OLEH:
NI KOMANG AYU RISNA MULIANTINI
P07120319002
c. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya
BPH, namun beberapa hipotesisi menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan
peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat
perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila
perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi
yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80
tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekiatr 100% (Purnomo,
2011).
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga menjadi
penyebab timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH menurut Purnomo (2011)
meliputi, Teori Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon (ketidakseimbangan antara
estrogen dan testosteron), factor interaksi stroma dan epitel-epitel, teori
berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel stem.
1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron
menjadi dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostad merupakan factor terjadinya
penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA,
sehingga dapat menyebabkan terjadinya sintesis protein yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT
pada BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja
pada BPH, aktivitas enzim 5alfa –reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih
banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitive
terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan
prostat normal.
2. Teori hormone ( ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)
Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosterone sedangkan
kadar estrogen relative tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar estrogen
dan testosterone relative meningkat. Hormon estrogen didalam prostat memiliki
peranan dalam terjadinya poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara
meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-
sel prostat (apoptosis). Meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat
rangsangan testosterone meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada mempunyai
umur yang lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar.
3. Faktor interaksi Stroma dan epitel epitel.
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol
oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator yang disebut Growth factor. Setelah
sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma
mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma
itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel parakrin.
Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.
Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF) dapat menstimulasi sel stroma dan
ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran
prostad jinak. bFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma karena miksi,
ejakulasi atau infeksi.
4. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik
untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi
kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang mengalami
apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya, kemudian didegradasi oleh
enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju
poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai
pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati
dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat baru dengan
prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara
keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa prostat.
5. Teori sel stem
Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru. Didalam
kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat
tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika hormone androgen
kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-sel BPH
dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi
yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.
e. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai
Syndroma Protastisme. Syndroma Protatisme dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Gejala Obstruktif yaitu:
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrusor buli-buli memerlukan
waktu beberapa lama untuk meningkatkan tekanan intravesikal guna
mengatasi adanya tekanan dalam uretra protatika.
b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrusor dalam mempertahankan tekanan intra vesika
sampai berakhir miksi
c. Terminal dribbling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing
d. Pancaran lemah: Kelemahan kekuatan dan caliber pancaran destrusor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas
2. Gejala Iritasi yaitu:
a. Urgensi yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada
mala hari (nokturia) dan pada siang hari
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing
Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari BPH yaitu :.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih
sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran
miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas
(menetes setelah miksi)
b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin miksi
yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat hiperplasi prostat pada sluran kemih bagian atas berupa adanya
gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang (merupakan tanda
dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
3. Gejala diluar saluran kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau hemoroid.
Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saan miksi sehingga
mengakibatkan tekanan intraabdominal. Adapun gejala dan tanda lain yang
tampak pada pasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati membesar,
kemerahan, dan tidak nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa
tidak nyaman pada epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi
kronis dan volume residual yang besar.
f. Pathway
Terlampir
g. Patofisiologi
Dihidrotestosteron (DHT) adalah metabolit hormone testosterone yang merupakan
mediator pokok pertumbuhan kelenjar prostat. Hormone ini disintesis di dalam
kelenjar prostat dari hormone testosterone yang beredar dalam darah, dimana proses
tersebut terjadi melalui kerja enzim 5α-reduktase, tipe 2. Walaupun DHT terlihat
sebagai factor trofik utama yang memediasi hyperplasia kelenjar prostat, hormone
estrogen juga ikut terlibat. Interaksi stroma-epitel yang dimediasi oleh factor-faktor
pertumbuhan peptide juga memberikan kontribusinya. Gejala klinis obstruksi traktus
urinarius inferior terjadi karena kontraksi kelenjar prostat yang dimediasi oleh otot
polos pada kelenjar tersebut. Tegangan otot polos kelenjar prostat dimediasi oleh
adenoreseptor α1 yang hanya terdapat di dalam stroma kelenjar prostat (Mitchell et
al, 2008). Secara makroskopik, pembesaran kelenjar terjadi karena adanya nodul-
nodul dengan ukuran bervariasi dalam zona transisi (daerah periuretral) (Mitchell et
al, 2008). Hiperplasia prostatika adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa
majemuk dalam prostat. Pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral
sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang
tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa
dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Prostat tersebut mengelilingi uretra,
dan pembesaran bagian peri uretral akan menyebabkan obstruksi leher vesika
urinaria dan uretra pars prostatika, yang mengakibatkan berkurangnya aliran urine
dari vesika urinaria. Penyebab BPH kemungkinan berkaitan dengan penuaan dan
disertai dengan perubahan hormon. Dengan penuaan, kadar testosteron serum
menurun dan kadar esterogen serum meningkat. Terdapat teori bahwa rasio
esterogen/androgen yang lebih tinggi akan merangsang hiperplasia jaringan prostat
(Price and Wilson, 2005).
h. Diagnosis/Kriteria Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakan dengan pengkajian dan pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan diagnostik.
