Anda di halaman 1dari 21

PROPOSAL DESAIN INOVATIF TERAPI MUSIK

PADA PASIEN POST OP APENDISITIS

DI RS SANTO VINCENTIUS

SINGKAWANG

Disusun Oleh:

PUTRA ARDHANA

PETER YORDAN

PLORENTINA NOPITA

PROGRAM STUDI PROFESI NERS JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK

TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat
dan hidayanya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal desain inovatif tentang terapi musik
pada pasien post op apendisitis. Saya mengucapkan terimakasih kepada Bapak/Ibu dosen
pembimbing dan Preceptor ruang Damianus yang telah membimbing dalam penyusunan proposal
desain inovatif ini. Serta kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah
ini. Dalam pembuatan proposal ini, penulis menyadari masih banyak ada kekurangan baik dari isi
materi maupun penyusunan kalimat. Namun demikian,perbaikan merupakan hal yang berlanjut
sehingga kritik dan saran untuk menyempurnakan proposal desain inovatif sangat penulis harapkan.
Akhirnya penulis menyampaikan terimakasih kepada pembaca dan temanteman sekalia yang telah
membaca dan mempelajari proposal desain inovatif ini.

Singkawang, Oktober
2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang.................................................................................................... 1
B. Tujuan................................................................................................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Pengertian ........................................................................................................4
B. Etiologi..............................................................................................................4
C. Manifestasi klinik ..............................................................................................4
D. Patofisiologi.....................................................................................................5
E. Komplikasi.........................................................................................................6
BAB III Metodologi
A. Topik..................................................................................................................7
B. Sub Topik...........................................................................................................7
C. Tujuan...............................................................................................................8
D. Pelaksanaan .......................................................................................................9
E. Setting...............................................................................................................9
F. Media/alat yang digunakan.................................................................................9
G. Prosedur Operasional.........................................................................................9
H. Referensi............................................................................................................

BAB IV Laporan Kegiatan


A. Pelaksanaan Kegiatan......................................................................................10
B. Faktor pendukung...............................................................................................11
C. Faktor penghambat ............................................................................................11

ii
BAB V Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan........................................................................................................12
B. Saran .................................................................................................................13

DAFTAR PUTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Appendicitis merupakan peradangan pada appendicitis (umbai cacing). appendicitis juga


merupakan suatu keadaan inflamasi dan abstruksi terhadap appendicitis vermivormis. Appendicitis
vermivormis yang sering disebut juga umbai cacing atau yang lebih dikenal dengan istilah usus
buntu, merupakan kantong kecil yang buntuh dan melekat pada seikum. Appendicitis terjadi pada
segala usia baik laki-laki maupun perempuan. Sejak terdapat kemajuan untuk terapi antibiotik,
insidensi dan angka kematian karena appendicitis mengalami penurunan, jika tidak ditangani
dengan benar, penyakit appendicitis ini hampir berakibat fatal ( Kowalak, 2011). Angka kejadian
appendicitis cukup tinggi di dunia. Berdasarkan (Word Health Organisation 2010) yang dikutip
oleh (Naulibasa 2011), angka mortalitas appendicitis adalah 21.000 jiwa, dimana populasi laki-laki
lebih banyak di bandingkan perempuan. Angka mortalitas appendicitis sekitar 12.000 jiwa pada
laki-laki dan sekitar 10.000 jiwa pada perempuan . Di amerika serikat terdapat 70.000 kasus
appendicitis setiap tahunnya.

Berdasarkan data yang diperoleh menurut depkes RI, Jumlah pasien yang menderita penyakit
appendicitis di berjumlah sekitar 27% atau sekitar 179.000 orang. Dari hasil survey kesehatan
rumah tangga (SKRT) di Indonesia, appendicitis akut merupakan salah satu penyebab dari akut
abdomen dan beberapa indikasi untuk dilakukan operasi kegawat daruratan abdomen. Insidensi
appendicitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatan abdomen lainnya.
Di NTT pada tahun 2009 jumlah kunjungan penderita appendicitis rawat jalan di rumah sakit
adalah 2.903. Data dinas kesehatan sumba timur menunjukan bahwa jumlah penderita appendicitis
pada tahun 2009 sebanyak 408 orang dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 864 orang. (Dinkes
Provinsi- NTT 2011). Hal ini mungkin terkait dengan diet serat yang kurang pada masyarakat
moderen (Ardinata, 2007).

