efek samping penggunaan
Menyatakan rasa analgetik
nyaman setelah nyeri 9. Teraupetik
berkurang Berikan teknik non farmakologis untuk
Tanda vital mengurangi rasa nyeri(mis ; TENS,
dalam rentang normal akupresur, hypnosis, terapi
music,biofeddback, terapi
pijat,aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing,kompres hangat atau
dingin).
Control lingkungan yang memperberat
rasa nyeri.
Sajikan makanan secara menarik dan
suhu yang sesuai
Fasilitasi istirahat dan tidur
Pertimbangakan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri
Berikan suplemen makanan, jika perlu
Hentikan pemberian makanan melalui
selang nasogastric jika asupan oral dapt
ditoleransi
10. Edukasi
Jelaskan penyebab, periode dan pemicu
nyeri
Jelaskan strategi meredakan nyeri
Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
Anjurkan menggunakan anelgetik
secara tepat.
Anjurkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri.
11. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu
Pola nafas tidak Pemantauan respirasi
efektif 1. Observasi
berhubungan Monitor frekuensi, irama, kedalaaman
dengan ekspansi dan upaya nafas
Paru ditandai Monitor pola nafas (seperti bradipnea,
dengan pola nafas takipnea,hiperventilasi,
abnormal, kusmaul,cheyne-stokes, biot, ataksis)
penggunaan otot Monitoradanya sumbatan jalan nafas
banttu pernafasan Palpasi kesimetrisanekspansi paru
Auskultasi bunyi nafas
Monitor saturasi oksigen
Monitor nilai AGD
Monitor hasil x-ray thoraks
2. Teraupetik
Atur interval pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
Dokumentasikan hasil pemantauan
3. Edukasi
Jelaskan tujuan dan prosedur
pemanatauan
Informasikan hasil pemantauan, jika
perlu
Gangguan Setelah dilakukan intervensi Perawatan integritas kulit
integritas kulit / keperawatan selama 3 x 24 1. Observasi
jaringan b/d jam waktu penyembuhan Identifikasi penyebab gangguan
perfusi jaringan kulit meningkat, dengan integritas kulit (mis: perubahan
terganggu d/d kriteria hasil: sirkulasi, perubahan status nutrisi,
perdarahan, Perfusi jaringan baik penurunan kelembaban, suhu
kemerahan, nyeri Menunjukkan lingkungan ekstrem, penurunan
pemahaman dalam mobilitas).
proses perbaikan kulit 2. Teraupetik
dan mencegah terjdinya Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
cedera berulang 3. Edukasi
Mampu melindungi kulit Anjurkan minum air yang cukup
dan mempertahankan Anjurkan meningkatkan asuapan nutrisi
kelembaban kulit dan Anjurkan menghindari terpapar suhu
perawaatan alami ekstrem
Perawatan luka
1. Observasi
Monitor karakteristik luka(mis;
drainase, warna, ukuran ,bau)
Monitor tanda-tanda infeksi
2. Teraupetik
Lepaskan balutan dan plester secara
perlahan
Bersihan dengan cairan Naclatau
pembersih nontoksik, sesuai kebutuhan.
Bersihkan jaringan nekrotik
Berikan salep yang sesuai kekulit/lesi,
jika perlu
Pasang balutan sesuai jenis luka.
Pertahankan teknik steril saat
melakukan perawatan luka.
Ganti balutan sesuai jumlah eksudat
dan drainase
Jadwalkan pemberian posisi setiap 2
jam atau sesuai kondisi pasien
3. Edukasi
Jelaskan tanda dan gejala infeksi
Anjurkan mengkonsumsi makanan
tinggi kalori dan protein
Anjurkan prosedur perawatan luka
secara mandiri
4. Kolaborasi
Kolaborasi prosedur debridement (mis:
enzimatik, biologis, mekanis, autolitik),
jika perlu
Kolaborasi pemberian antibiotic, jika
perlu
Resiko infeksi d/d Setelah dilakukan intervensi Pencegahan Infeksi
rubor, kalor, dolor, keperawatan selama 3 x 24 1. Observasi
tumor jam diharapkan infeksi tidak Monitor tanda dan gejala infeksi local
terjadi dengan kriteria hasil: dan sistemik
Klien bebas dari tanda 2. Teraupetik
dan gejala infeksi Batasi jumlah pengunjung
Jumlah leukosit berada Berikan perawatan kulit pada area
pada batas normal edema.
Klien mampu Cuci tangan sebelum kontak dengan
mengidentifikasi dan pasien dan lingkungan pasien
berpartisipasi dalam Pertahankan teknik aseptic pada pasien
tindakan pencegahan beresiko tinggi.
infeksi 3. Edukasi
Jelaskan tanda dan gejala infeksi
Anjurkan cara mencuci tangan dengan
benar
Ajarkan cara memeriksa kondisi luka
atau luka operasi
Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
Anjurkan meningkatkan asupan cairan
4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian imunisasi, jka
perlu
Ansietas b/d Setelah dilakukan intervensi Reduksi Ansietas
diagnosa, keperawatan selama 1 x 24 1. Observasi
pengobatan, dan jam diharapkan cemas Identifikasi saat tingkat ansietas
prognosanya d/d berkurang, dengan kriteria berubah (mis: kondisi, waktu, stressor).
gelisah, tegang, hasil : Identifikasi kemampuan mengambil
bingung Klien mampu keputusan
mengidentifikasi dan Monitor tanda-tanda ansietas (verbal
mengungkapkan gejala dan non verbal)
cemas 2. Teraupetik
Mengidentifikasi, Ciptakan suasana teraupetik untuk
mengungkapkan, dan menumbuhkan kpercayaan
menunjukkan teknik Temani pasien untuk mengurangi
mengontrol cemas kecemasan, jika perlu.
Vital sign dalam batas Pahami situasi yang membuat ansietas.
normal Dengarkan dengan penuh perhatian.
Postur tubuh, ekspresi Gunakan pendekatan yang tenang
wajah, bahasa tubuh dan menyakinkan.
tingkat aktivitas Motivasi mengidentifikasi situasi yag
menunjukkan memicu kecemasan
berkurangnya 3. Edukasi
kecemasan Jelaskan prosedur, termasuk sensasi
yang mungkin dialami
Informasikan secara factual mengenai
diagnosis, pengobatan, dan prognosis.
Anjurkan keluarga untuk tetap bersama
pasien, jika perlu.
Anjurkan melakukan kegiatan yang
kompetatif sesuai kebutuhan.
Anjurkan mengungkapkan perasaan
dan persepsi.
Latih kegiatan pengalihan untuk
mengurangi ketegangan
Latih penggunaan mekanisme
pertahanan diri yang tepat
Latih teknik relaksasi.
Defisit Setelah dilakukan intervensi Edukasi kesehatan
pengetahuan b/d keperawatan selama 1 x 24 1. Observasi
kurang pemajanan jam diharapkan pasien dapat Identifikasi kesiapan dan kemapuan
informasi d/d mengetahui tentang menerima informasi.
menunjukan penyakitnya, dengan kriteria 2. Teraupetik
persepsi yang hasil: Sediakan materi dan media pendidikan
keliru terhadap Pasien dan keluarga kesehatan
masalah menyatakan pemahaman Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai
tentang penyakit, kesepakatan.
kondisi, prognosis dan Berikan kesempatan untuk bertanya
program pengobatan 3. Edukasi
Pasien dan keluarga Jelaskan factor resiko yang
mampu melaksanakan mempengaruhi kesehtan.
prosedur yang dijelaskan Ajarkan strategiyang dapat digunakan
secara benar untuk meninkatkan prilaku hidup sehat.
Pasien dan keluarga
mampu menjelaskan
kembali apa yang
dijelaskan perawat/ tim
kesehatan lainnya
Gangguan citra Setelah dilakukan intervensi Promosi citra tubuh
tubuh b/ d keperawatan selama 1 x 24 1. Observasi
kehilangan bagian jam citra tubuh kembali Identifikasi harapan citra tubuh
dan fungsi tubuh efektif, dengan kriteria berdasarkan tahap perkembangan
d/d kehilangan hasil: Identifikasi agama, budaya, jenis
bagian tubuh, Gambaran tubuh positif kelamin dan umur terkait citra tubuh.
focus berlebihan Mampu Identifikasi perubahan citra tubuh yang
pada bagian tubuh, mengidentifikasi mengakibatkan isolasi soisal
hubungan social kekuatan personal Monitor frekuensi pernyataan kritik
berubah Mendiskripsikan secara terhadap diri sendiri
factual perubahan fungsi Monitor apakah pasien bisa melihat
tubuh bagian tubuh yang berubah
Mempertahankan 2. Teraupetik
interaksi sosial Diskusikan perubahan tubuh dan
fungsinya
Diskusikan perbedaan penampilan fisik
terhadap harga diri
Diskusikan kondisi stress yang yang
mempengaruhi citra tubuh(mis: luka,
penyakit dan pembedahan).
Diskusikan cara mengembangkan
harapan citra tubuh secara realistis..
Diskusikan persepsi pasien dan
keluargatentang perubahan citra tubuh
3. Edukasi
Anjurkan kepada keluarga tentang
perawatan perubahan citra tubuh.
Anjurkan mengikuti kelompok
pendukung (mis: kelompok sebaya)
Latih peningkatan penampilan
diri(mis:berdandan)
.latih pengungkapan kemampuan diri
kepada orang lain amupun kelompok.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi I cetakan
II. Jakarta ; Dewan Pengurus Persatuan Perawat Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Edisi I cetakan
III. Jakarta ; Dewan Pengurus Persatuan Perawat Indonesia
Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah vol 2. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius
Di Susun
Oleh
Fazrin Y. Nani
NPM : 19640922
4) Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan bagian dari proses keperawatan. Tujuan
implementasi adalah mengatasi masalah yang terjadi pada manusia. Setelah rencana
keperawatan disusun, maka rencana tersebut diharapkan dalam tindakan nyata untuk
mencapai tujuan yang diharapkan, tindakan tersebut harus terperinci sehingga dapat
diharapkan tenaga pelaksanaan keperawatan dengan baik dan sesuai dengan waktu
yang ditentukan Implementasi ini juga dilakukan oleh perawat dan harus menjunjung
tinggi harkat dan martabat sebagai manusia yang unik.
5) Evaluasi
Evaluasi adalah tahapan akhir dari proses keperawatan. Evaluasi menyediakan
nilai informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah direncanakan dan
merupakan perbandingan dari hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang telah
dibuat pada tahap perencanaan.
DAFTAR PUSTAKA
Fadhillah, Harif dkk. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Dewan Pengurus
Pusat. Jakarta Selatan.
Fadhillah, Harif dkk. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Dewan Pengurus
Pusat. Jakarta Selatan.
Fadhillah, Harif dkk. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Dewan Pengurus Pusat.
Jakarta Selatan.
Maudy, Sucy. 2018. Laporan Pendahuluan Cedera Kepala. Diambil dari :
https://www.studocu.com/id/document/universitas-muhammadiyah
palembang/keperawatan/summaries/laporan-pendahuluan-cedera-kepala/7810803/view.
Diakses pada tanggal 23 Juli 2020
Putra, Eka Prima. Laporan Pendahuluan Cedera Kepala. Diambil dari
https://www.academia.edu/28406122/LAPORAN_PENDAHULUAN_CIDERA_KEPALA_
ok. Diakses pada tanggal 23 Juli 2020
Grace, Pierce A & Borley, Neil R. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Erlangga.
Jakarta Timur
Satyanegara, dkk. 2014. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara Edisi V. PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta
Muttaqin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Salemba Medika. Jakarta
Morton, Gallo, Hudak, 2012. Keperawatan Kritis Volume 1 & 2 edisi 8. EGC, Jakarta
LAPORAN PENDAHULUAN
DENGAN KASUS “APENDESITIS”
A. DEFINISI/PENGERTIAN
a. Peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ, dimana patogenis
utamanya diduga karena obstruksi pada lumen yang disebabkan oleh fekalit (feses
keras yang terutama disebabkan oleh serat). Patofisiologi Edisi 4 hal 448.
b. Appendisitis adalah inflamasi akut pada appendisits verniformis dan merupakan
penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat Brunner & Suddart, 2008.
c. Appendisitis adalah merupakan peradangan pada appendik periformil, yaitu saluran
kecil yang mempunyai diameter sebesar pensil dengan panjang 2-6 inci. Lokasi
appendik pada daerah illiaka kanan, dibawah katup illiocaecal, tepatnya pada dinding
abdomen dibawah titik Mc burney.
B. KLASIFIKASI
Klasifikasi apendisitis terbagi atas 2 yakni:
1. Apendisitis akut, dibagi atas:
a. Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul
striktur lokal.
b. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
2. Apendisitis kronis, dibagi atas: a. Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh
akan timbul striktur lokal. b. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring,
biasanya ditemukan pada usia tua.
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan
diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga
biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana
gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.
E. PATOFISIOLOGI
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fecolith, benda asing, striktur akibat peradagan sebelumnya
atau tumor.
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang di produksi oleh mukosa
mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak namun elastisitas
dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe
yang mengakibatkan edema, diapendesis bakteri dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah
terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai nyeri epigastrium.
Bila sekresi mucus berlanjut, tekanan akan terus meningkat, hal tersebut akan
mengakibatkan obstruksi vena, udem bertambah, dan bakteri menembus dinding.
Karena obstruksi vena dapat terbentuk thrombus yang menyebabkan timbulnya iskemi
yang bercampur kuman yang mengakibatkan timbulnya pus. Peradangan ini dapat
meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah
kanan bawah. Keadaan ini disebut appendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu maka akan terjadi infark dinding appendiks
yang diikuti dengan gangren. Stadium ini diserbut appendisitis gangrenosa. Bila dinding
yang telah raouh ini pecah maka akan terjadi appendisitis perforasi. Bila semua proses
diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah
appendiks hingga timbul suatu masa lokal yang disebut infiltrat appendikularis.
Peradangan appendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
F. PATHWAY
Apendiks
Obstruksi
Mukukosa terbendung
Apendiks tereggang
Appendicitis
Keperotenium Trombosit pada vena
Peritonitis intramular
Resiko infeksi
G. PEMERIKSAAN FISIK
a. Inspeksi
Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga
pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
b. Palpas
Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan
kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan
nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila
tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan
bawah. Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).
c. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak apendiks,
apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri,
maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan
ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika.
d. Pemeriksaan uji psoas
Dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan
dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi
aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang
meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan
nyeri.
e. Pemeriksaan uji obturator
Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi
panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan
mobturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan
menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika.
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap → Ditemukan jumlah leukosit antara
10.00020.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%. Jika terjadi peningkatan
yang lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks sudah mengalami perforasi
(pecah).
Test protein reaktif (CRP). → Ditemukan jumlah serum yang meningkat.
b. Radiologi
Pemeriksaan ultrasonografi → Ditemukan bagian memanjang pada tempat yang
terjadi inflamasi pada apendiks. Cukup membantu dalam penegakkan diagnosis
apendisitis (71 – 97 %)
CT-scan → Ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan
dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat
keakuratannya 93 – 98 %.
I. PENATALAKSANAAN
a. Bila dari hasil diagnosis positif apendisitis akut, maka tindakan yang paling tepat
adalah segera dilakukan apendiktomi. Apendiktomi dapat dilakukan dalam dua cara,
yaitu:
1. Cara terbuka
2. Cara laparoskopi.
b. Apabila apendisitis baru diketahui setelah terbentuk massa periapendikuler, maka
tindakan yang pertama kali harus dilakukan adalah pemberian/terapi antibiotik
kombinasi terhadap penderita. Antibiotik ini merupakan antibiotik yang aktif
terhadap kuman aerob dan anaerob.
Setelah gejala membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi dapat
dilakukan. Jika gejala berlanjut, yang ditandai dengan terbentuknya abses,
maka dianjurkan melakukan drainase dan sekitar 6-8 minggu kemudian
dilakukan apendisektomi.
Namun, apabila ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan
pemeriksaan klinis serta pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan tanda
radang atau abses setelah dilakukan terapi antibiotik, maka dapat
dipertimbangkan untuk membatalkan tindakan bedah.
c. Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan
Antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan
analgetik diberikan setelah diagnosa ditegakkan
Apendektomi dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.
(Brunner & Suddart, 1997)
4.IMPLEMENTASI
Implementasi dilakukan berdasarkan perencanaan yang telah dibuat.
5. EVALUASI
Diagnosa pre-tindakan
1. Pasien dapat melakukan manajemen nyeri
2. Suhu tubuh pasien dapat turun menjadi rentang normal (36,5 – 37,5o C / aksila).
3. Kebutuhan cairan pasien dapat terpenuhi
4. Cemas pasien berkurang
Diagnosa post-tindakan
1. Nyeri yang dialami pasien berkurang
2. Luka pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, lubor, tumor,
perubahan fungsi)
3. Tingkat pengetahuan orang tua pasien tentang perawatan luka dapat meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner dan Suddarth, 2008, Keperawatan Medikal Bedah, Vol. 2, Jakarta: EGC.
Carpenito, Lynda Juall- Moyet, 2007, Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10, Jakarta: EGC
Doenges, E. Marilynn, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3, Jakarta: EGC
Guyton dan Hall, 2003, Fisiologi Tubuh Manusia, Jakarta: EGC
Mansjoer A, dkk., 2012, Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media Aesculapius
Price, A. Sylvia, 2006, Patofisiologi Edisi 4, Jakarta: EGC
LAPORAN PENDAHULUAN
TUMOR OTAK
Disusun Oleh:
Ilmiati
NIM: 19640875
2. ETIOLOGI
1. Herediter
Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang ditemukan kecuali pada
meningioma, astrocytoma dan neurofibroma dapat dijumpai pada anggota-anggota
sekeluarga. Sklerosis tuberose atau penyakit Sturge-Weber yang dapat dianggap
sebagai manifestasi pertumbuhan baru memperlihatkan faktor familial yang jelas.
Selain jenis-jenis neoplasma tersebut tidak ada bukti-bukti yang kuat untuk
memikirkan adanya faktor-faktor hereditas yang kuat pada neoplasma.
3. Radiasi
Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat mengalami
perubahan degenerasi namun belum ada bukti radiasi dapat memicu terjadinya suatu
glioma. Meningioma pernah dilaporkan terjadi setelah timbulnya suatu radiasi.
4. Virus
Banyak penelitian tentang inokulasi virus pada binatang kecil dan besar yang
dilakukan dengan maksud untuk mengetahui peran infeksi virus dalam proses
terjadinya neoplasma tetapi hingga saat ini belum ditemukan hubungan antara infeksi
virus dengan perkembangan tumor pada sistem saraf pusat.
5. Substansi-substansi karsinogenik
Penyelidikan tentang substansi karsinogen sudah lama dan luas dilakukan. Kini
telah diakui bahwa ada substansi yang karsinogenik seperti methylcholanthrone,
nitroso-ethyl-urea. Ini berdasarkan percobaan yang dilakukan pada hewan.
6. Trauma Kepala
Trauma yang berulang menyebabkan terjadinya meningioma (neoplasma selaput
otak). Pengaruh trauma pada patogenesis neoplasma susunan saraf pusat belum
diketahui.
3. ANATOMI OTAK
Susunan saraf adalah sistim yang mengontrol tubuh kita yang terus menerus
menerima, menghantarkan dan memproses suatu informasi dan bersama sistim hormon,
susunan saraf mengkoordinasikan semua proses fungsional dari berbagai jaringan tubuh,
organ dan sistim organ manusia.
a. Susunan saraf sadar (Voluntary nervous system):
Mengontrol fungsi yang dikendalikan oleh keinginan atau kemauan kita. Saraf ini
mengontrol otot rangka dan menghantarkan impuls sensori ke otak. Melalui saraf ini
kita dapat melakukan gerakan aktif dan menyadari keadaan diluar tubuh kita dan
secara sadar mengendalikannya.
