Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Benign Prostatic Hyperplasia

1. Definisi BPH

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang

sering terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormon

prostat (Elin, 2011). Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) yaitu kelenjar

prostat yang mengalami pembesaran, yang dapat menyumbat uretra pars

prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-

buli (Purnomo 2011).

Menurut Jitowiyono & Kristiyanasari (2012) Benigna prostatic

hyperplasia merupakan pembesaran jinak kelenjar prostat, yang

disebabkan hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat meliputi

jaringan kelenjar/jaringan fibromuskular yang menyebabkan penyumbatan

uretra pars prostatika. Sedangkan Yasmara (2016) mengatakan bahwa,

BPH merupakan pertumbuhan histologi nonmalignant elemen glanduler

prostat yang dapat menyumbat jalan keluar uretra sehingga menimbulkan

berbagai gejala saluran kemih bawah yang mengganggu, seperti

hematuria, infeksi saluran kemih (ISK), atau gangguan fungsi saluran

kemih atas.

Jadi, bedasarkan dari beberapa ahli dapat disimpulkan BPH adalah

suatu kondisi dimana sistem perkemihan mengalami ganguan yang

desebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat, umumnya terjadi laki-laki

yang mengenai bagian uretra yang mengakibatkan tersumbatnya bagian

6
7

uretra pars prostatika sehingga menimbulkan gangguan dalam proses

berkemih.

2. Etiologi atau Penyebab

Etiologi atau penyebab terjadinya BPH hingga saat ini belum

diketahui secara pasti, namun beberapa hipotesisi menyebutkan bahwa

BPH erat kaitanya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT)

dan proses menua. Teori tentang penyebab BPH meliputi: Teori DHT,

teori hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron), faktor

interaksi stroma dan epitel-epitel, teori berkurangnya kematian sel

(apoptosis), teori sel stem (Purnomo, 2011).

a. Teori Dehidrotestosteron(DHT)

DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada

pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Pada berbagai penelitian

dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan

kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim

5alfa –reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH.

Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive terhadap

DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan

prostat normal.

b. Teori hormon ( ketidakseimbangan antara estrogen dantestosteron)

Usia yang semakin tua, menyebabkan terjadinya penurunan

kadar testosteron yang berfungsi untuk menahan perkembangan sel

prostat, sedangkan hormon estrogen relatif tetap sehingga terjadi

ketidakseimbangan hormon estrogen dan testosteron. Hormon estrogen


8

didalam prostat memiliki peranan dalam terjadinya poliferasi sel-sel

kelenjar prostat dengan cara meningkatkan jumlah reseptor androgen,

dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Akibat

ketidakseimbangan estrogen dan testosteron, pertumbuhan sel-sel baru

terus meningkat dan umur sel prostat dewasa menjadi lebih panjang

karena penurunan apoptosis, sehingga mengakibatkan masa prostat jadi

lebih besar.

c. Faktor interaksi Stroma dan epitelepitel.

Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak

langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang

disebut Growth factor.DHT dan estradiol menstimulasi sel-sel stroma

setelah itu sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang

selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan

autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel parakrin.Stimulasi itu

menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel

stroma.Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel

stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien

dengan pembesaran prostad jinak.bFGF dapat diakibatkan oleh adanya

mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.

d. Teori berkurangnya kematian sel(apoptosis)

Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah

mekanisme fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar

prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel, yang

selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh


9

sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada

jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju poliferasi sel

dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada

prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang

mati dalam keadaan seimbang. Apabila terjadi ketidakseimbangan

antara sel yang baru dengan sel prostat yang mengalami apoptosis maka

akan menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi

meningkat sehingga terjadi pertambahan masa prostat.

e. Teori sel stem

Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel

baru. Istilah tersebut di dalam kelenjar prostat dikenal dengan suatu sel

stem yaitu sel yang mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat

ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan

hormone androgen, sehingga jika hormone androgen kadarnya

menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-sel BPH

dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi

produksi yang berlebihan sel stroma maupun selepitel.

