Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

OLEH:
NI KOMANG AYU RISNA MULIANTINI
P07120319002

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
PROFESI NERS
TAHUN 2019
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
a. Definisi
Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar prostat,
memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan
menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal
(hidronefrosis) secara bertahap (Brunner & Suddarth, 2002).
BPH adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan dimana terjadi pertumbuhan
nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat; pertumbuhan tersebut di
mulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan
menekan kelenjar normal yang tersisa dan pembesaran bagian periuretral akan
menyebakan obstruksi leher kandung kemih dan urertra pars prostatika yang
mengakibatkankan berkurangnya aliran kemih dari kandung kemih (Price & Wilson,
2006)
BPH merupakan pertumbuhan berlebihan dari prostat yang bersifat jinak dan bukan
kanker, dimana yang umumnya diderita oleh kebanyakan pria pada waktu
meningkatnya usia sehingga dinamakan penyakit orang tua. Perbesaran dari
kelenjar ini lambat laun akan mengakibatkan penekanan pada saluran urin sehingga
menyulitkan berkemih (Rahardja, 2010).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa BPH merupakan keadaan dimana terjadi pembesaran
pada kelenjar prostat yang dapat menyebabkan obstruksi pada leher kandung kemih
dan menyumbat aliran urine keluar. Kondisi ini umumnya terkait dengan proses
penuaan dan terjadi pada pria di atas usia 50 tahun.
b. Epidemiologi
Hipertrofi prostat jinak (benign prostatic hypertrophy/BPH) ditandai dengan
pembesaran kelenjar prostat dan sangat sering ditemukan, muncul pada > 50% pria
berusia > 60 tahun dan 80% pada pria berusia > 80 tahun (Davey, 2002). BPH
merupakan persoalan yang dialami oleh kurang lebih 30% populasi kulit putih
Amerika yang berusia di atas 50 tahun dengan gejala sedang hingga berat (Mitchell
et al, 2008).
Prostat adalah organ tubuh yang paling sering terkena penyakit pada pria berusia
di atas 50 tahun. Satu proses patologis yang paling banyak ditemukan adalah
hipertrofi protat jinak (benign prostatic hypertrophy, BPH). Setidaknya 70% pria
beursia 70 tahun mengalami BPH, 40% di antaranya mengalami beberapa gejala
obstruksi aliran keluar kandung kemih. Usia merupakan factor risiko untuk BPH.
Data menunjukkan bahwa pria ras kulit hitam yang memiliki risiko yang lebih tinggi
tampaknya berada pada status social ekonomi dan fasilitas kesehatan yang buruk .
Di indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua setelah
penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umumnya, diperkirakan hampir
50 persen pria Indonesia yang berusia di atas 50 tahun, dengan kini usia harapan
hidup mencapai 65 tahun ditemukan menderita penyakit PPJ atau BPH ini.
Selanjutnya, 5 persen pria Indonesia sudah masuk ke dalam lingkungan usia di atas
60 tahun. Oleh itu, jika dilihat, dari 200 juta lebih bilangan rakyat indonesia, maka
dapat diperkirakan 100 juta adalah pria, dan yang berusia 60 tahun dan ke atas
adalah kira-kira seramai 5 juta, maka dapat secara umumnya dinyatakan bahwa kira-
kira 2.5 juta pria Indonesia menderita penyakit BPH (Heffner, 2005)

c. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya
BPH, namun beberapa hipotesisi menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan
peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat
perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila
perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi
yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80
tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekiatr 100% (Purnomo,
2011).
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga menjadi
penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH menurut Purnomo (2011)
meliputi, Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon (ketidakseimbangan antara
estrogen dan testosteron), factor interaksi stroma dan epitel-epitel, teori
berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel stem.
1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron
menjadi dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostad merupakan factor terjadinya
penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA,
sehingga dapat menyebabkan terjadinya sintesis protein yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT
pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja
pada BPH, aktivitas enzim 5alfa –reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih
banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive
terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan
prostat normal.
2. Teori hormone ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)
Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosterone sedangkan
kadar estrogen relative tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar estrogen
dan testosterone relative meningkat. Hormon estrogen didalam prostat memiliki
peranan dalam terjadinya poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara
meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-
sel prostat (apoptosis). Meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat
rangsangan testosterone meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada mempunyai
umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar.
3. Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol
oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth factor. Setelah
sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma
mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma
itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel parakrin.
Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.
Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel stroma dan
ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran
prostad jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma karena miksi,
ejakulasi atau infeksi.
4. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik
untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi
kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami
apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi oleh
enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju
poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai
pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati
dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan
prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara
keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa prostat.
5. Teori sel stem
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru. Didalam
kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat
tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika hormone androgen
kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-sel BPH
dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi
yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

d. Klasifikasi Benigna Prostat Hyperplasia (BPH)


Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradiasi, yaitu (Sjamsuhidayat & De
Jong, 2005) :
 Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (digital rectal
examination) atau colok dubur ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine
kurang dari 50 ml.
 Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat lebih
menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urine lebih dari 50 ml tetapi kurang
dari 100 ml.
 Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa
urin lebih dari 100 ml.
 Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total.

e. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai
Syndroma Protastisme. Syndroma Protatisme dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Gejala Obstruktif yaitu:
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrusor buli-buli memerlukan
waktu beberapa lama untuk meningkatkan tekanan intravesikal guna
mengatasi adanya tekanan dalam uretra protatika.
b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrusor dalam mempertahankan tekanan intra vesika
sampai berakhir miksi
c. Terminal dribbling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing
d. Pancaran lemah: Kelemahan kekuatan dan caliber pancaran destrusor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas
2. Gejala Iritasi yaitu:
a. Urgensi yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada
mala hari (nokturia) dan pada siang hari
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing

Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari BPH yaitu :.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih
sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran
miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas
(menetes setelah miksi)
b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin miksi
yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas berupa adanya
gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang (merupakan tanda
dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
3. Gejala diluar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau hemoroid.
Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saan miksi sehingga
mengakibatkan tekanan intraabdominal. Adapun gejala dan tanda lain yang
tampak pada pasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati membesar,
kemerahan, dan tidak nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa
tidak nyaman pada epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi
kronis dan volume residual yang besar.

f. Pathway
Terlampir

g. Patofisiologi
Dihidrotestosteron (DHT) adalah metabolit hormone testosterone yang merupakan
mediator pokok pertumbuhan kelenjar prostat. Hormone ini disintesis di dalam
kelenjar prostat dari hormone testosterone yang beredar dalam darah, dimana proses
tersebut terjadi melalui kerja enzim 5α-reduktase, tipe 2. Walaupun DHT terlihat
sebagai factor trofik utama yang memediasi hyperplasia kelenjar prostat, hormone
estrogen juga ikut terlibat. Interaksi stroma-epitel yang dimediasi oleh factor-faktor
pertumbuhan peptide juga memberikan kontribusinya. Gejala klinis obstruksi traktus
urinarius inferior terjadi karena kontraksi kelenjar prostat yang dimediasi oleh otot
polos pada kelenjar tersebut. Tegangan otot polos kelenjar prostat dimediasi oleh
adenoreseptor α1 yang hanya terdapat di dalam stroma kelenjar prostat (Mitchell et
al, 2008). Secara makroskopik, pembesaran kelenjar terjadi karena adanya nodul-
nodul dengan ukuran bervariasi dalam zona transisi (daerah periuretral) (Mitchell et
al, 2008). Hiperplasia prostatika adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat. Pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral
sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang
tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa
dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Prostat tersebut mengelilingi uretra,
dan pembesaran bagian peri uretral akan menyebabkan obstruksi leher vesika
urinaria dan uretra pars prostatika, yang mengakibatkan berkurangnya aliran urine
dari vesika urinaria. Penyebab BPH kemungkinan berkaitan dengan penuaan dan
disertai dengan perubahan hormon. Dengan penuaan, kadar testosteron serum
menurun dan kadar esterogen serum meningkat. Terdapat teori bahwa rasio
esterogen/androgen yang lebih tinggi akan merangsang hiperplasia jaringan prostat
(Price and Wilson, 2005).

h. Diagnosis/Kriteria Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakan dengan pengkajian dan pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan diagnostik.
Pada pengkajian dan pemeriksaan fisik ditemukan adanya tanda gejala seperti
peningkatan frekuensi berkemih, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-
anyangan, abdomen tegang, volume urine menurun, dan harus mengejan saat
berkemih, aliran urine tidak lancar, dribling (keadaan dimana urine terus menetes
setelah berkemih), rasa seperti kandung kemih tidak kosong dengan baik, retensi
urine akut (bila lebih dari 60 ml urine tetap berada dalam kandung kemih setelah
berkemih) (Smeltzer, 2001). Pada pemeriksaan rectal toucher dapat diketahui
derajat dari BPH, yaitu : derajat I = beratnya  20 gram, derajat II = beratnya antara
20 – 40 gram, derajat III = beratnya  40 gram.
Pemeriksaan IVP atau US pada pasien BPH biasanya menunjukkan elevasi dasar
kandung kemih akibat prostat yang membesar; trabekulasi, penebalan dan
divertikulum dinding kandung kemih, elevasi ureter, dan gangguan pengosongan
kandung kemih. IVP atau US dapat memperlihatkan hidronefrosis, walau jarang.
Pemeriksaan urodinamik dengan uroflowmetry, jika didapatkan laju aliran kurang
dari 10 mL/detik, pasien dianggap mengalami obstruksi saluran keluar kandung
kemih yang signifikan (McPhee &Ganong, 2010).