Serebrum terdiri dari dua hemisfer yaitu kiri dan kanan, empat lobus yaitu:
Otak berfungsi sebagai pusat integrasi dan koordinasi organ-organ sensorik dan
sistim efektor perifer tubuh, sebagai pengatur informasi yang masuk, simpanan
pengalaman, impuls yang keluar dan tingkah laku. Dari dalam ke arah luar otak
diselubungi oleh tiga lapisan meningen, lapisan pelindung yang paling luar adalah
tengkorak.
Secara fungsional dan anatomis otak dibagi menjadi empat bagian yaitu:
1. Batang otak yang menghubungkan medulla spinalis dengan serebrum terdiri dari
medulla oblongata, pons dan mesensefalon (otak tengah).
2. Medulla oblongata adalah bagian otak yang langsung menyambung dengan medulla
spinalis. Berkas saraf yang berjalan disini berasal dari serebrum dan berfungsi untuk
pergerakan otot rangka. Di medulla oblongata berkas ini menyebrang ke sisi yang
berlawanan yang disebut jalan/ traktus poramidalis. Itu sebabnya jika kerusakan otak
bagian kiri akan menyebabkan kelumpuhan bagian kanan tubuh dan sebaliknya. Selain
traktus piramidalis ada kelumpuhan sel-sel saraf yang terdapat di medulla oblongata
yakni pusat otot yang mengontrol fungsi vital seperti pernafasan, denyut jantung dan
tonus pembuluh darah.
3. Pons berupa ninti (neucleus). Pons merupakan switch dari jalur yang menghubungkan
korteks serebri dan serebllum.
4. Mesensefalon merupakan bagian otak yang sempit terletak antara medulla oblongata
dan diensefalon. Pada mesensefalon terdapat formation retikularis, suatu rangkaian
penting yang antara lain mengatur irama tidur dan bantun, mengontrol refleks menelan
dan muntah.
Secara Anatomi :
1. Otak kecil (cerebelum)
Cerebellum terletak dibelakang fossa krenialis dan melekat ke bagian belakang
batang otak. Cerebllum berperan penting dalam menjaga keseimbangan dan mengatur
koordinasi gerakan yang diterima dari segmrn posterior medulla spinalis yang
memberi informasi tentang keregangan otot dan tanda serta posisi-posisi sendi.
3. Diensefalon
Dibagi menjadi empat wilayah :
1. Thalamus
Thalamus merupakan stasiun pemancar yang menerima impuls ageren dari
seluruh tubuh lalu memprosesnya dan meneruskannya ke segmen otak yang lebih
tinggi.
Kapsula interna yang terletak disekitar thalamus berupa berkas saraf
penting yang datang dari serebri dan dikompres kedalam rongga yang kecil.
2. Hipotalamus
Hypothalamus merupakan pusat pengontrol susunan saraf otonom juga
mempengaruhi metabolisme, observasi makanan dan mengatur suhu tubuh,
karena letaknya sangat dekat dengan kelenjar pitviteri.
3. Subtalamus
Fungsinya belum dapat dimengerti sepenuhnya, tetapi lesi pada
subtalamus dapat menimbulkan diskenisia diamatis yang disebut nemibalismus
yang ditandai oleh gerakan kaki atau tangan yang terhempas kuat pada satu sis
tubuh. Gerakan infontuler biasanya lebih nyata pada tangan dan kaki.
4. Epitalamus
Epitalamus dengan sistim limbic dan berperan pada beberapa dorongan
emosi dasar dan integrasi informasi olfaktorius.
4. KLASIFIKASI
1. Berdasarkan jenis tumor
a. Jinak
Acoustic neuroma
Meningioma
Pituitary adenoma
Astrocytoma (grade I)
b. Malignant
Astrocytoma (grade 2,3,4)
Oligodendroglioma
Apendymoma
2. Berdasarkan lokasi
a. Tumor intradural
1. Ekstramedular
Cleurofibroma
Meningioma
2. Intramedular
Apendymoma
Astrocytoma
Oligodendroglioma
Hemangioblastoma
b. Tumor ekstradural
Merupakan metastase dari lesi primer, biasanya pada payudara, prostal,
tiroid, paru–paru, ginjal dan lambung.
5. PATOFISIOLOGI
Tubuh manusia terdiri dari sel-sel. Sel-sel ini tumbuh dan berkembang dengan
cara yang tersusun untuk membentuk sel-sel baru. Apabila sel-sel ini kehilangan
kemampuan untuk mengawal pertumbuhannya, ia akan tumbuh dengan bebasnya. Sel-sel
yang tumbuh berlebihan tanpa dikontrol ini akhirnya menjadi tumor. Tumor otak
menyebabkan gangguan neurologis. Gejala neurologik pada tumor otak biasanya
dianggap disebabkan oleh 2 faktor gangguan fokal, disebabkan oleh tumor dan tekanan
intrakranial. Gangguan fokal terjadi apabila penekanan pada jaringan otak dan
infiltrasi/invasi langsung pada parenkim otak dengan kerusakan jaringan neuron.
Perubahan suplai darah akibat tekanan yang ditimbulkan tumor yang tumbuh
menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada umumnya
bermanifestasi sebagai kehilangan fungsi secara akut dan mungkin dapat dikacaukan
dengan gangguan cerebrovaskuler primer. Beberapa tumor membentuk kista yang juga
menekan parenkim otak sekitarnya sehingga memperberat gangguan neurologis fokal.
Peningkatan tekanan intra kranial dapat diakibatkan oleh beberapa faktor: bertambahnya
massa dalam tengkorak, terbentuknya oedema sekitar tumor dan perubahan sirkulasi
cerebrospinal. Pertumbuhan tumor menyebabkan bertambahnya massa, karena tumor
akan mengambil ruang yang relatif dari ruang tengkorak yang kaku. Tumor ganas
menimbulkan oedema dalam jaruingan otak. Obstruksi vena dan oedema yang
disebabkan kerusakan sawar darah otak, semuanya menimbulkan kenaikan volume
intrakranial. Observasi sirkulasi cairan serebrospinaldari ventrikel laseral ke ruang sub
arakhnoid menimbulkan hidrocepalus.
PATHWAY
6. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi secara umum pada tumor otak antara lain:
1. Nyeri kepala
Nyeri kepala biasanya terlokalisir, tapi bisa juga menyeluruh. Biasanya muncul
pada pagi hari setelah bangun tidur dan berlangsung beberapa waktu, datang pergi
(rekuren) dengan interval tak teratur beberapa menit sampai beberapa jam. Serangan
semakin lama semakin sering dengan interval semakin pendek. Nyeri kepala ini
bertambah hebat pada waktu penderita batuk, bersin atau mengejan (misalnya waktu
buang air besar atau koitus). Nyeri kepaia juga bertambah berat waktu posisi
berbaring, dan berkurang bila duduk. Penyebab nyeri kepala ini diduga akibat tarikan
(traksi) pada pain sensitive structure seperti dura, pembuluh darah atau serabut saraf.
Nyeri kepala merupakan gejala permulaan pada tumor otak yang terletak di daerah
lobus oksipitalis.
3. Seizure
Adalah gejala utama dari tumor yang perkembangannya lambat seperti
astrositoma, oligodendroglioma dan meningioma. Paling sering terjadi pada tumor di
lobus frontal baru kemudian tumor pada lobus parietal dan temporal.
4. Edema Papil
Gejala umum yang tidak berlangsung lama pada tumor otak, sebab dengan teknik
neuroimaging tumor dapat segera dideteksi. Edema papil pada awalnya tidak
menimbulkan gejala hilangnya kemampuan untuk melihat, tetapi edema papil yang
berkelanjutan dapat menyebabkan perluasan bintik buta, penyempitan lapangan
pandang perifer dan menyebabkan penglihatan kabur yang tidak menetap. Penyebab
edema papil ini biasanya terjadi bila tumor yang lokasi atau pembesarannya menekan
jalan aliran likuor sehingga mengakibatkan bendungan dan terjadi hidrocephallus
5. Muntah
Muntah sering mengindikasikan tumor yang luas dengan efek dari massa tumor
tersebut juga mengindikasikan adanya pergeseran otak. Muntah berulang pada pagi
dan malam hari, dimana muntah yang proyektil tanpa didahului mual menambah
kecurigaan adanya massa intrakranial.
6. Vertigo
Pasien merasakan pusing yang berputar dan mau jatuh.
7. Kejang
Ini terjadi bila tumor berada di hemisfer serebri serta merangsang korteks
motorik. Kejang yang sifatnya lokal sukar dibedakan dengan kejang akibat lesi otak
lainnya, sedang kejang yang sifatnya umum atau general sukar dibedakan dengan
kejang karena epilepsi. Tapi bila kejang terjadi pertama kali pada usia dekade III dari
kehidupan harus diwaspadai kemungkinan adanya tumor otak.
1. Lobus frontal
Menimbulkan gejala perubahan kepribadian
Bila tumor menekan jaras motorik menimbulkan hemiparese kontra lateral, kejang
fokal
Bila menekan permukaan media dapat menyebabkan inkontinentia
Bila tumor terletak pada basis frontal menimbulkan sindrom foster kennedy
Pada lobus dominan menimbulkan gejala afasia
2. Lobus parietal
Dapat menimbulkan gejala modalitas sensori kortikal hemianopsi homonym
Bila terletak dekat area motorik dapat timbul kejang fokal dan pada girus angularis
menimbulkan gejala sindrom gerstmann’s
3. Lobus temporal
Akan menimbulkan gejala hemianopsi, bangkitan psikomotor, yang didahului dengan
aura atau halusinasi
Bila letak tumor lebih dalam menimbulkan gejala afasia dan hemiparese
Pada tumor yang terletak sekitar basal ganglia dapat diketemukan gejala
choreoathetosis, parkinsonism.
4. Lobus oksipital
Menimbulkan bangkitan kejang yang dahului dengan gangguan penglihatan
Gangguan penglihatan yang permulaan bersifat quadranopia berkembang menjadi
hemianopsia, objeckagnosia
7. Tumor Hipotalamus
Menyebabkan gejala TTIK akibat oklusi dari foramen Monroe
Gangguan fungsi hipotalamus menyebabkan gejala: gangguan perkembangan seksuil
pada anak-anak, amenorrhoe,dwarfism, gangguan cairan dan elektrolit, bangkitan
8. Tumor di cerebelum
Umumnya didapat gangguan berjalan dan gejala TTIK akan cepat erjadi disertai
dengan papil udem
Nyeri kepala khas didaerah oksipital yang menjalar keleher dan spasme dari otot-otot
servikal
7. KOMPLIKASI
1. Edema Serebral
Peningkatan cairan otak yang berlebih yang menumpuk disekitar lesi sehingga
menambah efek masa yang mendesak (space-occupying). Edema Serebri dapat terjadi
ekstrasel (vasogenik) atau intrasel (sitotoksik).
2. Hidrosefalus
Peningkatan intracranial yang disebabkan oleh ekspansin massa dalamrongga
cranium yang tertutup dapat di eksaserbasi jika terjadi obstruksi pada aliran cairan
serebrospinal akibat massa.
3. Herniasi Otak
Peningkatan intracranial yang terdiri dari herniasi sentra, unkus, dan singuli.
4. Kematian
Kematian adalah gangguan fungsi luhur. Gangguan ini sering diistilahkan dengan
gangguan kognitif dan neurobehavior sehubungan dengan kerusakan fungsi pada area
otak yang ditumbuhi tumor atau terkena pembedahan maupun radioterapi.
5. Gangguan kognitif dan neurobehavior
Sehubungan dengan kerusakan fungsi pada area otak yang ditumbuhi tumor
atau terkena pembedahan maupun radioterapi. Neurobehavior adalah keterkaitan
perilaku dengan fungsi kognitif dan lokasi / lesi tertentu di otak.
6. Disartria
Gangguan wicara karena kerusakan di otak atau neuromuscular perifer yang
bertanggung jawab dalam proses bicara.
7. Disfagi
Merupakan komplikasi lain dari penderita ini yaitu ketidakmampuan menelan
makanan karena hilangnya refleks menelan. Gangguan bisa terjadi di fase oral,
pharingeal atau oesophageal. Komplikasi ini akan menyebabkan terhambatnya asupan
nutrisi bagi penderita serta berisiko aspirasi pula karena muntahnya makanan ke paru.
8. Kelemahan otot
Kelemahan otot terjadi pada pasien tumor otak umumnya dan yang mengenai
saraf khususnya ditandai dengan hemiparesis, paraparesis dan tetraparesis.
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. CT scan dan MRI
Memperlihatkan semua tumor intrakranial dan menjadi prosedur investigasi awal
ketika penderita menunjukkan gejala yang progresif atau tanda-tanda penyakit otak
yang difus atau fokal, atau salah satu tanda spesifik dari sindrom atau gejala-gejala
tumor. Kadang sulit membedakan tumor dari abses ataupun proses lainnya.
4. Biopsi stereotaktik
Dapat digunakan untuk mendiagnosis kedudukan tumor yang dalam dan untuk
memberikan dasar-dasar pengobatan dan informasi prognosis.
5. Angiografi Serebral
Memberikan gambaran pembuluh darah serebral dan letak tumor serebral.
6. Elektroensefalogram (EEG)
Mendeteksi gelombang otak abnormal pada daerah yang ditempati tumor dan
dapat memungkinkan untuk mengevaluasi lobus temporal pada waktu kejang.
9. PENATALAKSANAAN MEDIK
1. Surgery
Therapy pre-surgery seperti:
Steroid untuk menghilangkan swelling
Contoh obat: dexamethazone.
Anticonvulsan untuk mencegah dan mengontrol kejang
Contoh obat: carbamazephine
Shunt untuk mengalirkan cairan serebrospinal
2. Pembedahan
Pembedahan pada tumor otak dilakukan untuk mengangkat tumor dan dikompresi
dengan cara mereduksi efek massa sebagai upaya menyelamatkan nyawa serta
memperoleh efek paliasi.
3. Radiotherapy
Merupakan salah satu modalitas penting dalam pelaksanaan proses keganasan.
4. Pembedahan
Tindakan ini bertujuan untuk membunuh sel tumor. Diberikan secara oral IV atau
secara shunt.
10. PENCEGAHAN
1. Hindari stress dan terapkan koping yang efektif terhadap stress
2. Terapkan pola hidup sehat dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang
dan olahraga secara teratur
3. Hindari menggunakan telepon seluler yang terlalu lama dan penggunaan headset
ketika berkomunikasi dengan orang lain melalui telepon
4. Hindari rokok
11. PROGNOSIS
Meskipun diobati, hanya sekitar 25% penderita kanker otak yang bertahan hidup
setelah 2 tahun. Prognosis yang lebih baik ditemukan pada astrositoma dan
oligodendroglioma, dimana kanker biasanya tidak kambuh dalam waktu 3-5 tahun setelah
pengobatan.
Sekitar 50% penderita meduloblastoma yang diobati bertahan hidup lebih dari 5
tahun.
2. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Perubahan kepribadian dan perilaku klien, perubahan mental, kesulitan
mengambil keputusan, kecemasan dan ketakutan hospitalisasi, diagnostic test dan
prosedur pembedahan, adanya perubahan peran.
b. Kardiovaskular B2 (blooding)
Irama jantung : irregular
Nyeri dada : tidak
Bunyi jantung ; normal
Akral : hangat
Nadi : Bradikardi
Tekanan darah Meningkat
c. Persyarafan B3 (brain)
Penglihatan (mata) : Penurunan penglihatan, hilangnya ketajaman atau
diplopia.
Pendengaran (telinga): Terganggu bila mengenai lobus temporal
Penciuman (hidung) : Mengeluh bau yang tidak biasanya, pada lobus
frontal
Pengecapan (lidah) : Ketidakmampuan sensasi (parathesia atau anasthesia)
d. Perkemihan B4 (bladder)
Kebersihan : bersih
Bentuk alat kelamin : normal
Uretra : normal
Produksi urin: normal
e. Pencernaan B5 (bowel)
Nafsu makan : menurun
Porsi makan : setengah
Mulut : bersih
Mukosa : lembap
f. Muskuloskeletal/integument B6 (bone)
Kemampuan pergerakan sendi : bebas
Kondisi tubuh: kelelahan
4. gangguan neurologi
1. Afasia: Kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa, kemungkinan ekspresif atau
kesulitan berkata-kata, reseotif atau berkata-kata komprehensif, maupun kombinasi
dari keduanya.
2. Ekstremitas: Kelemahan atau paraliysis genggaman tangan tidak seimbang,
berkurangnya reflex tendon.
3. GCS: Skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien, (apakah pasien
dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan
yang diberikan.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan tekanan
intrakranial, pembedahan tumor, edema serebri, hipoksia seebral.
3. Gangguan mobilitas fisik b.d gangguan pergerakan dan kelemahan.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual, muntah dan tidak nafsu
makan.
C. INTERVENSI
Dx 1: Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial
Tujuan: Nyeri yang dirasakan berkurang
Kriteria Hasil:
Klien mengungkapkan nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi
ditunjukkan penurunan skala nyeri. Skala = 2
Klien tidak merasa kesakitan.
Klien tidak gelisah
Intervensi:
Intervensi:
1. Pantau status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar.
R/ Mengkaji adanya perubahan pada tingkat kesadran dan potensial peningkatan TIK
dan bermanfaat dalam menentukan okasi, perluasan dan perkembangan kerusakan
SSP.
4. Pantau ketat pemasukan dan pengeluaran cairan, turgor kulit dan keadaan membran
mukosa.
R/ Bermanfaat sebagai indikator dari cairan total tubuh yang terintegrasi dengan
perfusi jaringan.
6. Perhatikan adanya gelisah yang meningkat, peningkatan keluhan dan tingkah laku
yang tidak sesuai lainnya.
R/ Petunjuk non verbal ini mengindikasikan adanya penekanan TIK atau
menandakan adanya nyeri ketika pasien tidak dapat mengungkapkan keluhannya
secara verbal.
7. Kolaborasi:
Kolaborasi dalam pemberian oksigen
R/ Memenuhi kebutuhan oksigen
Berikan sedative atau analgetik dengan kolaboratif.
R/ Mengurangi peningkatan TIK
2. Letakkan pasien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan karena tekanan.
R/ Perubahan posisi yang teratur meningkatkan sirkulasi pada seluruh tubuh.
Dx 5: Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual, muntah dan tidak nafsu
makan.
Tujuan: Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi setelah dilakukan keperawatan
Kriteria Hasil:
Nutrisi klien terpenuhi
Mual berkurang sampai dengan hilang.
Intervensi:
D. IMPLEMENTASI
Sesuai intervensi
E. EVALUASI
Sesuai tujuan
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa:
WaluyoAgung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta
Suyono,dkk, 2001, Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II, edisi 3, Balai penercit FKUI,Jakarta.
University IOWA., NIC and NOC Project., 1991, Nursing outcome Classifications,Philadelphia,
USA
LAPORAN
PENDAHULUAN
HERNIA
PRAKTEK PROFESI MEDICAL BEDAH
LiesHandayani S.Kep
Nim : 19640874
1
LAPORAN PENDAHULUAN
HERNIA
Disusun Oleh:
LIES HANDAYANI. S.Kep
NIM. 19640874
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunianya
sehingga dapat menyelesaikan tugas untuk memenuhi mata kuliah Departemen Medikal
Bedah pada kegiatan profesi ners keperawatan.
