Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM ELIMINASI


BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH)

DISUSUN OLEH :
ADE EWA PERMANA
NIM.211133041

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
TAHUN 2021/2022
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH (KMB)
PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM PERSARAFAN
(CEDERA KEPALA BERAT)

Telah mendapat persetujuan dari Pembimbing Akademik


(Clinical Teacher) dan Pembimbing Klinik (Clinical Instructure).
Telah disetujui pada :
Hari :
Tanggal :

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


BAB I
KONSEP DASAR
A. Definisi
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak
merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan
menyebabkan pembesaran dari kelenjar prostat (Al Jamil et al., 2018).
Benign Prostatic Hyperplasia adalah suatu keadaan dimana kelenjar
prostat mengalami pembesaran memanjang ke atas ke dalam kandung kemih
dan menyumbat aliran urine dengan cara menutupi orifisium uretra (Rahman,
2016).
Berdasarkan pengertian di atas Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
adalah suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang
menyebabkan pembesaran kelenjar prostat dan bermanifestasi pada
tersumbatnya aliran urine.
B. Etiologi
Beberapa hipotesis menurut Rahman, (2016) yang diduga sebagai penyebab
timbulnya BPH adalah:
1. Teori Dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan selsel kelenjarprostat. DHT-RA pada inti sel adalah pemicu
sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel
prostat.
2. Ketidakseimbangan antara Estrogen-Testosteron
Telah diketahui bahwa estrogen pada kelenjar prostat berperan untuk
terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan
jumlah reseptor androgen dan menurunkan jumlah kematian sel-sel
kelenjar prostat (apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah,
meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan
testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai
umur yang lebih panjang sehingga massa kelenjar prostat menjadi lebih
besar.
3. Interaksi Stroma-Epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel kelenjar prostat secara tidak
langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth
factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari
dihidrotestosteron dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth
factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara
intrakin atau autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin.
Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun
sel stroma.
4. Berkurangnya Kematian Sel Prostat
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel
dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan kelenjar prostat
sampai pada kelenjar prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel kelenjar
prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya
jumlah sel-sel kelenjar prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan
jumlah sel-sel kelenjar prostat secara keseluruhan menjadi meningkat
sehingga menyebabkan pertambahan massa kelenjar prostat.
C. Klasifikasi
Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat & Jong,
(2019) secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :
1. Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur
ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin
kurang dari 50 ml
2. Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur
dan batas atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.
3. Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas
prostat tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.
4. Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total
D. Tanda dan gejala
Pasien dengan obstruksi saluran keluar vesica urinaria sekunder
terhadap hipertrophi prostat benigna, bisa tampil dengan kesulitan dalam
memulai berkemih, pengosongan vesika urinaria yang tidak tuntas, urin
menetes, frekuensi atau retensi urin total dengan ketidakmampuan lengkap
untuk berkemih. Kelenjar prostat yang membesar menimbulkan obstruksi
urin dan meningkatkan secara menetap tekanan intravesika, yang akan
menyebabkan hipertrofi detrusor, trabekulasi vesika urinaria dan
pembentukan divertikuliti. Proses ini dapat berlajut ke hidronefrosis dan
kemunduran saluran kemih atas (Sutysna, 2016).
E. Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat & Jong, (2019) komplikasi BPH adalah :
1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus
berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung
urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat
terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan
iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi
refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada
waktu miksi pasien harus mengedan.
F. Pemeriksaan Diagnostik/ Penunjang
Menurut Haryono (2012) pemeriksaan penunjang BPH meliputi :
1. Pemeriksaan colok dubur Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan
kesan keadaan tonus sfingter anus mukosa rectum kelainan lain seperti
benjolan dalam rectum dan prostat.
2. Ultrasonografi (USG) Digunakan untuk memeriksa konsistensi volume
dan besar prostat juga keadaan buli-buli termasuk residual urine.
3. Urinalisis dan kultur urine Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada
tidaknya infeksi dan RBC (Red Blood Cell) dalam urine yang
memanifestasikan adanya pendarahan atau hematuria.
4. DPL (Deep Peritoneal Lavage) Pemeriksaan pendukung ini untuk
melihat ada tidaknya perdarahan internal dalam abdomen. Sampel yang
di ambil adalah cairan abdomen dan diperiksa jumlah sel darah
merahnya.
5. Ureum, Elektrolit, dan serum kreatinin Pemeriksaan ini untuk
menentukan status fungsi ginjal. Hal ini sebagai data pendukung untuk
mengetahui penyakit komplikasi dari BPH.
6. PA(Patologi Anatomi) Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel
jaringan pasca operasi. Sampel jaringan akan dilakukan pemeriksaan
mikroskopis untuk mengetahui apakah hanya bersifat benigna atau
maligna sehingga akan menjadi landasan untuk treatment selanjutnya.
G. Penatalaksanaan Medis
Menurut Rahman (2016) penatalaksanaan medis BPH adalah sebagai
berikut :
1. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat
dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan,
sisa kencing dan colok dubur.
2. Medikamentosa
a. Mengharnbat adrenoreseptor α
b. Obat anti androgen
c. Penghambat enzim α -2 reduktase
d. Fisioterapi
3. Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria,
penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu
saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
a. TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat
melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
b. Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada
kandung kemih.
c. Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen
bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung
kemih.
d. Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi
diantara skrotum dan rektum.
e. Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula
seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada
abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung
kemih pada kanker prostat.
4. Terapi Invasif Minimal
a. Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan
ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung
kateter.
b. Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy
(TULIP)
c. Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
BAB II
WOC

