Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN BEDAH REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2018

UNIVERSITAS HALU OLEO

BENIGN PROSTAT HYPERPLASIA

OLEH :

Dwi Pascawitasari, S.Ked

K1A1 12 105

SUPERVISOR

dr. Irzal Junaid, Sp.B

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

2018

1
BENIGN PROSTAT HYPERPLASIA
Dwi Pascawitasari, Irzal Junaid

A. PENDAHULUAN
Penyakit prostat merupakan penyebab yang sering pada berbagai
masalah saluran kemih pada pria, insidennya menunjukkan peningkatan
sesuai dengan umur, terutama pada mereka yang berumur di atas 60 tahun.
Sebagian besar penyakit prostat menyebabkan pembesaran organ yang
mengakibatkan terjadinya penekanan/pendesakan uretra pars intraprostatika,
keadaan ini menyebabkan gangguan aliran urin, meningkatkan risiko
terjadinya infeksi traktus urinarius dan pada beberapa kasus, retensi akut dari
urin memerlukan tindakan kateterisasi yang segera. 1
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak
adalah salah satu penyakit degeneratif pria yang sering dijumpai, berupa
pembesaran dari kelenjar prostat yang mengakibatkan terganggunya aliran
urine dan menimbulkan gangguan miksi.2 Pembesaran prostat jinak atau
yang lebih dikenal sebagai Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) sering
ditemukan pada laki-laki dewasa terutama usia diatas 50 tahun di
Indonesia. BPH juga merupakan penyakit urutan kedua setelah batu
saluran kemih yang sering dikeluhkan oleh laki-laki di Indonesia. Keluhan
utamanya adalah retensi urin atau sulit untuk berkemih dan itu dirasakan
sangat mengganggu kehidupan sehari-hari.3

B. ANATOMI
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak di bawah dari buli-
buli, di depan rektum dan membungkus uretra posterior. Bentuknya
seperti buah kemiri dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan beratnya ± 20 gram.
Prostat memiliki kapsula fibrosa yang padat dan dilapisi oleh jaringan
ikat prostat sebagai bagian fascia pelvis visceralis. Pada bagian superior
dari prostat berhubungan dengan vesika urinaria, sedangkan bagian
inferior bersandar pada diafragma urogenital. Permukaan ventral prostat

2
terpisah dari simpisis pubis oleh lemak retroperitoneal dalam spatium
retropubicum dan permukaan dorsal berbatas pada ampulla recti.1

Gambar 1. Anatomi Kelenjar Prostat

Kelenjar prostat terdiri atas jaringan kelenjar dinding uretra yang


mulai menonjol pada masa pubertas. Biasanya kelenjar prostat dapat
tumbuh seumur hidup. Secara anatomi, prostat berhubungan erat dengan
kandung kemih, uretra, vas deferens, dan vesikula seminalis. Prostat
terletak di atas diafragma panggul sehingga uretra terfiksasi pada
diafragma tersebut, dapat terobek bersama diafragma bila terjadi cedera.
Prostat dapat diraba pada pemeriksaan colok dubur. Selain mengandung
jaringan kelenjar, kelenjar prostat mengandung cukup banyak jaringan
fibrosa dan jaringan otot polos. Kelenjar ini ditembus oleh uretra dan
kedua duktus ejakulatorius, dan dikelilingi oleh suatu pleksus vena.
Kelenjar limfe regionalnya ialah kelenjar limfe hipogastrik, sacral,
obturator, dan iliaka eksterna . Arteri-arteri untuk prostat terutama berasal
dari arteria vesicalis inferior dan arteria rectalis media, cabang arteria
iliaca interna. Vena-vena bergabung membentuk plexus venosus prostaticus
sekeliling sisi-sisi dan alas prostat. Plexus venosus prostaticus yang

3
terletak antara kapsula fibrosa dan sarung prostat, ditampung oleh vena
iliaka interna. Plexus venosus prostaticus juga berhubungan dengan
plexus venosus vesicalis dan plexus venosi vertebrales. Pembuluh limfe
terutama berakhir pada nodi lymphoidei iliaci interni dan nodi
lymphoidei externi.

