Anda di halaman 1dari 18

Disusun oleh:

1. CHOIRUN NISA NUR A

(P17420613049)

2. DEWIAYU INDAH P

(P17420613050)

3. DIAN HARDIYANTI N

(P17420613051)

PRODI DIV KEPERAWATAN SEMARANG


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
Jalan Tirto Agung Padalangan Banyumanik Semarang 50268
TAHUN 2015

BAB I
PENDUHULUAN

A. Latar Belakang
Nyeri merupakan alasan yang paling umum dikeluhkan oleh klien dengan
diagnosa kanker. Pada 70% klien dengan kanker mengalami nyeri yang parah yang
disebabkan oleh penyakit maupun pengobatannya. Kejadian nyeri meningkat
seiring perkembangan penyakit dan bervariasi sesuai tempat premiernya. Faktor
lain yang turut berkontribusi yaitu stadium penyakit, adanya metastasis, lepasnya
mediator-mediator kimiawi oleh sel-sel tumor, dan faktor dari klien sendiri seperti
cemas dan depresi. Nyeri pada kanker sangatlah mengganggu dan menyulitkan
klien namun perawat tidak dapat melihat dan merasakan nyeri tersebut karena nyeri
bersifat subjektif.
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa penderita kanker mengalami lebih
dari satu tipe nyeri. Pada sebuah survey, 81% klien dilaporkan mengeluhkan dua
atau lebih tipe nyeri sedangkan 34% melaporkan lebih dari tiga tipe nyeri. 69%
klien kanker yang disurvei melaporkan bahwa nyeri berat akibat kanker membuat
mereka ingin bunuh diri dan 57% klien memprediksikan hidup mereka akan
berakhir dengan sangat nyeri. Sehingga diperlukan inovasi-inovasi untuk
meringankan nyeri kanker tersebut.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
A Untuk memenuhi target kompetensi praktik klinik keperawatan maternitas di
RSUP Dr. Kariadi.
B Untuk mengembangkan dan memperbaharui desian inovatif untuk mengatasi
nyeri pada pasien kanker.
2. Tujuan Khusus
A Mengetahui konsep nyeri
B Mengetahui mekanisme Nyeri Kanker
C Mengetahui dan memberitahu pasien manajemen Nyeri pada Kanker
D Mengetahui dan mengajarkan teknik untuk Mengatasi Nyeri

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Nyeri

Nyeri adalah senssasi subjektif, rasa tidak nyaman biasanya berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau potensial (Corwin) ketika sesuatu jaringan
mengalami ceera, atau kerusakan mngakibatkan dilepasnya bahan-bahan yang
dapat menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamin, ion kalium,
bradikinin, prostaglandin, dan substansi P yang akan mengakibatkan respon nyeri
(Kozier). Nyeri juga disebabkan stimulus mekanik seperti pembengkakakn jaringan
yang menekan pada reseptor nyeri (Taylor).
Saat seseorang mengalami nyeri, banyak faktor yang dapat mempengaruhi
nyeri yang dirasakan dan cara mereka bereaksi terhadapnya. Faktor-faktor ini dapat
meningkatkan atau menurunkan persepsi nyeri pasien, toleransi terhadap nyeri dan
mempengaruhi reaksi terhadap nyeri (Le Mone & Burke).
Reaksi fisik seseorang terhadap nyeri meliputi perubahan neurologis yang
spesifik dan sering dapat diperkirakan. Kenyataannya, setiap orang mempunyai
jaras nyeri yang sama, atau dengan kata lain setiap orang menerima stimulus nyeri
pada intensitas yang sama. Reaksi pasien terhadap nyeri dibentuk oleh berbagai
faktor yang saling berinteraksi mencakup umur, sosial budaya, status emosional,
pengalaman nyeri masa lalu, sumber dan anti dari nyeri dan dasar pengetahuan
pasien. Ketika sesuatu menjelaskan seseorang sangat sensitif terhadap nyeri,
sesuatu ini merujuk kepada toleransi nyeri seseorang dimana seseorang dapat
menahan

nyeri

sebelum

memperlihatkan

reaksinya.

Kemampuan

untuk

mentoleransi nyeri dapat rnenurun dengan pengulangan episode nyeri, kelemahan,


marah, cemas dan gangguan tidur. Toleransi nyeri dapat ditingkatkan dengan obatobatan, alkohol, hipnotis, kehangatan, distraksi dan praktek spiritual (Le Mone &
Burke).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi reaksi nyeri tersebut antara lain:
1. Pengalaman Nyeri Masa Lalu
Lebih berpengalarnan individu dengan nyeri yang dialami, makin takut
individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan oleh
nyeri tersebut. Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi nyeri;

akibatnya, ia ingin nyerinya segera reda dan sebelum nyeri tersebut menjadi
lebih parah Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu tersebut mencrima
peredaan nyeri yang tidak adekuat di masa lalu. Individu dengan pengalaman
nyeri

berulang

dapat

mengetahui

ketakutan

peningkatan

nyeri

dan

pengobatannva tidak adekuat (Smeltzer & Bare).


Beberapa pasien yang tidak pernah mengalami nyeri hebat, tidak menyadari
seberapa hebatnya nyeri yang akan dirasakan nanti. Umumnya, orang yang
sering mengalami nyeri dalam hidupnya, cenderung mengantisipasi terjadinya
nyeri yang lebih hebat (Taylor & Le Mone).
2. Kecemasan
Toleransi nyeri, titik di mana nyeri tidak dapat ditoleransi lagi, beragam
diantara individu. Toleransi nyeri menurun akibat keletihan, kecemasan,
ketakutan akan kematian, marah, ketidakberdayaan, isolasi sosial, perubahan
dalarn identitas peran, kehilangan kemandirian dan pengalarnan masa lalu
(Smeltzer & Bare).
Kecemasan hampir selalu ada ketika nyeri diantisipasi atau dialami secara
langsung. Ia cenderung meningkatkan intensitas nyeri yang dialami. Ancaman
dari sesuatu yang tidak diketahui lebih mengganggu dan menghasilkan
kecemasan daripada ancaman dari sesuatu yang telah dipersiapkan. Studi telah
mengindikasikan bahwa pasien yang diberi pendidikan pra operasi tentang hasil
yang akan dirasakan pasca operasi tidak mencrima banyak obat-obatan untuk
nyeri dibandingkan orang yang mengalami prosedur operasi yang sama tetapi
tidak diberi pendidikan pra operasi. Nyeri menjadi lebih buruk ketika
kecemasan, ketegangan dan kelemahan muncul (Taylor & Le Mone).
Umumnya diyakini bahwa kecemasan akan meningkatkan nyeri, mungkin
tidak seluruhnya benar dalam semua keadaan. Namun, kecemasan yang relevan
atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap
nyeri (Smeltzer & Bare).
Ditinjau dari aspek fisiologis, kecemasan yang berhubungan dengan nyeri
dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Secara klinik, kecemasan
pasien menyebabkan menurunnya kadar serotonin. Serotonin merupakan
neurotransmitter yang memiliki andil dalam memodulasi nyeri pada susunan
saraf pusat. Hal inilah yang mengakibatkan peningkatan sensasi nyeri (Le Mone
& Burke).