Dalam penyusunan tugas Laporan pendahuluan ini tidak terlepas dari adanya
bimbingan, arahan dan dukungan dari berbagai pihak yang ikut membantu terselesaikannya
laporan ini. Pada kesempatan ini, memperkenankan saya mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya dengan hati yang tulus kepada:
1. Sri Haryuni S.Kep.Ns.M.Kep selaku Pembimbing Institusi Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Kadiri
2. Rekan – rekan mahasiswa seprofesi progsus Palu yang ikut memberikan semangat
dalam meyelesakan tugas manajemen ini.
Semoga Allah SWT membalas semua pihak yang telah memberikan bantuan dan
dukungannya dalam menyelesaikan laporan ini. Tentu saja Laporan Praktik Profesi Ners
Departemen Medikal Bedah ini agar lebih sempurna, sehingga memerlukan saran dan
masukan. Semoga laporan ini memberi manfaat untuk sebagai pembelajaran khususnya di
departemen stase medikal bedah dan kemajuan pelayanan keperawatan.
Tolitoli, 2020
Penulis
LIES HANDAYANI.S.Kep
A. Pengertian
Hernia adalah penonjolan isi suatu rongga melalui defek atau bagian lemah dari
dinding rongga bersangkutan. Pada hernia abdomen isi perut menonjol melalui defek atau
bagian lemah dari lapisan dinding perut (Sjamsuhidayat, 2004).
Hernia adalah proporsi abnormal organ jaringan atau bagian organ melalui stuktur
yang secara normal berisi bagian ini. Hernia paling sering terjadi pada rongga abdomen
sebagai akibat dari kelemahan muskular abdomen konginental atau didapat (Ester, 2004).
Hernia adalah menonjolnya suatu organ atau struktur organ dari tempatnya yang
normal melalui sebuah defek kongenital atau yang didapat (Long, 2002).
B. Etiologi
a. Umur
Penyakit ini dapat diderita oleh semua kalangan tua, muda, pria maupun
wanita. Pada Anak – anak penyakit ini disebabkan karena kurang sempurnanya
procesus vaginalis untuk menutup seiring dengan turunnya testis. Pada orang dewasa
khususnya yang telah berusia lanjut disebabkan oleh melemahnya jaringan penyangga
usus atau karena adanya penyakit yang menyebabkan peningkatan tekanan dalam
rongga perut .
b. Jenis Kelamin
Hernia yang sering diderita oleh laki – laki biasanya adalah jenis hernia
Inguinal. Hernia Inguinal adalah penonjolan yang terjadi pada daerah selangkangan,
hal ini disebabkan oleh proses perkembangan alat reproduksi. Penyebab lain kaum
adam lebih banyak terkena penyakit ini disebabkan karena faktor profesi, yaitu pada
buruh angkat atau buruh pabrik. Profesi buruh yang sebagian besar pekerjaannya
mengandalkan kekuatan otot mengakibatkan adanya peningkatan tekanan dalam
rongga perut sehingga menekan isi hernia keluar dari otot yang lemah tersebut
c. Penyakit penyerta
Penyakit penyerta yang sering terjadi pada hernia adalah seperti pada kondisi
tersumbatnya saluran kencing, baik akibat batu kandung kencing atau pembesaran
prostat, penyakit kolon, batuk kronis, sembelit atau konstipasi kronis dan lain-lain.
Laporan Pendahuluan Hernia 4
Kondisi ini dapat memicu terjadinya tekanan berlebih pada abdomen yang dapat
menyebabkan keluarnya usus melalui rongga yang lemah.
d. Keturunan
Resiko lebih besar jika ada keluarga terdekat yang pernah terkena hernia.
e. Obesitas
Berat badan yang berlebihan menyebabkan tekanan berlebih pada tubuh,
termasuk di bagian perut. Ini bisa menjadi salah satu pencetus hernia. Peningkatan
tekanan tersebut dapat menjadi pencetus terjadinya penonjolan organ melalui dinding
organ yang lemah.
f. Kehamilan
Kehamilan dapat melemahkan otot di sekitar perut sekaligus memberi tekanan
lebih di bagian perut. Kondisi ini juga dapat menjadi pencetus terjadinya hernia.
g. Pekerjaan
Beberapa jenis pekerjaan yang membutuhkan daya fisik dapat menyebabkan
terjadinya hernia. Contohnya, pekerjaan buruh angkat barang. Aktivitas yang berat
dapat mengakibatkan peningkatan tekanan yang terus-menerus pada otot-otot
abdomen. Peningkatan tekanan tersebut dapat menjadi pencetus terjadinya prostrusi
atau penonjolan organ melalui dinding organ yang lemah.
h. Kelahiran prematur
Bayi yang lahir prematur lebih berisiko menderita hernia inguinal daripada
bayi yang lahir normal karena penutupan kanalis inguinalis belum sempurna,
sehingga memungkinkan menjadi jalan bagi keluarnya organ atau usus melalui
kanalis inguinalis tersebut. Apabila seseorang pernah terkena hernia, besar
kemungkinan ia akan mengalaminya lagi.(Giri Made Kusala, 2009).
D. Patofisiologi
Hernia berkembang ketika intra abdominal mengalami pertumbuhan tekanan
seperti tekanan pada saat mengangkat sesuatu yang berat, pada saat buang air besar atau
batuk yang kuat atau bersin dan perpindahan bagian usus ke daerah otot abdominal,
tekanan yang berlebihan pada daerah abdominal itu tentu saja akan menyebabkan suatu
kelemahan mungkin disebabkan dinding abdominal yang tipis atau tidak cukup kuatnya
pada daerah tersebut dimana kondisi itu ada sejak atau terjadi dari proses perkembangan
yang cukup lama, pembedahan abdominal, kemudian terjadi hernia. Karena organ– organ
selalu saja melakukan pekerjaan yang berat dan berlangsung dalam waktu yang cukup
lama, sehingga terjadilah penonjolan yang mengakibatkan kerusakan yang sangat parah.
Sehingga akhirnya menyebabkan kantung yang terdapat dalam perut menjadi atau
mengalami kelemahan.
Hernia
Benjolan pd regio
Inguinal
Diatas ligamentum
Inguinal mengecil
Bila berbaring
Pembedahan
Insisi bedah
Terputusnya
Jaringan Peristaltik usus Nafsu makan
Syaraf Menurun Menurun
F. Penatalaksanaan medis
a. Secara konservatif (non operatif)
• Reposisi hernia
Hernia dikembalikan pada tempat semula bisa langsung dengan tangan
• Penggunaan alat penyangga dapat dipakai sebagai pengelolaan sementara,
misalnya pemakaian korset
b. Secara operatif
• Hernioplasti
Memindahkan fasia pada dinding perut yang lemah, hernioplasti sering dilakukan
pada anak – anak
• Herniographi
Pada bedah elektif, kanalis dibuka, isi hernia di masukkan, kantong diikat, dan
dilakukan bainy plasty atau teknik yang lain untuk memperkuat dinding belakang
kanalis inguinalis. Ini sering dilakukan pada orang dewasa
• Herniotomi
Seluruh hernia dipotong dan diangkat lalu dibuang. Ini dilakukan pada klien
dengan hernia yang sudah nekrosis
G. Fokus Keperawatan
1. Pengkajian
a. Aktivitas/istirahat
Tanda dan gejala: Atropi otot, gangguan dalam berjalan, riwayat pekerjaan yang
perlu mengangkat benda berat, duduk dalam waktu lama.
b. Eliminasi
Gejala: Konstipasi, mengalami kesulitan dalam defekasi adanya inkontinensia
atau retensi urin.
Long, Barbara C. (2002). Perawat Medical Bedah. Volume I. (terjemahan). Yayasan Ikatan
Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran: Bandung
Mansjoer, A. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid II. Media Aesculapius FKUI:
Jakarta
Poppy Kumala, dkk. (2005). Kamus Saku Kedokteran Dorland. EGC: Jakarta
R. Sjamsuhidayat & Wim, D.J. (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerbit Buku Kedokteran EGC:
Jakarta
Disusun Oleh:
Fitriani
NIM: 19640876
2. ETIOLOGI
Penyebab sprain:
1. Pemuntiran mendadak dengan tenaga yang lebih kuat dari pada kekuatan ligamen
dengan menimbulkan gerakan sendiri diluar kisaran gerak (RPS) normal.
2. Fraktur atau dislokasi yang terjadi secara bersamaan.
Penyebab strain:
1. Penggunaan atau tekana berlebihan pada otot sehingga otot tersebut teregang diluar
kapasitas normalnya khususnya ketika otot belum teregang dengan baik sebelum
aktivitas dilakukan (strain akut)
2. Luka tusuk atau luka tembak yang menyebabkan ruptur traumatik (strain akut).
3. Penggunaan otot secara berlebihan yang dilakukan berkali-kali (strain kronis).
3. PATOFISIOLOGI
Sprain adalah kekoyakan (avulsion) seluruh atau sebagian dari dan disekeliling
sendi, yang disebabkan oleh daya yang tidak semestinya, pemelintiran atau mendorong /
mendesak pada saat berolah raga atau aktivitas kerja.
Kebanyakan keseleo terjadi pada pergelangan tangan dan kaki, jari-jari tangan
dan kaki. Pada trauma olah raga (sepak bola) sering terjadi robekan ligament pada sendi
lutut.
Sendi-sendi lain juga dapat terkilir jika diterapkan Jaya tekanan atau tarikan yang
tidak semestinya tanpa diselingi peredaan.
Sedangkan strain adalah daya yang tidak semestinya yang diterapkan pada otot,
ligament atau tendon. Daya (force) tersebut akan meregangkan serabut-serabut tersebut
clan menyebabkan kelemahan dan mati rasa temporer serta perdarahan jika pembuluh
darah clan kapiler dalam jaringan yang sakit tersebut mengalami regangan yang
berlebihan.
5. KLASIFIKASI
Therapist mengkategorikan sprain dan strain berdasarkan berat ringannya cidera.
1. Derajat I (ringan)
Berupa beberapa stretching atau kerobekan ringan pada otot atau ligament. Cidera
derajat I biasanya sembuh dengan cepat dengan pemberian istirahat, es, kompresi dan
elevasi (RICE). Terapi latihan dapat membantu mengembalikan kekuatan dan
fleksibilitas.
2. Derajat II (sedang)
Berupa kerobekan parsial tetapi masih menyambung. Cidera derajat II
terapinya sama hanya saja ditambah dengan immobilisasi pada daerah yang cidera.
3. Derajat III (berat)
Berupa kerobekan penuh pada otot dan ligament, yang menghasilkan
ketidakstabilan sendi. Terapi derajat III biasanya dilakukan immobilisasi dan
kemungkinan pembedahan untuk mengembalikan fungsinya.
6. PATOFISIOLOGI
Sprain adalah kekoyakan (avulsion) seluruh atau sebagian dari dan disekeliling
sendi, yang disebabkan oleh daya yang tidak semestinya, pemelintiran atau mendorong /
mendesak pada saat berolah raga atau aktivitas kerja.
Kebanyakan keseleo terjadi pada pergelangan tangan dan kaki, jari-jari tangan dan
kaki. Pada trauma olah raga (sepak bola) sering terjadi robekan ligament pada sendi lutut.
Sendi-sendi lain juga dapat terkilir jika diterapkan Jaya tekanan atau tarikan yang
tidak semestinya tanpa diselingi peredaan.
Sedangkan strain adalah daya yang tidak semestinya yang diterapkan pada otot,
ligament atau tendon. Daya (force) tersebut akan meregangkan serabut-serabut tersebut
clan menyebabkan kelemahan dan mati rasa temporer serta perdarahan jika pembuluh
darah clan kapiler dalam jaringan yang sakit tersebut mengalami regangan yang
berlebihan.
PATHWAY
Perubahan Jarinagan
Cedera otot
sekitar
Spasme otot
Ansietas
7. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan sprain adalah :
1. Pembedahan.
Mungkin diperlukan agar sendi dapat berfungsi sepenuhnya; pengurangan-
pengurangan perbaikan terbuka terhadap jaringan yang terkoyak.
2. Kemotherapi.
Dengan analgetik Aspirin (100-300 mg setiap 4 jam) untuk meredakan nyeri
dan peradangan. Kadang diperlukan Narkotik (codeine 30-60 mg peroral setiap 4 jam)
untuk nyeri hebat.
3. Elektromekanis.
1. Penerapan dingin
Dengan kantong es 24o C
2. Pembalutan / wrapping ekstemal.
Dengan pembalutan, cast atau pengendongan (sung).
3. Posisi ditinggikan.
Jika yang sakit adalah bagian ekstremitas.
4. Latihan ROM.
Tidak dilakukan latihan pada saat terjadi nyeri hebat dan perdarahan. Latihan pelan-
pelan dimulai setelah 7-10 hari tergantung jaringan yang sakit.
5. Penyangga beban.
Menghentikan penyangga beban dengan penggunaan kruk selama 7 hari atau lebih
tergantung jaringan yang sakit.
c. Riwayat Kesehatan.
1. Riwayat Penyakit Sekarang.
a. Kapan keluhan dirasakan, apakah sesudah beraktivitas kerja atau setelah
berolah raga.
b. Daerah mana yang mengalami trauma.
c. Bagaimana karakteristik nyeri yang dirasakan.
2. Riwayat Penyakit Dahulu.
a. Apakah klien sebelumnya pernah mengalami sakit seperti ini atau
mengalami trauma pada sistem muskuloskeletal lainnya.
3. Riwayat Penyakit Keluarga.
a. Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini.
d. Pemeriksaan Fisik.
Inspeksi :
Kelemahan
Edema
Perdarahan perubahan warna kulit
Ketidakmampuan menggunakan sendi
Palpasi :
Mati rasa
Auskultasi
Perkusi.
e. Pemeriksaan Penunjang.
Pada sprain untuk diagnosis perlu dilaksanakan rontgen untuk membedakan
dengan patah tulang.
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri / ketidakmampuan, ditandai dengan
ketidakmampuan untuk mempergunakan sendi, otot dan tendon.
2. Nyeri akut berhubungan dengan peregangan atau kekoyakan pada otot, ligament atau
tendon ditandai dengan kelemahan, mati rasa, perdarahan, edema, nyeri.
F. EVALUASI
Sesuai tujuan
DAFTAR PUSTAKA
Suraton dkk. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. 2008. Jakarta :
EGC
Nanda Internasional. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. 2012-2014. 2012. Jakarta
: EGC
LAPORAN PENDAHULUAN
DISLOKASI
Disusun Oleh:
Mushalpah Jam’an
NIM: 19640934
2. ETIOLOGI
1. Umur
Faktor umur sangat menentukan karena mempengaruhi kekuatan serta
kekenyalan jaringan. Misalnya pada umur 30- 40 tahun kekuatan otot akan
relative menurun. Elastisitas tendon dan ligamen menurun pada usia 30 tahun.
2. Terjatuh atau kecelakan
Dislokasi dapat terjadi apabila terjadi kecelakan atau terjatuh sehingga
lutut mengalami dislokasi.
3. Pukulan
Dislokasi lutut dapat terjadi apabila mendapat pukulan pada bagian
lututnya dan menyebabkan dislokasi.
4. Tidak melakukan pemanasan
Pada atlet olahraga sering terjadi keseleo karena kurangnya pemanasan.
5. Benturan keras pada sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan
dislokasi.
6. Cedera olahraga. Pemain basket dan kiper pemain sepak bola paling sering
mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja
menangkap bola dari pemain lain.
7. Terjatuh. Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin.
8. Kongenital : Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan.
4. MANIFESTASI KLINIS
Adanya bengkak / oedema
Mengalami keterbatasan gerak
Adanya spasme otot(kekauan otot)
Nyeri lokal (khususnya pada saat menggerakkan sendi)
Pembengkakan dan rasa hangat akibat inflamasi
Gangguan mobilitas akibat rasa nyeri
Perubahan warna kulit akibat ekstravasasi darah ke dalam jaringan
sekitarnya (tampak kemerahan).
Perubahan kontur sendi
Perubahan panjang ekstremitas
Kehilangan mobilitas normal
Perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi
5. PATOFISIOLOGI
Penyebab terjadinya dislokasi sendi ada tiga hal yaitu karena kelainan
congenital yang mengakibatkan kekenduran pada ligamen sehingga terjadi
penurunan stabilitas sendi. Dari adanya traumatic akibat dari gerakan yang berlebih
pada sendi dan dari patologik karena adanya penyakit yang akhirnya terjadi
perubahan struktur sendi. Dari 3 hal tersebut, menyebabkan dislokasi sendi.
Dislokasi mengakibatkan timbulnya trauma jaringan dan tulang, penyempitan
pembuluh darah, perubahan panjang ekstremitas sehingga terjadi perubahan
struktur. Dan yang terakhir terjadi kekakuan pada sendi. Dari dislokasi sendi, perlu
dilakukan adanya reposisi.
Adanya tekanan eksternal yang berlebih menyebabkan suatu masalah yang
disebut dengan dislokasi yang terutama terjadi pada ligamen. Ligamen akan
mengalami kerusakan serabut dari rusaknya serabut yang ringan maupun total
ligamen akan mengalami robek dan ligamen yang robek akan kehilangan
kemampuan stabilitasnya. Hal tersebut akan membuat pembuluh darah akan
terputus dan terjadilah edema. Sendi mengalami nyeri dan gerakan sendi terasa
sangat nyeri. Derajat disabilitas dan nyeri terus meningkat selama 2 sampai 3 jam
setelah cedera akibat membengkak dan pendarahan yang terjadi maka
menimbulkan masalah yang disebut dengan dislokasi.
PATHWAY
Etiologi
dislokasi
7. KOMPLIKASI
Komplikasi dislokasi meliputi :
a. Komplikasi dini
Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera. Pasien tidak dapat mengerutkan oto
deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot tersebut.
Cedera pembuluh darah : arteri aksilla dapat rusak
Fraktur dislokasi
Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena trauma dapat ditandai dengan tidak adanya
nadi,CRT(capillary refill time) menurun,sianosis pada bagian
distal,hematoma melebar,dan dingin pada ekstremitas yang disebabkan oleh
tindakan darurat spilinting,perubahan posisi pada yang sakit,tindakan
reduksi,dan pembedahan.
b. Sindrome kompartemen
Sindrom kompartemen merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Hal
ini disebabkan oleh edema atau perdarahan yang menentukan otot, saraf dan
pembuluh darah, atau karena tekanan dari luar seperti gips dan pembebatan
yang terlalu kuat.
c. Komplikasi lanjut
d. Kekakuan sendi bahu
Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan kekakuan sendi bahu.
Terjadinya kehilangan rotasi lateral, yang secara otomatis membatasi abduksi.
e. Kelemahan otot.
f. Dislokasi yang berulang
Terjadi kalau labrum glenoid robek atau kapsul terlepas dari bagian
depan leher glenoid.
B.KONSEP DASAR KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a..anamneses
1. Identitas klien meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa
yang digunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi
golongan darah, nomor registrasi, tanggal dan jam masuk rumah sakit,
(MRS), dan diagnosis medis. Dengan fokus ,meliputi :
1) Umur
pada pasien lansia terjadi pengerasan tendon tulang sehingga
menyebabkan fungsi tubuh bekerja secara kurang normal dan dislokasi
cenderung terjadi pada orang dewasa dari pada anak-anak, biasanya klien
jatuh dengan keras dalam keadaan strecth out
2) Pekerjaan
Pada pasien dislokasi biasanya di akibatkan oleh kecelakaan yang
mengakibatkan trauma atau ruda paksa, biasaya terjadi pada klien yang
mempunyai pekrjaan buruh bangunan. Seperti terjatuh, atupun
kecelakaan di tempat kerja, kecelakaan industri dan atlit olahraga,
seperti pemain basket , sepak bola dll
3) Jenis kelamin
Dislokasi lebih sering di temukan pada anak laki – laki dari pada
permpuan karna cenderung dari segi aktivitas yang berbeda .
2. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan adalah nyeri, kelemahan dan kelumpuhan, ekstermitas, nyeri
tekan otot, dan deformitas pada daerah trauma, untuk mendapatkan
pengkajian yang lengkap mengenai nyeri klien dapat menggunakan metode
PQRS.
3. Riwayat penyakit sekarang
Kaji adanya riwayat trauma akibat kecelakaan pada lalu lintas,
kecelekaan industri, dan kecelakaan lain, seperti jatuh dari pohon atau
bangunan, pengkajian yang di dapat meliputi nyeri, paralisis extermitras
bawah, syok.
4. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit, seperti
osteoporosis, dan osteoaritis yang memungkinkan terjadinya kelainan,
penyakit alinnya seperti hypertensi, riwayat cedera, diabetes milittus,
penyakit jantung, anemia, obat-obat tertentu yang sering di guanakan klien,
perlu ditanyakan pada keluarga klien .
5. Pengkajian Psikososial dan Spiritual
Kaji bagaimana pola interaksi klien terhadap orang – orang disekitarnya
seperti hubungannya dengan keluarga, teman dekat, dokter, maupun dengan
perawat.
B. Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan klien
pemekrisaan fisik sangat berguna untuk mendukung pengkajian anamnesis
sebaiknya dilakukan persistem B1-B6 dengan fokus pemeriksaan B3( brain )
dan B6 (bone)
1. Keadaan umum
Klien yang yang mengalami cedera pada umumnya tidak mengalami
penurunan kesadaran, periksa adanya perubahan tanda-tanda vital yang
meliputi brikardia, hipotensi dan tanda-tanda neurogenik syok.
2. B3 ( brain)
Tingkat kesedaran pada pasien yang mengalami dislokasi adalah
kompos mentis
Pemeriksaan fungsi selebral
Status mental :observasi penampilan ,tingkah laku gaya bicara ,ekspresi
wajah aktivitas motorik klien .
Pemeriksaan saraf kranial
Pemeriksaan refleks .pada pemeriksaan refleks dalam ,reflecs achiles
menghilang dan refleks patela biasanya meleamh karna otot hamstring
melemah
3. B6 (Bone)
Paralisis motorik ekstermitas terjadi apabila trauma juga mengompresi
sekrum gejala gangguan motorik juga sesuai dengan distribusi
segmental dan saraf yang terkena
Look ,pada insfeksi parienum biasanya di dapatkan adanya pendarahan
,pembengkakakn dan deformitas
Fell , kaji adanya derajat ketidakstabilan daerah trauma dengan palpasi
pada ramus dan simfisi fubis
Move , disfungsi motorik yang paling umum adalah kelemahan dan
kelumpuhan pada daerah ekstermitas.
c. klasifikasi data
A. Data subjektif
a) Klien mengatakan nyeri apabila beraktivitas
b) Klien mengatakan nyeri seperti ditekan benda berat
c) Klien mengatakan terjadi kekauan pada sendi
d) Klien mengatakan adanya nyeri pada sendi
e) Klien mengatakan sangat lemas
f) Klien bertanya-tanya tentang keadaannya
g) Klien mengatakan susah bergerak
B. Data objektif
a) Klien nampak lemas
b) Wajah nampak meringis
c) Keterbatasan mobilitas
d) Skala nyeri 6 (0-10)
e) Klien nampak cemas
B.DIAAGNOSA KEPERAWATAN
a. nyeri akut berhubungan dengan diskontinuitas jaringan.
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas dan nyeri saat
mobilisasi.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan
untuk mencerna atau ketidakmampuan mencerna makanan atau absorpsi nutrient
yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah.
C.Intervensi keperawatan
Diagnosa Tujuan dan Intervensi Rasional
Kriteria Hasil
nyeri akut nyeri teratasi dengan Kaji skala nye Mengetahui
berhubunga Kriteria Hasil : Berikan posisi intensitas
n dengan Klien tampak relaks pada pasien nyeri.
diskontinuit tidak Ajarkan teknik Posisi
as jaringan. meringis lagi. distraksi dan relaksasi
Klien tampak relaksasi pada pasien
rileks Berikan dapat
lingkungan yang mengalihkan
nyaman, dan focus pikiran
aktifitas hiburan pasien pada
Kolaborasi nyeri.
pemberian Tehnik
analgesic relaksasi dan
distraksi
dapat
mengurangi
rasa nyeri.
Meningkatka
n relaksasi
pasien
Analgesic
Mengurangi
nyeri
E. EVALUASI
Sesuai Tujuan
DAFTAR PUSTAKA
Suraton dkk. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. 2008.
Jakarta : EGC
Disusun Oleh:
Irda
NIM: 19640921
2. ETIOLOGI
Penyebab dari pada kanker Colon tidak diketahui. Diet dan pengurangan waktu
peredaran pada usus besar (Aliran depan feces) yang meliputi faktor kausatif. Petunjuk
pencegahan yang tepat dianjurkan oleh Amerika Cancer Society, The National Cancer
Institute, dan organisasi kanker lainnya.
Faktor resiko telah teridentifikasi. Faktor resiko untuk kanker kolon :
Usia lebih dari 40 tahun
Darah dalam feses
Riwayat polip rektal atau polip kolon
Adanya polip adematosa atau adenoma villus
Riwayat keluarga dengan kanker kolon atau poliposis dalam keluarga
Riwayat penyakit usus inflamasi kronis
Diet tinggi lemak, protein, daging dan rendah serat.
3. MANIFESTASI KLINIS
Gejala sangat ditentukan oleh lokasi kanker, tahap penyakit, dan fungsi segmen
usus tempat kanker berlokasi. Gejala paling menonjol adalah perubahan kebiasaan
defekasi. Pasase darah dalam feses gejala paling umum kedua. Gejala dapat juga anemia
yang tidak diketahui penyebabnya, anoreksi, atau penurunan berat badan dan keletihan.
Gejala yang sering dihubungkan dengan lesi sebelah kanan adalah nyeri dangkal
abdomen dan melena (feses hitam, seperti ter). Gejala yang sering dihubungkan dengan
lesi sebelah kiri adalah yang berhubungan dengan obstruksi (nyeri abdomen dan kram,
penipisan feses, konstipasi dan distensi) serta adanya darah merah segar dalam feses.
Gejala yang dihubungakan dengan lesi rektal adalah evakuasi feses yang tidak lengkap
setelah defekasi, konstipasi dan diare bergantian, serta feses berdarah.
4. PATOFISIOLOGI
Penyebab jelas kanker usus besar belum diketahui secara pasti, namun makanan
merupakan faktor yang penting dalam kejadian kanker tersebut. Yaitu berkorelasi dengan
faktor makanan yang mengandung kolesterol dan lemak hewan tinggi, kadar serat yang
rendah, serta adanya interaksi antara bakteri di dalam usus besar dengan asam empedu
dan makanan, selain itu dapat juga dipengaruhi oleh minuman yang beralkohol,
khususnya bir.
Kanker kolon dan rektum terutama berjenis histopatologis (95%) adenokarsinoma
(muncul dari lapisan epitel dalam usus = endotel). Munculnya tumor biasanya dimulai
sebagai polip jinak, yang kemudian dapat menjadi ganas dan menyusup, serta merusak;
jaringan normal dan meluas ke dalam struktur sekitarnya. Tumor dapat berupa masa
polipoid, besar, tumbuh ke dalam lumen, dan dengan cepat meluas ke sekitar usus
sebagai striktura annular (mirip cincin). Lesi annular lebih sering terjadi pada bagi
rektosigmoid, sedangkan lesi polipoid yang datar lebih sering terjadi pada sekum dan
kolon asendens.
Stadium pada pasien kanker kolon menurut Syamsu Hidyat (1197) diantaranya:
1) Stadium I bila keberadaan sel-sel kanker masih sebatas pada lapisan dinding usus
besar (lapisan mukosa).
2) Stadium II terjadi saat sel-sel kanker sudah masuk ke jaringan otot di bawah
lapisan mukosa.
3) Pada stadium III sel kanker sudah menyebar ke sebagian kelenjar limfe yang
banyak terdapat di sekitar usus.
4) Stadium IV terjadi saat sel-sel kanker sudah menyerang seluruh kelenjar limfe
atau bahkan ke organ-organ lain.
PATHWAY
5. KLASIFIKASI
Klasifikai kanker kolon dapat ditentukan dengan sistem TNM (T = tumor, N =
kelenjar getah bening regional, M =jarak metastese).
T Tumor primer
TO Tidak ada tumor
TI Invasi hingga mukosa atau sub mukosa
T2 Invasi ke dinding otot
T3 Tumor menembus dinding otot
N Kelenjar limfa
N0 tidak ada metastase
N1 Metastasis ke kelenjar regional unilateral
N2 Metastasis ke kelenjar regional bilateral
N3 Metastasis multipel ekstensif ke kelenjar regional
M Metastasis jauh
MO Tidak ada metastasis jauh
MI Ada metastasis jauh
6. KOMPLIKASI
Komplikasi pada pasien dengan kanker kolon yaitu:
1) Pertumbuhan tumor dapat menyebabkan obstruksi usus parsial atau lengkap.
2) Metastase ke organ sekitar, melalui hematogen, limfogen dan penyebaran langsung.
3) Pertumbuhan dan ulserasi dapat juga menyerang pembuluh darah sekitar kolon yang
menyebabkan hemorragi.
4) Perforasi usus dapat terjadi dan mengakibatkan pembentukan abses.
5) Peritonitis dan atau sepsis dapat menimbulkan syok.
6) Pembentukan abses
Pembentukan fistula pada urinari bladder atau vagina. Biasanya tumor menyerang
pembuluh darah dan sekitarnya yang menyebabkan pendarahan. Tumor tumbuh kedalam
usus besar dan secara berangsur-angsur membantu usus besar dan pada akirnya tidak bisa
sama sekali. Perluasan tumor melebihi perut dan mungkin menekan pada organ yang
berada disekitanya ( Uterus, urinary bladder,dan ureter ) dan penyebab gejala-gejala
tersebut tertutupi oleh kanker.
7. PENCEGAHAN
Pencegahan Kanker Kolon.
1) Konsumsi makanan berserat. Untuk memperlancar buang air besar dan menurunkan
derajat keasaman, kosentrasi asam lemak, asam empedu, dan besi dalam usus besar.
2) Asam lemak omega-3, yang terdapat dalam ikan tertentu.
3) Kosentrasi kalium, vitamin A, C, D, dan E dan betakarotin.
4) Susu yang mengandung lactobacillus acidophilus.
5) Berolahraga dan banyak bergerak sehingga semakin mudah dan teratur untuk buang
air besar.
6) Hidup rileks dan kurangi stress.
8. PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksanaan medis
Pasien dengan gejala obstruksi usus diobati dengan cairan IV dan pengisapan
nasogastrik. Apabila terjadi perdarahan yang cukup bermakna terapi komponen darah
dapat diberikan. Pengobatan medis untuk kanker kolorektal paling sering dalam
bentuk pendukung atau terapi ajufan. Terapi ajufan biasanya diberikan selain
pengobatan bedah. Pilihan mencakup kemoterapi, terapi radiasi dan atau
imunoterapi.
Kemoterapi yang diberikan ialah 5-flurourasil (5-FU). Belakangan ini sering
dikombinasi dengan leukovorin yang dapat meningkatkan efektifitas terapi. Bahkan
ada yang memberikan 3 macam kombinasi yaitu: 5-FU, levamisol, dan leuvocorin.
Dari hasil penelitian, setelah dilakukan pembedahan sebaiknya dilakukan radiasi dan
kemoterapi
b. Penatalaksanaan bedah
Pembedahan adalah tindakan primer untuk kebanyakan kanker kolon dan
rektal, pembedahan dapat bersifat kuratif atau paliatif. Kanker yang terbatas pada
satu sisi dapat diangkat dengan kolonoskop. Kolostomi laparoskopik dengan
polipektomi merupakan suatu prosedur yang baru dikembangkan untuk
meminimalkan luasnya pembedahan pada beberapa kasus. Laparoskop digunakan
sebagai pedoman dalam membuat keputusan dikolon, massa tumor kemudian di
eksisi. Reseksi usus diindikasikan untuk kebanyakan lesi kelas A dan semua kelas B
serta lesi C. Pembedahan kadang dianjurkan untuk mengatasi kanker kolon kelas D.
Tujuan pembedahan dalam situasi ini adalah paliatif. Apabila tumor sudah menyebar
dan mencakup struktur vital sekitar, operasi tidak dapat dilakukan. Tipe pembedahan
tergantung dari lokasi dan ukuran tumor.
Prosedur pembedahan pilihan adalah sebagai berikut.
1) Reseksi segmental dengan anastomosis (pengangkatan tumor dan porsi usus
pada sisi pertumbuhan, pembuluh darah dan nodus limfatik)
2) Reseksi abominoperineal dengan kolostomi sigmoid permanen (pengangkatan
tumor dan porsi sigmoid dan semua rektum serta sfingter anal)
3) Kolostomi sementara diikuti dengan reseksi segmental dan anastomosis serta
reanastomosis lanjut dari kolostomi
4) Kolostomi permanen atau iliostomy (untuk menyembuhkan lesi obstruksi yang
tidak dapat direseksi)
d. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Dukungan adaptasi dan kemandirian.
2. Meningkatkan kenyamanan.
3. Mempertahankan fungsi fisiologis optimal.
4. Mencegah komplikasi.
5. Memberikan informasi tentang proses/ kondisi penyakit, prognosis, dan
kebutuhan pengobatan.
e. Penatalaksanaan Diet
1) Cukup mengkonsumsi serat, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Serat dapat
melancarkan pencemaan dan buang air besar sehingga berfungsi menghilangkan
kotoran dan zat yang tidak berguna di usus, karena kotoran yang terlalu lama
mengendap di usus akan menjadi racun yang memicu sel kanker.
2) Kacang-kacangan (lima porsi setiap hari)
3) Menghindari makanan yang mengandung lemak jenuh dan kolesterol tinggi
terutama yang terdapat pada daging hewan.
4) Menghindari makanan yang diawetkan dan pewarna sintetik, karena hal tersebut
dapat memicu sel karsinogen / sel kanker.
5) Menghindari minuman beralkohol dan rokok yang berlebihan.
6) Melaksanakan aktivitas fisik atau olahraga secara teratur.
9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Endoskopi. Pemeriksaan endoskopi perlu dikerjakan, baik sigmoidoskopi maupun
kolonoskopi. Gambaran yang khas karsinoma atau ulkus akan dapat dilihat dengan
jelas pada endoskopi, dan untuk menegakkan diagnosis perlu dilakukan biopsi.
2) Radiologi. Pemeriksaan radiologi yang dapat dikerjakan antara lain adalah : foto
dada dan foto kolon (barium enema).
Pemeriksaan dengan enema barium mungkin dapat memperjelas keadaan
tumor dan mengidentifikasikan letaknya. Tes ini mungkin menggambarkan adanya
kebuntuan pada isi perut, dimana terjadi pengurangan ukuran tumor pada lumen.
Luka yang kecil kemungkinan tidak teridentifikasi dengan tes ini. Enema barium
secara umum dilakukan setelah sigmoidoscopy dan colonoscopy.
Computer Tomografi (CT) membantu memperjelas adanya massa dan luas
dari penyakit. Chest X-ray dan liver scan mungkin dapat menemukan tempat yang
jauh yang sudah metastasis.
Pemeriksaan foto dada berguna selain untuk melihat ada tidaknya metastasis
kanker pada paru juga bisa digunakan untuk persiapan tindakan pembedahan. Pada
foto kolon dapat dapat terlihat suatu filling defect pada suatu tempat atau suatu
striktura.
3) Ultrasonografi (USG). Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi ada tidaknya
metastasis kanker kelenjar getah bening di abdomen dan di hati.
4) Histopatologi/ Selain melakukan endoskopi sebaiknya dilakukan biopsi di beberapa
tempat untuk pemeriksaan histopatologis guna menegakkan diagnosis. Gambaran
histopatologi karsinoma kolorektal ialah adenokarsinoma, dan perlu ditentukan
differensiasi sel.
5) Laboratorium. Tidak ada petanda yang khas untuk karsinoma kolorektal, walaupun
demikian setiap pasien yang mengalami perdarahan perlu diperiksa Hb. Tumor
marker (petanda tumor) yang biasa dipakai adalah CEA. Kadar CEA lebih dari 5 mg/
ml biasanya ditemukan karsinoma kolorektal yang sudah lanjut. Berdasarkan
penelitian, CEA tidak bisa digunakan untuk mendeteksi secara dini karsinoma
kolorektal, sebab ditemukan titer lebih dari 5 mg/ml hanya pada sepertiga kasus
stadium III. Pasien dengan buang air besar lendir berdarah, perlu diperiksa tinjanya
secara bakteriologis terhadap shigella dan juga amoeba.
6) Scan (misalnya, MR1. CZ: gallium) dan ultrasound: Dilakukan untuk tujuan
diagnostik, identifikasi metastatik, dan evaluasi respons pada pengobatan.
7) Biopsi (aspirasi, eksisi, jarum): Dilakukan untuk diagnostik banding dan
menggambarkan pengobatan dan dapat dilakukan melalui sum-sum tulang, kulit,
organ dan sebagainya.
8) Jumlah darah lengkap dengan diferensial dan trombosit: Dapat menunjukkan anemia,
perubahan pada sel darah merah dan sel darah putih: trombosit meningkat atau
berkurang.
9) Sinar X dada: Menyelidiki penyakit paru metastatik atau primer.
d. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum sakit sedang, kesadaran compos metis, suhu 37,5 0 C, nadi 60 –
100 x / menit. RR 16 – 20 x / menit, TD 120 / 80 mmHg
Pemeriksaan head to toe
1. Kepala dan leher
Dengan teknik inspeksi dan palpasi:
a. Rambut dan kulit kepala
Perdarahan, pengelupasan, perlukaan, penekanan
b. Telinga
Perlukaan, darah, cairan, bau?
c. Mata
Perlukaan, darah, cairan, pembengkakan, rteflek pupil, kondisi keplopak
mata, adanya benda asing, sklera putih?
d. Mulut
Benda asing, gigi, simetris, kering?
e. Hidung
Perlukaan, darah, cairan, nafas cuping, kelainan anatomi, akibat trauma?
f. Leher
Bendungan vena, deviasi trakea, pembesaran kelenjar tiroid
2. Pemeriksaan dada
a. Inspeksi
Bentuk simetris kanan dan kiri, inspirasi dan ekspirasi pernafasan, irama,
gerakan cuping hidung, terdengar suara napas tambahan bantu dada?
b. Palpasi
Pergerakan simetris kanan kiri, taktil premitus sama antara kanan kiri
dinding dada
c. Perkusi
Adanya suara – suara sonor pada kedua paru – paru, suara redup pada
batas paru dan hepar
d. Auskultasi
Terdengar adanya suara vesikuler di kedua lapisan paru, suara ronchi dan
wheezing
3. Kardiovaskuler
a. Inspeksi
Bentuk dada simetris
b. Palpasi
Frekuensi dada simetris
c. Perkusi
Suara pekak
d. Auskultasi
Irama regular, systole / murmur
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu penyatuan dari masalah pasien yang nyata
maupun potensial berdasarkan data yang telah di kumpulkan (Boedihartono, 1994 :
17).