Etiologi

Penuaan

Mesenkim sinus
Perubahan keseimbangan uragential
testosterone + estrogen
Mitrotrouma : trauma, Kebangkitan /
ejakulasi, infeksi Prod. Testosteron ↓ reawakening

↑ stimulasi sel stroma BPH Berproliferasi


yang dipengaruhi GH

Pre operasi Post operasi

Terjadi kompresi utera TURP. Prostatektomi

Trauma bekas Folley cateter


↑ resistensi leher V.U Kerusakan Penekanan
mukosa serabut-serabut insisi
dan daerah V.U
urogenital syaraf Obstruksi oleh
jendolan darah
↑ ketebalan otot Dekstrusor
post OP
(fase kompensasi) Nyeri

Terbentuknya sakula/ MK :
trabekula MK : MK : nyeri akut
gangguan
gangguan
integritas
mobilitas fisik
Kelemahan otot kulit
Dekstrusor
Penurunan
↓ kemampuan pertahanan
fungsi V.U tubuh

Refluk urin Residu urin


berlebihan

Hidronefrosis MK : resiko
infeksi

MK : retensi urin
BAB III
Proses Keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas
a. Identitas Pasien
1) Nama
2) Umur
3) Alamat
4) Pendidikan
5) Pekerjaan
6) Tanggal masuk
7) Diagnosa medis
8) Nomor register
b. Identitas Penanggungg jawab
1) Nama
2) Umur
3) Alamat
4) Pendidikan
5) Pekerjaan
6) Hubungan dengan klien
2. Pengkajian Fokus
a. Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan
sirkulasi; pada kasus preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan
tekanan darah yang disebabkan oleh karena efek pembesaran ginjal.
Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi sering dijumpai pada.
kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan volume
cairan.
b. Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang
seringkali dialami oleh pasien dengan preoperasi, perlu dikaji
keragu-raguan dalam memulai aliran urin, aliran urin berkurang,
pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih,
nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH
yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan
sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter untuk mengetahui
adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna
urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan
tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan
bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan
terjadinya konstipasi. Pada preoperasi BPH hal tersebut terjadi
karena protrusi prostat ke dalam rektum, sedangkan pada postoperasi
BPH, karena perubahan pola makan dan makanan.
c. Makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu
karena efek penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi),
maupun efek dari anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi
gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan, tindakan
yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan
maupun nutrisinya.
d. Nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah
kebutuhan dasar yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan
kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada pasien postoperasi biasanya
ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri
punggung bawah.
e. Keselamatan/ keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH
faktor keselamatan tidak luput dari pengkajian perawat karena hal ini
sangat penting untuk menghindari segala jenis tuntutan akibat
kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji
adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya
demam (pada preoperasi), sedang pada postoperasi perlu adanya
inspeksi balutan dan juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka
bedah maupun pada saluran perkemihannya.
f. Seksualitas
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi
terkadang mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada
kemampuan seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama
hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan
pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
g. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien
preoperasi maupun postoperasi BPH. Pada preoperasi perlu dikaji,
antara lain urin analisa, kultur urin, urologi., urin, BUN/kreatinin,
asam fosfat serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan pada
postoperasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit karena
imbas dari perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada
tidaknya infeksi.
B. Masalah Keperawatan
1. Retenssi urine
2. Nyeri akut
3. Gangguan mobilitas fisik
4. Gangguan integritas kulit
5. Resiko infeksi
C. Intervensi
No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi
1 Retensi Urine Setelah dilakukan asuhan KATETERISASI URINE
Definisi keperawatan selama 3 x (L.04148)
Pengosongan kandung 24 jam diharapkan retensi Observasi
kemih yang tidak lengkap urine teratasi dengan  Periksa kondisi pasien
Penyebab kriteria hasil : (mis, kesadarn, tanda
a. Peningkatan tekanan a. Sensasi berkemih tanda vital, daerah
uretra meningkat perineal, distensi
b. Kerusakan arkus b. Desakan berkemih kandung kemih,
reflex (urgensi) menurun inkontenesua urine,
c. Blok spingter c. Distensi kandung reflex berkemih)
d. Disfungsi neurologis kemih menurun Terapeutik
(mis, trauma, penyakit d. Berkemih tidak  Siapkan peralatan,
saraf) tuntas (hesitancy) bahan bahan dan
e. Efek agen menurun ruangan tindakan
farmakologis (mis, e. Volume residu urine  Siapkan pasien:
atropine, belladonna, menurun bebaskan pakaian
psikotropik, bawah dan posisikan
antihistamin dll) dorsal rekumben
 Pasang sarung tangan
 Bersihkan daerah
perineal atau
proposium dengan
cairan NaCl atau
aquadest
 Lakukan insersi kateter
urine dengan
menerapkan prinsip
aseptic
 Sambungkan kateter
urine dengan urine bag
 Isi balon dengan
dengan Nacl 0.9 %
sesuai anjuran pabrik
 Fiksasi selang kateter
diatas simpisis atau di
paha
 Pastikan kantung urine
ditempatkan lebih
rendah dari kandung
kemih
 Berikan label waktu
pemasangan
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan
prosedur pemasangan
kateter urine
 Anjurkan menarik
nafas saat insersi
selang cateter
MANAJEMEN CAIRAN
Observasi
 Monitor status hidrasi (
mis, frek nadi,
kekuatan nadi, akral,
pengisian kapiler,
kelembapan mukosa,
turgor kulit, tekanan
darah)
 Monitor berat badan
harian
 Monitor hasil
pemeriksaan
laboratorium (mis.
Hematokrit, Na, K, Cl,
berat jenis urin , BUN)
 Monitor status
hemodinamik ( Mis.
MAP, CVP, PCWP
jika tersedia)
Terapeutik
 Catat intake output dan
hitung balans cairan
dalam 24 jam
 Berikan asupan cairan
sesuai kebutuhan
 Berikan cairan
intravena bila perlu
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
diuretik, jika perlu

2 Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan MANAJEMEN NYERI (I.