Pengobatan dan terapi yang paling tepat dengan tindakan operatif terbuka, yaitu dimana suatu
tindakan sayatan akan dilakukan ± 5 cm dibagian bawah kanan perut dan sayatan akan lebih besar
jika appendicitis sudah mengalami perforasi. Pembedahan atau operasi merupakan tindakan
pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan membuka bagian tubuh yang akan di tangani.
Setelah selesai dilakukan operasi pasien akan mengalami nyeri pasca operasi, hal ini perlu
dilakukan penanganan tindakan keperawatan nyeri pascaappendicitis yang tepat (Potter dan Perry,
2005). Seseorang yang sudah dilakukan operasi appendicitis bila tidak ditangani secara serius maka
akan terus mengalami nyeri akibat bedah luka post operasi. Seseorang yang mengalami nyeri akan
berdampak pada aktivitas sehari-hari dan terganggu pemenuhan kebutuhan istirahat tidur, juga
aspek interaksi sosialnya yang dapat berupa menarik diri, menghindari percakapan,dan

1
2

menghindari kontak. Selain itu akhirnya mengalami syok neurogenic pada orang tersebut
(Gannong, 2008).

Nyeri post operasi appendicitis merupakan bentuk ketidak nyamanan pada diri seseorang akibat
sayatan pada bagian kanan bawah perut atau pengalaman emosional yang sangat tidak
menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang actual, potensial atau yang
dirasakan dalam kejadian-kejadian saat terjadi kerusakan. Nyeri berperan sebagai mekanisme untuk
memperingatkan kita mengenai potensial bahaya fisik. Oleh sebab itu nyeri merupakan mekanisme
pertahanan tubuh yang mencegah kerusakan lebih lanjut dengan memberikan dorongan untuk
keluar dari situasi yang menyebabkan nyeri. Salah satu cara untuk mengurangi nyeri pada pasien
post operasi appendicitis dapat dilakukan dengan pemberian terapi farmakologis dan non
farmakologis. Potter &Perry, 2006).

Rasa nyeri bisa timbul hampir pada setiap insisi post operasi. Bila tidak diatasi dapat menimbulkan
efek yang membahayakan yang akan mengganggu proses penyembuhan, untuk itu perlu penanganan yang
lebih efektif untuk meminimalkan nyeri yang dialami oleh pasien (Sesrianty & Wulandari, 2018). Tingkat
keparahan nyeri pasca operasi tergantung pada anggapan fisiologi dan psikologi dari individu, toleransi yang
ditimbulkan untuk nyeri, letak insisi, sifat prosedur, kedalaman trauma bedah dan jenis agen anestesi dan
bagaimana agen tersebut diberikan. Kurangnya pengetahuan pasien dalam menangani nyeri, takut dalam
penggunaan opioid dan adanya pandangan bahwa wajar bila pasien dibedah akan merasakan nyeri
(Karendehi et al., 2015). Sekitar 50% pasien masih mengalami nyeri hebat meskipun tersedia analgesik yang
efektif. Rentang nyeri yang dapat ditolerir adalah 1- 3, jika setelah diberikan analgesik masih di skala 4 atau
lebih, maka diperlukan tindakan nonfarmakologi yang efektif (Gerbershagen et al., 2011). Manajemen nyeri
yang buruk mempengaruhi kualitas hidup dan lamanya perawatan hingga lebih dari 4 hari (Sariyem, 2013)

Penatalaksanaan nyeri pasca bedah untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri pasca bedah
dilakukan dengan pendekatan farmakologi dan non farmakologi. Penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan terapi farmakologi bersama dengan terapi non-farmakologi membantu pasien dalam beradaptasi
dengan nyerinya sehingga dapat meningkatkan quality of life, berkurangnya penggunaan analgesik, pasien
dapat segera kembali bekerja, dan memberikan pandangan yang berbeda tentang nyeri dan dampaknya
dalam kehidupan pasien (Jorgensen, 2014). Salah satu penatalaksanaan farmakologis adalah Nonsteroidal
Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs), secara garis besar srategi farmakologi dalam pemberian terapi
mengikuti WHO pain relief ladder (jenjang analgetik), adapun contoh obatnya yaitu ketorolac, ibuprofen,
aspirin dll (Yorpina & Syafriati, 2020). Dalam pengguanan obat-obatan tersebut terdapat efek samping dan
ketergantungan bila digunakan dalam jangka panjang.

