Di susun oleh :
A. Definisi BPH
BPH ( Benigna Prostat Hyperplasia ) adalah suatu keadaan dimana kelenjar
prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih
dan menyumbat aliran urine dengan menutup orifisium uretra (Smeltzer dan
Bare, 2013). Hyperplasia merupakan pembesaran ukuran sel dan diikuti oleh
penambahan jumlah sel. BPH merupakan suatu kondisi patologis yang paling
umum di derita oleh laki-laki dengan usia rata-rata 50 tahun ( Prabowo dkk, 2014
).
Gambar 2.1 BPH (Benign Prostatic Hyperplasia)
F. Penatalaksanaan
Menurut Haryono (2012) penatalaksaan BPH meliputi :
1. Terapi medikamentosa
a. Penghambat adrenergik, misalnya prazosin, doxazosin, afluzosin.
b. Penghambat enzim, misalnya finasteride
c. Fitoterapi, misalnya eviprostat
2. Terapi bedah
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya
gejala dan komplikasi, adapun macam-macam tindakan bedah meliputi:
a. Prostatektomi
1) Prostatektomi suprapubis , adalah salah satu metode mengangkat
kelenjar melalui insisi abdomen yaitu suatu insisi yang di buat
kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.
2) Prostaktektomi perineal, adalah mengangkat kelenjar melalui suatu
insisi dalam perineum.
3) Prostatektomi retropubik, adalah suatu teknik yang lebih umum di
banding [endekatan suprapubik dimana insisi abdomen lebih
rendah mendekati kelenjar prostat yaitu antara arkuspubis dan
kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
b. Insisi prostat transurethral (TUIP)
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan
instrumen melalui uretra. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar
prostat berukuran kecil (30 gr / kurang) dan efektif dalam mengobati
banyak kasus dalam BPH.
c. Transuretral Reseksi Prostat (TURP)
Adalah operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop dimana resektroskop merupakan
endoskopi dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang di
lengkapi dengan alat pemotong dan counter yang di sambungkan
dengan arus listrik.
G. Pemeriksaan penunjang
Menurut Haryono (2012) pemeriksaan penunjang BPH meliputi :
1. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus
sfingter anus mukosa rectum kelainan lain seperti benjolan dalam
rectum dan prostat.
2. Ultrasonografi (USG)
Digunakan untuk memeriksa konsistensi volume dan besar prostat juga
keadaan buli-buli termasuk residual urine.
3. Urinalisis dan kultur urine
Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBC (Red
Blood Cell) dalam urine yang memanifestasikan adanya pendarahan
atau hematuria (prabowo dkk, 2014).
4. DPL (Deep Peritoneal Lavage)
Pemeriksaan pendukung ini untuk melihat ada tidaknya perdarahan
internal dalam abdomen. Sampel yang di ambil adalah cairan abdomen
dan diperiksa jumlah sel darah merahnya.
5. Ureum, Elektrolit, dan serum kreatinin
Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini sebagai
data pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi dari BPH.
6. PA(Patologi Anatomi)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi.
Sampel jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk
mengetahui apakah hanya bersifat benigna atau maligna sehingga akan
menjadi landasan untuk treatment selanjutnya.
H. Patofisiologi
Pertama kali BPH terjadi salah satunya karena faktor bertambahnya usia,
dimana terjadi perubahan keseimbangan testosterone, esterogen, karena
produksi testosterone menurun, produksi esterogen meningkat dan terjadi
konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer.
Keadaan ini tergantung pada hormon testosteron, yang di dalam sel-sel
kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron
(DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah
yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat
untuk mensistesis protein sehingga mengakibatkan kelenjar prostat
mengalami hyperplasia yang akan meluas menuju kandung kemih sehingga
mempersempit saluran uretra prostatika dan penyumbatan aliran urine.
Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat
mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan
tahanan itu (Presti et al, 2013). Kontraksi yang terus-menerus ini
menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa hipertrofi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.
Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi. Perubahan
struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran
kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang
dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus. Dengan semakin
meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase
dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi retensi urin. Retensi urine ini diberikan obat-obatan non invasif
tetapi obat-obatan ini membutuhkan waktu yang lama, maka penanganan
yang paling tepat adalah tindakan pembedahan, salah satunya adalah TURP
(Joyce, 2014) .
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop
dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan
alat pemotongan dan counter yang disambungkan dengan arus listrik.
Trauma bekas resectocopy menstimulasi pada lokasi pembedahan sehingga
mengaktifkan suatu rangsangan saraf ke otak sebagai konsekuensi
munculnya sensasi nyeri (Haryono, 2012)
I. Pathway
Faktor usia
(usia lanjut)
Tindakan pembedahan
Trauma bekas resectocopy
Perubahan keseimbangan hormon testosterone dan esterogen
Bagan 2.1 Pathway BPH ( Benign Prostatic Hyperplasia ) Prabowo, dkk. 2014
Nyeri akut
VAS adalah garis lurus sepanjang 10 cm, yang mewakili intensitas nyeri
yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Ujung
kiri menandakan “tidak ada nyeri ” dan ujung kanan menandakan “nyeri
yang paling buruk”. VAS merupakan pengukuran yang lebih sensitif
karena dapat mengidentifikasi setiap titik (Smeltzer, 2002 didalam
Andarmoyo, 2013)
b. Skala Numerik
A. Pengkajian
1. Anamnese :
a. Identitas : identitas digunakan untuk mengetahui klien yg mengalami
BPH yang sering dialami oleh laki –laki diatas umur 45 tahun (Rendy
clevo, 2012)
b. Keluhan Utama : pada klien post operasi BPH biasanya muncul
keluhan nyeri, sehingga yang perlu dikaji untk meringankan nyeri
(provocative/ paliative), rasa nyeri yang dirasakan (quality),
keganasan/intensitas (saverity) dan waktu serangan, lama, (time)
(Judha, dkk. 2012)
c. Riwayat penyakit sekarang: Keluhan yang sering dialami klien BPH
dengan istilah LUTS (Lower Urinary Tract Symtoms). Antara lain:
hesistansi, pancaran urin lemah, intermittensi, ada sisa urine pasca
miksi, frekuensi dan disuria (jika obstruksi meningkat).
