Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

BPH (BENIGN PROSTATIC HYPERTROPHY)

: OLEH
NURSAIDAH
STYJ 19 069

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM PRAKTIK PROFESI NERS
MATARAM
2020

1
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi/Pengertian
a. Hipertrofi prostat adalah perbesaran kelenjar prostat yang
membesar, memanjang kearah depan kedalam kandung kemih
dan menyumbat aliran keluar urine, dapat mengakibatkan
hidronefrosis dan hidroureter. Penyebabnya tidak pasti, tetapi
bukti-bukti menunjukkan adanya keterlibatan hormonal.
Kondisi ini yang umum terjadi pada pria diatas usia 50 tahun
(Pierce & Neil, 2006).
b. BPH adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan dimana
terjadi pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk
dalam prostat; pertumbuhan tersebut di mulai dari bagian
periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh
dengan menekan kelenjar normal yang tersisa dan pembesaran
bagian periuretral akan menyebakan obstruksi leher kandung
kemih dan urertra pars prostatika yang mengakibatkankan
berkurangnya aliran kemih dari kandung kemih (Price &
Wilson, 2006)
c. BPH merupakan pertumbuhan berlebihan dari prostat yang
bersifat jinak dan bukan kanker, dimana yang umumnya
diderita oleh kebanyakan pria pada waktu meningkatnya usia
sehingga dinamakan penyakit orang tua. Perbesaran dari
kelenjar ini lambat laun akan mengakibatkan penekanan pada
saluran urin sehingga menyulitkan berkemih (Rahardja, 2010).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa BPH merupakan keadaan dimana
terjadi pembesaran pada kelenjar prostat yang dapat menyebabkan
obstruksi pada leher kandung kemih dan menyumbat aliran urine
keluar. Kondisi ini umumnya terkait dengan proses penuaan dan
terjadi pada pria di atas usia 50 tahun.
2. Epidemiologi

2
Hipertrofi prostat jinak (benign prostatic hypertrophy/BPH)
ditandai dengan pembesaran kelenjar prostat dan sangat sering
ditemukan, muncul pada > 50% pria berusia > 60 tahun dan 80%
pada pria berusia > 80 tahun (Davey, 2002). BPH merupakan
persoalan yang dialami oleh kurang lebih 30% populasi kulit putih
Amerika yang berusia di atas 50 tahun dengan gejala sedang hingga
berat (Mitchell et al, 2008).
Prostat adalah organ tubuh yang paling sering terkena penyakit
pada pria berusia di atas 50 tahun. Satu proses patologis yang
paling banyak ditemukan adalah hipertrofi protat jinak (benign
prostatic hypertrophy, BPH). Setidaknya 70% pria beursia 70 tahun
mengalami BPH, 40% di antaranya mengalami beberapa gejala
obstruksi aliran keluar kandung kemih. Usia merupakan faktor
risiko untuk BPH. Data menunjukkan bahwa pria ras kulit hitam
yang memiliki risiko yang lebih tinggi tampaknya berada pada
status sosial ekonomi dan fasilitas kesehatan yang buruk (Heffner,
2005).
Di Indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi
urutan kedua setelah penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat
secara umumnya, diperkirakan hampir 50 persen pria Indonesia
yang berusia di atas 50 tahun, dengan kini usia harapan hidup
mencapai 65 tahun ditemukan menderita penyakit BPH ini.
Selanjutnya, 5% pria Indonesia sudah masuk ke dalam lingkungan
usia di atas 60 tahun. Oleh itu, jika dilihat dari 200 juta jumlah
penduduk Indonesia, maka dapat diperkirakan 100 juta adalah pria,
dan yang berusia 60 tahun dan ke atas adalah kira-kira 5 juta, maka
dapat secara umumnya dinyatakan bahwa kira-kira 2,5 juta pria
Indonesia menderita penyakit BPH (Heffner, 2005).
3. Penyebab/Faktor Presdiposisi
Menurut Pakasi (2009) penyebab pasti BPH sampai sekarang
belum diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat

3
tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya
dengan BPH adalah proses penuaan. beberapa factor kemungkinan
penyebab antara lain :
a. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon
estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan
hiperplasi stroma.
b. Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth
factor dan penurunan transforming growth factor beta
menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
c. Peningkatan Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan
bantuan enzim 5α-reduktase diperkirakan sebagai mediator
utama pertumbuhan prostat. Dalam sitoplasma sel prostat
ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron (DHT). Reseptor
ini jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT
yang dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor
membentuk DHT-Reseptor kompleks. Kemudian masuk ke inti
sel dan mempengaruhi RNA untuk menyebabkan
sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel (Hardjowidjoto,
2000).
d. Apoptosis
Kematian sel berakibat terjadinya kondensasi dan fragmentasi
sel. Sel yang telah mati tersebut akan difagositosis sel
sekitarnya dan didegradasi oleh enzim lisosom. Hal ini,
menyebabkan pertambahan massa prostat.
4. Patofisiologi
Dihidrotestosteron (DHT) adalah metabolit hormone
testosterone yang merupakan mediator pokok pertumbuhan
kelenjar prostat. Hormone ini disintesis di dalam kelenjar prostat

4
dari hormone testosterone yang beredar dalam darah, dimana
proses tersebut terjadi melalui kerja enzim 5α-reduktase, tipe 2.
Walaupun DHT terlihat sebagai factor trofik utama yang
memediasi hyperplasia kelenjar prostat, hormone estrogen juga ikut
terlibat. Interaksi stroma-epitel yang dimediasi oleh factor-faktor
pertumbuhan peptide juga memberikan kontribusinya. Gejala klinis
obstruksi traktus urinarius inferior terjadi karena kontraksi kelenjar
prostat yang dimediasi oleh otot polos pada kelenjar tersebut.
Tegangan otot polos kelenjar prostat dimediasi oleh adenoreseptor
α1 yang hanya terdapat di dalam stroma kelenjar prostat (Mitchell
et al, 2008).
Secara makroskopik, pembesaran kelenjar terjadi karena
adanya nodul-nodul dengan ukuran bervariasi dalam zona transisi
(daerah periuretral) (Mitchell et al, 2008). Hiperplasia prostatika
adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk
dalam prostat. Pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral
sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan
kelenjar normal yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri
dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yang jumlahnya
berbeda-beda. Prostat tersebut mengelilingi uretra, dan pembesaran
bagian peri uretral akan menyebabkan obstruksi leher vesika
urinaria dan uretra pars prostatika, yang mengakibatkan
berkurangnya aliran urine dari vesika urinaria. Penyebab BPH
kemungkinan berkaitan dengan penuaan dan disertai dengan
perubahan hormon. Dengan penuaan, kadar testosteron serum
menurun dan kadar esterogen serum meningkat. Terdapat teori
bahwa rasio esterogen/androgen yang lebih tinggi akan merangsang
hiperplasia jaringan prostat (Price and Wilson, 2005).

5. Klasifikasi

5
Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradiasi, yaitu
(Sjamsuhidayat & De Jong, 2005) :
a. Derajat 1
Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE (digital
rectal examination) atau colok dubur ditemukan penonjolan
prostat dan sisa urine kurang dari 50 ml.
b. Derajat 2
Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1, prostat
lebih menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urine lebih
dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml.
c. Derajat 3
Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan
sisa urin lebih dari 100 ml.
d. Derajat 4
Apabila sudah terjadi retensi urine total.
6. Gejala Klinis
Kompleks gejala obstruktif dan iritatif mencangkup
peningkatan frekuensi berkemih, nokturia, dorongan ingin
berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine
menurun, dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tidak
lancar, dribling (keadaan dimana urine terus menetes setelah
berkemih), rasa seperti kandung kemih tidak kosong dengan baik,
retensi urine akut (bila lebih dari 60 ml urine tetap berada dalam
kandung kemih setelah berkemih), dan kekambuhan infeksi saluran
kemih. Pada akhirnya, dapat terjadi azotemia (akumulasi produk
sampah nitrogen) dan gagal ginjal dengan retensi urine kronis dan
volume residu yang besar. Gejala generalisata juga mungkin
tampak, termasuk keletihan, anoreksia, mual dan muntah, dan rasa
tidak nyaman pada epigastrik (Smeltzer, 2001).
Tanda dan gejala yang sering terjadi adalah gabungan dari hal-
hal berikut dalam derajat yang berbeda-beda yaitu sering berkemih,

6
nokturia, urgensi (kebelet), urgensi dengan inkontinensia,
tersendat-sendat, mengeluarkan tenaga untuk mengalirkan kemih,
rasa tidak puas saat berkemih, inkontinensia overflow, dan kemih
yang menetes setelah berkemih. Kandung kemih yang teregang
dapat teraba pada pemeriksaan abdomen, dan tekanan suprapubik
pada kandung kemih yang penuh akan menimbulkan rasa ingin
berkemih. Prostat diraba sewaktu pemeriksaan rectal untuk menilai
besarnya kelenjar (Price and Wilson, 2005).
7. Pemeriksaan Fisik
a. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu.
Nadi dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi
urin akut, dehidrasi sampai syok pada retensi urin serta
urosepsis sampai syok – septik.
b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual
untuk mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis.
Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi akan
menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien
akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui
ada tidaknya residual urin.
c. Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose
meatus, striktur uretra, batu uretra, karsinoma maupun fimosis.
d. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
e. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk
menentukan konsistensi sistem persarafan unit vesiko uretra
dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat diketahui
derajat dari BPH, yaitu :
a) Derajat I = beratnya  20 gram.
b) Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
c) Derajat III = beratnya  40 gram.

8. Pemeriksaan Diagnostik

7
a. Uji laboratorium yang dilakukan mencakup pemeriksaan: Nitrogen
urea darah (BUN) dan kreatinin serum (SC) untuk menyingkirkan
gagal ginjal. Urinalisis dan biakan urine untuk menyingkirkan infeksi
saluran kemih
b. Pielografi intravena (IVP) atau US biasanya tidak dilakukan pada pria
dengan hasil normal pada pemeriksaan laboratorium sederhana.
Pemeriksaan ini dicadangkan untuk pasien dengan hematuria atau
dicurigai mengidap hidronefrosis.
c. Urodinamik dengan uroflowmetry dan sistometri dapat menilai makna
BPH. Pada pemeriksaan ini, pasien berkemih dan berbagai pengukuran
dilakukan. Pada uroflowmetry, pasien berkemih minimal 150 mL,
kemudian laju maksimal aliran urin dicatat.
d. USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi,
volume dan besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk
residual urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal,
transuretral dan supra pubik.
e. Sistouretroskopi biasanya dicadangkan untuk pasien yang mengalami
hematuria dengan sebab yang belum diketahui setelah dilakukan IVP
atau US atau praoperasi telah dilakuan untuk pasien yang memerlukan
TURP.
f. Skor gejala, perkiraan volume prostat, dan pengukuran antigen
spesifik-prostat dalam serum dapat membantu memperkirakan
perkembangan BPH.
(McPhee &Ganong, 2010)
g. Diagnosis/Kriteria Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakan dengan pengkajian dan
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan diagnostik.
Pada pengkajian dan pemeriksaan fisik ditemukan adanya
tanda gejala seperti peningkatan frekuensi berkemih, nokturia,
dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang,
volume urine menurun, dan harus mengejan saat berkemih,

8
aliran urine tidak lancar, dribling (keadaan dimana urine terus
menetes setelah berkemih), rasa seperti kandung kemih tidak
kosong dengan baik, retensi urine akut (bila lebih dari 60 ml
urine tetap berada dalam kandung kemih setelah berkemih)
(Smeltzer, 2001). Pada pemeriksaan rectal toucher dapat
diketahui derajat dari BPH, yaitu : derajat I = beratnya  20
gram, derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram, derajat III =
beratnya  40 gram.
Pemeriksaan IVP atau US pada pasien BPH biasanya
menunjukkan elevasi dasar kandung kemih akibat prostat yang
membesar; trabekulasi, penebalan dan divertikulum dinding
kandung kemih, elevasi ureter, dan gangguan pengosongan
kandung kemih. IVP atau US dapat memperlihatkan
hidronefrosis, walau jarang. Pemeriksaan urodinamik dengan
uroflowmetry, jika didapatkan laju aliran kurang dari 10
mL/detik, pasien dianggap mengalami obstruksi saluran keluar
kandung kemih yang signifikan (McPhee &Ganong, 2010).
h. Terapi/Tindakan Penanganan
Penatalaksanaan BPH secara umum menurut Grace and Borley
(2007) adalah:
a. Medikamentosa, seperti mengubah asupan cairan oral;
kurangi konsumsi kafein; menggunakan Bloker α-
adrenergic (misalnya fenoksibenzamin, prazosin);
antiandrogen yang bekerja selektif pada tingkat seluler
prostat (misalnya finasteride); kateterisasi intermiten jika
terdapat kegagalan otot detrusor; dan dilatasi balon dan
stenting pada prostat (pada pasien yang tidak siap operasi).
b. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
1) Klien yang mengalami retensi urin akut atau
pernah retensi urin akut.

9
2) Klien dengan residual urin  100 ml.
3) Terapi medikamentosa tidak berhasil.
4) Flowmetri menunjukkan pola obstruktif
: Pembedahan dapat dilakukan dengan
1) TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat )
2) Retropubic atau Extravesical Prostatectomy
3) Perianal Prostatectomy
4) Suprapubic atau Tranvesical Prostatectomy

Menurut Sjamsuhidjat (2005), dalam penatalaksanaan


pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari
gambaran klinis, yaitu:
a. Stadium I, biasanya belum memerlukan tindakan
bedah, diberikan pengobatan konservatif, misalnya
menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan
terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif
segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi
proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya
adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian
lama.
b. Stadium II, merupakan indikasi untuk melakukan
pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopi
melalui uretra (trans uretra)
c. Stadium III, reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan
apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar,
sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam.
Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans
vesika, retropubik dan perineal.
d. Stadium IV, yang harus dilakukan adalah
membebaskan penderita dari retensi urin total dengan

10
memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu,
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi
diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR
atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak
memungkinkan dilakukan pembedahan dapat dilakukan
pengobatan konservatif dengan memberikan obat
penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif
adalah dengan memberikan obat anti androgen yang
menekan produksi LH.
9. Penatalaksaaan
Penatalaksanaan pada klien benigna prostat hiperplasia terdiri dari
penatalaksanaan medis, penatalaksanaan keperawatan dan
penatalaksanaan diit.
1. Penatalaksanaan medis
a. Pemberian obat-obatan antara lain Alfa 1-blocker seperti :
doxazosin, prazosin tamsulosin dan terazosin. Obat-obat
tersebut menyebabkan pengenduran otot-otot pada
kandung kemih sehingga penderita lebih mudah berkemih.
Finasterid, obat ini menyebabkan meningkatnya laju aliran
kemih dan mengurangi gejala. Efek samping dari obat ini
adalah berkurangnya gairah seksual. Untuk prostatitis
kronis diberikan antibiotik.
b. Pembedahan
1) Trans Urethral Reseksi Prostat ( TUR atau TURP )
prosedur pembedahan yang dilakukan melalui
endoskopi TUR dilaksanakan bila pembesaran terjadi
pada lobus tengah yang langsung melingkari uretra.
Sedapat mungkin hanya sedikit jaringan yang
mengalami reseksi sehingga pendarahan yang besar
dapat dicegah dan kebutuhan waktu untuk bedah tidak

11
terlalu lama. Restoskop sejenis instrumen hampir
serupa dengan cystoscope tapi dilengkapi dengan alat
pemotong dan couter yang disambungkan dengan arus
listrik dimasukan lewat uretra. Kandung kemih dibilas
terus menerus selama prosedur berjalan. Pasien
mendapat alat untuk masa terhadap shock listrik
dengan lempeng logam yang diberi pelumas yang
ditempatkan pada bawah paha. Kepingan jaringan
yang halus dibuang dengan irisan dan tempat tempat
pendarahan dihentikan dengan couterisasi. Setelah
TUR dipasang folley kateter tiga saluran ( three way
cateter ) ukuran 24 Fr yang dilengkapi balon 30-40
ml. Setelah balon kateter dikembangkan, kateter
ditarik kebawah sehingga balon berada pada fosa
prostat yang bekerja sebagai hemostat. Kemudian
ditraksi pada kateter folley untuk meningkatkan
tekanan pada daerah operasi sehingga dapat
mengendalikan pendarahan. Ukuran kateter yang
besar dipasang untuk memperlancar membuang
gumpalan darah dari kandung kemih.
2) Prostatektomi suprapubis adalah salah satu metode
mengangkat kelenjar prostat dari uretra melalui
kandung kemih..
3) Prostatektomi perineal adalah mengangkat kelenjar
prostat melalui suatu insisi dalam perineum yaitu
diantara skrotum dan rektum.
4) Prostatektomi retropubik adalah insisi abdomen
mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis
dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.

12
5) Insisi prostat transuretral (TUIP) adalah prosedur
pembedahan dengan cara memasukkan instrumen
melalui uretra.
6) Trans Uretral Needle Ablation ( TUNA ), alat yang
dimasukkan melalui uretra yang apabila posisi sudah
diatur, dapat mengeluarkan 2 jarum yang dapat
menusuk adenoma dan  mengalirkan panas sehingga
terjadi koagulasi sepanjang jarum yang menancap
dijaringan prostat.
2. Penatalaksanaan keperawatan menurut Brunner and Suddart, (2000)
a. Mandi air hangat
b. Segera berkemih pada saat keinginan untuk berkemih
muncul.
c. Menghindari minuman beralkohol
d. Menghindari asupan cairan yang berlebihan terutama
pada malam hari.
e. Untuk mengurangi nokturia, sebaiknya kurangi asupan
cairan beberapa jam sebelum tidur.
3. Penatalaksanaan diit menurut Brunner and Suddart, (2000)
Klien dengan benigna prostat hiperplasia dianjurkan untuk
menghindari minuman beralkohol, kopi, teh, coklat, cola, dan
makanan yang terlalu berbumbu serta menghindari asupan
cairan yang berlebihan terutama pada malam hari.

i. Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH
adalah :
1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih

13
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin
terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi
menampung urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika
meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat
terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah
keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan
bila terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan
pada waktu miksi pasien harus mengedan.
j. Prognosis
Sebagian besar pasien memiliki kualitas hidup yang sangat
bagus setelah prostatektomi (baik endoskopik maupun terbuka)
(Grace and Borley, 2007). Lebih dari 90% pasien mengalami
perbaikan sebagian atau perbaikan dari gejala yang dialaminya.
Sekitar 10-20% akan mengalami kekambuhan penyumbatan
dalam 5 tahun (Schwartz, 2000).

PATHWAY BPH

Etiologi

Penuaan
14
Kerusakan MK :Penekanan MK : Penurunan MK : Obstruksi
resiko oleh
↑ ↑ketebalan
↓ kemampuan
ototResidu
Dekstrusorurin mukosa intoleransi
serabut-serabut
MK :pertumbuhan gangguan
gangguan eliminasi rasa Trauma
MK : bekas
resiko
pertahanansinus injury :
jendolan darah
stimulasi
↑Mitrotrouma
resistensi
Terjadi selleher
Terbentuknya
Kelemahan stroma
kompresi : sakula/
trauma,
V.U
otot yang
utera Perubahan
Media keseimbangan Mesenkim
Kebangkitan /
Hidronefrosis
Refluk urin
(fasefungsi
Prekompensasi)
V.U
berlebihan
operasi
ejakulasi,
dan
dipengaruhi
daerah infeksi
Dekstrusor
trabekula V.U
GH urogenitalaktivitas syaraf
urin
Prod. Testosteron
BPH
testosterone
kuman nyaman
+: retensi urin nyeri TURP.
↓Nyeri
estrogen terjadi
tubuh
Post infeksipendarahan
insisi
Berproliferasi
Prostatektomi
operasi
reawakening
uragential Folley
postcateter
OP

Anda mungkin juga menyukai