Serotonin merupakan salah satu neurotransmitter yang diproduksi oleh


nucleus rafe magnus dan lokus seruleus. Ia berperan dalam sistem analgetik
otak. Serotonin menyebabkan neuron-neuron lokal medulla spinalis mensekresi
enkefalin. Enkefalin dianggap dapat menimbulkan hambatan . Jadi,presinaptik
dan postsinaptik pada serabut-serabut nyeri tipe C dan A sistem analgetika ini
dapat memblok sinyal nyeri pada tempat masuknya ke medulla spinalis
(Guyton).
Selain itu keberadaan endorfin dan enkefalin juga membantu menjelaskan
bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri yang berbeda dari
stimuli yang sama. Kadar endorfin beragam di antara individu, seperti halnya
faktor-faktor seperti kecemasan yang mempengaruhi kadar endorfin. Individu
dengan endorfin yang banyak akan lebih sedikit merasakan nyeri. Sama halnya
aktivitas fisik yang berat diduga dapat meningkatkan pembentukan endorfin
dalarn sistem kontrol desendens (Smeltzer & Bare).
3. Umur
Umur dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah waktu hidup atau ada
sejak dilahirkan (Poerwadarminta). Menurut Ramadhan (2001), umur adalah
usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun.
Umumnya lansia menganggap nyeri sebagai komponen alamiah dari proses
penuaan dan dapat diabaikan atau tidak ditangani oleh petugas kesehatan. Di lain
pihak, normalnya kondisi nycri hebat pada dewasa muda dapat dirasakan sebagai
keluhan ringan pada dewasa tua. Orang dewasa tua mengalami perubahan
neurofisiologi dan mungkin mengalami penurunan persepsi sensori stimulus
serta peningkatan ambang nyeri. Selain itu, proses penyakit kronis yang lebih
umum terjadi pada dewasa tua seperti penyakit gangguan, kardiovaskuler atau
diabetes mellitus dapat mengganggu transmisi impuls saraf normal (Le Mone &
Burke).
Menurut Giuffre, dkk. (1991), cara lansia bereaksi terhadap nyeri dapat
berbeda dengan cara bereaksi orang yang lebih muda. Karena individu lansia
mempunyai metabolisme yang lebih lambat dan rasio lemak tubuh terhadap
massa otot lebih besar dibanding individu berusia lebih muda, oleh karenanya
analgesik dosis kecil mungkin cukup untuk menghilangkan nyeri pada lansia.
Persepsi nyeri pada lansia mungkin berkurang sebagai akibat dari perubahan
patologis berkaitan dengan beberapa penyakita (misalnya diabetes), akan tetapi

pada individu lansia yang sehat persepsi nyeri mungkin tidak berubah (Smeltzer
& Bare).
Diperkirakan lebih dari 85% dewasa tua mempunyai sedikitnya satu
masalah kesehatan kronis yang dapat menyebabkan nyeri. Lansia cenderung
mengabaikan lama sebelum melaporkannya atau mencari perawatan kesehatan
karena sebagian dari mereka menganggap nyeri menjadi bagian dari penuaan
normal. Sebagian lansia lainnya tidak mencari perawatan kesehatan karena
mereka takut nyeri tersebut menandakan penyakit yang serius. Penilaian tentang
nyeri dan ketepatan pengobatan harus didasarkan pada laporan nyeri pasien dan
pereda ketimbang didasarkan pada usia (Smeltzer & Bare).
4. Jenis Kelamin
Menurut Oakley (1972) jenis kelarnin (sex) merupakan perbedaan yang
telah dikodratkan Tuhan, olch sebab itu, bersifat permanen. Perbedaan antara
laki-laki dan perempuan tidak sekadar bersifat biologis, akan tetapi juga dalam
aspek sosial kultural. Perbedaan secara sosial kultural antara laki-laki dan
perempuan merupakan dampak dari sebuah proses yang membentuk berbagai
karakter sifat gender. Perbedaan gender antara manusia berjenis kelamin lakilaki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Terbentuknya
perbedaan-perbedaan gender disebabkan oleh berbagai faktor terutarna
pembentukan, sosialisasi, kemudian diperkuat dan dikonstruksi baik secara
sosial kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara (Ahyar & Anshari).
Karakteristik jenis kelamin dan hubungannya dengan sifat keterpaparan dan
tingkat kerentanan memegang peranan tersendiri. Berbagai penyakit tertentu
ternyata erat hubungannya dengan jenis kelatnin, dengan berbagai sifat tertentu.
Penyakit yang hanya dijumpai pada jenis kelamin tertentu, terutama yang
berhubungan erat dengan alat reproduksi atau yang secara genetik berperan
dalam perbedaan jenis kelarnin (Noor).
Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang berbeda dapat belajar
dengan cepat untuk mengabaikan nyeri daripada mengeksploitasi nyeri untuk
rnemperoeh perhatian dan pelayanan dari anggota keluarga. Anak-anak mungkin
belajar bahwa terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam
mengekspresikan nyeri. Anak perempuan boleh pulang ke rumah sambil
menangis ketika lututnya terluka, sedangkan anak laki-laki diberitahu untuk
berani dan tidak menangis. Laki-laki dan perempuan dewasa mungkin