i. Pemeriksaan Fisik
1. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat
meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok
pada retensi urin serta urosepsis sampai syok – septik.
2. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui
adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada
keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien
akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya
residual urin.
3. Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra,
batu uretra, karsinoma maupun fimosis.
4. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
5. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi
sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher
dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
a) Derajat I = beratnya  20 gram.
b) Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
c) Derajat III = beratnya  40 gram.
j. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien Benigna Prostat Hipertropi umumnya dilakukan pemeriksaan:
1. Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula
digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.
- Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
- PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan
adanya keganasan.
2. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara
obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan
penilaian :
- Flow rate maksimal  15 ml / dtk = non obstruktif
- Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
- Flow rate maksimal  10 ml / dtk = obstruktif.
3. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
- BOF (Buik Overzich ) untuk melihat adanya batu dan metastase pada
tulang.
- USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume
dan besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk residual urin.
Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra
pubik.
- IVP (Pyelografi Intravena), digunakan untuk melihat fungsi exkresi
ginjal dan adanya hidronefrosis.
- Pemeriksaan Panendoskop, untuk mengetahui keadaan uretra dan buli-
buli.
- Sistouretroskopi biasanya dicadangkan untuk pasien yang mengalami
hematuria dengan sebab yang belum diketahui setelah dilakukan IVP atau US
atau praoperasi telah dilakuan untuk pasien yang memerlukan TURP.

