Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN KASUS BPH

DI RUANGAN JAMBU RS MADANI STIKes WIDYA NUSANTARA PALU


KOTA PALU PROVINSI SULAWESI TENGAH

DI SUSUN OLEH :

NAMA : YULIANA
NIM : 2021032114

CI LAHAN

Ns. Suaib, S.Kep.,M.Kes


NIK. 20220901139

PROGRAM STUDI NERS PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIDYA NUSANTARA PALU
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit prostat merupakan penyebab yang sering terjadi pada berbagai
masalah saluran kemih pada pria. Insidennya menunjukan peningkatan sesuai
dengan umur, terutama mereka yang berusia 60 tahun. Sebagian besar penyakit
prostat menyebabkan pembesaran organ yang mengakibatkan terjadinya
penekanan/pendesakan uretra pars intraprostatik, keadaan ini menyebabkan
gangguan aliran urine, retensi akut dari infeksi traktus urinarius memerlukan
tindakan kateterlisasi segera. Penyebab penting dan sering dari timbulnya
gejala dan tanda ini adalah hiperlasia prostat dan karsinoma prostat.
Beranekaragamnya penyebab dan bervariasinya gejala penyakit yang
ditimbulkannya sering menimbulkan kesulitan dalam penatalaksanaan BPH,
sehingga pengobatan yang diberikan kadang-kadang tidak tepat sesuai dengan
etiologinya. Terapi yang tidak tepat bisa mengakibatkan terjadinya BPH
berkepanjangan. Oleh karena itu, mengetahui secara lebih mendalam faktor-
faktor penyebab (etiologi) BPH akan sangat membantu upaya menangani
penatalaksanaan BPH secara tepat dan terarah.
Prostat adalah jaringan fibromuskuler dan jaringan kelenjar yang terlihat
persis di inferior dari kandung kemih. Prostat normal beratnya kurang lebih 20
gr, didalamnya berjalan uretra posterior kurang lebih 2,5 cm. Pada bagian
anterior difiksasi oleh ligamentum puboprostatikum dan sebelah inferior oleh
diafragmaurogenitale.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi BPH ?
2. Apa itu etiologi BPH ?
3. Apa patofisiologi BPH ?
4. Bagaimana manifestasi klinis BPH ?
5. Bagaimana pemeriksaan penunjang BPH ?
6. Bagaimana komplikasi BPH ?
7. Apa penatalaksanaan dari BPH ?
8. Bagimana pathway BPH?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi BPH
2. Untuk mengetahui etiologi BPH
3. Untuk mengetahui patofisiologi BPH
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis BPH
5. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang BPH
6. Untuk mengetahui komplikasi BPH
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari BPH
8. Untuk mengetahui pathway BPH
BAB II
KONSEP DASAR MEDIS

A. Pengertian
BPH (Benigna Prostat Hipertropi) adalah pembesaran atau hypertropi
prostat. Kelenjar prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam
kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan
hydronefrosis dan hydroureter. Istilah Benigna Prostat Hipertropi sebenarnya
tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar atau hipertropi
prostat, tetapi kelenjar-kelenjar periuretralah yang mengalami hiperplasian (sel-
selnya bertambah banyak). Kelenjar-kelenjar prostat sendiri akan terdesak
menjadi gepeng dan disebut kapsul surgical. Maka dalam literatur di benigna
hiperplasia of prostat gland atau adenoma prostat, tetapi hipertropi prostat
sudah umum dipakai.
Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah pembesaran jinak kelenjar
prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen
prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan
penyumbatan uretra pars prostatika (Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo,
1994 : 193).
Hipertropi Prostat adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral yang
kemudian mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai
bedah. (Jong, Wim de, 1998).
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum
pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi
uretral dan pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000 : 671).
Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar
prostat (secara umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai
derajat obstruksi urethral dan pembatasan aliran urinarius (Doengoes,
Morehouse & Geissler, 2000, hal 671).
Kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra
Pars Prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-
buli (Poernomo, 2000, hal 74).

B. Etiologi
Menurut Syamsu Hidayat dan Wim De Jong tahun 1998 adalah :
1. Adanya hyperplasia periuretral yang disebabkan karena perubahan
keseimbangan testosterone dan estrogen.
2. Ketidak seimbangan endokrin
3. Faktor umum /usia lanjut 30-40 tahun atau 50 tahun ke atas.

C. Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya
sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram.
Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi
kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral,
zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2000).
Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi
perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron
menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan
adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar
ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar
prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan
bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung
memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein
sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya
perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan
patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh
kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan
kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh
sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem
simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi
resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian
detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih
kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam
kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut
trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat
aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar
disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot
dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi
lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan
dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan
detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi
terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada
akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi
terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan
merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum
penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi
meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak
mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari
tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox
(overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter
dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal.
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan
yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam
vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
(Sjamsuhidajat, 2005)

D. Manifestasi Klinis
1. Peningkatan frekuensi berkemih
2. Nokturia (ngompol)
3. Anyang-anyangan
4. Abdomen tegang
5. Volume urin menurun
6. Aliran urin tidak lancar
7. Retensi urin

E. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan
pada pasien dengan BPH adalah :
a. Laboratorium
1) Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
saluran kemih.
2) Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus
menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan.
b. Pencitraan
1) Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat
dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang
merupakan tanda dari retensi urin.
2) IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter
atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit
pada buli-buli.
3) Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur
sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
4) Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

F. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada klien BPH antara lain :
1. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesika ureter, hidroureter,
hidronefrosis, gagal ginjal.
2. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi.
3. Hernia dan hemoroid.
4. Karena selalu terdapat sisa urin, sehingga menyebabkan terbentuknya batu.
5. Hematuria.
6. Sistiliasis dan dielonefritis.

G. Penatalaksanaan
Modalitas  terapi  BPH  adalah :
1) Observasi
Yaitu  pengawasan  berkala  pada  klien  setiap  3 – 6   bulan  kemudian 
setiap  tahun  tergantung  keadaan  klien
2) Medikamentosa
Terapi  ini  diindikasikan  pada  BPH  dengan  keluhan  ringan,  sedang, 
dan  berat  tanpa  disertai  penyulit. Obat  yang  digunakan    berasal    dari:  
phitoterapi   (misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens,  dll),  gelombang 
alfa  blocker  dan  golongan   supresor   androgen.
3) Pembedahan
Indikasi  pembedahan  pada  BPH  adalah :
a) Klien  yang  mengalami  retensi  urin  akut  atau  pernah  retensi  urin 
akut.
b) Klien  dengan  residual  urin  >  100  ml.
c) Klien  dengan  penyulit.
d) Terapi  medikamentosa  tidak  berhasil.
e) Flowmetri  menunjukkan  pola  obstruktif.
Pembedahan  dapat  dilakukan  dengan :
a) TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat 90 – 95  % )
Dilaksanakan bila pembesaran terjadi pada lobus medial yang
langsung mengelilingi urethra. Jaringan yang direseksi hanya sedikit
sehingga tidak terjadi perdarahan dan waktu pembedahan tidak terlalu
lama. Rectoscope disambungkan dengan arus listrik lalu di masukkan ke
dalam urethra.Kandung kemih di bilas terus menerus selama prosedur
berjalan.Pasien mendapat alat untuk masa terhadap shock listrik dengan
lempeng logam yang di beri pelumas di tempatkan pada bawah
paha.Kepingan jaringan yang halus di buang dengan irisan dan tempat-
tempat perdarahan di tutup dengan cauter.
Setelah TURP di pasang catheter Foley tiga saluran yang di
lengkapi balon 30 ml.Setelah balon catheter di kembangkan, catheter di
tarik ke bawah sehingga balon berada pada fosa prostat yang bekerja
sebagai hemostat.Ukuran catheter yang besar di pasang untuk
memperlancar pengeluaran gumpalan darah dari kandung kemih.
Kandung kemih diirigasi terus dengan alat tetesan tiga jalur dengan
garam fisiologisatau larutan lain yang di pakai oleh ahli bedah.Tujuan
dari irigasi konstan ialah untuk membebaskan kandung kemih dari ekuan
darah yang menyumbat aliran kemih.Irigasi kandung kemih yang konstan
di hentikan setelah 24 jam bila tidak keluar bekuan dari kandung
kemih.Kemudian catheter bisa dibilas biasa tiap 4 jam sekali sampai
catheter di angkat biasanya 3 sampai 5 hari setelah operasi.Setelah
catheter di angkat pasien harus mengukur jumlah urine dan waktu tiap
kali berkemih.
b) Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
Pada prostatectomy retropubic dibuat insisi pada abdominal bawah tapi
kandung kemih tidak dibuka.
c) Perianal Prostatectomy
Dilakukan pada dugaan kanker prostat, insisi dibuat diantara scrotum dan
rectum.
d) Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy
Metode operasi terbuka, reseksi supra pubic kelenjar prostat diangkat
dari urethra lewat kandung kemih.
4) Alternatif  lain  (misalnya:  Kriyoterapi,  Hipertermia,  Termoterapi,  Terapi 
Ultrasonik

