Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN HASIL DESAIN INOVATIF

STASE KEPERAWATAN JIWA

“PENERAPAN ART THERAPY MENGGAMBAR TERHADAP


PENURUNAN GEJALA HALUSINASI PADA PASIEN
SKIZOFRENIA DI RUANG TIUNG RSJD
ATMA HUSADA MAHAKAM ”

Disusun Oleh :

Kelompok 4

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TAHUN 2020
LAPORAN HASIL DESAIN INOVATIF

STASE KEPERAWATAN JIWA

PENERAPAN ART THERAPY MENGGAMBAR TERHADAP


PENURUNAN GEJALA HALUSINASI PADA PASIEN
SKIZOFRENIA DI RUANG TIUNG RSJD
ATMA HUSADA MAHAKAM ”

Disusun Oleh:

Adhan Azhari R Hazelelfoni Efraim P


Agus Imam Kusairi M. Husaini
Dyan Nitarahayu Ummi Rusiana
Hasbullah

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TAHUN 2020

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan Rahmat dan Hidayahp-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
desain inovatif keperawatan jiwa mengenai “Penerapan Art Terapi Menggambar
Terhadap Penurunan Gejala Halusinasi pada Pasien Skizofrenia Di Ruang Tiung
RSJD Atma Husada Mahakam”

Kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak/Ibu dosen pembimbing


dan Preseptor ruang Tiung yang telah membimbing dalam penyusunan laporan
desain inovatif stase keperawatan jiwa ini.Serta kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Dalam pembuatan laporan ini, penulis menyadari masih banyak ada


kekurangan baik dari isi materi maupun penyusunan kalimat.Namun demikian,
perbaikan merupakan hal yang berlanjut sehingga kritik dan saran untuk
menyempurnakan desain inovatif ini sangat penulis harapkan.

Akhirnya penulis menyampaikan terima kasih kepada pembaca dan


teman-teman sekalian yang telah membaca dan mempelajari desain inovatif ini.

Samarinda, Februari 2020

Kelompok 4

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii


KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
C. Tujuan .......................................................................................................... 4
BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................................ 5
A. Konsep Teori Skizofrenia ............................................................................ 5
B. Konsep Teori Art Theraphy ....................................................................... 20
BAB III STRATEGI PEMECAHAN MASALAH .......................................... 23
A. Pengertian ................................................................................................... 23
B. Jenis Intervensi ........................................................................................... 23
C. Tujuan ........................................................................................................ 23
D. Kriteria Responden..................................................................................... 24
E. Waktu ......................................................................................................... 24
F. Setting Tempat ........................................................................................... 24
G. Media/Alat.................................................................................................. 25
H. Pelaksana .................................................................................................... 25
I Uraian Tugas Pelaksana ............................................................................. 25
J. Tata Tertib .................................................................................................. 26
K. Instrumen PANSS ...................................................................................... 28
L. Alur Pelaksanaan (SOP) ............................................................................. 31
M. Evaluasi ...................................................................................................... 33
BAB IV LAPORAN KEGIATAN ..................................................................... 34
A. Pelaksanaan Kegiatan ................................................................................... 34
B. Faktor Pendukung dan Penghambat ............................................................. 35
C. Evaluasi Kegiatan ........................................................................................ 36
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 39
A. Kesimpulan ................................................................................................... 39
B. Saran .............................................................................................................. 39
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Skizofrenia adalah gangguan mental yang menyebabkan seseorang


menjadi disfungsional secara fisiologis untuk dirinya sendiri maupun
interaksi secara sosial. Orang yang terkena skizofrenia tidak akan mampu
berkomunikasi secara normal dengan orang lain, salah satunya adalah
karena menganggap bahwa orang lain ingin mencelakakannya (Sadock,
2010). Ketidakmampuan individu untuk beradaptasi terhadap lingkungan
dapat mempengaruhi kesehatan jiwa. Supaya dapat mewujudkan jiwa yang
sehat, maka perlu adanya peningkatan jiwa melalui pendekatan secara
promotif, preventif dan rehabilitatif agar individu dapat senantiasa
mempertahankan kelangsungan hidup terhadap perubahan - perubahan
yang terjadi pada dirinya maupun pada lingkungannya termasuk beberapa
masalah gangguan jiwa yang diantaranya skizofrenia (Sadock, 2010).

Penyakit ini menjadi persoalan serius di beberapa negara seperti


di Inggris, Amerika dan Belanda. Royal College of Psychiatris di
Inggris melaporkan bahwa satu diantara seratus orang mengalami
skizofrenia pada suatu saat dalam hidupnya (Cumming, 2010). Dari hasil
pendataan melaporkan bahwa pada tahun 2002 prevalensi dua belas bulan
skizofrenia yang terdiagnosis diperkirakan sebesar 5,1 per seribu jiwa
dimana angka kejadiannya jauh lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan
pada perempuan yaitu 1:4 (Cumming, 2010).

Skizofrenia dapat ditemukan hampir di seluruh dunia. American


Psychiatric Association (2013) menyebutkan, 1% populasi penduduk dunia
menderita skizofrenia. Penelitian serupa oleh WHO menyebutkan,
prevalensi skizofrenia di masyarakat berkisar 1-3 per mil penduduk. Menurut
hasil Riset Kesehatan Dasar (2018), prevalensi rumah tangga dengan ART
gangguan jiwa skizofrenia/psikosis Indonesia adalah 0,7 per mil, kemudian

1
di kalimantan timur sebesar 0,3 per mil.

Prevalensi skizofrenia pada pria dan wanita adalah sama, namun


awitan terjadi lebih dini pada pria dibanding wanita. Usia puncak awitan
adalah 8 sampai 25 tahun untuk pria dan 25 sampai 35 tahun untuk wanita.
Awitan skizofrenia dibawah usia 10 tahun atau diatas usia 60 tahun sangat
jarang. Secara umum, hasil akhir pasien skizofrenia wanita lebih baik
dibanding hasil akhir pasien skizofrenia pria (Sadock & Sadock, 2010).
Prevalensi penyakit ini meningkat pada pasien dengan riwayat keluarga
skizofrenia (Sinaga, 2007).

Penanganan penderita skizofrenia harus secepat mungkin dilakukan


karena keadaan psikotik yang semakin lama akan menimbulkan kemunduran
mental penderita semakin besar. Biarpun penderita tidak mencapai
kesembuhan yang sempurna, dengan pengobatan dan bimbingan yang baik
seorang penderita skizofrenia dapat ditolong untuk berfungsi terus, maupun
bekerja sederhana di rumah ataupun di luar rumah (Maramis, 2004). Berikut
beberapa teknik penanganan atau pengobatan gangguan skizofrenia yang
dikemukakan oleh Sadock & Sadock (2010), yaitu: terapi farmakaologi dan
terapi psikososial. Selain itu dalam meminimalkan halusinasi pada pasien
skizofrenia dibutuhkan pendekatan dan memberikan penatalaksanaan untuk
mengatasi gejala halusinasi. Penatalaksanaan yang diberikan meliputi terapi
farmakologi, ECT dan terapi non farmakologi salah satunya yaitu terapi
modalitas (Videbeck, 2008).

Halusinasi merupakan hilangnya kemampuan manusia dalam


membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal
(dunia luar). Klien member I resepsi atau pendapat tentang lingkungannya
tanpa ada objek rangsangan yang nyata. Sebagai contoh pasien mengatakan
mendengar suara padahal kenyataannya tidak ada orang yang berbicara
(Kusumawati, 2010).

Orang dengan gangguan kejiwaan memiliki kecenderungan menjadi


penyendiri/mengisolasi diri dari dunia luar. Mereka kesulitan bersosialisasi

2
dengan orang lain. Banyak dari mereka merasa mendengar suara / bisikan
dan halusinasi yang bisa mempengaruhi mereka menjadi pemarah,
melakukan kekerasan, dan bahkan bisa melakukan bunuh diri. Gambar-
gambar yang dihasilkan para pasien adalah representasi dari memori,
perasaan, dan imajinasi para pasien yang biasanya mereka sulit untuk
ungkapkan dengan bahasa verbal.