3. Patofisiologi

Punomo (2011) menyebutkan terdapat 5 teori penyebab terjadinya

BPH, salah satu teori penyebab BPH yaitu teori mengenai

Dihydrotestosteron (DHT). Prabowo & Pranata (2014) mengatakan

hormon DHT merupakan hormon yang memacu pertumbuhan prostat

sebagai kelenjar ejakulasi yang nantinya akan mengoptimalkan fungsinya.

Hormon ini disentesis dalam kelenjar prostat dari hormon testosteron


10

dalam darah. Proses sintesis ini dibantu oleh enzim 5a-reduktase tipe 2.

Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH

tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada

BPH, aktivitas enzim 5alfa –reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih

banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih

sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi

dibandingkan dengan prostat normal (Purnomo, 2011).

Selain DHT, estrogen juga memiliki pengaruh terhadap

pembesaran prostat. Seiring dengan pertambahan usia, maka prostat akan

lebih sensitif dengan stimulasi androgen, sedangkan estrogen mampu

memberikan proteksi terhadap BPH. Dengan pembesaran yang sudah

melebihi normal, maka akan terjadi desakan traktus urinarius (Prabowo &

Pranata, 2014). Pembesaran kelenjar prostat dapat diatasi dengan operasi

TURP yang dapat menimbulkan retensi urin yang sering terjadi karena

adanya cloth yang menyumbat di saluran kemih.


11

4. Pathway
Ketidakseimbangan produksi hormon
Peningkatan kadar Dihydrotestosteron (DHT)
estrogen dan testosteron

BPH

Operasi TURP (Transurethral Resection of the Prostate)


Ketakutan akibat
Post Operasi Resiko impotensi pembedahan

Insisi prostatektomi Pemasangan Kateter Kerusakan jaringan Perubahan disfungsi


threeway periuretral seksual
Terputusnya kontinuitas
jaringan Bekuan darah Kerusakan integritas
Nyeri akut
jaringan

Penurunan pertahanan Spasme urin


tubuh Resiko Gangguan pola
perdarahan tidur
Retensi urine
Resiko infeksi Kurang
Pengetahuan

Gambar 2.1 Pathway BPH

11
12

5. Manifestasi Klinis

Pasien BPH dapat menunjukan berbagai macam tanda dan gejala.

Gejala BPH berganti-ganti dari waktu-kewaktu dan mungkin dapat

semakin parah, menjadi stabil, atau semakin buruk secara spontan (Elin,

2011). Sedangkan Haryono (2014) mengatakan bahwa gejala-gejala pada

BPH dikenal sebagai Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS), yang

dibedakan menjadi:

a. Gejala Obstruktif :

1) Hesistancy yaitu memulai buang air kecil yang lama disertai

dengan mengejan yang disebabkan oleh otot destrusor buli-buli

memerlukan waktu beberapa lama untuk meningkatkan tekanan

intravesikal guna mengatasi tekanan dalam uretra prostatika.

2) Intermitency yaitu aliran kencing yang terputus-putus disebabkan

oleh ketidakmampuan otot destrusor dalam mempertahankan

tekanan intravesika sampai berakhirnya miksi.

3) Terminal dribbling yaitu menetesnya urin pada akhir buang air

kecil.

4) Pancaran lemah, yaitu kelemahan kekuatan dan pancaran destrusor

memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan uretra.

5) Perasaan tidak puas setelah berakhirya buang air kecil.

b. Gejala iritasi

1) Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.

2) Bertambahnya frekuensi miksi lebih dari 8 kali dalam sehari.

3) Disuria yaitu terasa sakit saat buang air kecil.


13

4) Nokturia yaitu keinginan untuk sering buang air kecil dimalam

hari.

6. Komplikasi

Post operasi pada pasien BPH dapat menyebabkan berbagai macam

komplikasi. Komplikasi pasca operasi BPH dapat dibagi menjadi dua

kelompok utama, yaitu komplikasi jangka pendek dan komplikasi jangka

panjang (Tanagh dan Anninch, 2008).

