Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN PADA KASUS

BENIGNA PROSTAT HIPERPLASI (BPH)


Di ajukan untuk memenuhi tugas praktek belajar klinik Keperawatan Medikal Bedah II
Dosen Pembimbing : Marwati, Ners., M. Kep

Disusun oleh :
Muammar Syah Zihan (19031)

Kelompok 3
Tingkat 2 A

STIKES AHMAD DAHLAN CIREBON


Jl. Walet no 21 Kertawinangun, Kedawung, Cirebon, Jawa barat
A. Pengertian Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)
Benign prostatic hyperplasia atau benigna prostat hyperplasia (BPH) disebut juga
Nodular hyperplasia, benign prostatic hypertrophy atau Benign enlargement of the
prostate (BEP) yang merujuk kepada peningkatan ukuran prostat pada laki-laki usia
pertengahan dan usia lanjut. Benigna prostat hipertropi (BPH) adalah pembesaran
kelenjar dan jaringan seluler kelenjar prostat yang berhubungan dengan perubahan
endokrin berkenaan dengan proses penuaan. Prostat adalah kelenjar yang berlapis
kapsula dengan berat kira-kira 20 gram, berada di sekeliling uretra dan di bawah leher
kandung kemih pada pria. Bila terjadi pembesaran lobus bagian tengan prostat akan
menekan dan uretra akan menyempit.
Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang sering terjadi
sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormone prostat. (Yuliana Elin, 2011).
Pembesaran prostat jinak atau lebih dikenal sebagai BPH (benign prostatic hyperplasia)
merupakan istilah histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel -sel stroma dan sel-sel
epitel kelenjar prostat. BPH merupakan salah satu keadaan yang menyebabkan gangguan
miksi yaitu retensio urin yang mengakibatkan supersaturasi urin, sehingga rentan untuk
terbentuknya batu buli. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
BPH diantaranya teori dihidrotestosteron, teori ketidakseimbangan antara estrogen-
testosteron, teori interaksi stroma-epitel, teori berkurangnya kematian sel prostat, serta
teori sel stem.

B. Etiologi Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)


Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan testosterone
esterogen karena produksi testosterone menurun dan terjadi konversi testosterone
menjadi esterogen pada jaringan adipose diperifer. Karena proses pembesaran prostat
terjadi secara perlahan-lahan. (Wim De Jong). Hingga sekarang masih belum diketahui
secara pasti penyebab terjadinya BPH, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
BPH erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihydrotestosterone (DHT) dan proses
penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia
prostat.
1. Teori dihydrotestosterone (DHT)
Pertumbuhan kelenjar prostat sangat tergantung pada hormone testosteron. Dimana
pada kelenjar prostat, hormon ini akan diubah menjadi metabolit aktif
dihydrotestosterone (DHT) dengan bantuan enzim 5α – reduktase. DHT inilah yang
secara langsung memicu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis
protein growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat Pada berbagai
penelitian, aktivitas enzim 5α – reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih
banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat menjadi leih sensitive

i
terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan
prostat normal.
2. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada pria dengan usia yang semakin tua, kadar tetosteron makin menurun, sedangkan
kadar estrogen relatif tetap, sehingga perbandingan estrogen dan testosterone relative
meningkat. Estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel
kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitivitas sel-sel prostat terhadap
rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen dan
menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Akibatnya, dengan
testosteron yang menurun merangsang terbentuknya sel-sel baru, tetapi sel-sel prostat
yang telah ada memiliki usia yang lebih panjang sehingga massa prostat menjadi
lebih besar.
3. Interaksi stroma-epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat
secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth
factor). Setelah sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel
stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel stroma
itu sendiri, yang menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun stroma.
4. Berkurangnya kematian sel prostat
Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologi homeostatis kelenjar
prostat. Pada jaringan nomal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel
dengan kematian sel. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang apoptosis
menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan makin meningkat sehingga
mengakibatkan pertambahan massa prostat. Diduga hormon androgen berperan
dalam menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi
peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat
5. Teori sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel
baru. Dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai
kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini bergantung pada
hormon androgen, dimana jika kadarnya menurun (misalnya pada kastrasi),
menyebabkan terjadinya apoptosis. Sehingga terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH
diduga sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang
berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

C. Patofisiologi Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)


Pembesaran prostat menyebabkan terjadinya penyempitan lumen uretra parsprostatika
dan menghambat aliran urine sehingga menyebabkan tingginya tekanan intravesika.

ii
Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat untuk
melawan tekanan, menyebabkan terjadinya perubahan anatomi buli-buli, yakni:
hipertropi otot destrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel
buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut dirasakan sebagai keluhan pada
saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS).
Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak
terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini menimbulkan
aliran balik dari buli-buli ke ureter atau terjadinya refluks vesikoureter. Jika berlangsung
terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis bahkan jatuh ke dalam gagal ginjal.
BPH terjadi pada zona transisi prostat, dimana sel stroma dan sel epitel
berinteraksi. Sel sel ini pertumbuhannya dipengaruhi oleh hormon seks dan respon
sitokin. Di dalam prostat, testosteron diubah menjadi dihidrotestosteron (DHT), DHT
merupakan androgen dianggap sebagai mediator utama munculnya BPH ini. Pada
penderita ini hormon DHT sangat tinggi dalam jaringan prostat. Sitokin berpengaruh
pada pembesaran prostat dengan memicu respon inflamasi dengan menginduksi epitel.
Prostat membesar karena hyperplasia sehingga terjadi penyempitan uretra yang
mengakibatkan aliran urin melemah dan gejala obstruktif yaitu : hiperaktif kandung
kemih, inflamasi, pancaran miksi lemah (Skinder et al, 2016)

iii
Pathway Benigna Prostat Hyperplasia
Hormone estrogen & Factor usia Sel prostat umur Poliferasi abnormal sel
testosterone tdk panjang strem
seimbang

Sel stroma Sel yang mati kurang Produksi stroma dan


pertumbuhan berpacu epitel berlebihan

Menghambat aliran Retens urine Prostat membesar


urina

Penyempitan lumen Penekanan serabut- Resiko pendarahan TURP


ureter prostatika serabut saraf-nyeri

peningkatan resistensi Kerusakan mukosa Iritasi mukosa kandung Pemasangan folley


leher V.U dan daerah urogenital kencing, terputusnya cateter
V.U jaringan, trauma bekas
insisi
Obstruksi oleh jendolan
darah post op
Peningkatan ketebalan Penurunan pertahanan Rangsangan syaraf
otot destruksor (fase tubuh diameter kecil
kompensasi) Gangguan eliminasi urine

Gate kontrole terbuka


Terbentuknya Resiko infeksi Kurangnya informasi
sakula/trabekula terhadap pembedahan
Nyeri akut

Kelemahan otot Media pertumbuhan Ansietas


destruksor kuman

Penurunan kemampuan Residu urine berlebih


fungsi V.U

Refluk urine hidronefrosis Resiko ketidakefektifan


perfusi ginjal

D. Manifestasi Klinik Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)


a. Gejala iritatif meliputi (kemenkes RI, 2019) :
1) Peningkatan frekuensi berkemih
2) Nokturia (terbangun pada malam hari untuk miksi)
3) Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak/tidak dapat ditunda (urgensi)
4) Nyeri pada saat miksi (disuria)
b. Gejala obstruktif meliputi
1) Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan
waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya
tekanan dalam uretra prostatika.
2) Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika
sampai berakhirnya miksi
3) Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing

1
4) Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra
5) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
6) Urin terus menetes setelah berkemih
c. Gejala generalisata
Gejala generalisata seperti seperti keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa
tidak nyaman pada epigastrik
- Pasien BPH dapat menunjukkan berbagai macam tanda dan gejala. Gejala BPH
berganti-ganti dari waktu-kewaktu dan mungkin dapat semakin parah,menjadi stabil,
atau semakin buruk secara spontan.
Kategori BPH berdasarkan tanda dan gejala
Keperahan Penyakit Kekhasan tanda dan Gejala
Ringan Asimtomatik
Kecepatan urinary puncak <10 ml/s
Volume urin residual setelah pengosongan <25-50 ml
Peningkatan BUN dan kreatinin serum
Sedang Semua tanda diatas ditambah obstruktif penghilangan gejala
dan iritatif penghilangan gejala (tanda dan detrusor yang
tidak stabil)
Parah Semua yang diatas ditambah satu atau dua lebih komplikasi
BPH
Ket; BUN : Blood Urea Nitrogen
Jenis penanganan pada pasien dengan tumor prostat tergantung pada berat gejala
kliniknya. Berat derajat klinik dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan
pada colok dubur dan sisa volume urin. Seperti yang tercantum dalam bagan berikut
ini : (wim de jong)
Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urin
I Penonjolan prostat, atas mudah diraba < 50 ml
II Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat dicapai 50-100 ml
III Batas atas prostat tidak dapat diraba >100 ml
IV Batas atas prostat tidak dapat diraba Retensi urin total
Menurut R. Sjamsuhidayat dan wim de jong
1. Derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan-tindakan bedah,
diberipengobatan konservatif.
2. Derajat dua merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya
dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra (trans urethral resection/tur)
3. Derajat tiga reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila diperkirakan prostate
sudah cukup besar, reseksi tidak cukup 1 jam sebaiknya dengan pembedahan
terbuka,melalui trans vesikal retropublik/perianal
4. Derajat 4 tindakan harus segera dilakukan membebaskan klien dari retensi urine
total dengan pemasangan kateter.

2
E. Pemeriksaan Penunjang Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)
1. Laboratorium : meliputi ureum (BUN), kreatinin, elektrilit, tes sensitifitas dan biakan
urin
d. Urinalisis / Sedimen Urin
Sedimen urine diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau
inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urin berguna untuk dalam
mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan
sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan dan dapat
mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria. Untuk itu pada kecurigaan
adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine, dan kalau
terdapat kecurigaan adanya karsinoma buli-buli perlu dilakukan pemeriksaan
sitologi urine. Pada pasien BPH yang sudah mengalami retensi urine dan telah
memakai kateter, pemeriksaan urinalisis tidak banyak manfaatnya karena
seringkali telah ada leukosituria maupun eritostiruria akibat pemasangan kateter
(Purnomo, 2014)
e. Pemeriksaan fungsi ginjal
Obstruksi intravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus urinarius
bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH terjadi
sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan resiko
terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering dibandingkan dengan tanpa
disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam kali lebih banyak. Oleh
karena itu pemeriksaan faal ginjal ini berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya
melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas (Purnomo,
2014).
f. Pemeriksaan PSA (prostate specific antigen)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer
specific. Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari
BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti:
(a) pertumbuhan volume prostat lebih cepat.
(b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek.
(c) lebih mudah terjadinya retensi urine akut
Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada peradangan,
setelah manipulasi pada prostat (biopsy prostat atau TURP), pada retensi urine
akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua. Rentang kadar PSA
yang dianggap normal berdasarkan usia adalah: a. 40-49 tahun : 0-2,5 ng/ml; b. 50-
59 tahun : 0-3,5 ng/ml; c. 60-69 tahun : 0-4,5 ng/ml; d. 70-79 tahun : 0-6,5 ng/ml.
2. Radiologis : intravena pylografi, BNO, sistogram, retrograde, USG, Ct scanning,
cystoscopy, foto polos abdomen. Indikasi sistogram retrogras dilakukan apabila

3
fungsi ginjal buruk, ultrasonografidapat dilakukan secara trans abdominal atau trans
rectal (TRUS = trans rectal uretra sonografi, selain untuk mengetahui pembesaran
prostat ultra sonografi dapa pula menentukan volume buli-buli, mengukur sisa urine,
dan keadaan patologi lain seperti difertikel, tumor dan batu ( syamsuhidayat dan wim
de jong)
a. Foto polos abdmen
Foto polos abdomen berguna untuk mencari adanya batu di saluran kemih,
adanya batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat menunjukkan bayangan buli-
buli yang penuh terisi urin, yang merupakan tanda dari suatu retensi urin.
Pemeriksaan PIV (Pielografi Intravena) dapat menerangkan kemungkinan
adanya: kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh
adanya indentasi prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter
di sebelah distal, dan penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya
trabekulasi, divertikel, atau sakulasi buli-buli. Pemeriksaan pencitraan terhadap
pasien BPH dengan memakai PIV atau USG, ternyata bahwa 70-75% tidak
menunjukkan adanya kelainan pada saluran kemih bagian atas; sedangkan yang
menunjukkan kelainan, hanya sebagian kecil saja (10%) yang membutuhkan
penanganan berbeda dari yang lain. Oleh karena itu pencitraan saluran kemih
bagian atas tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan pada BPH, kecuali jika
pada pemeriksaan awal ditemukan adanya:
1. Hematuria.
2. infeksi saluran kemih.
3. insufisiensi renal (dengan melakukan pemeriksaan USG).
4. riwayat urolitiasis
5.riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran urogenitalia
(IAUI,dalam,Purnomo, 2014).
b. Pemeriksaan ultrasonografi transrektal (TRUS)
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk mengetahui besar atau volume kelenjar
prostat, adanya kemungkinan pembesaran prostat maligna, sebagai guideline
(petunjuk) untuk melakukan biopsi aspirasi prostat, menetukan jumlah residual
urine, dan mencari kelainan lain yang mungkin ada di dalam buli-buli.
Disamping itu ultrasonografi transrectal mampu untuk mendeteksi adanya
hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama
(Purnomo, 2014).
3. Prostatektomi retro pubis, pembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung
kemih tidak dibuka, hanya ditarik dan jaringan adematous prostat diangkat melalui
insisi pada anterior kapsula prostat.