Definisi keperawatan selama 3 x 08238)
Pengalaman sensorik atau 24 jam diharapkan nyeri Observasi
emosional yang berkaitan pada pasien berkurang a. lokasi,
dengan kerusakan jaringan dengan kriteria hasil : karakteristik, durasi,
aktual atau fungsional, Tingkat Nyeri frekuensi, kualitas,
dengan onset mendadak a. Nyeri berkurang intensitas nyeri
atau lambat dan dengan skala 2 b. Identifikasi
berintensitas ringan hingga b. Pasien tidak skala nyeri
berat yang berlangsung mengeluh nyeri c. Identifikasi
kurang dari 3 bulan. c. Pasien tampak respon nyeri non
Penyebab tenang verbal
1. Agen pencedera d. Pasien dapat tidur d. Identifikasi
fisiologis (mis. dengan tenang faktor yang
Inflamasi, iskemia, e. Frekuensi nadi memperberat dan
neoplasma) dalam batas normal memperingan nyeri
2. Agen pencedra (60-100 x/menit) e. Identifikasi
kimiawi (mis. f. Tekanan darah pengetahuan dan
Terbakar, bahan kimia dalam batas normal keyakinan tentang
iritan) (90/60 mmHg – nyeri
3. Agen pencidra fisik 120/80 mmHg) f. Identifikasi
(mis. Abses, trauma, g. RR dalam batas pengaruh budaya
amputasi, terbakar, normal (16-20 terhadap respon nyeri
terpotong, x/menit) g. Identifikasi
mengangkat Kontrol Nyeri pengaruh nyeri pada
berat,prosedur a. Melaporkan bahwa kualitas hidup
operasi,trauma, latihan nyeri berkurang h. Monitor
fisik berlebihan dengan keberhasilan terapi
menggunakan komplementer yang
manajemen nyeri sudah diberikan
b. Mampu mengenali i. Monitor efek
nyeri (skala, samping penggunaan
intensitas, frekuensi analgetik
dan tanda nyeri) Terapeutik
a. Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
(mis. TENS, hypnosis,
akupresur, terapi
musik, biofeedback,
terapi pijat, aroma
terapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi
bermain)
b. Control
lingkungan yang
memperberat rasa
nyeri (mis. Suhu
ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
c. Fasilitasi
istirahat dan tidur
d. Pertimbangkan
jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan
strategi meredakan
nyeri
Edukasi
a. Jelaskan
penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
b. Jelaskan
strategi meredakan
nyeri
c. Anjurkan
memonitor nyri secara
mandiri
d. Anjurkan
menggunakan
analgetik secara tepat
e. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
PEMBERIAN ANALGETIK
(I.08243)
Observasi
a. Identifikasi karakteristik
nyeri (mis. Pencetus,
pereda, kualitas, lokasi,
intensitas, frekuensi,
durasi)
b. Identifikasi riwayat alergi
obat
c. Identifikasi kesesuaian
jenis analgesik (mis.
Narkotika, non-narkotika,
atau NSAID) dengan
tingkat keparahan nyeri
d. Monitor tanda-tanda vital
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
e. Monitor efektifitas
analgesik
Terapeutik
a. Diskusikan jenis analgesik
yang disukai untuk
mencapai analgesia
optimal, jika perlu
b. Pertimbangkan
penggunaan infus kontinu,
atau bolus opioid untuk
mempertahankan kadar
dalam serum
c. Tetapkan target efektifitas
analgesic untuk
mengoptimalkan respon
pasien
d. Dokumentasikan respon
terhadap efek analgesic
dan efek yang tidak
diinginkan
Edukasi
Jelaskan efek terapi dan
efek samping obat
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian
dosis dan jenis analgesik,
sesuai indikasi