1) Komplikasi akut / jangka pendek meliputi :

1) Sindrom TUR

Sindroma TUR adalah suatu keadaan klinik yang ditandai dengan

kumpulan gejala akibat gangguan neurologik, kardiovaskuler, dan

elektrolit yang disebabkan oleh diserapnya cairan irigasi melalui

vena-vena prostat atau cabangnya pada kapsul prostat yang terjadi

selama operasi

2) Perdarahan

Komplikasi tersering pasca operasi TURP adalah perdarahan.

Perdarahan dapat disebabkan oleh spasme prostat ataupun

pergerakan. Sumber perdarahan umumnya berasal dari pembuluh

darah vena.

3) Infeksi-Bakteremia

Bakteri yang berada di saluran kencing dapat memasuki sirkulasi

sistemik melalui pembuluh darah prostat yang terbuka saat

pembedahan. Pasien-pasien berkateter memilki resiko 50% lebih


14

tinggi. Semakin lama kateter terpasang, semakin besar pula resiko

terjadinya infeksi.

4) Obstruksi kateter, kateter urin dapat tersumbat oleh bekuan darah

atau sisa sisa jaringan.

2) Komplikasi jangka panjang meliputi :

1) Ejakulasi retrograd

Kondisi ini terjadi pada 65% pasien. Saat ejakulasi terjadi, semen

yang diproduksi justru dikeluarkan ke arah kandung kemih,

bukannya ke arah penis seperti sebagaimana mestinya. Kondisi ini

tidak berbahaya. Semen akan dikeluarkan saat pasien buang air kecil.

Gairah seksual dan pencapaian orgasme tidak terganggu.

2) Disfungsi ereksi

Nervus yang mengendalikan ereksi secara anatomis terletak di dekat

kelenjar prostat. Nervus ini bisa saja rusak saat operasi dilakukan.

Namun banyak penelitian menyatakan bahwa TURP tidak

mengakibatkan gangguan ereksi. Beberapa trial justru menyatakan

bahwa fungsi ereksi justru membaik pasca dilakukannya TURP.

3) Kelenjar prostat yang membesar lagi setelah dilakukannya operasi

yang mengakibatkan seorang pasien dapat menjalani TURP lebih

dari satu kali.

4) Inkontinensia, dapat terjadi bila otot sphincter di leher kandung

kemih rusak saat operasi dilakukan.


15

7. Pemeriksaan Penunjang

Prabowo dan Pranata (2014) mengatakan bahwa

pemeriksaanpenunjang yangdilakukan pada pasien dengan BPH meliputi:

a. Urinalisis dan Kultur Urine

Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan

Red Blood Cell (RBC) dalam urine yang memanifestasikan adanya

perdarahan / hematuria.

b. Deep Peritoneal Lavage (DPL)

Pemeriksaan pendukung ini untuk melihat ada tidaknya

perdarahan internal dalam abdomen. Sampel yang diambil adalah cairan

abdomen dan diperiksa jumlah sel darah merahnya.

c. Ureum, Elektrolit dan Serum Kreatinin

Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini

sebagai data pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi dari

BPH, karena obstruksi yang berlangsung kronis seringkali

menimbulkan hidronefrosis yang lambat laun akan memperberat fungsi

ginjal dan pada akhirnya menjadi gagal ginjal.

d. Patologi Anatomi (PA)

Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jarigan pasca operasi.

Sampel jaringan akan dilakukan periksaan mikroskopis untuk

mengetahui apakah hanya bersifat benigna atau maligna, sehingga akan

menjadi landasan untuk treatment selanjutnya.