H. Pathway

Efekpenuaan

Ketidakseimbangan Androgen yang bersirkulasi


enstrogentestoren

BPH

iritasimukosa TURP Folleycateter


kandungkencing/ luka
terputusnyajaringan pemasangan DC obstruksioleh
jendolandarah
Ransangansaraf tempatmasuknya post op
Diameter kecil mikroorganisme

Gate control terbuka Resikotinggiinfeksi trauma bekas


Sarafaferen insisi

Cortex cerebri resikotinggi


Cidera :
Nyeri pendarahan
BAB III
KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Asuhan keperawatan pasien dengan hipertropi prostat melalui pendekatan
proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian keperawatan, perencanaan
keperawatan, pelaksanaan dan evaluasi keperawatan.
1. Anamnesa
Kumpulan  gejala  pada  BPH  dikenal  dengan  LUTS  (Lower  Urinary 
Tract  Symptoms)  antara  lain:
a. Nyeri pada daerah tindakan operasi.
b. Pusing.
c. Perubahan frekuensi berkemih.
d. Urgensi.
e. Dysuria
f. Flatus negatif.
g. Luka tindakan operasi pada daerah prostat.
h. Retensi, kandung kemih penuh.
i. Inkontinensia
j. Bibir kering.
k. Puasa.
l. Bising usus negatif.
m. Ekspresi wajah meringis.
n. Pemasangan catheter tetap.
o. Gelisah.
p. Informasi kurang.
q. Urine berwarna kemerahan.
2. Pemeriksaan  Fisik
 Dilakukan  dengan  pemeriksaan  tekanan  darah,  nadi  dan  suhu.  Nadi 
dapat  meningkat  pada  keadaan  kesakitan  pada  retensi  urin  akut, 
dehidrasi  sampai  syok  pada  retensi  urin  serta  urosepsis  sampai  syok
– septik.
 Pemeriksaan  abdomen  dilakukan  dengan  tehnik  bimanual  untuk 
mengetahui  adanya  hidronefrosis,  dan  pyelonefrosis.  Pada  daerah 
supra  simfiser  pada  keadaan  retensi  akan  menonjol.  Saat  palpasi 
terasa  adanya  ballotemen  dan  klien  akan  terasa  ingin  miksi. Perkusi 
dilakukan  untuk  mengetahui  ada  tidaknya  residual  urin.
 Penis  dan  uretra  untuk  mendeteksi  kemungkinan  stenose  meatus, 
striktur  uretra,  batu  uretra,  karsinoma  maupun  fimosis.
 Pemeriksaan  skrotum  untuk  menentukan  adanya  epididimitis
 Rectal  touch / pemeriksaan  colok  dubur  bertujuan  untuk  menentukan 
konsistensi  sistim  persarafan  unit  vesiko  uretra  dan  besarnya 
prostat.  Dengan  rectal  toucher  dapat  diketahui  derajat  dari  BPH, 
yaitu :
a) Derajat  I   =  beratnya  ±  20 gram.
b) Derajat  II  =  beratnya  antara  20 – 40  gram.
c) Derajat  III =  beratnya  > 40  gram.

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah     sebagai  berikut  :
Post Operasi :
1. Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi
sekunderpada TUR-P
2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
3. Resiko tinggi  cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan
pembedahan.