d. Riwayat penyakit dahulu : tanyakan pada klien riwayat penyakit yang
pernah diderita, dikarenakan orang yang dulunya mengalami ISK dan
faal darah beresiko terjadinya penyulit pasca bedah (Prabowo, 2014)
2. Pemeriksaan fisik (Data Objektif)
a. Vital sign (tanda vital)
1) Pemeriksaan temperature dalam batas normal
2) Pada klien post operasi BPH mengalami peningatan
RR (Ackley, 2011)
3) Pada klien post operasi BPH mengalami peningkatan nadi
4) Pada klien post operasi BPH mengalami peningkatan tekanan
darah (Prabowo,2014).
C. Diagnosa Keperawatan
Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera (biologis, zat kimia, fisik dan
psikologis) (Ackley, 2011).
D. Batasan karakteristik
Menurut Prabowo (2012) batasan karakteristik meliputi:
1) Perubahan selera makan.
2) Perilaku distraksi
3) Gangguan tidur
4) Tekanan darah, frekuensi jantung, frekuensi pernapasan mengalami
peningkatan (Ackley, 2011)
5) Mengekspresikan perilaku nyeri (Ackley, 2011)
6) Melindungi area nyeri dan fokus menyempit (gangguan persepsi nyeri,
hambatan proses pikir, penurunan interaksi) (Ackley, 2011)
7) Melaporkan nyeri secara verbal (Ackley, 2011)
Implementasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan, pada tahap ini
membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan dengan kriteria hasil.
Evaluasi berfokus pada klien, baik itu individu ataupun kelompok (Deswani,
2009). Evaluasi keperawatan pada post operasi BPH meliputi:
a) Skala nyeri berkurang.
b) Tanda vital dalam rentang
normal : TD : 100-140 / 60- 90
mmHg
N:
60-100x/menit
S : 36,5 -37,5
°C
RR : 16-24x/menit
c) Dapat mengidentifikasi (skala, intensitas, frekuensi dan tanda
nyeri) ketika berlangsung.
d) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan
tehnik nonfarmakologi seperti tehnik distraksi dan relaksasi, kompres
hangat, imajinasi terbimbing, dan hypnosis diri untuk mengurangi nyeri,
mencari bantuan).
e) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen
nyeri.
f) Tidak terdapat gangguan konsentrasi.
g) Menyatakan kenyamanan
h) Klien tidak terbangun karena nyeri.
i) Wajah menjadi segar dan tidak meringis kesakitan.
j) Tidak takut terjadinya cidera
DAFTAR PUSTAKA
Andarmoyo, 2013. Skala nyeri visual analog scale. Jakarta: Salemba Medika Andre,
Terrence & Eugene. 2011. Case Files Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:
Karisma Publishing Group
Ardiansyah, Muhammad. 2012. Medikal Bedah Untuk Mahasiswa. Jogjakarta :
DIVA Ekspres
Ariani, D Wahyu. 2010. Manajemen Operasi Jasa. Yogyakarta: Rineka Cipta
Deswani. 2009. Proses keperawatan dan berpikir kritis. Jakarta:Selemba Medika
Fransisca, baticaca. 2009. Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan
system perkemihan. Jakarta : salemba medika
Haryono, Rudi.2012. Keperawatan medical bedah system perkemihan.Yogyakarta
:rapha publishing
Hidayat, A. Aziz alimul.2009. Pengantar kebutuhan dasar manusia dan aplikasi
konsep dan proses keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Hidayat,Alimul. 2011. Aplikasi konsep dan proses keperawatan. Jakarta:Selemba
Medika
Jitowiyono, sugeng. 2010. Asuhan keperawatan post operasi. Yogyakarta : nuha
medika
Prabowo Eko dan Pranata Eka. 2014 .Buku ajar asuhan keperawatan sistem
perkemihan. Yogyakarta : Nuha Medika
Purnomo. 2014. Dasar-dasar Urologi. Jakarta: CV.Agung
Rendy, clevo. 2012. Asuhan keperawatan medical bedah penyakit dalam.
Yogyakarta: Nuha Medika
Sjamsuhidajat R, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC Smeltze
dan Bare. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth Edisi 8. Jakarta: EGC
Suharyanto, toto. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Trans Info Me
Sujarwo. 2013. Pembelajaran Orang Dewasa. Yogyakarta: Venus Gold Press
Sulistyo. 2013. Konsep dan proses keperawatan nyeri. Yogyakarta : nuha medika
Tamsuri Anas, 2012. Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta EGC
Widijanto G. 2011. Nursing: Menafsirkan Tanda-Tanda dan Gejala Penyakit. PT
Indeks Permata Puri Media : Jakarta Barat