4
4. Prostatektomi parineal : yaitu pembedahan dengan kelenjar prostat dibuang melalui
perineum.
5. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan Derajat Obstruksi (IAUI,dalam,Purnomo, 2014);
a. Residual urin yaitu jumlah sisa urin setelah miksi yang dapat dihitung dengan
kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah
miksi. Jumlah residual urine ini pada orang normal adalah 0,09-2,24 mL dengan
rata-rata 0,53 mL. Tujuh puluh delapan persen pria normal mempunyai residual
urine kurang dari 5 mL dan semua pria normal mempunyai residu urine tidak
lebih dari 12 mL.
b. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan
menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik)
atau dengan alat uroflometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin
yang meliputi lama waktu miksi, lama pancaran, waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai pancaran maksimum, rerata pancaran, maksimum pancaran, dan
volume urin yang dikemihkan. Pemeriksaan yang lebih teliti lagi yaitu
urodinamika.

F. Komplikasi Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)


Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
1. Retensio urine akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urine terus berlanjut
maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urine yang akan
mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urine, sehingga dapat terbentuk batu
saluran kemih dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu
tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks dapat mengakibatkan
pielonefritis
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu miksi
pasien harus mengedan

G. Penatalaksanaan Medis Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)


Tujuan terapi pada pasien BPH adalah meningkatkan kualitas hidup pasien,
memperbaiki keluhan miksi, mengurangi obstruksi infravesika, mengembalikan fungsi
ginjal jika terjadi gagal ginjal, mengurangi volume residu urine setelah miksi dan

5
mencegah progresifitas penyakit. Terapi yang diatawarkan pada pasien tergantung pada
tingkat derajat keluhan, keadaan pasien, maupun kondisi obyektif kesehatan pasien yang
diakibatkan oleh penyakitnya. (ikatan ahli urologi Indonesia)
Tabel pilihan terapi pada BPH :
Observasi Medikamentosa Terapi intervensi
Pembedahan Invasive minimal
Watchful waiting Antagonis Prostatektomi TUMT
adrenergic-α terbuka HIFU
Inhibitor reduktasi Endourologi: Stent uretra
-5α TURO TUNA
Fitoterapi TUIP ILC
TULP
Elektrovaporisasi
(AUA & Ikatan Ahli Urologi Indonesia)
1. Watchful Waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7,
yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pada watchful
waiting ini, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan
mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1)
jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alcohol setelah makan malam,
(2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada buli-
buli (kopi atau coklat), (3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin, (4) kueangi makanan pedas dan asin, dan (5) jangan menahan
kencing terlalu lama. Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk control dengan ditanya
diperiksa tentang perubahan keluhan yang dirasakan, penilaian IPSS, pemeriksaan
laju pancaran urine, maupun volume residual urine. Jika keluhan miksi bertambah
jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu difikirkan untuk memilih terapi yang lain.
2. Medikamentosa
Tujuan terapi medika mentosa adalah berusaha untuk : (1) mengurangi resistensi
otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan
obat-obatan dengan penghambat adrenergik alfa atau (2) mengurangi volume prostat
sebagai komponen static dengan cara menurunkan kadar hormone
testosteron/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5α-reduktase. Jenis obat
yang digunakan adalah :
a. Antagonis adrenergic reseptor-α yang dapat berupa :
b. Inhibitor 5-α redukstate, yaitu finasteride dan dutasteride
c. Fitofarmaka
H. Penatalaksanaan Keperawatan Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
1. Terapi intervensi

6
Terapi intervensi dibagi dalam 2 golongan, yakni teknik ablasi jaringan prostat
atau pembedahan dan teknik instrumentasi alternative. Termasuk ablasi jaringan
prostat adalah : pembedahan terbuka, TURP, TUIP, TUVP, laser prostatektomi.
Sedangkan teknik instrumentasi alternative adalah interstitial laser coagulation,
TUNA, TUMT, dilatasi balon, dan stent uretra. (AUA & Ikatan Ahli Urologi
Indonesia & Roehrborn CG)
a. Pembedahan terbuka
Beberapa macam teknik operasi prostatektomi terbuka adalah metode dari
Millin yaitu melakukan enukleasi kelenjar prostat melalui pendekatan retropubik
infravesika, Freyer me l alu I pendekatan suprapubik transvesika, atau
transperineal. Prostatektomi terbuka adalah tindakan yang paling tua yang masih
banyak dikerjakan saat ini, paling invasif, dan paling efisien sebagai terapi BPH.
Prostatektomi terbuka dapat dilakukan melalui pendekatan suprapubik
transvesikal atau retropubik infravesikal
b. TURP
Reseksi kelenjar prostat dilakukan transuretra dengan mempergunakan
cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak
tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionik,
yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan
yang sering dipakai dan harganya cukup murah yaitu H2O steril (aquades). Pada
hiperplasi prostat yang tidak begitu besar, tanpa ada pembesaran lobus medius,
dan pada pasien yang umurnya masih muda hanya diperlukan insisi kelenjar
prostat atau TUIP (Transurethral incision of the prostate) atau insisi leher buli-
buli atau BNI (Bladder Neck Incision). Sebelum melakukan tindakan ini, harus
disingkirkan kemungkinan adanya karsinoma prostat dengan melakukan colok
dubur, melakukan pemeriksaan ultrasonografi transrektal, dan pengukuran kadar
PSA
c. Elektrovaporisasi prostat
Cara elektrovaporisasi prostat adalah sama dengan TURP, hanya saja
teknik ini memakai roller ball yang spesifik dan dengan mesin diatermi yang
cukup kuat, sehingga mampu membuat vaporisasi kelenjar prostat. Teknik ini
cukup aman, tidak banyak menimbulkan perdarahan pada saat operasi, dan masa
rawat di rumah sakit lebih singkat. Namun teknik ini hanya diperuntukkan pada
prostat yang tidak terlalu besar (<50 gram) dan membutuhkan waktu operasi
yang lebih lama.
d. Stent
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi
karena pembesaran prostat. Stent ini dipasang intraluminal di antara leher buli-

7
buli dan di sebelah proksimal verumontanum sehingga urin dapat leluasa melwati
lumen uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen.
Alat ini dipasang dan dilepas kembali secara endoskopi. Pemasangan alat ini
diperuntukkan bagi pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena risiko
pembedahan yang cukup tinggi. Seringkali stent dapat terlepas dari insersinya di
uretra posterior atau mengalami enkrustasi.
2. Kontrol berkala
Setiap pasien hiperplasia prostat yang telah mendapatkan pengobatan perlu
kontrol secara teratur untuk mengetahui perkembangan penyakitnya. Jadwal control
tergantung pada tindakan apa yang sudah dijalani. Pasien yang hanya mendapatkan
pengawasan dianjurkan kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk
mengetahui apakah terjadi perbaikan klinis. Penilaian dilakukan dengan pemeriksaan
skor IPSS, uroflowmetri, dan residu urin pasca miksi. Setelah pembedahan, pasien
harus menjalani kontrol paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui
kemungkinan terjadinya penyulit. Kontrol selanjutnya setelah 3 bulan untuk
mengetahui hasil akhir operasi. Pasien yang mendapat terapi invasfi minimal harus
menjalani control secara teratur dalam jangka waktu lama, yaitu setelah 6 minggu, 3
bulan, 6 bulan, dan setiap tahun. Pada pasien yang mendapatkan terapi invasive
minimal, selain dilakukan penilaian terhadap skor miksi, dilakukan pemeriksaan
kultur urin.

I. Klasifikasi Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)


Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan
berat gangguan miksi yang disebut WHO Prostate Symptom Score (PSS). Derajat
ringan: skor 0−7, sedang: skor 8−19, dan berat: skor 20−35 (Sjamsuhidajat dkk, 2012).
Selain itu, ada
juga yang membaginya berdasarkan gambaran klinis penyakit BPH. Derajat berat BPH
menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
1. Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.
2. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak
sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria
dan menjadi nocturia.
3. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urinemenetes secara
periodik (over flow inkontinen).
8
J. Faktor Resiko Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya BPH adalah :
Laki-laki yang memiliki usia ≥ 50 tahun memiliki risiko sebesar 6,24 (95% CI :
1,71-22,99) kali lebih besar disbanding dengan laki-laki yang berusia < 50 tahun.
Perubahan karena pengaruh usia tua menurunkan kemampuan buli-buli dalam
mempertahankan aliran urine pada proses adaptasi oleh adanya obstruksi karena
pembesaran prostat, sehingga menimbulkan gejala. Sesuai dengan pertambahan usia,
kadar testosteron mulai menurun secara perlahan pada usia 30 tahun dan turun lebih
cepat pada usia 60 tahun keatas.
Risiko BPH pada laki-laki dengan riwayat keluarga yang pernah menderita BPH
sebesar 5,28 (95% CI : 1,78-15,69) kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak
mempunyai riwayat keluarga yang pernah menderita BPH. Hasil penelitian ini sesuai
dengan beberapa penelitian sebelumnya, hal ini menunjukkan adanya asosiasi kausal dari
aspek konsistensi. Seseorang akan memiliki risiko terkena BPH lebih besar bila pada
anggota keluarganya ada yang menderita BPH atau kanker Prostat. Dimana dalam
riwayat keluarga ini terdapat mutasi dalam gen yang menyebabkan fungsi gen sebagai
gen penekan tumor mengalami gangguan sehingga sel akan berproliferasi secara terus
menerus tanpa adanya batas kendali. Hal ini memenuhi aspek biologic plausibility dari
asosiasi kausal.
Frekuensi yang rendah dalam mengkonsumsi makanan berserat memiliki risiko
yang lebih besar untuk terkena BPH. 5,35 (95% CI : 1,91-14,99) lebih besar
dibandingkan dengan yang mengkonsumsi makanan berserat dengan frekuensi tinggi.
Mekanisme pencegahan dengan diet makanan berserat terjadi akibat dari waktu transit
makanan yang dicernakan cukup lama di usus besar sehingga akan mencegah proses
inisiasi atau mutasi materi genetik di dalam inti sel. Pada sayuran juga didapatkan
mekanisme yang multifaktor dimana di dalamnya dijumpai bahan atau substansi anti
karsinogen seperti karoteniod, selenium dan tocopherol. Dengan diet makanan berserat
atau karoten diharapkan mengurangi pengaruh bahan-bahan dari luar dan akan
memberikan lingkungan yang akan menekan berkembangnya sel-sel abnormal.
Kebiasaan merokok menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki kebiasaan merokok
mempunyai risiko BPH 3,95 (95% CI : 1,34-11,56) lebih besar dibandingkan dengan
yang tidak memiliki kebiasaan merokok. Nikotin dan konitin (produk pemecahan
nikotin) pada rokok meningkatkan aktifitas enzim perusak androgen, sehingga
menyebabkan penurunan kadar testosterone.

A. Pengkajian Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)


Pengkajian merupakan pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar dapat mengidentifikasi,

9
mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan pasien, baik fisik,
mental, social dan lingkungan (Dermawan, 2012)
2. Pengumpulan data
a. Identitas pasien : Meliputi nama , umur, jenis kelamin, pekerjaan, alamat, tempat
tinggal
b. Riwayat penyakit sekarang : Pada pasien BPH keluhan keluhan yang ada adalah
frekuensi , nokturia, urgensi, disuria, pancaran melemah, rasa tidak puas sehabis
miksi, hesistensi ( sulit memulai miksi), intermiten (kencing terputus-putus), dan
waktu miksi memanjang dan akhirnya menjadi retensi urine.
c. Riwayat penyakit dahulu : Kaji apakah memilki riwayat infeksi saluran kemih
(ISK), adakah riwayat mengalami kanker prostat. Apakah pasien pernah menjalani
pembedahan prostat.
d. Riwayat penyakit keluarga : Adakah anggota keluarga yang mengalami penyakit
seperti yang dialami pasien, adakah anggota keluarga yang mengalami penyakit
kronis lainnya.
e. Riwayat psikososial dan spiritual : Bagaimana hubungan pasien dengan anggota
keluarga yang lain dan lingkungan sekitar sebelum maupun saat sakit, apakah
pasien mengalami kecemasan, rasa sakit, karena penyakit yang dideritanya, dan
bagaimana pasien menggunakan koping mekanisme untuk menyelesaikan masalah
yang dihadapinya.
3. Riwayat bio- psiko- sosial- spiritual
a. Pola Nutrisi
Bagaimana kebiasaan makan , minum sehari- hari, jenis makanan apa saja yang
sering di konsumsi, makanan yang paling disukai, frekwensi makanannya.
b. Pola Eliminasi
Pola eliminasi kaji tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu ragu,
menetes, jumlah pasien harus bangun pada malam hari untuk berkemih (nokturia),
kekuatan system perkemihan. Tanyakan pada pasien apakah mengedan untuk
mulai atau mempertahankan aliran kemih. Pasien ditanya tentang defikasi, apakah
ada kesulitan seperti konstipasi akibat dari prostrusi prostat kedalam rectum.
c. Pola personal hygiene
Kebiasaan dalam pola hidup bersih, mandi, menggunakan sabun atau tidak,
menyikat gigi.
d. Pola istirahat dan tidur
Kebiasaan istirahat tidur berapa jam ? Kebiasaan – kebiasaan sebelum tidur apa
saja yang dilakukan?
e. Pola aktivitas dan latihan

10
Kegiatan sehari-hari, olaraga yang sering dilakukan, aktivitas diluar kegiatan
olaraga, misalnya mengurusi urusan adat di kampung dan sekitarnya.
f. Kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan
Kebiasaan merokok, mengkonsumsi minum-minuman keras, ketergantungan
dengan obat-obatan ( narkoba ).
g. Hubungan peran
Hubungan dengan keluarga harmonis, dengan tetangga, teman-teman sekitar
lingkungan rumah, aktif dalam kegiatan adat ?
h. Pola persepsi dan konsep diri
Pandangan terhadap image diri pribadi, kecintaan terhadap keluarga, kebersamaan
dengan keluarga.
i. Pola nilai kepercayaan
Kepercayaan terhadapTuhan Yang Maha Esa, keyakinan terhadap agama yang
dianut, mengerjakan perintah agama yang di anut dan patuh terhadap perintah dan
larangan-Nya.
j. Pola reproduksi dan seksual
Hubungan dengan keluarga harmonis, bahagia, hubungan dengan keluarga
besarnya dan lingkungan sekitar
4. Riwayat pengkajian nyeri
P : Provokatus paliatif: Apa yang menyebabkan gejala? Apa yang bias memperberat ?
apa yang bisa mengurangi ?
Q : QuaLity-quantity: Bagaimana gejala dirasakan, sejauh mana gejala dirasakan
R : Region – radiasi: Dimana gejala dirasakan ? apakah menyebar?
S : Skala – severity: Seberapah tingkat keparahan dirasakan? Pada skala berapah ?
T : Time: Kapan gejala mulai timbul? Seberapa sering gejala dirasakan? tiba-tiba atau
bertahap ? seberapa lama gejala dirasakan?
5. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum sakit sedang, kesadaran compos mentis, suhu 37,5oC, nadi 60
b. 100X/ menit, RR 16-20x / menit tensi 120/ 80 mmHg.
c. Pemeriksaan head to toe
1) Kepala dan leher : Dengan tehnik inspeksi dan palpasi
a) Rambut dan kulit kepala : Pendarahan, pengelupasan, perlukaan, penekanan
b) Telinga : Perlukaan, darah, cairan, bauh ?
c) Mata : Perlukaan, pembengkakan, replek pupil, kondisi kelopak mata,
adanya benda asing, skelera putih ?
d) Hidung : Perlukaan, darah, cairan, nafas cuping, kelainan anatomi akibat
trauma?
e) Mulut : Benda asing, gigi, sianosis, kering?

11
f) Bibir : Perlukaan, pendarahan, sianosis, kering?
g) Rahang : Perlukaan, stabilitas ?
h) Leher : Bendungan vena, deviasi trakea, pembesaran kelenjar tiroid
2) Pemeriksaan dada
a) Inspeksi : Bentuk simetris kanan kiri, inspirasi dan ekspirasi pernapasan,
irama, gerakkan cuping hidung, terdengar suara napas tambahan bentuk
dada?
b) Palpasi : Pergerakkan simetris kanan kiri, taktil premitus sama antara kanan
kiri dinding dada.
c) Perkusi : Adanya suara-suara sonor pada kedua paru, suara redup pada
batas paru dan hipar.
d) Auskultasi : Terdengar adanya suara visikoler di kedua lapisan paru, suara
ronchi dan wheezing
3) Kardiovaskuler
a) Inspeksi: Bentuk dada simetris
b) Palpasi: Frekuensi nadi,
c) Parkusi: Suara pekak
d) Auskultasi: Irama regular, systole/ murmur.
4) System pencernaan
a) Inspeksi : Pada inspeksi perlu diperliatkan, apakah abdomen membuncit
atau datar , tapi perut menonjol atau tidak, lembilikus menonjol atau tidak,
apakah ada benjolan-benjolan / massa.
b) Palpasi: Adakah nyeri tekan abdomen, adakah massa ( tumor, teses) turgor
kulit perut untuk mengetahui derajat bildrasi pasien, apakah tupar teraba,
apakah lien teraba?
c) Perkusi: Abdomen normal tympanik, adanya massa padat atau cair akan
menimbulkan suara pekak ( hepar, asites, vesika urinaria, tumor,)
d) Auskultasi: Secara peristaltic usus dimana nilai normalnya 5- 35 kali
permenit.
5) Pemeriksaan extremitas atas dan bawah meliputi :
a) Warna dan suhu kulit
b) Perabaan nadi distal
c) Depornitas extremitas alus
d) Gerakan extremitas secara aktif dan pasif
e) Gerakan extremitas yang tak wajar adanya krapitasi
f) Derajat nyeri bagian yang cidera
g) Edema tidak ada, jari-jari lengkap dan utuh
h) Reflek patella

12
6) Pemeriksaan pelvis/genitalia
a) Kebersihan, pertumbuhan rambut.
b) Kebersihan, pertumbuhan rambut pubis, terpasang kateter, terdapat lesi atau
tidak