berpegang pada pengharapan gender ini sehubungan dengan komunikasi nyeri


(Taylor & Le Mone).
Dalam banyak budaya, laki-laki merupakan figur yang dominan. Dalam
budaya yang menganut paham ini, laki-laki membuat keputusan untuk anggota
keluarga lain seperti halnya untuk dirinya sendiri. Dalam budaya dimana lakilaki merupakan figur dominan, maka perempuan cenderung untuk pasif. Dalam
keluarga Afrika-Amerika pada banyak keluarga caucasian, perempuan sering
menjadi figur yang dominan (Taylor & Le Mone).
Pengetahuan tentang anggota keluarga yang dominan sangat penting sebagai
bahan pertimbangan untuk rencana keperawatan. Jika anggota keluarga dominan
yang sakit maka kemungkinan anggota keluarga lain akan menjadi cemas dan
bingung. Jika anggota keluarga non dominan yang sakit, maka ia akan meminta
pertolongan secara verbal (Taylor & Le Mone).
Pada tahun 1995, Vallerand meninjau penelitian tentang nyeri pada wanita
dan mengusulkan implikasi untuk praktik klinik. Meskipun penelitian tidak
menemukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan
nyerinya, pengobatan ditemukan lebih sedikit pada perempuan. Perempuan lebih
suka mengkomunikasikan rasa sakitnya, sedangkan laki-laki menerima analgesik
opioid lebih sering sebagai pengobatan untuk nyeri (Taylor & Le Mone).
5. Sosial Budaya
Karena norma budaya mempengaruhi sebagian besar sikap, perilaku, dan
nilai keseharian kita, wajar jika dikatakan budaya mempengaruhi reaksi individu
terhadap nyeri. Bentuk ekspresi nyeri yang dihindari oleh satu budaya mungkin
ditunjukkan oleh budaya yang lain (Taylor & Le Mane).
Menurut Zatzick dan Dimsdale (1990), budaya dan etniksitas mempunyai
pengaruh pada cara seseorang bereaksi terhadap nyeri (bagaimana nyeri
diuraikan atau seseorang berperilaku dalam berespons terhadap nyeri). Namun,
budaya dan etnik tidak mempengaruhi persepsi nyeri (Smeltzer & Bare).
Mengenali nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki seseorang dan memahami
mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan lainnya membantu
kita untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien berdasarkan pada harapan
dan nilai budaya seseorang. Perawat yang mengetahui perbedaan budaya akan
mempunyai pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih
akurat dalam rnengkaji nyeri dan reaksi perilaku terhadap nyeri juga efektif
dalarn menghilangkan nyeri pasien (Smeltzer & Bare).