Pada pengkajian dan pemeriksaan fisik ditemukan adanya tanda gejala seperti
peningkatan frekuensi berkemih, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-
anyangan, abdomen tegang, volume urine menurun, dan harus mengejan saat
berkemih, aliran urine tidak lancar, dribling (keadaan dimana urine terus menetes
setelah berkemih), rasa seperti kandung kemih tidak kosong dengan baik, retensi
urine akut (bila lebih dari 60 ml urine tetap berada dalam kandung kemih setelah
berkemih) (Smeltzer, 2001). Pada pemeriksaan rectal toucher dapat diketahui
derajat dari BPH, yaitu : derajat I = beratnya 20 gram, derajat II = beratnya antara
20 – 40 gram, derajat III = beratnya 40 gram.
Pemeriksaan IVP atau US pada pasien BPH biasanya menunjukkan elevasi dasar
kandung kemih akibat prostat yang membesar; trabekulasi, penebalan dan
divertikulum dinding kandung kemih, elevasi ureter, dan gangguan pengosongan
kandung kemih. IVP atau US dapat memperlihatkan hidronefrosis, walau jarang.
Pemeriksaan urodinamik dengan uroflowmetry, jika didapatkan laju aliran kurang
dari 10 mL/detik, pasien dianggap mengalami obstruksi saluran keluar kandung
kemih yang signifikan (McPhee &Ganong, 2010).
i. Pemeriksaan Fisik
1. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat
meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok
pada retensi urin serta urosepsis sampai syok – septik.
2. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui
adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada
keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien
akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya
residual urin.
3. Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra,
batu uretra, karsinoma maupun fimosis.
4. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
5. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi
sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher
dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
a) Derajat I = beratnya 20 gram.
b) Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
c) Derajat III = beratnya 40 gram.
j. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien Benigna Prostat Hipertropi umumnya dilakukan pemeriksaan:
1. Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula
digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.
- Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
- PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan
adanya keganasan.
2. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara
obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan
penilaian :
- Flow rate maksimal 15 ml / dtk = non obstruktif
- Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
- Flow rate maksimal 10 ml / dtk = obstruktif.
3. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
- BOF (Buik Overzich ) untuk melihat adanya batu dan metastase pada
tulang.
- USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume
dan besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk residual urin.
Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra
pubik.
- IVP (Pyelografi Intravena), digunakan untuk melihat fungsi exkresi
ginjal dan adanya hidronefrosis.
- Pemeriksaan Panendoskop, untuk mengetahui keadaan uretra dan buli-
buli.
- Sistouretroskopi biasanya dicadangkan untuk pasien yang mengalami
hematuria dengan sebab yang belum diketahui setelah dilakukan IVP atau US
atau praoperasi telah dilakuan untuk pasien yang memerlukan TURP.
k. Penatalaksanaan
1. Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien dianjurkan untuk
mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan agar tidak terjadi
nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi
minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering
miksi. Pasien dianjurkan untuk menghindari mengangkat barang yang berat agar
perdarahan dapat dicegah. Ajurkan pasien agar sering mengosongkan kandung
kemih (jangan menahan kencing terlalu lama) untuk menghindari distensi
kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih. Secara periodik pasien dianjurkan
untuk melakukan control keluhan, pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan
pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011). Pemeriksaan derajat obstruksi prostat
menurut Purnomo (2011) dapat diperkirakan dengan mengukur residual urin dan
pancaran urin:
a. Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur
dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan
pemeriksaan USG setelah miksi.
b. Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah urin
dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat
urofometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
2. Terapi medikamentosa
Menurut Purnomo (2011) tujuan dari obat-obat yang diberikan pada penderita
BPH adalah :
- Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk
mengurangi tekanan pada uretra
- Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa
blocker (penghambat alfa adrenergenik)
- Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone testosterone/
dehidrotestosteron (DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo
(2011) diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa
reduktase, fitofarmaka.
- Penghambat adrenergenik alfa
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin,terazosin,afluzosin
atau yang lebih selektif alfa 1a (Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari
sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaaan antagonis
alfa 1 adrenergenik karena secara selektif dapat mengurangi obstruksi pada
buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-
reseptor yang banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika,
prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi relakasi didaerah prostat. Obat-obat
golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urin. Hal ini
akan menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan
aliran air seni dan gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan
berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu setelah ia mulai memakai obat. Efek
samping yang mungkin timbul adalah pusing, sumbatan di hidung dan lemah.