Gambar 2. Anatomi Kelenjar Prostat

Secara histologi, prostat terdiri dari kelenjar yang dilapisi dua lapis
sel, bagian basal adalah epitel kuboid yang ditutupi oleh lapisan sel sekretori
kolumnar. Pada beberapa daerah dipisahkan oleh stroma fibromuskular.
Hormon androgen testis berfungsi untuk mengontrol pertumbuhan dan
kelangsungan hidup sel-sel prostat. Prostat merupakan suatu kumpulan 30−50
kelenjar tubuloalveolar yang bercabang. Duktusnya bermuara ke dalam
uretra pars prostatika, yang menembus prostat. Kelenjar prostat terbagi
dalam beberapa zona, antara lain: zona perifer, zona sentral, zona
transisional, zona fibromuskuler anterior dan zona periurethra. Zona
perifer adalah zona yang paling besar, yang terdiri dari 70% jaringan

4
kelenjar sedangkan zona sentral terdiri dari 25% jaringan kelenjar dan zona
transisional hanya terdiri dari 5% jaringan kelenjar. Sebagian besar kejadian
BPH terdapat pada zona transisional, sedangkan pertumbuhan karsinoma
prostat berasal dari zona perifer. Kelenjar tubuloalveolar prostat dibentuk
oleh epitel bertingkat silindris atau kuboid. Stroma fibromuskular
mengelilingi kelenjar-kelenjar. Prostat dikelilingi suatu simpai fibroelastis
dengan otot polos. Septa dari simpai ini menembus kelenjar dan membaginya
dalam lobus-lobus yang tidak berbatas tegas pada orang dewasa. Seperti
halnya vesikula seminalis, struktur dan fungsi prostat bergantung pada kadar
testosterone.1

C. DEFENISI
Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak
adalah salah satu penyakit degeneratif pria yang sering dijumpai, berupa
pembesaran dari kelenjar prostat yang mengakibatkan terganggunya aliran
urine dan menimbulkan gangguan miksi.1,4,5,6
Benign Prostat Hyperplasia (BPH) merupakan kelainan yang sangat
sering dijumpai pada pria diatas 50 tahun. Kelainan ini ditandai oleh
hyperplasia sel stroma dan epitel prostat sehingga terbentuk nodul-nodul
diskret besar diregio periuretra prostat. Berdasarkan pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa Benign Prostat Hyperplasia (BPH) merupakan penyakit
pembesaran prostat yang disebabkan oleh proses penuaan, yang biasa dialami
oleh pria berusia 50 tahun keatas, yang mengakibatkan obstruksi leher
kandung kemih, dapat menghambat pengosongan kandung kemih dan
menyebabkan gangguan perkemihan.7

5
Gambar 3. Benign Prostatic Hyperplasia

D. EPIDEMIOLOGI
Timbulnya hyperplasia prostat hampir merupakan suatu fenomena
universal pada laki-laki berusia lanjut. Penyakit ini mengenai laki-laki berusia
diatas 45 tahun dan frekuensinya meningkat seiring dengan pertambahan usia.
BPH merupakan tumor jinak yang paling sering pada laki-laki, insidennya
berhubungan dengan usia. Prevalensi histologis BPH meningkat dari 20%
pada laki berusia 41-50 tahun, 50% pada laki usia 51-60 tahun hingga lebih
dari 90% pada laki berusia diatas 80 tahun. Meskipun bukti klinis belum
muncul, namun keluhan obstruksi juga berhubungan dengan usia. Pada usia
50 tahun ± 25% laki-laki mengeluh gejala obstruksi pada saluran kemih
bagian bawah, meningkat hingga usia 75 tahun dimana 50% laki-laki
mengeluh berkurangnya pancaran atau aliran pada saat berkemih.1
Insidensi BPH di dunia pada usia 40an adalah sebesar 40%.
Pada usia 60-70 tahun, persentasenya meningkat menjadi 50% dan diatas
70 tahun, persentase meningkat hingga 90%. Hasil penelitian di Amerika
menunjukan bahwa sekitar 20% BPH terjadi pada usia 41-50 tahun,
50% terjadi pada usia 51-60 tahun dan 90% terjadi pada usia 80
tahun.3,4,5,7,8
E. ETIOLOGI