16

e. Catatan harian berkemih

Setiap hari perlu dilakukan evaluasi output urine,sehingga akan

terlihat bagaimana siklus rutinitas miksi dari pasien. Data ini menjadi

bekal untuk membandingkan dengan pola eliminasi urine yang normal.

f. Uroflometri

Dengan menggunakan alat pengukur, maka akan terukur

pancaran urine. Pada obstruksi dini seringkali pancaran melemah

bahkan meningkat. Hal ini disebabkan obstruksi dari kelenjar prostat

pada traktus urinarius. Selain itu, volume residu urine juga harus

diukur. Normalnya residual urine < 100ml. Namun, residual yang tinggi

membuktikan bahwa vesika urinaria tidak mampu mengeluarkan urine

secara baik karena adanya obstruksi.

g. USG Ginjal dan Vesika Urinaria

USG ginjal bertujuan untuk melihat adanya komplikasi penyerta

dari BPH, misalnya hidronefrosis. Sedangkan USG pada vesika urinaria

akan memperlihatkan gambaran pembesaran kelenjar prostat.

h. Pengukuran Besarnya Hiperplasia Prostat

Menurut Haryono (2014) ada 3 cara untuk mengukur besarnya

hiperplasia prostat yaitu:

1) Rectal grading

Rectal grading atau rectal toucher dilakukan dalam keadaan

buli-buli kosong. Sebab bila buli-buli penuh dapat terjadi kesalahan

dalam penilaian. Dengan rectal toucher diperkirakan dengan

beberapa cm prostat menonjol ke dalam lumen dan rektum.


17

Menonjolnya prostat dapat ditentukan dalam grade. Pembagian

grade sebagai berikut:

0-1 cm : Grade 0

1-2 cm : Grade 1

2-3 cm : Grade 2

3-4 cm : Grade 3

Lebih 4 cm : Grade 4

Biasanya pada grade 3 dan 4 batas dari prostat tidak dapat

diraba karena benjolan masuk ke dalam cavum rectum. Bila kecil

(grade 1) maka terapi yang baik adalah TURP (Trans Urethral

Resection Prostat). Bila prostat besar sekali (grade 3- 4) dapat

dilakukan prostatektomi terbuka secara transvesical.

2) Clinical grading

Pada pengukuran ini yang menjadi patokan adalah

banyaknya sisa urin. Pengukuran ini dilakukan dengan cara

meminta pasien berkemih sampai selesai saat bangun pagi,

kemudian memasukan kateter ke dalam kandung kemih untuk

mengukur sisa urin.

Sisa urin 0 cc : Normal

Sisa urin 0-50 cc : Grade 1

Sisa urin 50-150 cc : Grade 2

Sisa urin >150 cc : Grade 3

Sama sekal tidak bisa berkemih : Grade 4


18

3) Intra urethra grading

Untuk melihat seberapa jauh penonjolan lobus lateral ke

dalam lumen urethra. Pengukuran ini harus dapat dilihat dengan

penendoskopi dan sudah menjadi dari urologi yang spesifik.

8. Penatalaksanaan

Menurut Haryono (2013), penatalaksanaan yang dapat dilakukan

pada pasien BPH antara lain:

a. Terapi medikamentosa

1) Penghambat andrenergik a, misalnya prazonin, doxazosin,

alfluzosin atau a la (tamsulosin)

2) Penghambat enzim 5-a- reduktase, misalnya finasteride (poscar).

3) Fototerapi, misalnya eviprostat.

b. Terapi bedah: Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi

tergantung beratnya gejala dan komplikasi. Indikasi terapi bedah,

yaitu:

1) Retensio urin berulang

2) Hematuria yaitu kondisi terdapatnya sel darah merah pada urin.

3) Tanda penurunan fungsi ginjal

4) Infeksi saluran kencing berulang

5) Tanda-tanda obstruksi berat yaitu diventrikel, hidroureter, dan

hidronefrosis

6) Ada batu saluran kemih


19

B. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap dari awal proses keperawatan sebagai

dasar untuk pemberian asuhan keperawatan yang aktual. Tujuan

dilakukannya tahap pengkajian adalah mengumpulkan, mengorganisasi,

dan mendokumentasikan data yang menjelaskan respons klien yang

mempengaruhi pola kesehatannya. Suatu pengkajian yang komprehensif

atau menyeluruh, sistematis, dan logis akan mengarah dan mendukung

identifikasi masalah kesehatan klien. Masalah ini menggunakan data

pengkajian sebagai dasar formulasi untuk menegakkan diagnosis

keperawatan (Nursalam, 2011).

