Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DENGAN KASUS

BPH (BENIGNE PROSTAT HYPERPLASIA) DI RUANGAN KAMAR


OPERASI RSUD UNDATA PROVINSI SULAWESI TENGAH

DI SUSUN OLEH:

NAMA : NI LUH AYU SRIANI


NIM : 2022032026

CI LAHAN CI INSTITUSI

Nurvia, S.Kep.,Ns Ns. Abdul Rahman, S.Kep.,M.H.Kes


NIP. 198104011999032002 NIK. 20200902028

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS WIDYA NUSANTARA PALU
2023
BPH (Benigne Prostat Hyperplasia))

A. Definisi Benigne Prostat Hyperplasia

(BPH) adalah suatu penyakit pembesaran atau hipertrofi dari prostat. Kata-kata

hipertrofi seringkali menimbulkan kontroversi di kalangan klinik karena sering rincu dengan

hiperplasia. Hipertrofi bermakna bahwa dari segi (kualitas) terjadi pembesaran sel, namun

tidak diikuti oleh jumlah (kuantitas). Namun, hiperplasia merupakan pembesaran ukuran sel

(kualitas) dan diikuti oleh penambahan jumlah sel (kuantitas). BPH seringkali menyebabkan

gangguan dalam eliminasi urine karena pembesaran prostat yang cederung kearah depan/

menekan vesika urinaria (Prabowo dan Andi, 2020). Hiperplasia noduler ditemukan pada

sekitar 20% laki-laki dengan usia 40 tahun, meningkat 70% pada usia 60 tahun dan menjadi

90% pada usia 70 tahun. Pembesaran ini bukan merupakan kanker prostat, karena konsep

BPH dan karsinoma prostat berbeda. Secara anatomis, sebanarnya kelenjar prostat

merupakan kelenjar ejakulasi yang membantu menyemprotkan sperma dari saluran (ductus).

Pada waktu melakukan ejakulasi, secara fisiologis prostat membesar untuk mencegah urine

dari vesika urinaria melewati uretra. Namun, pembesaran prostat yang terus menerus akan

berdampak pada obstruksi saluran kencing (meatus urinarius internus) (Mitchell, 2020 dalam

Prabowo dan Andi, 2019).

B. ANATOMI FISIOLOGI

1. Anatomi

Kelenjar prostat merupakan bangunan yang pipih, kerucut dan berorientasi di

bidang koronal. Apeksnya menuju ke bawah dan terletak tepat diatas fasia profunda dari

diafragma urogenital. Permukaan anteriior mengarah pada simfisis dan dipisahkan


jaringan lemak serta vena periprostatika. Pita fibromuskuler anterior memisahkan

jaringan prostat dari ruang preprostatika dan permukaan posteriornya dipisahkan dari

rektum oleh lapisan ganda fasia denonvilliers.

Berat kelenjar prostat pada orang dewasa kira-kira 20-25 gram dengan ukuran rata-

rata : panjang 3,4 cm, lebar 4,4 cm, tebal 2,6 cm. Secara embriologis terdiri dari 5 lobus

yaitu lobus medius 1 buah, lobus anterior 1 buah, lobus posterior 1 buah, lobus lateral 2

buah. Prostat dikelilingi kapsul yang kurang lebih berdiameter 1 mm terdiri dan serabut

fibromuskular yang merupakan tempat perlekatan ligamentum pubovesikalis. Beberapa

ahli membagi prostat menjadi 5 lobus : lobus anterior, medial, posterior, dan 2 lobus

lateral yang mengelilingi uretra.

Kelenjar prostat merupakan organ yang kompleks yang terdiri dari jaringan

glandular dan non glandular, glandular terbagi menjaadi 3 zona besar: sentral (menempati

25 %), perifeal (menempati 70 %), dan transisional (menempati 5%). Perbedaan zona-

zona ini penting secara klinis karena zona perifeal sangat sering sebagai tempat asal

keganasan, dan zona transisional sebagai tempat asal benigna prostat hiperplasia.
Uretra dan verumontanium dapat dipakai

sebagai patokan untuk prostat. Bagian proksimal uretra membentang melalui 1/3 bagian

depan prostat dan bersinggungan dengan kelenjar periutheral dan sfingter preprostatik.

Pada tingkat veromontanium, urethra membentuk sudut anterior 35 0dan urethra pars

prostatika distal bersinggung dengan zona perifal. Volume zona sentral adalahyang

terbesar pada individu muda, tapi dengan bertambahnya usia zona ini atrofi secara

progresif. Sebaliknya zona transisional membesar dengan membentuk benigna prostat

hiperplasia. Mc. Neal Melakukan analisa komparatif tentang zona prostat melalui

potongan sagital, koronal dan koronal obliq yaitu :

a. Stroma fibromuskular anterior

Merupakan lembaran tebal yang menutupi seluruh permukaan anterior prostat.

Lembaran ini merupakan kelanjutan dari lembaran otot polos disekitar urethra

proksial pada leher buli, dimana lembaran ini bergabung dengan spinkter interna dan

otot detrusor dari tempat dimana dia berasal. Dekat apeks otot polos ini bergabung

dengan striata yang mempunyai peranan sebagai spinkter eksterna.

b. Zona perifer
Merupakan bagian terbesar dari prostat. Zona ini terdiri atas 65-67 % dari

seluruh jaringan prostat. Hampir semua karsinoma berasal dari zona ini.

c. Zona Sentral

Zona sentral mengelingi ductus ejakularis secra penuh diatas dan dibelakang

verumontanium. Mc. Neal membedakan zona ini sentral dan zona perifer

berdasarkan arsitektur sel dan sitologinya.

d. Zona transisional

Merupakan sekelompok kecil ductus yang berasal dari suatu titik pertemuan

urethra proksimal dan distal. Besarnya 5 % dari seluruh massa prostat. Pada zona ini

asiner banyak mengalami proliferasi dibandingkan ductus periurethra lainnya.

2. Fisiologi

Kelenjar prostat secara relatif tetap kecil sepanjang kanak-kanak dan mulai tumbuh

pada masa pubertas dibawah stimulus testesteron. Kelenjar ini mencapai ukuran

makasimal pada usia 20 tahun dan tetap dalam kuran ini sampai usia mendekati 50 tahun.

Pada waktu tersebut pada beberapa pria kelenjar tersebut mulai berdegenerasi bersamaan

dengan penurunan pembentukan testosteron oleh testis.

Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu dan bersifat

alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase, kalsium dan koagulasi serta

fibrinolin. Selama pengeluaran cairan prostat, kapsul kelenjar prostat akan berkontraksi

bersama dengan vas deferens dan cairan dari prostat keluar bercampur dengan segmen

yang lainnya.

C. Etiologi
Penyebabnya Penyebab yang pasti dari benigne prostat hyperplasia sampai sekarang

belum diketahui secara pasti, namun ada 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya benigne

prostat hyperplasia yaitu usia dan hormonal menjadi prediposisi terjadinya BPH. usia lanjut.

beberapa hipotesis menyebutkan bahwa benigna prostat hiperplasia sangat erat kaitannya

dengan:

1. Peningkatan Dihidrotestosteron (DHT) Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor

androgen akan menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami

hiperplasia.

2. Ketidak seimbangan estroge–testoteron Ketidak seimbangan ini terjadi karena proses

degeneratif. Pada proses penuaan, pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan

penurunan hormon testosteron. Hal ini memicu terjadinya hiperplasia stroma pada

prostat.

3. Interaksi antar sel stroma dan sel epitel prostat Peningkatan kadar epidermal gorwth

factor atau fibroblas gorwth factor dan penurunan transforming gorwth factor beta

menyebabkan hiperplasia stroma dan epitel, sehingga akan terjadi BPH.

4. Berkurangnya kematian sel Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama

hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.

5. Teori stem sel Sel stem yang meningkat akan mengakibatkan proliferasi sel transit dan

memicu terjadinya BPH

D. Patofisiologi

Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia, jila

prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam mempersulit saluran uretra

prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesika.
Sebagai kompensasi terhadap tekanan prostatika, maka otot detrusor dan buli-buli

berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang terus-menerus

menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa: hipertropi otot detrusor, trabekulasi,

terbentuknya selua, sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli

dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran kencing bagian bawah atau Lower Urinary

Symptom / LUTS. Pada fase awal dari prostat hiperplasia, kompensasi oleh muskulus

destrusor berhasil dalam sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak berubah. Pada

fase ini disebut sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata. Lama kelamaan kemampuan

kompensasi menjadi berkurang dan kualitas miksi berubah, kekuatan serta lamanya kontraksi

dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat sehingga tersisa urine di dalam buli-buli saat

proses miksi berakhir seringkali prostat hyperplasia menambah kompensasi dengan

meningkatkan tekanan intra abdominal 9 (mengejan) sehingga timbulnya hernia dan

haemorhoid puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak berhasilnya melakukan ekspulsi

urine dan terjadinya retensi urine, keadaan ini disebut sebagai Prostat Hyperplasia

Dekompensata. Fase dekompensasi yang masih akut menimbulkn rasa nyeri dan dalam

beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia urine secara berkala akan mengalir

sendiri tanpa dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli tetap penuh. Ini terjadi oleh karena

buli-buli tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi. Puncak dari kegagalan kompensasi

adalah ketidak mampuan otot detrusor memompa urine dan menjadi retensi urine. Retensi

urine yang kronis dapat menimbulkan kemunduran dungsi ginjal (Jitowiyono dan Weni,

2021). Penyakit BPH ini merupakan penyakit bedah, jika keluhan masih ringan, maka

observasi diperlukan dengan pengobatan simptomatis untuk mengevaluasi perkembangan

klien. Namun, jika telah terjadi obstruksi/ retensi urine, infeksi, insufisiensi ginjal, maka
harus dilakukan tindakan (Prabowo & Andi, 2019). Pada klien dengan BPH salah satunya

adalah TURP, setelah tindakan TUR.P dipasang kateter threeway. Irigasi kandung kemih

secara terus menerus dilakukan untuk mencegah pembekuan darah. Rasa nyeri dapat

dikarenakan adanya pembekuan darah yang banyak di kandung kencing, sumbatan kateter,

berlubangnya kandung kencing akibat operasi atau analgetik yang tidak adekuat (Wati, D. E.

et.al. 2019).

E. PATHWAY
F. MANIFESTASI KLINIS

Gambaran tanda dan gejala secara klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda

gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi

dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak

puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan

(straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang

akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow.

Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat

akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau

dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering

miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi

yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer, 2020)

Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2003) dibedakan menjadi 4 stadium :

1. Stadium I

Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai

habis.

2. Stadium II

Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak

sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau

disuria dan menjadi nocturia.

3. Stadium III

Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.

4. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara

periodik (over flow inkontinen).

Menurut Brunner and Suddarth (2019) menyebutkan bahwa Tanda dan gejala dari BPH

adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan,

abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine

tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut.

Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :

1. Rectal Gradding

Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :

a. Grade 0 : Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam rectum.

b. Grade 1 : Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam rectum.

c. Grade 2 : Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam rectum.

d. Grade 3 : Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam rectum.

e. Grade 4 : Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam rectum.

2. Clinical Gradding

Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing

dahulu kemudian dipasang kateter.

a. Normal : Tidak ada sisa

b. Grade I : sisa 0-50 cc

c. Grade II : sisa 50-150 cc

d. Grade III : sisa > 150 cc

e. Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.


G. KOMPLIKASI

1. Retensi urine. Retensi urine ditandai dengan ketidakmampuan seseorang untuk buang air

kecil. Pengidap BPH yang mengalami retensi urine mungkin perlu dibantu dengan kateter

yang dimasukkan ke dalam kandung kemih untuk mengeringkan urine. 

2. Infeksi saluran kemih. BPH juga bisa membuat pengidapnya tidak mampu

mengosongkan kandung kemih sepenuhnya. Kondisi ini meningkatkan risiko infeksi

saluran kemih.

3. Batu kandung kemih. Batu kandung kemih juga dapat terbentuk apabila pengidap BPH

tidak mampu mengosongkan kandung kemih sepenuhnya. Jika ukurannya semakin besar,

batu bisa menyebabkan infeksi, mengiritasi kandung kemih, dan menyumbat aliran urine.