Gangguan mobilitas fisik Setelah dilakukan DUKUNGAN AMBULASI


Definisi tindakan keperawatan Observasi
Keterbatasan dalam selama 3 x 24 jam a. Identifikasi adanya
gerakan fisik dari satu atau toleransi aktivitas nyeri atau keluhan fisik
lebih ekstremitas secara meningkat dengan kriteria lainnya
mandiri hasil : b. Identifikasi toleransi
 Penyebab a. px dapat fisik melakukan
a. Kerusakan integritas berambulasi ambulasi
struktur tulang b. kekuatan otot c. Monitor frekuensi
b. Perubahan meningkat jantung dan tekanan
metabolisme c. rentang gerak darah sebelum
c. Ketidakbugaran fisik meningkat memulai ambulasi
d. Penurunan kendali d. ADLs terpenuhi d. Monitor kondisi umum
otot selama melakukan
e. Penurunan massa otot ambulasi
f. Penurunan kekuatan Terapeutik
otot a. Fasilitasi aktivitas
g. Keterlambatan ambulasi dengan alat
perkembangan bantu (mis. tongkat,
h. Kekakuan sendi kruk)
i. Kontraktur b. Fasilitasi melakukan
j. Malnutrisi mobilisasi fisik, jika
k. Gangguan perlu
muskuloskeletal c. Libatkan keluarga
l. Gangguan untuk membantu
neuromuskular pasien dalam
m. Indeks masa tubuh meningkatkan
diatas persentil ke-75 ambulasi
sesuai usia Edukasi
n. Efek agen a. Jelaskan tujuan dan
farmakologis prosedur ambulasi
o. Program pembatasan b. Anjurkan melakukan
gerak ambulasi dini
p. Nyeri c. Ajarkan ambulasi
q. Kurang terpapar sederhana yang harus
informasi tentang dilakukan (mis.
aktivitas fisik berjalan dari tempat
r. Kecemasan tidur ke kursi roda,
s. Gangguan kognitif berjalan dari tempat
t. Keengganan tidur ke kamar mandi,
melakukan pergerakan berjalan sesuai
u. Gangguan toleransi)
sensoripersepsi

4 Gangguan integritas kulit Setelah diberikan PERAWATAN INTEGRITAS


Definisi asuhan keperawatan KULIT
Kerusakan kulit (dermis selama 3 x 24 jam Observasi
dan/atau epidermis) atau diharapkan integritas a. Identifikasi penyebab
jaringan (membran gangguan integritas kulit
kulit membaik dengan
mukosa, kornea, fasia, (mis. Perubahan sirkulasi,
otot, tendon, tulang,
kriteria hasil : perubahan status nutrisi,
kartilago, kapsul sendi a. Kerusakan jaringan peneurunan kelembaban,
dan/atau ligamen). menurun suhu lingkungan ekstrem,
Penyebab b. Kerusakan kulit penurunan mobilitas)
a. Perubahan menurun Terapeutik
sirkulasi c. Elastisitas kulit b. Ubah posisi setiap 2 jam
b. Perubahan status meningkat jika tirah baring