6. Nilai Agama
Pada beberapa agama, individu menganggap nyeri dan penderitaan sebagai
cara untuk membersihkan dosa. Pemahaman ini membantu individu menghadapi
nyeri dan menjadikan sebagai sumber kekuatan. Pasien dengan kepercayaan ini
mungkin menolak analgetik dan metode penyembuhan lainnya; karena akan
mengurangi persembahan mereka (Taylor & Le Mane).
7. Lingkungan dan Dukungan Orang Terdekat
Lingkungan dan kehadiran dukungan keluarga juga dapat mempengaruhi
nyeri seseorang. Banyak orang yang merasa lingkungan pelayanan kesehatan
yang asing, khususnya cahaya, kebisingan, aktivitas yang sama di ruang
perawatan intensif, dapat menambah nyeri yang dirasakan.
Pada beberapa pasien, kehadiran keluarga yang dicintai atau teman bisa
mengurangi rasa nyeri mereka, namun ada juga yang lebih suka menyendiri
ketika merasakan nyeri. Beberapa pasien menggunakan nyerinya untuk
rnemperoleh perhatian khusus dan pelayanan dari keluarganya (Taylor & Le
Mone).
B. Mekanisme Nyeri Kanker
Nyeri kanker umumnya diakibatkan oleh infiltrasi sel tumor pada struktur
yang sensitif dengan nyeri seperti tulang, jaringan lunak, serabut saraf, organ
dalam, dan pembuluh darah. Nyeri juga dapat diakibatkan oleh terapi pembedahan,
kemoterapi, atau radioterapi. Meskipun penyebab nyeri kanker dan tipenya
bervariasi, mekanisme yang mendasarinya telah dipahami sebagai fenomena
neurofisiologik dan neurofarmakologik.
Dua golongan nyeri kanker dipaparkan sebagai nyeri nosiseptif, terdiri dari
nyeri somatik dan nyeri viseral, dan nyeri neuropatik. Pengetahuan akan tipe nyeri
kanker penting dalam penatalaksanaan nyeri kanker yang adekuat.
C. Manajemen Nyeri pada Kanker
Terdapat 3 unsur penting dalam managemen nyeri kanker yaitu:
1. Melakukan penilaian nyeri secara tepat dan tetap
2. Pemberian opioid yang tepat
3. Melakukan intergrasi dengan terapi nyeri lain
Penatalaksanaan nyeri kanker dimulai dengan penilaian jenis nyeri,
tingkatan derajat nyeri, hal-hal yang dapat memperberat rasa nyeri atau mengurangi
nyeri. Termasuk kondisi umum pasien, untuk dapat menerima pengobatan yang

diberikan. Semua ini disiapkan dengan baik, yang dikenal dengan penilaian nyeri.
Step ladder WHO yang merupakan pedoman untuk penatalaksanaan nyeri kanker,
merekomendasikan bahwa pada kasus nyeri kanker ringan, cukup dengan
pemberian parasetamol, AINS (Anti-Inflamasi Non Steroid); kalau perlu
ditambahkan ajuvan. Penambahan ajuvan dapat diberikan pada semua tingkatan
nyeri. Untuk nyeri sedang dapat diberikan opioids ringan, seperti kodein atau
tramadol. Untuk nyeri kanker berat, bisa diberikan opioids berat seperti morphine.
Penanggulangan nyeri yang sempurna, merupakan sesuatu yang penting dalam
pengobatan kanker. WHO membolehkan kombinasi analgetik opiate dan non opiate
pada penderita kanker, dengan tingkat nyeri menengah hingga berat. Opiate
merupakan analgetik sentral, yang menghambat transduksi saraf di medulla
spinalis. Sedangkan analgetik non opiate, dalam hal ini analgetik anti-inflamasi non
steroid (AINS), merupakan analgetik perifer yang bekerja dengan menghambat
aktivitas cyclooxignase, dalam pembentukan prostaglandin sehingga sistem
noriseptor perifer tidak teraktivasi.
D. Teknik untuk Mengatasi Nyeri
A Psikoterapi
Psikoterapi menurut Hollender adalah salah satu bentuk terapi dimana
diperlukan interaksi antara si sakit dan yang merawat (therapist) sehingga akan
terjadi tukar pikiran yang dirangsang berdasarkan kebutuhan penderita, dan
terapis dengan dasar empati yang besar dapat menangkap, mengingat dan
menginterpretasikanpesan-pesan dan secara berhati-hati merubah perasaan,
pikiran dan tingkah laku penderita. (DiSaia et al, 2002)
Perawatan paliatif adalah perawatan paripurna yang bertujuan meningkatkan
kualitas hidup semaksimal mungkin dan mempersiapkan penderita untuk
menghadapi kematian dalam iman.Dalam penanganan terminal, psikoterapi
tidak saja ditujukan bagi penderita, tetapi juga keluarga bahkan team medis yang
merawat penderita. (DiSaia et al, 2002)
a. Psikoterapi pada penderita
Banyak penderita yang tidak tahu bahwa ia mengidap penyakit yang
tidak dapat disembuhkan lagi, dan dalam perawatan terminal justru
memberitahukan bahwa ia dalam kondisi terminal adalah yang tersukar.
Perlu pengkajian yang seksama melalui kerja sama yang baik dengan

keluarga apakah diperlukan pemberitahuan tentang kondisi terminal tersebut


atau tidak. (DiSaia et al, 2002)
Sebetulnya setiap penderita mempunyai hak untuk mengetahui keadaan
yang sebenarnya agar ia dapat menentukan apa-apa yang ingin dilakukannya
terakhir kali. Sebaiknya mereka yang berjiwa matang harus diberitahu. Ciriciri berjiwa matang antara lain selalu berpikiran positif, emosi relative
stabil, memutuskan sesuatu setelah menelaah data-data yang obyektif, dapat
memilah persoalan-persoalan yang tumpang tindih dengan memberi skala
prioritas dan terakhir antisipatif. Dilema berikutnya yang muncul adalah
siapa yang akan diberi tahu terlebih dahulu penderita atau keluarga?. Salah
satu penyebab dilemma ini adalah sumpah dokter yang harus menyimpan
rahasia seputar penyakit penderita. Oleh karena itu sebaiknya psikoterapi
individual untuk meningkatkan pengetahuan penderita dan memancing
sejauh mana penderita mengetahui tentang penyakitnya dan dimana tahap
kematian ia berada harus diutamakan dan kemudian sejauh mana
ketergantungan dan peran penderita dalam tatanan keluarganya, bila
diketahui bahwa penderita sangat tergantung pada keluarga dan ia tidak tahu
(denial) tentang penyakitnya yang parah maka sebaiknya keluarga yang
diberi tahu dahulu dan itupun harus hati-hati. Sebaiknya dengan saksi atau
pernyataan tertulis bahwa rahasia jabatan dibuka demi si sakit. (DiSaia et al,
2002)
Psikoterapi untuk sisakit bertujuan untuk menerima kenyataan bahwa
ajal mendekat dan merubah cita-cita/ tujuan hidup ke hal-hal yang positif
dan mudah dijangkau dalam waktu dekat. Beberapa senter yang pernah
meneliti penderita terminal mendapatkan keluhan-keluhan sebagai berikut:
(DiSaia et al, 2002)
Takut menghadapi kematian sendirian
Takut sebelum mati kesakitan
Takut bentuk tubuh berubah, rusak atau berbau, dsb
Takut keluarga tidak mencintai
Takut tentang apa-apa yang akan terjadi setelah mati
Takut dihukum Tuhan karena banyak dosa
Takut dikubur
Takut sepeninggalnya, anak-anak terbengkalai
Tampak disini rasa takut mendominasi suasana hati (mood), keluhan
subyektif mengenai rasa sakit dan kerusakan tubuh dan takut rejeksi