6
Penyebab Benign Prostatic Hyperplasia hingga saat ini masih
belum diketahui secara pasti, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
BPH erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan
proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya
BPH adalah:1,7,8,9,10
1. Teori Dihidrotestosteron (DHT)
Dihidrotestosteron adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron didalam sel
kelenjar prostat oleh enzim 5 alfa reduktase dengan bantuan koenzim
nicotinamide adenin dinucleotide phosphatase-oxidase (NADPH). DHT
yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk
kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein
growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat.

2. Ketidakseimbangan antara Estrogen-Testosteron


Pada pria usia tua, kadar testosteron menurun sedangkan kadar
estrogen relatif tetap, sehingga perbandingan antara estrogen dan
testosteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen pada
kelenjar prostat berperan untuk terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar
prostat dengan cara meningkatkan jumlah reseptor androgen dan
menurunkan jumlah kematian sel-sel kelenjar prostat (apoptosis). Hasil
akhir dari semua keadaan ini adalah meskipun rangsangan terbentuknya
sel-sel baru akibat rangsangan testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat
yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa
kelenjar prostat menjadi lebih besar.

3. Interaksi Stroma-Epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel kelenjar prostat secara tidak
langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth
factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari
dihidrotestosteron dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth

7
factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara
intrakin atau autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara
parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel
maupun sel stroma.

4. Berkurangnya Kematian Sel Prostat


Program kematian sel (apoptosis) pada sel kelenjar prostat adalah
mekanisme fisiologi untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat
dimana akan terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya
sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di
sekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringan
normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian
sel. Pada saat terjadi pertumbuhan kelenjar prostat sampai pada
kelenjar prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel kelenjar prostat
baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah
sel-sel kelenjar prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah
sel-sel kelenjar prostat secara keseluruhan menjadi meningkat
sehingga menyebabkan pertambahan massa kelenjar prostat. Pada pasien
BPH, terjadi pertumbuhan abnormal (hiperplasia) pada kelenjar
prostat yang mungkin disebabkan oleh faktor pertumbuhan lokal atau
reseptor faktor pertumbuhan yang abnormal, yang menyebabkan
meningkatnya proliferasi atau menurunnya kematian sel (apoptosis).
Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti faktor-
faktor yang menghambat proses apoptosis. Diduga hormon androgen
berperan dalam menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan
kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat.
Estrogen diduga mampu memperpanjang usia sel-sel kelenjar prostat,
sedangkan faktor pertumbuhan transforming growth factor beta (TGFβ)
berperan dalam proses apoptosis.1

F. PATOFISIOLOGI

8
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra
prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli
harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus
menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi
otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula dan divertikel buli-
buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai
keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract
symptoms (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus.1,7
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-
buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara
ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau
terjadi refluks vesikoureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke
dalam gagal ginjal.1,7
Obstruksi yang diakibatkan oleh hyperplasia prostat benigna tidak
hanya disebabkan oleh adanya amssa prostat yang menyumbat uretra
posterior, tetapi juga disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma
prostat, kapsul prostat dan otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu
dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus. .1,7

G. KLASIFIKASI
Didalam praktek, pembagian besar prostat derajat I-IV digunakan untuk menentukan cara penanganan. Adapun derajat

pembesaran prostat : 2

Derajat Colok Dubur Sisa Vol. urin


I Penonjolan prostat, batas atas mudah < 50 mL

9
diraba
Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat
II 50-100 mL
dicapai tetapi sulit
III Batas atas prostat tidak dapat diraba > 100 mL

IV - Retensi urin total


Tabel 1. Derajat Pembesaran prostat.
Penderita derajat I biasanya belum memerlukan tindak bedah
diberikan pengobatan konservatif, misalnya dengan penghambat
adrenoreseptor alfa. Derajat II merupakan indikasi untuk melakukan
pembedahan. Biasanya dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra (trans
urethral resection, TUR). Namun derajat II dapat dicoba dengan pengobatan
konservatif. Pada derajat III dilakukan reseksi endoskopik dan bisa dilakukan
pembedahan terbuka. Pada derajat IV, tindakan pertama yang dilakukan ialah
membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau
sistostomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi
diagnosis, kemudian terapi defenitif dengan TURP atau pembedahan terbuka.2

H. DIAGNOSA
1. ANAMNESIS
a. Riwayat Perjalanan Penyakit
1) Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah (LUTS) terdiri
atas gejala obstruksi (voiding symptoms) meliputi pancaran kemih
lemah dan terputus (intermitensi), merasa tidak puas saat berkemih,
gejala iritasi (storage symptoms) meliputi frekuensi berkemih
meningkat, urgensi, nokturia, dan gejala pasca miksi seperti urine
menetes (dribbling) hingga gejala yang paling berat adalah retensi
urine. Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi
otot buli-buli untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-
buli mengalami kepayahan (fatique) sehingga jatuh ke dalam fase

10
dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urine
akut.1,10,11,12,13
Timbulnya dekompensasi buli-buli biasanya didahului oleh
beberapa faktor pencetus, antara lain :
a) Volume buli-buli tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin,
menahan kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan
atau minuman yang mengandung diuretikum (alkohol, kopi)
dan minum air dalam jumlah yang berlebihan.
b) Massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan
aktivitas seksual atau mengalami infeksi prostat akut,
c) Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan
konstraksi otot detrusor atau yang dapat mempersempit leher
buli-buli, antara lain golongan antikolinergik atau adrenergic
alfa.
2) Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hyperplasia prostat pada saluran
kemih bagian atas berupa gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang,
benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis),
atau demam yang merupakan tanda dari infeksi urosepsis.
3) Gejala di luar saluran kemih
Pada pemeriksaan fisis mungkin didapatkan buli-buli yang
terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat
retensi urin. Kadang-kadang didapatkan urine yang selalu menetes
tanpa disadari oleh pasien yaitu merupakan pertanda dari
inkontinensia paradoksa. Pada colok dubur diperhatikan tonus
sfingter ani/reflex bulbo-kavernosus untuk menyingkirkan adanya
kelaianan buli-buli neurogenic, mukosa rectum dan keadaan prostat
antara laian kemungkinan adanya nodul, krepitasi, konsistensi
prostat, simetri antar lobus dan batas prostat. Colok dubur pada
pemeriksaan prostat benigna menunjukkan konsistensi prostat kenyal
seperti meraba ujung hidung, lobus kiri dan kanan simetris dan tidak

11
didapatkan nodul, sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi
prostat keras/teraba nodul dan mungkin diantara lobus prostat tidak
simetris.

Pemandu untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala


obstruksi akibat pembesaran prostat adalah sistem penskoran keluhan.
beberapa ahli urologi membuat sistem skoring yang secara subjektif dapat
diisi dan dihitung sendiri oleh pasien. Sistem skoring yang dianjurkan oleh
WHO adalah Skor Internasional Gejala Prostat atau I-PSS (International
Prostatic Symptom Score). Sistem skoring I-PSS terdiri atas tujuh
pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien.
Kuesioner IPSS dibagikan kepada pasien dan diharapkan pasien
mengisi sendiri setiap pertanyaan. Berat ringannya keluhan pasien BPH
dapat digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh yaitu skor 0-7
(ringan), skor 8-19 (sedang) dan skor (20-35) berat. Selain 7 pertanyaan, di
dalam daftar pernyataan IPSS terdapat satu pertanyaan tunggal mengenai
kualitas hidup (quality of life atau QoL) yang juga terdiri atas 7
kemungkinan jawaban.