B. Diagnose Keperawatan Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)


Diagnosis keperawatan merupakan penilaian klinis terhadap pengalaman atau
respon individu, keluarga, atau komunitas pada masalah kesehatan, pada resiko masalah
kesehatan, atau pada proses kehidupan. Diagnosis keperawatan merupakan bagian vital
dalam menentukan asuhan keperawatan yang sesuai untuk membantu klien mencapai
kesehatan yang optimal.
Menurut (PPNI, 2017) menyatakan kriteria mayor merupakan tanda atau gejala
yang ditemukan 80%-100% pada klien untuk validasi diagnosis. Sedangkan kroteria
minor merupakan tanda atau gejala yang tidak harus ditemukan, namun jika ditemukan
dapat mendukung penegakkan diagnosis. Faktor yang berhubungan atau penyebab pada
masalah keperawatan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan status
kesehatan yang mencakup empat kategori yaitu : Fisiologis, biologis atau psikologis,
efek terapi atau tindakan, lingkungan atau personal, dan kematangan perkembanngan
(PPNI, 2017).
Berikut adalah uraian dari masalah yang timbul bagi penderita benign prostat
hyperplasia menurut (Pratiwi, 2017), (Usolin et al., 2018) yang disesuaikan dengan
Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : definisi dan indicator diagnostic, Edisi 1.
Jakarta : DPP PPNI), yaitu :
Pre operasi
a. Nyeri akut (D.0077)
b. Retensi urin (D.0050)
c. Gangguan Eliminasi urin (D.0040)
d. Ansietas (D.0080)
e. Gangguan pola tidur (D.0055)
f. Defisit pengetahuan (D.0111)
Post operasi :
a. Nyeri akut (D.0077)
b. Risiko Infeksi (D.0142)
c. Risiko perdarahan (D.0012)
Berikut adalah uraian dari masalah yang timbul bagi klien benigh prostat hyperplasia
menurut Standart Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI, 2017) :
Pre Operasi
1. Nyeri akut
1) Definisi
13
Pengalaman sensorikatau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan
actual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas
ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
2) Penyebab
Agen pencedera fisiologis (mis. Inflamasi, iskemia, neoplasma)
3) Gejala dan tanda Mayor
a) Subjektif
Mengeluh nyeri
b) Objektif
(1)Tampak meringis
(2)Bersikap protektif (mis.waspada posisi menghindari nyeri)
(3)Gelisah
(4)Frekuensi nadi meningkat
(5)Sulit tidur
4) Gejala dan data Minor
a) Subjektif
Tidak tersedia
b) Objektif
(1)Tekanan darah meningkat
(2)Pola nafas berubah
(3)Nafsu makan berubah
(4)Proses berfikir terganggu
(5)Menarik diri
(6)Berfokus pada diri sendiri
(7)Kondisi klinis terkait
2. Retensi urine
1) Definisi
Pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap.
2) Penyebab
Peningkatan tekanan uretra
3) Gejala dan tanda mayor
a) Subyektif
Sensasi penuh pada kandung kemih
b) Obyektif
Dysuria/anuria
Distensi kandung kemih
4) Gejala dan tanda minor
a) Subjektif

14
(1) Dribbling
b)Objektif
(1) Inkontinensia berlebih
(2) Residu urin 150ml atau lebih
(3) Kondisi klinis terkait
(4) Benigna prostat hyperplasia
3. Gangguan eliminasi urine
a. Definisi
Disfungsi eliminasi urin
b. Penyebab
Penurunan kapasitas kemih

a) Iritasi kandung kemih


b) Penurunan kemampuan menyadari tanda-tanda gangguan kandung kemih
c) Efek tindakan media dan diagnostic (mis. Operasi ginjal, operasi saluran
kemih, anestesi, dan obat-obatan)
d) Kelemahan otot pelvis
e) Ketidakmampuan mengakses toilet (mis. Imobilisasi)
c. Gejala dan tanda mayor
a) Sybjektif
1. Desakan berkemih (urgensi)
2. Urin menetes (dribbling)
3. Nocturia
b) Objektif
1. Distensi kandung kemih
2. Berkemih tidak tuntas (hesitancy)
3. Volume residu urin meningkat
d. Gejala dan tanda minor
a) Subjektif
-
b) Objektif
-
e. Kondisi Klinis Terkait
a) Saluran kemih
Post operasi
1. Nyeri akut
1) Definisi

15
Pengalaman sensorikatau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan
actual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas
ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
2) Penyebab
Agen pencedera fisiologis (mis. neoplasma)
3) Gejala dan tanda Mayor
a) Subjektif
(1) Mengeluh nyeri
b) Objektif
(1) Tampak meringis
(2) Bersikap protektif (mis.waspada posisi menghindari nyeri)
(3) Gelisah
(4) Frekuensi nadi meningkat
(5) Sulit tidur
4) Gejala dan data Minor
a) Subjektif
Tidak tersedia
b) Objektif
(1) Tekanan darah meningkat
(2) Pola nafas berubah
(3) Menarik diri
(4) Berfokus pada diri sendiri
(5) Diaforesis
5) Kondisi klinis terkait
a) Kondisi pembedahan
2. Resiko infeksi
1) Definisi
Berisiko mengalami peningkatan terserang organisme patogenik.
2) Faktor Risiko :
a) Efek prosedur invasive
b) Peningkatan paparan organisme pathogen lingkungan
c) Ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer :
d) Kerusakan integritas kulit
3) Faktor yang berhubungan :
a) Tindakan invasive

C. Intervensi Keperawatan Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)


Intervensi keperawatan merupakan segala bentk terapi yang dikerjakan oleh
perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai
16
peningkatan, pencegahan dan pemulihan kesehatan klien individu, keluarga, dan
komunitas.
Intervensi Keperawatan pre operasi benigna prostat hyperplasia
No Diagnosa Tujuan Intervensi
1. Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri (D.l.08238)
berhubungan tindakan 1) Obsevasi
dengan agen keperawatan Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
pencedera selama …x… frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
fisiologis diharapkan nyeri Identifikasi skala nyeri Identifikasi
(Mis.Neoplas menurun dengan respons nyeri non verbal Identifikasi
ma) ( D.0077 Kriteris hasil factor yang memperberat dan
) (D.L.08066) : memperingan nyeri Identifikasi
3. Kemampuan pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
pasien untuk Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
menuntaskan hidup Monitor keberhasilan terapi
aktivitas komplementer yang sudah di berikan
menurun Monitor efek samping penggunaan
4. Keluhan nyeri analgesi
menurun 2) Terapeutik
5. Pasien tampak Berikan Teknik Nonfarmakologis untuk
meringis mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
menurun hypnosis, akupresur, terapi music,
6. Frekuensi nadi biofeedback, terapi pijat, aromaterapi,
membaik Teknik imajinasi terbimbing, kompres
7. Pola nafas hangat/dingin, terapi bermain) Kontrol
membaik lingkungan yang memperberat rasa nyeri
8. Tekanan darah (mis. Suhu ruangan, pencahayaan,
membaik kebisingan) Fasilitasi istirahat
9. Fungsi Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
berkemih dalam pemilihan strategi meredakan
membaik nyeri.
10.Perilaku 3) Edukasi
membaik Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
11.Pola tidur nyeri Jelaskan strategi
membaik meredakan nyeri Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri Anjurkan
menggunakan analgetik secara tepat
Ajarkan Teknik nonfarmakologi untuk