Diagnosa keperawatan yang muncul meliputi :
a. Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan, trauma muskuloskletal, kehancuran
yang terus-menerus (misalnya lokalisasi)
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual / muntah
3. Rencana asuhan keperawatan
4. IMPLEMENTASI
Sesuai Intervensi
5. EVALUASI
Sesuai Tujuan
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa:
WaluyoAgung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta
Suyono,dkk, 2001, Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II, edisi 3, Balai penercit FKUI,Jakarta.
University IOWA., NIC and NOC Project., 1991, Nursing outcome Classifications,Philadelphia,
USA
TUGAS BEDAH
PROGRAM PROFESI NERS
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN
DENGAN ATRESIA ANI
O
L
E
H
NIM: 19640859
TAHUN 2019/2020
BAB I
TINJAUAN TEORI
1.1 DEFINISI
Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforate
meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz. Ed 3 tahun 2002).
Atresia ini atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran yang
memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak
sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus
namun tidak berhubungan langsung dengan rectum. (sumber Purwanto. 2001 RSCM)
Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran
anus (Donna L. Wong, 520 : 2003).
Atresia berasal dari bahasa Yunani, artinya tidak ada, trepis artinya nutrisi atau
makanan. Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau
tertutupnya lubang badan normal atau organ tubular secara kongenital disebut juga
clausura. Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya berlubang atau
buntunya saluran atau rongga tubuh, hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau
terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu. Atresia dapat terjadi
pada seluruh saluran tubuh, misalnya atresia ani. Atresia ani yaitu tidak berlubangnya
dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu anus imperforata. Jika atresia terjadi maka
hampir selalu memerlukan tindakan operasi untuk membuat saluran seperti keadaan
normalnya.
1.2 ETIOLOGI
Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber mengatakan
kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus
dari tonjolan embriogenik. Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa
lubang dubur.
2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum
bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai
keenam usia kehamilan.
4. Berkaitan dengan sindrom down ( kondisi yang menyebabkan sekumpulan gejala mental
dan fisik khas ini di sebabkan oleh kelainan gen dimana terdapat ekstra salinan
kromosom 21)
1.3 PATOFISIOLOGI
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan
embrional. Anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari
bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinaria dan
struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal.
Terjadi atresia ani karena tidak ada kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon
antara 7 dan 10 mingggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena
kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada
pembukaan usus besar yang keluar melalui anus menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan
sehingga intestinal mengalami obstruksi.
Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini
mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya.
Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga
terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir ke arah traktus urinarius
menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara
rektum dengan organ sekitarnya. Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina)
atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki biasanya letak tinggi, umumnya fistula
menuju ke vesika urinaria atau ke prostate. (rektovesika). Pada letak rendah fistula menuju
ke uretra (rektourethralis).
1.4 POHON MASALAH
1.5 MANIFESTASI KLINIS
1. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
2. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.
3. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya.
4. Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tdk ada fistula).
5. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
6. Pada pemeriksaan rectal touché terdapat adanya membran anal.
7. Perut kembung. (Betz. Ed 7. 2002)
GAMBARAN KLINIS :
1.6 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain:
a. Asidosis hiperkloremia.
b. Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan.
c. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
d. Komplikasi jangka panjang yaitu eversi mukosa anal, stenosis (akibat konstriksi
jaringan perut dianastomosis).
e. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
f. Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi).
g. Prolaps mukosa anorektal.
h. Fistula (karena ketegangan abdomen, diare, pembedahan dan infeksi).
(Ngastiyah, 2005).
1.7 KLASIFIKASI
a. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses tidak dapat
keluar.
b. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
c. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rektum dengan anus.
d. Rektal atresia adalah tidak memiliki rektum.
1.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
1. Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik yang umum
dilakukan pada gangguan ini.
2. Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel mekonium.
3. Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat menunjukkan
adanya kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu pada mekonium yang
mencegah udara sampai keujung kantong rectal.
4. Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong.
5. Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan jarum tersebut
sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk
1,5 cm Derek tersebut dianggap defek tingkat tinggi.
1.9 PENATALAKSANAAN
1. Pembedahan
Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan
kelainan. Semakin tinggi gangguan, semakin rumit prosedur pengobatannya. Untuk
kelainan dilakukan kolostomi beberapa hari setelah lahir, kemudian anoplasti perineal
yaitu dibuat anus permanen (prosedur penarikan perineum abnormal) dilakukan pada
bayi berusia 12 bulan. Pembedahan ini dilakukan pada usia 12 bulan dimaksudkan
untuk memberi waktu pada pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk
berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badan dan
bertambah baik status nutrisnya. Gangguan ringan di atas dengan menarik kantong
rectal melalui afingter sampai lubang pada kulit anal fistula, bila ada harus tutup
kelainan membranosa hanya memerlukan tindakan pembedahan yang
minimal membran tersebut dilubangi degan hemostratau skapel
2. Pengobatan
a. Aksisi membran anal (membuat anus buatan)
b. Fiktusi yaitu dengan melakukan kolostomi sementara dan setelah 3 bulan dilakukan
korksi sekaligus (pembuat anus permanen) (Staf Pengajar FKUI. 205).
BAB II
2.1 PENGKAJIAN
Nama, Tempat tgl lahir, umur, Jenis Kelamin, Alamat, Agama, Suku Bangsa
Pendidikan, Pekerjaan , No. CM, Tanggal Masuk RS, Diagnosa Medis
2.1.2 RIWAYAT KESEHATAN
a. Keluhan Utama : Distensi abdomen
b. Riwayat Kesehatan Sekarang :Muntah, perut kembung dan membuncit, tidak bisa
buang air besar, meconium keluar dari vagina atau meconium terdapat dalam urin
c. Riwayat Kesehatan Dahulu : Klien mengalami muntah-muntah setelah 24-48 jam
pertama kelahiran
d.Riwayat Kesehatan Keluarga : Merupakan kelainan kongenital bukan kelainan/
penyakit menurun sehingga belum tentu dialami oleh angota keluarga yang lain
e.Riwayat Kesehatan Lingkungan : Kebersihan lingkungan tidak mempengaruhi
kejadian atresia ani
2.1.3 POLA FUNGSI KESEHATAN
a. Pola persepsi terhadap kesehatan
Klien belum bisa mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang apa yang
dirasakan dan apa yang diinginkan
b. Pola aktifitas kesehatan/latihan
Pasien belum bisa melakukan aktifitas apapun secara mandiri karena masih
bayi.
AKTIFITAS 0 1 2 3 4
Mandi
Berpakaian
Eliminasi
Mobilitas ditempat tidur
Pindah
Ambulansi
Makan .
Keterangan :
0 : Mandiri
1 : Dengan menggunakan alat bantu
2 : Dengan menggunakan bantuan dari orang lain
3 : Dengan bantuan orang lain dan alat bantu
4 : Tergantung total, tidak berpartisipasi dalam beraktifitas
c. Pola istirahat/tidur
Diperoleh dari keterangan sang ibu bayi atau kelurga yang lain
d. Pola nutrisi metabolik
Klien hanya minum ASI atau susu kaleng
e.Pola eliminasi
Klien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium
f. Pola kognitif perseptual
Klien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientas i dengan baik pada
orang lain
g. Pola konsep diri
1) Identitas diri : belum bisa dikaji
2) Ideal diri : belum bisa dikaji
3) Gambaran diri : belum bisa dikaji
4) Peran diri : belum bisa dikaji
5) Harga diri : belum bisa dikaji
h. Pola seksual Reproduksi
Klien masih bayi dan belum menikah
i. Pola nilai dan kepercayaan
Belum bisa dikaji karena klien belum mengerti tentang kepercayaan
j. Pola peran hubungan
Belum bisa dikaji karena klien belum mampu berinteraksi dengan orang lain secara
mandiri
k. Pola koping
Belum bisa dikaji karena klien masih bayi dan belum mampu berespon terhadap
adanya suatu masalah
2.1.4 PEMERIKSAAN FISIK
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah anus
tampak merah, usus melebar, kadang – kadang tampak ileus obstruksi, termometer
yang dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi terdengan
hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin dan
vagina (FKUI, Ilmu Kesehatan Anak:1985).
HISPRUNG
OLEH
NIM 19640865
TAHUN 2019/2020
LAPORAN PENDAHULUAN HISPRUNG
enterik dengan karakteristik tidak adanya sel-sel ganglion (tidak adanya pleksus
mienterik) pada bagian distal kolon dan kolon tidak bisa mengembang dengan
memberikan manifestasi perubahan struktur dari kolon. Pada kondisi klinik penyakit
sesuai dengan panjang segmen yang terkena, Hischsprung dibedakan menjadi dua
tipe berikut:
a. Segmen pendek
pada sekitar kasus penyakit Hischsprung dan tipe ini lebih sering ditemukan
pada laki-laki dibandingkan anak perempuan. Pada tipe segmen pendek yang
umum, insidensinya 5 kali lebih besar pada laki-laki. dibandingkan wanita dan
b. Segmen panjang
Penyebab tidak diketahui, tetapi ada hubungan dengan kondisi genetik. Mutasi
pada Ret proto-onkogen telah dikaitkan dengan neoplasia endokrin 2A atau 2B pada
penyakit Hirschprung familiar. Gen lain yang berhubungan dengan penyakit
Hirschprung termasuk sel neurotrofik glial yang diturunkan dari faktor gen, reseptor
gen endothelin-B, dan gen endothelin -3. Penyakit Hirschprung juga terkait dengan
Down syndrome, sekitar 5-15% dari pasien dengan penyakit Hirschprung juga
memiliki trisomi 21 (Muttaqin & Sari, 2013).
Adapun tanda dan gejala yang bisa di temukan pada hirschprung adalah
sebagai berikut:
Obstipasi (sembelit) merupakan tanda utama pada Hischsprung, dan pada bayi
baru lahir dapat merupakan gejala obstruktif akut. Tiga tanda (trias) yang sering
ditemukan meliputi mekonium yang terlambat keluar (lebih dari 24 jam), perut
kembung, dan muntah berwarna hijau. Pada neonatus, kemungkinan ada riwayat
keterlambatan keluarnya mekonium selama 3 hari atau bahkan lebih mungkin
menandakan terdapat obstruksi rektum dengan distensi abdomen progresif dan
muntah, sedangkan pada anak yang lebih besar kadang-kadang ditemukan keluhan
adanya diare dan enterokolitis kronik yang lebih menonjol daripada tanda-tanda
obstipasi (sembelit).
Terjadinya diare yang berganti-gantidengan konstipasi merupakan hal yang
tidak lazim. Pabila disertai dengan komplikasi enterokolitis,anak akan mengeluarkan
feses yang besar dan mengandung darah serta sangat berbau, dan terdapat peristaltik
dan bising usus yang nyata.
Sebagian besar tanda dapat ditemukan pada minggu pertama kehidupan, sengkan
yang lain ditemukan sebagai kasus konstipasi kronik dengan tingkat keparahan yang
meningkat sesuai dengan perubahan umur anak. Dimana, pada anak yang lebih tua
biasanya terdapat konstipasi kronik disertai anoreksia dan kegagalan pertumbuhan.
(Sodikin, Asuhan Keperawatan anak: Gangguan Sistem Gastrointestinal dan
Hepatobilier, 2011)
3. Patofisiologi Hirschprung
Dalam keadaan normal, bahan makanan yang dicerna dapat berjalan di sepanjang
usus karena adanya kontraksi ritmis dari otot-otot yang melapisi usus (kontraksi
ritmis ini disebut geraka peristaltik ). Kontraksi otot-otot tersebut dirangsang oleh
sekumpulan saraf yang disebut ganglion, yang terletak di bawah lapisan otot. Pada
penyakit Hirschprung ganglion/pleksis yang memerintahkan gerakan peristaltik tidak
ada, biasanya hanya sepanjang beberapa sentimeter. Segmen usus yang tidak
memiliki gerakan peristaltik tidak dapat mendorong bahan-bahan yang dicerna
sehingga terjadi penyumbatan .
Dengan kondisi tidak adanya ganglion, maka akan memberikan manifestasi
ganggguan atau tidak adanya peristalsis sehingga akan terjadi tidak adanya evakuasi
usus spontan. Selain itu, sfingter rektum tidak dapat berelaksasi secara optimal,
kondisi ini dapat mencegah keluarnya feses secara normal. Isi usus kemudian
terdorong ke segmen aganglionik dan terjadi akumulasi fese di daerah tersebut
sehingga memberikan manifestasi dilatasi usus pada bagian proksimal.
4. Pathway Hisprung
Respon psikologis keluarga dan Predisposisi gangguan genetic
pasien (bayi atau anak) serta perkembangan dari system saraf
misinterpretasi terhadap enterik
perawatan dan pengobatan
Intervensi Rasional
Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang Bila pasien mendapat intervensi, peran
intervensi konservatif, intervensi bedah, dan perawat adlah memberikan informasi yang
program perawatan rumah. sesuai dengan kebutuhan individu.
Apabila pasien mendapat keputusan
pembedahan atas kondisi penyakitnya,
maka persiapan prabedah sama seperti
persiapan pembedahan abdomen lainnya.
Peran perawat mengklarifikasi bahwa
informasi dimengerti dan dilaksanakan
pasien.
Intervensi konservatif: Keluarga terdekat dengan pasien perlu
Cari sumber yang meningkatkan dilibatkan dalam pemenuhan informasi
penerimaan informasi. untuk menurunkan risiko misinterpretasi
terhadap informasi yang diberikan.
Bulechek, G. M., Butcher , H. K., Dochterman, J. M., & Wagner , C. M. (2016). Nursing
Interventions Classification (NIC) . Jakarta : ELSEVIER .
Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2016). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi .
Jakarta : EGC .
Kowalak , J. P., Welsh, W., & Mayer, B. (2011). Buku Ajar Patofisiologi . Jakarta : EGC.
Muttaqin, A., & Sari, K. (2013). Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.
Moorhead, S., Johnson , M., Mass, M. L., & Swanson , E. (2016). Nursing Outcomes
Classification (NOC) . Jakarta : ELSEVIER .
DISUSUN OLEH :
A. Pengertian
Atresia Billier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak adanya atau
obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau intrahepatik (Suriadi dan Rita
Yulianni, 2006)
Atresia bilier merupakan kegagalan perkembangan lumen pada korda epitel yang akhirnya
menjadi duktus biliaris, kegagalan ini bisa menyeluruh atau sebagian. (Chandrasoma &
Taylor,2005)
Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau lebih dari duktus
biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus persisten dan kerusakan hati
yang bervariasi dari statis empedu sampai sirosis biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut
menjadi hipertensi porta. (Kamus Kedokteran Dorland 2002: 206)
Atresia Billier adalah suatu keadaan dimana saluran empedu tidak terbentuk atau tidak
berkembang secara normal. Atresia biliaris adalah kelainan konginetal yang ditandai dengan
obstruksi atau tidak adanya duktus atau saluran empedu. Atresia bilier merupakan suatu defek
congenital yang merupakan hasil dari tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu
pada ekstrahepatik atau intrahepatik. Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari
hati ke kandung empedu. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati, yang jika tidak
diobati bisa berakibat fatal.
Tipe- tipe atresia biliary, secara empiris dapat dikelompokkan dalam 2 tipe:
a. Tipe yang dapat dioperasi / Operable/ correctable.
Jika kelainan/sumbatan terdapat dibagian distalnya. Sebagian besar dari saluran-saluran
ekstrahepatik empedu paten.
b. Tipe yang tidak dapat dioperasi / Inoperable/ incorrectable
Jika kelainan / sumbatan terdapat dibagian atas porta hepatic, tetapi akhir-akhir ini dapat
dipertimbangakan untuk suatu operasi porto enterostoma hati radikal. Tidak bersifat paten
seperti pada tipe operatif.
Klasifikasi dengan menggunakan system klasifikasi Kasai, cara ini banyak digunakan.
Mengklasifikasikan kasus atresia biliaris berdasarkan lokasi dan tingkat patologinya. Klasifikasi
atresia bliaris sesuai dengan area yang terlibat.
a. Tipe I: saluran empedu umumnya paten pada daerah proksimal.
b. Tipe II: atresia pada saluran empedu dapat terlihat, dengan sumbatan saluran empedu
ditemukan pada porta hepatis.
c. Tipe IIa: fibrosis dan saluran empedu umumnya bersifat paten
d. Tepi IIb: umumnya duktus biliaris dan duktus hepatic tidak ada.
e. Tipe III : lebih mengacu pada terputusnya duktus hepatic kanan dan kiri sampai pada porta
hepatic. Bentuk atresia ini adalah umum terjadi, sekitar lebih dari 90% kasus
B. Epidemiologi
Atresia billiaris lebih banyak terjadi pada perempuan. Kondisi ini jarang terjadi, prevalensinya
1 : 15.000 kelahiran. Insidensi lebih banyak terjadi pada anak-anak asia dan anak kulit hitam. Di
US, sekitar 300 bayi yang lahir setiap tahunnya dengan kondisi atresia billiaris. Bentuk janin-
embrio yang ditandai dengan kolestasis awal, muncul dalam 2 minggu pertama kehidupan, dan
menyumbang 10-35% dari semua kasus. Dalam bentuk ini, saluran-saluran empedu terputus saat
lahir, dan 10-20% dari neonatus yang terkena dampak telah dikaitkan cacat bawaan,
termasuk Situs inversus , polysplenia , malrotasi, atresia usus, dan anomali jantung, antara lain.
Atresia billiaris dtemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak
perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1. Meski jarang tetapi jumlah penderita atresia billiaris
yang ditangani rumah sakit Cipt Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2002-2003, mencapai 37-
38 bayi atau 23 persen dari 162 bayi berpenyakit kuning akibat kelainan fungsi hati. Sedangkan di
Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Suromo Surabaya antara tahun 1999-2001 dari 19270
penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan penyakit kuning gangguan fungsi hati di
dapatkan atresia bilier 9 (9,4%).
Dari 904 kasus atresia billiris yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia billiaris didapat pada
ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), hispantik (11%), Asia (4,2) dan Indian Amerika
(1,5%). Kasus atresia bilier dilaporkan sebanyak 5/100.000 kelahiran hidup di belanda, 5/100.000
kelahiran hidup di perancis, 6/100.000 klahiran hidup di Inggris, 6,5/100.000 kelhiran hidup di
Texas, 7/100.000 kelahiran hidup di australia, 7,4/100.000 kelahiran hidup di USA, dan
10,6/100.000 kelahiran hidup di Jepang.
C. Etiologi
Penyebab atresia billiaris tidak diketahui dengan jelas, tetapi diduga akibat proses inflamasi
yang destruktif. Atresia billiaris terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran
empedu di dalam maupun diluar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran
empedu ini tidak diketahui. Meskipun penyebabnya belum diketahui secara pasti, tetapi diduga
karena kelainan kongenital, didapat dari proses-proses peradangan, atau kemungkinan infeksi
virus dalam intrauterine.
Penyebab atresia masih kontroversial, beberapa ahli percaya bahwa hal ini terjadi akibat
infeksi intrauterine. Atresia biasanya hanya mengenai duktus biliaris ekstrahepatik, duktus
intrahepatik lebih jarang terkena. Atresia biliaris komplit yang mengenai seluruh system
menyebabkan kematian yang tinggi. Hati menunjukan gambaran obstruksi hebat duktus biliaris
yang besar dengan sirosis biliaris sekunder. Tanpa pengobatan, kematian terjadi pada masa bayi.