12
Tabel 2. (International Prostatic Symptom Score).7

2. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Urologis7
1) Ginjal

13
Pemeriksaan fisik ginjal pada kasus BPH untuk mengevaluasi
adanya obstruksi atau tanda infeksi.
2) Kandung kemih
Pemeriksaan kandung kemih dilakukan dengan palpasi dan perkusi
untuk menilai isi kandung kemih, ada tidaknya tanda infeksi.
b. Colok Dubur
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan
pemeriksaan yang penting pada pasien BPH. Dari pemeriksaan colok
dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi
prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari
keganasan prostat. Mengukur volume prostat dengan DRE cenderung
lebih kecil daripada ukuran yang sebenarnya.
Pada pemeriksaann colok dubur juga perlu menilai tonus sfingter
ani dan refleks bulbokavernosus yangdapat menunjukkan adanya
kelainan pada lengkung refleks didaerah sakral

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses
infeksi atau inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urine
berguna dalam mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan
sekaligus menentukan sensifitas kuman terhadap beberapa antimikroba
yang di ujikan.
Faal ginjal diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya penyulit yang
mengenai saluran kemih bagian atas, sedangkan gula darah
dimaksudkan untuk mencari kemungkinan adanya penyakit diabetes
mellitus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli
(buli-buli neurogenic). Jika dicurigai adanya keganasan prostat perlu
diperiksa kadar penanda tumor prostate specific antigen (PSA).
b. Pencitraan

14
1) Foto Polos Abdomen berguna untuk mencari adanya batu opaq di
saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat dan kadang dapat
menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urine, yang
merupakan tanda dari suatu retensi urine.
2) Pemeriksaan IVU, dapat menerangkan kemungkinan adanya
kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau
hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang
ditunjukkan oleh adanya indentasi prostat yaitu pendesakan buli-buli
oleh kelenjar prostat sehingga terlihat dasar buli-buli dari gambaran
sistogram tidak terisi kontras atau ureter disebelah distal yang
berbentuk seperti mata kail atau hooked fish. Pemeriksaan IVU ini
sekarang tidak direkomendasikan pada BPH
3) Pemeriksaan Ultrasonografi, dapat dilakukan melalui trans
abdominal (trans abdominal ultrasonography / TAUS) dan trans
rektal (trans uretral ultrasonography / TRUS).
c. Pemeriksaan Lain, dengan cara mengukur residual urin dengan
pemeriksaan ultrasonografi atau bladder scan setelah miksi. Pancaran
urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan
menghitung jumlah urine dibagi dengan lamanya miksi berlangsung
(ml/detik) atau dengan alat uroflometri. Dari alat uroflometri dapat
diketahui lama proses miksi, laju pancaran, waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai pancaran maksimum, rerata pancaran, pancaran
maksimum, dam volume urine yang dikemihkan. Dimana angka normal
pancaran kemih rata-rata 10-12 mL/detik, dan pancaran maksimal
sampai sekitar 20 mL/detik.

15
Gambar 4. Gambaran pancaran urine pada uroflometri. dikutip dari kepustakaan 7

I. PENATALAKSANAAN
Tidak semua pasien dengan BPH perlu menjalani tindakan medik.
Kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa
mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat dan konsultasi saja.
Namun di antara mereka akhirnya ada yang membutuhkan terapi
medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena keluhannya semakin
parah.1,7,10-13
Tujuan terapi pada pasien dengan BPH adalah memperbaiki keluhan
miksi, meningkatkan kualitas hidup, mengurangi obstruksi infravesika,
mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, mengurangi volume
residu urine setelah miksi dan mencegah progresifitas. Terdapat 4 macam
golongan terapi dalam penatalaksanaan Benign Prostatic Hyperplasia,
yaitu observasi (watchful and waiting), medikamentosa, tindakan operatif
dan tindakan invasif minimal.

