Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN DIAGNOSA MEDIS BPH pada Tn. S


DI BANGSAL CEMPAKA RSUD WONOSARI

Di susun oleh :

Nama : Ayun Pertiwi


NIM : 24211481
Kelompok : IA

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SURYA GLOBAL
YOGYAKARTA
2021
LAPORAN PENDAHULUAN BPH ( Benigna Prostat Hyperplasia )

A. Definisi BPH
BPH ( Benigna Prostat Hyperplasia ) adalah suatu keadaan dimana kelenjar
prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih
dan menyumbat aliran urine dengan menutup orifisium uretra (Smeltzer dan
Bare, 2013). Hyperplasia merupakan pembesaran ukuran sel dan diikuti oleh
penambahan jumlah sel. BPH merupakan suatu kondisi patologis yang paling
umum di derita oleh laki-laki dengan usia rata-rata 50 tahun ( Prabowo dkk, 2014
).
Gambar 2.1 BPH (Benign Prostatic Hyperplasia)

B. Tanda dan Gejala BPH


Menurut Hariono ,(2012) tanda dan gejala BPH meliputi:
1. Gejala obstruktif
a. Hesitansi, yaitu memulai kencing yang lama dan sering kali disertai
dengan mengejan.
b.Intermittency, yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan
oleh ketidak mampuan otot destrussor dalam mempertahankan tekanan
intra vesika sampai berakhirnya miksi.
c. Terminal dribbling, yaitu menetesnya urin pada akhir kencing.
d.Pancaran lemah, yaitu kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran
destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum
puas.
2. Gejala iritasi
a.Urgensi, yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit di tahan.
b.Frekuensi, yaitu penderita miksi lebih sering miksi dari biasanya dapat
terjadi pada malam dan siang hari.
c.Disuria, yaitu nyeri pada waktu kencing.
C. Klasifikasi BPH
Menurut R. Sjamsuhidajat dan Wim De Jong ( 2010 ), klasifikasi BPH
meliputi :
a. Derajat 1 : Biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberi
pengobatan konservatif.
b. Derajat 2 : Merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya
dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra ( trans urethral resection /
TUR ).
c. Derajat 3 : Reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila diperkirakan
prostate sudah cukup besar, reseksi tidak cukup 1 jam sebaiknya dengan
pembedahan terbuka, melalui trans retropublik / perianal.
d. Derajat 4 : Tindakan harus segera dilakukan membebaskan klien dari
retensi urine total dengan pemasangan kateter.
D. Etiologi BPH
Menurut Prabowo dkk (2014) etiologi BPH sebagai berikut:
1. Peningkatan DKT (dehidrotestosteron)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan resepto androgen akan menyebabkan
epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hyperplasia.
2. Ketidak seimbangan esterogen-testosteron
Ketidak seimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada proses
penuaan, pada pria terjadi peningkan hormone estrogen dan penurunan
hormon testosteron. Hal ini yang memicu terjadinya hiperplasia stroma
pada prostat.
3. Interaksi antar sel struma dan sel epitel prostat
peningkatan kadar epidermal growth factor atau fibroblast growth factor
dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan
hiperplasia stroma dan epitel, sehingga akan terjadi BPH.
4. Berkurangnya kematian sel ( apoptosis )
Estrogen yang meningkat akan menyebabkan peningkatan lama hidup
stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori stem sel
Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit dan
memicu terjadi BPH.
E. Komplikasi
Menurut Widijanto ( 2011 ) komplikasi BPH meliputi :
a) Aterosclerosis
b) Infark jantung
c) Impoten
d) Haemoragik post operasi
e) Fistula
f) Struktur pasca operasi dan inconentia urin
g) Infeksi

F. Penatalaksanaan
Menurut Haryono (2012) penatalaksaan BPH meliputi :
1. Terapi medikamentosa
a. Penghambat adrenergik, misalnya prazosin, doxazosin, afluzosin.
b. Penghambat enzim, misalnya finasteride
c. Fitoterapi, misalnya eviprostat
2. Terapi bedah
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya
gejala dan komplikasi, adapun macam-macam tindakan bedah meliputi:
a. Prostatektomi
1) Prostatektomi suprapubis , adalah salah satu metode mengangkat
kelenjar melalui insisi abdomen yaitu suatu insisi yang di buat
kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.
2) Prostaktektomi perineal, adalah mengangkat kelenjar melalui suatu
insisi dalam perineum.
3) Prostatektomi retropubik, adalah suatu teknik yang lebih umum di
banding [endekatan suprapubik dimana insisi abdomen lebih
rendah mendekati kelenjar prostat yaitu antara arkuspubis dan
kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
b. Insisi prostat transurethral (TUIP)
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan
instrumen melalui uretra. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar
prostat berukuran kecil (30 gr / kurang) dan efektif dalam mengobati
banyak kasus dalam BPH.
c. Transuretral Reseksi Prostat (TURP)
Adalah operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop dimana resektroskop merupakan
endoskopi dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang di
lengkapi dengan alat pemotong dan counter yang di sambungkan
dengan arus listrik.
G. Pemeriksaan penunjang
Menurut Haryono (2012) pemeriksaan penunjang BPH meliputi :
1. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus
sfingter anus mukosa rectum kelainan lain seperti benjolan dalam
rectum dan prostat.
2. Ultrasonografi (USG)
Digunakan untuk memeriksa konsistensi volume dan besar prostat juga
keadaan buli-buli termasuk residual urine.
3. Urinalisis dan kultur urine
Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBC (Red
Blood Cell) dalam urine yang memanifestasikan adanya pendarahan
atau hematuria (prabowo dkk, 2014).
4. DPL (Deep Peritoneal Lavage)
Pemeriksaan pendukung ini untuk melihat ada tidaknya perdarahan
internal dalam abdomen. Sampel yang di ambil adalah cairan abdomen
dan diperiksa jumlah sel darah merahnya.
5. Ureum, Elektrolit, dan serum kreatinin
Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini sebagai
data pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi dari BPH.
6. PA(Patologi Anatomi)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi.
Sampel jaringan akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk
mengetahui apakah hanya bersifat benigna atau maligna sehingga akan
menjadi landasan untuk treatment selanjutnya.
H. Patofisiologi
Pertama kali BPH terjadi salah satunya karena faktor bertambahnya usia,
dimana terjadi perubahan keseimbangan testosterone, esterogen, karena
produksi testosterone menurun, produksi esterogen meningkat dan terjadi
konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer.
Keadaan ini tergantung pada hormon testosteron, yang di dalam sel-sel
kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron
(DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah
yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat
untuk mensistesis protein sehingga mengakibatkan kelenjar prostat
mengalami hyperplasia yang akan meluas menuju kandung kemih sehingga
mempersempit saluran uretra prostatika dan penyumbatan aliran urine.
Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat
mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan
tahanan itu (Presti et al, 2013). Kontraksi yang terus-menerus ini
menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa hipertrofi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.
Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi. Perubahan
struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran
kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang
dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus. Dengan semakin
meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase
dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi retensi urin. Retensi urine ini diberikan obat-obatan non invasif
tetapi obat-obatan ini membutuhkan waktu yang lama, maka penanganan
yang paling tepat adalah tindakan pembedahan, salah satunya adalah TURP
(Joyce, 2014) .
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop
dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan
alat pemotongan dan counter yang disambungkan dengan arus listrik.
Trauma bekas resectocopy menstimulasi pada lokasi pembedahan sehingga
mengaktifkan suatu rangsangan saraf ke otak sebagai konsekuensi
munculnya sensasi nyeri (Haryono, 2012)
I. Pathway

Faktor usia

(usia lanjut)
Tindakan pembedahan
Trauma bekas resectocopy
Perubahan keseimbangan hormon testosterone dan esterogen

Kadar esterogen meningkat


Kadar
testosteron

Hiperplasia sel prostat


memacu m-RNA di dalam sel-
sel kelenjar prostat Rangsangan
saraf Diameter
Poliferasi sel prostat
BPH

Bagan 2.1 Pathway BPH ( Benign Prostatic Hyperplasia ) Prabowo, dkk. 2014
Nyeri akut

Konsep Nyeri Akut

A. Definisi nyeri Akut


Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit atau
intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas yang
bervariasi ringan sampai berat dan berlangsung dalam waktu beberapa detik
hingga enam bulan (Andarmoyo, 2013).