Pengkajian pada klien post operasi BPH yaitu mengkaji kesadaran

pasien, status vital sign, mengkaji tanda-tanda perdarahan, monitor

drainase, mengkaji klien apakah mengalami keterbatasan gerak, kaji nyeri

secara komprehensif, kaji eliminasi urin, kaji bagaimana selang kateter

pada klien (Nursalam & Baticaca, 2009)

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan

respons manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari

individu atau kelompok dimana perawat sacara akuntabilitas dapat

mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga

status kesehatan, mencegah komplikasi, serta mengubah status kesehatan

(Nursallam, 2011).
20

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada post operasi

BPH menurut Tucker dan Canobbio (2008) adalah :

a. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah,

edema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.

b. Nyeri akut berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi

sekunder pada pembedahan

c. Resiko perdarahan berhubungan dengan insisi area bedah vaskuler

(tindakan pembedahan) , reseksi bladder, kelainan profil darah.

d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama

pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih.

e. Resiko terhadap disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan

impoten akibat dari pembedahan.

f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek

pembedahan

g. Kurang pengetahuan berhubungan dengan resiko terhadap disfungsi

seksual dan resiko perdarahan akibat kerusakan jaringan periuretral

Berdasarkan beberapa kemungkinan diagnosa keperawatan yang

dapat muncul pada pasien post operasi BPH, pada karya tulis ini penulis

memfokuskan pada diagnosa keperawatan retensi urin post operasi BPH.

a. Definisi retensi urine

Menurut Herdman dan Kamitsuru (2015) retensi urine adalah

pengosongan kandung kemih tidak tuntas. Retensi urine atau yang

dikenal sebagai ketidakmampuan berkemih karena adanya penumpukan

urine di dalam kandung kemih (Saryono & Widianti, 2011). Retensi


21

urin adalah ketidakmampuan dalam mengeluarkan urine sesuai dengan

keinginan, sehingga urine yang terkumpul di buli-buli melampaui batas

maksimal (Purnomo, 2011). Menurut Smeltzer dan Bare (2010),retensi

urin dapat terjadipada setiap pasien pascaoperatif, khusunya pasien

yang menjalani operasi di daerah perineum atau anal sehingga timbul

spasme-reflek sfingter.

b. Etiologi atau penyebab

Penyebab retensiurin secara garis besar retensi urin disebabkan

oleh obstruksi, infeksi, faktor farmakologi, faktor neurologi dan faktor

trauma (Selius & Subedi, 2008). Penyebab retensi urin dibagi menurut

lokasi kerusakan syaraf (Sulli, 2011) :

1) Supravesikal

Berupa kerusakan pada pusat kemih dimedulla spinalis

sakralis S2-S3 setinggi TH1-L1.Kerusakan terjadipada saraf

simpatos dan parasimpatis baik sebagian maupun seluruhnya.

2) Vesikal

Berupa kelemahan otot destrusor karena lama teregang,

berhubungan dengan masa kehamilan dan proses persalinan

(trauma obstetrik).

3) Infravesikal (distal kandungkemih)

Berupa kekakuan leher vesika, fimosis, stenosis meatus

uretra, trauma uretra, batu uretra, sklerosis leher kandung kemih

(bladder neck sclerosis).