17
mengurangi rasa nyeri
4) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu
2. Retensi urin Setelah dilakukan Manajemen eliminasi urine
berhubungan tindakan (l.04152)
dengan keperawatan 1) Observasi
peningkatan selama…x… Identifikasi penyebab retensi urine ( mis.
tekanan kemampuan Peningkatan tekanan uretra, kerusakan
uretra berkemih membaik arkus reflek, disfungsi neurologis, efek
(D.0050) dengan kriteria agen farmakologis) Monitor intake dan
hasil (L.03019) : output cairan Monitor distensi kandung
1) Sensasi kemih dengan palpasi/perkusi Pasang
berkemih kateter urine, jika perlu
meningkat 2) Terapeutik
2) Desakan Catat waktu-waktu dan haluaran
kandung kemih berkemih Batasi asupan cairan Ambil
menurun sampel urine tengah (midstream) atau
3) Distensi kultur
kandung kemih 3) Edukasi
menurun Jelaskan penyebab retensi urine Anjurkan
4) Berkemih tidak pasien atau keluarga mencatat output
tuntas menurun urine Ajarkan cara melakukan rangsangan
5) Nocturia berkemih Anjurkan mengambil posisi
menurun yang nyaman Demontrasikan dan latih
6) Dysuria teknik relaksasi (mis. Napas dalam,
menurun peregangan, atau imajinasi terbimbing)
7) Frekuensi BAK 4) Kolaborasi
membai Kolaborasi pemberian obat suposutoria
8) Karakteristik uretra, jika perlu
urine membaik
3. Gangguan Setelah dilakukan Manajemen eliminasi urin & katerisasi urine
eliminasi urin tindakan (l.04148)
berhubungan keperawatan 1) Observasi
dengan selama …x… identifikasi tanda dan gejala retensi atau
penurunan diharapkan pola inkontenensia urine identifikasi factor
kapasitas eliminasi kembali yang menyebabkan retensi atau
kandung normal dengan inkokntenensia urine monitor urine (mis.
kemih kriteria hasil Frekuensi, konsistensi, aroma, volume,

18
(D.0040) (L.03019) : dan warna )
a. Sensasi berkemih 2) Terapeutik
meningkat catat waktu-waktu dan haluaran berkemih
b. Desakan kandung batasi asupan cairan, jikaperlu
kemih menurun 3) Edukasi
c. Distensi kandung ajarkan tanda dan gejala infeksi saluran
kemih menurun kemih ajarkan minum yang cukup jika
d. Berkemih tidak tidak ada kontraindikasi jelaskan tujuan
tuntas menurun dan prosedur pemasangan kateter urine
e. Nocturia anjurkan menarik nafas saat insersi selang
menurun urine
f. Dysuria menurun 4) Kolaborasi
kolaborasi pemberian obat suposutoria
uretra, jika perlu
4. Ansietas Setelah dilakukan Reduksi ansietas (l.09314)
berhubungan tindakan 2) Obeservasi
dengan krisis keperawatan identifikasi saat tingkat ansietas berubah
situasional selama …x… ( mis. Kondisi, waktu, stresor)
(D.0080) diharapkan pasien identifikasi kemampuan mengambil
tidak cemas dengan mengambil keputusan monitor tanda-
kriteria hasil tanda ansietas ( verbal dan nonverbal
(L09093): 3) Terapeutik
6) Perilaku gelisah ciptakan suasana terapeutik untuk
menurun menumbuhkan kepercayaan temani
7) Perilaku tegang pasien untuk mengurangi kecemasan, jika
menurun memungkinkan gunakan pendekatan yang
8) Frekuensi tenang dan meyakinkan motivasi
pernafasan mengidentifikasi situasi yang memicu
menurun kecemasan
9) Frekuensi nadi 4) Edukasi
membaik Informasikan secara factual mengenai
10) Konsentrasi diagnosis, pengobatan, dan prognosis
pola tidur anjurkan mengungkapkan perasaan dan
membaik presepsi latih Teknik relaksasi anjurkan
11) Pola keluarga untuk tetap Bersama pasien, jika
berkemih perlu latih kegiatan pengalihan untuk
membaik mengurangi ketegangan latih penggunaan
mekanisme pertahanan diri yang tepat

19
5) Kolaborasi
kolaborasi pemberian obat antiansietas,
jika perlu
5. Gangguan Setelah dilakukan Dukungan tidur (l.05174)
1) Observasi
pola tidur tindakan selama
identifikasi pola aktivitas dan tidur
berhubungan …x… keperawatan
Identifikasi factor pengganggu tidur (fisik
dengan pasien diharapkan
dan/atau psikologis) Identifikasi makanan
nyeri/kolik pola tidur membaik
atau miuman yang menggangu tidur
(D.0055) dengan kriteria
2) Terapeutik
hasil (L.05045) :
Modifikasi lingkungan Fasilitasi
1) keluhan sulit
penghilang stress jika perlu Lakukan
tidur membaik
prosedur untuk meningkatkan
2) keluhan sering
kenyamanan Sesuaikan jadwal
terjaga
pemberian obat dan/atau tindakan untuk
3) keluhan tidak
menunjang siklus tisur- terjaga
puas tidur
3) Edukasi Jelaskan pentingnnya tidur
4) keluhan pola
cukup selama sakit Ajarkan relaksasi otot
tidur berubah
autogenic atau cara nonfarmakologi
menurun
lainnya
5) keluhan istirahat
tidak cukup
menurun
6. Defisit Setelah dilakukan Edukasi kesehatan (l.12383)
1) Observasi
pengetahuan tindakan
Identifikasi kesiapan dan kemampuan
berhubungan keperawatan
menerima informasi Identifikasi bahaya
dengan selama …x…
keamanan di lingkungan (mis. Fisik,
kurang diharapkan tingkat
biologi, dan kimia)
terpapar pengetahuan
2) Terapeutik
informasi meningkat dengan
Sediakan materi dan media Pendidikan
(D.0111) kriteria hasil
kesehatan Jadwalkan Pendidikan
(L.12111) :
kesehatan Berikan kesempatan untuk
6) perilaku sesuai
bertanya
anjuran
3) Edukasi
meningkat
Jelaskan factor risiko yang dapat
7) kemampuan
mempengaruhi kesehatan Ajarkan
menjelaskan
perilaku hidup sehat Ajarkan strategi
pengetahuan
yang dapat digunakan untuk
tentang suatu
meningkatkan perilaku hidup bersih dan
topik meningkat

20
8) pertanyaan sehat
tentang masalah
yang dihadapi
menurun
9) pertanyaan
tentang masalah
yang dihadapi
meninkat
10) perilaku
membaik

