Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN

KEPERAWATAN PADA TN “R” DENGAN

GANGGUAN NYERI AKUT DIRUANG CEMPAKA

RUMAH SAKIT UMUM MITRA DELIMA

Disusun Oleh:
Desy Pujiastiwi
2333014

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
KEPANJEN
2023/2024
LEMBAR PENGESAHAN

Hari : Sabtu
Tanggal : 11 November

Mengetahui

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan Praktik

(Wiwit.DN.,S.Kep.Ns,M.Kep) ( Ns. Inc Kristyawati., S.Kep)


LAPORAN
PENDAHULUAN
A. Konsep Teori
1. Definisi

Benigna prostat hyperlasia (BPH) merupakan suatu penyakit


pembesaran ukuran sel dan diikuti oleh penambahan jumlah sel pada
prostat. Pembesaran atau hipertrofi kelenjar prostat, disebabkan karena
hyperlansia beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan
kelenjar atau jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan
urtera pars prostatika (himawan 2019). Beningna prostat hiperlansia
adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria
berusia tua lebih dari 5o tahun) menyebabkan berbagai derat obstruksi
uretral dan pembatasan aliran urinarius (Nuari,2017)
Benigna prostat hyperlasia merupakan pembesaran kelenjar prostat,
memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter
(hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan
Bare, 2016). Benigna Prostate Hiperplasia merupakan suatu keadaan yang
sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau lebih yang ditandai dengan
terjadinya perubahan pada prostat yaitu prostat mengalami atrofi dan
menjadi nodular, pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini dapat
mengakibatkan obstruksi urine (Bradero et al,. 2017).
2. Etiologi
Hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab tejadinya
pembesaran prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
pembesaran prostate erat terkaitanya dengan peningkatan kadar
Dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Terdapat
perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40
tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi
perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka
kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar
80%, dan usia 90 tahun sekitar 100% (Purnomo, 2016). Beberapa hipotesis
yang di duga sebagai penyebab timbulnya pembesaran prostat adalah.
a. Teori Dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang
sangat penting pada pertumbuhan sel kelenjar prostat. DHT dihasilkan
dari reaksi perubahan testosterone didalam sel prostat oleh enzim 5
alfa-reduktase dengan bantuan koenzim NADHP. DHT yang telah
terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk
kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein
growth faktor yang mestimulasi perubahan sel prostat (Nuari, 2017).
b. ketidak seimbangan hormone estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun,
sedangkan kadar estrogen relative tetap sehingga perbandingan antara
estrogen dan progesterone relative meningkat. Telah di ketahui bahwa
estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel
kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat
terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor
androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis).
Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan
terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosteron menurun,
tetapi sel-sel yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang
sehingga massa prostat jadi lebih besar (Nuari, 2017).
c. Intraksi strome- epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak
langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth
faktor) tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dai DHT
dan estradiol, sel-sel stroma menistesis suatu growth faktor yang
selanjutnya memepengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin
dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin.
Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun
sel stroma (Nuari, 2017).
d. Berkurangnya kematian sel prostat
Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah
mekanisme fisiologik untuk mempertahankan homeostasis kelenjar
prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang
selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan di fagositosis oleh
sel-sel di sekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom (Nuari,
2017).
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju
proliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan
prostat sampai pada saat prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel
prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya
jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah
sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga
menyebabkan pertambahan masa prostat (Nuari, 2017).
Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti faktor-
faktor yang menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan
kastrasi. Estrogen diduga mampu memperpanjang usia sel-sel prostat,
sedangkan faktor pertumbuhan TGF-B berperan dalam proses
apoptosis (Nuari, 2017).
e. Teori sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu
dibentuk sel-sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem,
yaitu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif.
Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon
androgen, sehingga jika hormon ini kadarnya menurun seperti yang
terjadi pada kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya
proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatnya
aktivitas sel stem sehingga sehingga terjadi produksi yang berlebihan
sel stroma maupun sel epitel (Nuari, 2017).
3. Patofisiologi
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan modul-modul
fibroadenomatosa mejemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai
dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh
dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan hiperplastik
terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibroa dan otot polos yang
jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostat terjadi secara
perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara
perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat,
resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostat meningkat, serta otot
destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau vertikel.
Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut,
maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan
tidak mampu lagi untuk berkontraksi atau terjadi dekompensasi sehingga
terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa mengosongkan vesika urinaria
dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin yang statis akan
menjadi alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri
(budaya,2019).
Obstruksi urin yang berkembang secara perlhan-lahan dapat
mengakibatkan aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada
urin yang menetes, kencing terputus-putus (intermiten), dengan adanya
obstruksi maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai berkemih
(hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya
mengalami iritasi dari urin yang tertahan di dalamnya sehinggga pasien
merasa bahwa vesika urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih
yang mengakibatkan unterval disetiap berkemih lebih pendek (nokturia
dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan
ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat berkemih/ disuria
(budaya,2019).
Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan
obstruksi, akan menjadi inkontinensia paradox. Retensi kronik 16
menyebabkan refluk vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal
ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu
meski penderita harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkan
hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat menyebabkan
terbentuknya batu empedu di dalam kandungan kemih. Batu ini dapat
menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut
dapat juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan
mengakibatkan pielonefristis (budaya,2019).
4. Manifetasi klinis
Manifestasi klinis yang menimbulkan oleh BPH disebut sebagai
sidroma prostatisme.
a. Gejala Obstruksi, yaitu
1) Hesistansi, yaitu memulai kecing yang lama dan sering kali diserta
dengan mengejang yang menyebabkan oleh otot detrusor buli-buli
memerlukan waktu beberapa lama untuk meningkatkan tekanan
intravesikal guna mengatasi tekanan dalam uretra prostatika.
2) Intermintensi yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang
disebabkan oleh tidak mampuan otot destrusor dalam
mempertahankan tekanan intravesikal sampai berakhirnya miski.
3) Terminal dribbling, yaitu menetesnya urin pada akhir kencing.
4) Pancaran lemah, yaitu kelemahan kekuatan dan caliber pancaran
detrusor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di
uretra.
5) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil.
b. Gejala iritasi
1) Uregnsi yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit diatahan.
2) Frekuensi yaitu penderita miski lebih sering dari biasanya dapat
terjadi pada malam hari (nokturia) dan pada siang hari.
3) Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing (Budaya, 2019).\
5. Penatalaksanaan
Rencana pengobatan tergantung pada penyebab, keperahan
obstruksi, dan kondisi pasien. Jika pasien masuk rumah sakit dengan
kondisi darurat karena ia tidak dapat berkemih maka kateterisasi segera
dilakukan. Pada kasus yang berat mungkin digunakan kateter logam
dengan tonjolan kurva prostatic. Kadang suatu insisi dibuat kedalam
kandung kemih (sitostomi supra pubik) untuk drainase yang adekuat.
Jenis terapi BPH antara lain (Purnomo,2016)
a. Observasi (watchfull waiting)
Biasa dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasehat yang di
berikan adalah mengurangi minum seteah makan malam untuk
mengurangi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan, mengurangi
minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alcohol agar tidak terlalu
sering miksi. Setiap 3 bulan dilakukan control keluhan, sisa kencing,
dan pemeriksaan colok dubur.
b. Terapi Medikamentosa
1) Penghambat adrenergika (pazosin, tetrazosin): menghambat
reseptor pada otot polos dileher vesika, prostat sehingga terjadi
relaksasi. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars
prostatika sehingga aliran air seni dan gejala-gejala berkurang.
2) Pemghambat enzim 5-a-reduktase, menghambat pembentukan
DHT
3) sehingga prostat yang membesar akan mengecil.
c. Terapi Bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk di lakukan
pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensi
urin berulang, hematuria, tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu
saluran kemih dab perubahan fisiologi pada prostat. Waktu
penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung pada beratnya
gejala dan komplikasi. Intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi:
pembedahan terbuka dan pembedahan endourologi.
1) Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi
terbuka yang biasa digunakan adalah
a) Prostatektomi suprapubik adalah salah satu metode
mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Insisi dibuat di
kedalam kandung kemih, kelenjar prostat diangkat dari atas.
Teknik demikian dapat digunakan untuk kelenjar dengan
segala ukuran, dan komplikasi yang mungkin terjadi ialah
pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak disbanding
dengan metode lain, kerugian lain yang dapat terjadi adalah
insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur
bedah abdomen mayor.
b) Prostatektomi perineal merupakan suatu tindakan dengan
mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum.
Teknik ini lebih parktis dan sangat berguna untuk biopsy
terbuka. Pada periode pasca operasi luka bedah mudah
terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dengan rectum.
Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan ini adalah
intontinensia, impotensi dan cedera rektal.
c) Prostatektomi rekropubik adalah tindakan lain yang dapat
dilakukan, dengan cara insisi abdomen rendah mendekati
kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih
tanpa memasuki kandung kemih. Teknik ini sangat tepat untuk
kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun
jumlah darah yang hilang lebih daoat dikontrol dan letak
pembedahan lebih mudah dilihat, akan tetapi infeksi dapat
terjadi diruang retropubik.
2) Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral
dapat dilakukan dengan memakai tenaga elekrik diantaranya:
a) Transurethral prostatic Resection (TURP).
Merupakan tindakan operasi yang paling banyak dilakukan,
reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan transuretra
menggunkan cairan iringan (pembilas) agar daerah yang akan
di operasi tidak tertutup darah. Indikasi TURP ialah gejala-
gejala sedang samapi berat, volume prostat kurang dari 90 gr.
Tindakakn ini di laksanakan apabila pembesaran prostat terjadi
dalam lobus medial yang lansung mengelilingi uretra. Setelah
TURP yang memakai kateter threeway. Irigasi kandung kemih
secara terus menerus dilaksanakan untuk mencegah
pembekuan darah. Manfaat pembedahan TURP antara lain
tidak meninggalkan atau bekas sayatan serta waktu operasi dan
waktu tinggal dirumah sakit lebih singkat. Komplikasi TURP
adalah rasa tidak enak pada 22 kandung kemih, spasme
kandung kemih yang terus menerus, adanya pendarahan,
infeksi, fertilitas.
b) Transuretral incision of the prostate (TUIP)
Adalah prosedur lain dalam menangani BPH. Tindakan ini
dilakukan apabila volume prostat tidak terlalu besar atau
prostat fibrotic. Indikasi dari pengguna TUIP adalah keluhan
sedang atau berat, dengan volume prostat normal/kecil (30
gram atau kurang). Teknik yang dilakukan adalah dengan
memasukkan instrument kedalam uretra. Satu atau dua buah
insisi dibuat pada prostat dan kapsul untuk mengurangi
tekanan prostat pada uretra dan mengurangi konstriksi uretral.
Komplikasi dari TUIP adalah pasien bisa mengalami ejakulasi
retrograde (0-37%).
c) Terapi invasive minimal
Teraopi invasive minimal dilakukan pada pasien dengan resiko
tinggi terhadap tindakan pembedahan. Terapi invasive minimal
diantaranya transurethral microvawe thermotherapy (MUMT),
transurethral ballon dilatation (TUBD), transurethral Needle
Ablation/ Ablasi jarum transuretra (TUNA), pemasangan stent
urtera atau prostatcat.
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan (Nurarif,2015)
a. Pemeriksaan colok dubur
Dapat di berikan kesan keadaan tonus spingter anus, mukosa rectum,
kelainan lain seperti benjolan daam rectum dan prostat. Pada perabaan
melalui colok dubur dapat diperhatikan konsostensi prostat, adalah
asimetri, dalah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat di raba,
derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa
urin stelah miksi spontan. Sisa miski ditentukan dengan mengkur urin
yang masih dapat keluar dengan keteterisasi, sisa urin dapat pula
diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah
miski.
b. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan yang dilakukan adalah analisis urin dan pemeriksaan
mikroskopik urin, elektrolit, kadar uteum kreatinin, bila perlu
pemeriksaan prostat spesifik antigen (PSA) untuk dasar penentuan
biopsy.
c. Pemeriksaan radiologi
1) Pemeriksaan radiologi yang dilakukan adalah foto polos abdomen
untuk melihat didaerah abdomen dan melihat daerah
gastrointestinal.
2) BNO-IVP foto di daerah abdomen untuk melihat traktus urinaria
dari nier (ginja) hingga blass (kandung kemih).
3) Cystoscopy/ cytografi dilakukan apabila pada anamnesis
ditemukan hematuria atau pada memberi gambaran kemungkinan
tumor di dalam kandung kemih atau sumber pendarahan dari atas
apabila darah datang dari muara ureter di dalam vesika. Selain itu
sitoskopi juga dapat memberi keterangan mengenai besar prostat
dengan mengukur panjang ureter pras prostatika dan melihat
penonjolan prostat kedalam uretra.
d. Ultrasonografi (USG)
Digunakan untuk pemeriksaan konsistensi, volume dan besar prostat
juga keadaan buli-buli termasuk residual II urin. Pemeriksaan dapat
dilakukan secara tranksrektal, transsuteral dan suprapubik.
7. Prognosis
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada
setiap individu, BPH yang tidak segera diobati memiliki prognosis yang
buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat (Budaya, 2019).
a. Diagnose dan Intervensi keperawatan
No Diagnosa keperawatan Luaran Keperawatan Intervensi keperawatan

1 Nyeri Akut Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri


asuhan keperawatan 3 x 24 Observasi
Definisi : Pengalaman
jam. Diharapkan tingkat  identifikasi lokasi,
sensorik atau emosional yang
nyeri menurun dengan karakteristik, durasi,
berkaitan dengan kerusakan
kriteria hasil : frekuensi, kualitas,
jaringan aktual atau
 keluhan nyeri intensitas nyeri
fungsional dengan onset
menurun  identifikasi skala nyeri
mendadak atau lambar dan
 meringis menurun  identifikasi respon
berintraksi ringan hingga
 sikap protektif nyeri non verbal
berat yang berlangsung
menurun Terapeutik
kurang dari 3 bulan
 gelisah menurun  berikan teknik
Penyebab :
 kesulitan tidur nonfarmakologis untuk
 Agen pencedera
menurun mengurangi rasa nyeri
fisiologis (mis
 frekuensi nadi (Terapi Relaksasi
inflamasi, iskemia,
membaik benson)
neoplasma)
 kontrol lingkungan
 Agen pencedera
yang memperberrat
kimiawi (mis.
nyeri
Terbakar, bahan kimia
Edukasi
iritan)
 jelaskan penyebab,
 Agen pencedera fisik
periode, dan pemicu
( mis, abses, smputasi,
nyeri
terbakar, trauma,
 jelaskan strategi
prosedur operasi)
meredakan nyeri
Gejala dan Tanda Mayor
 ajarkan teknik
Subjektif
nonfarmakologi
 Mengeluh Nyeri
untuk mengurangi nyeri
Objektif
 Tampak meringis Kolaborasi
 Bersikap protektif  kolaborasi pemberian
(mis. Posisi analgetik, jika perlu
menghindari nyeri)
 Gelisah
 Frekuensi nadi
meningkat
 Sulit tidur
Gejala dan tanda Minor
Subjektif : Tidak tersedia
Objektif
 Tekanan darah
meningkat
 Pola napas berubah
 Nafsu makan berubah
 Proses berfikir
terganggu
 Menarik diri
 Berfokus pada diri
sendiri
 Diaphoresis
Kondisi Klinis Terkait :
 Kondisi pembedahan
 Cedera traumatis
 Infeksi
 Sindrom koroner akut
Glaukoma

2 Retensi Urin Setelah dilakukan tindakan Perawatan Retensi Urine


asuhan keperawatan 3x 24 Observasi
Definisi : Pengosongan
kandung kemih yang tidak jam. Diharapkan eliminasi  Identifikasi penyebab
lengkap urine membaik dengan retensi urine (mis:
kriteria hasil : peningkatan tekanan
Penyebab
 Sensasi berkemih uretra)
 Peningkatan tekanan menurun  Monitor intake dan
uretra  Desakan berkemih output cairan
 Kerusakan arkus (urgensi) menurun  Monitor tingkat distensi
refleks  Distensi kandung kandung kemih dengan
 Blok spingter kemih menurun palpasi/perkusi
 Disfungsi neurologis  Berkemih tidak
Terapeutik
(mis, trauma, penyakit tuntas (hesitancy)
saraf) menurun  Fasilitasi berkemih
 Efek agen  Volume residu urin dengan interval yang
farmakologis (mis, meningkat teratur
atropine, belladonna,  Urin menetes  Berikan rangsangan
psikotropik, menurun berkemih (mis
antihistamin, opiate) mengalirkan air keran,
membilas toilet,
Gejala dan Tanda Minor
kompres dingin pada
Subjektif abdomen
 Sensasi penuh pada  Pasang kateter urin, jika
kandung kemih perlu
Objektif
Edukasi
 disuria/anuria
 distensi kandung  Jelaskan penyebab
kemih retensi urine
 Anjurkan pasien atau
Gejala dan tanda minor
keluarga untuk
Subjektif mencatat output urine
 Dribbling
Objektif
 Inkontinensia berlebih
 Residu urine 150 ml
atau lebih

Kondisi klinis terkait

 Benigna prostat
hiperplasia
 Pembengkakan
perineal
 Cedera medula
spinalis
 Rektokel
 Tumor di saluran
kemih

3 Ansietas Setelah dilakukan tindakan Reduksi Ansietas


Ansietas asuhan keperawatan 3 x 24 Observasi
Definisi : kondisi emosi dan jam. Diharapkan tingkat  Identifikasi saat tingkat
pengalaman subyektif ansietas menurun dengan ansietas berubah (mis
individu terhadap objek yang kriteria hasil: kondisi, waktu,
tidak jelas dan spesifik akibat  Verbalisasi stressor)
antisipasi bahaya yang kebingungan  Monitor tanda-tanda
memungkinkan individu menurun ansietas
melakukan tindakan untuk  Verbalisasi khawatir
Terapeutik
menghadapi ancaman. akibat kondisi yang
 Temani pasien untuk
Penyebab dihadapi menurun
mengurangi kecemasan
 Ancaman terhadap  Perilaku gelisah
 Pahami situasi yang
kematian menurun
membuat ansietas
 Kekhawatiran  Perilaku tegang
 Dengarkan dengan
mengalami kegagalan menurun
 Kurang terpapar penuh perhatian
informasi
Edukasi
Gejala dan Tanda Mayor  Informasikan secara
Subjektif: aktual mengenai
 Merasa bingung diagnosis,
 Merasa khawatir pengobatan, prognosis
dengan akibat dari  Anjurkan keluarga
kondisi yang untuk tetap bersama
dihadapi pasien
 Sulit berkonsentrasi  Latih teknik relaksasi

Objektif Kolaborasi
 Tampak gelisah Kolaborasi pemberian obat
 Tampak tegang antiansietas, jika perlu
 Sulit tidur

Gejala dan Tanda Minor


Subjektif
 Mengeluh pusing
 Anoreksia
 Palpitasi
 Merasa tidak berdaya

Objektif
 Frekuensi napas
meningkat
 Frekuensi nadi
meningkat
 TD meningkat
 Muka tampak pucat
b. Implementasi
Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan, kegiatannya meliputi mengumpulan data
berkelanjutan, mengobservasi respon klien selama dan sesudah
pelaksanaan tindakan (Purnomo, 2016)
c. Evaluasi
Evaluasi merupakan penlian dengan cara membandingkan perubahan
keadaan klien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kreteria hasil yang
dibuat pada tahap perencanaan (Purnomo, 2016)
DAFTAR PUSTAKA

Budaya, Taufiq Nur dan Besut Daryanto. (2019). A to Z BPH (Benign Prostatic
Hyperplasia). Malang : UB Press.
Bradero et al., 2017. Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan. Yogyakarta :
Nuha Medika
Purnomo, 2016. Dasar- dasar Sistem Perkemihan Edisi 3. Bandung : Refika
Aditama.
Sutanto Larope Reynardi 2021, Hiperplasia Prostat Jinak: Manajemen
Tatalaksana Dan Pencegahan, Program Studi Pendidikan Dokter,
Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, JakartA ISSN: 23026391
Volume 8 No. 3. JIMKI
Smeltzer & Bare, 2016. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 5. Jakarta : EGC.
Nuari, Nian Afrian. (2017). Gangguan pada Sistem Perkemihan &
Penatalaksanaan Keperawatan Ed-1 Cetakan 1. Yogyakarta :
Deepublish
Nurarif, Amin Huda dan Hardi Kusuma. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan
berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc. Jogjakarta : Mediacton
Publishing.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI) Edisi 1 Cetakan 2.Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI) Edisi 1 Cetakan 2.Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI) Edisi 1 Cetakan 3(Revisi) . Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI

Anda mungkin juga menyukai