Konservatif Medikamentosa Pembedahan Kondisi


khusus
Invasive Terbuka
 Watchful  α blocker  TURP  Transvesikal  TWOC
waiting  5 α-  TUIP  Retropubik  CIC

16
 Life style reductase  TUEP  Sistostomi
advice inhibitor  TUEvP  Kateter
education  PDE5  Laser menetap
inhibitor  TUMT
 Terapi  TUNA
kombinasi  Stent
 Fitoterapi  Etanol
 Botulinum toxin
injection
 Laparoskopi/Robotik
Tabel 3. Pilihan terapi pada LUTS-BPH 7

a. Watchful waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor
IPSS di bawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak menganggu aktivitas
sehari-hari. Pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi
penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk
keluhannya, seperti :1,7
1) Tidak mengonsumsi kopi atau alkohol setelah makan,
2) Mengurangi konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi buli-
buli,
3) Membatasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung
fenilpropanolamin,
4) Mengurangi makanan pedas dan asin serta tidak menahan kencing
terlalu lama.
b. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk :
1) Mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik
penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan penghambat
adrenergic α (adrenergik α blocker ).
2) Mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara
menurunkan kadar hormone testosterone/dihidrotestoteron melalui
penghambat 5 reduktase.

17
Penghambat reseptor adrenergik α
Fenoksibenzamin yaitu penghambat α yang non selektif yang
ternyata mampu memperbaiki laju pancaran miksi dan mengurangi
keluhan miksi. Akan tetapi Fenoksibenzamin sudah jarang digunakan oleh
karena dapat menyebabkan hipotensi postural dan kelainan kardiovaskuler
lainnya.
Ditemukannya obat penghambat adrenergik α1 dapat mengurangi
penyulit sistemik yang diakibatkan oleh efek hambatan pada α2 dari
fenoksibenzamin. Beberapa golongan obat penghambat adrenergik-α1
adalah prazosin yang diberikan dua kali sehari, kemudian menyusul
terazosin, afluzosin dan doksazosin yang diberikan sekali sehari. Obat-
obatan golongan ini dilaporkan dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju
pancaran miksi.
Akhir-akhir ini telah ditemukan golongan penghambat adrenergik
α1A yaitu tamsulosin yang sangat selektif terhadap otot polos prostat.
Dilaporkan bahwa obat ini mampu memperbaiki pancaran miksi tanpa
menimbulkan efek terhadap tekanan darah maupun denyut jantung.

Penghambat 5 α-reduktase (5 α-reduktase inhibitor/5 ARI)


Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan
dihidrotestosteron dari testosterone yang dikatalisis oleh enzim 5 α-
reduktase di dalam sel prostat. Menurunnya kadar dihidrotestosteron
tersebut akan menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel-sel
prostat menurun. Preparat yang tersedia mula-mula adalah Finasteride
yang menghambat 5 α-reduktase tipe 2 dan Duodart yang menghambat
enzim 5 α-reduktase tipe 1 dan tipe 2.

c. Pembedahan
Desobstruksi kelenjar prostat akan menyembuhkan gejala obstruksi
dan miksi yang tidak lampias. Hal ini dapat dikerjakan dengan cara operasi

18
terbuka, reseksi prostat transuretra (TURP) atau insisi prostat transuretra
(TUIP atau BNI). Pembedahan direkomendasikan pada pasien BPH yang :
1) Yang tidak menunjukkan perbaikan setelah terapi medikamentosa
2) Mengalami retensi urine
3) Infeksi saluran kemih berulang
4) Hematuria
5) Gagal ginjal
6) Timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain akibat obstruksi
saluran kemih bagian bawah.

Pembedahan Terbuka
Prostatektomi terbuka merupakan tindakan yang masih banyak
dikerjakan saat ini, paling invasif dan paling efisien sebagai terapi dari
BPH. Beberapa macam teknik operasi prostatektomi terbuka adalah
metode dari Millin yaitu melakukan enukleasi kelenjar prostat melalui
pendekatan retropubik infravesika, Freyer melalui pendekatan suprapubik
transvesika atau transperineal. Penyulit yang dapat terjadi setelah
prostatektomi terbuka adalah inkontinensia urin (3%), impotensia (5-
10%), ejakulasi retrograde (60-80%), dan kontraktur leher buli-buli (3-
5%).