Metode pereda nyeri non-farmakologis biasanya mempunyai resiko yang sangat rendah.
Penatalaksanaan nyeri non farmakologis yaitu, dengan teknik distraksi (pengalihan), teknik relaksasi
3

(relaksasi nafas dalam dan relaksasi progresif) dan stimulasi kulit (terapi kompres hangat dan dingin serta
massage) (Hidayat & Uliyah, 2014). Teknik Distraksi merupakan pengalihkan perhatian pasien ke hal yang
lain dan dengan demikian menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap
nyeri (Karendehi et al., 2015). Ada 4 macam jenis distraksi yaitu distraksi visual, distraksi pendengaran,
distraksi pernafasan, dan distraksi intelektual (Andarmoyo, 2013). Distraksi pendengaran yaitu pengalihan
perhatian selain nyeri yang diarahkan ke dalam tindakan-tindakan melalui organ pendengaran. Misalnya
mendengarkan musik yang disukai, atau mendengarkan suara kicauan burung atau gemercik air
(Andarmoyo, 2013).

Terapi musik sebagai teknik relaksasi yang digunakan untuk penyembuhan suatu penyakit dengan
menggunakan bunyi atau irama tertentu. Jenis musik yang digunakan dalam terapi musik dapat disesuaikan
dengan keinginan, seperti musik klasik, instrumentalia dan slow musik. Manfaat terapi musik pada periode
pasca bedah yaitu, meningkatkan kenyamanan pasien karena relaksasi, mampu menurunkan spasme otot,
mengurangi kecemasan dan meningkatkan aktivitas parasimpatis. Pada keadaan tenang, tubuh akan
distimulasi untuk memproduksi endorfin yang bereaksi menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa tenang
dan pada akhirnya akan merangsang organ-organ tubuh untuk mereproduksi sel-sel yang rusak akibat
pembedahan (Nurdiansyah, 2015).

Penelitian yang dilakukan oleh (Karendehi et al., 2015) tentang pengaruh pemberian musik terhadap
skala nyeri akibat perawatan luka bedah pada pasien pasca operasi dengan 30 responden (15 responden
kelompok kontrol dan 15 responden kelompok perlakuan), penelitian ini menggunakan desain penelitian
quasy experiment dengan non random control group pre test post. Teknik pengambilan sampel dilakukan
dengan Total Sampling. Hasil pengukuran intensitas nyeri dianalisis menggunakan uji t dependen dan uji t
independen. Berdasarkan hasil analisis menggunakan Paired sample T-Test (Uji T Dependent) hasil nilai p-
Value dari skala nyeri yang diberi terapi musik 0,000 dengan α ≤ 0,05, yang berarti p Value≤ α (0,000 ≤
0,05) terlihat pengaruh musik efektif untuk menurunkan nyeri pasca operasi. Musik terbukti dapat
menurunkan intensitas nyeri pasien post operasi di ruangan perawatan bedah Rumah Sakit Tk. III 07.06.01
R.W Mongisidi Manado.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, nyeri memberikan dampak negatif sehingga harus
ditangani. Metode terapi musik memiliki banyak manfaat selain meredakan nyeri juga dapat memberikan
ketenangan, mengurangi kecemasan dan meningkatkan aktivitas parasimpatis.

B. Tujuan
Tujuan dari desain inovatif ini adalah melakukan penatalaksanaan terapi relaksasi untuk
mengurangi nyeri pasien post op.
4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Appendisitis

Apendisitis adalah radang pada usus buntu atau dalam bahasa latinnya appendiks
vermivormis, yaitu suatu organ yang berbentuk memanjang dengan panjang 6-9 cm dengan
pangkal terletak pada bagian pangkal usus besar bernama sekum yang terletak pada perut kanan
bawah (Handaya, 2017).

Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing (apendiks)
(Wim de jong, 2005 dalam Nurarif, 2015). Apendisitis merupakan keadaan inflamasi dan obstruksi
pada vermiforis. Apendisitis adalah inflamasi saluran usus yang tersembunyi dan kecil yang
berukuran sekitar 4 inci yang buntu pada ujung sekum (Rosdahl dan Mary T. Kowalski, 2015).

Apendisitis merupakan keadaan inflamasi dan obstruksi pada apendiks vermiformis.


