Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

PASIEN DENGAN BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH)


STASE KEPERAWATAN GERONTIK
Disusun Untuk Meneuhi Tugas Profesi Ners Mata Kuliah Keperawatan Gerontik
Dosen Pembimbing: Kartinah, MPH

DISUSUN OLEH :

Adriana Mardiah J230205038

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Pengertian
Prostat terletak antara tulang kemaluan dan dubur, mengelilingi saluran
uretra pada pintu saluran yang masuk ke kandung kemih .(Amadea, Langitan, &
Wahyuni, 2019). Ketika urin keluar dari kandung kemih, akan melewati saluran
di dalam kelenjar prostat, yang disebut uretra prostat. Pembesaran prostat atau
lebih dikenal Benigna Prostatic Hyperplasia (BPH) sering ditemukan pada pria
yang memasuki usia lanjut (Silahi, Batara & Parluhutan, 2018). Istilah BPH
sebenarnya merupakan istilah hispatologis, yaitu terdapat pertumbuhan sel-sel
stroma dan sel-sel epitel kelenjar prostat. Insidensi BPH akan semakin
meningkat seiring dengan bertambahnya usia, yaitu sekitar 20% pada pria usia
40 tahun, kemudian menjadi 70% pada pria usia 60 tahun dan akan mencapai
90% pada pria usia 80 tahun.(Amadea, Langitan, & Wahyuni, 2019)
BPH (Benigna Prostat Hyperplasia) merupakan suatu penyakit dimana
terjadi pembesaran dari kelenjar prostat akibat hyperplasia jinak dari sel-sel yang
biasa terjadi pada laki-laki berusia lanjut. kelainan ini ditentukan pada usia 40
tahun dan frekuensinya makin bertambah sesuai dengan penambahan usia,
sehingga pada usia di atas 80 tahun kira-kira 80% dari laki-laki yang menderita
kelaininan ini. Menurut beberapa referensi di Indonesia, sekitar 90% laki-laki
yang berusia 40 tahun ke atas mengalami gangguan berupa pembesaran kelenjar
prostat (Aprina, Yowanda, & Sunarsih, 2017)

B. Etiologi
Menurut Amadea, Langitan, & Wahyuni (2019) Penyebab terjadinya BPH
adalah
1. DHT (Dihydrotestosteron)
DHT (Dihydrotestosteron) adalah suatu metabolit testosteron yang
terbentuk dalam sel prostat oleh pemecahan testosteron, enzim 5-alpha
reductase mengubah testosteron menjadi DHT. Enzim ini adalah target
terapi obat penghambat reduktase 5-alpha yang bertujuan mengurangi
ukuran prostat
2. Ketidak seimbangan esterogen-testosteron
Ketidak seimbangan ini terjadi karena proses degeneratif. Pada proses
penuaan, pada pria terjadi peningkan hormone estrogen dan penurunan
hormon testosteron. Hal ini yang memicu terjadinya hiperplasia stroma pada
prostat.
3. Interaksi antar sel struma dan sel epitel prostat
Peningkatan kadar epidermal growth factor atau fibroblast growth factor dan
penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasia stroma
dan epitel, sehingga akan terjadi BPH.

C. Tanda dan Gejala


Menurut Bimandama & Kurniawaty (2018) pasien yang mengalami BPH akan
mengalami gangguan pengeluaran urin yang terdiri atas gejala obstruksi
(voiding symptoms) maupun iritasi (storage symptoms), yaitu:
1. Hesitansi
Hesitansi adalah emulai kencing yang lama dan sering kali disertai dengan
mengejan.
2. Intermittency
Intermittency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan oleh
ketidak mampuan otot destrussor dalam mempertahankan tekanan intra
vesika sampai berakhirnya miksi.
3. Terminal dribbling
Terminal dribbling yaitu menetesnya urin pada akhir kencing.
4. Pancaran lemah
Pancaran lemah yaitu kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
5. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas
6. Urgensi
Urgensi yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit di tahan.
7. Frekuensi
Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering miksi dari biasanya dapat
terjadi pada malam dan siang hari.
8. Disuria
Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing
D. Patofisiologi