22

c. Batasan karakteristik

Menurut Herdman dan Kamitsuru (2015), batasan karakteristik

penyebab dari retensi urine adalah:

1) Subjektif, meliputi disuria dan sensasi kandung kemih penuh

2) Objektif

a) Distensi kandung kemih

b) Urin menetes (dribbling)

c) Inkontinensia overflow

d) Residu urin

e) Haluaran urin sering dan sedikit atau tidak ada

d. Faktor yang berhubungan

Menurut Herdman dan Kamitsuru (2015), ada beberapa faktor

yang berhubungan dengan terjadinya retensi urin yaitu:

1) Sumbatan saluran perkemihan

2) Tingginya tekanan uretra yang disebabkan oleh kelemahan

destrusor

3) Inhibisi arkus refleks

4) Sfingter kuat

3. Perencanaan

Rencana keperawatan dapat diartikan sebagai suatu dokumen

tulisan tangan dalam menyelsaikan masalah, tujuan, dan intervensi

keperawatan. Perawatan pasien yang mengalami gangguan eliminasi urine

prosedure diagnostik sering dilakukan dalam lingkungan perawatan unit


23

tindakan yang ringan. Karena itu, pendidikan pasien seta keluarga dan

pemantauan perawat sangat diperlukan (Nursalam, 2011).

Perencanaan keperawatan merupakan suatu rencana tindakan yang

akan dilakukan oleh perawat sesuai dengan diagnosa keperawatan yang

ada untuk memecahkan permasalahan yang dialami pasien, namun pada

karya tulis ini penulis akan memfokuskan pada rencana keperawatan

retensi urin pada pasien post operasi BPH.

Menurut NANDA NICNOC (2015-2017) rencana asuhan

keperawatan pada pasien dengan masalah retensi urine pada pasien post

operasi BPH adalah sebagai berikut :

Retensi urin berhubungan dengan obstruksi mekanik: bekuan darah,

edema, trauma, prosedur bedah, tekanan dan iritasi kateter.

a. Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien

dapat berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi urine kembali.

b. Kriteria Hasil :

Menunjukkan perilaku yang meningkatkan control kandung

kemih/urinaria, pasien mempertahankan keseimbangan cairan : asupan

sebanding dengan haluaran.


24

c. Menurut Moorhead, Mario, Meridean, dan Elizabeth (2016) Nursing

Outcome Classification (NOC) pada retensi urine yaitu:

1) Eliminasi Urine

Tabel 2.1 Indikator dan skala eliminasi urine

No Indikator Skala
Awal Tujuan
1 Jumlah urine 2 5
2 Warna urine 2 5
3 Mengosongkan kandung kemih 2 5
sepenuhnya
4 Retensi urin 2 5

Keterangan Skala:

1: Sangat terganggu

2: Banyak terganggu

3: Cukup terganggu

4: Sedikit terganggu

5: Tidak terganggu

d. Nursing Intervention Classification (NIC) dari retensi urin adalah:

1) Perawatan retensi urine

a) Lakukan pengkajian komprehensif sistem perkemihan fokus

terhadap inkontinensia (urin output, masalah saluran perkemihan

sebelumnya)

b) Anjurkan pasien atau keluarga untuk mencatat urine output,

sesuai kebutuhan

c) Monitor derajat distensi kandung kemih dengan palpasi dan

perkusi

2) Kateterisasi urine

a) Monitor intake dan output


25

b) Ajarkan pasien untuk membersihkan selang kateter diwaktu yang

tepat

c) Lakukan pengosongan kantung kateter jika diperlukan

d) Ajarkan pasien dan keluarga mengenai perawatan kateter yang

tepat

3) Manajemen Eliminasi Perkemihan

a) Monitor eliminasi urine termasuk frekuensi, konsistensi, bau,

volume, dan warna

b) Pantau tanda dan gejala retensi urine

c) Ajarkan pasien mengenal tanda dan gejala infeksi saluran kemih

d) Anjurkan pasien/keluarga untuk mencatat output urin, yang sesuai

4) Irigasi Kandung Kemih

a) Tentukan apakah akan melakukan irigasi terus menerus atau

berkala

b) Pertahankan teknik steril setiap kali tindakan

c) Monitor dan pertahankan kecepatan aliran yang tepat

d) Catat jumlah cairan yang digunakan, jumlah cairan yang keluar

dan respon pasien

4. Implementasi

Implementasi merupakan pelaksanaan tindakan oleh perawat sesuai

dengan rencana intervensi untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap

implementasi dimulai setelah rencana intervensi disusun dan ditunjukkan

pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang

diharapkan. Tujuan dari implementasi adalah membantu klien dalam


26

mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang mencangkup peningkatan

kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi

koping (Nursalam,2011).

