PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Hiperplasia prostat jinak juga dikenal sebagai Benign Prostatic
Hypertrophy (BPH) adalah diagnosis histologis yang ditandai oleh proliferasi dari
elemen seluler prostat. Akumulasi seluler dan pembesaran kelenjar timbul dari
proliferasi epitel dan stroma, gangguan diprogram kematian sel (apoptosis), atau
keduanya. (Detters, 2011).
BPH melibatkan unsur-unsur stroma dan epitel prostat yang timbul di zona
periuretra dan transisi dari kelenjar. Hiperplasia menyebabkan pembesaran prostat
yang dapat menyumbat aliran urin dari kandung kemih. BPH dianggap sebagai
bagian normal dari proses penuaan pada pria yang tergantung pada hormon
testosteron dan dihidrotestosteron (DHT). Diperkirakan 50% pria menunjukkan
histopatologis BPH pada usia 60 tahun. Jumlah ini meningkat menjadi 90% pada
usia 85 tahun. (Detters, 2011).
Disfungsi berkemih yang dihasilkan dari pembesaran kelenjar prostat dan
Bladder Outlet Obstruction (BOO) disebut Lower Urinary Tract Symptoms
(LUTS). Ini juga sering disebut sebagai prostatism, meskipun istilah ini jarang
digunakan. Pernyataan ini tumpang tindih, tidak semua laki-laki dengan BPH
memiliki LUT dan tidak semua pria dengan LUT mengalami BPH. Sekitar
setengah dari pria yang didiagnosis dengan BPH histopatologi menunjukkan LUT
berat. (Detters, 2011).
Manifestasi klinis dari LUT meliputi frekuensi kencing, urgency (buang
air kecil yang tidak dapat ditahan), nocturia (bangun di malam hari untuk buang
air kecil), atau polakisuria (sensasi buang air kecil yang tidak puas). Komplikasi
terjadi kurang umum tetapi mungkin dapat terjadi acute urine retention (AUR),
pengosongan kandung kemih terganggu, kebutuhan untuk operasi korektif, gagal
ginjal, infeksi saluran kemih berulang, batu kandung kemih, atau gross hematuria.
(Detters, 2011).
Volume prostat dapat meningkat dari waktu ke waktu pada pria dengan
BPH. Selain itu gejala dapat memburuk dari waktu ke waktu pada pria dengan
Hiperplasia Prostat
Page 1
BPH yang tidak diobati dan risiko AUR sehingga kebutuhan untuk operasi
korektif meningkat. (Detters, 2011).
Pasien yang tidak mengalami gejala tersebut harus mengalami
kewaspadaan pada komplikasi BPH. Pasien dengan LUT ringan dapat diobati
dengan terapi medis pada awalnya. Transurethral resection of the prostate (TURP)
dianggap standar kriteria untuk menghilangkan BOO yang disebabkan BPH.
Namun, ada minat yang cukup besar dalam pengembangan terapi minimal invasif
untuk mencapai tujuan TURP sambil menghindari efek samping. (Detters, 2011)
1.1.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Hiperplasia Prostat ?
1.2.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengidentifikasi pengertian Hiperplasia Prostat
2. Untuk mengidentifikasi etiologi Hiperplasia Prostat
3. Untuk mengidentifikasi klasifikasi Hiperplasia Prostat
4. Untuk mengidentifikasi patofisiologi Hiperplasia Prostat
5. Untuk mengidentifikasi manifestasi klinis Hiperplasia Prostat
6. Untuk mengidentifikasi komplikasi Hiperplasia Prostat
7. Untuk mengidentifikasi penatalaksanaan Hiperplasia Prostat
8. Untuk mengidentifikasi pemeriksaan diagnostic Hiperplasia Prostat
9. Untuk mengidentifikasi asuhan keperawatan Hiperplasia Prostat
1.3.
Manfaat Penulisan
1. Bagi Mahasiswa
Dengan adanya makalah ini, diharapkan mahasiswa mampu memahami
tentang Hiperplasia Prostat
2. Bagi Institusi
Dapat dijadikan sebagai referensi perpustakaan.
Hiperplasia Prostat
Page 2
BAB I
:Latar
belakang
masalah,
rumusan
masalah,
tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum
pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral
dan pembatasan aliran urinarius ( Marilynn, E.D, 2000 : 671 ).
Benigne Prostat Hyperplasia adalah pembesaran atau hypertropi prostat.
Kelenjar prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih
Hiperplasia Prostat
Page 3
Etiologi
Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada beberapa
pendapat dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses yang rumit dari
androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan
bantuan enzim 5-reduktase diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan
prostat. Dalam sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron
(DHT). Reseptor ini jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT
yang dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk DHTReseptor komplek. Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk
menyebabkan sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel. Adanya anggapan
bahwa sebagai dasar adanya gangguan keseimbangan hormon androgen dan
estrogen, dengan bertambahnya umur diketahui bahwa jumlah androgen
berkurang sehingga terjadi peninggian estrogen secara retatif. Diketahui estrogen
mempengaruhi prostat bagian dalam (bagian tengah, lobus lateralis dan lobus
medius) hingga pada hiperestrinisme, bagian inilah yang mengalami hiperplasia.
(Hardjowidjoto,2000).
Menurut Basuki (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti
penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron
(DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnyahiperplasi prostat adalah :
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan
estrogen pada usia lanjut.
Hiperplasia Prostat
Page 4
2.3.
Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di
tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubahmenjadi
dehidrotestosteron
(DHT)
dengan
bantuan
enzim
alfa
reduktase.
mengejan
pada
miksi
yang
menyebabkan
peningkatan
tekanan
intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi
dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinariamenjadikan media
pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi
refluksmenyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
2.4.
(hesitancy), harus
mengejan
(straining),
kencing
terputus-putus
(intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin
dan inkontinen karena overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau
pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering
berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitasotot
detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun
untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak
(urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer,2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
1.
2.
3.
nocturia.)
Stadium III ( Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc)
Hiperplasia Prostat
Page 7
4.
Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh
kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
a. Normal : Tidak ada sisa
b. Grade I : sisa 0-50 cc
c. Grade II : sisa 50-150 cc
d. Grade III : sisa > 150 cc
e. Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing
2.5.
Pemeriksaan Penunjang
Menurut Soeparman (2000), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan
pada pasien dengan BPH adalah :a. Laboratorium
1.
Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
saluran kemih.
2. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus
menentukan sensitifitas kumanterhadap beberapa antimikroba yang
diujikan. b. Pencitraan1). Foto polos abdomenMencari kemungkinan
adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang
Hiperplasia Prostat
Page 8
menunjukan bayangan
3.
buii-buli
yang
penuh
terisi
urin
yang
4.
tumor.
5. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
Laboratorium
a. Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
saluran kemih.
b. Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus
menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan.
2.
Pencitraan
a. Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa
prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi
b.
c.
Hiperplasia Prostat
Page 9
d.
tumor.
Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
2.6.
1.
Penatalaksanaan Medis
Watchfull Waiting
Tatalaksana pada penderita BPH saat ini tergantung pada LUTS
yang diukur dengan sistem skor IPSS. Pada pasien dengan skor ringan
(IPSS 7 atau Madsen Iversen 9), dilakukan watchful waiting atau
observasi
pengaturan gaya hidup. Bahkan bagi pasien dengan LUTS sedang yang
tidak terlalu terganggu dengan gejala LUTS yang dirasakan juga dapat
memulai terapi dengan malakukan watchful waiting. Saran yang diberikan
antara lain :
a. Mengurangi minum setelah makan malam (mengurangi nokturia).
b. Menghindari obat dekongestan (parasimpatolitik).
c. Mengurangi minum kopi dan larang minum alkohol (mengurangi
2.
frekuensi miksi).
d. Setiap 3 bulan mengontrol keluhan.
Tatalaksana Invasif
Tatalaksana invasif pada BPH bertujuan untuk mengurangi
jaringan adenoma. Indikasi absolut untuk melakukan tatalaksana invasif :
a. Sisa kencing yang banyak
b. Infeksi saluran kemih berulang
c. Batu vesika
d. Hematuria makroskopil
e. Retensi urin berulang
f. Penurunan fungsi ginjal
Standar emas untuk tatalaksana invasif BPH adalah Trans Urethral
Resection of the Prostate (TURP) yang dilakukan untuk gejala sedang sampai
berat, volume prostat kurang dari 90 gram, dan kondisi pasien memenuhi toleransi
operasi. Komplikasi jangka pendek pada TURP antara lain perdarahan, infeksi,
hiponatremi, retensi karena bekuan darah. Komplikasi jangka panjang TURP
adalah striktur uretra, ejakulasi retrograd, dan impotensi.
Trans Urethral Incision of the Prostate (TUIP) dapat dilakukan apabila
volume prostat tidak begitu besar/ada kontraktur leher vesik / prostat fibrotik.
Hiperplasia Prostat
Page 10
Indikasi TUIP yaitu keluhan sedang atau berat dan volume prostat tidak begitu
besar.
Bila alat yang tersedia tidak memadai, maka dapat dilakukan operasi
terbuka dengan teknik transvesikal atau retropubik. Karena morbiditas dan
mortalitas yang tinggi yang ditimbulkannya, operasi sejenis ini hanya dilakukan
apabila ditemukan pula batu vesika yang tidak bisa dipecah dengan litotriptor /
divertikel yang besar (sekaligus diverkulektomi) / volume prostat lebih dari
100cc.(Sjamsuhidajat, 2004)
2.7. Terapi Obat dan Implikasi Keperawatan
1. Medical Treatment
Ada beberapa jenis pengobatan medikamentosa pada BPH yaitu :
a. Penghambat adrenergik alfa
Obat ini menghambat reseptor alfa pada otot polos di trigonum, leher
vesika, prostat, dan kapsul prostat, sehingga terjadi relaksasi, penurunan
tekanan di uretra pars prostatika, sehingga meringankan obstruksi.
Perbaikan gejala timbul dengan cepat, contohnya Prazosin, Doxazosin,
Terazosin, Afluzosin, atau Tamsulosin. Efek samping yang dapat timbul
adalah karena penurunan tekanan darah sehingga pasien bisa mengeluh
pusing, capek, hidung tersumbat, dan lemah.
b.
nilai PSA.
c. Phytoterapi
Obat dari tumbuhan herbal ini mengandung Hypoxis Rooperis, Pygeum
Africanum, Urtica Sp, Sabal Serulla, Curcubita pepo, populus temula,
Echinacea pupurea, dan Secale cereale. Banyak mekanisme kerja yang
belum jelas diketahui, namun PPygeum Africanum diduga mempengaruhi
kerja Growth Factor terutama b-FGF dan EGF. Efek dari obat lain yaitu
anti-estrogen, anti-androgen, menurunkan sex binding hormon globulin,
Hiperplasia Prostat
Page 11
hambat proliferasi sel prostat, pengaruhi metabolisme prostaglandin, antiinflamasi, dan menurunkan tonus leher vesika.(Sjamsuhidajat, 2004)
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN BPH
( Benigna Prostat Hiperplasia )
A. Pengkajian
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang
bertujuan untuk mengumpulan informasi / data tentang klien, agar dapat
mengidentifikasi, mengenali masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien
baik fisik, mental, sosial dan lingkungan ( Nasrul, E,1995 : 18 ).
a) Pengumpulan data
Data yang perlu dikumpulkan dari klien meliputi :
a. Identitas klien
Merupakan biodata klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa / ras, pendidikan, bahasa yang dipakai, pekerjaan, penghasilan dan alamat.
Jenis kelamin dalam hal ini klien adalah laki laki berusia lebih dari 50 tahun dan
biasanya banyak dijumpai pada ras Caucasian (Donna, D.I, 1991 : 1743 ).
b. Keluhan utama
Keluhan utama yang biasa muncul pada klien BPH pasca TURP adalah nyeri yang
berhubungan dengan spasme buli buli. Pada saat mengkaji keluhan utama perlu
diperhatikan faktor yang mempergawat atau meringankan nyeri ( provokative /
paliative ), rasa nyeri yang dirasakan (quality), keganasan / intensitas ( saverity )
dan waktu serangan, lama, kekerapan (time).
c. Riwayat penyakit sekarang
Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal dengan Lower Urinari Tract
Symptoms ( LUTS ) antara lain : hesitansi, pancar urin lemah, intermitensi,
terminal dribbling, terasa ada sisa setelah selesai miksi, urgensi, frekuensi dan
disuria (Sunaryo, H, 1999 : 12, 13).
Perlu ditanyakan mengenai permulaan timbulnya keluhan, hal-hal yang dapat
menimbulkan keluhan dan ketahui pula bahwa munculnya gejala untuk pertama
kali atau berulang.
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan keadaan
penyakit sekarang perlu ditanyakan . Diabetes Mellitus, Hipertensi, PPOM,
Hiperplasia Prostat
Page 12
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan didasarkan pada sistem sistem tubuh antara lain :
1) Keadaan umum
Setelah operasi klien dalam keadaan lemah dan kesadaran baik, kecuali bila
terjadi shock. Tensi, nadi dan kesadaran pada fase awal ( 6 jam ) pasca operasi
harus diminitor tiap jam dan dicatat. Bila keadaan tetap stabil interval monitoring
dapat diperpanjang misalnya 3 jam sekali (Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo,
1997 : 20 ).
2) Sistem pernafasan
Klien yang menggunakan anasthesi SAB tidak mengalami kelumpuhan
pernapasan kecuali bila dengan konsentrasi tinggi mencapai daerah thorakal atau
servikal (Oswari, 1989 : 40).
3) Sistem sirkulasi
Tekanan darah dapat meningkat atau menurun pasca TURP. Lakukan cek Hb
untuk mengetahui banyaknya perdarahan dan observasi cairan (infus, irigasi, per
oral) untuk mengetahui masukan dan haluaran.
4) Sistem neurologi
Pada daerah kaudal akan mengalami kelumpuhan (relaksasi otot) dan mati rasa
karena pengaruh anasthesi SAB (Oswari , 1989 : 40).
5) Sistem gastrointestinal
Anasthesi SAB menyebabkan klien pusing, mual dan muntah (Oswari, 1989 : 40)
Kaji bising usus dan adanya massa pada abdomen .
6) Sistem urogenital
Setelah dilakukan tindakan TURP klien akan mengalami hematuri . Retensi dapat
terjadi bila kateter tersumbat bekuan darah. Jika terjadi retensi urin, daerah supra
sinfiser akan terlihat menonjol, terasa ada ballotemen jika dipalpasi dan klien
terasa ingin kencing (Sunaryo, H ,1999 : 16). Residual urin dapat diperkirakan
dengan cara perkusi. Traksi kateter dilonggarkan selama 6 24 jam (Doddy,
2001 : 6)
7) Sistem muskuloskaletal
Hiperplasia Prostat
Page 14
Traksi kateter direkatkan di bagian paha klien. Pada paha yang direkatan kateter
tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan. (Tim Keperawatan RSUD. dr.
Soetomo, 1997 : 21).
i.
Pemeriksaan penunjang
1) Laboratorium
Setiap penderita pasca TURP harus di cek kadar hemoglobinnya dan perlu diulang
secara berkala bila urin tetap merah dan perlu di periksa ulang bila terjadi
penurunan tekanan darah dan peningkatan nadi. Kadar serum kreatinin juga perlu
diulang secara berkala terlebih lagi bila sebelum operasi kadar kreatininnya
meningkat. Kadar natrium serum harus segera diperiksa bila terjadi sindroma
TURP. Bila terdapat tanda septisemia harus diperiksa kultur urin dan kultur darah
( Tim Keperawatan RSUD. dr. Soetomo, 1997 : 21 ).
a) Uroflowmetri
Yaitu pemeriksaan untuk mengukur pancar urin. Dilakukan setelah kateter dilepas
( Lab / UPF Ilmu bedah RSUD dr. Soetomo, 1994 : 114).
b) Analisa dan sintesa data
Setelah data dikumpulkan, dikelompokkan dan dianalisa kemudian data tersebut
dirumuskan ke dalam masalah keperawatan . Adapun masalah yang mungkin
terjadi pada klien BPH pasca TURP antara lain : nyeri, retensi urin, resiko tinggi
infeksi, resiko tinggi kelebihan cairan, resiko tinggi ketidakefektifan pola napas,
resiko tinggi kekurangan cairan, kurang pengetahuan, inkontinensia dan resiko
tinggi disfungsi seksual .
B.
1.
Diagnosa keperawatan
Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli buli : reflek spasme otot
sehubungan dengan prosedur bedah dan / atau tekanan dari traksi.
2.
3.
Resiko tinggi kelebihan cairan yang berhubungan dengan absorbsi cairan irigasi
(TURP).
4.
5.
C.
Rencana Keperawatan
Kriteria hasil : Paru-paru bersih pada auskultasi, frekuensi dan irama napas dalam
batas normal, melakukan batuk dan napas dalam tanpa kesulitan.
c.
1)
2)
Ajarkan dan bantu klien untuk membalik, batuk, dan napas dalam tiap 2 jam.
Rasional: merupakan upaya untuk mengeluarkan sekret.
3)
4)
5) Pantau
dan
laporkan
gejala
gangguan
pertukaran
gas
kacau.
c.
1)
2)
3)
4)
Evaluasi warna, konsistensi urin, contoh : Merah terang dengan bekuan darah.
Rasional : mengindikasikan perdarahan arterial dan memerlukan terapi cepat.
5)
6)
7)
8)
9)
Kriteria hasil : Masukan dan haluaran seimbang, irigan keluar secara total, sadar
penuh, berorientasi, dan menunjukkan tak ada abnormalitas fungsi motorik.
c.
1)
2)
3)
Hentikan irigasi saat saat tanda kelebihan cairan terjadi dan laporkan tim medis.
Rasional : mencegah absorbsi yang berlebihan.
4)
Gunakan spuit untuk mengirigasi kateter oleh bekuan darah jika diinstruksikan.
Rasional: mencegah terjadinya retensi
c.
1)
2)
3)
4)
5.
a.
b.
c.
1)
Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter reguler dengan sabun
dan air, berikan salep antibiotik disekitar sisi kateter.
Rasional: mencegah pemasukan bakteri dan infeksi / sepsis lanjut.
2)
Rasional: menghindari reflek balik urin dapat memasukkan bakteri ke dalam buli
buli.
3)
4)
pelaksanaan
berbagaistartegi
merupakan
keperawatan
langkah
(tindakan
keempat
keperawatan)
melaksanakan
yang
telah
direncanakandalam rencana
tindakan keperawatan (Hidayat, 2004).
Dalam tahap ini perawat harus mengetahui berbagai hal diantaranya
kemampuan dalam prosedur klien. Dalam pelaksanaan rencana tindakan
terdapat dua jenis tindakan yaitu tindakan jenis mandiri dan kolaboratif.
Sebagai profesi perawat mempunyai kewenangan dalam tanggung jawab
dalam menentukan komponen pada tahap asuhan keperawatan.
Komponen pada tahap implementasi adalah:
a) Tindakan keperawatan mandiri
Tindakan keperawatan mandiri dilakukan tanpa pesan dokter. Tindakan
keperawatan mandiri ini ditetapkan dengan standar praktek American
Nurses Associantion (1973) dan kebijakan institusi perawatan
kesehatan.
b) Tindakan keperawatan kolaboratif
Tindakan keperawatan kolaboratif di implementasikan bila perawat
bekerja dengan anggota tim perawat kesehatan yang lain dalam
membuat keputusan
masalah klien.
E. Evaluasi
Hasil dari evaluasi dari yang diharapkan dalam pemberian tindakan
keperawatan melalui proses keperawtan pada klien dengan Benigna Prostatic
Hypertrophy berdasarkan tujuan pemulangan adalah :
Hiperplasia Prostat
Page 19
1.
2.
3.
4.
5.
: Tn
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Benigna Prostat Hiperplasia merupakan penyakit yang terjadi karena
adanya penyumbatan jalan kemih oleh benda asing, sel kanker, kista, yang
menyebabkan ketidakmampuan seseorang untuk berkemih secara normal.
Selain itu BPH juga terjadi akibat pola hidup yang tidak sehat dan bersih.
Hal ini menyebabkan terjadinya pembesaran kelenjar prostat sehingga menutupi
saluran kemih yang menghambat proses pengeluaran urine.
Akan tetapi BPH bisa dihindari dengan menjaga pola hidup serta
kebersihan alat kelamin. Terlebih juga dapat dilakukan pembedahan guna
mengembalikan kegunaan dari alat kelamin.
B. Saran
Sebaiknya, untuk menghindari terjadinya penyakit BPH di usia senja akan
lebih baik jika pola hidup sehat dan bersih ditingkatkan. Kemudian melakukan
aktivitas seperti olahraga terbukti dapat mengurangi persentase mengidap BPH.
Hiperplasia Prostat
Page 20
Daftar Pustaka
1. Basuki, Purnomo. (2000). Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional
RI, Katalog Dalam Terbitan (KTD): Jakarta.
2. Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
3. Hardjowidjoto, S. (2000). Benigna Prostat Hiperplasi. Airlangga
University Press: Surabaya
4. Sjamsuhidayat, (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.Jakarta: EGC
5. Smeltzer, Suzanne C, Brenda G Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8 Vol 2. Jakarta : EGC
Hiperplasia Prostat
Page 21