B. Penyebab nyeri Akut Saraf eferen


memberi
Nyeri akut sebagian terbesar, di akibatkan oleh penyakit, radang, atau injuri.
respon
Nyeri ini awalnya datang tiba-tiba dan biasanya. Nyeri akut biasanya sejalan
dengan terjadinya penyembuhan. Apabila nyeri akut tidak diatasi secara
adekuat mempunyai efek nyeri yang dapat membahayakan diluar
ketidaknyamanan yang disebabkannya seperti mempengaruhi system
pulmonary, kardiovaskuler, gastrointestinal, endokrin dan imunologik
(Ardiansyah, Muhammad 2012).
C. Klasifikasi nyeri akut
1. Nyeri berdasarkan lokasi atau sumber
a.Nyeri somatic supervisial (kulit)
b. Nyeri kulit berasal dari struktur-struktur super visial kulit dan
jaringan subkutis.
c. Nyeri somatic dalam mengacu kepada nyeri yang berasal dari
otot tendon, ligamentum, tulang, sendi dan arteri.
d. Nyeri visera mengacu kepada nyeri yang berasal dari organ-
organ tubuh.
e. Nyeri alih, nyeri berasal dari salah satu daerah di tubuh teapi
dirasakan terletak di daerah lain.
f. Nyeri neuropatik system syaraf secara normal menyalurkan
rangsangan yang merugikan dari system syaraf tepi (SST) ke system
syaraf pusat (SSP) menimbulkan nyeri.

2. Alat ukur Nyeri


a. Intensitas nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri yang
dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri dengan subjektif
dan individu, dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama
dirasakan sangat-sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda.
Pengukuran subjektif nyeri dapat dilakukan menggunakan :
a. Visual analoge scale (VAS).

Gambar 2.1 Skala nyeri Visual Analog Scale (VAS) (Andarmoyo,


2013)
Keterangan :
0-1: Perasaan tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan.
4-7 :Nyeri sedang.
7-9: Nyeri yang berat.
10 : Nyeri yang sangat hebat.

VAS adalah garis lurus sepanjang 10 cm, yang mewakili intensitas nyeri
yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Ujung
kiri menandakan “tidak ada nyeri ” dan ujung kanan menandakan “nyeri
yang paling buruk”. VAS merupakan pengukuran yang lebih sensitif
karena dapat mengidentifikasi setiap titik (Smeltzer, 2002 didalam
Andarmoyo, 2013)

b. Skala Numerik

Gambar 2.3 Skala nyeri numerik (Andarmoyo, 2013)


Mengandung nilai 1 – 10 yang bisa direpresentasikan dalam format verbal
maupun grafik. Klien harus diberikan penjelasan nilai terendah dan
tertinggi dari skor nyeri (Andarmoyo,2013).
3. Nyeri berdasarkan karakteristik Menurut Judha (2012) yang terdiri dari :
Provocate / Paliatif (P), penyebab terjadinya nyeri dari klien, hal yang
membuat nyerinya lebih baik, dalam hal ini perlu dipertimbangkan
bagian-bagian tubuh mana yang mengalami cedera termasuk
menghubungkan antara nyeri yang diderita dengan factor psikologisnya,
karena biasanya terjadinya nyeri hebat karena dari factor psikologis
bukan dari lukanya.
Quality(Q)kualitas nyeri merupakan sesuatu yang subyektif yang
diungkapkan oleh klien, seringkali klien mendiskripsikan nyeri dengan
kalimat nyeri seperti ditusuk, terbakar, sakit nyeri dalam atau superfisial,
atau bahkan seperti di gencet.
Region(R), untuk mengkaji lokasi, tenaga kesehatan meminta penderita
untuk menunjukkan semua bagian / daerah yang dirasakan tidak
nyaman. Untuk melokalisasi lebih spesifik maka sebaiknya tenaga
kesehatan meminta penderita untuk menunjukkan daerah yang nyerinya
minimal sampai kearah nyeri yang sangat. Namun hal ini akan sulit
dilakukan apabila nyeri yang dirasakan bersifat menyebar atau difuse.
Severe(S), tingkat keparahan merupakan hal yang paling subyektif yang
dirasakan oleh penderita, karena akan diminta bagaimana kualitas nyeri,
kualitas nyeri harus bisa digambarkan menggunakan skala yang sifatnya
kuantitas.
Time(T), tenaga kesehatan mengkaji tentang awitan, durasi dan
rangkaian nyeri. Perlu ditanyakan kapan mulai muncul adanya nyeri,
berapa lama menderita, seberapa sering untuk kambuh dll.