keluarga. Oleh karena itu reassurance (jaminan kembali) bahwa team medis
akan berusaha semaksimal mungkin mengatasi gengguan fisik selain selalu
berada dekat adalah hal yang penting untuk diutarakan. Bila ketenangan
sudah diperoleh maka selanjutnya diupayakan agar ada jaminan keluarga
untuk tetap mencintai dan selalu berada ditempat bila dibutuhkan. Jadi
penting diketahui bahwa sebelum atau bersamaan dengan psikoterapi si
sakit, keluargapun harus mendapat psikoterapi juga. (DiSaia et al, 2002)
Seorang yang memberikan psikoterapi harus dapat menangkap pesanpesan yang dikomunikasikan penderita. Oleh karena itu mengetahui latar
belakang kehidupan penderita seperti tingkat pendidikan, budaya dan sifatsifat sebelum sakit memudahkan terapis untuk membaca apa yang tersirat
dari pembicaraan dengan penderita. Kesimpulan tidak adapat diambil dari
satu kali pertemuan, apalagi penderita terminal sudah menunjukkan tandatanda depresi atau penurunan kesadaran / apatis. Adakalanya bantuan alatalat audio visual termasuk coretan-coretan dan gambar-gambar sangat
diperlukan. Setelah interaksi terjalin baik barulah pembicaraan mengenai
tujuan hidup dan perubahan-perubahannya dapat dilakukan. (DiSaia et al,
b.

2002)
Psikoterapi pada keluarga
Tujuan memberikan psikoterapi ini adalah: (DiSaia et al, 2002)
Membuat keluarga menerima kenyataan bahwa penderita tidak lama lagi
akan pergi untuk selamanya
Mengatur kekompakkan keluarga agar penderita selalu merasa tetap di
lingkungan keluarga yang mencintainya
Memberi keputusan yang baik bagi penderita tanpa merugikan kehidupan
keluarga pada masa yang akan datang
Membantu perencanaan pasca kematian/ fase duka cita
Melatih keluarga melihat kenyataan yang buruk sangatlah sukar. Untuk
itu penting menyeleksi siapa key person dalam keluarga. Dalam
kehidupan emosionil yang sangat terganggu adakalanya penalaran tidak
begitu baik. Oleh karena itu the key person pada umumnya adalah
mereka yang emosinya sangat stabil dan dapat merupakan penentu keluarga
tersebut. Seleksi berikutnya adalah mencari anggota keluarga yang selalu
dikambinghitamkan sebagai penyebab sakit atau bertambah parahnya si
sakit. Suatu contoh seorang remaja yang nakal dituduh sebagi penyebab

sakit ibunya dll, hal ini perlu mendapat perhatian dalam psikoterapi terhadap
keluarga. Hal yang sangat penting diberitahukan bahwa penderita
mengharapkan kasih saying terakhir, takut dengan rasa kesendirian dan
bantuan moril pada saat menghadapi nyeri dan kerusakan fisik. (DiSaia et
al, 2002)
Kematian anggota keluarga yang tidak dipersiapkan akan membawa
dampak besar antara lain perasaan bersalah, saling menyalahkan bahkan
tidak jarang rebutan warisan dll. Lama berkabung dimana emosi tidak stabil
dapat berlangsung 2-3 tahun. Selama keadaan ini perubahan perilaku dapat
terjadi dan yang ditakuti adalah sifat buruk yang menetap dengan gangguan
c.

belajar pada anak-anak. (DiSaia et al, 2002)


Psikoterapi pada team medis
Banyak anggota team medis yang beranggapan bahwa dirinya gagal
bilamana pasien yangdirawatnya menemui kematiaannya. Anggapan ini
harus dihilangkan bila merawat penderita paliatif. Satu hal lagi adalah
terjadinyaanniversary depression yaitu depresi yang berulang kembali bila
yang merawat mengungatkannya atau pernah melukai hatinya. Gejolak
emosi seperti ini pada umumnya melemahkan pertahanan jiwa dan membuat
anggota team tidak tepat dalam mengambil keputusan, mudah tersinggung
yang menyebabkan ketidakkompakkan team dan tidak terampil lagi dalam
tindakan-tindakannya. Terapis disini bertindak sebagai Bumper atau
katalisator atau sekedar pendengar yang budiman. Tujuan terapis adalah
mematangkan kepribadian anggota, menenangkan kembali gejolak emosi
dan memperbaiki interaksi yang terganggu demi perawatan penderita.
(Tejawinata et al, 1996)
Seleksi masuknya anggota baru dalam team perawatan terminal juga
harus berhati-hati sebab idea-idea dari si pendatang baru acapkali
menyebabkan keretakkan akibat persepsi yang salah. Tugas terapis harus
menyatukan persepsi. Perawatan terminal adalah perawatan yang sangat
menguras tenaga, fikiran, ketahanan mental. Oleh karena itu perlu dijajagi
apakah anggota team mampu dan mau merawat penderita. (Tejawinata
et al, 1996)