Apendiks vermiformis yang disebut dengan umbai cacing atau lebih dikenal dengan nama usus
buntu, merupakan kantung kecil yang buntu dan melekat pada sekum (Nurfaridah, 2015).

B. Etiologi

Penyebab dari apendisitis adalah adanya obstruksi pada lamen apendikeal oleh apendikolit,
tumor apendiks, hiperplasia folikel limfoid submukosa, fekalit (material garam kalsium, debris
fekal), atau parasit E-Histolytica. (Katz 2009 dalam muttaqin, & kumala sari, 2011).
Selain itu apendisitis juga bisa disebabkan oleh kebiasaan makan makanan rendah serat sehingga
dapat terjadi konstipasi. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang mengakibatkan
terjadinya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon.

C. Manifestasi Klinik

1. Nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium disekitar umbilikus atau periumbilikus. Kemudian
dalam beberapa jam, nyeri beralih ke kuadaran kanan bawah ke titik Mc Burney (terletak diantara
pertengahan umbilikus dan spina anterior ileum) nyeri terasa lebih tajam.

2. Bisa disertai nyeri seluruh perut apabila sudah terjadi perionitis karena kebocoran apendiks dan
meluasnya pernanahan dalam rongga abdomen

3. Mual

4
5

4. Muntah

5. Nafsu makan menurun

6. Konstipasi

7. Demam
(Mardalena 2017 ; Handaya, 2017)

D. Patofisiologi

Apendisitis terjadi karena disebabkan oleh adanya obstruksi pada lamen apendikeal oleh
apendikolit, tumor apendiks, hiperplasia folikel limfoid submukosa, fekalit (material garam
kalsium, debris fekal), atauparasit E-Histolytica. Selain itu apendisitis juga bisa disebabkan oleh
kebiasaan makan makanan yang rendah serat yang dapat menimbulkan konstipasi. Kondisi
obstruktif akan meningkatkan tekanan intraluminal Muttaqin, 2008).

dan peningkatan perkembangan bakteri. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan kongesti dan
penurunan perfusi pada dinding apendiks yang berlanjut pada nekrosis dan inflamasi apendiks.
Pada fase ini penderita mengalami nyeri pada area periumbilikal. Dengan berlanjutnya pada proses
inflamasi, akan terjadi pembentukan eksudat pada permukaan serosa apendiks. Ketika eksudat ini
berhubungan dengan perietal peritoneum, maka intensitas nyeri yang khas akan terjadi (Santacroce,
2009 dalam dalam muttaqin & kumala sari, 2011).

Dengan berlanjutnya proses obstruksi, bakteri akan berproliferasi dan meningkatkan tekanan
intraluminal dan membentuk infiltrat pada mukosa dinding apendiks yang ditandai dengan
ketidaknyamanan pada abdomen. Adanya penurunan perfusi pada dinding akan menimbulkan
iskemia dan nekrosis serta diikuti peningkatan tekanan intraluminal, juga akan meningkatkan risiko
perforasi dari apendiks. Pada proses fagositosis terhadap respon perlawanan terhadap bakteri
ditandai dengan pembentukan nanah atau abses yang terakumulasi pada lumen apendiks.

Berlanjutnya kondisi apendisitis akan meningkatkan resiko terjadinya perforasi dan pembentukan
masa periapendikular. Perforasi dengan cairan inflamasi dan bakteri masuk ke rongga abdomen
kemudian akan memberikan respon inflamasi permukaan peritoneum atau terjadi peritonitis.
Apabila perforasi apendiks disertai dengan abses, maka akan ditandai dengan gejala nyeri lokal
akibat akumulasi abses dan kemudian akan memberikan respons peritonitis. Gejala yang khas dari
perforasi apendiks adalah adanya nyeri hebat yang tiba-tiba datang pada abdomen kanan bawah
(Tzanaki, 2005 dalam muttaqin, Arif & kumala sari, 2011).
6

E. Komplikasi
Komplikasi bisa terjadi apabila adanya keterlambatan dalam penanganannya. Adapun jenis komplikasi
menurut (LeMone, 2016) diantaranya sebagai berikut:
1. Perforasi apendiks

Perforasi adalah pecahnya apendiks yang berisi nanah sehingga bakteri menyebar ke rongga perut.
Perforasi dapat diketahui dengan gambaran klinis seperti suhu tubuh lebih dari 38,5 0C dan nyeri tekan
pada seluruh perut yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit.
2. Peritonitis