k. Penatalaksanaan
1. Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien dianjurkan untuk
mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan agar tidak terjadi
nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi
minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering
miksi. Pasien dianjurkan untuk menghindari mengangkat barang yang berat agar
perdarahan dapat dicegah. Ajurkan pasien agar sering mengosongkan kandung
kemih (jangan menahan kencing terlalu lama) untuk menghindari distensi
kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih. Secara periodik pasien dianjurkan
untuk melakukan control keluhan, pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan
pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011). Pemeriksaan derajat obstruksi prostat
menurut Purnomo (2011) dapat diperkirakan dengan mengukur residual urin dan
pancaran urin:
a. Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur
dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan
pemeriksaan USG setelah miksi.
b. Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah urin
dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat
urofometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
2. Terapi medikamentosa
Menurut Purnomo (2011) tujuan dari obat-obat yang diberikan pada penderita
BPH adalah :
- Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk
mengurangi tekanan pada uretra
- Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa
blocker (penghambat alfa adrenergenik)
- Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone testosterone/
dehidrotestosteron (DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo
(2011) diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa
reduktase, fitofarmaka.
- Penghambat adrenergenik alfa
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin,terazosin,afluzosin
atau yang lebih selektif alfa 1a (Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari
sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaaan antagonis
alfa 1 adrenergenik karena secara selektif dapat mengurangi obstruksi pada
buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-
reseptor yang banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika,
prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi relakasi didaerah prostat. Obat-obat
golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urin. Hal ini
akan menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan
aliran air seni dan gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan
berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu setelah ia mulai memakai obat. Efek
samping yang mungkin timbul adalah pusing, sumbatan di hidung dan lemah.
Ada obat-obat yang menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu
dihindari seperti antikolinergenik, antidepresan, transquilizer, dekongestan,
obatobat ini mempunyai efek pada otot kandung kemih dan sfingter uretra.
- Pengahambat enzim 5 alfa reduktase Obat yang dipakai adalah finasteride
(proscar) dengan dosis 1X5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat
pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil. Namun
obat ini bekerja lebih lambat dari golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya
jelas pada prostat yang besar. Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat
ini baru menunjukkan perbaikan sedikit/ 28 % dari keluhan pasien setelah 6-12
bulan pengobatan bila dilakukan terus menerus, hal ini dapat memperbaiki
keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek samping dari obat ini diantaranya
adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
- Fitofarmaka/fitoterapi. Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain
eviprostat. Substansinya misalnya pygeum africanum, saw palmetto, serenoa
repeus dll. Afeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1- 2 bulan
dapat memperkecil volum prostat.
3. Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan pembedahan
didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin berulang,
hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran kemih dan perubahan
fisiologi pada prostat. Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung
pada beratnya gejala dan komplikasi. Menurut Smeltzer dan Bare (2002)
intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi : pembedahan terbuka dan
pembedahan endourologi.
a. Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka yang
biasa digunakan adalah :
- Prostatektomi suprapubik Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar
melalui insisi abdomen. Insisi dibuat dikedalam kandung kemih, dan
kelenjar prostat diangat dari atas. Teknik demikian dapat digunakan untuk
kelenjar dengan segala ukuran, dan komplikasi yang mungkin terjadi ialah
pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak dibanding dengan metode
lain, kerugian lain yang dapat terjadi adalah insisi abdomen akan disertai
bahaya dari semua prosedur bedah abdomen mayor.
- Prostatektomi perineal adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar
melalui suatu insisi dalam perineum. Teknik ini lebih praktis dan sangat
berguan untuk biopsy terbuka. Pada periode pasca operasi luka bedah
mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dnegan rectum.
Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan ini adalah inkontinensia,
impotensi dan cedera rectal.
- Prostatektomi retropubik adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan
cara insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus
pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Teknik ini
sangat tepat untuk kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam pubis.
Meskipun jumlah darah yang hilang lebih dapat dikontrol dan letak
pembedahan lebih mudah dilihat, akan tetapi infeksi dapat terjadi diruang
retropubik.
b. Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral dapat
dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:
- Transurethral Prostatic Resection (TURP) Merupakan tindakan operasi
yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan
transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan
dioperasi tidak tertutup darah. Indikasi TURP ialah gejala-gejala sedang
sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gr.Tindakan ini dilaksanakan
apabila pembesaran prostat terjadi dalam lobus medial yang langsung
mengelilingi uretra. Setelah TURP yang memakai kateter threeway. Irigasi
kandung kemih secara terus menerus dilaksanakan untuk mencegah
pembekuan darah. Manfaat pembedahan TURP antara lain tidak
meninggalkan atau bekas sayatan serta waktu operasi dan waktu tinggal
dirumah sakit lebih singkat.Komplikasi TURP adalah rasa tidak enak pada
kandung kemih, spasme kandung kemih yang terus menerus, adanya
perdarahan, infeksi, fertilitas (Baradero dkk, 2007).
- Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) adalah prosedur lain dalam
menangani BPH. Tindakan ini dilakukan apabila volume prostat tidak
terlalu besar atau prostat fibrotic. Indikasi dari penggunan TUIP adalah
keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat normal/kecil (30 gram
atau kurang). Teknik yang dilakukan adalah dengan memasukan instrument
kedalam uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul
prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi
konstriksi uretral. Komplikasi dari TUIP adalah pasien bisa mengalami
ejakulasi retrograde (0-37%) (Smeltzer dan Bare, 2002).
- Terapi invasive minimal. Menurut Purnomo (2011) terapai invasive
minimal dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi terhadap tindakan
pembedahan. Terapi invasive minimal diantaranya Transurethral
Microvawe Thermotherapy (TUMT), Transuretral Ballon Dilatation
(TUBD), Transuretral Needle Ablation/Ablasi jarum Transuretra (TUNA),
Pemasangan stent uretra atau prostatcatt.
a. Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), jenis pengobatan ini
hanya dapat dilakukan di beberapa rumah sakit besar. Dilakukan dengan
cara pemanasan prostat menggunakan gelombang mikro yang disalurkan
ke kelenjar prostat melalui transducer yang diletakkan di uretra pars
prostatika, yang diharapkan jaringan prostat menjadi lembek. Alat yang
dipakai antara lain prostat.
b. Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), pada tehnik ini dilakukan
dilatasi (pelebaran) saluran kemih yang berada di prostat dengan
menggunakan balon yang dimasukkan melalui kateter. Teknik ini efektif
pada pasien dengan prostat kecil, kurang dari 40 cm3. Meskipun dapat
menghasilkan perbaikan gejala sumbatan, namun efek ini hanya
sementar, sehingga cara ini sekarang jarang digunakan.
c. Transuretral Needle Ablation (TUNA), pada teknik ini memakai energy
dari frekuensi radio yang menimbulkan panas mencapai 100 derajat
selsius, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Pasien yang
menjalani TUNA sering kali mengeluh hematuri, disuria, dan kadang-
kadang terjadi retensi urine (Purnomo, 2011).
d. Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang dipasang pada uretra
prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat, selain
itu supaya uretra prostatika selalu terbuka, sehingga urin leluasa
melewati lumen uretra prostatika. Pemasangan alat ini ditujukan bagi
pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena resiko pembedahan
yang cukup tinggi.
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
b. Klien dengan residual urin  100 ml.
c. Klien dengan penyulit.
d. Terapi medikamentosa tidak berhasil.
e. Flowmetri menunjukkan pola obstruktif

l. Pencegahan
Apabila masalah yang terjadi adalah Benigh Prostatic Hyperplasia (BPH),
maka langkah awal yang dapat dilakukan untuk mengontrol gejala yang disebabkan
akibat pembesaran prostat ini adalah dengan cara medikasi (baik dengan alpha
blocker atau 5 alpha reductase), terapi Begina Prostat Hyperplasia (BPH) biasanya
juga melalui tahapan observasi hingga bedah konvensional dan terapi minimal
invasive. Biasanya penderita ganguan prostat ringan disarankan untuk mengurangi
minum setelah makan malam agar menghindari nokturia (berkemih pada malam
hari), juga menghidari obat-obatan para simpatolitik (menghambat fungsi simpatik),
misalnya dekongestan, mengurangi kopi dan alcohol agar tidak sering buang air
kecil. Apabila prostat sudah menjadi parah maka pengobatan yang dianjurkan
adalah pengobatan dengan tindakan operasi (atau sering disebut juga TURP).
m. Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut
maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan
mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu
endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut
dapat menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks mengakibatkan pielonefritis.
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu
miksi pasien harus mengedan.