C. Intervensi
Post operasi
1. Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder
pada TUR-P
Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil :
- Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang.
- Ekspresi wajah klien tenang.
- Klien akan menunjukkan ketrampilan  relaksasi.
- Klien akan tidur / istirahat dengan tepat.
- Tanda – tanda vital dalam batas normal.
Rencana tindakan :
1) Jelaskan pada klien tentang gejala dini spasmus kandung kemih.
R/ Klien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.
2) Pemantauan klien pada interval yang teratur selama 48 jam, untuk
mengenal gejala – gejala dini dari spasmus kandung kemih.
R/ Menentukan terdapatnya spasmus  sehingga obat – obatan bisa  
diberikan
3) Jelaskan pada klien bahwa intensitas dan frekuensi akan berkurang dalam
24 sampai 48 jam.
R/ Memberitahu klien bahwa ketidaknyamanan hanya temporer.
4) Beri penyuluhan pada klien agar tidak berkemih ke seputar kateter.
R/ Mengurang kemungkinan spasmus.
5) Anjurkan pada klien untuk tidak duduk dalam waktu yang lama sesudah
tindakan TUR-P.
R / Mengurangi tekanan pada luka insisi
6) Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan nafas dalam,
visualisasi.
R / Menurunkan tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian dan
dapat meningkatkan kemampuan koping.
7) Jagalah selang drainase urine tetap aman dipaha untuk mencegah
peningkatan tekanan pada kandung kemih. Irigasi kateter jika terlihat
bekuan pada selang.
R/ Sumbatan pada selang kateter oleh bekuan darah dapat menyebabkan
distensi kandung kemih dengan peningkatan spasme.
8) Observasi tanda – tanda vital
R/  Mengetahui perkembangan lebih lanjut.
9) Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat – obatan (analgesik atau
anti spasmodik )
R / Menghilangkan nyeri dan mencegah  spasmus kandung kemih.

2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama


pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
Tujuan: Klien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi .
Kriteria hasil:
- Klien tidak mengalami infeksi.
- Dapat mencapai waktu penyembuhan.
- Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda – tanda
shock.
Rencana tindakan:
1) Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril.
R/ Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi
2) Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga dapat
menurunkan potensial infeksi.
R/ . Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan
mempertahankan fungsi ginjal.
3) Pertahankan posisi urobag dibawah.
R/ Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke
kandung kemih.
4) Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.
R/ Mencegah sebelum terjadi shock.
5) Observasi urine: warna, jumlah, bau.
R/ Mengidentifikasi adanya infeksi.
6) Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotik.
R/ Untuk mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan.

3. Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan


Tujuan: Tidak terjadi perdarahan.
Kriteria hasil:
- Klien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan .
- Tanda – tanda vital dalam batas normal .
- Urine lancar lewat kateter .
Rencana tindakan:
1) Jelaskan pada klien tentang sebab terjadi perdarahan setelah pembedahan
dan tanda – tanda perdarahan .
R/ Menurunkan kecemasan klien dan mengetahui  tanda – tanda
perdarahan
2) Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter
R/  Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan
perdarahan kandung kemih
3) Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk  
memudahkan defekasi.
R/ Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang akan
mengendapkan perdarahan .
4) Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rektal atau
huknah, untuk sekurang – kurangnya satu minggu .
R/ Dapat menimbulkan perdarahan prostat .
5) Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan traksi 
dilepas .
R/ Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa
prostatik, menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah
pembedahan .
6) Observasi: Tanda – tanda vital tiap 4 jam,masukan dan haluaran dan 
warna urine
R/ Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi yang tepat
mencegah kerusakan jaringan yang permanen .
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Definisi BPH adalah suatu penyakit yang di sebabkan oleh factor
penuaan,dimana prostat mengalami penbesaran memanjang ke atas kedalam
kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium
uretra.
Prestatektomi adalah merupakan tindakan pembedahanbagian prostat
(sebagian atau seluruh)yang memotong uretra,bertujuan untuk memperbaiki
aliran urindan menghilangkan retensi urinaria akut.

B. Saran
Dengan disusunnya laporan ini diharapkan kepada semua pembaca agar
dapat menelaah dan memahami apa yang telah tertulis dalam laporan ini
sehingga sedikit banyak bisa menambah pengetahuan pembaca. Di samping
itu saya juga mengharapkan saran dan kritik adri para pembaca sehingga kami
bisa berorientasi lebih baik pada makalah kami.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Jilid 2.


Jakarta : EGC
Carpenito, Lynda Juall.1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta :
EGC
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Long, B.C., 1996.  Perawatan  Medikal  Bedah : Suatu  Pendekatan  Proses 
Keperawatan. Jakarta,  Penerbit  Buku  Kedokteran  EGC.

Anda mungkin juga menyukai