Implementasi dari NIC Retensi Urine menurut Bulechek, dkk

(2016) adalah:

a. Memonitor intake dan output

b. Memonitor eliminasi urine termasuk frekuensi, konsistensi, bau,

volume, dan warna

c. Melakukan pengkajian komprehensif sistem perkemihan fokus terhadap

inkontinensia (urin output, masalah saluran perkemihan sebelumnya)

d. Memantau tanda dan gejala retensi urine

e. Monitor derajat distensi kandung kemih dengan palpasi dan perkusi

f. Menganjurkan pasien atau keluarga untuk mencatat urine output, sesuai

kebutuhan

g. Mengajarkan pasien dan keluarga mengenai perawatan kateter yang

tepat

h. Mengajarkan pasien mengenal tanda dan gejala infeksi saluran kemih

i. Melakukan iriasi kandung kemih

Dalam implementasi pada karya tulis ini, penulis melakukan

tindakan sesuai dengan intervensi salah satunya yaitu irigasi kandung

kemih. Syah (2010) menjelaskan irigasi kandung kemih merupakan

tindakan membilas atau mengalirkancairan secara berkala atau

berkelanjutan pada bladder untuk mencegah serta mengatasi adanya

pembentukan danretensi clot darah yang terjadi setelah operasi BPH.


27

Tujuan dari tindakan ini adalah untuk mencegah formasi cloth,

melancarkanaliran urin, dan mempertahankan kateter dengan secara terus

menerusmelakukan irigasi kandung kemih dengan menggunakan cairan

rumatannormal saline (ACI Urology Network-Nursing, 2012). Prosedur ini

dilakukan dengan memasukkan kateter threeway ke dalam uretra hingga

ke kandung kemih.

Irigasi setelah operasi BPH menggunakan cairan NaCl 0,9% atau

sterilized water for irrigation. Kedua jenis cairan ini lazim digunakan di

Indonesia.Setiap rumah sakit memiliki keputusan tersendiri. Kedua jenis

cairan ini aman dan sudah terdapat penelitian yang mengungkapkannya.

Jumlah tetesan cairan irigasi setelah operasi biasanya guyur. Hari pertama

sekitar 60 tetes permenit. Hari kedua sekitar 40 tetes permenit. Hari ketiga

sekitar 20 tetes permenit (Syah, 2010). Ada beberapa tipe irigasi kateter,

antara lain:

a. Irigasi sistemtertutup

Irigasi sistem tertutup dibagi menjadi dua yaitu irigasi kadang-

kadang dan terus menerus.Irigasi sistem tertutup dilakukan tanpa

membuka kateter dan sistem drainase.Irigasi sistem tertutup lebih

banyak digunakan pada pasien yang di lakukan pembedahan

genitourinaria karena pada klien ini mempunyai resiko terjadinya

bekuan darah kecil dan mukus/secret yang masuk kedalam kateter.Dan

juga resiko mengalami infeksi saluran kemihan.

b. Irigasi sistemTerbuka

Irigasi sistem terbuka juga digunakan untuk menjaga kepatenan


28

kateten. Irigasi sistem terbuka dilakukan bila jarang dilakukan

(misalnya setiap 8 jam) dan tidak ada bekuan darah kecil dan mukus di

kandungkemih.

5. Evaluasi

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melihat hasil setelah

dilakukan implementasi keperawatan. Tahap evaluasi memungkinkan

perawat untuk memonitor apapun yang terjadi selama tahap pengkajian,

analisis, perencanaan, dan implementasi intervensi (Nursalam,2011).

Evaluasi yang diharapkan pada klien post operasi BPH adalah

pasien dapat berkemih dengan jumlah normal tanpa retensi urine kembali

setelah dilakukan tindakan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam.

Anda mungkin juga menyukai