nutrisi (kelebihan d. Hidrasi kulit c. Lakukan pemijatan pada
atau kekurangan) meningkat area penonjolan tulang,
c. Kekurangan/kelebi e. Perfusi jaringan jika perlu
han volume cairan d. Bersihkan perineal dengan
membaik
d. Penurunan air hangat, terutama
mobilitas selama periode diare
e. Bahan kimia e. Gunakan produk berbahan
iritatif petrolium  atau minyak
f. Suhu lingkungan pada kulit kering
yang ekstrem f. Gunakan produk berbahan
g. Faktor mekanis  ringan/alami dan
(mis. Penekanan hipoalergik pada kulit
pada tonjolan sensitif
tulang, gesekan) g. Hindari produk berbahan
atau faktor elektris dasar alkohol pada kulit
(elektrodiatermi, kering
energi listrik Edukasi
bertegangan h. Anjurkan menggunakan
tinggi) pelembab (mis. Lotin,
h. Efek samping serum)
terapi radiasi i. Anjurkan minum air yang
i. Kelembaban cukup
j. Proses penuaan j. Anjurkan meningkatkan
k. Neuropati perifer asupan nutrisi
l. Perubahan k. Anjurkan meningkat
pigmentasi asupan buah dan saur
m. Perubahan l. Anjurkan menghindari
hormonal terpapar suhu ektrime
n. Kurang terpapar m. Anjurkan menggunakan
informasi tentang tabir surya SPF minimal
upaya 30 saat berada diluar
memperthankan/m rumah
elindungi PERAWATAN LUKA(
integritas jaringan Observasi
a. Monitor karakteristik luka
(mis:
drainase,warna,ukuran,ba
u
b. Monitor tanda –tanda
inveksi
Terapiutik
a. lepaskan balutan dan
plester secara perlahan
b. Cukur rambut di sekitar
daerah luka, jika perlu
c. Bersihkan dengan cairan
NACL atau pembersih
non toksik,sesuai
kebutuhan
d. Bersihkan jaringan
nekrotik
e. Berika salep yang sesuai
di kulit /lesi, jika perlu
f. Pasang balutan sesuai
jenis luka
g. Pertahan kan teknik seteril
saaat perawatan luka
h. Ganti balutan sesuai
jumlah eksudat dan
drainase
i. Jadwalkan perubahan
posisi setiap dua jam atau
sesuai kondisi pasien
j. Berika diet dengan kalori
30-35 kkal/kgBB/hari dan
protein1,25-1,5
g/kgBB/hari
k. Berikan suplemen vitamin
dan mineral (mis vitamin
A,vitamin C,Zinc,Asam
amino),sesuai indikasi
l. Berikan terapi
TENS(Stimulasi syaraf
transkutaneous), jika
perlu
Edukasi
a. Jelaskan
tandan dan gejala infeksi
b. Anjurkan
mengonsumsi makan
tinggi kalium dan protein
c. Ajarkan
prosedur perawatan luka
secara mandiri
Kolaborasi
a. Kolaborasi
prosedur
debridement(mis:
enzimatik biologis
mekanis,autolotik), jika
perlu
b. Kolaborasi
pemberian antibiotik, jika
perlu

