OLEH
Achmad Reza Rizky Herdiansyah
(20191660111)
Dengan adanya lembar pengesahan ini ditunjukan sebagai bukti bahwa saya telah
melakukan praktik (pbp) prodi S1-Keperawatan fakultas ilmu kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surabaya diruang bedah RSUD Haji Provinsi Jawa Timur.
(…………………………….) (…………………………….)
Kepala Ruangan
(………………………………..)
A. Definisi
1. BPH (Benign Prostatic Hyperthropy) atau bisa disebut Hipertrofi Prostat Jinak
merupakan kondisi yang belum diketahui penyebabnya, ditandai oleh
meningkatnya ukuran zona dalam (kelenjar periuretra) dari kelenjar prostat.
BPH adalah pembesaran prostat yang mengenai uretra dan menyebabkan gejala
uritakaria. Selain itu Hiperplasia Prostat Benigna adalah pembesaran progresif
dari kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun)
menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius
(Nuari, 2017).
2. menurut Budaya (2019), BPH dikarakteristikkan sebagai peningkatan jumlah
sel-sel stroma dan epitel prostat di area periuretra yang merupakan suatu
hyperplasia dan bukan hipertrofi, selain itu secara etiologi pada BPH terjadi
peningkatan jumlah sel akibat dari proliferasi sel-sel stroma dan epitel prostat
atau terjadi penurunan kematian sel-sel prostat yang terprogram.
3. Menurut Brunner (2013) kelenjar prostat membesar, meluas ke atas menuju
kandung kemih dan menghambat aliran keluarnya urine. Berkemih yang tidak
tuntas dan retensi urine yang memicu stasis urine dapat menyebabkan
hidronefrosis, hidroureter, dan infeksi saluran kemih. Dimana penyebab
gangguan tersebut tidak dipahami dengan baik, tetapi bukti menunjukkan
adanya pengaruh hormonal. BPH sering terjadi pada pria berusia lebih dari 40
tahun.
B. Etologi
Menurut Nuari (2017) & Duarsa (2020), penyebab BPH belum diketahui,
namun beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hyperplasia prostat erat kaitannya
dengan kadar dihidrotestoteron (DHT) dan proses penuaan. Selain faktor tersebut
ada beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulmya hyperplasia
antara lain:
1. Teori Dihydrotestosterone
Dihydrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat pentng
pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosterone di
dalam sel prostat oleh 5α- reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT
yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk
kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein
growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Peningkatan 5α-
reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari
kelenjar prostat mengalami hiperplasi. Teori ini didukung pada praktek
klinis dengan pemberian 5α-reduktase inhibitor yang menghambat
perubahan testosteron menjadi dihidrotestosteron, dalam waktu 3-6 bulan
akan membuat pengurangan volume prostat 20-30%.
2. Ketidakseimbangan hormon estrogen-testosteron
Pada proses penuaan pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma. Diketahui
bahwa estrogen di dalam prostat berperan pada terjadinya proliferasi sel-sel
kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitiviras sel –sel prostat
terhadap rangsangan hormone androgen, meningkatkan jumlah reseptor
androgen, dan menurunkan jumlah kematian terprogram sel-sel prostat
(apoptosis). Sehingga meskipun rangsangan terbentuknya sel- sel baru akibat
rangsangan testosterone menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada
mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat menjadi lebih
besar.
3. Interaksi stroma-epitel
Peningkatan epidermal growth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma
dan epitel.
4. Berkurangnya kematian terprogram (apoptosis) sel prostat
Pada jaringan normal terdapat keseimbangan antara laju proliferasi dengan
kematian sel. Pada saat pertumbuhan prostat sampai dewasa, penambahan
jumlah sel prostat seimbang dengan sel yang mengalami apoptosis.
Berkurangnya jumlah sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan
jumlah sel prostat meningkat sehingga terjadi pertambahan massa prostat.