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang


terletak di sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior.
Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang
dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan
bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona,
antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler
anterior dan periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan
bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron
estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi
tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo
(2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada
hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan
dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa
reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di
dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi
pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek
terjadinya perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan.
Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya
disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan
leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor
dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat
oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat
akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat.
Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan
kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat
detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok
yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar
diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula
sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut
Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan
berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi
dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan
cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan
miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah,
rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena
pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan
merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun
belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi
miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak
mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi
dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox
(overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan
dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal.
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan
hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk
batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain
itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan
mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks
menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)
E. Penatalaksanaan
Menurut Azizah (2018) penatalaksaan BPH meliputi :
1. Terapi medikamentosa
a. Penghambat adrenergik, misalnya prazosin, doxazosin, afluzosin.
b. Penghambat enzim, misalnya finasteride
c. Fitoterapi, misalnya eviprostat
2. Terapi bedah
Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung beratnya gejala
dan komplikasi, adapun macam-macam tindakan bedah meliputi:
a. Prostatektomi
 Prostatektomi suprapubis , adalah salah satu metode mengangkat
kelenjar melalui insisi abdomen yaitu suatu insisi yang di buat
kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat dari atas.
 Prostaktektomi perineal, adalah mengangkat kelenjar melalui suatu
insisi dalam perineum.
 Prostatektomi retropubik, adalah suatu teknik yang lebih umum di
banding [endekatan suprapubik dimana insisi abdomen lebih
rendah mendekati kelenjar prostat yaitu antara arkuspubis dan
kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
b. Insisi prostat transurethral (TUIP)
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan
instrumen melalui uretra. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar prostat
berukuran kecil (30 gr / kurang) dan efektif dalam mengobati banyak
kasus dalam BPH.
c. Transuretral Reseksi Prostat (TURP)
TURP adalah operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop dimana resektroskop merupakan endoskopi
dengan tabung 10-3-F untuk pembedahan uretra yang di lengkapi
dengan alat pemotong dan counter yang di sambungkan dengan arus
listrik.

F. Komplikasi
Menurut (Azizah, 2018) komplikasi BPH meliputi :
a) Aterosclerosis
b) Infark jantung
c) Impoten
d) Haemoragik post operasi
e) Fistula
f) Struktur pasca operasi dan inconentia urin
g) Infeksi

G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Bimandama & Kurniawaty (2018) pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan untuk pasien yang mengalami BPH adalah :
1. Pemeriksaan colok dubur
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan pemeriksaan
yang penting pada pasien BPH, di samping pemeriksaan fisik pada regio
suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi bulibuli. Dari
pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat,
konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari
keganasan prostat.
2. Urinalisis
Pemeriksaan ini dapat memberikan hasil ada tidaknya laukosituria dan
hematuria.
3. Pemeriksaan fungsi Ginjal
Pemeriksaan faal ginjal ini berguna untuk mencari ada tidaknya efek BPH
pada saluran kemih bagian atas
4. Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)
Pemeriksaan PSA yaitu antigen yang disintesis oleh sel epitel prostat dan
memiliki sifat organon spesifik tetapi bukan merupakan cancer spesifik.
5. Pancaran Urin (Uroflowmetry)
Uroflowmetry merupakan pemeriksaan yang menilai dari pancaran urin
selama proses berkemih, pemeriksaan ini digunakan untuk mendeteksi
gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah volume prostat dan juga Qmax
6. Residu Urin / Post Voiding Residual Urine (PVU)
Residu Urin / Post Voiding Residual Urine (PVU) adalah volume urin sisa
setelah berkemih, biasanya 12mL pada pria normal. Pemeriksaan ini dapat
di akukan dengan berbagai cara yaitu dengan USG, bladder scan atau
dengan kateter uretra
7. Pemeriksaan USG
Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai saluran kemih bagian atas dan
bawah. Selain itu, USG dapat digunakan untuk menilai volume prostat
H. Pathway

Growth factor Sel prostat umur memanjang Prolekerasi abnormal sel stem

Sel stroma Sel yang mati Produksi sel stoma dan


Estrogen dan
pertumbuhan kurang epitel berlebih
testoterosn
berpacu
tidak
seimbang

Prostat membesar

Penyempitan TURP
lumen posterior

Iritasi mukosa Pemasangan DC Kurangnya


obstruksi kandung kemih informasi tindakan
pembedahan
Resiko infeksi
Retensi urin Nyeri akut
Ansietas

Post OP

Gangguang
mobilitas fisik

Sumber : (Aspiani, 2017)


KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN DENGAN BPH

A. Pengkajian
Pengkajian pada psien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan.
Adapun fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut:
1. Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus
preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang
disebabkan oleh karena efek pembesaran ginjal. Penurunan tekanan darah;
peningkatan nadi sering dijumpai pada. kasus postoperasi BPH yang terjadi
karena kekurangan volume cairan.
2. Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas
egonya karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang
dapat dilihat dari tanda- tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan
perilaku.
3. Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali
dialami oleh pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam
memulai aliran urin, aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih
inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan hematuria.
Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan invasif serta
prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter untuk
mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin.
Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan
dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap
dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada
kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada preoperasi BPH hal tersebut terjadi
karena protrusi prostat ke dalam rektum, sedangkan pada postoperasi BPH,
karena perubahan pola makan dan makanan.
4. Makanan dan Cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena
efek penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek
dari anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia,
mual, muntah, penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah
awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
5. Nyeri dan Kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah
kebutuhan dasar yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan
kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada pasien postoperasi biasanya
ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri punggung
bawah.
6. Keselamatan/keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan
tidak luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk
menghindari segala jenis tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan
yang perlu dilakukan adalah kaji adanya tanda-tanda infeksi saluran
perkemihan seperti adanya demam (pada preoperasi), sedang pada
postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan juga adanya tanda-tanda
infeksi baik pada luka bedah maupun pada saluran perkemihannya.
7. Seksualitas
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami
masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut
inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan
kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
B. Diagnosa Keperawatan
1. D.0050 - Retensi urine b.d peningkatakan tekanan uretra d.d dribbling
2. D.0077 - Nyeri akut b.d Agen pencedera fisiologis d.d mengeluh nyeri,
tampak meringis
3. D.0080 - Ansietas b.d b.d kekhawatiran mengalami kegagalan d.d merasa
khawatir dengan akibat dari kondisi yang dihadapi
4. D.0054 - Gangguan Mobilitas Fisik b.d Nyeri d.d mengeluh sulit
menggerakan ekstermitas, Nyeri saat bergerak
5. D.0142 - Resiko infeksi d.d efek prosedur infasif peningkatan paparan
organisme patogen lingkungan
C. Intervensi

N DIAGNOSA KRITERIA HASIL INTERVENSI (SIKI)


O (SDKI) (SLKI)

1. Retensi urin b.d Setelah dilakukan Kateterisasi Urin (I. 04148)


peningkatan tindakan asuhan
Observasi :
tekanan uretra d.d keperawatan 1 x 24
dribbling, anuria jam kontinensia urine - Periksa kondisi pasien (mis.
(L. 04036) dan Kesadaran, tanda-tanda vital,
(D.0050)
eliminasi urin daerah perineal, distensi
kandung kemih, inkontinensia
(L. 04034) membaik
urin, refleks berkemih
dengan kriteria hasil:
Terapeutik :
1. Dribling menurun
- Siapkan peralatan , bahan-
2. Urin menetes bahan dan ruangan tindakan
menurun - Siapkan pasien : bebaskan
pakaian bawah dan posisikan
dorsal rekumben (untuk
wanita) dan supine (laki-laki)
- Pasang sarung tangan
- Bersihkan darah perineal atau
preposium dengan cairan NaCl
atau aquades
- Lakukan insersi kateter urin
dengan menerapkan prinsip
aseptic
- Sambungkan kateter urin
dengan urin bag
- Isi balon dengan NaCl 0,9%
sesuai anjuran pabrik
- Fiksasi selang kateter di atas
simpisis atau di paha
- Pastikan kantung urin
ditempatkan lebih rendah dari
kandung kemih
- Berikan label waktu
pemasangan
Edukasi :

- Anjurkan menarik napas saat


insersi selang kateter
- Jelaskan tujuan dan prosedur
pemasangan kateter urin

2. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan Manajemen Nyeri (I. 08238)


Agen pencedera tindakan keperawatan
Observasi :
fisiologis d.d selama 1 x 24 jam
tampak meringis, tingkat nyeri - Kaji skala nyeri
mengeluh nyeri (L.08066) menurun - Kaji lokasi, karakteristik,
dengan kriteris hasil : durasi, frekuensi,kualitas,
(D.0077)
intensitas
1. keluhan nyeri
Terapeutik :
menurun (5)
- Kontrol lingkungan yang
2. meringis
memperberat rasa nyeri (mis.
menururun (5)
suhu ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
- Fasilitasi istirahat dan tidur
- Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri
Edukasi :

- Jelaskan penyebab, periode,


dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan
nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
Kolabirasi :

- Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
3. Ansietas b.d Setelah dilakukan Reduksi Ansietas (I. 09314)
Kekhawatiran tindakan keperawatan
Observasi :
mengalami 1 x 24 jam tingkat
kegagalan d.d ansietas (L.09093) - Identifikasi saat tingkat
merasa khawatir menurun dengan ansietas berubah (mis. kondisi,
akibat dari kondisi kriteria hasil : waktu, stressor)
yang dihadapi - Monitor tanda-tanda ansietas
1. verbalitas khawatir
(D.0080) (verbal dan nonverbal)
akibat kondisi yang
Terapeutik :
dihadapi menurun (5)
- Temani pasien untuk
2. verbalitas
mengurangi kecemasan, jika
kebingungan menurun
memungkinkan
(5)
- Pahami situasi yang membuat
ansietas
- Dengarkan dengan penuh
perhatian
- Gunakan pendekatan yang
tenang dan meyakinkan
Edukasi :
- Anjurkan keluarga untuk tetap
bersamapasien, jika perlu
- Anjurkan melakukan kegiatan
yang tidak kompetitif, sesuai
kebutuhan
- Latih teknik relaksasi
Kolaborasi :

- Kolaborasi pemberian obat


antiansietas, jika perlu
4. Resiko infeksi d.d Setelah dilakukan Perawatan Luka (I.14564)
Efek prosedur 1x24 jam diharapkan
Observasi
invasive (D.0142) tingkat infeksi
(L.14137) membaik - Monitor karakteristik luka
dengan kriteria hasil: (misalnya drainase, warna,
ukuran, bau)
1. Kemerahan
- Monitor tanda-tanda infeksi
menurun
Terapeutik
2. Nyeri menurun
3. Bengkak - Lepaskan balutan dan plester
menurun - secara perlahan
4. Drainase purulen - Bersihkan dengan cairan NaCl
menurun atau pembersih nontoksik,
sesuai kebutuhan
- Bersihkan jaringan nekrotik
- Pasang balutan sesuai jenis
luka
- Pertahankan teknik steriil saat
melakukan perawatan luka
- Ganti balutan sesuai jumlah
eksudat dan drainase
- Jadwalkan perubahan posisi
setiap 2 jam atau sesuai
kondisi pasien
Edukasi

- Jelaskan tanda dan gejala


infeksi
- Ajarkan prosedur perawatan
luka secara mandiri
5. Gangguan Setelah dilakukan Dukungan Mobilisasi (I.05173)
Mobilitas Fisik b.d 1x24 jam diharapkan
Observasi :
Nyeri d.d mobilitas fisik
mengeluh sulit (L.05042) membaik - Identifikasi toleransi fisik
menggerakan dengan kriteria hasil: melakukan pergerakan
ekstermitas, Nyeri - Monitor kondisi umum
1. Pergerakan
saat bergerak selama mobilisasi
ekstermitas
(D.0054) Terapeutik:
meningkat
2. Nyeri menurun - Fasilitasi aktivitas mobilisasi
dengan alat bantu
- Fasilitasi melakukan
pergerakan, jika perlu
- Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan
Edukasi:

- Jelaskan tujuan dan prosedur


mobilisasi
- Anjurkan melakukan
mobilisasi dini
- Ajarkan mobilisasi sederhana
yang harus dilakukan
DAFTAR PUSTAKA
Amadea, R. A., Langitan, A., & Wahyuni, R. D. (2019). “Benign prostatic hyperplasia
(BPH)”. Medical Profession, 1(2), 467–473. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-
801238-3.64812-2
Aprina, A., Yowanda, N. I., & Sunarsih, S. (2017). Relaksasi Progresif terhadap
Intensitas Nyeri Post Operasi BPH (Benigna Prostat Hyperplasia). Jurnal
Kesehatan, 8(2), 289. https://doi.org/10.26630/jk.v8i2.505
Azizah, L. (2018). Asuhan Keperawatan Klien Post Operasi Bph (Benign Prostatic
Hyperplasia) Dengan Masalah Nyeri Akut Di Rumah Sakit Panti Waluya Malang.
Jurnal Keperawatan, 2.
Bimandama, M. A., & Kurniawaty, E. (2018). Benign Prostatic Hyperplasia dengan
Retensi Urin dan Vesicolithiasis Benign Prostatic Hyperplasia with Urine
Retention and Vesicolithiasis. Jurnal Agromedicine Unila, 5(2), 655–661.
Silahi, R.P. Bt\atara, Simangunsong & Siagian. (2018). “Karakteristik Penderita
Penyakit Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) di RS Rk II Kesdam I Bukit Barisan
Medan Sumatera Utara Tahun 2016”. Jurnal Kedokteran Methodist, 11 (2).
https://ojs.lppmmethodistmedan.net
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai