Definisi
BPH ( Benigna Prostat Hyperplasia ) adalah suatu keadaan dimana kelenjar prostat
mengalami pembesaran, memanjang ke atas uretra ke dalam kandung kemih dan
menyumbat aliran urine dengan menutup orifisium (Smeltzer dan Bare, 2013).
Hyperplasia merupakan pembesaran ukuran sel dan diikuti oleh penambahan jumlah sel.
BPH merupakan suatu kondisi patologis yang paling umum di derita oleh laki-laki
dengan usia rata-rata 50 tahun ( Prabowo dkk, 2014 ).
Benigna Prostat hiperplasia adalah bertambah besarnya ukuran prostat biasanya diiringi
dengan bertambahnya usia pada laki laki, membesarnya prostat menyebabkan fungsi
uretra pars prostatika menjadi terganggu, menimbulkan gangguan pada saluran keluar
kandung kemih( Iskandar, 2009).
Benigna prostat hiperplasia adalah terjadinya pelebaran pada prostat yang menimbulkan
penyempitan saluran kencing dan tekanan di bawah kandung kemih dan menyebabkan
gejala-gejala seperti sering kencing dan retensi urin( Aulawi, 2014).
Hyperplasia adalah peristiwa meningkatnya jumlah sel yang terjadi pada organ akibat
peningkatan proses mitosis.
Menurut R. Sjamsuhidajat dan Wim De Jong ( 2010 ), klasifikasi BPH meliputi :
1. Derajat 1 : Biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberi pengobatan
konservatif.
2. Derajat 2 : Merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya
dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra ( trans urethral resection / TUR ).
3. Derajat 3 : Reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila diperkirakan prostate sudah
cukup besar, reseksi tidak cukup 1 jam sebaiknya dengan pembedahan terbuka,
melalui trans retropublik / perianal.
4. Derajat 4 : Tindakan harus segera dilakukan membebaskan klien dari retensi urine
total dengan pemasangan kateter.
B. Etiologi
Menurut Prabowo dkk (2014) etiologi BPH sebagai berikut:
1. Peningkatan DKT (dehidrotestosteron)
Peningkatan 5 alfa reduktase dan resepto androgen akan menyebabkan epitel dan
stroma dari kelenjar prostat mengalami hyperplasia.
D. Patofisiologi
Pertama kali BPH terjadi salah satunya karena faktor bertambahnya usia, dimana terjadi
perubahan keseimbangan testosterone, esterogen, karena produksi testosterone menurun,
produksi esterogen meningkat dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada
jaringan adipose di perifer. Keadaan ini tergantung pada hormon testosteron, yang di
dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT)
dengan bantuan enzim alfa reduktase.
Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel
kelenjar prostat untuk mensistesis protein sehingga mengakibatkan kelenjar prostat
mengalami hyperplasia yang akan meluas menuju kandung kemih sehingga
mempersempit saluran uretra prostatika dan penyumbatan aliran urine. Keadaan ini
menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-
buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu (Presti et al, 2013).
Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.
Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi. Perubahan struktur pada buli-
buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower
urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase
dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin. Retensi urine ini diberikan obat-obatan non invasif tetapi obat-obatan ini
membutuhkan waktu yang lama, maka penanganan yang paling tepat adalah tindakan
pembedahan, salah satunya adalah TURP (Joyce, 2014) .
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan
resektroskop, dimana resektroskop merupakan endoskop dengan tabung 10-3-F untuk
pembedahan uretra yang dilengkapi dengan alat pemotongan dan counter yang
disambungkan dengan arus listrik. Trauma bekas resectocopy menstimulasi pada lokasi
pembedahan sehingga mengaktifkan suatu rangsangan saraf ke otak sebagai konsekuensi
munculnya sensasi nyeri (Haryono, 2012)
E. Pathway
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter anus
mukosa rectum kelainan lain seperti benjolan dalam rectum dan prostat.
2. Ultrasonografi (USG)
Digunakan untuk memeriksa konsistensi volume dan besar prostat juga keadaan
buli-buli termasuk residual urine.
3. Urinalisis dan kultur urine
Pemeriksaan ini untuk menganalisa ada tidaknya infeksi dan RBC (Red Blood
Cell) dalam urine yang memanifestasikan adanya pendarahan atau hematuria
(prabowo dkk, 2014).
4. DPL (Deep Peritoneal Lavage)
Pemeriksaan pendukung ini untuk melihat ada tidaknya perdarahan internal dalam
abdomen. Sampel yang di ambil adalah cairan abdomen dan diperiksa jumlah sel
darah merahnya.
5. Ureum, Elektrolit, dan serum kreatinin
Pemeriksaan ini untuk menentukan status fungsi ginjal. Hal ini sebagai data
pendukung untuk mengetahui penyakit komplikasi dari BPH.
6. PA(Patologi Anatomi)
Pemeriksaan ini dilakukan dengan sampel jaringan pasca operasi. Sampel jaringan
akan dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk mengetahui apakah hanya bersifat
benigna atau maligna sehingga akan menjadi landasan untuk treatment
selanjutnya.
G. Penatalaksanaan
Menurut Haryono (2012) penatalaksaan BPH meliputi :
1. Terapi medikamentosa
a. Penghambat adrenergik, misalnya prazosin, doxazosin, afluzosin.
b. Penghambat enzim, misalnya finasteride
c. Fitoterapi, misalnya eviprostat
2. Terapi bedah
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala dan
komplikasi, adapun macam-macam tindakan bedah meliputi:
a. Prostatektomi
1) Prostatektomi suprapubis , adalah salah satu metode mengangkat
kelenjar melalui insisi abdomen yaitu suatu insisi yang di buat
kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.
2) Prostaktektomi perineal, adalah mengangkat kelenjar melalui suatu
insisi dalam perineum.
3) Prostatektomi retropubik, adalah suatu teknik yang lebih umum di
banding [endekatan suprapubik dimana insisi abdomen lebih
rendah mendekati kelenjar prostat yaitu antara arkuspubis dan
kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
b. Insisi prostat transurethral (TUIP)
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan instrumen
melalui uretra. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat berukuran
kecil (30 gr / kurang) dan efektif dalam mengobati banyak kasus dalam
BPH.
c. Transuretral Reseksi Prostat (TURP)
Adalah operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra menggunakan
resektroskop dimana resektroskop merupakan endoskopi dengan tabung
10-3-F untuk pembedahan uretra yang di lengkapi dengan alat pemotong
dan counter yang di sambungkan dengan arus listrik.
H. Fokus Pengkajian
Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan. Menurut
Doenges, dkk (2000) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut :
1. Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya penurunan tekanan darah. Peningkatan
nadi sering dijumpai pada kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan
volume cairan.
2. Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena
memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari
tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
3. Eliminasi
Pada kasus post operasi BPH terjadi gangguan eliminasi yang terjadi karena
tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga, perlu adanya obervasi
drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi
warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah,
perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap
dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan
terjadinya konstipasi.
4. Makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada
postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan
berat badan. Tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran
baik cairan maupun nutrisinya.
5. Nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang
utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi.
Pada pasien post operasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul
tajam dan kuat, nyeri punggung bawah.
6. Keselamatan/ keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan tidak
luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk menghindari
segala jenis tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan
adalah kaji adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam
(pada pre operasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan
juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada saluran
perkemihannya.
7. Seksualitas
Pada pasien BPH baik pre operasi maupun post operasi terkadang mengalami
masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut
inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat
ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
8. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien pre operasi maupun post
operasi BPH. Pada pre operasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin,
urologi urin, BUN/kreatinin, asam fosfat serum, sel darah putih. Sedangkan pada
post operasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari
perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeks
I. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d trauma jaringan (insisi operasi), pemasangan kateter spasme
kandungan.
2. Gangguan pola tidur b.d perubahan status kesehatan.
3. Resiko tinggi infeksi b.d pembedahan
J. Intervensi keperawatan