Terapi modalitas adalah suatu proses pemulihan fungsi individu


(pasien) terhadap kebiasaan-kebiasaan fisik, mental, social, ekonomi,
termasuk pekerjaan menuju suatu kemampuan sebelumnya atau ke tingkat
yang memungkinkan pasien dapat hidup wajar ditengah-tengah keluarga dan
masyarakat. Ada 8 macam terapi modalitas, yaitu terapi individual, terapi
lingkungan, terapi biologis atau terapi somatik, terapi kognitif, terapi
keluarga, terapi kelompok, terapi perilaku dan terapi seni. Salah satu terapi
seni yaitu terapi menggambar (Susana, 2011).

Menurut American Art Therapy Association, "Art therapy is based on


the ideas that creative process of art making is healing and life enhancing
and is a form of nonverbal communication of thoughts and feelings". Jadi
melalui kegiatan menggambar, orang dengan gangguan jiwa bisa
mengekspresikan pikiran dan perasaannya dengan komunikasi non verbal
melalui media gambar. Saya yakin aktivitas seni akan memberikan
kontribusi positif terhadap kondisi mental seseorang. Berdasarkan
pengamatan dan penelitian yang pernah dilakukan, dengan melakukan
aktifitas seni, pasien menjadi lebih expresif, fokus, dan rileks. Berkesenian
dapat menjadi sarana bagi pasien mengekspresikan emosi dan kondisi
kejiwaan mereka. Bagi psikolog / tenaga medis, hasil gambar maupun
karya seni pasien lainnya dapat membantu menganalisa dan
mengidentifikasi permasalahan mental yang dihadapi pasien, untuk
kemudian bisa diambil tindakan medis atau konseling selanjutnya. Seni
dapat menjadi salah satu media terapi yang mampu memberikan kontribusi
positif terhadap proses rehabilitasi gangguan kejiwaan. Saya yakin dengan

3
bersinerginya peran psikolog, tenaga medis dan pengajar seni, akan
memberikan dampak yang positif bagi proses penyembuhan pasien
gangguan jiwa.

Berdasarkan Latar Belakang diatas maka peneliti tertarik untuk


melakukan penelitian tentang “Penerapan Art Terapi Menggambar
Terhadap Penurunan Gejala Halusinasi pada Pasien Skizofrenia Di Ruang
Tiung RSJD Atma Husada Mahakam “.

B. Tujuan

Mengidentifikasi gejala halusinasi menggunakan skor skala PANSS pasien


skizofrenia sebelum dan sesudah terapi menggambar.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori Skizofrenia

1. Definisi

Menurut Davidson (2012) Skizofrenia adalah gangguan psikotik


yang ditandai dengan gangguan utama dalam pikiran emosi, dan perilaku-
pikiran yang terganggu, dimana berbagai pemikiran tidak saling berhubungan
secara logis; persepsi dan perhatian yang keliru; afek datar atau tidak sesuai;
dan berbagai gangguan aktivitas bizarre. Pasien menarik diri dari banyak
orang dan realitas, seringkali kedalam kehidupan fantasi yang penuh waham
dan halusinasi.

Skozofrenia termasuk dalam salah satu gangguan mental yang


disebut psikosis, pasien psikotik tidak dapat mengenali atau tidak memiliki
kontak dengan realitas (Setiadi, 2006). Skizofrenia berasal dari kata Yunani
yang bermakna schizo artinya terbagi, terpecah dan phrenia artinya pikiran.
Jadi pikirannya terbagi atau terpecah. (Rudyanto, 2007).

Eugene Bleuler mengemukakan manifestasi primer skizofrenia ialah


gangguan pikiran, emosi menumpul dan terganggu. Ia menganggap bahwa
gangguan pikiran dan menumpulnya emosi sebagai gejala utama daripada
skizofrenia dan adanya halusinasi atau delusi (waham) merupakan gejala
sekunder atau tambahan terhadap ini (Lumbantobing, 2007).Skizofrenia
dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom dengan variasi penyebab (banyak
yang belum diketahui), dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis)
yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pengaruh genetik, fisik,
dan sosial budaya (Kaplan and Sadock, 2010).

5
2. Simtom Klinis Skizofenia

a. Simtom positif
Simtom-simtom positif mencakup hal-hal yang berlebihan dan
distorsi, seperti halusinasi dan waham. Simtom-simtom ini, sebagian
terebesarnya, menjadi ciri suatu episode akut skizofrenia.
1) Delusi (waham)
Waham (delusi), yaitu keyakinan yang berlawanan dengan
kenyataan, semacam itu merupakan simtom-simtom positif yang
umum pada skizofrenia. Waham memiliki bentuk lain. Ada
beberapa jenis delusi, yaitu :
a) Grandeur (waham kebesaran)
Pasien yakin bahwa mereka adalah seseorang yang sangat luar
biasa, misalnya seorang artis terkenal, atau seorang nabi atau
merasa diri sebagai Tuhan.
b) Guilt (waham rasa bersalah)
Pasien merasa bahwa mereka telah melakukan dosa yang
sangat besar.
c) Health (waham penyakit)
Pasien yakin bahwa mereka mengalami penyakit yang sangat
serius.
d) Jealously (waham cemburu)
Pasien yakin bahwa mereka telah berlaku tidak setia.
e) Passivity (waham pasif)
Pasien yakin bahwa mereka dikendalikan atau dimanipulasi
oleh berbagai kekuatana dari luar, misalnya oleh sesuatu
pancaran sinar radio makhluk mars.
f) Persecution (waham kejar)
Paisen merasa dikejar-kejar oleh pihak-pihak tertentu yang
ingin mencelakainya.

6
g) Poverty (waham kemiskinan)
Pasien takut mereka mengalami kebangkrutan, dimana pada
kenyataanya tidak demikian.
h) Reference (waham rujukan)
Pasien meras dibicarakan oleh orang lain secara luas, misalnya
menjadi pembicaraan masyarakat atau disiarkan di televise.
2) Halusinasi
Halusinasi adalah persepsi sensorik yang salah dimana
tidak terdapat stimulus sensorik yang berkaitan dengannya.
Halusinasi dapat berwujud penginderaan kelima indera yang
keliru, tetapi yang paling sering adalah halusinasi dengar
(auditory) dan halusinasi penglihatan (visual). Contoh
halusianasi: pasien merasa mendengar suara-suara yang
mengajaknya bicara padahal kenyataannya tidak ada orang yang
mengajaknya bicara; atau pasien merasa melihat sesuatu yang
pada kenyataannya tidak ada.
b. Simtom negative
Simtom-simtom negative skizofrenia mencakup berbagai deficit
behavioral, seperti avolition, alogia, anhedonia, afek datar, dan
asosialitas. Simtom-simtom ini cenderung bertahan melampaui satu
episode akut dan memiliki efek parah terhadap kehidupan para pasien
skozofrenia. Simtom-simtom ini juga penting secara prognostic;
banyaknya simtom negative merupakan predictor kuat terhadap
kualitas hidup yang rendah (ketidak mampuan kerja, hanya memiliki
sedikit teman) dua tahun setelah dirawat rumah sakit (Ho dkk., 1998).
Ketika mengukur simtom-simtom negative, penting untuk memilah
mana yang merupakan simtom-simtom skizofrenia yang sesungguhnya
dan simtom-simtom yang disebabkan oleh beberapa faktor lain
(Carpenter, Heinrichs & Wagman, 1988, dalam Gerald, 2012).
1) Avolition

7
Apati atau avolution merupakan kondisi kurangnya energy dan
ketiadaan minat atau ketidak mampuan untuk tekun untuk
melakukan apa yang biasanya merupakan aktivitas rutin. Pasien
daoat menjadi tidak tertarik untuk berdandan dan menjaga
kebersihan diri, dan rambut yang tidak tersisir, kuku kotor gigi
yang tidak disikat dan pakaian yang berantakan.
2) Alogia
Merupakan suatu gangguan pikiran negative, alogia dapat
terwujud dalam beberapa bentuk. Dalam miskin percakapan,
jumlah total percakapan yang sangat jauh berkurang, jumlah
percakapan memadai, namun hanya mengandung sedikit informasi
dan cenderung membingungkan serta diulang-ulang.
3) Anhedonia
Ketidak mampuan untuk merasakan kesengangan. Ini
tercermin dalam kurangnya minat dalam berbagai aktivitas
rekreasional gagal untuk mengembangkan hubungan dekat denga
orang laindan kurangnya minat dalam hubungan seks.
4) Afek datar
Pada pasien yang memiliki afek datar hampir tidak ada yang
dapat memunculkan respon emosional. Pasien menatap dengan
pandangan kosong, otot-otot wajah meraka kendur dan mata
mereka tidak hidup. Ketika diajak bicara, pasien menjawab dengan
suara datar dan tanpa nada. Konsep afek datar hanya merujuk pada
ekspresi emosi yang tampak dan tidak pada pengalaman diri
pasien, yang bisa saja sama sekali tidak mengalami pemiskinan.
5) Asosialitas
Yaitu mengalami ketidakmampuan parah dalam hubungan
social. Mereka hanya memiliki sedikit teman, keterampilan social
yang rendah, dan sangat kurang berminat untuk bekumpul bersama
orang lain.