Peritonitis adalah peradangan peritoneum (lapisan membran serosa rongga abdomen). Komplikasi ini
termasuk komplikasi berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis.
3. Abses

Abses adalah peradangan pada spendiks yang berisi nanah. Teraba massa lunak di kuadran kanan
bawah atau daerah pelvis.
BAB III
METODOLOGI

A.Topik
Terapi Musik

Terapi Musik merupakan suatu terapi yang bisa menyentuh individu baik secara fisik,
psikososial, emosional, dan spiritual (Campbell, 2006; Nilsson, 2008; Chiang, 2012).
Mekanisme musik adalah dengan menyesuakan pola getar dasar tubuh manusia. Vibrasi
musik yang terkait erat dengan frekuensi dasar tubuh atau pola getar dasar dapat
memiiki efek penyembuhan yang sangat hebat bagi tubuh, pikiran, dan jiwa manusia
(Andrzej, 2009). Getaran ini juga menimbulkan perubahan emosi, organ, hormon,
enzim, sel-sel, dan atom di tubuh (Kozier, Erb, Berman, Snyder & 2010). Musik bersifat
nonverbal sehingga lebih condong bekerja pada hemisfer kanan. Musik tidak
membutuhkan analisis yang membuat hemisfer kiri bekerja, tetapi dengan musik
membantu otak kiri mendominasi untuk meningkatkan proses belajar (Limb, 2006;
Heather, 2010; Kozier, et.al., 2010).

B.Sub Topik

1. Perkembangan Terapi Musik


Terapi musik sangat berkembang di dunia sebagai terapi nonfarmakologis pada post
pembedahan karena terbukti efektif menurunkan nyeri, mengurangi penggunaan
analgesia dan efek sampingnya, memperpendek lama hari rawat, kepusan pasien
meningkat, dan secara menurunkan biaya. Penelitian terapi musik pada pasien
pembedahan abdomen yang dilakukan oleh Good, Anderson, Ahn, Cong, dan Stanton-
Hicks pada tahun 2005 di Amerika Serikat dengan menggunakan metode Randomized
Controlled Trial (RCT) menunjukkan hasil sebanyak 16-40% lebih besar penurunan
nyerinya pada kelompok intervensi daripada kelompok kontrol. Penelitian lainnya
menggunakan terapi musik pada setting klinik menunjukkan bahwa terapi musik

7
8

merupakan terapi nonfarmakologi yang efektif untuk menurunkan nyeri pasien post
operasi ginekologi pada perempuan di Korea (Good & Ahn, 2008).

2. Keefektifan terapi musik


Terapi musik juga telah terbukti efektif menurunkan nyeri pada pasien post
pembedahan hernia ingunalis di Swedia (Nilsson, 2003). Chiang (2012) melakukan
penelitian bahwa terapi musik berpengaruh dalam menurunkan tingkat nyeri pada pasien
kanker di unit hospice Taiwan. Dengan demikian, menggunakan terapi musik sebagai
bagian dari asuhan keperawatan bisa menurunkan penderitaan dari gejala fisik,
psikososial dan stress emosional, dan spiritual dan perhatian religious untuk nyeri kronis
pasien kanker.

3. Dalam dunia riset.


Terapi musik juga merupakan salah satu terapi komplementer yang sudah mulai
banyak dikembangkan diberbagai riset (Engwall & Duppils, 2009). Anggreni (2008)
melakukan penelitian tentang Pengaruh Terapi Musik Terhadap Tingkat Persepsi Nyeri
pada Pasien Infark Miokard di RS Dr. M. Djamil Padang, dengan sampel berjumlah 30
orang (15 orang kelompok intervensi yang diberikan terapi penurun nyeri ditambah
terapi musik yang dan 15 orang kelompok kontrol yang hanya diberikan terapi penurun
nyeri). Hasil penelitian diperoleh penurunan tingkat nyeri yang lebih besar terjadi pada
kelompok intervensi. Hal ini berarti bahwa intervensi terapi musik pada pasien infark
miokard dapat berpengaruh terhadap penurunan tingkat nyeri.