5. Teori sel punca
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk
sel-sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel punca yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Sel punca yang
meningkat
C. Manifestasi klinis
Menurut Nuari 2017, manifestasi klinis yang timbulkan oleh BPH
disebut sebagai syndroma prostatisme. Sindroma prostatisme ini dibagi
menjadi dua, antara lain:
1) Gejala obstruktif
a. Hesitansi, yaitu memulai kencing yang lama dan
seringkali disertai dengan mengejan yang disebabkan
oleh karena otot destructor buli-buli memerlukan waktu
beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikel guna
mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika
b. Intermittency yaitu terputus-putusnya aliran kencin yang
disebabkan oleh karena ketidakmampuan otot destrussor
dalam mempertahankan tekanan intravesikel sampai
berakhirnya miksi
c. Terminal dribbling yaitu menetesnya urine pada akhir
kencing
d. Pancaran lemah yaitu kelemahan kekuatan dan pancaran
destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui
tekanan di uretra e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya
buang air kecil dan terasa belum puas
2) Gejala iritasi
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit
ditahan
b. Frequency yaitu penderita miksi lebih sering dari
biasanya dapat terjadi pada malam hari (nocturia) dan
pada siang hari
c. Dysuria yaitu nyeri pada waktu kencing
D. Klasifikasi
Derajat berat BPH menurut Tanto (2014) adalah sebagai berikut :
1. Stadium I Ada obstruksi tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine
sampai habis.
2. Stadium II Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine
walaupun tidak sampai habis masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa tidak
enak saat BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
4. Stadium IV Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan. Urine
menetes secara periodik.
E. Patofisiologi
Pertama kali BPH terjadi salah satunya karena faktor bertambahnya usia,
dimana terjadi perubahan keseimbangan testosterone, estrogen, karena produksi
testosterone menurun, produksi estrogen meningkat dan terjadi konversi
testosterone menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Keadaan ini
tergantung pada hormon testosterone, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat
hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan
enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu
m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensistesis protein sehingga
mengakibatkan kelenjar prostat mengalami hiperplasia yang akan meluas
menuju kandung kemih sehingga mempersempit saluran uretra prostatika dan
penyumbatan aliran urine (Azizah, 2018). Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli
harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-
menerus ini menyebabkan perubahan anatomi dari bulibuli berupa hipertrofi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase
penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi. Perubahan struktur pada
buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah
bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan
gejala-gejala prostatismus (Azizah, 2018).
Semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam
fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi retensi urin. Retensi urine ini diberikan obat-obatan non invasif tetapi obat-
obatan ini membutuhkan waktu yang lama, maka penanganan yang paling tepat
adalah tindakan pembedahan, salah satunya adalah TURP. TURP adalah suatu
operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan resektroskop,
dimana resektroskop merupakan endoskop dengan tabung 10-3-F untuk
pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotongan dan counter yang
disambungkan dengan arus listrik (Azizah, 2018).
F. Komplikasi
A. Pengkajian
1. Riwayat keperawatan
2. Keluhan utama
4. Pola eliminasi
1) Pre Operasi:
1) Ansietas b.d. krisis situasional, kurang terpapar informasi
2) Retensi urine b.d. peingkatan tekanan uretra
3) Nyeri akut b.d. agen pencedera fisiologis
2) Post Operasi
1) Nyeri akut b.d. agen pencedera fisik (prosedur operasi)
2) Resiko infeksi d.d. efek prosedur invasive
3) Resiko perdarahan d.d tindakan pembed
E. Evaluasi
Menurut Siregar (2021), evaluasi adalah penilaian hasil dan proses seberapa
jauh keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran dari tindakan. Evaluasi
dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya dalam
perencenaan, membanduingkan hasil tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dan menilai
efektivitas proses keperawatan mulai dari tahap pengkajian, perencanaan dan
pelaksanaan.
Evaluasi disusun menggunakan SOAP yang berarti:
https://eprints.umm.ac.id/77074/3/BAB%20II.pdf
Tanto. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius : Jakarta
Wijaya, S. A. & Putri, M. Y. 2013. Keperawatan Medikal Bedah: Keperawatan Dewasa, Teori,
Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika
Birowo P, Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak. Jurnal Kedokteran & Farmasi Medika. 2002.
No 7 http://fkui.co.id/urologi/ppj.mht (diakses pada tanggal 15 Februari 2016)