DISUSUN OLEH :
GUSMILASARI
2014901059
2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT dengan rahmat dan karunianya penulis
dapat menyelesaikan penugasan ini dengan judul “PERIOPERATIF PADA
PASIEN BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA DENGAN TINDAKAN
TURP (Transurethral resection of the Prostate) DI RUANG OPERASI
RUMAH SAKIT YUKUM MEDICAL CENTRE TAHUN 2021 ”. Shalawat
beriring salam penulis kirimkan kepada junjungan Alam Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga dan sahabat beliau sekalian.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR .................................................................................i
DAFTAR ISI ................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Dasar Teori...................................................................................1
B. Asuhan keperawatan ....................................................................4
BAB II : ISI
A. Tinjaun kasus ...............................................................................
B. Analisa data..................................................................................
C. Daftar diagnose keperawatan......................................................
D. Rencana Keperawatan ................................................................
E. Catatan Perkembang....................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.2 Epidemiologi
Hipertrofi prostat jinak (benign prostatic hypertrophy/BPH) ditandai
dengan pembesaran kelenjar prostat dan sangat sering ditemukan, muncul
pada > 50% pria berusia > 60 tahun dan 80% pada pria berusia > 80 tahun
(Davey, 2017). BPH merupakan persoalan yang dialami oleh kurang lebih
30% populasi kulit putih Amerika yang berusia di atas 50 tahun dengan
gejala sedang hingga berat (Mitchell et al, 2018).
Prostat adalah organ tubuh yang paling sering terkena penyakit pada pria
berusia di atas 50 tahun. Satu proses patologis yang paling banyak
ditemukan adalah hipertrofi protat jinak (benign prostatic hypertrophy,
BPH). Setidaknya 70% pria beursia 70 tahun mengalami BPH, 40% di
antaranya mengalami beberapa gejala obstruksi aliran keluar kandung
kemih. Usia merupakan faktor risiko untuk BPH. Data menunjukkan
bahwa pria ras kulit hitam yang memiliki risiko yang lebih tinggi
tampaknya berada pada status sosial ekonomi dan fasilitas kesehatan yang
buruk (Heffner, 2017).
Di Indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua
setelah penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umumnya,
diperkirakan hampir 50 persen pria Indonesia yang berusia di atas 50
tahun, dengan kini usia harapan hidup mencapai 65 tahun ditemukan
menderita penyakit BPH ini. Selanjutnya, 5% pria Indonesia sudah masuk
ke dalam lingkungan usia di atas 60 tahun. Oleh itu, jika dilihat dari 200
juta jumlah penduduk Indonesia, maka dapat diperkirakan 100 juta adalah
pria, dan yang berusia 60 tahun dan ke atas adalah kira-kira 5 juta, maka
dapat secara umumnya dinyatakan bahwa kira-kira 2,5 juta pria Indonesia
menderita penyakit BPH (Heffner, 2017).
1.1.3 Etiologi
Menurut Pakasi (2019) penyebab pasti BPH sampai sekarang belum
diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada
hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah
proses penuaan. beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :
a. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen
dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
b. Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi
stroma dan epitel.
c. Peningkatan Dehidrotestosteron (DHT)
Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan bantuan enzim
5α-reduktase diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan
prostat. Dalam sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk
dehidrotestosteron (DHT). Reseptor ini jumlahnya akan meningkat
dengan bantuan estrogen. DHT yang dibentuk kemudian akan
berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor kompleks.
Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk
menyebabkan sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel
(Hardjowidjoto, 2020).
d. Apoptosis
Kematian sel berakibat terjadinya kondensasi dan fragmentasi sel. Sel
yang telah mati tersebut akan difagositosis sel sekitarnya dan
didegradasi oleh enzim lisosom. Hal ini, menyebabkan pertambahan
massa prostat.
1.1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan BPH secara umum menurut Grace and Borley (2017)
adalah:
a. Medikamentosa, seperti mengubah asupan cairan oral; kurangi
konsumsi kafein; menggunakan Bloker α- adrenergic (misalnya
fenoksibenzamin, prazosin); antiandrogen yang bekerja selektif pada
tingkat seluler prostat (misalnya finasteride); kateterisasi intermiten
jika terdapat kegagalan otot detrusor; dan dilatasi balon dan stenting
pada prostat (pada pasien yang tidak siap operasi).
b. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
1) Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi
urin akut.
2) Klien dengan residual urin 100 ml.
3) Terapi medikamentosa tidak berhasil.
4) Flowmetri menunjukkan pola obstruktif
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
1) TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat )
2) Retropubic atau Extravesical Prostatectomy
3) Perianal Prostatectomy
4) Suprapubic atau Tranvesical Prostatectomy
Menurut Sjamsuhidjat (2018), dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH
tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis, yaitu:
a. Stadium I, biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa
seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif
segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi
prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan
untuk pemakaian lama.
b. Stadium II, merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c. Stadium III, reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan
selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik
dan perineal.
d. Stadium IV, yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita
dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah
itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi diagnosis,
kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan
pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan
obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah
dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
1.1.7 Patofisiologi
1 Patofisiologi
Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan
sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan.
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi urin
pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot detrusor
menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel.
Fase penebalan detrusor disebut fase kompensasi. Apabila keadaan
berlanjut, maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi retensi urin yang selanjutnya dapat menyebabkan
hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas (Baradero, dkk 2007).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat
mengakibatkan aliran urin tidak deras dan sesudah miksi terdapat
urin yang menetes, kencing terputus-putus (intermitten), dengan
adanya obstruksi mengakibatkan pasien sulit memulai berkemih
(hesintensi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin, vesika
urinaria mengalami iritasi dan urin tertahan di dalamnya sehingga
pasien merasa kandung kemih tidak menjadi kosong setelah
berkemih yang mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih
pendek (nocturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien
mengalami perasaan ingi berkemih yang mendesak (urgency) dan
nyeri saat berkemih (disuria) (Purnomo, 2011).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan
obstruksi akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik
menyebabkan refluk vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis, dan
gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi.
Pada waktu miksi pasien harus mengejan sehingga lama kelamaan
menyebabkan hernia dan hemoroid. Sisa urin dapat menyebabkan
batu endapan di dalam kandung kemih, batu ini juga dapat
menyebabkan sistisis dan bila terjadi refluk akan menyebabkan
pielonefritis (Sjamsuhidajat, 2010).
Perubahan usia (usia
lanjut)
Kadar testosteron
menurun Kadar estrogen
Ketidakseimbangan produksi meningkat
hormon estrogen dan testosteron
Mempengaruhi RNA dalam inti
sel hiperplasia sel stroma
BPH pada
Poliferasi sel prostat jaringan
Penebalan otot detrusor periuretral Krisis situasi Ansietas Terputusnya Bekuan darah Kerusakan
kontinuitas jar. integritas jar.
Dekompensasi otot detrusor Spasme urin
Penurunan
Kerusakan spasme urin Pertahanan
tubuh
Sukar peregangan vesika Penumpukan
Akumulasi urin di vesika berkemih, urinaria melebihi urin yang
Berkemih tidak kapasitas lama di Risiko
lancar vesika perdarahan
Retensi urinaria
urin Spasme Refluk urin ke ginjal Risiko
otot Pertumbuhan
mikro infeksi
sfingter
hidroureter, hidronefrosis organisme
Terapeutik
a. Berikan teknik nonfarmakologis (misal: terapi
musik, terapi pijat)
Edukasi
a. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
b. Jelaskan strategi meredakan nyeri
c. Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi
nyeri
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
Edukasi
a. Jelaskan prosedur serta sensasi yang mungkin
dialami
b. Informasikan secara faktual mengenai diagnosis,
pengobatan, dan prognosis
c. Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien
d. Anjurkan melakukan kegiatan yang tidak kompetitif
e. Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi
ketegangan
f. Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang
tepat
g. Latih teknik relaksasi
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu
Terapeutik
a. Pertahankan bedrest selama perdarahan
b. Batasi tindakan invasif, jika perlu
c. Gunakan kasur pencegah dekubitus
d. Hindari pengukuran suhu rektal
Edukasi
a. Jelaskan tanda dan gejala perdarahan
b. Anjurkan menggunakan kaus kaki saat ambulasi
c. Anjurkan meningkatkan asupan cairan untuk
mencegah konstipasi
d. Anjurkan menghindari aspirin atau antikoagulan
e. Anjurkan meningkatkan asupan makanan dan
vitamin K
f. Anjurkan segera melapor jika terjadi perdarahan
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan,
jika perlu
b. Kolaborasi pemberian produk darah, jika perlu
c. Kolaborasi pemberian pelunak tinja, jika perlu
Kolaborasi
a. Lakukan penghangatan aktif internal (infus cairan
hangat, oksigen hangat, lavase peritoneal dengan
cairan hangat)
Terapeutik
a. Sediakan lingkungan yang hangat (atur suhu
ruangan)
b. Lakukan penghangatan pasif (selimut, menutup
kepala, pakaian tebal)
c. Lakukan penghangatan aktif eksternal (kompres
hangat, selimut hangat, botol hangat, metode
kangguru)
d. Lakukan penghangatan aktif internal (infus cairan
hangat, oksigen hangat, lavase peritoneal dengan
cairan hangat)
6. Post Operatif Setelah dilakukan asuhan Managemen Nyeri
Nyeri akut keperawatan diharapkan nyeri akut Observasi
berhubungan berkurang atau hilang dengan kriteria a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
dengan agen hasil : kualitas, intensita nyeri
pencedera fisik a. Keluhan nyeri menurun b. Identifikasi skala nyeri
(prosedur b. Melaporkan nyeri terkontrol c. Identifikasi respons nyeri non verbal
pembedahan) meningkat d. Identifikasi faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri
Terapeutik
a. Berikan teknik nonfarmakologis (misal: terapi musik,
terapi pijat)
Edukasi
a. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
b. Jelaskan strategi meredakan nyeri
c. Ajarkan teknik non farmakologis untuk mengurangi
nyeri
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
7. Risiko Perdarahan Setelah dilakukan asuhan Pencegahan Perdarahan
d.d tindakan keperawatan diharapkan risiko Observasi
pembedahan perdarahan tidak terjadi dengan a. Monitor tanda dan gejala perdarahan
kriteria hasil : b. Monitor nilai hematokrit/hemoglobin sebelum dan
a. Tidak ada tanda-tanda perdarahan sesudah kehilangan darah
c. Monitor tanda-tanda vital ortostatik
d. Monitor koagulasi
Terapeutik
a. Pertahankan bedrest selama perdarahan
b. Batasi tindakan invasif, jika perlu
c. Gunakan kasur pencegah dekubitus
d. Hindari pengukuran suhu rektal
Edukasi
a. Jelaskan tanda dan gejala perdarahan
b. Anjurkan menggunakan kaus kaki saat ambulasi
c. Anjurkan meningkatkan asupan cairan untuk
mencegah konstipasi
d. Anjurkan menghindari aspirin atau antikoagulan
e. Anjurkan meningkatkan asupan makanan dan
vitamin K
f. Anjurkan segera melapor jika terjadi perdarahan
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan,
jika perlu
b. Kolaborasi pemberian produk darah, jika perlu
c. Kolaborasi pemberian pelunak tinja, jika perlu
BAB II
TINJAUAN KASUS
A. Hasil Asuhan
Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Umur : 60 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku/Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SMA
Gol.Darah :B
Alamat : Bandar jaya
Tanggungan : BPJS
No.RM : 165812
Tgl Masuk Rs : 22 Juni 2021
Tgl Pengkajian: 23 Juni 2021
Diagnosa : Benigna Prostat Hiperplasia
1 Riwayat Praoperatif
a. Pasien mulai dirawat tgl : 22 Juni 2021 Diruang pre operasi
b. Keluhan Utama : pasien mengatakan cemas
c. Ringkasan hasil anamnesa preoperatif :
Pada saat pengkajian tanggal 23 Juni 2021, pasien mengatakan datang ke poli bedah Rumah Sakit Yukum Medical Centre pada
tanggal 22 Juni 2021 dengan keluhan sulit BAK sejak 1 tahun yang lalu dan oleh dokter pasien dianjurkan rawat inap untuk
direncanakan tindakan operasi pada tanggal 23 Juni 20210. Pasien mengatakan cemas, pasien mengatakan takut mau operasi
pertama kalinya dan pasien mengatakan khawatir dengan akibat yang akan dialaminya.