Intervensi keperawatan post operasi benigna prostat hyperplasia


No Diagnosa Tujuan Intervensi
1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri (l.08238)
berhubugan keperawatan selama …x… 1) Observasi
dengan diharapkan nyeri menurun Identifikasi factor pencetus dan
tindakan dengan kriteria hasil (L.08066) Pereda nyeri Monitor kualitas
invasive : nyeri (mis. Terasa tajam,
(D.0077) 4) Keluhan nyeri menurun tumpul, diremas-remas, ditimpa
5) Meringis menurun beban berat) Monitor lokasi
6) Gelisah menurun dan penyebaran nyeri Monitor
7) Frekuensi nadi membaik intensitas nyeri dengan
8) Pola napas membaik menggunakan skala Monitor
9) Tekanan darah membaik durasi dan frekuensi nyeri
10) Fungsi berkemih membaik 2) Terapeutik
Atur interval waktu
pemantauan sesuai dengan
kondisi pasien Dokumentasikan
hasil pemantauan
3) Edukasi Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
Informasikan hasilpemantauan,
jika perlu
4) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian dosis
dan jenis analgetik, sesuai
indikasi

2. Risiko infeksi Setelah dilakukan tindakan Pencegahan infeksi (l.14539)

21
dibuktikan keperawatan selama …x… 11) Observasi
dengan diharapkan tingkat infeksi Periksa kesiapan dan
tindakan menurun dengan kriteria hasil kemampuan menerima
invasive (L.14137) : informasi Jelaskan tanda dan
(D.0142) 1) kebersihan tangan gejala infeksi local dan
meningkat sistemik
2) kadar sel putih membaik 12) Edukasi
3) kemerahan menurun Anjurkan membatasi
4) kebersihan badan meninkat pengunjung Ajarkan cara
5) demam menurun merawat kulit pada daerah
6) nyeri menurun yang edema Anjurkan nutrisi,
7) bengkak menurun cairan dan istirahat Anjurkan
mengelola antibiotic sesuai
resep Ajarkan cara mencuci
Tangan
3. Risiko Setelah dilakukan tindakan Pencegahan perdarahan (l.02067)
perdarahan keperawatan selama …x… 1) Observasi
dibuktikan diharapkan tingkat perdarahan Monitor tanda dan gejala
dengan menurun dengan kriteria hasil perdarahan Monitor nilai
tindakan (L.02017): hematocrit/hemoglobin
pembedahan 1) Kelembapan membrane sebelum dan setelah kehilangan
(D.0012) mukosa meningkat darah Monitor tanda tanda vital
2) Kelembaban kulit ortostatik Monitor koagulasi
meningkat (mis. Prontombin time (PT),
3) Kognitfi meningkat (PTT), fibrinogen, degrradasi
4) Hemoptosis menurun fibrin.
5) Hematemesis menurun 2) Terapeutik
6) Hematuria menurun Pertahankan bed rest selama
7) Perdarahan pasca operasi perdarahan Batasi tindakan
menurun invasive, jika perlu Jelaskan
8) Hemoglobin membaik tanda dan gejala perdarahn
9) Hematocrit membaik Anjurkan segera melapor jika
10) Tekanan darah membaik terjadi perdarahan
11) Denyut nadi apical 3) Kolaborasi
membaik Kolaborasi produk darah, jika
12) Suhu tubuh membaik perlu

22
D. Implementasi Keperawatan Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat
untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status kesehatan
yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Gordon, 1994, dalam
(Potter & Perry, 2011). Komponen tahap implementasi :
a. Tindakan keperawatan mandiri
b. Tindakan keperawatan kolaboratif
c. Dokumentasi tindakan keperawatan dan respon klien terhadap asuhan keperawatan

E. Evaluasi Keperawatan Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)


Evaluasi, yaitu penilaian hasil dan proses. Penilaian hasil menentukan seberapa jauh
keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran dari tindakan. Penilaian proses menentukan
apakah ada kekeliruan dari setiap tahapan proses mulai dari pengkajian, diagnosa,
perencanaan, tindakan, dan evaluasi itu sendiri. (Ali, 2009)Evaluasi dilakukan berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya dalam perencanaan, membandingkan hasil
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan dengan tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya dan menilai efektivitas proses keperawatan mulai dari tahap
pengkajianperencanaan dan pelaksanaan (Mubarak,dkk.,2011). Evaluasi disusun
menggunakan SOAP dimana: (Suprajitno dalam Wardani, 2013):
S: Ungkapan perasaan atau keluhan yang dikeluhkan secara subjektif oleh keluarga setelah
diberikan implementasi keperawatan.
O: Keadaan objektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat menggunakan pengamatan
yang objektif.
A: Analisis perawat setelah mengetahui respon subjektif dan objektif.
P: Perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisis. Tugas dari evaluator adalah
melakukan evaluasi, menginterpretasi data sesuai dengan kriteria evaluasi, menggunakan
penemuan dari evaluasi untuk membuat keputusan dalam memberikan asuhan keperawatan.
(Nurhayati, 2011) Ada tiga alternative dalam menafsirkan hasil evaluasi yaitu :
1. Masalah teratasi
Masalah teratasi apabila pasien menunjukkan perubahan tingkah laku dan
perkembangan kesehatan sesuai dengan kriteria pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan.
2. Masalah sebagian teratasi
Masalah sebagian teratasi apabila pasien menunjukkan perubahan dan perkembangan
kesehatan hanya sebagian dari kriteria pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
3. Masalah belum teratasi
Masalah belum teratasi, jika pasien sama sekali tindak menunjukkan perubahan
perilaku dan perkembangan kesehatan atau bahkan timbul masalah yang baru.

23
DAFTAR PUSTAKA

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan
Tindakan Keperawatan. Edisi 1. Cetakan II. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat
PPNI
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Edisi 1. Cetakan III. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI

24
Huda Amin, Kusuma Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis dan Nanda Nic Noc. Edisi Revisi Jilid 1. Yogyakarta: Percetakan
Medication Publishing Jogjakarta
Ivanka Nelvia. 2020. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN PRE OPERASI DENGAN
BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA. Karya Tulis Ilmiah. Prodi D3
Keperawatan. Jurusan Keperawatan. Poltekkes Kemenkes Kalimantan Timur.
Samarinda.
Bimandama M.A, Kurniawati E. 2018. Benign Prostatic Hyperplasia dengan Retensi Urin dan
Vesicolithiasis. J Agromedicine Unila. Volume 5 | Nomor 2.
https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/agro/article/view/2129 [1 februari
2021
RNI Saputra. 2016. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Benign Prostate Hypeplasia (BPH)
[online]. Tersedia :
http://eprints.undip.ac.id/50788/3/RISKI_NOVIAN_INDRA_SAPUTRA_22010
112110111_Lap.KTI_BAB_II.pdf [31 januari 2021]

25

Anda mungkin juga menyukai