n. Prognosis
Prognosis BPH berubah-ubah dan tidak bisa diprediksi tiap individu. BPH yang
tidak diterapi akan menunjukkan efek samping yang merugikan pasien itu sendiri
seperti retensi urin, insufisiensi ginjal, infeksi saluran kemih yang berulang, dan
hematuria. Sebagian besar pasien memiliki kualitas hidup yang sangat bagus setelah
prostatektomi (baik endoskopik maupun terbuka) (Grace and Borley, 2007). Lebih
dari 90% pasien mengalami perbaikan sebagian atau perbaikan dari gejala yang
dialaminya. Sekitar 10-20% akan mengalami kekambuhan penyumbatan dalam 5
tahun (Schwartz, 2000).

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. PENGKAJIAN
Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita BPH merujuk
pada teori menurut Brunner & Suddarth (2002), meliputi :
- Demografi/Identitas
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan,
agama, suku, alamat, tanggal MRS, nama penanggung jawab. Kebanyakan
menyerang pada pria berusia diatas 50 tahun. Ras kulit hitam memiliki resiko
lebih besar dibanding dengan ras kulit putih. Status sosial ekonomi memili
peranan penting dalam terbentuknya fasilitas kesehatan yang baik. Pekerjaan
memiliki pengaruh terserang penyakit ini, orang yang pekerjaanya mengangkat
barang-barang berat memiliki resiko lebih tinggi..
- Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien BPH keluhan keluhan yang ada adalah frekuensi , nokturia, urgensi,
disuria, pancaran melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, hesistensi (sulit
memulai miksi), intermiten (kencing terputus-putus), dan waktu miksi memanjang
dan akhirnya menjadi retensi urine.
- Riwayat penyakit dahulu
Kaji apakah memilki riwayat infeksi saluran kemih (ISK), adakah riwayat
mengalami kanker prostat. Apakah pasien pernah menjalani pembedahan prostat /
hernia sebelumnya.
- Riwayat kesehatan keluarga
Kaji adanya keturunan dari salah satu anggota keluarga yang menderita penyakit
BPH.

Pengkajian 11 pola fungsional Gordon


a. Pola persepsi dan Manajemen kesehatan
Biasanya kasus BPH terjadi pada pasien laki-laki yang sudah tua, dan pasien
biasanya tidak memperdulikan hal ini, karena sering mengatakan bahwa sakit yang
diderita nya pengaruh umur yang sudah tua. Perawat perlu mengkaji apakah klien
mengetahui penyakit apa yang dideritanya? Dan apa penyebab sakitnya saat ini
b. Pola nutrisi dan metabolic
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada
postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan
berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran
baik cairan maupun nutrisinya.
c. Pola eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh pasien
dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin, aliran
urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih,
nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi
karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya
obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan
mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan
bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna
keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada
kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada post operasi BPH, karena perubahan pola
makan dan makanan.
d. Pola latihan- aktivitas
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan terpasang
traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter tidak
boleh fleksi selama traksi masih diperlukan, klien juga merasa nyeri pada prostat
dan pinggang. Klien dengan BPH aktivitasnya sering dibantu oleh keluarga.
e. Pola istirahat dan tidur
Pada pasien dengan BPH biasanya istirahat dan tidurnya terganggu, disebabkan
oleh nyeri pinggang dan BAK yang keluar terus menerus dimana hal ini dapat
mengganngu kenyamanan klien. Jadi perawat perlu mengkaji berapa lama klien
tidur dalam sehari, apakah ada perubahan lama tidur sebelum dan selama sakit/
selama dirawat
f. Pola konsep diri dan persepsi diri
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena
memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari
tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
g. Pola kognitif- perceptual
Klien BPH umumnya adalah orang tua, maka alat indra klien biasanya terganggu
karena pengaruh usia lanjut. Namun tidak semua pasien mengalami hal itu, jadi
perawat perlu mengkaji bagaimana alat indra klien, bagaimana status neurologis
klien, apakah ada gangguan?
h. Pola peran dan hubungan
Pada pasien dengan BPH merasa rendah diri terhadap penyakit yang diderita nya.
Sehingga hal ini menyebabkan kurangnya sosialisasi klien dengan lingkungan
sekitar. Perawat perlu mengkaji bagaimana hubungan klien dengan keluarga dan
masyarakat sekitar? apakah ada perubahan peran selama klien sakit?
i. Pola reproduksi- seksual
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami
masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut
inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat
ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
j. Pola pertahanan diri dan toleransi stress
Klien dengan BPH mengalami peningkatan stres karena memikirkan pengobatan
dan penyakit yang dideritanya menyebabkan klien tidak bisa melakukan aktivitas
seksual seperti biasanya, bisa terlihat dari perubahan tingkah laku dan kegelisahan
klien. Perawat perlu mengkaji bagaimana menghadapi masalah yang dialami?
k. Pola keyakinan dan nilai
Pasien BPH mengalami gangguan dalam hal keyakinan, seperti gangguan dalam
beribadah shalat, klien tidak bisa melaksanakannya. Perawat juga perlu mengkaji
apakah ada pantangan dalam agama klien untuk proses pengobatan?

2. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul


Pre-operasi
a. Gangguan eleminasi urin berhubungan dengan obstruks anatomik (BPH) ditandai
dengan BAK frekuensi sering namun sedikit-sedikit, nokturia, dysuria, retensi
urine, urgensy (dorongan berkemih), anyang-anyangan, dan dribling.
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis ditandai dengan
melaporkan nyeri secara verbal, meringis, melokalisasi nyeri.
c. Ansietas berhubungan dengan ancaman pada status kesehatan, stress, infeksi
interpersonal, kebutuhan yang tidak dipenuhi ditandai dengan perilaku gelisah,
imsomnia, tampak waspada, afektif ketakutan, ragu, khawatir, gugup, fisiologis
wajah tegang, peningkatan keringat
d. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang pajanan informasi ditandai
dengan pengungkapan masalah.

Post-operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis ditandai dengan
melaporkan nyeri secara verbal, meringis, melokalisasi nyeri.
b. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan prosedur pembedahan
ditandai dengan adanya luka insisi pembedahan.
c. Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat
prosedur invasif
3. Rencana Asuhan Keperawatan

No. Standar Luaran Keperawatan Indonesia


Diagnosa Keperawatan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI)
(SLKI)

1 Gangguan eliminasi urine SLKI SIKI


Penyebab : Kriteria hasil: Manajemen Eliminasi Urine
1. Penurunan kapasitas kandung Eliminasi Urine - Identifikasi faktor yang menimbulkan terjadinya
kemih - Sensasi berkemih meningkat retensi urin
2. Iritasi kandung kemih - distensi kandung kemih menurun - Monitor eliminasi urin (frekuensi, konsistensi, aroma,
3. Kelemahan otot pelvis - urin menetes (dribbling) menurun volume dan warna)
4. Ketidakmampuan mengakses - nokturia menurun - Ajarkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih
toilet - disuria menurun - Kolaborasi pemberian obat, (supositoria uretra jika
Gejala dan tanda mayor : perlu)
Subjektif : Kateterisasi urin
1. Desakan berkemih (urgensi) - Periksa kondisi pasien (distensi kandung kemih, reflex
2. Urine menetas (dribbling) berkemih)
3. Sering buang air kecil - Siapkan peralatan yang dibutuhkan
4. Nokturia - Siapkan pasien, berikan posisi : dorsal rekumben
5. Mengompol (wanita), supine (laki-laki)
6. Enuresia - Pasang sarung tangan
Objektif : - Bersihkan daerah perineal dengan cairan nacl
1. Distensi kandung kemih - Lakukan insersi kateter urine dengan prinsip aseptic
2. Berkemih tidak tuntas (hesitency) - Sambungkan kateter urine dengan urobag
3. Volume residu urine meningkat - Isi balon dengan nacl sesuai petunjuk pabrik
- Pastikan kantung urine ditempatkan lebih rendah dari
kandung kemih
- Berikan label waktu pemasangan
Edukasi
- Jelasskan tujuan dan prosedur pemassangan kateter
urine
- Anjurkan menarik napas saat insersi sselang kateter
Perawatan kateter urine
- Monitor kepatenan kateter urine
- Monitor tanda dan gejala obstruksi aliran urinen
- Monitor kebocoran kateter, selang dan kantung urine
- Monitor input dan output cairan
- Lepaskan kateter urine sesuai kebutuhan