D. Penatalaksanaan nyeri pasca bedah


1. Farmakologis
a. Analgesik: yang diberikan pada pasien pasca bedah TUR-Prostat pada
umumnya menggunakan golongan non opioid (Andarmoyo, 2013).
Golongan non opioid yang sering diberikan adalah acetaminophen atau
non steroidal anti-inflamantory drugs (NSAIDs) dan digunakan untuk
menghilangkan nyeri ringan atau sedang.
b. Terapi simptomatis : pemberian golongan reseptor alfa-adrenergik
inhibitor mampu merelaksasikan otot polos prostat dan saluran kemih
akan lebih terbuka. Obat golongan 5-alfa-reduktase inhibitor mampu
menurunkan kadar dehidrotestosteron intraprostat, sehingga dengan
turunnya kadar testosterone dalam plasma maka prostatakan mengecil
(Prabowo, 2014).
2. Non farmakologis :
Banyak intervensi keperawatan nonfarmakologis yang dapat dilakukan
dengan mengkombinasikan pemberian analgesik dengan terapi
nonfarmakologis seperti distraksi dan relaksasi.
a. Relaksasi merupakan terapi perilaku-kognitif pada intervensi
nonfarmakologis yang dapat mengubah persepsi pasien tentang
nyeri, mengubah perilaku nyeri dan memberi pasien rasa
pengendalian yang lebih besar terhadap nyeri. Relaksasi akan
menimbulkan respon fisiologis seperti penurunan denyut nadi,
penurunan konsumsi oksigen, penurunan kecepatan pernapasan,
penurunan tekanan darah dan penurunan tegangan otot. Selain itu,
relaksasi akan berdampak terhadap respon psikologis yaitu
menurunkan stress, kecemasan, depresi dan penerimaan terhadap
kontrol nyeri pasca bedah (Prabowo, 2014).
b. Distraksi adalah mengalihkan perhatian klien ke hal yang lain
sehingga dapat menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri bahkan
meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Prabowo, 2014).

Konsep Asuhan Keperawatan Post Operasi BPH

A. Pengkajian
1. Anamnese :
a. Identitas : identitas digunakan untuk mengetahui klien yg mengalami
BPH yang sering dialami oleh laki –laki diatas umur 45 tahun (Rendy
clevo, 2012)
b. Keluhan Utama : pada klien post operasi BPH biasanya muncul
keluhan nyeri, sehingga yang perlu dikaji untk meringankan nyeri
(provocative/ paliative), rasa nyeri yang dirasakan (quality),
keganasan/intensitas (saverity) dan waktu serangan, lama, (time)
(Judha, dkk. 2012)
c. Riwayat penyakit sekarang: Keluhan yang sering dialami klien BPH
dengan istilah LUTS (Lower Urinary Tract Symtoms). Antara lain:
hesistansi, pancaran urin lemah, intermittensi, ada sisa urine pasca
miksi, frekuensi dan disuria (jika obstruksi meningkat).
d. Riwayat penyakit dahulu : tanyakan pada klien riwayat penyakit yang
pernah diderita, dikarenakan orang yang dulunya mengalami ISK dan
faal darah beresiko terjadinya penyulit pasca bedah (Prabowo, 2014)
2. Pemeriksaan fisik (Data Objektif)
a. Vital sign (tanda vital)
1) Pemeriksaan temperature dalam batas normal
2) Pada klien post operasi BPH mengalami peningatan
RR (Ackley, 2011)
3) Pada klien post operasi BPH mengalami peningkatan nadi
4) Pada klien post operasi BPH mengalami peningkatan tekanan
darah (Prabowo,2014).

B. Pemeriksaan fisik ( head to toe )


1) Mata : lihat kelopak mata, konjungtiva (pucat atau tidak) (aziz Alimul,
2009).
2) Mulut dan gigi : kaji bagaimana kebersihan rongga mulut dan bau mulut,
warna bibir (pucat atau kering), lidah (bersih atau kotor). Lihat jumlah
gigi, adanya karies gigi atau tidak (Aziz Alimul, 2009).
3) Leher : Palpasi daerah leher untuk merasakan adanya massa pada
kalenjar tiroid, kalenjar limfe, dan trakea, kaji juga kemampuan menelan
klien, adanya peningkatan vena jugularis (Aziz Alimul, 2009)
4) Dada : lihat bentuk dada, pergerakan dinding dada saat bernafas, apakah
ada suara nafas tambahan (Aziz Alimul, 2009)
5) Abdomen
Menurut Purnomo, 2009 pemeriksaan abdomen meliputi:
a) Perkusi : Pada klien post operasi BPH dilakukan perkusi pada 9 regio
abdomen untuk mengetahui ada tidaknya residual urine
b) Palpasi : Teraba kistus di daerah suprasimfisis akibat retensi urin dan
sering dilakukan teknik bimanual untuk mengetahui adanya
hidronefrosis dan pyelonefrosis.
6) Genetalia
a) Pada klien post operasi BPH terpasang treeway folley kateter dan
biasanya terjadi hematuria setelah tindakan pembedahan, sehingga
terdapat bekuan darah pada kateter. Dan dilakukan tindakan spolling
dengan Ns 0,9% / PZ, ini tergantung dari warna urine yang keluar.
Bila urine sudah jernih spolling dapat dihentikan dan pipa spolling di
lepas ( Jitowiyono, dkk. 2010)
b) Pada pemeriksaan penis, uretra dan skrotum tidak ditemukan adanya
kelainan, kecuali adanya penyakit penyerta seperti stenosis meatus,
striktur uretralis, urethralithiasis, Ca penis, maupun epididimitis
(Prabowo, 2014).
7) Ekstermitas
Pada klien post opersi BPH perlu dikaji kekuatan otot dikarenakan
mengalami penurunan kekuatan otot (Prabowo, 2014).

C. Diagnosa Keperawatan
Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera (biologis, zat kimia, fisik dan
psikologis) (Ackley, 2011).
D. Batasan karakteristik
Menurut Prabowo (2012) batasan karakteristik meliputi:
1) Perubahan selera makan.
2) Perilaku distraksi
3) Gangguan tidur
4) Tekanan darah, frekuensi jantung, frekuensi pernapasan mengalami
peningkatan (Ackley, 2011)
5) Mengekspresikan perilaku nyeri (Ackley, 2011)
6) Melindungi area nyeri dan fokus menyempit (gangguan persepsi nyeri,
hambatan proses pikir, penurunan interaksi) (Ackley, 2011)
7) Melaporkan nyeri secara verbal (Ackley, 2011)

E. Faktor yang berhubungan


Agen cedera (biologis, kimiawi, fisik, psycohologis)(Ackley, 2011)

F. Intervensi nyeri akut pada klien post operasi BPH


2.1 Tabel intervensi keperawatan post operasi BPH (Beningn Prostatic
Hypertrophy)
Tujuan Kritreria Hasil Intervensi

nyeri a) Skala nyeri Menurut Ackley 2011 :


berkurang
berkurang
1) Kaji nyeri secara komprehensif
setelah b) Tanda vital dalam rentang termasuk lokasi, karakteristik,
normal TD:100-140 / 60- durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
dilakukan
90 mmHg presipitasi.
tindakan N : 60-100x/menit S :
36 -37,5 °C 2) Kaji skala nyeri dengan pengkajian
keperawatan PQRST.
selama 3×24 RR: 16-24x/menit 3) Berikan klien posisi nyaman pada
waktu istirahat ataupun tidur.
jam.
c) Dapat
mengidentifikasi 4) Kaji tanda-tanda
(skala,intensitas, frekuensi pembengkakan pada daerah post
dan tanda nyeri)ketika operasi.
berlangsung 5) Monitor tanda-tanda vital.
d) Mampu mengontrol nyeri 6) Observasi reaksi non verbal dari
(tahu penyebab nyeri, ketidaknyamanan dan gunakan
mampu menggunakan komunikasi terapeutik untuk
teknik nonfarmakologi mengetahui pengalaman nyeri klien.
seperti teknik
Distraksi dan relaksasi, 7) Ajarkan teknik relaksasi seperti
kompres hangat, imajinasi nafas dalam dan tehnik distraksi
terbimbing, dan hypnosis seperti menonton tv, mendengarkan
diri untuk mengurangi music, atau hal kesukaan klien
nyeri, mencari bantuan) untuk mengalihkan perhatian nyeri
e) Melaporkan bahwa nyeri klien.
berkurang dengan 8) Kontrol lingkungan yang dapat
menggunakan manajemen mempengaruhi nyeri seperti suhu
nyeri ruangan, pencahayaan dan
f) Tidak terdapat gangguan kebisingan.
konsentrasi 9) Kolaborasi dengan tim medis lain
g) Klien tidak terbangun dalam pemberian analgesic.
karena nyeri
h) Wajah menjadi segar dan
tidak meringis kesakitan
i) Tidak takut terjadinya
cidera