Terapi bedah dapat berhasil pada kasus atresia parsial. Pada kasus atresia yang mengenai duktus
intrahepatik, transplantasi hati merupakan satu-satunya harapan.
Hal yang penting perlu diketahui adalah bahwa atresia billiaris adalah bukan merupakan
penyakit keturunan. Kasus atresia billiaris tidak diturunkan dari keluarga. Atreia billiaris paling
sering disebabkan karena sebuah peristiwa yang terjadi saat bayi dalam kandungan. Kemungkinan
hal yang dapat memicu terjadinya atresia billiaris diantaranya: infeksi virus atau bakteri, gangguan
dalam system kekebalan tubuh, komponen empedu yang abnormal, kesalahan dalam
perkembangan hati dan saluran empedu.
E. Patofisiologi
Penyebabnya sebenarnya atresia billiaris tidak diketahui sekalipun mekanisme imun atau viral
injurio bertanggung jawab atas progresif yang menimbulkan obstruksi saluran empedu. Berbagai
laporan menunjukkan bahwa atresia billiaris tidak terlihat pada janin, bayi yang baru lahir.
Keadaan ini menunjukan bahwa atresia billiaris terjadi pada akhir kehamilan atau pada periode
perinatal dan bermanisfestasi dalam waktu beberapa minggu sesudah dilahirkan. Inflamasi terjadi
secara progresif dengan menimbulkan obstruksi dan fibrosis pada saluran empedu intrahepatik
atau ekstrahepatik (Wong, 2008).
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal empedu
keluar hati, kantung empedu dan usus akhirnya akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi
hati, bahkan hati menjadi fibrosis dan sirosis.
Obstruksi melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus biliaris yang menimbulkan ikterus dan
duktus didalam lobus hati yang meningkatkan ekskresi bilirubin. Obstruksi yang terjadi mencegah
terjadi bilirubin ke dalam usus menimbulkan tinja berwarna pucat seperti kapur.
Obstruksi billier menyebabkan akumulasi garam empedu di dalam darah sehingga
menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena tidak adanya empedu dalam usus, lemak dan
vitamin A, D, E, K tidak dapat di absorbsi sehingga mengalami kekurangan vitamin yang
menyebabkan gagal tumbuh pada anak.
G. Pengobatan
a. Medik
Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu dengan
memberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis peroral misal : luminal
Melindungi hati dari zat dari zat toksik dengan memberikan asam ursodeoksikolat 310
mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis peroral misal : urdafalk
2) Terapi nutrisi yang bertujuan untuk memungkinkan anak untuk bertumbuh dan berkembang
seoptimal mungkin yaitu:
Pemberian makanan yang mengandung middle chain triglycerides(MCT)untuk mengatasi
malabsorpsi lemak. Contoh : susu pregestinil dan pepti yunior.
Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak.
Dan pembedahan itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif harus
dilaksanakan dalam periode 2 hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang progresif
dapat dikurangi.
3) Terapi Bedah
Setelah diagnosis atresia bilier ditegakkan maka segera dilakukan intervensi bedah
Portoenterostomi terhadap atresia bilier yang Correktable yaitu tipe Idan II. Pada atresia bilier
yang Non Correktable terlebih dahulu dilakukan laparatomi eksplorasi untuk menentukan potensi
duktus bilier yang ada di daerah hilus hati dengan bantuan Frozen section. Bila masih ada duktus
bilier yang paten maka dilakukan operasi kasai. Tetapi meskipun tidak ada duktus bilier yang paten
tetap dikerjakan operasi kasai dengan tujuan untuk menyelamatkan penderita (tujuan jangka
pendek) dan bila mungkin untuk persiapan transplantasi hati (tujuan jangka panjang). Pembedahan
itu untuk menghasilkan drainase getah empedu yang efektif harus dilaksanakan dalam periode 2
hingga 3 bulan sesudah lahir agar kerusakan hati yang progresif dapat dikurangi.
4) Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan urin
Pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang mengalami ikterus, tetapi urobilin
dalam urine negative, hal ini menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.
Pemeriksaan feses
Warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja/stercobilin dalam tinja berkurang
karena adanya sumbatan.
Biopsi hati
Untuk mengetahui seberapa besar sumbatan dari hati yang dilakukan dengan pengambilan
jaringan hati.
USG abdomen
Kandung empedu yang kecil atau tidak sama sekali, adanya tanda Triangular cord sangat
sensitive menunjukkan adanya atresia bilier.
b. Keperawatan
Terdapat beberapa intervensi keperawatan yang penting bagi anak yang menderita atresia bilier.
Penyuluhan yang meliputi semua aspek rencana penanganan dan dasar pemikiran bagi tindakan
yang akan dilakukan harus disampaikan kepada anggota keluarga pasien. Segera pembedahan
portoenterestomi asuhan keperawatannya serupa dengan yang dilakukan pada setiap pembedahan
abdomen yang berat. Penyuluhan yang diberikan meliputi pemberian obat dan terapi gizi yang
benar termasuk penggunaan formula khusus, suplemen vitamin serta mineral, terapi nutrisi enteral
atau parenteral. Pruritus menjadi persoalan signifikan namun dapat dikurangi dengan obat atau
tindakan seperti mandi rendam dan memotong kuku jari tangan.
Anak-anak dan keluarga memerlukan dukungan psikososial khusus. Prognosis yang tidak pasti,
gangguan rasa nyaman, dan penantian untuk tranpalantasi dapat menimbulkan stress yang cukup
besar. Perawatan yang lama di rumah sakit, terapi farmakologis dan nutrisi dapat membawa beban
financial yang besar pada keluarga.
H. Pencegahan
Dapat mengetahui setiap faktor risiko yang dimiliki, sehingga bisa mendapatkan prompt
diagnosis dan pengobatan jika saluran empedu tersumbat. Penyumbatan itu sendiri tidak dapat
dicegah. (Attasaranya S, Fogel EL,2008)
Dalam hal ini perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan pada orang tua untuk
mengantisipasi setiap faktor resiko terjadinya obstruksi biliaris (penyumbatan saluran empedu),
dengan keadaan fisik yang menunjukan anak tampak ikterik, feses pucat dan urine berwarna gelap
(pekat). (Sarjadi,2000)
I. PATHWAY
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Identitas
Meliputi Nama,Umur, Jenis Kelamin dan data-data umum lainnya. Hal ini dilakukan sebagai
standar prosedur yang harus dilakukan untuk mengkaji keadaan pasien. Umumnya Atresia
billiaris lebih banyak terjadi pada perempuan. Atresia bilier dtemukan pada 1 dari 15.000
kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1.
b. Keluhan Utama
Keluhan utama dalam penyakit Atresia Biliaris adalah Jaundice dalam 2 minggu sampai 2
bulan Jaundice adalah perubahan warna kuning pada kulit dan mata bayi yang baru lahir.
Jaundice terjadi karena darah bayi mengandung kelebihan bilirubin, pigmen berwarna kuning
pada sel darah merah.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Anak dengan Atresia Biliaris mengalami Jaundice yang terjadi dalam 2 minggu atau 2 bulan
lebih, apabila anak buang air besar tinja atau feses berwarna pucat. Anak juga mengalami
distensi abdomen, hepatomegali, lemah, pruritus. Anak tidak mau minum dan kadang disertai
letargi (kelemahan).
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya suatu infeksi pada saat Infeksi virus atau bakteri masalah dengan kekebalan tubuh.
Selain itu dapat juga terjadi obstruksi empedu ektrahepatik. yang akhirnya menimbulkan
masalah dan menjadi factor penyebab terjadinya Atresia Biliaris ini.
Riwayat Imunisasi: imunisasi yang biasa diberikan yaitu BCG, DPT, Hepatitis, dan Polio.
e. Riwayat Perinatal
1) Antenatal:
Pada anak dengan atresia biliaris, diduga ibu dari anak pernah menderita infeksi penyakit,
seperti HIV/AIDS, kanker, diabetes mellitus, dan infeksi virus rubella
2) Intra natal:
Pada anak dengan atresia biliaris diduga saat proses kelahiran bayi terinfeksi virus atau bakteri
selama proses persalinan.
3) Post natal:
Pada anak dengan atresia diduga orang tua kurang memperhatikan personal hygiene saat
merawat atau bayinya. Selain itu kebersihan peralatan makan dan peralatan bayi lainnya juga
kurang diperhatikan oleh orang tua ibu.
f. Riwayat Kesehatan Keluarga
Anak dengan atresia biliaris diduga dalam keluarganya, khususnya pada ibu pernah menderita
penyakit terkait dengan imunitas HIV/AIDS, kanker, diabetes mellitus, dan infeksi virus
rubella. Akibat dari penyakit yang di derita ibu ini, maka tubuh anak dapat menjadi lebih
rentan terhadap penyakit atresia biliaris. Selain itu terdapat kemungkinan adanya kelainan
kongenital yang memicu terjadinya penyakit atresia biliaris ini.
g. Pemeriksaan Tingkat Perkembangan
Pemeriksaan tingkat perkembangan terdiri dari adaptasi sosial, motorik kasar, motorik halus,
dan bahasa. Tingkat perkembangan pada pasien atresia biliaris dapat dikaji melalui tingkah
laku pasien maupun informasi dari keluarga. Selain itu, pada anak dengan atresia biliaris,
kebutuhan akan asupan nutrisinya menjadi kurang optimal karena terjadi kelainan pada organ
hati dan empedunya sehingga akan berpengaruh terhadap proses tumbuh kembangnya.
h. Keadaan Lingkungan yang mempengaruhi timbulnya penyakit
Kedaan lingkungan yang mempengaruhi timbulnya atresia pada anak yaitu pola kebersihan
yang cenderung kurang. Orang tua jarang mencuci tangan saat merawat atau menetekkan
bayinya. Selain itu, kebersihan botol atau putting ketika menyusui bayi juga kurang
diperhatikan.
i. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Aktivitas/Istirahat : Pola aktivitas dan istirahat anak dengan atresia biliaris terjadi
gangguan yaitu ditandai dengan anak gelisah dan rewel yang gejalanya berupa letargi atau
kelemahan
2) Pola Sirkulasi : Pola sirkulasi pada anak dengan atresia biliaris adalah ditandai dengan
takikardia, berkeringat yang berlebih, ikterik pada sklera kulit dan membrane mukosa.
3) Pola Eliminasi : Pola eliminasi pada anak dengan atresia biliaris yaitu terdapat distensi
abdomen dan asites yang ditandai dengan urine yang berwarna gelap dan pekat. Feses
berwarna dempul, steatorea. Diare dan konstipasi pada anak dengan atresia biliaris dapat
terjadi.
4) Pola Nutrisi : Pola nutrisi pada anak dengan atresia biliaris ditandai dengan
anoreksia,nafsu makan berkurang, mual-muntah, tidak toleran terhadap lemak dan
makanan pembentuk gas dan biasanya disertai regurgitasi berulang.
5) Pola kognitif dan persepsi sensori: pola ini mengenai pengetahuan orang tua terhadap
penyakit yang diderita klien
6) Pola konsep diri: bagaimana persepsi orang tua dan/atau anak terhadap pengobatan dan
perawatan yang akan dilakukan.
7) Pola hubungan-peran: biasanya peran orang tua sangat dibutuhkan dalam merawat dan
mengobati anak dengan atresia biliaris.
8) Pola seksual-seksualitas: apakah selama sakit terdapat gangguan atau tidak yang
berhubungan dengan reproduksi sosial. Pada anak yang menderita atresia biliaris biasanya
tidak ada gangguan dalam reproduksi.
9) Pola mekanisme koping: keluarga perlu memeberikan dukungan dan
semangat sembuh bagi anak.
10) Pola nilai dan kepercayaan: orang tua selalu optimis dan berdoa agar penyakit pada
anaknya dapat sembuh dengan cepat.
j. Pemeriksaan Fisik
Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu berupa:
1) Air kemih bayi berwarna gelap
2) Tinja berwarna pucat
3) Kulit berwarna kuning
4) Berat badan tidak bertambah atau penambahan berat badan berlangsung lambat
5) Hati membesar.
6) Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
a) Gangguan pertumbuhan
b) Gatal-gatal
c) Rewel
d) Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah dari
lambung, usus dan limpa ke hati).
7) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum : lemah.
TTV : Tekanan Darah : terjadi peningkatan terutama pada vena porta
Suhu : Suhu tubuh dalam batas normal
Nadi : takikardi
RR : terjadi peningkatan RR akibat diafragma yang tertekan (takipnea)
b) Kepala dan leher
Inspeksi : Wajah : simetris
Rambut : lurus/keriting, distribusi merata/tidak
Mata : pupil miosis, konjungtiva anemis
Hidung : kemungkinan terdapat pernafasan cuping Hidung
Telinga : bersih
Bibir dan mulut : mukosa biibir kemungkinan terdapat ikterik
Lidah : normal
Palpasi : tidak ada pembesaran kelenjar thyroid dan limfe pada leher
c) Dada
Inspeksi : asimetris, terdapat tarikan otot bantu pernafasan dan tekanan pada otot
diafragma akibat pembesaran hati (hepatomegali).
Palpasi : denyutan jantung teraba cepat, terdapat nyeri tekan(-)
Perkusi : Jantung : dullness
Paru : sonor
Auskultasi : tidak terdengar suara ronchi kemungkinan terdengar bunyi wheezing
d) Abdomen
Inspeksi : terdapat distensi abdomen
Palpasi : dapat terjadi nyeri tekan ketika dipalpasi
Perkusi : sonor
Auskultasi : kemungkinan terjadi pada bising usus
e) Kulit
Turgor kurang, pucat, kulit berwarna kuning (jaundice)
f) Ekstremitas
Tidak terdapat odem pada pada extremitas
k. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
a) Bilirubin direk dalam serum meninggi (nilai normal bilirubin total < 12 mg/dl) karena kerusakan
parenkim hati akibat bendungan empedu yang luas.
b) Tidak ada urobilinogen dalam urine.
c) Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan transaminase alkalifosfatase (5-20 kali lipat nilai
normal) serta traksi-traksi lipid (kolesterol fosfolipid trigiliserol)
2) Pemeriksaan diagnostik
a) USG yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab kolestasis ekstra hepatic (dapat berupa
dilatasi kristik saluran empedu)
b) Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenum lalu cairan duodenum di aspirasi. Jika tidak
ditemukan cairan empedu dapat berarti atresia empedu terjadi
c) Sintigrafi radio kolop hepatobilier untuk mengetahui kemampuan hati memproduksi empedu dan
mengekskresikan ke saluran empedu sampai tercurah ke duodenum. Jika tidak ditemukan empedu
di duodenum, maka dapat berarti terjadi katresia intra hepatik
d) Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat kehijauan dan noduler. Kandung empedu
mengecil karena kolaps. 75% penderita tidak ditemukan lumen yang jelas
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan penyerapan
lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva anemis
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi abdomen ditandai oleh adanya
perasaan sesak pada pasien
c. Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada duktusbilier
ekstrahepatik
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting pada pasien
ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien
e. Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
3. Perencanaan Keperawatan
a. Diagnosa Keperawatan: Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
dan gangguan penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva anemis
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
1. 1. Kaji distensi abdomen
keperawatan 2 x 24 jam selama proses
2. 2. Pantau masukan nutrisi dan perhatikan frekuensi
keperawatan, diharapkan pola nutrisi pasien muntah klien
menjadi adekuat 3. 3. Timbang BB setiap hati
Kriteria Hasil: 4. 4. Berikan diet yang sedikit namun sering
a. a. BB pasien stabil 5. 5. Atur kebersihan oral sebelum makan
b. b. Konjungtiva tidak anemis 6. 6. Konsulkan dengan ahli diet sesuai indikasi
7. 7. Berikan diet rendah lemak, tinggi serat, dan
batasi makanan penghasil gas
8. 8. Kolaborasikan pemberian makanan yang
mengandung MCT sesuai indikasi
9. 9. Monitor kadar albumin, protein sesuai program
10. Berikan vitamin-vitamin larut lemak (A, D, E,
K)
b. Diagnosa keperawatan: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi
abdomen ditandai oleh adanya perasaan sesak pada pasien
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: Setelah dilakukan perawatan 2 x 24 1. Kaji distensi abdomen
jam, diharapkan pasien menunjukkan tanda- 2. Kaji RR, kedalaman nafas, dan kerja pernafasan
tanda pola nafas yang efektif 3. Awasi klien agar tidak sampai mengalami leher
Kriteria Hasil: tertekuk
a. a. RR mencapai 30-40 napas/mnt 4. Posisikan klien semi ekstensi atau eksensi pada
b.Kedalaman inspirasi dan kedalaman saat beristirahat
bernafas 5. Kolaborasikan operasi apabila dibutuhkan
c. Tidak ada penggunaan otot bantu nafas
pada pasien
c. Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada duktusbilier
ekstrahepatik, ditandai oleh peningkatan suhu tubuh, dan pasien demam
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: setelah dilakukan pemeriksaan 1. Berikan kompres air biasa pada daerah
keperawatan 1 x 24 jam diharapkan suhu aksila, kening, leher, dan lipatan paha
tubuh pasien akan kembali menjadi normal 2. Pantau suhu minimal setiap 2 jam sekali
Kriteria Hasil: disesuaikan dengan kebutuhan
a. Nadi dan pernapasan dalam rentang normal 3. Berikan pasien pakaian tipis
b. Suhu normal 36,50 – 37,50 4. Menipulasi lingkungan menjadi senyaman
mungkin seperti penggunaan kipas angin
atau AC
5. Kolaborasikan pemberian obat anti piretik
sesuai kebutuhan
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting pada pasien
ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: pasien akan mempertahankan 1. Pantau asupan dan carian pasien perjam
keseimbangan cairan dan elektrolit setelah (cairan infus, susu per NGT, atau jumlah ASI
dilakukan perawatan didalam rumah sakit yang diberikan
selama 2 x 24 jam 2. Periksa feses pasien tiap harinya
Kriteria Hasil: 3. Pantau lingkar perut pasien
a. Kembalinya pengisian kapiler darah 4. Observasi tanda-tanda dehidrasi
kurang dari 3 detik 5.Kolaborasikan pemeriksaan elektrolit
b. Turgor kulit membaik pasien, kadar protein total, albumin, nitrogen
c. Produksi urin 1-2ml/kgBB/jam urea darah dan kreatinin serta darah lengkap
e. Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi.