2 Nyeri akut Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … Manajemen nyeri


Penyebab : x… jam diharapkan tingkat nyeri menurun 1. Observasi
1. Agen pencedra fisiologis (mis. dengan kriteria hasil :  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
Inflamasi iskemia, neoplasma)  keluhan nyeri menurun frekuensi, kualitas, dan intensitas nyeri.
2. Agen pencedera kimiawi (mis.  meringis menurun  Identifikasi sekala nyeri
Terbakar, bahan kimia iritan)  sikap proaktif menurun  Identifikasi respon nyeri non verbal
3. Agen pencedera fisik (mis. Abses,  gelisah menurun  Indentifikasi faktor yang memperberat dan
amputasi, prosedur operasi, memperingan nyeri
 kesulitan tidur menurun
taruma, dll)  Identifikasi pengetahuan tentang nyeri
 menarik diri menurun
Gejala dan tanda mayor
 Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
Subjektif : mengeluh nyeri  berfokus pada diri sendiri menurun sudah diberikan
Objektif  diaforsesisi menurun 2. Terapeutik
 Tampak meringis  perasaan depresi menurun  Berikan teknik non farmakologis untuk
 Bersikap proaktif (mis. waspada,  mual menurun mengurangi rasa nyeri (mis. teknik ralaksasi
posisi menghindari nyeri)  muntah menurun nafas dalam, akupresur, hypnosis, dll)
 Gelisah  Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
 frekuensi nadi membaik
 Frekuensi nadi meningkat (mis. suhu, pencahayaan, kebisingan)

 Sulit tidur  Fasilitasi istirahat dan tidur

Gejala dan tanda minor  Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
Subjektif : - strategi meredakan nyeri.
Objektif 3. Edukasi

 Tekanan darah meningkat  Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri.

 Pola nafas berubah  Jelaskan strategi meredakan nyeri

 Nafsu makan berubah  Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri

 Proses berpikir terganggu  Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat

 Menarik diri  Anjurkan teknik nonfarmakologos untuk

 Berfokus pada diri sendiri mengurangi nyerinya.

 diaforesisi  Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu


3 Ansietas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Reduksi ansietas
selama .....x 24 jam diharapakan kecemasan 1. Monitor tanda-tanda ansietas
menurun atau pasien dapat tenang dengan 2. Ciptakan suasana terapeutik untuk
kriteria : menumbuhkan kepercayaan
SLKI : 3. Pahami situasi yang membuat ansietas
Tingkat ansietas 4. Diskusikan perencanaan realistis tentang
1. Menyingkirkan tanda kecemasaan. peristiwa yang akan datang
2. Tidak terdapat perilaku gelisah 5. Anjurkan mengungkapkan perasaan dan
3. Frekuensi napas menurun persepsi
4. Frekuensi nadi menurun 6. Anjurkan keluarga untuk selalu disamping dan
5. Menurunkan stimulasi lingkungan ketika mendukung pasien
cemas. 7. Latih teknik relaksasi
6. Menggunakan teknik relaksasi untuk
menurunkan cemas.
7. Konsentrasi membaik
8. Pola tidur membaik
Dukungan sosial
Bantuan yang ditawarkan oleh oranglain
meningkat
4 Defisit Pengetahuan Setelah diberikan asuhan keperawatan selama … Edukasi Kesehatan
Penyebab x… jam diharapkan tingkat pengetahuan Observasi :
1. Keterbatasan kognitif meningkat dengan kriteria hasil : - Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
2. Gangguan fungsi kognitif  Perilaku sesuai anjuran meningkat informasi
3. Kekeliruan mengikuti anjuran  Verbalisasi minat dalam belajar meningkat - Identifikasi faktor – faktor yang dapat meningkatkan
4. Kurang terpapar informasi  Kemampuan menjelaskan pengetahuan dan menurunkan motivasi perilaku hidup bersih dan
5. Kurang minat dalam belajar tentang suatu topik meningkat sehat
6. Kurang mampu mengingat  Kemampuan menggambarkan pengalaman Terapeutik :
7. Ketidaktahuan menemukan - Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
sumber informasi sebelumnya yang sesuai topik meningkat - Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
Gejala dan tanda mayor  Perilaku sesuai dengan pengetahuan - Berikan kesempatan untuk bertanya
Subjektif :  Pertanyaan tentang masalah yang dihadapi Edukasi :
 Menanyakan masalah yang menurun - Jelaskan faktor risiko yang dapat mempengaruhi
dihadapi  Persepsi yang keliru terhadap masalah kesehatan
Objektif : menurun - Anjurkan perilaku hidup bersih dan sehat
 Menunjukkan perilaku tidak  Menjalani pemeriksaan yang tidak tepat - Ajarkan strategi yang dapat digunakan untuk
sesuai anjuran menurun meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat
 Menunjukkan persepsi yang  Perilaku membaik
keliru terhadap masalah
Gejala dan tanda minor
Subjektif : -
Objektif :
 Menjalani pemeriksaan tidak
tepat
 Menunjukkan perilaku berlebihan
5 Gangguan integritas kulit/jaringan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ... Perawatan Intergritas Kulit
Penyebab : x 24 jam diharapakan integritas kulit dan jaringan Observasi
1. Perubahan sirkulasi meningkat dengan kriteria hasil : - Identifikasi penyebab gangguan gangguan integritas
2. Perubahan status nutrisi  Elastisitas meningkat kulit (misal, perubahan sirkulasi, perubahan status
3. Kekurangan/kelebihan volume  Hidrasi meningkat nutrisi, penurunan kelembapan, suhu lingkungan
cairan  Perfusi jaringan meningkat ekstrem, penurunan mobilitas)
4. Perununan mobilitas  Nyeri menurun Terapiutik
5. Perubahan pigmentasi - Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
6. Kurang terpapar informasi  Perdarahan menurun - Lakukan pemijatan pada aera penonjolan tulang
tentang upaya mempertahankan  Kemerahan menurun - Bersihkan perineal dengan air hangat, terutama selama
dan melindungi integritas  Hematoma menurun periode diare
jaringan  Pigmentasi abnormal menurun - Gunakan produk berbahan petrolium atau minyak pada
Gejala dan tanda mayor tulang kering
 Nekrosis menurun
Subjektif : - - Gunakan produk berbahan ringan/alami dan
 Suhu kulit membaik
Obyektif : hipoalergik pada kulit sensitif
Kerusakan jaringan dan lapisan kulit - Hindari produk berbahan dasar alkohol pada tulit
Gejala dan tanda minor kering
Subjektif : - Edukasi
Obyektif : - Anjurkan menggunakan pelembab
1. Nyeri
- Anjurkan minum air putih yang cukup
2. Perdarahan
- Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
3. Kemerahan
- Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur
4. Hematoma
- Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrem
- Anjurkan menggunakan tabir surya SPF
- Anjurkan mandi dan menggunakan sabun secukupnya
6 Risiko infeksi Setelah dilakukan tindakan keperawatan Tindakan
Faktor risiko selama .... X .... jam, maka tingkat infeksi 1. Observasi
o Penyakit kronis(mis. diabetes menurun dengan kriteria hasil : o Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan
melitus) o Kebersihan tangan meningkat sistemik
o Efek prosedur invasif o Kebersihan badan meningkat 2. Tarapeutik
o Malnutrisi o Nafsu makan meningkat o Batasi jumlah pengunjung
o Penigkatan paparan organisme o Demam menurun o Berikan perawatan kulit pada area edema
patogen lingkungan o Kemerahan menurun o Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
o Ketidakadekuatan pertahanan o Nyeri menurun pasien dan lingkungan pasien
tubuh primer : o Bengkak menurun o Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko
 Gangguan peristaltik o Vesikel menurun tinggi
 Kerusakan integritas kulit o Cairan berbau busuk menurun 3. Edukasi
 Perubahan sekresi pH o Sputum berwarna hijau menurun o Jelaskan tanda dan gejala infeksi