Kontrol Berkala
Setiap pasien hyperplasia prostat yang telah mendapatkan
pengobatan perlu kontrol secara teratur untuk mengetahui perkembangan
penyakitnya. Jadwal kontrol tergantung pada tindakan apa yang sudah
dijalaninya. Pasien yang hanya mendapatkan pengawasan (watchful
waiting) dianjurkan kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk
mengetahui apakah terjadi perbaikan klinis. Penilaian dilakukan dengan
pemeriksaan skor IPSS, uroflometri, dan residu urine pasca miksi.1
Pasien yang mendapatkan terapi penghambat 5α-reduktase harus
dikontrol pada minggu ke-12 dan bulan ke-6 untuk menilai respon

19
terhadap terapi. Kemudian setiap tahun untuk menilai perubahan gejala
miksi. Pasien yang menjalani pengobatan penghambat 5α-adrenergik harus
dinilai respon terhadap pengobatan setelah 6 minggu dengan melakukan
pemeriksaan IPSS, uroflometri dan residu urine pasca miksi. Bila terjadi
perbaikan gejala tanpa menunjukkan penyulit yang berarti, pengobatan
dapat diteruskan. Selanjutnya kontrol dilakukan setelah 6 bulan dan
kemudian setiap tahun. Pasien setelah menerima pengobatan secara
medikamentosa dan tidak menunjukkan tanda perbaikan perlu dipikirkan
tindakan pembedahan atau terapi intervensi yang lain. 1
Setelah pembedahan, pasien harus menjalani kontrol paling lambat
6 minggu pasca operasi untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit.
Kontrol selanjutnya setelah 3 bulan untuk mengetahui hasil akhir operasi.
Pasien yang mendapatkan terapi invasif minimal harus menjalani kontrol
secara teratur dalam jangka waktu lama, yaitu setelah 6 minggu, 3 bulan, 6
bulan dan setiap tahun. 1

ALGORITMA

20
Skema pengelolaan BPH untuk dokter umum dan spesialis non-urologi

DAFTAR PUSTAKA

1. Purnomo BB. Dasar-dasar Urologi. Jakarta : CV. Sagung Seto. 2012. Hal.
125-144

21
2. De jong, Hidajat S. Buku ajar ilmu bedah edisi 3. Jakarta : EGC. 2016. Hal.
899-902
3. Praveen R. Benign Prostatic Hyperplasia : Updated Review. International
Research Journal Of Pharmacy. India. 2013. Hal. 45-50
4. IAUI. Panduan Penatalaksanaan klinis : pembesaran prostat jinak (Benign
Prostate Hyperplasia / BPH). 2015.
5. Rahman T. Benign Prostatic Hyperplasia : Review and update on
Etiopathogenesis and treatment Modalities. Journal Of Urology and
Research. Bangladesh. 2016. Hal. 1-7
6. Kapoor A. Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) : Management in the primary
care setting. The Canadian Journal Of Urology. Canada. 2012. Hal. 10-15
7. Helfand M, Muzyk T, Garzotto M. Comparative Effectiveness Review : Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH) : Management in the primary care –
screening and therapy. Department of Veterean Affairs : Helath Services
Research and Development Service. 2007. Hal. 2-26
8. Bacher IS, et all. Harrison : Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam volume 4.
Jakarta : EGC. 2013. Hal. 2069-2070
9. Woo HH, et all. Clinical Update : A Practical Approach to the management of
lower urinary tract symptoms among men. MJA Volume 195 Number 1.
2011. Hal. 34-39
10. Sahrul R. Pengobatan Hypertropi Prostat non operatif. Fakultas Kedokteran
Universitas Muhamadiyah Sumatera Utara. 2016. Hal. 9-13
11.Keong Tatt Foo et al. UAA Consensus on the Management of BPH/Male
LUTS (1st Edition). November 2012
12. Allen, Simon et al. 2015. Benign Prostatic Hyperplasia Treatment with New
Physiotherapeutic Device. Journal of Department of Urology Yerevan
State Medical University. Vol. 12 No. 05
13. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease. 2014
Prostate Enlargment: Benign Prostatic Hyperplasia. Urology Care
Foundation.

22

Anda mungkin juga menyukai