d. Hasil Pemeriksaan Fisik
1) Tanda-tanda vital :
Tanggal 23 Juni 2021Pukul : 14.00 WIB
Kesadaran : Composmentis GCS : 15 Orientasi : Baik
TD : 140/90 mmHg Nadi : 96 x/m
Suhu : 360C Pernafasan : 22 x/m
2) Pemeriksaan Fisik
a) Kepala Dan Leher :
(1) Inspeksi : kulit kepala tampak bersih, distribusi rambut rata, tidak terdapat lesi, membran mukosa lembab
(2) Palpasi : tidak teraba benjolan, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
b) Thorax ( Jantung dan Paru ) :
Paru
(1) Inspeksi : bentuk dada simetris, pergerakan dinding dada antara kanan dan kiri sama
(2) Palpasi : vocal fremitus getaran sama, tidak ada nyeri tekan
(3) Perkusi : terdengar bunyi sonor pada kedua lapang dada
(4) Auskultasi : terdengar suara vesikuler
Jantung
(1) Inspeksi : tidak tampak ictus cordis, tidak ada sianosis, tidak ada clubbing finger
(2) Palpasi : CRT (Capillary Refill Time) : 2 detik, akral teraba dingin, tidak teraba benjolan
(3) Perkusi :
Batas jantung kanan atas : ICS II Linea Para Sternalis Dextra
Batas jantung kiri atas : ICS II Linea Para Sternalis Sinistra
Batas jantung kiri bawah : ICS IV Mid Sinistra
Batas jantung kanan bawah : ICS IV Parasternalis Dextra
(4) Auskultasi : Terdengar BJ 1 & BJ 2, Tidak ada suara tambahan
c) Abdomen :
(1) Inspeksi : pergerakan abdomen simetris, tidak ada lesi pada seluruh kuadran
(2) Auskultasi : bising usus 10x/menit pada seluruh lapang kuadran
(3) Palpasi : terdapat distensi kandung kemih
(4) Perkusi : suara timpani pada kuadran kiri
d) Ekstremitas ( atas dan bawah) :
Tidak ada lesi, tidak ada fraktur, Kekuatan otot 5555 5555
Turgor kulit baik 5555 5555
e) Genetalia & Rectum :
Terdapat perbesaran prostat dari hasil USG
e. Pemeriksaan Penunjang
Nama Pasien : Tn. S Tgl pemeriksaan : 22 Juni 2021
No RM : 00437207 Diagnosa : BPH
Tabel 4.1 Hasil Laboratorium
HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM KLINIK
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
HEMATOLOGI
Darah Rutin Lengkap
Leukosit 7.900 /uL 4.400-11.300
Eritrosit 5.3 juta/uL 4.3-5.9
Hemoglobin 14.4 gr% 13.5-17.5
Hematokrit 45 gr% 40-52
MCV 85 Fl 80-100
MCH 27 ρg 26-34
MCHC 32 gr% 32-36
Trombosit 242.000 ribu/Ul 150.000-450.000
HEMOSTATIS
Masa Perdarahan/BT 3 Menit <6
Masa Pembekuan/CT 11 Menit 9-16
KIMIA KLINIK
Karbohidrat
Glukosa Darah Sewaktu 130 mg% 70-180
Fungsi Ginjal
Ureum 42 mg% 15-50
Kreatinin 1.2 u/l 0.67-1.17
Agen SARS-Cov-2 negatif - Negative
Tabel 4.2 Hasil Pemeriksaan Ultrasonografi dan Elektrokardiogram
Hasil Pemeriksaan Ultrasonografi tanggal 22 Juni Hasil Elektrokardiogram tanggal
2021 22 Juni 2021
Keterangan:
a. tidak pernah/sedikit : 1
b. kadang-kadang :2
c. cukup sering :3
d. hampir sering/selalu : 4
Rentang penilaian:
Skor 20-44 : ansietas ringan
Skor 45-59 : ansietas sedang
Skor 60-74 : ansietas berat
Skor 75-80 : panik
3. Puasa 07.00
7. Transfusi darah
8. Terapi cairan infus
f. Pemberian Obat-obatan :
Tabel 4.5 Obat Premedikasi
(diberikan sebelum pembedahan)
Tgl/jam Nama Obat Jenis Obat Dosis Rute
- - - - -
2 Intra Operatif
a. Tanggal : 22 Juni 2021 Pukul : 14.42 WIB
Tabel 4.7 Tanda-Tanda Vital
Waktu TD HR RR S
14.42 140/90 mmHg 80 x/mnt 18 x/mnt 36.3 oC
14.47 142/92 mmHg 83 x/mnt 18 x/mnt 36.5 oC
14.52 140/90 mmHg 86 x/mnt 20 x/mnt 36.5 oC
14.57 144/92 mmHg 86 x/mnt 22 x/mnt 36.0 oC
15.02 139/88 mmHg 84 x/mnt 20 x/mnt 36.0 oC
15.07 140/88 mmHg 83 x/mnt 20 x/mnt 36.5 oC
15.14 140/90 mmHg 88 x/mnt 18 x/mnt 36.3 oC
Tidak
Ya, peralatan akses cairan
telah direncanakan
3Post Operasi
a. Pasien dipindahkan keruang PACU/RR pukul 15.16 WIB
b. Keluhan saat di RR/PACU : pasien menegeluh kakinya tidak dapat digerakkan
c. Airway : Tidak ada masalah pada jalan nafas
d. Breathing : RR: 20x/mnt, clear tidak ada masalah
e. Sirkulasi : TD:140/87 mmHg, N:88 x/mnt, CRT 2 detik
f. Observasi Recovery Room:
Tabel 4.13 Bromage Score
NO KRITERIA SCORE SCORE
1. Dapat mengangkat tungkai bawah 0
2. Tidak dapat menekuk lutut tetapi dapat 1
mengangkat kaki
3. Tidak dapat mengangkat tungkai bawah tetapi 2 2
masih dapat mengangkat lutut
4. Tidak dapat mengangkat kaki sama sekali 3
Jumlah 2
42
konstipasi
c. Anjurkan menghindari aspirin atau antikoagulan
d. Anjurkan meningkatkan asupan makanan dan vitamin K
A : Ansietas
P:
Pantau kondisi pasien
Pasien diantar ke ruang operasi pukul 14.38 wib
43
Terapeutik Pasien tidak menggigil
a. Mengatur suhu ruangan
14.45 wib b. Melakukan penghangatan aktif (warm blanket) A : Hipotermia
14.45 wib P:
Pantau kondisi pasien
Pasien diantar ke ruang pulih sadar pukul 15.16 wib
44
BAB III
1. Pre Operasi
Sebelum menjalani tindakan operasi ada beberapa persiapan yang
harus dipersiapkan oleh pasien, yaitu: persiapan fisik dan persiapan
mental. Persiapan fisik meliputi puasa, eliminasi, personal hygiene,
istirahat tidur, medikasi, intruksi khusus, dan persiapan kulit. Persiapan
fisik dimaksudkan agar pasien mampu menghadapi prosedur bedah
sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi pasca bedah sebagai
dampak terhadap pemberian obat anastesi (Handayan, 2011) sedangkan
persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam
proses persiapan operasi, karena mental pasien yang tidak siap atau labil
dapat berpengaruh terhadap kondisi fisiknya.
Tindakan pembedahan merupakan ancaman potensial maupun
aktual pada integritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi stress
fisiologis maupun psikologis. Ketakutan dan kecemasan yang mungkin
dialami pasien dapat dideteksi dengan adanya perubahan-perubahan fisik
seperti meningkatnya frekuensi nadi dan pernapasan, gerakan-gerakan
tangan yang tidak terkontrol, telapak tangan yang lembab, gelisah,
menanyakan pertanyaan yang sama berulang kali, sulit tidur, sering
berkemih (Abdul Majid dkk, 2011).
Pada saat dilakukan pengkajian di ruang pre operasi ditemukan
data pasien tampak cemas, pasien tampak tegang, pasien baru operasi
pertama kalinya dan pasien mengatakan khawatir dengan akibat yang
akan dialaminya. TTV Pasien saat masuk : TD: 140/90 mmHg, Nadi: 96
x/m, Suhu: 36 0C, Pernafasan: 22 x/m, skor penilaian ansietas 46 dengan
tingkat ansietas sedang di ukur oleh alat ukur Zung-Self Anxiety Rating
Scale (ZSAS), kemudian saat dilakukan pemeriksaan fisik head to toe
ditemukan data abnormal pada bagian abdomen yaitu terdapat distensi
kandung kemih. Pada pemeriksaan ultrasonografi juga ditemukan adanya
pembesaran prostat. Masalah keperawatan yang muncul pada fase pre
operasi adalah ansietas b.d kekhawatiran mengalami kegagalan (tindakan
operasi) yang didukung dengan data subjektif : pasien mengatakan baru
operasi pertama kalinya, pasien mengatakan khawatir dengan akibat yang
akan dialaminya. Dan didukung oleh data obyektif : Pasien tampak
gelisah, pasien tampak tegang, TD: 140/90 mmHg, Nadi: 96 x/m, Suhu:
36 0, Pernafasan : 20 x/m, skor penilaian ansietas 46 dengan tingkat
ansietas sedang di ukur oleh alat ukur Zung-Self Anxiety Rating Scale
(ZSAS). Data tersebut juga di dukung oleh teori yang dikemukakan oleh
(Aprianto, 2013), penderita pre operasi khususnya pre operasi TURP
(Transurethral resection of the prostate) biasanya timbul rasa cemas
seperti sulit tidur, aritmia, muncul perasaan tidak nyaman, rasa khawatir
yang berlebihan dan bisa sampai menyebabkan panik Kecemasan
merupakan reaksi emosional terhadap penilaian individu yang subyektif,
yang dipengaruhi oleh alam bawah sadar dan tidak diketahui secara
khusus penyebabnya. Kemudian penulis merancang intervensi
keperawatan pada Tn. S yaitu monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan
non verbal, ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan
kepercayaan, temani pasien untuk mengurangi kecemasan, dengarkan
dengan penuh perhatian, gunakan pendekatan yang tenang dan
meyakinkan, jelaskan prosedur serta sensasi yang mungkin dialami,
melatih teknik relaksasi napas dalam. Setelah rencana tindakan
46
keperawatan di susun maka penulis melakukan implementasi sesuai
kebutuhan Tn.S yaitu monitoring tanda-tanda ansietas (verbal dan non
verbal, menciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan
kepercayaan, menemani pasien untuk mengurangi kecemasan,
mendengarkan dengan penuh perhatian, menggunakan pendekatan yang
tenang dan meyakinkan, menjelaskan prosedur serta sensasi yang
mungkin dialami, melatih teknik relaksasi napas dalam. Kondisi Tn. S
setelah dilakukan implementasi dan evaluasi yaitu pasien mengatakan
rasa khawatir berkurang, TD: 130/80 mmHg, Nadi: 90 x/m, Suhu: 36 0C,
Pernafasan : 20 x/m, skor ansietas 38 dengan tingkat ansietas ringan di
ukur dengan alat ukur Zung-Self Anxiety Rating Scale (ZSAS), pasien
tampak lebih tenang, pasien mengungkapkan apa yang dirasakan, pasien
sudah melakukan relaksasi nafas dalam, pasien sudah mengerti tentang
prosedur dan sensasi yang mungkin dialami, sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa ansietas yang dialami pasien teratasi.
Menurut (Depkes, 2013) kecemasan pada pasien pre operasi
merupakan suatu respon antisipasi terhadap suatu pengalaman baru yang
dapat dianggap pasien sebagi suatu ancaman terhadap perannya dalam
hidup atau bahkan kehidupannya sendiri. Seseorang yang sangat cemas
sehingga tidak bisa berbicara dan mencoba menyesuaikan diri dengan
kecemasan sebelum operasi seringkali menjadi hambatan pada paska
operasi Keadaan pasien yang cemas akan mempengaruhi kebutuhan tidur
dan istirahat, sehingga akan mempengaruhi tingkat pemulihan pada
pasien pasca operasi.
Berdasarkan teori yang disusun oleh Tim Pokja DPP PPNI (2016)
Gejala dan tanda mayor untuk diagnosa ansietas secara subjektif adalah
merasa bingung, merasa khawatir dengan kondisi yang akan dihadapi dan
sulit berkonsentrasi, sedangkan untuk data objektifnya adalah tampak
gelisah, tampak tegang, dan sulit tidur. Selain gejala dan tanda mayor ada
juga gejala dan tanda minor yang ditandai dengan data subjektif seperti
mengeluh pusing, anoreksia, palitasi, dan merasa tidak berdaya,
47
sedangkan data objektinya adalah frekuensi nafas meningkat, frekuensi
nadi meningkat, tekanan darah meningkat, diaforesis, tremor, muka
tampak pucat, suara bergetar, kontak mata buruk, sering berkemih, an
berorientasi pada masa lalu .
Kecemasan pada pasien pre operasi dapat dicegah dengan
menggunakan teknik relaksasi, salah satunya adalah relaksasi napas
dalam. Teknik relaksasi napas dalam merupakan suatu bentuk asuhan
keperawatan yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada pasien
bagaimana caranya melakukan napas dalam, napas lambat (menahan
inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan napas secara
perlahan. Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, meningkatkan
ventilasi paru, dan meningkatkan oksigenasi darah (Sari, 2015).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rokawie (2017),
mengatakan bahwa ansietas dapat dicegah dengan terapi yaitu terdapat
terapi relaksasi napas dalam, distraksi lima jari, atau hipnosis lima jari,
terapi genggam jari, terapi dengan aromaterapi, relaksasi imajinasi
terbimbing dan lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian oleh Kustiawan & Hilmansyah yang
berjudul Kecemasan Pasien Pre Operatif Bedah Mayor di RSU Kota
Tasikmalaya tahun 2013 menunjukkan berdasarkan jenis kelamin
menunjukkan tingkat kcemasan sedang (52.40%), berdasarkan
pendidikan (52.40%), berdasakan jenis pekerjaan (33.30%), berdasarkan
usia >35 tahun (52.40%). Mayoritas tingkat kecemasan pada pasien pre
operasi adalah cemas sedang (81%).
Hal tersebut di dukung oleh hasil penelitian Berticarahmi dan
Pujiarto, 2018 yang berjudul asuhan keperawatan pada pasien pre operasi
TURP (Transurethral resection of the prostate) dengan masalah
keperawatan ansietas menggunakan teknik relaksasi napas dalam dan
distraksi lima jari di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung
didapati penurunan ansietas pada Tn.A dan Tn.M setelah dilakukan
intervensi relaksasi napas dalam dan distraksi lima jari. Sebelum
48
dilakukan intervensi, Tn.A mengalami ansietas sedang (total HRS-A
yaitu 21) sedangkan Tn.M mengalami ansietas berat (total HRS-A yaitu
28). Setelah intervensi dilakukan selama 2 hari berturut-turut dalam
pemberian waktu 3 kali sehari, Tn.A tidak lagi mengalami ansietas (total
HRS-A yaitu 3) dan juga Tn.M tidak lagi mengalami ansietas (total HRS-
A yaitu 5).
Penulis menegakkan diagnosa ansietas pada fase pre operasi karena
pasien mengalami kekhawatiran mengalami kegagalan menjalani operasi
yang didukung oleh penilaian ansietas dengan tingkat ansietas sedang
oleh alat ukur ZSAS sehingga perlu dilakukan intervensi mandiri oleh
penulis agar kecemasan menurun dan tidak berpengaruh pada kondisi
pasien sebelum menjalani operasi.
2. Intra Operasi
Pengkajian yang dilakukan pada fase intra operatif lebih kompleks
dan harus dilakukan secara cepat dan ringkas. Kemampuan dalam
mengenali masalah pasien yang berisiko maupun aktual akan didapatkan
berdasarkan pengetahuan dan pengalaman keperawatan (Muttaqin &
kumala, 2009). Data-data yang diperoleh penulis pada saat pengkajian
intra operasi adalah pasien mengatakan kedinginan, pasien tampak
menggigil kedinginan, akral teraba dingin, suhu tubuh 35.2 oC, suhu
ruangan 18 oC. Sehingga diagnosa yang ditegakkan pada face intra
operasi yaitu hipotermia b.d terpapar suhu lingkungan rendah.
Selanjutnya dilakukan penyusunan rencana keperawatan yaitu monitor
suhu tubuh, identifikasi penyebab hipotermia (terpapar suhu lingkungan
rendah, kerusakan hipotalamus, penurunan laju metabolisme, kekurangan
lemak subkutan), monitor tanda dan gejala akibat hipotermia, atur suhu
ruangan, melakukan penghangatan aktif (warm blanket). Kondisi Tn.S
setelah dilakukan implementasi dan evaluasi yaitu pasien mengatakan
dingin berkurang, suhu tubuh 36.6 oC, suhu ruangan 18 oC, pasien
49
terpasang blanket warm, akral teraba hangat, pasien tidak menggigil.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotermia pada pasien teratasi.
Data di atas juga di dukung oleh teori yang dikemukakan oleh
(Fauzi dkk, 2014), pasien yang dilakukan tindakan operasi dengan
anastesi spinal biasanya mengalami gejala menggigil kedinginan.
Menggigil merupakan keadaan yang tidak nyaman dan merupakan salah
satu komplikasi yang sering terjadi serelah tindakan anastesi, khususnya
anastesi spinal pada pasien yang menjalani operasi. Proses ini merupakan
suatu respon normal termoregulasi yang terjadi terhadap hipotermia, akan
tetapi proses ini juga dapat diakibatkan oleh karena rangsangan nyeri dan
juga agen anastesi tertentu. Kombinasi dari tindakan anastesi dan
tindakan operatif dapat menyebabkan penurunan suhu inti tubuh
sehingga menyebabkan hipotermia. Risiko utama yang terjadi pada
pasien menggigil pasca anastesi ialah peningkatan proses metabolisme
(sampai 400%). Menggigil pasca anastesi dapat dikurangi dengan
berbagai cara, diantaranya dengan meminimalkan kehilangan panas
selama operasi dan mencegah kehilangan panas karena lingkungan tubuh.
Cara-cara mengurangi menggigil diantaranya: suhu kamar operasi yang
nyaman bagi pasien yaitu pada suhu 18 oC, ruang pemulihan yang hangat
o
dengan suhu ruangan 24 C, penggunaan cairan kristaloid yang
dihangatkan.
Berdasarkan hasil penelitian Fauzi, dkk tahun 2014 yang berjudul
Gambaran Kejadian Menggigil (Shivering) Pada Pasien dengan Tindakan
Operasi yang Menggunakan Anastesi Spinal di RSUD Karawang,
didapatkan sebanyak 15 orang atau 78.95% sementara 4 orang lainnya
atau 21.05% mengalami penurunan tekanan darah, serta adanya
perubahan pada denyut nadi tubuh pasien, dimana adanya peningkatan
nadi saat terjadi menggigil pada 12 pasien (63.16%) dan terjadi
penurunan denyut nadi pada 7 pasien (36.84%).
Komplikasi yang bisa muncul pasca tindakan anastesi adalah
hipotermia. Hipotermia merupakan suatu keadaan suhu tubuh dibawah 36
50
o
C. Hipotermia sebagai komplikasi pasca anastesi tercepat selama 24 jam
pertama setelah tindakan operasi yaitu 10-30% (Setiyanti, 2016).
Berdasarkan teori yang disusun oleh Tim Pokja DPP PPNI (2016)
Gejala dan tanda mayor untuk diagnosa hipotermia secara obyektif
adalah kulit teraba dingin, menggigil, dan suhu tubuh di bawah nilai
normal. Adapula tanda dan gejala minor secara obyektif adalah
akrosianosis, bradikardi, dasar kuku sianotik, hipoglikemia, hipoksia,
pengisian kapiler >3 detik, konsumsi oksigen meningkat, ventilasi
menurun, piloereksi, takikardia, vasokontriksi perifer, dan kutis
memorata (pada neonatus).
Berdasarkan penjelasan diatas maka terdapat banyak kesamaan
antara data yang diperoleh dengan teori yang ada pada Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia yang disusun oleh Tim Pokja DPP PPNI (2016),
sehingga dapat ditegakkan diagnosa ansietas berdasarkan data-data
tersebut. Intervensi yang dapat dilakukan untuk diagnosa hipotermi
adalah salah satunya Managemen Hipotermia meliputi: Observasi
(monitor suhu tubuh, identifikasi penyebab hipotermia (mis, terpapar
suhu lingkungan rendah, pakaian tipis , kerusakan hipotalamus dan
kekurangan lemak subkutan), monitor tanda dan gejala akibat hipotermia
(hipotermia ringan : takipnea, disartria, menggigil, hipertensi, diuresis,
Hipotermia sedang : aritmia, hipotensi, apatis, reflex menurun,
Hipotermia berat : oliguria, reflex menghilang, edema paru, asam basa
abnormal)), Teraupetik (sediakan lingkungan yang hangat ( mis, atur
suhu ruangan, incubator), anti pakaian dan atau linen yang basah,
lakukan penghangatan aktif eksternal (mis, kompres hangat, botol hangat,
selimut hangat, perawatan metoda kangguru), lakukan oenghangatan
aktif internal ( mis, infus cairan hangat, oksigen hangat, lavase peritoneal
dengan cairan hangat)), Edukasi (anjurkan makan/minum hangat).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Torossian et al yang
berjudul Active Peroperative Patient Warming Using A Self-Warming
Blanket (BARRIER Easywarm) Is Superior To Passive Thermal
51
Insulation: A Multinational, Multicenter, Randomized Trial Selimut
Barrier Easy Warm secara signifikan meningkatkan suhu tubuh inti
perioperatif dibandingkan dengan selimut rumah sakit standar (36.5 oC,
SD 0.4 oC vs 36.3 oC, SD 0.3 oC; ρ <0.001). secara intraoperatif pada
kelompok intervensi kejadian hipotermia adalah 38% dibandingkan
dengan 60% pada kelompok kontrol (ρ =0.001). pasca operasi angka-
angka itu 24% vs 49%. Kelompok intervensi memiliki skor kenyamanan
termal yang lebih tinggi secara signifikan, sebelum operasi dan pasca
operasi.
Penulis menegakkan diagnosa hipotermia pada fase intra operasi
karena pasien dilakukan anestesi spinal yang mana resiko yang terjadi
pasca anestesi adalah peningkatan proses metabolisme (sampai 400%)
sehingga pasien perlu dilakukan intervensi secara mandiri oleh penulis
untuk meminimalkan penurunan suhu inti tubuh sehingga psien merasa
nyaman dengan keluhan menggigil kedinginan berkurang.
3. Post Operasi
Pengkajian post operasi meliputi efek agen anastesi dan memantau
fungsi vital serta mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian
berfokus pada peningkatan penyembuhan pasien dan melakukan
penyuluhan, perawatan tindak lanjut, serta rujukan untuk penyembuhan,
rehabilitasi, dan pemulangan (Hipkabi, 2014).
Data-data yang penulis temukan pada saat pengkajian post operasi
yaitu pasien telah dilakukan tindakan TURP (Transurethral resection of
the prostate), akral teraba dingin, balance cairan = 900-291,25 = 608,75
cc. Diagnosa yang ditemukan pada fase post operasi yaitu risiko
perdarahan b.d tindakan pembedahan. Berdasarkan asuhan keperawatan
perioperatif terhadap Tn.S dengan tindakan TURP (Transurethral
resection of the prostate) atas indikasi Benigna Prostat Hiperplasia telah
dilakukan implementasi dan evaluasi menggunakan komponen SOAP.
Kondisi pasien setelah dilakukan implementasi dan evaluasi yaitu tidak
52
ada penyumbatan darah pada selang kateter , balance cairan = 200 –
141.25 = 58.75 cc, pasien mengerti anjuran perawat tentang pencegahan
perdarahan.
Berdasarkan teori yang disusun oleh Tim Pokja DPP PPNI (2016)
Gejala dan tanda mayor untuk diagnosa risiko perdarahan secara
subyektif maupun obyektif tidak muncul, namun terdapat faktor risiko
yang berhubungan dengan diagnosa risiko perdarahan, diantaranya:
aneurisma, efek agen farmakologis, tindakan pembedahan, trauma,
proses keganasan. Pada diagnosa risiko perdarahan ada salah satu faktor
risiko yang berhubungan dengan diagnosa ini yaitu tindakan
pembedahan.
Menurut Tim Pokja DPP PPNI (2018), intervensi yang dapat
dilakukan untuk diagnosa risiko perdarahan salah satunya adalah
Pencegahan Perdarahan meliputi: Observasi (monitor tanda dan gejala
perdarahan, monitor nilai hematokrit/hemoglobin sebelum dan sesudah
kehilangan darah, monitor tanda-tanda vital ortostatik, monitor
koagulasi), Terapeutik (pertahankan bedrest selama perdarahan, batasi
tindakan invasif, jika perlu, gunakan kasur pencegah dekubitus, hindari
pengukuran suhu rektal), Edukasi (jelaskan tanda dan gejala perdarahan,
anjurkan menggunakan kaus kaki saat ambulasi, anjurkan meningkatkan
asupan cairan untuk mencegah konstipasi, anjurkan menghindari aspirin
atau antikoagulan, anjurkan meningkatkan asupan makanan dan vitamin
K, anjurkan segera melapor jika terjadi perdarahan), Kolaborasi
(kolaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan (jika perlu),
kolaborasi pemberian produk darah ( jika perlu), kolaborasi pemberian
pelunak tinja, jika perlu.
Penulis dalam melaksanakan tindakan keperawatan menggunakan
rencana keperawatan menurut Tim Pokja DPP PPNI (2018) di kombinasi
dengan rencana keperawatan yang di susun oleh rumah sakit Yukum
Medical Centre yang sudah sesuai standar operasional prosedur.
Implementasi yang telah dilakukan pada pasien intra operasi TURP
53
(Transurethral resection of the prostate) atas indikasi Benigna Prostat
Hiperplasia dengan diagnosa risiko perdarahan b.d tindakan pembedahan
yaitu monitoring tanda dan gejala perdarahan, memeriksa drain,
menghitung input output cairan, menjelaskan tanda dan gejala
perdarahan, menganjurkan meningkatkan asupan cairan untuk mencegah
konstipasi, menganjurkan menghindari aspirin atau antikoagulan,
menganjurkan meningkatkan asupan makanan dan vitamin K. Tindakan
yang dilakukan sudah sesuai dengan yang direncanakan.
Pada kasus ini pasien Benigna Prostat Hiperplasia dengan tindakan
TURP (Transurethral resection of the prostate) dilakukan pemasangan
traksi untuk mencegah terjadinya perdarahan, hal ini sejalan dengan teori
yang dikemukakan oleh (Fadlol, 2009), perdarahan yang terjadi pada
operasi dapat diatasi dengan cara traksi kateter dan irigasi kandung
kemih. Traksi kateter bertujuan untuk mengurangi perdarahan dengan
menarik balon kateter ke arah bladerneck dan menghalangi masuknya
perdarahan prostat ke dalam kandung kemih. Traksi dapat dikerjakan
dengan merekatkan ke paha pasien. Pada paha yang dilakukan perekatan
kateter tidak boleh fleksi/kaki harus tetap diluruskan selama traksi masih
terpasang agar traksi tetap menekan buli-buli.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Khamami dkk, 2018
yang berjudul Hubungan Traksi Kateter Terhadap Lamanya Perdarahan
Pasca Operasi Transvesica Prostatektomy (TVP) di RSUD Dr.
Soedirman Kebumen, responden paling banyak dengan rentang umur 66-
75 tahun sebanyak 7 responden (50%). Posisi kaki yang paling banyak
ditemukan yaitu lurus sebanyak 8 responden (57%), waktu perdarahan
paling banyak pada rentang waktu 12-24 jam sebanyak 6 responden
(43%), kesimpulannya terdapat hubungan yang signifikan antara traksi
kateter dengan lamanya perdarahan.
Penulis menegakkan diagnosa risiko perdarahan pada fase post
operasi karena pasien dilakukan pembedahan TURP (Transurethral
resection of the prostate) sehingga dikhawatirkan akan ada risiko
54
terjadinya perdarahan pasca operasi sehingga penulis melakukan
tindakan keperawatan secara mandiri salah satunya menghitung balance
cairan dan memberi edukasi mengenai tanda gejala perdarahan supaya
risiko perdarahan post operasi tidak terjadi.
2)
55
BAB V
PENUTUP
a. Kesimpulan
1. Dalam kasus ini masalah yang ditemukan pada fase pre operasi adalah
ansietas, setelah diberikan tindakan untuk menurunkan ansietas dengan
dilakukan monitoring tanda-tanda ansietas (verbal dan non verbal ),
menciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan,
menemani pasien untuk mengurangi kecemasan, mendengarkan dengan
penuh perhatian, menggunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan,
menjelaskan prosedur serta sensasi yang mungkin dialami, melatih teknik
relaksasi napas dalam, masalah teratasi ditandai dengan keluhan cemas
menurun, rasa khawatir menurun, dan pasien mampu melakukan teknik
relaksasi napas dalam.
2. Pada fase intra operasi ditemukan masalah keperawatan hipotermia
ditandai dengan keluhan kedinginan, akral teraba dingin, pasien tampak
menggigil. Setelah diberikan tindakan untuk mengatasi hipotermia
dengan dilakukan monitoring suhu tubuh, mengidentifikasi penyebab
hipotermia (terpapar suhu lingkungan rendah, kerusakan hipotalamus,
penurunan laju metabolisme, kekurangan lemak subkutan), monitoring
tanda dan gejala akibat hipotermia, mengatur suhu ruangan, melakukan
penghangatan aktif (warm blanket), masalah hipotermia teratasi ditandai
dengan keluhan kedinginan berkurang, terpasang blanket warm, dan suhu
tubuh 36.5 oC.
3. Pada fase post operasi ditemukan masalah keperawatan risiko perdarahan
ditandai dengan terpasang drainase dan pemasangan irigasi + traksi,
Akral teraba dingin, terdapat insisi supra pubis sepanjang ±6 cm. Setelah
dilakukan tindakan untuk mencegah terjadinya risiko perdarahan dengan
dilakukan monitoring tanda dan gejala perdarahan, memeriksa balutan,
drain, menghitung input output cairan, menjelaskan tanda dan gejala
perdarahan, menganjurkan meningkatkan asupan cairan untuk mencegah
konstipasi, menganjurkan menghindari aspirin atau antikoagulan,
menganjurkan meningkatkan asupan makanan dan vitamin. Masalah
risiko perdarahan tidak terjadi ditandai dengan tidak adanya perdarahan
dan balance cairan +8.75 cc.
Aprianto, D., Kristiyawati, S. P., Purnomo, S. Eko Ch. (2013). Efektifitas Teknik
Relaksasi Imajinasi Terbimbing dan Relaksasi Nafas Dalam Terhadap
Penurunan Kecemasan pada Pasien Pre Operasi di Semarang. Retrieved
from: ejournal.stikestelogorejo.ac.id diakses pada tanggal 01 Juli 2021.
Haryanto & Rihiantoro. (2016). Disfungsi Ereksi pada Penderita Benigna Prostat
Hiperplasia di Rumah Sakit Kota Bandar Lampung. Retrieved from:
https://ejurnal.poltekkes-tjk.ac.id diakses pada tanggal 01 Juli 2021
Hamim, dkk. (2015). Disfungsi Seksual Dengan Kualitas Hidup Pada Pasien
Benigna Prostat Hiperplasia di Poli Bedah RSUD Kanjuruhan Malang.
Retrieved from: eprint.umm.ac.id di akses pada tanggal 01 Juli 2021
Kustiawan & Hilmansyah. (2013). Kecemasan Pasien Pre Operatif Bedah Mayor
di RSU Kota Tasikmalaya. Retrieved from:
ejurnal.poltekkestasikmalaya.ac.id di akses pada tanggal 01 Juli 2021
Parsons KJ. (2010). Benign Prostatic Hyperplasia And Male Lower Urinary Tract
Symptoms: Epidemiology And Risk Factor. PMC; Hal 212-218.
Potter & Perry. (2010). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses &
Praktik, (Ed). Jakarta:EGC
Raharjo, D. (2009). Prostat Hipertrofi. Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Bina
Rupa Aksara.
Smeltzer and Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8.
Jakarta : EGC.
Sjamsuhidajat, R & Jong, D. W. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah (Edisi 2), Jakarta:
EGC.
Sjamsuhidajat dan Wim De Jong. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah Vol 3.
Jakarta:EGC.
Tim Pokja DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Dewan Pengurus Pusat PPNI: Jakarta.
Tim Pokja DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi
1. Dewan Pengurus Pusat PPNI: Jakarta.
Tim Pokja DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan. Edisi 1 Cetakan II. Dewan Pengurus Pusat
PPNI: Jakarta.