8
c. Simtom disorganisasi
Simtom disorganisasi mencakup disorganisai pembicaraan dan
perilaku aneh (bizarre).
1) Disorganisasi pembicaraan (Disorganized Speech)
Juga dikenal sebagai gangguan berpikir formal, merujuk pada
masalah dalam mengorganisasi berbagai pemikiran dan dalam
berbicara sehingga pendengar dapat memahaminya. Bicara juga
dapat terganggu karena suatu hal yang disebut asosiasi longgar atau
keluar jalur (derailment) yang merupakan suatu aspek gangguan
pikiran dimana pasien mengalami kesulitan untuk tetap berada
pada satu topik dan terhanyut dalam serangkaian asosiasi yang
dimunculkan oleh suatu pemikiran dari masa lalu. Asosiasi mental
tidak diatur oleh logika, tetapi oleh aturan-aturan tertentu yang
hanya dimiliki oleh pasien.
2) Perilaku aneh
Perilaku aneh terwujud dalam banyak bentuk. Pasien dapat
meledak dalam kemarahan atau konfrontasi singkat yang tidak
dimengerti, memakai pakaian yang tidak biasa, bertingkah laku
seperti anak-anak atau dengan gaya yang konyol dan lain-lain.
Mereka tampak kehilangan kemampuan untuk mengatur perilaku
mereka dan menyesuaikannya dengan berbagai standar
masyarakat. Mereka juga mengalami kesulitan melakukan tugas
sehari-hari dalam hidup.
d. Simtom lain
Dua simtom penting dalam kelompok ini adalah :
1) Katatonia
Beberapa abnormalitass motoric menjadi ciri katatonia. Para pasien
dapat melakukan suatu gerakan berulang kali, menggunakan urutan
yang aneh dan kadang kompleks antara gerakan jari, tangan, dan
lengan yang sering kali tampaknya memiliki tujuan tertentu.
Beberapa pasien menunjukkan peningkatan yang tidak biasa pada

9
keseluruhan kadar aktivitas, termasuk sangat riang, menggerakkan
anggota badan secara liar, dan pengeluaran energy yang sangat
besar. Di ujung lain spectrum ini adalah imobilitas katatonik :
pasien menunjukkan berbagai postur yang tidak biasa dan tetap
dalam waktu yang lama. Pasien katatonik juga memiliki
fleksibiltas lilin-orang lain dapat menggerakkan anggota badan
seorang pasien dalam posisi aneh dalam waktu yang lama.
2) Afek yang tidak sesuai
Afek yang tidak sesuai merupakan respon-respon emosional yang
berada diluar konteks, misalnya tertawa ketika mendengar berita
duka.
3. Etiologi Skizofrenia

Etiologi adalah semua faktor yang berkontribusi terhadap


perkembangan suatu gangguan atau penyakit. Skizofrenia dapat dianggap
sebagai gangguan yang penyebabnya multipel yang saling berinteraksi.
Diantara faktor multipel itu dapat disebut :
a. Keturunan
Penelitian pada keluarga penderita skizofrenia terutama anak
kembar satu telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9%-1,8%, bagi
saudara kandung 7- 15%, anak dengan salah satu orang tua menderita
skizofrenia 7-16%. Apabila kedua orang tua menderita skizofrenia 40-
60%, kembar dua telur 2-15%. Kembar satu telur 61-68% (Maramis,
2009). Menurut hukum Mendel skizofrenia diturunkan melalui genetik
yang resesif (Lumbantobing, 2007).
b. Gangguan anatomic
Dicurigai ada beberapa bangunan anatomi di otak berperan yaitu :
Lobus temporal, sistem limbik dan reticular activating system. Ventrikel
penderita skf lebih besar daripada kontrol. Pemeriksaan MRI menunjukan
hilangnya atau 9 berkurangnya neuron dilobus temporal. Didapatkan
menurunnya aliran darah dan metabolisme glukosa di lobus frontal. Pada
pemeriksaan post mortem didapatkan banyak reseptor D2 diganglia basal

10
dan sistem limbik, yang dapat mengakibatkan meningkatnya aktivitas DA
sentral (Lumbantobing, 2007).
c. Biokimiawi
Saat ini didapat hipotese yang mengemukan adanya peranan
dopamine, kateklolamin, norepinefrin dan GABA pada skf
(Lumbantobing, 2007).
4. Terapi Skizofrenia

a. Penanganan Biologis
1) Terapi Kejut dan Psychosurgery
Diawal tahun 1930-an praktik menimbulkan koma dengan
memberika insulin dalam dosis tinggi diperkenalkan oleh Sakel
(1938), yang mengklaim bahwa ¾ dari para pasien skizofrenia yang
ditanganinya menunjukkan perbaikan signifikan. Berbagai temuan
terkemudian oleh para peneliti lain kurang mendukung hal tersebut,
dan terapi koma-insulin –yang beresiko serius terhadap kesehatan,
termasuk koma yang tidak dapat disadarkan dan kematian– secara
bertahap ditinggalkan. Pada tahun 1935, Moniz, seorang psikiater
memperkealkan lobotomy prefrontalis, suatu proses pembedahan
yang membuang bagian-bagian yang menghubungkan lobus
frontalis dengan pusat otak bagian bawah.
2) Terapi Somatik (Medikamentosa)
Obat-obatan yang digunakan untuk mengobati Skizofrenia
disebut antipsikotik. Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi,
delusi dan perubahan pola fikir yang terjadi pada Skizofrenia. Pasien
mungkin dapat mencoba beberapa jenis antipsikotik sebelum
mendapatkan obat atau kombinasi obat antipsikotik yang benar-
benar cocok bagi pasien. Antipsikotik pertama diperkenalkan 50
tahun yang lalu dan merupakan terapi obat-obatan pertama yang
efekitif untuk mengobati Skizofrenia. Terdapat 3 kategori obat
antipsikotik yang dikenal saat ini, yaitu antipsikotik konvensional,
newer atypical antipsycotics, dan Clozaril (Clozapine).

11
a) Antipsikotik Konvensional
Obat antipsikotik yang paling lama penggunannya disebut
antipsikotik konvensional. Walaupun sangat efektif,
antipsikotik konvensional sering menimbulkan efek samping
yang serius. Contoh obat antipsikotik konvensional antara lain
(1) Haldol (haloperidol)
(2) Mellaril (thioridazine)
(3) Navane (thiothixene)
(4) Prolixin (fluphenazine)
(5) Stelazine (trifluoperazine)
(6) Thorazine (chlorpromazine)
(7) Trilafon (perphenazine)
Akibat berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan
oleh antipsikotik konvensional, banyak ahli lebih
merekomendasikan penggunaan newer atypical antipsycotic.
Ada 2 pengecualian (harus dengan antipsikotok konvensional).
Pertama, pada pasien yang sudah mengalami perbaikan
(kemajuan) yang pesat menggunakan antipsikotik konvensional
tanpa efek samping yang berarti. Biasanya para ahli
merekomendasikan untuk meneruskan pemakaian antipskotik
konvensional. Kedua, bila pasien mengalami kesulitan minum
pil secara reguler. Prolixin dan Haldol dapat diberikan dalam
jangka waktu yang lama (long acting) dengan interval 2-4
minggu (disebut juga depot formulations). Dengan depot
formulation, obat dapat disimpan terlebih dahulu di dalam tubuh
lalu dilepaskan secara perlahan-lahan. Sistem depot formulation
ini tidak dapat digunakan pada newer atypic antipsychotic.
b) Newer Atypcal Antipsycotic
Obat-obat yang tergolong kelompok ini disebut atipikal
karena prinsip kerjanya berbda, serta sedikit menimbulkan efek
samping bila dibandingkan dengan antipsikotik konvensional.