5 Resiko infeksi Setelah diberikan PENCEGAHAN INFEKSI


Definisi asuhan keperawatan Observasi
Berisiko mengalami selama 3 x 24 jam a. Identifi
peningkatan terserang diharapkan tidak kasi riwayat kesehatan
organisme patogenik dan riwayat alergi
terjadi tanda-tanda
Faktor risiko b. Identifi
infeksi dengan kriteria
a. Penyakit Kronis kasi kontraindikasi
b. Efek prosedur Infasif hasil : pemberian imunisasi
c. Malnutrisi a. Demam tidak c. Identifi
d. Peningkatan paparan terjadi kasi status imunisasi
organisme patogen b. Kemerahan tidak setiap kunjungan ke
lingkungn terjadi pelayanan kesehatan
e. Ketidakadekuatan c. Nyeri berkurang Terapeutik
pertahanan tubuh d. Bengkak a. Berika
perifer : berkurang atau n suntikan pada pada bayi
1) Gangguan tidak terjadi dibagian paha
peristltik anterolateral
e. Kadar sel darah
2) Kerusakan b. Doku
putih membaik
integritas kulit mentasikan informasi
3) Perubahan vaksinasi
sekresi PH c. Jadwal
4) Penurunan kerja kan imunisasi pada
siliaris interval waktu yang tepat
5) Ketuban pecah Edukasi
lama a. Jelaska
6) Ketuban pecah n tujuan, manfaat, resiko
sebelum yang terjadi, jadwal dan
waktunya efek samping
7) Merokok b. Inform
8) Statis cairan asikan imunisasi yang
tubuh diwajibkan pemerintah
6. Ketidakadekuatan c. Inform
pertahan tubuh asikan imunisasi yang
sekunder melindungiterhadap
1) Penuruna penyakit namun saat ini
Hemoglobin tidak diwajibkan
2) Imunosupresi pemerintah
3) Leukopenia d. Inform
4) Supresi Respon asikan vaksinasi untuk
Inflamasi kejadian khusus
5) Faksinasi tidak e. Inform
adekuat asikan penundaan
pemberian imunisasi tidak
berarti mengulang jadwal
imunisasi kembali
f. Inform
asikan penyedia layanan
pekan imunisasi nasional
yang menyediakan vaksin
gratis
MANAJEMEN IMUNISASI/
VAKSIN
Observasi
a. Identifi
kasi riwayat kesehatan
dan riwayat alergi
b. Identifi
kasi kontraindikasi
pemberian imunisasi
c. Identifi
kasi status imunisasi
setiap kunjungan ke
pelayanan kesehatan
Terapeutik
a. Berika
n suntikan pada pada bayi
dibagian paha
anterolateral
b. Doku
mentasikan informasi
vaksinasi
c. Jadwal
kan imunisasi pada
interval waktu yang tepat
Edukasi
a. Jelaska
n tujuan, manfaat, resiko
yang terjadi, jadwal dan
efek samping
b. Inform
asikan imunisasi yang
diwajibkan pemerintah
c. Inform
asikan imunisasi yang
melindungiterhadap
penyakit namun saat ini
tidak diwajibkan
pemerintah
d. Inform
asikan vaksinasi untuk
kejadian khusus
e. Inform
asikan penundaan
pemberian imunisasi tidak
berarti mengulang jadwal
imunisasi kembali
f. Inform
asikan penyedia layanan
pekan imunisasi nasional
yang menyediakan vaksin
gratis