C. Tujuan
1. Umum
untuk mengetahui pengaruh terapi musik terhadap intensitas nyeri pada pasien post operasi
tahun 2021.

2. Khusus
a. Mengidentifikasi pengaruh terapi musik terhadap intensitas nyeri pada pasien post
operasi.
b. Mengidentifikasi frekuensi dan durasi melakukan terapi musik
9

D. Pelaksanaan
1. Tanggal : Oktober 2021

E. Setting
Bangsal Damianus, RS Santo Vincentius

F. Media / Alat Yang Digunakan


Audio, Music,

G. Prosedur Operasional Yang Dilakukan


1. Musik dipilih berdasarkan pilihan langsung oleh responden (preference) dari
daftar pilihan lagu yang disediakan oleh peneliti.
2. Terapi musik dilakukan diruang rawat inap setelah pasien kembali dari ruang
operasi.
3. Responden mendengarkan musik melalui earphone dari MP3.
4. Pelaksanaan terapi musik pada kelompok intervensi dimulai dengan pengkajian
nyeri sebelum intervensi dan responden dipersilakan memilih lagu (5 menit).
5. Musik pilihan responden mulai diperdengarkan selama 15 menit, dimulai sejak
tombol play pada MP3 ditekan (dihitung dengan stopwatch).
6. Pengkajian nyeri setelah terapi dilakukan 10 menit setelah tombol off pada MP3
ditekan.
7. Sesi berikutnya dilakukan setelah 8 jam dari sesi pertama.

8. Pelaksanaan terapi musik dilakukan selama2 sesi setiap harinya


10
BAB IV
LAPORAN KEGIATAN

A.Pelaksanaan kegiatan
1.Melakukan pemilihan responden di bangsal Damianus
2. Menjelaskan penelitian serta tujuan dan prosedur

1. Pengkajian nyeri sebelum pelaksanaan Proposal penelitian desain


inovatif pada kedua kelompok dilakukan bersamaan dengan waktu
pemberian analgesik.
2. Ruangan tempat melakukan terapi antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol terpisah.
3. Memodifikasi lingkungan penelitian dengan mencegah distraksi
seperti suara telepon, mencegah interupsi selama penelitian
berlangsung dengan berjaga dipintu tempat responden mendengarkan
musik.
4. Pengkajian nyeri sesudah pelaksanaan pelaksanaan pada kedua
kelompok setelah 30 menit dari pengkajian nyeri sebelum penelitian.
5. Sesi terapi berikutnya adalah 8 jam setelah sesi pertama. Dalam satu
hari dilakukan 2 sesi terapi.
6. Waktu pelaksanaan proposal pada berikutnya dilakukan pada jam
yang sama dengan waktu dilakukannya sesi-sesi terapi di hari
sebelumnya (hari pertama penelitian).
7. dilakukan sejak pada hari 0 post operasi dilanjutkan dengan hari
pertama post operasi dan hari kedua post operasi.
8. memastikan dan menjaga tidak mendengarkan musik selama 2 hari
penelitian berlangsung.

11
12

B.Faktor pendukung

Dalam proposal desain inovatif ini di dukung oleh pasien post op yang mudah ditemukan di
bangsal Damianus RSU VINCENTIUS Singkawang, selanjutnya dengan perkembangan
teknologi menjadikan lebih mudah dalam menemukan musik-musik sesuai yang diinginkan,

C.Faktor Penghambat

Faktor penghambat dalam proposal desain inovatif ini yaitu tidak semua pasien menyukai
instrumen musik sehingga intervensi tidak bisa dilakukan
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil data dari 11 jurnal yang terpilih terbanyak adalah dengan
tahun publikasi penelitian antara tahun 2015-2020 yaitu 11 jurnal. (Sesrianty &
Wulandari, 2018), pemberian terapi musik efektif terhadap penurunan intensitas
nyeri pada pasien post operasi, dimana nyeri post operasi terjadi akibat reaksi tubuh
terhadap stress bekas insisi operasi sehingga tubuh menghasilkan mediator kimia
nyeri. Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Novita et al., 2020), berdasarkan
hasil analisis dari 16 responden terapi musik dapat menurunkan nyeri pada
intensitas nyeri ringan, sedang, dan berat.

Penelitian yang dilakukan oleh (Sesrianty & Wulandari, 2018)


mengemukakan terapi musik idealnya dapat dilakukan selama kurang lebih 30
menit hingga satu jam tiap hari, namun jika tidak memiliki cukup waktu maka
terapi ini dapat dilakukan 10 menit, karena selama waktu 10 menit telah membantu
pikiran responden beristirahat. Faktor-faktor yang tidak dapat dikontrol dalam
penelitian ini yaitu pemakaian terapi farmakologi untuk mengurangi nyeri yang
sudah diresepkan dan sesuai standar penanganan nyeri dari pihak rumah sakit
(Erwin & Antoro, 2019).

Menurut (Erwin & Antoro, 2019) berbagai jenis manajemen nyeri non farmakologi
telah banyak diterapkan dalam tatanan pelayanan keperawatan. Namun, penggunaan
manajemen nyeri non farmakologi di Indonesia masih belum optimal. Teknik relaksasi
yang paling sering digunakan yaitu nafas dalam dan teknik distraksi, akan tetapi belum ada
prosedur tertulis mengenai teknik relaksasi untuk mengurangi rasa nyeri pasca bedah yang
ditetapkan menjadi standar pelayanan keperawatan. Di samping itu belum ada penggunaan
alat audiovisual yang secara khusus disiapkan untuk mempermudah pasien memahami dan
melakukan prosedur teknik relaksasi dan terapi musik dengan benar dan tepat.

13
14

B. Saran
Berdasarkan desain inovatif ini saran yang dapat disampaikan peneliti yaitu
dengan adanya penelitian ini dapat sebagai informasi baru dan sebagai acuan oleh
pelayanan kesehatan khususnya perawat ruang bedah tentang teknik terapi musik
untuk mengurangi nyeri pada pasien post operasi. Kemudian dapat menambah
bahan kajian pustaka dan studi banding untuk masalah yang sama dengan sampel
yang berbeda. Diharapkan untuk responden dapat menjadikan terapi music sebagai
salah satu cara alternatif dalam terapi nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri
tanpa harus menggunakan obat. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat menjadi
acuan dalam melakukan penelitian lainnya dengan terapi dan sampel yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA

Australian Acute Musculosceletal Pain Guidelines Group (2003). Evidence


Based : Management of Acute Musculoskeletal Pain. Brisbane :
Australian Academic Press Pty.Ltd.

Bally, K., Campbell, D., Chesnick, K., & Tranmer, J. (2003). Effect of patient-
controlled music therapy during coronary angiography on procedural
pain and anxiety distress syndrome. American Assosociation of
Critical-Care Nurses Journal, 23, 50-57.

Berman, B.M., & Bausell, R.B. (2000). The Use of nonpharmacological


therapies by pain specialist. Pain, 85, 313-315.

Black, J.M. & Hawks, J.H. (2009). Medical-Surgical Nursing Clinical


Management for Positive Outcomes. (8th ed.). St. Louis: Elsevier.

Brodsky, K. (2002). The effect of music tempo on simulating driving


performance and vehicular control. Transportation Research, 4,
219-241.

Brotzman, S.B. (1996). Clinical Orthopaedic Rehabilitation. 3rd Ed. St.

Louis : Mosby. Brunelli, C., Zecca, E., Martini, C., Campa, T., Fagnoni, E.,

Bagnasco, M., Lanata, L.,

Caraceni, A. (2010). Comparasion of numerical and verbal rating


scales to measure pain exacerbations in patients with chronic cancer
pain. BioMed Central, 42, 1-8.

Budiarto, E. (2001). Biostatistik untuk Kedokteran dan Kesehatan


Masyarakat. Jakarta : EGC.

Campbell, D. (2006). Music : Physician For Times to Come. 3rd Edition.


Wheaton : Quest Books.

Chang, F., Ritchie, E., & Su, J. (1997). Postoperative pain in ambulatory after
surgery.
Anesthesia Analgesia, 85, 808-816.

Chelly, J.E., Ben-David, B., Williams, B.A., & Kentor, M.L. (2003).
Anesthesia and post operative analgesia outcomes following
orthopaedic surgery. Orthopaedics, 26 (8), 865-871.

Chiang, L (2012). The effect of music and nature sounds on cancer pain and
anxiety in hospice cancer patients. Frances Payne Bolton School of
Nursing Case Western Reserve University. (Unpublished dissertation
paper).

Chung, G., Ritchie, E., & Su, J. (1997). Postoperative pain in ambulatory surgery.
Anesthesia and Analgesia, 85, 808-816.

Dahlan, M.S. (2006). Besar Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan.
Seri 2.Jakarta : PT Arkans.

Anda mungkin juga menyukai