12
Beberapa contoh newer atypical antipsycotic yang tersedia,
antara lain :
(1) Risperdal (risperidone)
(2) Seroquel (quetiapine)
(3) Zyprexa (olanzopine)
c) Clozaril
Clozaril mulai diperkenalkan tahun 1990, merupakan
antipsikotik atipikal yang pertama. Clozaril dapat membantu ±
25-50% pasien yang tidak merespon (berhasil) dengan
antipsikotik konvensional. Sangat disayangkan, Clozaril
memiliki efek samping yang jarang tapi sangat serius dimana
pada kasus-kasus yang jarang (1%), Clozaril dapat menurunkan
jumlah sel darah putih yang berguna untuk melawan infeksi. Ini
artinya, pasien yang mendapat Clozaril harus memeriksakan
kadar sel darah putihnya secara reguler. Para ahli
merekomendaskan penggunaan. Clozaril bila paling sedikit 2
dari obat antipsikotik yang lebih aman tidak berhasil. Sediaan
Obat Anti Psikosis dan Dosis Anjuran
No Nama Generik Sediaan Dosis

1 Klorpromazin Tablet, 25 dan 100 mg, 150-


600mg/hariInjeksi25mg/ml

2 Haloperidol Tablet, 0,5 mg, 1,5 mg, 5 5-15 mg/hari Injeksi5mg/ml


mg,

3 Perfenazin Tablet 2, 4, 8 mg 12 - 24 mg/hari

4 Flufenazin Tablet 2,5 mg, 5 mg 10 - 15 mg/hari

5 Flufenazin dekanoat Inj 25 mg/ml 25 mg/2-4 minggu

6 Levomeprazin Tablet 25 mg, Injeksi 25 25 - 50 mg/hari


mg/ml

13
7 Trifluperazin Tablet 1 mg dan 5 mg 10 - 15 mg/hari

8 Tioridazin Tablet 50 dan 100 mg 150 - 600 mg/hari

9 Sulpirid Tablet 200 mg 300 - 600 mg/hari

10 Pimozid Tablet 1 dan 4 mg 1 - 4 mg/hari

11 Risperidon Tablet 1, 2, 3 mg 2 - 6 mg/hari

Pemilihan Obat untuk Episode (Serangan) Pertama

Newer atypical antipsycoic merupakn terapi pilihan untuk penderita


Skizofrenia episode pertama karena efek samping yang ditimbulkan
minimal dan resiko untuk terkena tardive dyskinesia lebih rendah. Biasanya
obat antipsikotik membutuhkan waktu beberapa saat untuk mulai bekerja.
Sebelum diputuskan pemberian salah satu obat gagal dan diganti dengan
obat lain, para ahli biasanya akan mencoba memberikan obat selama 6
minggu (2 kali lebih lama pada Clozaril)

Pemilihan Obat untuk keadaan relaps (kambuh)

Biasanya timbul bila pendrita berhenti minum obat, untuk itu, sangat
penting untuk mengetahui alasan mengapa penderita berhenti minum obat.
Terkadang penderita berhenti minum obat karena efek samping yang
ditimbulkan oleh obat tersebut. Apabila hal ini terjadi, dokter dapat
menurunkan dosis menambah obat untuk efek sampingnya, atau mengganti
dengan obat lain yang efek sampingnya lebih rendah. Apabila penderita
berhenti minum obat karena alasan lain, dokter dapat mengganti obat oral
dengan injeksi yang bersifat long acting, diberikan tiap 2- 4 minggu.
Pemberian obat dengan injeksi lebih simpel dalam penerapannya.
Terkadang pasien dapat kambuh walaupun sudah mengkonsumsi obat
sesuai anjuran. Hal ini merupakan alasan yang tepat untuk menggantinya
dengan obat obatan yang lain, misalnya antipsikotik konvensonal dapat

14
diganti dengan newer atipycal antipsycotic atau newer atipycal antipsycotic
diganti dengan antipsikotik atipikal lainnya. Clozapine dapat menjadi
cadangan yang dapat bekerja bila terapi dengan obat-obatan diatas gagal.

Pengobatan Selama fase Penyembuhan

Sangat penting bagi pasien untuk tetap mendapat pengobatan walaupun


setelah sembuh. Penelitian terbaru menunjukkan 4 dari 5 pasien yang
behenti minum obat setelah episode petama Skizofrenia dapat kambuh. Para
ahli merekomendasikan pasien-pasien Skizofrenia episode pertama tetap
mendapat obat antipskotik selama 12-24 bulan sebelum mencoba
menurunkan dosisnya. Pasien yang mendertia Skizofrenia lebih dari satu
episode, atau balum sembuh total pada episode pertama membutuhkan
pengobatan yang lebih lama. Perlu diingat, bahwa penghentian pengobatan
merupakan penyebab tersering kekambuhan dan makin beratnya penyakit.

Efek Samping Obat-obat Antipsikotik

Karena penderita Skizofrenia memakan obat dalam jangka waktu yang


lama, sangat penting untuk menghindari dan mengatur efek samping yang
timbul. Mungkin masalah terbesar dan tersering bagi penderita yang
menggunakan antipsikotik konvensional gangguan (kekakuan) pergerakan
otot-otot yang disebut juga Efek samping Ekstra Piramidal (EEP). Dalam
hal ini pergerakan menjadi lebih lambat dan kaku, sehingga agar tidak kaku
penderita harus bergerak (berjalan) setiap waktu, dan akhirnya mereka tidak
dapat beristirahat. Efek samping lain yang dapat timbul adalah tremor pada
tangan dan kaki. Kadang-kadang dokter dapat memberikan obat
antikolinergik (biasanya benztropine) bersamaan dengan obat antipsikotik
untuk mencegah atau mengobati efek samping ini. Efek samping lain yang
dapat timbul adalah tardive dyskinesia dimana terjadi pergerakan mulut
yang tidak dapat dikontrol, protruding tongue, dan facial grimace.
Kemungkinan terjadinya efek samping ini dapat dikurangi dengan
menggunakan dosis efektif terendah dari obat antipsikotik. Apabila

15
penderita yang menggunakan antipsikotik konvensional mengalami tardive
dyskinesia, dokter biasanya akan mengganti antipsikotik konvensional
dengan antipsikotik atipikal.

Obat-obat untuk Skizofrenia juga dapat menyebabkan gangguan fungsi


seksual, sehingga banyak penderita yang menghentikan sendiri pemakaian
obat-obatan tersebut. Untuk mengatasinya biasanya dokter akan
menggunakan dosis efektif terendah atau mengganti dengan newer atypical
antipsycotic yang efek sampingnya lebih sedikit. Peningkatan berat badan
juga sering terjadi pada penderita Sikzofrenia yang memakan obat. Hal ini
sering terjadi pada penderita yang menggunakan antipsikotik atipikal. Diet
dan olah raga dapat membantu mengatasi masalah ini. Efek samping lain
yang jarang terjadi adalah neuroleptic malignant syndrome, dimana timbul
derajat kaku dan termor yang sangat berat yang juga dapat menimbulkan
komplikasi berupa demam penyakit-penyakit lain. Gejala-gejala ini
membutuhkan penanganan yang segera.

b. Penanganan psikologis
1) Terapi Psikodinamika
Psikoanalisis seperti Harry Stack Sullivan dan Frieda Fromm-
Reichmann, mengadaptasi teknik psikoanalisis secara spesifik untuk
perawatan skizofrenia. Namun, penelitian gagal menunjukan
efektivitas terapi psikoanalisis maupun psikodinamika untuk
skizofrenia. Dengan keterangan tentang penemuan-penemuan
negatif, beberapa kritik mengemukakan bahwa penggunaan terapi
psikodinamika untuk menangani skizofrenia tidaklah terjamin.
Namun hasil yang menjanjikan dilaporkan untuk sebuah bentuk
terapi individual yang disebut terapi personal yang berpijak pada
model diatesis-stres. Tetapi personal membantu pasien beradaptasi
secara lebih efektif terhadap stres dan membantu mereka
membangun keterampilan sosial, seperti mempelajari bagaimana
menghadapi kritik dari orang lain. Bukti-bukti awal menjelaskan

16
bahwa terapi personal mungkin mengurangi rata-rata kambuh dan
meningkatkan fungsi sosial, setidaknya di antara pasien skizofrenia
yang tinggal dengan keluarga (Bustillo dkk., 2001; Hogarty dkk.,
1997a, 1997b).
2) Terapi Perilaku
Teknik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan
ketrampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial,
kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi
interpersonal. Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau
hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak
istimewa dan pas jalan di rumah sakit. Dengan demikian, frekuensi
perilaku maladaptif atau menyimpang seperti berbicara lantang,
berbicara sendirian di masyarakat, dan postur tubuh aneh dapat
diturunkan.
3) Terapi berorintasi-keluarga
Terapi ini sangat berguna karena pasien skizofrenia seringkali
dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, keluraga dimana pasien
skizofrenia kembali seringkali mendapatkan manfaat dari terapi
keluarga yang singkat namun intensif (setiap hari). Setelah periode
pemulangan segera, topik penting yang dibahas didalam terapi
keluarga adalah proses pemulihan, khususnya lama dan
kecepatannya. Seringkali, anggota keluarga, didalam cara yang jelas
mendorong sanak saudaranya yang terkena skizofrenia untuk
melakukan aktivitas teratur terlalu cepat. Rencana yang terlalu
optimistik tersebut berasal dari ketidaktahuan tentang sifat
skizofreniadan dari penyangkalan tentang keparahan penyakitnya.
Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti
skizofrenia tanpa menjadi terlalu mengecilkan hati. Sejumlah
penelitian telah menemukan bahwa terapi keluarga adalah efektif
dalam menurunkan relaps. Didalam penelitian terkontrol, penurunan

17
angka relaps adalah dramatik. Angka relaps tahunan tanpa terapi
keluarga sebesar 25-50 % dan 5 - 10 % dengan terapi keluarga.
4) Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada
rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok
mungkin terorientasi secara perilaku, terorientasi secara
psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi kelompok efektif
dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan, dan
meningkatkan tes realitas bagi pasien skizofrenia. Kelompok yang
memimpin dengan cara suportif, bukannya dalam cara interpretatif,
tampaknya paling membantu bagi pasien skizofrenia
5) Psikoterapi individual
Penelitian yang paling baik tentang efek psikoterapi individual
dalam pengobatan skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi
alah membantu dan menambah efek terapi farmakologis. Suatu
konsep penting di dalam psikoterapi bagi pasien skizofrenia adalah
perkembangan suatu hubungan terapetik yang dialami pasien
sebagai aman. Pengalaman tersebut dipengaruhi oleh dapat
dipercayanya ahli terapi, jarak emosional antara ahli terapi dan
pasien, dan keikhlasan ahli terapi seperti yang diinterpretasikan oleh
pasien. Hubungan antara dokter dan pasien adalah berbeda dari yang
ditemukan di dalam pengobatan pasien non-psikotik. Menegakkan
hubungan seringkali sulit dilakukan; pasien skizofrenia seringkali
kesepian dan menolak terhadap keakraban dan kepercayaan dan
kemungkinan sikap curiga, cemas, bermusuhan, atau teregresi jika
seseorang mendekati. Pengamatan yang cermat dari jauh dan
rahasia, perintah sederhana, kesabaran, ketulusan hati, dan kepekaan
terhadap kaidah sosial adalah lebih disukai daripada informalitas
yang prematur dan penggunaan nama pertama yang merendahkan
diri. Kehangatan atau profesi persahabatan yang berlebihan adalah

18
tidak tepat dan kemungkinan dirasakan sebagai usaha untuk suapan,
manipulasi, atau eksploitasi.
c. Perawatan di Rumah Sakit (Hospitalization)
Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan
diagnostik, menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan
bunuh diri atau membunuh, prilaku yang sangat kacau termasuk
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar. Tujuan utama perawatan
dirumah sakit yang harus ditegakkan adalah ikatan efektif antara pasien
dan sistem pendukung masyarakat. Rehabilitasi dan penyesuaian yang
dilakukan pada perawatan rumahsakit harus direncanakan.

Dokter harus juga mengajarkan pasien dan pengasuh serta


keluarga pasien tentang skizofrenia. Perawatan di rumah sakit
menurunkan stres pada pasien dan membantu mereka menyusun
aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan rumah sakit tergantung
dari keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan
rawat jalan. Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki
orientasi praktis ke arah masalah kehidupan, perawatan diri, kualitas
hidup, pekerjaan, dan hubungan sosial. Perawatan di rumah sakit harus
diarahkan untuk mengikat pasien dengan fasilitas perawatan termasuk
keluarga pasien. Pusat perawatan dan kunjungan keluarga pasien
kadang membantu pasien dalam memperbaiki kualitas hidup.

Ringkasnya, tidak ada pendekatan penanganan tunggal yang


memenuhi semua kebutuhan orang yang menderita skizofrenia.
Konseptualisasi skizofrenia sebagai disabilitas sepanjang hidup
menggaris bawahi kebutuhan untuk perawatan intervensi jangka
panjang yang menggabungkan pengobatan antipsikotik, terapi keluarga,
bentuk-bentuk terapi suportif atau kognitif-behavioral, pelatihan
vokasional, dan penyediaan perumahan yang layak serta pelayanan
dukungan sosial lainnya (Bustillo dkk., 2001; Huxley, Rendall, &
Sedere, 2000; Sensky dkk., 2000; Tarrier dkk., 2000).

19
5. Alat Ukur Skizofrenia

Positive and Negative Syndrom Scale (PANSS) adalah instrumen


yang telah diakui memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi untuk menilai
gejala positif dan negatif skizofrenia. PANSS terdiri dari 30 butir pertanyaan
yang masing-masing dinilai dalam skala 7 poin.
Tujuh butir dikelompokkan dalam skala positif, tujuh butir
dikelompokkan dalam skala negatif, enam belas butir menilai psikopatologi
umum dan terdapat tiga butir tambahan yang menilai adanya resiko agresi.
Skor PANSS masing-masing item sebagai berikut : 1 = tidak ada, 2 =
minimal, 3 = ringan, 4 = sedang, 5 = agak berat, 6 = berat , 7 = sangat berat.
Total semua skor masing-masing item dijumlah dengan hasil sebagai berikut
: Sakit ringan = kurang lebih 61, sakit sedang = kurang lebih 78, terlihat nyata
sakit = kurang lebih 96, sakit berat = kurang lebih 118, sakit sangat berat =
kurang lebih 147.

B. Konsep Art Terapi Menggambar

1. Pengertian

Terapi okupasi adalah bentuk layanan kesehatan kepada


masyarakat atau pasien yang mengalami gangguan fisik atau mental dengan
menggunakan latian/aktivitas mengerjakan sasaran yang terseleksi
(okupasi) untuk meningkatkan kemandirian (World Federation of
Occupation Therapy, 2010). Terapi menggambar adalah bentuk psikoterapi
yang menggunakan media seni untuk berkomunikasi. Media seni dapat
berupa pensil, kapur bewarna, warna, cat, potongan-potongan kertas dan
tanah liat (Adriani & Satiadarma, 2011). Terapi menggambar selain untuk
penyembuhan juga dapat untuk meningkatkan kreativitass pasien. Menurut
The British Association of Art Therapist (2018) mendefinisikan Art therapy
sebagai suatu bentuk psikoterapi yang menggunakan media seni sebagai
cara utama ekspresi dan komunikasi. Art therapy atau terapi menggambar
telah banyak di lingkungan medis, salah satunya untuk pengobatan

20
penyakit gangguan jiwa seperti halusinasi. Melalui terapi ini pasien dapat
melepaskan emosi, mengekspresikan diri melalui cara-cara non verbal dan
membangun komunikasi.

2. Manfaat

Tujuan terapi menggambar pada dasarnya adalah salah satu


penyembuhan. Terapi menggambar ini bermanfaat bagi pasien agar pasien
dapat melepaskan emosi, mengekspresikan diri, mengurangi stress, media
untuk membangun komunikasi serta meningkatkan aktivitas pada pasien
gangguan jiwa. (Adriani & Satiadarma, 2011)

3. Mekanisme Kerja Terapi Menggambar

a. Penyembuhan pribadi. Terapi seni bisa membantu memahami


perasaan pribadi dengan mengenali dan mengatasi kemarahan,
kekesalan dan emosi-emosi lainnya. Terapi ini bisa membantu
menyegarkan kembali semangat pasien.

b. Pencapaian pribadi. Menciptakan sebuah karya seni bisa


membangun rasa percaya diri dan memelihara rasa cinta dan
menghargai diri sendiri.

c. Menguatkan. Terapi seni bisa membantu menggambarkan emosi


dan ketakutan yang tidak bisa Anda ungkapkan dengan kata-kata.
Dengan cara ini, pasien lebih bisa mengontrol perasaan-perasaan.

d. Relaksasi dan meredakan stres. Stres kronis bisa membahayakan


baik tubuh maupun pikiran. Terapi menggambar bisa
digunakan sebagai penanganan tunggal atau dipadukan dengan
teknik relaksasi lainnya untuk meredakan stres dan kecemasan.

e. Meredakan sakit. Terapi seni juga bisa membantu Anda mengatasi


rasa sakit. Terapi ini bisa digunakan sebagai terapi pelengkap
untuk mengobati pasien yang sakit.

21
4. Hormon Yang Berperan

Hormon yang berperan dalam terapi menggambar adalah hormon


oksitosin. Hormon yang juga dikenal sebagai hormon cinta ini dipercaya
berperan penting dalam tingkah laku manusia. Hormon oksitosin berada
dalam hipotolamus pada otak. Hormon tersebut dikeluarkan oleh kelenjar
pituitari yang terletak di dasar otak. Dampak oksitosin pada tingkah laku
dan respon emosi juga terlihat dalam membangun ketenangan, kepercayaan,
dan stabilitas psikologi. Oksitosin juga dianggap sebagai obat ajaib yang
dapat membantu meningkatkan perasaan positif serta kecakapan sosial.
Cara supaya hormon oksitosin dapat meningkat adalah melakukan kegiatan,
karena oksitosin dalam darah akan meningkat yang juga akan bermanfaat
bagi seluruh kesehatan tubuh. Dengan melakukan kegiatan, pasien
halusinasi diharapkan akan mengurangi gejala dari halusinasi tersebut.

22
BAB III
STRATEGI PEMECAHAN MASALAH

A. Pengertian
Art therapy atau terapi menggambar telah banyak di lingkungan medis,
salah satunya untuk pengobatan penyakit gangguan jiwa seperti halusinasi.
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori atau suatu objek tanpa adanya
rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh panca
indra. Halusinasi merupakan suatu gejala gangguan jiwa yang dimana
seseorang mengalami perubahan sensori persepsi, serta merupakan sensasi
palsu berupa suara, penglihatan, perabaan dan penciuman. Seseorang
merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. (Yusuf, Rizki & Hanik, 2015).
Melalui terapi ini pasien dapat melepaskan emosi, mengekspresikan diri
melalui cara-cara non verbal dan membangun komunikasi. Terapi
menggambar selain untuk penyembuhan juga dapat untuk meningkatkan
kreativitas pasien. Terapi menggambar adalah bentuk psikoterapi yang
menggunakan media seni untuk berkomunikasi. Media seni dapat berupa
pensil, kapur bewarna, warna, cat, potongan-potongan kertas dan tanah liat
(Adriani & Satiadarma, 2011).
B. Jenis Intervensi
Penatalaksanaan terapi seni menggambar (menggambar pemandangan,
ruangan dalam rumah,
C. Tujuan
1. Untuk mengendalikan halusinas
2. Melatih pasien untuk berkumpul
3. Melatih pasien untuk menggunakan alat tulis
4. Melatih pasien umtuk megekspresikan pikirannya
5. Melatih pasien untuk mengambar

23
D. Kriteria Responden
1. Inklusi
a. Bersedia menjadi responden
b. Mengalami halusinasi
2. Eksklusi
a. Pasien yang gelisah
E. Waktu
1. Tanggal : 10 dan 11 Februari 2020
2. Jam : 10.00 WITA
F. Setting Tempat
Ruang Tiung RSJD Atma Husada Mahakam Samarinda

Keterangan :
: Leader

: Klien

: Fasilitator

: Observer

: Meja

24
G. Media / Alat Yang Digunakan
1. Buku gambar A4
2. Alat tulis (pensil, penghapus)

H. Pelaksana
Sesi 1
Yang bertugas dalam TAK pada sesi 1, sebagai berikut :
1. Leader : Hazelelfoni Efraim Pangi
2. Fasilitator 1 : Adhan Azhari Rauf
3. Fasilitator 2 : Agus Imam Kusairi
4. Fasilitator 3 : Hasbullah
5. Fasilitator 4 : M. Husaini
6. Fasilitator 5 : Ummi Rusiana
7. Observer : Dyan Nitarahayu
Sesi 2
Yang bertugas dalam TAK pada sesi 2, sebagai berikut
1. Leader : Adhan Azhari Rauf
2. Fasilitator 1 : Hazelelfoni Efraim Pangi
3. Fasilitator 2 : Dyan Nitarahayu
4. Fasilitator 3 : Hasbullah
5. Fasilitator 4 : M. Husaini
6. Fasilitator 5 : Ummi Rusiana
7. Observer : Agus Imam Kusairi

I. Uraian Tugas Pelaksana


1. Leader
a. Memimpin jalannya terapi aktivitas kelompok
b. Merencanakan, mengontrol, dan mengatur jalannya terapi
c. Menyampaikan materi sesuai tujuan TAK
d. Memimpin diskusi kelompok.

25
2. Fasilitator
a. Ikut serta dalam kegiatan kelompok
b. Memberikan stimulus dan motivator pada anggota kelompok untuk
aktif mengikuti jalannya terapi.
3. Observer
a. Mencatat serta mengamati respon klien (dicatat pada format yang
tersedia)
b. Mengawasi jalannya aktivitas kelompok (TAK) dari mulai
persiapan, proses, hingga penutupan.

J. Tata Tertib dan Antisipasi


1. Tata Tertib
a. Peserta bersedia mengikuti kegiatan TAK
b. Peserta wajib hadir 5 menit sebelum acara dimulai
c. Peserta berpakaian rapi, bersih, dan sudah mandi
d. Tidak diperkenankan makan, minum, merokok selama kegiatan
(TAK) berlangsung
e. Jika ingin mengajukan/menjawab pertanyaan, peserta mengangkat
tangan kanan dan berbicara setelah dipersilahkan oleh leader
f. Peserta yang mengacaukan jalannya acara akan dikeluarkan
g. Peserta dilarang keluar sebelum acara TAK selesai
h. Apabila waktu TAK sesuai kesepakatan telah habis, namun TAK
belum selesai, maka leader akan meminta persetujuan anggota untuk
memperpanjang waktu TAK kepada anggota.
2. Program Antisipasi
Ada beberapa langkah yang dapat diambil dalam mengantisipasi
kemungkinan yang akan terjadi pada pelaksanaan TAK. Langkah-
langkah yang diambil dalam program antisipasi masalah, adalah :
a. Apabila ada klien yang telah bersedia untuk mengikuti TAK, namun
pada saat pelaksanaan TAK tidak bersedia, maka langkah yang
diambil adalah mempersiapkan klien cadangan yang telah diseleksi

26
sesuai dengan kriteria dan telah disepakati oleh anggota kelompok
lainnya
b. Apabila dalam pelaksanaan ada anggota kelompok yang tidak
menaati tata tertib yang telah disepakati, maka berdasarkan
kesepakatan ditegur terlebih dahulu dan bila masih tidak cooperative
maka dikeluarkan dari kegiatan
c. Bila ada anggota kelompok yang melakukan kekerasan, leader
memberitahukan kepada anggota TAK bahwa perilaku kekerasan
tidak boleh dilakukan.

27
K. Instrument PANSS
Tidak Agak Sangat
Minimal Ringan Sedang Berat
ada Berat Berat
P1 Khayalan 1 2 3 4 5 6 7
Disorganisasi
P2 1 2 3 4 5 6 7
/konseptual
Perilaku
P3 1 2 3 4 5 6 7
halusinasi
P4 Rasa gembira 1 2 3 4 5 6 7
Rasa percaya
P5 1 2 3 4 5 6 7
diri yang besar
P6 Kecurigaan 1 2 3 4 5 6 7
Rasa
P7 1 2 3 4 5 6 7
permusuhan
N1 Afek tumpul 1 2 3 4 5 6 7
Rasa emosi yang
N2 1 2 3 4 5 6 7
hilang
Hubungan yang
N3 1 2 3 4 5 6 7
buruk /lemah
N4 Sikap apatis 1 2 3 4 5 6 7
Kesulitan
N5 1 2 3 4 5 6 7
berpikir abstrak
Kurangnya
spontanitas dan
N6 1 2 3 4 5 6 7
alur
pembicaraan
Cara berpikir
N7 1 2 3 4 5 6 7
stereotype
Perhatian
somatik/fokus
G1 1 2 3 4 5 6 7
terhadap
somatik
G2 Kegelisahan 1 2 3 4 5 6 7

28
Perasaan
G3 1 2 3 4 5 6 7
bersalah
G4 Ketegangan 1 2 3 4 5 6 7
Sikap dan
G5 1 2 3 4 5 6 7
perilaku
G6 Depresi 1 2 3 4 5 6 7
Hambatan
G7 1 2 3 4 5 6 7
motorik
Tidak
kooperatif/ tidak
G8 1 2 3 4 5 6 7
mampu bekerja
sama
Cara berpikir
G9 1 2 3 4 5 6 7
tidak biasa
G10 Disorientasi 1 2 3 4 5 6 7
Perhatian
buruk/daya
G11 1 2 3 4 5 6 7
perhatian yang
kurang
Kurang
penilaian dan
G12 1 2 3 4 5 6 7
wawasan
(pandangan)
Ganggun
G13 1 2 3 4 5 6 7
kemauan
Kurangnya
G14 1 2 3 4 5 6 7
kendali impuls
Rasa khawatir
G15 1 2 3 4 5 6 7
berlebih
Menghindari
G16 1 2 3 4 5 6 7
aktivitas sosial

29
Keterangan:
1 = tidak ada Sakit ringan = ≤ 61
2 = minimal Sakit sedang = 62 - 78
3 = ringan Terlihat nyata sakit = 79 - 96
4 = sedang Sakit berat = 97 - 118
5 = agak berat Sakit sangat berat = ≥ 119
6 = berat
7 = sangat berat.

30
L. Alur Pelaksanaan (SOP)

POLITEKNIK SPO
KESEHATAN TERAPI MENGGAMBAR UNTUK MENGENDALIKAN
KEMENKES HALUSINASI
KALTIM No. Halaman Ditetapkan Oleh Direktur Waktu
Dokumen 1/3 Poltekkes Kemenkes Kaltim

Jl. W. Monginsidi No.


38 Samarinda
1. Mengendalikan halusinasi
2. Melatih pasien untuk berkumpul
1 Tujuan 3. Pasien dapat menggunakan alat tulis
4. Mengekspresikan pikirannya berupa gambar

Art therapy sebagai suatu bentuk psikoterapi yang menggunakan


2 Definisi media seni sebagai cara utama ekspresi dan komunikasi serta
meningkatkan kreativitas pasien.
PERSIAPAN ALAT

3 1. Buku menggambar
2. Alat tulis

4 Prosedur KOMPONEN PELAKSANAAN 10


menit
A. Orientasi
1. Salam terapeutik dan menjalin hubungan saling percaya.
“Selamat pagi Bapak – bapak, masih ingat dengan kami
perawat yang berdinas di ruang Tiung ini?
2. Evaluasi/Validasi
“Bagaimana perasaan Bapak – bapak pagi ini? Semua
sudah minum obat? Bagus..”
3. Menjelaskan tujuan pertemuan dan tindakan yang akan
dilakukan.
“Sesuai dengan janji kita kemarin pagi ini kita akan
berkumpul dan berlatih untuk menggambar, jadi Bapak –
bapak akan menggambar sesuai dengan contoh yang akan
kami berikan. Dengan tujuan untuk mengendalikan
halusinasi, lalu agar bapak – bapak dapat berkumpul
dengan teman – teman disini, dan agar bapak – bapak

31
dapat menggunakan alat tulis serta dapat mengekspresikan
pikiran melalui gambar yang telah dibuat”
4. Membuat kontrak dan kesepakatan untuk dilakukan 3 kali
pertemuan selama 2 hari.
”Jadi kegiatan ini akan kita laksanakan selama 3 kali.
Untuk hari senin sebanyak 1 kali dan untuk hari selasa
sebanyak 2 kali yaitu pagi dan siang setelah makan”
5. Menjelaskan aturan selama kegiatan:
“bapak-bapak harus mengikuti kegiatan ini sampai selesai
jika dalam kegiatan bapak terlihat gelisah maka bapak
boleh untuk tidak melanjutkan kegiatan ini, jika ingin ke
toilet nanti akan ditemani dengan perawat”.
6. Perkenalan
“Sekarang kita akan berkenalan ya, bapak ibu
menyebutkan nama dan tugasnya khusus untuk perawat.
Dimulai dari saya lalu bapak yang disamping kanan saya
lalu disebelahnya dan seterusnya”
“Jadi perawat yang duduk disebelah bapak adalah perawat
yang akan membantu bapak selama kegiatan ini jika bapak
merasa bingung bapak dapat bertanya kepada perawat
yang ada disebelahnya”
“Sebelum kita mulai apakah bapak - bapak ingin
bertanya?”
B. Fase kerja 25
1. Membagikan buku gambar, pensil dan perawat kepada menit
klien
“Jadi ini adalah buku gambar untuk bapak bapak
menggambar, ini ada pensil dan penghapus”
2. Menjelaskan tema gambar dan memberikan contoh
“Pertemuan pertama ini bapak – bapak akan menggambar
sesuai tema dan ini contohnya ya..’
3. Meminta klien untuk menjelaskan gambar yang telah
dibuat
“Semua sudah selesai menggambarnya? Nah sekarang
coba bapak jelaskan apa yang bapak gambar ini”
4. Perawat memberikan reinforcement kepada klien setelah
klien selesai menjelaskan isi gambarnya
“wah semua sudah selesai menggambar ya gambarnya
bagus – bagus dan bapak mampu menjelaskan
gambarnya”

32
C. Fase Terminasi 5 menit
1. Evaluasi
“Bagaimana perasaan bapak setelah menggambar tadi?
2. Kontrak yang akan datang
Bagaimana kalau besok pagi dan siang kita akan
menggambar lagi dengan tema yang berbeda di ruang
makan ini lagi ya bapak – bapak.

M. Evaluasi
1. Evaluasi Proses
a. Leader menjelaskan aturan main dengan jelas
b. Fasilitator menempatkan diri di tengah-tengah klien
c. Observer menempatkan diri di tempat yang memungkinkan untuk
dapat mengawasi jalannya permainan
d. 100% klien yang mengikuti permainan dapat mengikuti kegiatan
dengan aktif dari awal sampai selesai.

2. Evaluasi Hasil
Mengikuti Berperan Aktif
Menyelesaikan Menjelaskan
Nama Klien Keseluruhan dalam TAK
Gambar Gambar
TAK
Tn. A. S √ √ √ √

Tn. A.H √ √ √ √

Tn. S √ √ √ √

Tn. H. B √ √ √ √

Tn. M √ √ √ √

33
BAB IV
LAPORAN KEGIATAN

A. Pelaksanaan Kegiatan
1. Identitas Pasien
No Nama No. TMRS Umur Dx. Medis Dx.Kep
pasien RM (tahun)
1. Tn. A.S 2020.0 28-01-2020 27 Skizofrenia Halusinasi
1.0087 dan
Waham

2. Tn. A.H 2017.0 13-01-2020 23 Skizofrenia Halusinasi


5.0051 dan RPK

3. Tn. S 2012.0 26-01-2020 37 Skizofrenia Halusinasi


9.0002

4. Tn. H.B 2013.0 05-02-2020 34 Skizofrenia Halusinasi


1.0018
5. Tn. M 2020.0 30-01-2020 52 Skizofrenia Halusinasi
5.0003 dan
Waham

2. Proses Pelaksanaan Kegiatan


Sesi 1

Hari, Tanggal : Senin, 10 Februari 2020

Pukul : 11.00 WITA

Kegiatan :

 Memperkenalkan diri, membina hubungan saling percaya, menjelaskan


pengertian dan tujuan penerapan art terapi menggambar
 Mengidentifikasi SKOR PANSS sebelum penerapan art terapi
menggambar
 Menerapkan art terapi menggambar dengan tema pemandangan dengan
durasi 15 menit
 Mengidentifikasi SKOR PANSS setelah penerapan art terapi menggambar

34
Sesi 2

Hari, Tanggal : Selasa, 11 Februari 2020

Pukul : 10.00 WITA

Kegiatan :

 Memperkenalkan diri, membina hubungan saling percaya, menjelaskan


pengertian dan tujuan penerapan art terapi menggambar
 Mengidentifikasi SKOR PANSS sebelum penerapan art terapi
menggambar
 Menerapkan art terapi menggambar dengan tema ruangan dalam rumah
(Ruang tamu, dapur, dll) dengan durasi 15 menit
Mengidentifikasi SKOR PANSS setelah penerapan art terapi menggambar

B. Faktor Pendukung dan Penghambat


1. Faktor Pendukung
a. Lingkungan yang mendukung dan nyaman
b. Suasana yang tenang
c. Klien kooperatif saat dilakukan tindakan.
2. Faktor Penghambat
a. Jumlah responden tidak sesuai antara jurnal dan di ruangan
b. Pelaksanaan intervensi tidak sesuai antara jurnal dan di ruangan karena
keterbatasan waktu

35
C. Evaluasi Kegiatan
Evaluasi pada hari Senin, 10 Februari 2020 pukul 11.00 WITA didapatkan hasil ;

Sebelum Setelah
No. Nama Pasien
Skor PANSS Respon Skor PANSS Respon
1. Tn. A. S DS : Pasien mengatakan tidak mendengar suara-suara DS : Pasien mengatakan
lagi perasaannya menjadi lebih baik
setelah menggambar
36 34
DO :Pasien kooperatif, penampilan rapi, kontak mata
baik DO : Afek sesuai stimulus

2. Tn. A. H DS : Pasien mengatakan tidak mendengar suara-suara DS : Pasien mengatakan lebih


lagi senang setelah menggambar
47 47
DO :Pasien kooperatif, penampilan rapi, kontak mata DO : Afek sesuai stimulus
baik

3. Tn. S DS : Pasien mengatakan masih mendengar suara-suara DS : Pasien mengatakan suara –


untuk menyuruh jauh suara berkurang saat menggambar
65 62
DO :Pasien kooperatif, penampilan rapi, kontak mata DO : Afek sesuai stimulus i
kurang baik

4. Tn. H. B DS : Pasien mengatakan tidak mendengar suara-suara DS : Pasien mengatakan


lagi perasaannya senang setelah
menggambar
45 45
DO :Pasien kooperatif, penampilan kurang rapi,
kontak mata baik DO : Afek sesuai stimulus

36
5. Tn. M DS : Pasien mengatakan tidak mendengar suara-suara DS : Pasien mengatakan lebih
lagi senang setelah menggambar
48 48
DO :Pasien kooperatif, penampilan rapi, kontak mata DO : Afek sesuai stimulus
baik

Evaluasi pada hari Selasa, 11 Februari 2020 pukul 11.00 WITA didapatkan hasil ;

Sebelum Setelah
No. Nama Pasien
Skor PANSS Respon Skor PANSS Respon
1. Tn. A. S DS : Pasien mengatakan tidak pernah mendengar DS : Pasien mengatakan lebih
suara-suara lagi senang setelah menggambar
34 33
DO :Pasien kooperatif, penampilan rapi, kontak mata DO : Afek sesuai stimulus
baik

2. Tn. A. H DS : Pasien mengatakan tidak ada mendengar suara- DS : Pasien mengatakan senang
suara lagi diajak menggambar karena ada
kegiatan jadi tidak bosan
47 42
DO :Pasien kooperatif, penampilan rapi, kontak mata
baik DO : Afek sesuai stimulus

3. Tn. S DS : Pasien mengatakan masih mendengar suara-suara DS : Pasien mengatakan


untuk menyuruh untuk meninggalkan perasaannya senang dan suara –
suara berkurang saat dirinya
62 58
DO :Pasien kooperatif, penampilan rapi, kontak mata menggambar
kurang baik
DO : Afek sesuai stimulus

37
4. Tn. H. B DS : Pasien mengatakan tidak mendengar suara-suara DS : Pasien mengatakan
lagi perasaannya lebih baik setelah
menggambar
45 42
DO :Pasien kooperatif, penampilan kurang rapi,
kontak mata baik DO : Afek sesuai stimulus

5. Tn. M DS : Pasien mengatakan tidak mendengar suara-suara DS : Pasien mengatakan senang


lagi diajak menggambar bersama teman-
teman yang lain
48 45
DO :Pasien kooperatif, penampilan rapi, kontak mata
baik DO : Afek sesuai stimulus

38
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Art therapy atau terapi menggambar merupakan salah satu pengobatan
penyakit gangguan jiwa seperti halusinasi. Terapi menggambar adalah
bentuk psikoterapi yang menggunakan media seni untuk berkomunikasi.
Media seni dapat berupa pensil, kapur bewarna, warna, cat, potongan-
potongan kertas dan tanah liat.
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori atau suatu objek tanpa adanya
rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh panca
indra. Halusinasi merupakan suatu gejala gangguan jiwa yang dimana
seseorang mengalami perubahan sensori persepsi, serta merupakan sensasi
palsu berupa suara, penglihatan, perabaan dan penciuman. Seseorang
merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada.
Melalui terapi ini pasien dapat melepaskan emosi, mengekspresikan diri
melalui cara-cara non verbal dan membangun komunikasi sehingga
diharapkan dapat mengontrol halusinasi yang dialami pasien. Terapi
menggambar selain untuk penyembuhan juga dapat untuk meningkatkan
kreativitas pasien. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa penerapan intervensi
terapi menggambar memiliki pengaruh dalam mengontrol perilaku
halusinasi.

B. Saran
Diharapkan bagi tenaga kesehatan khususnya perawat, dapat menjadikan
terapi menggambar (art therapy) menjadi salah satu bagian dari terapi aktivitas
kelompok yang rutin dilakukan sebagai tindakan mandiri perawat dalam
mengelola pasien dengan masalah gangguan persepsi sensori: halusinasi.

39
DAFTAR PUSTAKA

Adriani, S. N. & Satiadarma, M. P. 2011. Efektivitas art theraphy dalam


mengurangi kecemasan pada remaja pasien leukemia. Indonesian
Journal of Cancer, 5(1), 31-47

American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorder Edition “DSM-5”. Washinton DC: American
Psychiatric Publishing. Washinton DC.

Cumming, W.C. 2010. Intruduction to positive psikologi. USA: Malloy


Incorporated

Davidson, G.C, 2012. Psikologi Abnormal. Jakarta : PT Rajagrafindo Permai.

Gerald C. 2012. Psikologi Abnormal. Edisi ke-9. Terjemahan Noermalasari Fajar..


Jakarta : Rajawali Pers

Kaplan, H. I., Sadock, B. J. 2010. Sinopsis Psikiatri Jili ( Terjemahan: Kusuma,


W). Jakarta: Binarupa Aksara.

Keliat, B. A., Wiyono, A.P., & Susanti, H. 2011. Manajemen kasus gangguan
jiwa: MHN (intermediate course). Jakarta: EGC.

Kusumawati F dan Hartono Y. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:


Salemba Medika.

Lumbantobing. 2007. Serba-Serbi Narkotika. Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia: Jakarta

Maramis, W. F. 2004. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Surabaya: Airlangga


University Press

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2018. Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Kementrian Kesehatan RI tahun 2018.
http//www.depkes.go.id/resources/download/infoterkini/materi_rakorko
p_2018/Hasil%20Riskesdas%202018.pdf. Diakses Februari 2020.

40
Sadock, BJ., Sadock, V,A. dan Kaplan & Sadock’s., 2010. Retradasi Mental.
Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta : EGC

Setiadi, Arif I. 2006. Masalah Psikiatri. Bandung : Refika Aditama

Sinaga, B.R. 2007. Skizofrenia dan Diagnosis Banding. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI

Susana, S.A. 2011. Terapi Modalitas: Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:


EGC

Videbeck, Sheila,. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

41
LAMPIRAN

42
43
Tema Menggambar : Pemandangan

Tema Menggambar : Ruangan dalam Rumah

44

Anda mungkin juga menyukai