Ada obat-obat yang menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu
dihindari seperti antikolinergenik, antidepresan, transquilizer, dekongestan,
obatobat ini mempunyai efek pada otot kandung kemih dan sfingter uretra.
- Pengahambat enzim 5 alfa reduktase Obat yang dipakai adalah finasteride
(proscar) dengan dosis 1X5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat
pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil. Namun
obat ini bekerja lebih lambat dari golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya
jelas pada prostat yang besar. Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat
ini baru menunjukkan perbaikan sedikit/ 28 % dari keluhan pasien setelah 6-12
bulan pengobatan bila dilakukan terus menerus, hal ini dapat memperbaiki
keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek samping dari obat ini diantaranya
adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
- Fitofarmaka/fitoterapi. Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain
eviprostat. Substansinya misalnya pygeum africanum, saw palmetto, serenoa
repeus dll. Afeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1- 2 bulan
dapat memperkecil volum prostat.
3. Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan pembedahan
didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin berulang,
hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran kemih dan perubahan
fisiologi pada prostat. Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung
pada beratnya gejala dan komplikasi. Menurut Smeltzer dan Bare (2002)
intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi : pembedahan terbuka dan
pembedahan endourologi.
a. Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka yang
biasa digunakan adalah :
- Prostatektomi suprapubik Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar
melalui insisi abdomen. Insisi dibuat dikedalam kandung kemih, dan
kelenjar prostat diangat dari atas. Teknik demikian dapat digunakan untuk
kelenjar dengan segala ukuran, dan komplikasi yang mungkin terjadi ialah
pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak dibanding dengan metode
lain, kerugian lain yang dapat terjadi adalah insisi abdomen akan disertai
bahaya dari semua prosedur bedah abdomen mayor.
- Prostatektomi perineal adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar
melalui suatu insisi dalam perineum. Teknik ini lebih praktis dan sangat
berguan untuk biopsy terbuka. Pada periode pasca operasi luka bedah
mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dnegan rectum.
Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan ini adalah inkontinensia,
impotensi dan cedera rectal.
- Prostatektomi retropubik adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan
cara insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus
pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Teknik ini
sangat tepat untuk kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam pubis.
Meskipun jumlah darah yang hilang lebih dapat dikontrol dan letak
pembedahan lebih mudah dilihat, akan tetapi infeksi dapat terjadi diruang
retropubik.
b. Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral dapat
dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:
- Transurethral Prostatic Resection (TURP) Merupakan tindakan operasi
yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan
transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan
dioperasi tidak tertutup darah. Indikasi TURP ialah gejala-gejala sedang
sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gr.Tindakan ini dilaksanakan
apabila pembesaran prostat terjadi dalam lobus medial yang langsung
mengelilingi uretra. Setelah TURP yang memakai kateter threeway. Irigasi
kandung kemih secara terus menerus dilaksanakan untuk mencegah
pembekuan darah. Manfaat pembedahan TURP antara lain tidak
meninggalkan atau bekas sayatan serta waktu operasi dan waktu tinggal
dirumah sakit lebih singkat.Komplikasi TURP adalah rasa tidak enak pada
kandung kemih, spasme kandung kemih yang terus menerus, adanya
perdarahan, infeksi, fertilitas (Baradero dkk, 2007).
- Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) adalah prosedur lain dalam
menangani BPH. Tindakan ini dilakukan apabila volume prostat tidak
terlalu besar atau prostat fibrotic. Indikasi dari penggunan TUIP adalah
keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat normal/kecil (30 gram
atau kurang). Teknik yang dilakukan adalah dengan memasukan instrument
kedalam uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul
prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi
konstriksi uretral. Komplikasi dari TUIP adalah pasien bisa mengalami
ejakulasi retrograde (0-37%) (Smeltzer dan Bare, 2002).
- Terapi invasive minimal. Menurut Purnomo (2011) terapai invasive
minimal dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi terhadap tindakan
pembedahan. Terapi invasive minimal diantaranya Transurethral
Microvawe Thermotherapy (TUMT), Transuretral Ballon Dilatation
(TUBD), Transuretral Needle Ablation/Ablasi jarum Transuretra (TUNA),
Pemasangan stent uretra atau prostatcatt.
a. Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), jenis pengobatan ini
hanya dapat dilakukan di beberapa rumah sakit besar. Dilakukan dengan
cara pemanasan prostat menggunakan gelombang mikro yang disalurkan
ke kelenjar prostat melalui transducer yang diletakkan di uretra pars
prostatika, yang diharapkan jaringan prostat menjadi lembek. Alat yang
dipakai antara lain prostat.
b. Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), pada tehnik ini dilakukan
dilatasi (pelebaran) saluran kemih yang berada di prostat dengan
menggunakan balon yang dimasukkan melalui kateter. Teknik ini efektif
pada pasien dengan prostat kecil, kurang dari 40 cm3. Meskipun dapat
menghasilkan perbaikan gejala sumbatan, namun efek ini hanya
sementar, sehingga cara ini sekarang jarang digunakan.
c. Transuretral Needle Ablation (TUNA), pada teknik ini memakai energy
dari frekuensi radio yang menimbulkan panas mencapai 100 derajat
selsius, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Pasien yang
menjalani TUNA sering kali mengeluh hematuri, disuria, dan kadang-
kadang terjadi retensi urine (Purnomo, 2011).
d. Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang dipasang pada uretra
prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat, selain
itu supaya uretra prostatika selalu terbuka, sehingga urin leluasa
melewati lumen uretra prostatika. Pemasangan alat ini ditujukan bagi
pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena resiko pembedahan
yang cukup tinggi.
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
b. Klien dengan residual urin 100 ml.
c. Klien dengan penyulit.
d. Terapi medikamentosa tidak berhasil.
e. Flowmetri menunjukkan pola obstruktif
l. Pencegahan
Apabila masalah yang terjadi adalah Benigh Prostatic Hyperplasia (BPH),
maka langkah awal yang dapat dilakukan untuk mengontrol gejala yang disebabkan
akibat pembesaran prostat ini adalah dengan cara medikasi (baik dengan alpha
blocker atau 5 alpha reductase), terapi Begina Prostat Hyperplasia (BPH) biasanya
juga melalui tahapan observasi hingga bedah konvensional dan terapi minimal
invasive. Biasanya penderita ganguan prostat ringan disarankan untuk mengurangi
minum setelah makan malam agar menghindari nokturia (berkemih pada malam
hari), juga menghidari obat-obatan para simpatolitik (menghambat fungsi simpatik),
misalnya dekongestan, mengurangi kopi dan alcohol agar tidak sering buang air
kecil. Apabila prostat sudah menjadi parah maka pengobatan yang dianjurkan
adalah pengobatan dengan tindakan operasi (atau sering disebut juga TURP).
m. Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut
maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan
mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu
endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut
dapat menibulkan sistitis, dan bila terjadi refluks mengakibatkan pielonefritis.
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu
miksi pasien harus mengedan.
n. Prognosis
Prognosis BPH berubah-ubah dan tidak bisa diprediksi tiap individu. BPH yang
tidak diterapi akan menunjukkan efek samping yang merugikan pasien itu sendiri
seperti retensi urin, insufisiensi ginjal, infeksi saluran kemih yang berulang, dan
hematuria. Sebagian besar pasien memiliki kualitas hidup yang sangat bagus setelah
prostatektomi (baik endoskopik maupun terbuka) (Grace and Borley, 2007). Lebih
dari 90% pasien mengalami perbaikan sebagian atau perbaikan dari gejala yang
dialaminya. Sekitar 10-20% akan mengalami kekambuhan penyumbatan dalam 5
tahun (Schwartz, 2000).
Post-operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis ditandai dengan
melaporkan nyeri secara verbal, meringis, melokalisasi nyeri.
b. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan prosedur pembedahan
ditandai dengan adanya luka insisi pembedahan.
c. Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat
prosedur invasif
3. Rencana Asuhan Keperawatan
Gejala dan tanda minor Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
Subjektif : - strategi meredakan nyeri.
Objektif 3. Edukasi
Penurunan kerja siliaris o Drainase purulen o Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
Ketuban pecah sebelum o Periode malaise menurun o Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka
waktunya o Periode mengigil operasi
Merokok o Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
o Letargi menurun
Statis cairan tubuh o Anjurkan meningkatkan asupan cairan
o Gangguan kognitif
o Ketidakadekuatan pertahanan 4. Kolaborasi
o Kadar sel darah putih membaik
tubuh sekunder : o Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
o Kultur darah membaik
Penurunan hemoglobin
o Kultur urine membaik
Imununosupresi
o Kultur sputum membaik
Leukopenia
o Kultur area luka membaik
Supresi respon inflamasi
o Kultur feses membaik
Vaksinasi tidak adekuat
o Kadar sel darah putih
DAFTAR PUSTAKA
Heffner, Linda J et al. 2005. At a Glance Sistem Reproduksi Edisi Kedua. Jakarta:
Erlangga Medical Series.
Joanne McCloskey, dkk. 2004. Nursing Intervention Classification (NIC). United States
of America: Mosby.
Nanda Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. 2010. Jakarta: EGC
Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC
Smetlzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Sue Moorhead, dkk. 2008. Nursing Outcame Classification (NOC). United States of
America: Mosby.
Sylvia A. Price, dkk. 2006. Patifisiologi: Konsep klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6
Volume 2. Jakarta: EGC.