Implementasi Keperawatan

Implementasi merupakan tahap yang muncul jika perencanaan yang dibuat


diaplikasikan pada klien. Sebelum melakukan implementasi, seharusnya
menerima laporan tindakan dari perawat shift sebelumnya hal-hal tersebut
merupakan kunci dari efisiensi kerja pertukaran shift (Deswani, 2009).
Evaluasi Keperawatan

Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan, pada tahap ini
membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan dengan kriteria hasil.
Evaluasi berfokus pada klien, baik itu individu ataupun kelompok (Deswani,
2009). Evaluasi keperawatan pada post operasi BPH meliputi:
a) Skala nyeri berkurang.
b) Tanda vital dalam rentang
normal : TD : 100-140 / 60- 90
mmHg
N:
60-100x/menit
S : 36,5 -37,5
°C
RR : 16-24x/menit
c) Dapat mengidentifikasi (skala, intensitas, frekuensi dan tanda
nyeri) ketika berlangsung.
d) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan
tehnik nonfarmakologi seperti tehnik distraksi dan relaksasi, kompres
hangat, imajinasi terbimbing, dan hypnosis diri untuk mengurangi nyeri,
mencari bantuan).
e) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen
nyeri.
f) Tidak terdapat gangguan konsentrasi.
g) Menyatakan kenyamanan
h) Klien tidak terbangun karena nyeri.
i) Wajah menjadi segar dan tidak meringis kesakitan.
j) Tidak takut terjadinya cidera

DAFTAR PUSTAKA

Andarmoyo, 2013. Skala nyeri visual analog scale. Jakarta: Salemba Medika Andre,
Terrence & Eugene. 2011. Case Files Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:
Karisma Publishing Group
Ardiansyah, Muhammad. 2012. Medikal Bedah Untuk Mahasiswa. Jogjakarta :
DIVA Ekspres
Ariani, D Wahyu. 2010. Manajemen Operasi Jasa. Yogyakarta: Rineka Cipta
Deswani. 2009. Proses keperawatan dan berpikir kritis. Jakarta:Selemba Medika
Fransisca, baticaca. 2009. Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan
system perkemihan. Jakarta : salemba medika
Haryono, Rudi.2012. Keperawatan medical bedah system perkemihan.Yogyakarta
:rapha publishing
Hidayat, A. Aziz alimul.2009. Pengantar kebutuhan dasar manusia dan aplikasi
konsep dan proses keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Hidayat,Alimul. 2011. Aplikasi konsep dan proses keperawatan. Jakarta:Selemba
Medika
Jitowiyono, sugeng. 2010. Asuhan keperawatan post operasi. Yogyakarta : nuha
medika
Prabowo Eko dan Pranata Eka. 2014 .Buku ajar asuhan keperawatan sistem
perkemihan. Yogyakarta : Nuha Medika
Purnomo. 2014. Dasar-dasar Urologi. Jakarta: CV.Agung
Rendy, clevo. 2012. Asuhan keperawatan medical bedah penyakit dalam.
Yogyakarta: Nuha Medika
Sjamsuhidajat R, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC Smeltze
dan Bare. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth Edisi 8. Jakarta: EGC
Suharyanto, toto. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: Trans Info Me
Sujarwo. 2013. Pembelajaran Orang Dewasa. Yogyakarta: Venus Gold Press
Sulistyo. 2013. Konsep dan proses keperawatan nyeri. Yogyakarta : nuha medika
Tamsuri Anas, 2012. Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta EGC
Widijanto G. 2011. Nursing: Menafsirkan Tanda-Tanda dan Gejala Penyakit. PT
Indeks Permata Puri Media : Jakarta Barat

Anda mungkin juga menyukai