4. Kerusakan kandung kemih. Kandung kemih yang tidak dikosongkan sepenuhnya lama

kelamaan dapat meregang dan melemah. Akibatnya, dinding otot kandung kemih tidak

lagi berkontraksi dengan baik.

5. Kerusakan ginjal. Tekanan pada kandung kemih akibat retensi urine terus-menerus dapat

merusak ginjal atau men

H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula digunakan

untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.

b. Pemeriksaan urine lengkap.

c. PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan adanya

keganasan (Padila, 2012 dalam Annisa, 2017).


2. Pemeriksaan Uroflowmetri

Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urine. Secara obyektif

pancaran urine dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian :

a. Flow rate maksimal > 15 ml/detik : non obstruktif

b. Flow rate maksimal 10-15 ml/detik : border line

c. Flow rate maksimal < 10 ml/detik : obstruksi (Padila, 2012 dalam Annisa, 2017).

3. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik

a. BOF (Buik Overzich) : untuk menilai adanya batu dan metastase pada tulang.

b. USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi volume dan besar

prostate juga keadaan buli-buli termasuk residual urine. Pemeriksaan dapat dilakukan

secara transrektal, transurethral, dan supra pubik.

c. IVP (Pyelografi Inravena), digunakan untuk melihat exkresi ginjal dan adanya

hidronefrosis.

d. Pemeriksaan panendoskop : untuk mengetahui keadaan uretra dan buli-buli (Padila,

2013 dalam Annisa, 2017).

I. PENATALAKSANAAN

1. Observasi

Biasanya pada terapi ini pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi

penjelasan mengenai sesuatu hal yang dapat memperburuk keluhannya, misalnya jangan

banyak minum dan mengonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, kurangi

konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada bulibuli (kopi atau

coklat), batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin,

kurangi makanan pedas dan asin, jangan menahan kencing terlalu lama. setiap 6 bulan
pasien diminta untuk kontrol dengan ditanya dan diperiksa tentang perubahan keluhan

yang dirasakan. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu

difikirkan untuk memilih terapi yang lain (Nurarif & Hardhi, 2015).

2. Terapi Medikamentosa

Menurut (Wijaya, dkk, 2013 dalam Annisa, 2017), tujuan Medikamentosa adalah

berusaha untuk:

a. Mengurangi retensio otot polos prostate sebagai komponen dinamik penyebab

obstruksi intravesika dengan obat-obatan penghambat adrenalgik alfa.

b. Mengurangi volume prostate sebagai komponen static dengan cara menurunkan kadar

hormone testosterone dan dihidrosteron (DHT) melalui menghambat 5 alfa-reduktase.

1) Penghambat Enzim

Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1 x 5 mg/hari.

Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang

membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat dari golongan alfa

bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostate yang besar. Efek samping dari

obat ini diantaranya adalah libido, Ginekomastio.

2) Fitoterapi

Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostate.

Efeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1-2 bulan dapat

memperkecil volume prostate.

3) Terapi Bedah

Menurut (Smeltzer S. C,. & Brenda G. Bare, 2015) intervensi bedah yang

dapat dilakukan meliputi:


a) Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka yang bisa

digunakan adalah:

b) Pembedahan endourologi, endourologi transurethral dapat dilakukan dengan

memakai tenaga elektrik diantaranya:

1. Transurethral Prostatic Resection (TURP) TURP dilakukan dengan

memakai alat yang disebut resektoskop dengan suatu lengkung diathermi.

Jaringan kelenjar prostat diiris selapis demi selapis dan dikeluarkan

melalui 16 selubung resektoskop. Perdarahan dirawat dengan memakai

diathermi, biasanya dilakukan dalam waktu 30 sampai 120 menit,

tergantung besarnya prostat. Indikasi TURP adalah gejala sedang sampai

berat, volume prostat kurang dari 90 gram. Tindakan ini dilakukan apabila

pembesaran prostate terjadi dalam lobus medial yang langsung

mengelilingi uretra. TUR.P merupakan tindakan operasi yang paling

banyak dilakukan, reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan transuretra

menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan dioperasi

tidak tertutup darah. Prosedur ini dilakukan dengan anastesi regional

( Blok Subarakhnoidal/ SAB/ Peridural ). Manfaat TURP antara lain tidak

meninggalkan atau bekas sayatan serta waktu operasi dan waktu tinggal

dirumah sakit lebih singkat. Setelah itu dipasang kateter threeway. Irigasi

kandung kemih secara terus menerus dilakukan untuk mencegah

pembekuan darah. Irigasi setelah TURP menggunakan cairan NaCl 0,9%

atau sterilized water for irrigation. Kedua jenis cairan ini lazim digunakan

di Indonesia. Setiap rumah sakit memiliki keputusan tersendiri. Kedua


jenis cairan ini aman dan sudah terdapat penelitian yang

mengungkapkannya. Di luar negri mungkin terdapat cairan lain seperti

glisin, cytal ataupun lainnya tetapi cairan tersebut tidak masuk pasaran

Indonesia. Jumlah tetesan cairan irigasi untuk hari setelah operasi biasanya

guyur. Hari pertama sekitar 60 tetes permenit. Hari kedua sekitar 40 tetes

17 permenit. Hari ketiga intermiten. Meskipun demikian tetesan dapat

berbeda antar pasien disesuaikan kondisi pasien. Setelah urin yang keluar

jernih kateter dapat dilepas. Kateter biasanya dilepas pada hari ke 3 –5.

Untuk pelepasan kateter, diberikan antibiotika 1 jam sebelumnya untuk

mencegah urosepsis. Biasanya klien boleh pulang setelah miksi baik, satu

atau dua hari setelah kateter dilepas (Wati, D. E. et.al. 2020).

2. Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) Tindakan ini dilakukan

apabila volume prostate tidak terlalu besar atau prostate fibrotic, indikasi

dari penggunaan TURP adalah keluhan sedang atau berat, dengan volume

prostate normal/ kecil (30 gram atau kurang). Teknik yang dilakukan

adalah dengan memasukan instrumen kedalam uretra. Satu atau dua buah

insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan

prostat pada uretra dan mengurangi konstriksi uretra.

J. PENCEGAHAN

1. Menghindari minum apa pun 1-2 jam sebelum tidur

2. Membatasi asupan minuman yang mengandung kafein dan alkohol

3. Membatasi konsumsi obat pilek yang mengandung dekongestan dan antihistamin

4. Tidak menahan atau menunda buang air kecil


5. Membuat jadwal untuk buang air kecil, misalnya tiap 4 atau 6 jam

6. Menjaga berat badan ideal, dengan menjalani pola makan yang sehat

7. Berolahraga secara teratur dan rutin melakukan senam Kegel

8. Mengelola stres dengan baik

K. ASUHAN KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN

Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan.

Menurut Doenges (2018) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut :

a. Sirkulasi

Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus

preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh

karena efek pembesaran ginjal. Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi sering

dijumpai pada. kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan volume

cairan.

b. Integritas Ego

Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya

karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari

tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.

c. Eliminasi

Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh pasien

dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin, aliran urin

berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia,

disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi karena
tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase

kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin.

Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan

tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain

terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada

preoperasi BPH hal tersebut terjadi karena protrusi prostat ke dalam rektum,

sedangkan pada postoperasi BPH, karena perubahan pola makan dan makanan.

d. Makanan dan cairan

Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek

penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada

postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat

badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan

maupun nutrisinya.

e. Nyeri dan kenyamanan

Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang

utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada

pasien postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan

kuat, nyeri punggung bawah.

f. Keselamatan/ keamanan

Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan tidak

luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk menghindari

segala jenis tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan

adalah kaji adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam
(pada preoperasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan juga

adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada saluran

perkemihannya.

g. Seksualitas

Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami

masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut

inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat

ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.

h. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun

postoperasi BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin,

urologi., urin, BUN/kreatinin, asam fosfat serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan

pada postoperasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari

perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.

2. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan kasus Benign Prostatic

Hyperplasia (BPH) adalah sebagai berikut :

a. Pre operasi

1. Nyeri akut

2. Cemas

3. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh

4. Kerusakan eleminasi urin


b. Post operasi

1. Nyeri akut

2. Resiko infeksi

3. Kurang pengetahuan tentang penyakit, diit, dan pengobatan

4. Defisit perawatan diri

Anda mungkin juga menyukai