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Tujuan: pola BAB pasien normal setelah 1. Evaluasi jenis intake makanan
perawatan yang dilakukan 2 x 24 jam 2. Monitor kulit sekitar perianal terhadap
Kriteria Hasil: adanya iritasi dan ulserasi
a. Tidak ada diare 3. Ajarkan pada keluarga penggunaan obat
b. Elektrolit normal anti diare
c. Asam basa normal 4. Instruksikan pada pasien dan keluarga untuk
mencatat warna, volume, frekuensi dan
konsistensi feses
5. Kolaborasi jika tanda dan gejala diare
menetap
6. Monitor hasil Lab (elektrolit dan leukosit)
7. Monitor turgor kulit, mukosa oral sebagai
indikator dehidrasi
8. Konsultasi dengan ahli gizi untuk diet yang
tepat
D. Implimentasi Keperawatan
a. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan penyerapan
lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva anemis
1) mengkaji adanya distensi pada abdomen pasien
2) memantau masukan nutrisi dan frekuensi muntah
3) menimbang berat badan pasien
4) mengkolaborasikan pemberian diet pada pasien sedikit namun sering
5) mempertahankan kebersihan oral pasien sebelum makan
6) mengkonsultasikan dengan ahli diet sesuai indikasi
7) memberikan diet rendah lemak, tinggi serat, dan batasi makanan penghasil gas
8) memberikan makanan mengandung MCT sesuai indikasi
9) memonitor laboratorium untuk kadar albumin dan protein sesuai program
10) memberikan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi abdomen ditandai oleh adanya
perasaan sesak pada pasien
1) mengkaji ada tidaknya distensi abdomen klien
2) mengkaji RR, kedalaman nafas, dan kerja pernafasan
3) mengawasi leher klien agar tidak tertekuk atau memosisikan leher klien semi ekstensi saat
istirahat
4) mempersiapkan operasi apabila diperlukan
c. Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada duktusbilier
ekstrahepatik
1) memberikan kompres air biasa pada aksila, kening, leher, dan lipatan paha
2) memantau suhu minimal setiap 2 jam sekali sesuai kebutuhan
3) memberikan pasien pakaian tipis
4) memanipulasi lingkungan senyaman mungkin bagi pasien dengan penggunaan AC / kipas angin
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting pada pasien
ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien
1) memantau asupan dan cairan pasien perjam
2) memeriksa feses pasien setiap hari
3) memantau lingkar perut bayi
4) mengobservasi tanda-tanda dehidrasi pada pasien
5) mengkolaborasikan pemeriksaan elektrolit, kadar protein total termasuk albumin, nitrogen urea,
darah dan kreatinin serta darah lengkap
e. Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi.
1) Mengvaluasi jenis intake makanan
2) Memonitor kulit sekitar perianal terhadap adanya iritasi dan ulserasi
3) Mengajarkan pada keluarga penggunaan obat anti diare
4) Menginstruksikan pada pasien dan keluarga untuk mencatat warna, volume, frekuensi dan
konsistensi feses
5) Berkolaborasi jika tanda dan gejala diare menetap
6) Memonitor hasil Lab (elektrolit dan leukosit)
7) Memonitor turgor kulit, mukosa oral sebagai indikator dehidrasi
8) Berkonsultasi dengan ahli gizi untuk diet yang tepat
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
1) Mengobservasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas
2) Mengkaji adanya faktor yang menyebabkan kelelahan
3) Memonitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat
4) Memonitor respon kardivaskuler terhadap aktivitas (takikardi, disritmia, sesak nafas,
diaporesis, pucat, perubahan hemodinamik)
5) Memonitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat pasien
6) Membantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan
E. Evaluasi
a. Diagnosa 1: Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan gangguan
penyerapan lemak, ditandai oleh berat badan turun dan konjungtiva anemis
S: Orang tua pasien mengatakan jika sang anak tidak mau menghabiskan makanannya
O: BB menurun, Muntah, dan konjungtiva tampak anemis
A: Masalah teratasi
P: Lanjutkan intervensi
b. Diagnosa 2: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan distensi abdomen ditandai
oleh adanya perasaan sesak pada pasien
S: Orang tua mengeluhkan anaknya sering sesak
O: adanya sesak nafas, RR: 60 x/menit
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
c. Diagnosa 3: Hipertermia berhubungan dengan inflamasi akibat kerusakan progresif pada
duktusbilier ekstrahepatik
S: Pasien mengatakan tubuhnya panas
O: suhu meningkat, takikardi, dan RR meningkat
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
d. Diagnosa 4: Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tingginya nausea dan vomitting
pada pasien ditandai oleh tingginya frekuensi mual dan muntah pasien
S: Keluarga mengatakan sejak pagi pasien muntah-muntah setelah makan
O: muntah sebanyak ¼ gelas kecil, wajah terlihat pucat dan sianosis
A: masalah teratasi sebagian
P: lanjutkan intervensi
e. Diagnosa 5: Gangguan eliminasi fekal (diare) berhubungan dengan malabsorbsi
S: keluarga mengatakan pasien sudah mulai berkurang BABnya
O: pasien BAB 2 kali dalam sehari, dengan konsentrasi cair
A: masalah teratasi sebangian
P: lanjutkan intervensi
f. Diagnosa 6: Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
S: pasien mengatakan sudah dapat beraktivitas, dan tidak lelah
O: nadi 95 kali / menit, RR: 21 kali / menit
A: masalah teratasi
P: lanjutkan intervensi
DAFTAR PUSTAKA
Craft-Rosernberg, Martha & Smith, Kelly. 2010. Nanda Diagnosa Keperawatan. Yogyakarta:
Digna Pustaka
Price, Sylvia A dan Wilson, Lorraine M.2006. Patofisiologi, Konsep Klinis, Proses-proses
Penyakit, Volume 1, edisi 6.J akarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C., dan Bare, Brenda G.. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi
8. Volume 2. Jakarta: EGC
Wilkinson, Judith M.2007. Buku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria
Hasil NOC. Jakarta: EGC
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Edisi 4. Jakarta : EGC.
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2012/05/pustaka_unpad_atresia_biliaris.pdf(
diakses tanggal 10 Maret 2015)
Disusun Oleh:
Mengetahui:
DOSEN PEMBIMBING
Manajemen Keperawatan
LAPORAN PENDAHULUAN
KOLELITHIASIS
A. TINJAUAN TEORITIS
1. DEFINISI KOLELITIASIS
Kolelitasis adalah inflamasi kandung empedu yang bisa menjadi Kolesistisis akut
biasanya terjadi setelah obstruksi saluran sistik oleh batu. Obstruksi akan meningkatkan
tekanan di dalam kandung empedu, menyebabkan iskemia dinding dan mukosa kandung
empedu. Tertahannya empedu menyebabkan iritasi kimia dan sering kali diikuti oleh
terjadinya inflamsi bakteri. Iskemia dapat menyebabkan nekrosis dan perforasi dinding
kandung empedu (Pricilla, 2015).
Kolelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah
kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu
kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material
mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Batu Empedu adalah timbunan
kristal di dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di
dalam kandung empedu disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu
disebut koledokolitiasis (Nucleus Precise Newsletter, edisi 72, 2011).
Kolelitiasis adalah pembentukan batu (kalkuli) di dalam kandung empedu atau
saluran bilier. Batu terbentuk dari unsur-unsur padat yang membentuk cairan empedu.
Kolelitiasis pada saluran kandung empedu yang pada umumnya komposisi utamanya
adalah kolesterol (Bare, 2009)
STASE BEDAH
2. ETIOLOGI
Menurut Nian Afrian (2015) penyebab kolelitiasis adalah:
a) Jenis Kelamin
Wanita mempunyai risiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dengan pria. Ini
dikarenakan oleh hormoneosterogen berpengaruh terhadap peningkatan ekskresi
kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan yang meningkatkan kadar esterogen
juga meningkatkan risiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil dan kontrasepsi dan
terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu
dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
b) Usia
Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang dengan usia yang lebih muda.
c) Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar
kolesterol dalam kandung empedu tinggi, dan juga mengurangi garam empedu
serta mengurangi kontraksi / penggosongan kandung empedu.
d) Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gastrointestinal) mengakibtkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan
dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
e) Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga.
f) Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
g) Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah diabetes,
anemia, sel sabit, trauma, dan ileus pralitik
STASE BEDAH
h) Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi
untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan / nutrisi yang melewati intestinal.
Sehingga risiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam
kandung empedu.
3. MANIFESTASI KLINIS
Penderita batu saluran empedu sering mempunyai gejala-gejala kronis dan akut.
GEJALA AKUT GEJALA KRONIS
TANDA : TANDA:
1. Epigastrium kanan terasa nyeri dan 1. Biasanya tak tampak gambaran pada
spasme. abdomen.
2. Usaha inspirasi dalam waktu diraba pada 2. Kadang terdapat nyeri di kwadran
4. Ikterus ringan
GEJALA: GEJALA:
1. Rasa nyeri (kolik empedu) yang Menetap 1. Rasa nyeri (kolik empedu), Tempat :
4. Flatulensi
5. Eruktasi (bersendawa)
STASE BEDAH
4. KLASFIKASI DATA
Pada kolelitiasis, kalkulus (batu empedu) biasanya terbuka di kantung empedu
dari zat padat empedu dan memiliki ukuran, bentuk dan komposisi yang sangat beragam.
Terdapat dua tipe utama batu empedu: batu pigmen, yang mengandung kelebihan pigmen
tak terkonjugasi tau tak jenuh (unconjugated) didalam empedu, batu kolesterol (bentuk
yang lebih sering), sangat terjadi akibat batu empedu yang tersupersaturasi dengan
kolesterol karena peningkatan sintesis kolesterol dan penurunan sintesis asam batu
empedu yang melarutkan kolesterol. Faktor resiko untu batu pigmen mencakup jenis
kelamin (wanita dua sampai tiga kali lebih cenderung mengalami batu kolesterol) ,
penggunaan kontrasepsi oral,estrogen,dan klofibrat usia (biasanya lebih dari 40 tahun),
status multipara dan obesitas. Terdapat juga peningkatan resiko yang terkait dengan
diabetes penyakit saluran GI, fistula selang T dan reseksi ileum atau pintas ileum.
Menurut Nian (2015) Kolelitiasis digolongkan atas 3 golongan :
1. Batu Kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol.
2. Batu kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung
kalsium bilirubinat sebagai komponen utama.
3. Batu pigmen hitam
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan
kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi.
Menurut Corwin (2008) ada 3 tipe utama kolelitiasis :
1. Batu pigmen, kemungkinan berbentuk pigmen tak terkonjugasi dalam empedu
melakukan pengendapan sehingga terjadi batu.
2. Batu kolesterol, terjadi akibat konsumsi makanan berkolesterol seperti fast
food dengan jumlah tinggi. Kolesterol yang merupakan unsur normal
pembentuk empedu tidak dapat larut dalam air. Pada pasien yang cenderung
menderita batu empedu akan terjadi penurunan sintesis asam empedu dan
peningkatan sintesis kolesterol dalam hati. Keadaan ini mengakibatkan
supersaturasi getah empedu oleh kolesterol yang kemudian keluar dari getah
empedu, mengendap dan menjadi batu empedu.
STASE BEDAH
3. Batu campuran, batu campuran dapat terjadi akibat kombinasi antara batu
pigmen dan batu kolesterol atau salah satu dari batu dengan beberapa zat lain
seperti kalsium karbonat, fosfat, dan garam empedu.
5. PATOFISIOLOGI
Menurut Corwin (2008) patofisiologi kolelitiasis yaitu perubahan komposisi
empedu. Perubahan komposisi ini membentuk inti, lalu lambat laun menebal dan
mengkristal. Proses pengkristal. Proses pengkristalan dapat berlangsung lama, bisa
sampai bertahun-tahun dan akhirnya akan menghasilkan batu empedu, bila adanya
peradangan pada kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif,
perubahan sususan kimia dan pengendapan beberapa unsur konstituen seperti kolesterol,
kalsium, bilirubin. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam
pembentukan batu, melalui peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan mukus. Mukus
meningkatan viskositas dan unsur seluler atay bakteri dapat berperan sebagai pusat
presipitasi. Adanya proses infeksi ini terkait mengubah komposisi empedu dengan
meningktkan reabsorpsi garam empedu dan lesitin. Genetik. Salah satu faktor genetikk
yang menyebabkan terjadinya batu empedu adalah obesitas karena orang dengan dengan
obesitas cenderung mempunyai kadar kolesterol yang tinggi. Kolesterol tersebut dapat
mengendap di saluran pencernaan juga di saluran kantung empedu, yang lama kelamaan
akan berubah menjadi batu empedu.
STASE BEDAH
PATHWAY:
Supersaturasi progresif
STASE BEDAH
6. KOMPLIKASI
6.1 Kolesistisis
Peradangan kandung empedu, saluran kandung empedu tersumbat oleh batu
empedu, menyebabkan infeksi dan peradangan kandung empedu.
6.2 Kolangitis
Peradangan pada saluran empedu, terjadi karena infeksi yang menyebar
melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah saluran-saluran menjadi terhalang oleh
sebuah batu empedu.
6.3 Hidrops
Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops kandung
empedu. Dalam keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan sindrom yang berkaitan
dengannya. Hidrops biasanya disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus sehingga
tidak dapat diisi lagi empedu pada kandung empedu yang normal. Kolesistektomi
bersifat kuratif
6.4 Empiema
Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini dapat
membahayakan jiwa dan membutuhkan kolesistektomi darurat segera.
7. PENCEGAHAN
7.1 Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah usaha mencegah timbulnya kolelitiasis pada orang
sehat yang memiliki risiko untuk terkena kolelitiasis. Pencegahan primer yang
dilakukan terhadap individu yang memiliki risiko untuk terkena kolelitiasi adalah
dengan menjaga kebersihan makanan untuk mencegah infeksi, misalnya S.Thyposa,
menurunkan kadar kolesterol dengan mengurangi asupan lemak jenuh, meningkatkan
asupan sayuran, buah-buahan, dan serat makanan lain yang akan mengikat sebagian
kecil empedu di usus sehingga menurunkan risiko stagnasi cairan empedu di kandung
empedu , minum sekitar 8 gelas air setiap hari untuk menjaga kadar air yang tepat
dari cairan empedu.
7.2 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan diagnosis dini terhadap
penderita kolelitiasis dan biasanya diarahkan pada individu yang telah positif
menderita kolelitiasis agar dapat dilakukan pengobatan dan penanganan yang tepat.
STASE BEDAH
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan non bedah ataupun bedah.
Penanggulangan non bedah yaitu disolusi medis, ERCP, dan ESWL. Penanggulangan
dengan bedah disebut kolesistektomi
8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
8.1 Pemeriksaan Sinar X Abdomen
a) Ultrasonografi
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur
diagnostic pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat serta
akurat dan dapat digunakan pada penderita disfungsi hati dan icterus.
b) Pemeriksaan pencitraan radionuklida atau koleskintografi
Dalam prosedur ini preparat radioaktif disuntikkan secara intravena. Preparat ini
kemudian diambil oleh hepatosit dan dengan cepat disekresikan ke dalam
system bilier. Selanjutnya dilakukan pemindaian saluran empedu untuk
mendapatkan gambar kandung empedu dan percabangan bilier.
c) Kolesistografi
Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu untuk
melakukan pengisian, memekatkan isinya, berkontraksi serta mengosongkan
isinya. Media kontras yang mengandung iodium yang disekresikan oleh hati dan
dipekatkan dalam kandung empedu diberikan kepada pasien. Kandung empedu
yang normal akan terisi oleh bahan radiopaque ini. Jika terdapat batu empedu,
bayanganny akan tampak pada foto rontgen.
8.2 Pemeriksaan Laboratoirum
a) Darah lengkap : leukositosis sedang (akut)
b) Bilirubin dan amylase serum : meningkat
c) Enzim hati serum : AST (SGOT) ; ALT (SGPT) ; LDH agak meningkat ; alkalin
fosfat dan 5-nukleotidase : ditandai peningkatan obstruksi bilier.
d) Kadar protrombin : menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus
menurunkan absorpsi vitamin K.
e) Kalangopankreatografi retrograde ndoskopik (ERCP) : memeprlihatkan
percabangan bilier dengan kanulasi duktus koledukus melalui duodenum.
STASE BEDAH
f) Kolangiografi transhepatik perkutaeus : pembedahan gambaran dengan
fluoroskopi antara penyakit kandung empedu dan kanker pankreas (bila ikterik
ada).
g) Scan CT : dapat menyatakan kista kandung empedu, diatasi duktus empedu, dan
membedakan antara iketrik obstruksi/ non obstruksi.
h) Scan hati (dengan zat radioaktif) : menunjukkan obstruksi per-cabangan bilier
i) Foto abdomen (multiposisi) : menyatakan gambaran radiologi (klarifikasi) batu
empedu, kalrifikasi dinding atau pembesaran kandung empedu.
j) Foto dada : menunjukkan pernapasan yang menyebabkan penyebaran nyeri
9. PENATALAKSANAAN
9.1 Penatalaksanaan Medik
Menurut Brunner dan Suddarth (2013) penatalaksanaan medis kolelitasis :
a) Terapi Nutrisi
Diet segera setelah operasi biasanya berupa cairan rendah lemak dengan
protein dan karbohidrat tinggi dilanjutkan denngan makanan padat yang
lembut, hindari telur, krim, babi, maknan gorengan, keju, sayuran
pembentukan gas, dan alkohol.
b) Terapi Farmakologi
1. Untuk menghancurkan batu : ursodiol/aktigal.
2. Efek samping : diare, bersifat hepatotoksik, pada fetus sehingga
kontraindikasi pada ibu hamil.
3. Mengurangi konten kolesterol dalam batu empedu : chenodiol/chenix.
4. Untuk mengurangi gatal-gatal : cholestyramine (Questran)
5. Menurunkan rasa nyeri : analgesik.
6. Mengobati infeksi : antibiotik.
9.2 Penatalaksanaan Bedah
a) Kolesistektommi laparaskopi : dilakukan melalui insiasi atau tusukan kecil
yang dibuat menembus dinding abdomen di umbilikus. Rongga abdomen
ditiup dengan gas karbon monoksid untuk membantu pemasangan endoskopi.
b) Kolesisitektomi : kantung empedu diangkat setelah asteri dan duktus sistikus
diligasi. Sebuah drain (penrose) ditempatkan dalam kandung empedu dan
dibiarkan menjulur ke luar lewat luka operasi untuk mengalirkan darah, cairan
STASE BEDAH
serosanguinus dan getah empedu ke dalam kasa absorben. Minikolesistektomi
: kantung empedu dikeluarkan melalui sebuah insiasi kecil selebar 4cm.
c) Kolesistostomi (bedah atau perkutan) : kantung empedu dibuka, dan batu,
empedu, atau drainase purulent dikeluarkan.
STASE BEDAH
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Identitas atau biodata pasien Meliputi, nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat,
suku bangsa, status perkawinan, pekerjaan, pendidikan tanggal masuk rumah sakit
nomor registrasi dan diagnosa keperawatan.
2. Keluhan Utama
Tentang keluhan yang dirasakan pasien pada saat perawat Melakukan pengkajian
pada kontak pertama dengan pasien.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
a) Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit kronis atau menular dan menurun seperti jantung, hipertensi, DM,
TBC, hepatitis
b) Riwayat kesehatan sekarang
Diisi tentang perjalanan penyakit pasien, dari pertama kali mengurangi keluhan
(diobati dengan obat apa, dibawa ke puskesmas atau ke pelayanan kesehatan
lain), sampai dibawa kerumah sakit dan menjalani perawatan.
c) Riwayat kesehatan keluarga
Adakah penyakit keturunan dalam keluarga seperti jantung, DM, HT, TBC,
kelainan kongenita hidrosefalus, yang mungkin penyakit tersebut diturunkan
kepada pasien.
4. Pemeriksaan Fisik
Menurut Suratun dan Lusianah (2010) pemeriksaan fisik kolelitiasi ialah :
a) Aktivitas / istirahat : Gejala : kelemahan, Tanda : gelisah
b) Sirkulasi: Gejala / Tanda : takikardia, berkeringat.
c) Eliminasi: Gejala : Perubahan warna urine dan fases,Tanda : Distensi
abdomen, teraba massa pada kuadran kanan
atas, urine gelap, pekat, fases warna tanah liat, steatorea.
d) Makanan / cairan: Gejala : Anoreksia, mual/muntah, tidak toleran terhadap
lemak dan makanan pembentukan gas, regurgitasi berulang, nyeri epigastrium,
tidak dapat makan, flatus, dyspepsia. Tanda : kegemukan, adanya penurunan
berat badan.
e) Nyeri / Kenyamanan: Gejala : Nyeri abdomen atas berat, dapat menyebar ke
punggung atau bahu kanan, kolik epigastrium tengah sehubungan dengan
makan, nyeri mulai tiba-tiba dan biasanya memuncak dalam 30 menit. Tanda :
STASE BEDAH
Nyeri lepas, otot tegang atau kaku bila kuadran kanan atas ditekan, tanda
Murphy positif.
f) Pernapasan: Tanda : Peningkatan frekuensi pernapasan, pernapasan
tertekan ditandai oleh nafas pendek, dangkal.
g) Keamanan: Tanda : Demam, menggigil, ikterik, dan kulit berkeringat dan gatal
(pruritus), kecendrungan perdarahan (kekurangan Vit K).
h) Penyuluhan dan Pembelajaran: Gejala : Kecendrungan keluarga untuk terjadi
batu empedu, adanya kehamilan/melahirkan ; riwayat DM, penyakit inflamsi
usus, diskrasias darah.
C. DIAGNOSA MEDIS
1. Nyeri akut berhubungan kerusakan jaringan lunak pasca bedah.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakadekuatan sekresi empedu.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan insiasi pembedahan.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan keluarnya cairan empedu
D. INTERVENSI KEPERAWATAN
DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI
1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji nyeri dengan
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam PQRST.
obstruksi / spasme diharapkan nyeri dapat
duktus, proses berkurang. Dengan kriteria 2. Kaji kemampuan pasien
inflamasi, iskemia hasil : mengontrol nyeri.
jaringan / nekrisis. 1. Mampu mengontrol nyeri.
3. Ajarkan teknik relaksaasi
2. Melaporkan bahwa nyeri nafas pernafasan pada
berkurang secara verbal nyeri muncul.
dan non verbal.
4. Tingkatkan tirah baring,
3. Nyeri berkurang biarkan psien melakukan
posisi yang nyaman.
4. Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang. 5. Kolaborasi dengan dokter,
pemberian analgesik.
STASE BEDAH
ketidakadekuatan dengan kriteria hasil : muntah pasien.
sekresi empedu. 1. Berat badan pasien
dengan rentan normal 2. Pantau asupan dan
menurut IMT. output makanan dan
timbang berat badan
2. Pasien menghabiskan secara periodik (sekali
porsi makan yang seminggu).
diberikan rumah sakit.
3. Lakukan dan ajarkan
perawatan mulut.
4. Jelaskan pentingnya
nutrisi untuk tubuh dan
berikan multivitamin
STASE BEDAH
2. Menunjukkan prilaku 3. Rawat luka dengan konsep
hidup sehat. steril.
STASE BEDAH
DAFTAR PUSTAKA
Joyce M.Black & Jane H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah. Penerbit Elsevier
Pierce A. Grace & Neil R.Borley. (2006). At Glace Ilmu Bedah. (ed.3). Penerbit Erlangga.
Dr. H. Y. Kuncara Aplikasi klinis patofisiologi: Pemeriksaan dan manajemen, edisi 2: 2009;
Buku kedokteran EGC
STASE BEDAH
LAPORAN PENDAHULUAN
BATU BULI-BULI
DISUSUN OLEH
HARTATY, S.Kep
Nim 19640936
A. Pengertian
Definisi Batu Buli-buli / BSK (Batu saluran kemih) adalah batu yang terbetuk
dari berbagai macam proses kimia di dalam tubuh manusia dan terletak di dalam
ginjal serta saluran kemih pada manusia seperti ureter
Batu saluran kemih (urolithiasis) merupakan obstruksi benda padat pada saluran
kencing yang berbentuk karena faktor presifitasi endapan dan senyawa tertentu.
Batu tersebut bias berbentuk dari berbagai senyawa, misalnya kalsium oksalat
(60%), fosfat (30%), asam urat (5%) dan sistin (1%). (Prabowo. E dan Pranata,
2014)
B. Etiologi
Penyebab terbentuknya batu saluran kemih sampai saat ini belum diketahui pasti,
tetapi ada beberapa faktor predisposisi terjadinya batu pada saluran kemih yaitu :
1. Infeksi
Infeksi saluran kencing dapat menyebabkan nekrosis jaringan ginjal dan akan
menjadi inti pembentukan batu saluran kemih . Infeksi bakteri akan memecah
ureum dan membentuk amonium yang akan mengubah pH urine menjadi
alkali.
2. Stasis dan obstruksi urine
Adanya obstruksi dan stasis urine akan mempermudah pembentukan batu
saluran kemih.
3. Ras
Pada daerah tertentu angka kejadian batu saluran kemih lebih tinggi daripada
daerah lain, Daerah seperti di Afrika Selatan hampir tidak dijumpai penyakit
batu saluran kemih.
4. Keturunan
Herediter atau faktor keturunan yang juga memainkan dari semua jenis
penyakit yang menjadi alasan suatu penyakit dapat diturunkan oleh orang tua
ke anak
5. Asupan air minum
Pekerja keras yang banyak bergerak mengurangi kemungkinan terbentuknya
batu daripada pekerja yang lebih banyak duduk.
6. Pekerjaan
Pekerja keras yang banyak bergerak mengurangi kemungkinan terbentuknya
batu daripada pekerja yang lebih banyak duduk.
7. Suhu
Tempat yang bersuhu panas menyebabkan banyak mengeluarkan keringat
sedangkan asupan air kurang dan tingginya kadar mineral dalam air minum
meningkatkan insiden batu saluran kemih
8. Makanan
Mineralisasi pada semua system biologi merupakan temuan umum. Tidak
terkecuali batu saluran kemih, yang merupakan kumpulan kristal yang terdiri
dari bermacam-macam Kristal dan matrik organik. Teori yang menjelaskan
mengenai penyakit batu saluran kemih kurang lengkap. Proses pembentukan
membutuhkan supersaturasi urine. Supersaturasi tergantung pada PH urine,
kekuatan ion, konsntrasizat terlarut, dan kompleksasi. (Stoller 2010 : hal 4).
C. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis adanya batu dalam traktus urinarius tergantung pada adanya
obstruksi, infeksi dan edema.
1. Ketika batu menghambat aliran urin, terjadi obstruksi piala ginjal serta ureter
proksimal.
a. Infeksi pielonefritis dan sintesis disertai menggigil, demam dan disuria,
dapat terjadi iritasi batu yang terus menerus. Beberapa batu menyebabkan
sedikit gejala, namun secara perlahan merusak unit fungsional (nefron)
ginjal.
b. Nyeri hebat dan ketidaknyamanan.
2. Batu di ginjal
a. Nyeri dalam dan terus menerus di area kontovertebral.
b. Hematuri.
c. Nyeri berasal dari area renal menyebar secara anterior dan pada wanita
nyeri kebawah mendekati kandung kemih sedangkan pada pria mendekati
testis.
d. Mual dan muntah.
e. Diare.
3. Batu di ureter
a. Nyeri menyebar kepaha dan genitalia.
b. Rasa ingin berkemih namun hanya sedikit urin yang keluar.
c. Hematuri akibat abrasi batu.
d. Biasanya batu keluar secara spontan dengan diameter batu 0,5 – 1 cm.
4. Batu di kandung kemih
a. Biasanya menimbulkan gejala iritasi dan berhubungan dengan infeksi
traktus urinarius dan hematuri.
b. Jika batu menimbulkan obstruksi pada leher kandung kemih akan terjadi
retensi urin.
D. Patofisiologi
Urolitiasis mengacu pada adanya batu (kalkuli) di traktus urinarius. Batu
terbentuk ketika konsentrasi supstansi seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat dan
asam urat meningkat. Batu juga dapat terbentuk ketika difisiensi supstrats
tertentu. Seperti sitrat yang secaa normal mencegah kristalisasi dalam urine, serta
status cairan pasien. Infeksi, stasis urine, serta drainase renal yang lambat dan
perubahan metabolic kalsium, hiperparatiroid, malignansi, penyakit granulo
matosa (sarkoldosis, tuberculosis), masukan vitamin D berlebih merupakan
penyebab dari hiperkalsemia dan mendasari pembentukan batu kalsium. Batu
asam urat dapat dijumpai pada penyakit Gout. Batu struvit mengacu pada batu
infeksi, terbentuk dalam urine kaya ammonia – alkalin persisten akibat uti
kronik. Batu urinarius dapat terjadi pada inflamasi usus atau ileostomi. Batu
sistin terjadi pada pasien yang mengalami penurunan efek absorbsi sistin (asam
ammonia) turunan. (brunner and suddatrh, 2002: 1461).
Pathway
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisa : warna kuning, coklat gelap, berdarah. Secara umum menunjukkan
adanya sel darah merah, sel darah putih dan kristal serta serpihan, mineral,
bakteri, pus, pH urine asam.
2. Urine (24 jam) : kreatinin, asam urat, kalsium, fosfat, oksalat atau sistin
meningkat.
3. Kultur urine : menunjukkan adanya infeksi saluran kemih.
4. Survei biokimia : peningkatan kadar magnesium, kalsium, asam urat, fosfat,
protein dan elektrolit.
5. Kadar klorida dan bikarbonat serum : peningkatan kadar klorida dan
penurunan kadar bikarbonat menunjukkan terjadinya asidosis tubulus ginjal.
6. Darah lengkap :
Sel darah putih : meningkat menunjukkan adanya infeksi.
Sel darah merah : biasanya normal.
Hb, Ht : abnormal bila pasien dehidrasi berat atau polisitemia.
7. Foto rontgen : menunjukkan adanya kalkuli atau perubahan anatomik pada
area ginjal dan sepanjang ureter.
8. IVP : memberikan konfirmasi cepat urolithiasis, seperti penyebab nyeri
abdominal atau panggul.
9. USG Ginjal : untuk menentukan perubahan obstruksi, lokasi batu.
F. Penatalaksanaan Medis
Tujuan dasar penatalaksanaan medis batu saluran kemih adalah untuk
menghilangkan batu, menentukan jenis batu, mencegah kerusakan nefron,
mengendalikan infeksi, dan mengurangi obstruksi yang
terjadi. Batu dapat dikeluarkan dengan cara medikamentosa,
pengobatan medik selektif dengan pemberian obat-obatan, tanpa operasi, dan
pembedahan terbuka.
1. Medikamentosa
Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang berukuran lebih kecil yaitu
dengan diameter kurang dari 5 mm, karena diharapkan batu dapat keluar
tanpa intervensi medis. Dengan cara mempertahankan keenceran urine dan
diet makanan tertentu yang dapat merupakan bahan utama pembentuk batu (
misalnya kalsium) yang efektif mencegah pembentukan batu atau lebih jauh
meningkatkan ukuran batu yang telah ada. Setiap pasien batu saluran kemih
harus minum paling sedikit 8 gelas air sehari.
Diet atau pengaturan makanan sesuai jenis batu yang ditemukan :
a. Batu kalsium oksalat
Makanan yang harus dikurangi adalah jenis makanan yang mengandung
kalsium oksalat seperti bayam, daun seledri, kacang-kacangan, kopi, teh,
dan coklat. Sedangkan batu kalsium fosfat : mengurangi makanan yang
mengandung kalsium tinggi seperti : ikan laut, kerang, daging, sarden,
keju dan sari buah.
b. Batu asam urat
Makanan yang dikurangi : daging, kerang, gandum, kentang, tepung-
tepungan, saus dan lain-lain.
c. Batu struvite
Makanan yang dikurangi : keju, telur, buah murbai, susu dan daging.
d. Batu cystin
Makanan yang dikurangi : sari buah, susu, kentang. Anjurkan pasien
banyak minum : 3-4 liter/hari serta olahraga yang teratur.
2. Pengobatan medic selektif dengan pemberian obat-obatan
Analgesik dapat diberikan untuk meredakan nyeri dan mengusahakan agar
batu dapat keluar sendiri secara spontan. Opioid seperti injeksi morfin sulfat
yaitu petidin hidroklorida atau obat anti inflamasi nonsteroid seperti ketorolac
dan naproxen dapat diberikan tergantung pada intensitas nyeri. Propantelin
dapat digunakan untuk mengatasi spasme ureter. Pemberian antibiotik apabila
terdapat infeksi saluran kemih atau pada pengangkatan batu untuk mencegah
infeksi sekunder. Setelah batu dikeluarkan, batu saluran kemih dapat
dianalisis untuk mengetahui komposisi dan obat tertentu dapat diresepkan
untuk mencegah atau menghambat pembentukan batu berikutnya.
3. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)
Merupakan tindakan non-invasif dan tanpa pembiusan, pada tindakan ini
digunakan gelombang kejut eksternal yang dialirkan melalui tubuh untuk
memecah batu. Alat ESWL adalah pemecah batu yang diperkenalkan
pertama kali oleh Caussy pada tahun 1980. Alat ini dapat memecah batu
ginjal, batu ureter proximal, atau menjadi fragmen-fragmen kecil sehingga
mudah dikeluarkan melalui saluran kemih. ESWL dapat mengurangi
keharusan melakukan prosedur invasif dan terbukti dapat menurunkan lama
rawat inap di rumah sakit.
4. Endourologi
Tindakan endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk mengeluarkan
batu saluran kemih yang terdiri atas memecah batu, dan kemudian
mengeluarkannya dari saluran kemih melalui alat yang dimasukan langsung
kedalam saluran kemih.
5. Tindakan Operasi
Tindakan bedah dilakukan jika batu tidak merespon terhadap bentuk
penanganan lainnya. Ada beberapa jenis tindakan pembedahan, nama dari
tindakan pembedahan tersebut tergantung dari lokasi dimana batu berada,
yaitu :
Nefrolitotomi merupakan operasi terbuka untuk mengambil batu yang
berada di dalam ginjal
Ureterolitotomi merupakan operasi terbuka untuk mengambil batu yang
berada di ureter
Vesikolitomi merupakan operasi tebuka untuk mengambil batu yang
berada di vesica urinaria
Uretrolitotomi merupakan operasi terbuka untuk mengambil batu yang
berada di uretra
BAB II
(Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Batu Saluran Kemih/Batu Buli-buli)
A. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu
proses yang sistematik dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2000) yang
terdiri dari :
1. Identitas Klien
Identitas klien terdiri atas nama, jenis kelamin, usia, status perkawinan,
agama, suku bangsa, pendidikan, bahasa yang digunakan, pekerjaan dan
alamat.
2. Riwayat Keperawatan
Riwayat kesehatan masa lalu
Apakah klien pernah menderita batu saluran kemih sebelumnya atau
infeksi saluran kemih, apakah klien pernah dirawat atau dioperasi
sebelumnya
Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya klien mengalami nyeri pada sudut kostovertebralis, dan
didapatkan nyeri tekan dan nyeri ketok, biasanya klien mengalami mual,
muntah, hematuri, Buang Air Kecil (BAK) menetes, BAK tidak tampias,
rasa terbakar, penurunan haluaran urin, dorongan berkemih.
3. Riwayat Kesehatan keluarga
Adakah riwayat batu saluran kemih dalam keluarga
4. Riwayat Psikososial
Adakah ditemukan depresi, marah atau stress
5. Pola Kebiasaan sehari-hari
a. Aktivitas / Istirahat
Gejala : Pekerjaan monoton, pekerjaan dimana pasien terpajan pada
lingkungan bersuhu tinggi. Keterbatasan aktivitas / mobilisasi
sehubungan dengan kondisi sebelumnya
b. Sirkulasi
Tanda : Peningkatan TD/nadi (nyeri, ansietas, gagal Ginjal), Kulit
kemerahan dan hangat; pucat.
c. Eliminasi
Gejala :
a) Riwayat adanya ISK kronis, obstruksi sebelumnya (kalukulus)
b) Penurunan haluaran urine, kandung kemih penuh.
c) Rasa terbakar, dorongan berkemih
d) Diare
Tanda : Olisuria, hematuria, piuria, perubahan pola berkemih
d. Makanan/cairan
Gejala :
a) Mual / muntah, nyeri tekan abdomen
b) Diet tinggi purin, kalsium oksalat, dan / atau fosfat
c) Ketidak cukupan pemasukan cairan; tidak minum air dengan cukup
Tanda : Distensi abdominal, penurunan / tak adanya bising usus. Muntah.
e. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Episode akut nyeri beri, nyeri kolik. Lokasi tergantung pada
lokasi batu, contoh pada panggul diregion sudut kostovertebra, dapat
menyebar kepunggung, abdomen dan turun kelipat paha/genital. Nyeri
dangkal konstan menunjukkan kalkulus ginjal. Nyeri dapat digambarkan
sebagai akut, hebat tidak hilang dengan posisi atau tindakan lain.
Tanda : Melindungi ; perilaku distraksi. Nyeri tekan pada area ginjal pada
palpasi
f. Keamanan
Gejala : Penggunaan alcohol. Demam, menggigil.
Penyuluhan/pembelajaran
Gejala :
Riwayat kalkulus dalam keluarga, penyakit ginjal, hipertensi, cout,
ISK kronis
Riwayat penyakit usus halus, bedah abdomen sebelumnya,
hiperparatinoklisme
Penggunaan antibiotic, antihipertensi, natrium bikarbonat, alupurinol,
fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan kalsium atau vitamin.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat kami angkat yakni :
1. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan frekuensi / dorongan
kontraksi ureteral, trauma jaringan.
2. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan stimulasi kandung kemih
oleh batu, iritasi ginjal atau ureteral, obstruksi mekanik
3. Resti kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual / muntah
4. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajan, salah
interpretasi informasi, sikap acuh terhadap interpretasi.
C. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan frekuensi / dorongan kontraksi
ureteral, trauma jaringan.
Intervensi Keperawatan
Kaji intensitas, lokasi, frekuensi dan penyebaran nyeri
Kaji tanda keringat dingin, tidak dapat beristirahat, dan ekspresi wajah
Tingkatkan pemasukan sampai 2500 ml/hari sesuai toleransi
Berikan tindakan kenyamanan ( sentuhan terapeutik, pengubahan
posisi, pijatan punggung ) dan aktivitas terapeutik. Dorong
penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan napas dalam,
visualisasi, pedoman imajinasi.
Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi
2. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan stimulasi kandung kemih oleh
batu, iritasi ginjal atau ureteral, obstruksi mekanik
Intervensi Keperawatan
Awasi pemasukan dan pengeluaran cairan dan karakteristik urine
Tingkatkan pemasukan sampai 2500 ml/hari sesuai toleransi
Observasi perubahan status mental
Periksa urine
Awasi pemeriksaan laboratorium untuk elektrolit, BUN, dan kreatinin
Kolaborasi pemberian acstazolamid/alupurinol, dan antibiotik
3. Resti kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual / muntah
Intervensi Keperawatan :
Catat insiden muntah, diare, perhatikan karakteristik, dan frekuensi.
Tingkatkan pemasukan cairan 3-4 lt / hari dalam toleransi jantung.
Monitor tanda vital, evaluasi nadi, turgor kulit dan membran mukosa.
Timbang berat badan tiap hari
Kolaborasi:
Awasi Hb,Ht,elektrolit,
Berikan diet tepat,cairan jernih,makanan lembut s/d toleransi
4. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajan, salah interpretasi
informasi, sikap acuh terhadap interpretasi.
Intervensi Keperawatan :
Kaji tingkat pengetahuan klien mengenai kondisinya
Menjelaskan jenis tindakan yang akan dihadapi klien
Memotivasi untuk minum air putih 2,5 L perhari untuk pencegahan
Memotivasi untuk melakukan diit rendah kalsium dan protein hewani
untuk pencega
DAFTAR PUSTAKA