D. Aplikasi Pemikiran Kritis


Tindakan yang sering dilakukan untuk mengatasi Benigna Prostat
Hiperplasia (BPH) adalah, Transurethral Resection of Prostate (TURP).
TURP merupakan tindakan operasi yang paling banyak dikerjakan diseluruh
dunia. Operasi Transurethral Resection Prostate (TURP) dapat mempengaruhi
aktivitas sehari – hari klien karena terjadi nyeri pada area post operasi.
Teknik relaksasi dan imajinasi salah satu teknik yang digunakan
dalam menurunkan nyeri pada pasien, dalam penelitian ini khususnya pada
pasien pasca bedah, teknik relaksasi meliputi meditasi, yoga, Zen, teknik
imajinasi, dan latihan relaksasi progresif. Relaksasi progresif (PMR) pada
seluruh tubuh memakan waktu sekitar 15 menit, klien memberikan perhatian
pada tubuh memperlihatkan daerah ketegangan. Daerah yang tegang
digantikan dengan rasa hangat dan rileks. Latihan relaksasi progresif meliputi
kombinasi latihan pernafasan yang terkontrol dan rangkaian kontraksi serta
relaksasi kelompok otot.
Dari penelitian Bachtiar (2019) menunjukkan rata-rata intensitas
nyeri pada post operasi BPH (Benigna Prostat Hyperplasia) sebelum
diberikan terapi relaksasi progresif (PMR) adalah 5.20. Namun setelah
iberikan terapi relaksasi progresif (PMR) rata-rata skala nyeri menjadi 3.60.

(PPNI, 2017, 2018a, 2018b)


DAFTAR PUSTAKA

Al Jamil, A. P., Pertiwi, D., & Elvira, D. (2018). Gambaran Hasil Pemeriksaan
Urine pada Pasien dengan Pembesaran Prostat Jinak di RSUP DR. M. Djamil
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(1), 137.
https://doi.org/10.25077/jka.v7i1.792
Bachtiar, S. M. (2019). Pengaruh PMR (Progressive Muscle Relaxation) terhadap
Penurunan Intensitas Nyeri pada Pasien Post Op Bph (Benign Prostate
Hiperplasia. Jurnal Media Keperawatan: Politeknik Kesehatan Makassar,
10(2), 92–96.
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (1st ed.). DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (2nd ed.). DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (2nd ed.). DPP PPNI.
Rahman, S. (2016). Pengobatan Hipertrofi Prostat Non Operatif. September, 12.
Sjamsuhidajat, R., & Jong, W. De. (2019). Buku Ajar Ilmu Bedah (2nd ed.).
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Sutysna, H. (2016). Tinjauan Anatomi Klinik Pada Pembesaran Kelenjar Prostat.
Jurnal UMSU, 1(September), 4–8.
Lampiran
Jurnal Aplikasi Pemikiran Kritis

Anda mungkin juga menyukai