 Penurunan kerja siliaris o Drainase purulen o Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar

 Ketuban pecah lama o Piuria menurun o Ajarkan etika batuk

 Ketuban pecah sebelum o Periode malaise menurun o Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka
waktunya o Periode mengigil operasi
 Merokok o Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
o Letargi menurun
 Statis cairan tubuh o Anjurkan meningkatkan asupan cairan
o Gangguan kognitif
o Ketidakadekuatan pertahanan 4. Kolaborasi
o Kadar sel darah putih membaik
tubuh sekunder : o Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
o Kultur darah membaik
 Penurunan hemoglobin
o Kultur urine membaik
 Imununosupresi
o Kultur sputum membaik
 Leukopenia
o Kultur area luka membaik
 Supresi respon inflamasi
o Kultur feses membaik
 Vaksinasi tidak adekuat
o Kadar sel darah putih
DAFTAR PUSTAKA

Arif, Mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Aeeculpius.

Basuki, Purnomo. 2000. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI


Katalog Dalam Terbitan (KTD)

Brunner, L. dan Suddarth, D. (2002). Buku Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8


Volume 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Doengoes. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.

Hardjowidjoto, S. 2000. Benigna Prostat Hiperplasi. Surabaya: Airlangga University


Press.

Heffner, Linda J et al. 2005. At a Glance Sistem Reproduksi Edisi Kedua. Jakarta:
Erlangga Medical Series.

Joanne McCloskey, dkk. 2004. Nursing Intervention Classification (NIC). United States
of America: Mosby.

McPhee, Stephen J., Ganong, William F.(2010). Patofisiologi Penyakit : Pengantar


Menuju Kedokteran Klinis. Jakarta : EGC Mitchell, Kumar, Abbas, & Fausto.
(2008). Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins & Cotran. Edisi 7. Jakarta:
EGC

Nanda Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. 2010. Jakarta: EGC

Purnomo, B. B. (2011). Dasar-dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto

Rahardja, K. 2010. Obat-Obat Sederhana Untuk Gangguan Sehari-hari. Jakarta:


Gramedia Available at

Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC

Smetlzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Sue Moorhead, dkk. 2008. Nursing Outcame Classification (NOC). United States of
America: Mosby.

Sylvia A. Price, dkk. 2006. Patifisiologi: Konsep klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6
Volume 2. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai