Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

BPH POST PROSTATECTOMY

Di susun oleh :

NI KADEK AYU TRISNA MEILINDA

Nim 2001024

FAKULTAS SAINS DAN KESEHATAN

D III KEPERAWATAN SMESTER VI

TAHUN PELAJARAN 2021/2022


I. LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP DASAR

1. Pengertian BPH ( Benigna Prostat Hiperplasia )

BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria
lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan
aliran urinarius (Haryono,2013).

Penyakit pembesaran prostat atau lebih dikenal dengan Benigna Prostat


Hiperplasia (BPH) merupakan penyakit yang umum diderita oleh pria dewasa sampai
lansia (Sjamsuhidajat & Jong, 2010). Dalam definisi lain benigna prostate hyperplasia
adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan penyebab kedua yang
paling sring untuk intervensi medis pada pria diatas usia 60 tahun (Wijaya, 2013).

Sedangkan menurut Haryono (2013) BPH adalah pembesaran progresif dari


kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai
derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius.

BPH adalah suatu penyakit pembesaran atau hipertropi dari prostat. Kata-kata
hipertopi seringkali membuat kontroversi dikalangan klinik karna sering rancu dengan
hyperplasia. Hyperplasia merupakan pembesaran sel (kualitas) dan diikuti oleh
penambahan jumlah sel (kualitas) (Prabowo, 2014).

Benigna Prostate Hiperplasi (BPH) adalah pembesaran progresif dari kelenjar


prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbgai darajat
obstruksi ureteral dan pembatasan aliran urinarius (Doenges, 2012).

2. Etiologi BPH

Penyebab prostat hiplasia belum diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa
hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia prostate erat kaitannya dengan peningkatan
kadar dihidrotestoteron (DHT) dan proses menjadi tua (aging). Berikut ini beberapa
hipotesis menurut Purnomo (2011) yang diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia
prostate:

a) Teori Dehidrotestosteron (DHT) Dehidrotestosteron


adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel
kelenjar prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada
BPH tidak jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja
pada BPH, aktivitas enzim 5alfa –reduktase dan jumlah reseptor androgen
lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih
sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi
dibandingkan dengan prostat normal.
b) Ketidakseimbangan antara estrogen dan testosterone
Pada usia yang semakin tua, kadar testosterone menurun sedangkan kadar
estrogen relatife tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar estrogen
dan testosterone relatife meningkat. Hormon estrogen didalam prostat beperan
dalam terjadinya poliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan
jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apoptosis). Meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan
testosterone meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada mempunyai umur yang
lebih panjang sehingga masa prostat jadi lebih besar.
c) Interaksi stroma-epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung
dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (Growth faktor) terentu.
Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel
stroma mensintesis suatu growth faktor yang selanjutnya mempengaruhi sel-
sel stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel
parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel
maupun sel stroma.
d) Berkurangnya kematian sel prostat
Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme
fisiologik untuk mempertahankan homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis
terjadi kondensasi dan fragmentasi sel, yang selanjutnya sel-sel yang
mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya, kemudian
didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan
antara laju poliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan
prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru
dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel
prostat baru dengan prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah
sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi
pertambahan masa prostat.
e) Teori sel stem
Selalu dibentuk sel-sel baru untuk menggantikan sel-sel yang telah
mengalami apoptosis. Didalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu
sel yang mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel
ini sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika
hormone androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya
poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem
sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

3. Patofisiologi BPH
Prostat sebagai kelenjar ejakulat memiliki hubungan fisiologis yang sangat erat
dengan Dehidrotestosteron (DHT). Hormone ini merupakan yang nantinya akan
mengoptimalkan fungsinya. Horman ini disinteis dalam kelenjar prostat dari hormone
testosterone dalam darah. Proses sintesis ini di bantu oleh 5areduktase tipe 2. Selain DHT
yang vsebagai proscursor, prostat seiring dengan penambahan usia, prostat akan lebih
sensitif dengan stimulasi androgen, sedangkan estrogen mampu memberikan proteksi
terhadap BPH. Dengan pembesaran yang melebihi normal, maka akan terjadi desakan
pada trakrus urinarius. Pada tahap awal, obstruksi trakrus urinarius jarang menimbulkan
keluhan, karena dorongan mengejan dan kontraksi yang kuat dari m. detrusor mampu
mengeluarkan urine secara spontan. Namun, obstruksi yang sudah kronis membuat
dekompesasi m. detrusor untuk berkontaksi yang akhirnya menimbulkan obstruksi salura
kemih.
Keluhan yang biasa muncul dari obstruksi ini adalah dorongan mengejan saat
miksi yang kuat, pancaran urine lemah/menetes, disuria (saat kencing terasa terbakar),
palpasi rektal toucher menggambarkan hipertropi prosta, distensi vesika. Hipertropi
fibromuskuler yang terjadi pada klien BPH menimbulkan penekanan prostat dan jaringan
sekitar, sehingga menimbulkan iritasi pada mukosa uretra. Iritabilits inilah yang nantinya
akan menyebaban keluhan frekuensi, urgensi, inkontinensia urgensi dan nokturia.
Obstruksi yang berkelanjutan akan menimbulkan komplikasi yang lebih besar, misalnya
hidronefrosis, gagal ginjal dan lain sebgainya. Oleh karena itu, kateterinisasi untuk tahap
awal sangat efektif untuk mengurangi distensi vesika urinaria.
Pembesaran pada BPH terjadi secara bertahap mulai dari zona periuretral dan
transional. Hyperplasia ini terjadi secara nodular dan sering diiringi oleh proliferasi
fibromuskular untuk lepas dari jaringan eptel. Oleh karena itu, hyperplasia zona
transisional ditandai oleh banyaknya jaringan kelenjar yang tumbuh pada pucuk dan
cabang dari pada duktus. Sebenarnya proliferasi zona transisional dan zona sentral pada
prostat berasal daru turunan duktus Wolffii dan proliferasi zona perifer berasal dari sinus
urogenital. Sehingga, berdasarkan latar belakang embriologis inilah bisa diketahui
mengapa BPH terjadi zona perifer. (Prabowo,2014).
4. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala Pembesaran prostat jinak dikenal dengan Lower Urinary Tract
Symptoms (LUTS) menurut Haryono (2013), yang dibedakan menjadi:
a) Gejala Obstruktif
1) Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan disertai dengan
mengejan yang disebabkan oleh otot destrussor buli- buli yang
memerukan waktu beberapa lama untuk meningkatkan tekanan
intravesikal guna mengatasi tekanan dalam uretra prostatika.
2) Intermitency yaitu aliran kencing yang terputus-putus yang disebabkan
oleh ketidakmampuan otot destrussor dalam mempertahankan tekanan
intra vesika sampai berakhirnya miksi.
3) Terminal dribling yaitu urin yang tetap menetes pada akhir kencing.
4) Pancaran lemah yaitu kekuatan yang lemah karena otot destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan uretra
5) Rasa tidak puas setelah berakhirnya miksi.
b) Gejala Iritasi
1) Urgensi yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
2) Frekuensi yaitu penderita buang air kecil lebih sering dari biasanya, dan
terjadi pada siang dan malam hari.
3) Disuria yaitu nyeri pada waktu buang air kecil.
5. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Purnomo (2011) pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada
pasien BPH adalah sebagai berikut:
a) Colok Dubur Colok dubur yang dilakukan pada pembesaran prostat benigna
menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti ujung hidung, lobus kanan dan
kiri simetris dan tidak didapatkan nodul.
b) Laboratorium Sedimen urine diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya
proses infeksi atau inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urin
berguna dalam mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus
menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
c) Pencitraan Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak
disaluran kemih adanya batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat
menunjukan bayangan buli-buli yang penuh terisi urine, yang merupakan
tanda dari suatu retensi urine. Pemeriksaan IVU dapat menerangkan
kemungkinan adanya:
1) kelainan pada ginjal 14 maupun ureter,
2) memperkirakan besarnya kelenjar prostat,
3) penyulit yang terjadi pada buli-buli. Pemeriksaan USG dapat dilakukan
melalui trans abdominal atau trans abdominal ultrasonography (TAUS)
dan trans rektal atau trans uretral ultrasonography (TRUS).

Dari TAUS diharapkan mendapat informasi mengenai

1) perkiraan volume (besar) prostat;


2) panjang protrusi prostat ke buli-buli atau intra prostatic protrusion (IPP);
3) mungkin didapatkan kelainan pada buli-buli (massa, batu, atau bekuan
darah );
4) menghitung sisa (residu) urine pasca miksi; atau
5) hidronefrosis atau kerusakan ginjal akibat obstruksi prostat. Pada
pemeriksaan TRUS dicari kemungkinan adanya fokus keganasan berupa
area hipoekoik dan kemudian sebagai penunjuk (guidance) dalam
melakukan biopsi prostat
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan menurut Haryono (2013) adalah sebagai
berikut:

a) Transurethral Resection of the Prostate (TURP) TURP


adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop , dimana resektroskop merupakan endoskop dengan
tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotong
dan counter yang disambungkan dengan arus listrik. Tindakan ini memerlukan 15
pembiusan umum maupun spinal dan merupakan tindakan invasive yang masih
dianggap aman dan tingkat morbiditas minimal.
b) Pembedahan Prostatektomi
1. Prostatektomi Suprapubis Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar
melalui insisi abdomen, yaitu suatu insisi yang dibuat ke dalam kandung
kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas. Pendekatan ini dilakukan
untuk kelenjar dengan berbagai ukuran dan beberapa komplikasi dapat
terjadi seperti kehilangan darah lebih banyak disbanding dengan metode
yang lain.
2. Prostatektomi Perineal Adalah mengangkat kelenjar melalui dalam
perineum. Cara ini lebih praktis disbanding cara yang lain, dan sangat
berguna untuk biopsi terbuka. Pada pasca operasi, luka bedah mudah
terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dengan rektal. Lebih jauh lagi
inkontensia, impotensi, atau cedera rektal dapat terjadi dengan cara ini.
c) Prostatektomi Retropubik
Adalah suatu teknik yang lebih umum disbanding pendekatan prapubik
dimana insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara
arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Prosedur ini
cocok untuk kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis.

7. Pathway
B. KONSEP KEPERAWAAN

1. Pengkajian
1) Anamnesaa.
a. Aktivitas atau Istirahat
- Keletihan, kelemahan umum
- Keterbatasan dalam beraktivitas, bekerja, dan lain-lain
b. SirkulasiIktal :
- Hipertensi, peningkatan nadi sinosis
- Posiktal : Tanda-tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan
pernafasan
c. Intergritas Ego
- Stressor eksternal atau internal yang berhubungan dengan keadaan dan atau
penanganan
- Peka rangsangan : pernafasan tidak ada harapan atau tidak berdaya Perubahan
dalam berhubungan
d. Eliminasi
- Inkontinensia epirodik
- Makanan atau cairan
- Sensitivitas terhadap makanan, mual atau muntah yang berhubungan dengan
aktivitas kejange.
e. Neurosensori
- Riwayat sakit kepala, aktivitas kejang berulang, pinsan, pusing riwayat trauma
kepala,anoreksia, dan infeksi serebal
- Adanya area (rasangan visual, auditoris, area halusinasi)
- Posiktal : Kelamaan, nyeri otot, area paratise atau paralisis
f. Kenyamanan
- Sakit kepala, nyeri otot, (punggung pada periode posiktal)
- Nyeri abnormal proksimal selama fase iktal
g. Pernafasan
- Fase iktal : Gigi menyetup, sinosis, pernafasan menurun cepat peningkatan
sekresimulus
- Fase posektal : Apnea
h. Keamanan
- Riwayat terjatuh
- Adanya alergi
i. Interaksi Sosial
Masalah dalam hubungan interpersonal dalam keluarga lingkungan sosialnya

2. Pemeriksaan Fisik
1) Aktivitas
a. Perubahan tonus otot atau kekuatan otot
b. Gerakan involanter atau kontraksi otot atau sekelompok otot
2) Integritas Ego
a. Pelebaran rentang respon emosional
3) EleminasiIktal : penurunan tekanan kandung kemih dan tonus spinter Posiktal :
otot relaksasi yang mengakibatkan inkonmesia
4) Makanan atau cairan
a. Kerusakan jaringan lunak (cedera selama kejang)
b. Hyperplasia ginginal
5) Neurosensori (karakteristik kejang)
a. Fase prodomal : Adanya perubahan pada reaksi emosi atau respon efektifitas
yangtidak menentu yang mengarah pada fase area.
b. Kejang umum
Tonik klonik : kekakuan dan postur menjejak, mengenag peningkatan keadaan,
pupildilatasi, inkontineusia urine
c. Fosiktal : pasien tertidur selama 30 menit sampai beberapa jam, lemah kalau
mentaldan anesia
d. Absen (patitmal) : periode gangguan kesadaran dan atau makanan
e. Kejang parsialJaksomia atau motorik fokal : sering didahului dengan aura,
berakhir 15 menit tdak ada penurunan kesadaran gerakan ersifat konvulsif
f. Kenyamanan
- Sikap atau tingkah laku yang berhati-hatiPerubahan pada tonus otot
- Tingkah laku distraksi atau gelisah
g. Keamanan
- Trauma pada jaringan lunak
- Penurunan kekuatan atau tonus otot secara menyeluruh

3. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan diambil dari Bobak, Lowdemilk & jansen (2014) dan
standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (PPNI, 2017). Menurut SDKI, SLKI, SIKI
diagnosa keperawatan yang mungkin muncul diantaranya:

1) Hipertermia (D.0130)
2) Resiko Cidera (D.0136)
3) Perfusi Parifer Tidak Efektif (D.0009)
4) Pola Nafas Tidak Efektif (D.0005)
5) Bersihan Jalan Nafas Tiadak Efektif (D.0001)
6) Resiko Aspirasi (D.0006)
4. Intervensi Keperawatan
1) Hipertermia (D.0130)
SIKI: Manajem Hipertermia (I.15506)
1. Observasi
a) Identifikasi penyebab hipertermia (mis. dehidrasi, terpapar
lingkungan panas, penggunaan incubator)
b) Monitor suhu tubuh
c) Monitor kadar elektrolit
d) Monitor haluaran urine
e) Monitor komplikasi akibat hipertermia
2. Terapeutik
a) Sediakan lingkungan yang dingin
b) Longgarkan atau lepaskan pakaian
c) Basahi dan kipasi permukaan tubuh
d) Berikan cairan oral
e) Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami
hyperhidrosis (keringat berlebih)
f) Lakukan pendinginan eksternal (mis.selimut hipertermia atau
kompres dingin pada dahi, leher, dada, abdomen, aksila)
g) Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
h) Berikan oksigen, jika perlu
3. Edukasi
a) Anjurkan tirah baring
4. Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena, jika perlu

2) Resiko Cidera (D.0136)


SIKI : Manajemen Keselamatan Lingkungan (I.14513)
1. Observasi
a) Identifikasi kebutuhan keselamatan (mis. kondisi fisik, fungsi
kognitif dan riwayat perilaku)
b) Monitor perubahan status keselamatan lingkungan
2. Terapeutik
a) Hilangkan bahaya keselamatan lingkungan (mis.fisik, biologi, dan
kimia), jika memungkinkan
b) Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bahaya dan resiko
c) Sediakan alat bantu keamanan lingkungan (mis. commode chair
dan pegangan tangan)
d) Gunakan perangkat pelindung (mis. pengekangan fisik, rel
samping, pintu terkunci, pagar)
e) Hubungi pihak berwenang sesuai masalah komunitas (mis.
puskesmas, polisi, damkar)
f) Fasilitasi relokasi ke lingkungan yang aman
g) Lakukan program skrining bahaya lingkungan (mis. timbal)
3. Edukasi
a) Ajarkan individu, keluarga dan kelompok risiko tinggi bahaya
lingkungan
3) Perfusi Perifer Tidak Efektif (D.0009)
SIKI : Perawatan Sirkulasi (I.02079)
1. Observasi
a) Periksa sirkulasi perifer (mis.nadi perifer, edema, pengisian
kapiler, warna, suhu, ankle brachial index)
b) Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi (mis. diabetes,
perokok, orang tua, hipertensi, dan kadar kolestrol tinggi)
c) Monitor panas, kemerahan, nyeri atau bengkak pada ekstremitas
2. Terapeutik
a) Hindari pemasangan infus atau pengambilan darah di area
keterbatasan perfusi
b) Hindari pengukuran tekanan darah pada ekstremitas dengan
keterbatasan perfusi
c) Hindari penekanan dan pemasangan tourniquet pada area yang
cedera
d) Lakukan pencegahan infeksi
e) Lakukan perawatan kaki dan kuku
f) Lakukan hidrasi
3. Edukasi
a) Anjurkan berhenti merokok
b) Anjurkan berolahraga rutin
c) Anjurkan mengecek air mandi untuk menghindari kulit terbakar
d) Anjurkan menggunakan obat penurun tekanan darah,
antikoagulan, dan penurun kolesterol, jika perlu
e) Anjurkan minum obat pengontrol tekanan darah secara teratur
f) Anjurkan menghindari penggunaan obat penyekat beta
g) Anjurkan melakukan perawatan kulit yang tepat (mis.
melembabkan kulit kering pada kaki)
h) Anjurkan program rehabilitasi vascular
i) Ajarkan program diet untuk memperbaiki sirkulasi (mis.rendah
lemak jenuh, minyak ikan, omega 3)
j) Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus dilaporkan
(mis.rasa sakit yang tidak hilang saat istirahat, luka tidak sembuh,
hilangnya rasa)
4) Pola Napas Tidak Efektif (D.0005)
SIKI : Manajemen Jalan Napas(I.01011)
1. Observasi
a) Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
b) Monitor bunyi napas tambahan (mis. gurgling, mengi, wheezing,
ronkhi kering)
c) Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
2. Terapeutik
a) Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift
(jaw-thrust jika curiga trauma servikal)
b) Posisikan semi-fowler atau fowler
c) Berikan minuman hangat
d) Lakukan fisoterapi dada, jika perlu
e) Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
f) Lakukan hiperoksigenasi sebelum penghisapan endotrakeal
g) Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsep McGill
h) Berikan oksigen, jika perlu
3. Edukasi
a) Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi
b) Ajarkan teknik batuk efektif
4. Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian bronkodilator, espektoran, mukolitik, jika
perlu
5) Bersihan Jalan Napas (D.0001)
SIKI: Latihan Batuk Efektif (I. 01006)
1. Observasi
a) Identifikasi kemampuan batuk
b) Monitor adanya retensi sputum
c) Monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas
d) Monitor input dan output cairan (mis. jumlah dan karakteristik)
2. Terapeutik
a) Atur posisi semi-fowler atau fowler
b) Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
c) Buang sekret pada tempat sputum
3. Edukasi
a) Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
b) Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik, ditahan
selama 2 detik, kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir
mencucu (dibulatkan) selama 8 detik
c) Anjurkan mengulangi tarik napas dalam hingga 3 kali
d) Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik napas dalam
yang ke-3
4. Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran, jika perlu

4. Implemtasi Keperawatan

Implementasi keperawatan adalah tahap ketika


perawat mengaplikasikan rencana asuhan keperawatan kedalam
bentuk intervensi keperawatan guna membantu pasien mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Kemampuan yang harus dimiliki
perawat pada tahap implementasi adalah kemampuan komunikasi
yang efektif, kemampuan untuk menciptakan hubungan saling
percaya dan saling bantu,kemampuan melakukan teknik
psikomotor, kemampuan melakukan observasi sistematis,
kemampuan memberikan pendidikan kesehatan,kemampuan
advokasi, dan kemampuan evaluasi (Heri, 2016 dalamPutri
2018)

5. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang


merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara
hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang
dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara
bersinambungan dengan melibatkan pasien dan tenaga kesehatan
lainnya. Jika hasil evaluasi menunjukkan tercapainya tujuan dan
kriteria hasil, pasien bisa keluardari siklus proses keperawatan. Jika
sebaliknya, pasien akan masukkembali ke dalam siklus
tersebut mulai dari pengkajian ulang(reassessment) (Putri A,
2018)

DAFTAR PUSTAKA
WHO, 2013 dalam Untari 2015. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Kejang
Demam dengan Frekuensi Kejang Anak Toddler Di Rawat Inap Puskesmas Gatak Sukoharjo.

Yuliastati & Amelia, A.(2016). Keperawatan Anak. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan

Eny Susilowati, (2016). Hubungan antara pengetahuan orang tua tentang penanganan demam
dengan kejadian kejang demam berulang di ruang anak SDUD Dr. Soehadi Prijonegoro Sragen.
Surakarta.

Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, Mangunatmadja I, Handryastuti, Saharso D, dkk.


Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang Demam. Edisi ke-3. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2016.

Adhar Arifuddin(2016). Analisis Faktor Risiko Kejadian Kejang Demam Di Ruang Perawatan
Anak RSU ANUTAPURA PALU. Jurnal Kesehatan Tadulako, 1-72 .

Indrayati Novi (2019).Gambaran Kemampuan Orang Tua Dalam Penanganan Pertama Kejang
Demam Pada Anak Usia .Jurnal Ilmiah Permas,149-154.

Imaduddin K, Syarif I dan Rahmatini 2013 Jurnal Kesehatan Andalas: Gamabaran Elektrolit dan
Gula Darah Pasien Kejang Demam yang Dirawat Di Bangsal Anak RSUP.Dr.M.Djamil 2(3) :
122-131

DPP PPNI, T.P.S (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan

Indikator Diagnostik. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat

Nasional Indonesia

DPP PPNI, T.P.S (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan

Tindakan Keperawatan. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat

Nasional Indonesia

DPP PPNI, T.P.S (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan

Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan

Perawat Nasional Indonesia

Anda mungkin juga menyukai