BAB III
METODOLOGI

A. Topik
B. Sub Topik

: manajemen nyeri
: manajemen nyeri kanker

C. Kelompok
1. Choirun Nisa Nur Aini
2. Dewiayu Indah Pratama
3. Dian Hardiyanti Ningrum
D. Tujuan Umum
A Untuk memenuhi target kompetensi praktik klinik keperawatan maternitas di
RSUP Dr. Kariadi.
B Untuk mengembangkan dan memperbaharui desian inovatif untuk mengatasi
E.

F.

G.

H.
I.
J.
K.

nyeri pada pasien kanker.


Tujuan Khusus
A Mengetahui konsep nyeri
B Mengetahui mekanisme Nyeri Kanker
C Mengetahui dan memberitahu pasien manajemen Nyeri pada Kanker
D Mengetahui dan mengajarkan teknik untuk Mengatasi Nyeri
Waktu
Hari
: Sabtu
Tanggal : 13 Juni 2014
Pukul
: 09.00 09.30 WIB
Tempat : Ruang Rajawali 4A.
Pengorganisasian
1. Leader
2. Fasilitator
3. Observer
4. Dokumentator
Setting
Media
1. Lembar balik (terlampir)
2. Leaflet (terlampir)
Prosedur Operasional Tindakan yang Dilakukan
Referensi

BAB IV
LAPORAN KEGIATAN

A. Pelaksanaan Kegiatan
Tahap
Praeduk
asi

Jenis kegiatan
-

Mempersiapkan media
Kontrak waktu dan tempat dengan pasien
Pembukaan
Mengucapkan salam
Perkenalan
Menjelaskan tujuan

Metode
Dialog
langsung

Media
-

Waktu
5 menit

Edukasi

- Menjelaskan konsep nyeri dan mekanisme Ceramah

Lembar

nyeri yang terjadi pada pasien


dan
- Menjelaskan tentag managemen nyeri
praktik
pada pasien
- Mengajarkan pasien teknik untuk

balik dan menit

mengatasi nyeri
- Diskusi Tanya

jawab

klien

15

leaflet

dengan

fasilitator

Pasca

- Evaluasi perasaan klien setelah edukasi Diskusi

edukasi

dilakukan
- Evaluasi pengetahuan klien tentang materi

Leaflet

5 menit

edukasi yang diberikan


- Penutup
Total waktu 25 menit
B. Faktor Pendukung
Adapun factor pendukung berhasilnya desain inovatif tentang managemen
nyeri pada pasien kanker, antara lain :
1. Pemberian bimbingan oleh CI
2. Media yang digunakan berupa lembar balik dan leaflet yang bias dibawa oleh
3.

klien
Klien yang kooperatif

C. Faktor Penghambat
Adapun factor penghambat saat pelaksanaan adalah sediaan tempat yang terbatas.
D. Evaluasi Kegiatan
1. Evaluasi perasaan klien setelah edukasi dilakukan
Pasien mengaku merasa senang karena terbantu untuk mengatasi nyeri yang
selalu timbul dibuktikan dengan pasien berkali-kali mengucapkan terimakasih
kepada tim desain inovatif. Pasien juga merasa tenang dan nyaman karena ada
orang yang peduli.
2. Evaluasi pengetahuan klien tentang materi edukasi yang diberikan
Pasien mengatakan paham dengan apa yang dijelaskan oleh tim desain inovatif,
dibuktikan dengan pasien dapat menjawab beberapa pertanyaan dengan tepat.

BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai