Anda di halaman 1dari 13

PEMERIKSAAN FORENSIK KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK

Penerapan ilmu kedokteran forensik memiliki dua aspek yang berbeda


untuk mengumpulkan informasi dari anak dalam kasus dugaan kekerasan seksual
terhadap anak yaitu anamnesis dan pemeriksaan fisik. 1
Pemeriksaan harus dilakukan pemeriksaan sedini mungkin setelah
kejadian, tidak dianjurkan untuk dibiarkan menunggu terlalu lama. Hal ini penting
untuk mencegah rusak atau berubah atau hilangnya barang bukti yang terdapat di
tubuh korban, serta untuk menenangkan korban dan mencegah terjadinya trauma
psikis yang lebih berat. Pada saat pemeriksaan, dokter harus didampingi perawat
yang sama jenis kelaminnya dengan korban (biasanya wanita) atau bidan.
Tujuannya adalah untuk mengurangi rasa malu korban dan sebagai saksi terhadap
prosedur pemeriksaan dan pengambilan sampel. Selain itu, hal ini juga perlu demi
menjaga keamanan dokter pemeriksa terhadap tuduhan palsu bahwa dokter
melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap korban saat pemeriksaan.
Pemeriksaan harus dilakukan secara sistematis dan menyeluruh terhadap seluruh
bagian tubuh korban, tidak hanya terhadap daerah kelamin saja.1,2,3

a. Anamnesis

Dalam usaha mendapatkan infromasi yang berguna pada wawancara

dengan anak yang mengalami kekerasan seksual, terdapat beberapa hal

psikologis yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut:3

 Membuat pendekatan dengan memperhatikan kepekaan dan

kerentanan mereka untuk dipahami

 Membangun lingkungan netral dan hubungan yang baik dengan anak

sebelum memulai anamnesis


 Menetapkan tingkat perkembangan anak untuk memahami batasan

dan interaksi yang tepat

 Menempatkan diri sebagai orang yang membantu

 Meminta anak untuk menggambarkan apa yang terjadi dengan kata-

kata mereka sendiri

 Selalu memulai dengan pertanyaan-pertanyaan yang terbuka

Informasi yang diperlukan untuk menilai keadaan medis anak serta

gejala yang timbul dapat dikumpulkan melalui pertanyaan-pertanyaan

mengenai:2,3

 Waktu terjadinya kekerasan seksual atau pelecehan.

 Pertama kalinya dugaan kekerasan seksual terjadi.

 Sifat serangan, yaitu penetrasi anal, vaginal atau oral.

 Sakit/nyeri di daerah genital dan anal

 Perdarahan, terdapat darah di dalam celana.

 Kesulitan atau nyeri buang air besar ataupun kecil.

 Inkontinensia urin.

 Periode menstruasi (khusus perempuan)

 Rincian dari aktivitas seksual sebelumnya.

b. Pemeriksaan Fisik
Korban sebaiknya tidak dibiarkan menunggu dengan perasaan was-was
dan cemas di kamar periksa. Sebelum dilakukan pemeriksaan, perlu diajukan
persetujuan (informed consent) yang diperoleh dari orang tua untuk melakukan
pemeriksaan fisik dan mengumpulkan specimen untuk bukti forensik serta
menjelaskan tentang maksud, tujuan, proses dan lama pemeriksaan. Dalam kasus-
kasus dimana pengasuh menolah untuk memberikan persetujuan untuk evaluasi
medis, bahkan setelah kebutuhan untuk pemeriksaan telah dijelaskan. Otoritas
perlindungan anak mungkin perlu disebut.1,2
Pemeriksaan fisik harus terdiri dari pemeriksaan head to toe ditambah
dengan inspeksi daerah anogenital. Dalam melakukan pemeriksaan, petugas
kesehatan harus didampingin oleh petugas kesehatan lainya. Jika anak berjenis
kelamin perempuan, sebaiknya diperiksa oleh petugas kesehatan perempuan dan
sebaliknya.1 Sebagai fungsinya dalam bidang penyelidikan, ilmu kedokteran
forensik pada kasus kekerasan seksual beguna untuk melakukan pemeriksaan
terhadap :
 Korban, dengan tujuan untuk :
1) Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan
Kekerasan yang dimaksud adalah tindakan pelaku yang bersifat
fisik yang dilakukan dalam rangka memaksa korban agar dapat disetubuhi.
Kekerasan seksual pada anak tidak hanya merugikan secara fisik, namun
juga secara psikologis karena kekerasan tersebut dimaksudkan untuk
menimbulkan ketakutan atau untuk melemahkan daya lawan korban. Oleh
sebab itu, yang perlu dicari selain tanda-tanda persetubuhan, yaitu adanya
tanda-tanda kekerasan fisik yang berada di luar alat kelamin, seperti
cekikan di leher, pukulan di kepala dan lain sebagainya atau tanda-tanda
oerientasi seksual sekunder (sexually oriented injuries), seperti bekas
gigitan pada payudara, leher, dan sebagainya.3
Pada pemeriksaan mulut dan faring, perlu diperhatikan apakah
terdapat ptekiae pada palatum atau faring posterior untuk mencari bukti
tanda kekerasan seksual secara oral. Selain itu perlu juga memeriksa
tanda-tanda kekerasan lainnya seperti memar di kulit pada daerah yang
tidak lazim seperti pipi, lengan atas, paha, bohong dan genital. Terlebih
pada kasus kekerasan seksual, perlu sekali diperhatikan apakah terdapat
tanda-tanda perlawanan seperti pakaian yang robek, bercak darah pada
pakaian dalam, gigitan, cakaran, ekimosis, hematoma dan perhatikan
kesesuaian tanda kekerasan dengan urutan kejadian kekerasan. Kadang-
kadang tanda ini muncul dengan segera atau setelah beberapa waktu
kemudian. Perlu pula digunting ataupun dikerok kuku dari korban baik
pada tangan kanan maupun tangan kiri lalu dimasukkan dalam amplop
terpisah dan diberi label untuk dilakukan analisis. Hal ini dapat berguna
apabila korban mencakar pelaku maka ada kemungkinan dibawah kuku
korban ditemukan sel-sel darah sehingga dapat dimanfaatkan untuk
mengetahui golongan darah serta DNA pelaku.4
Jika pelaku tindak pidana seksual menderita sadism maka ada
kemungkinan dapat ditemukan jejas gigit pada tubuh korban dengan air
liur disekitarnya. Pola jejas gigit tersebut dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan identifikasi dengan cara mencocokannya dengan pola gigi
dari orang yang diduga sebagai pelakunya. Sedangkan air liur yang
ditemukan disekitarnya dapat digunakan untuk mengetahui golongan
darah (bagi yang bersifar sekretoar) atau DNA.5
Seringkali korban tindak pidana seksual berhasil menjambak
rambut pelaku. Oleh sebab itu perlu dicari di sela-sela jari tangan korban.
Dari rambut tersebut dapat diketahui suku bangsa, golongan darah dan
bahkan DNA asalkan pada pangkal dari rambut tersebut ditemukan sel. 5
Kekerasan tidak selamanya meninggalkan bekas atau luka,
tergantung dari penampang benda, daerah yang terkena kekerasan, serta
kekuatan dari kekerasan itu sendiri. Termasuk kekerasan disini juga
penggunaan obat-obatan yang dapat mengakibatkan korban tidak sadar.
Oleh karenanya, perlu juga memeriksa keadaan umum korban yang
meliputi tanda-tanda bekas kehilangan kesadaran atau penggunaan obat
bius dengan melihat needle marks, serta perlu dicari pula racun dan gejala
akibat obat bius/racun pada korban.5,6
Adanya luka berarti adanya kekerasan, namun tidak ada luka bukan
berarti tidak ada kekerasan. Faktor waktu sangat berperan, karena dengan
berlalunya waktu, luka dapat sembuh atau tidak ditemukan, karena
racun/obat bius telah dikeluarkan dari tubuh. Bukti-bukti medik dapat
digunakan untuk menyimpulkan adanya kekerasan. Yang tidak dapat
dibuktikan adalah ancaman kekerasan, sebab pada ancaman kekerasan
tidak ditemukan bukti-bukti medik.5
2) Memperkirakan umur
Tidak ada satu metode tepat untuk menentukan umur secara pasti.
Pada pemeriksaannya memerlukan berbagai sarana seperti alat rontgen
untuk memeriksa pertumbuhan tulang dan gigi, dasar berat badan, tinggi
badan, bentuk tubuh, dan cirri-ciri kelamin sekunder. Perkiraan umur
digunakan untuk menentukan apakah seseorang tersebut sudah dewasa
(>21 tahun) khususnya pada homoseksual/lesbian serta pada pelaku kasus
kekerasan seksual. Sedangkan pada kasus korban kekerasan seksual
perkiraan umur tidak diperlukan.5
3) Menentukan pantas/tidaknya korban untuk dikawin
Secara biologis jika persetubuhan bertujuan untuk mendapatkan
keturunan, pengertian pantas/tidaknya untuk kawin dapat dilihat dari
perkembangan seksual sekunder pada anak. Bila dilihat Undang-undang
Perkawinan, yaitu pada Bab II pasal 7 ayat 1 berbunyi : perkawinan hanya
diizinkan jika pria sudah mencapau 19 tahun dan wanita sudah mencapai
16 tahun.5

4) Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan/ penetrasi


Persetubuhan atau senggama adalah suatu peristiwa penetrasi penis
ke dalam liang vagina, baik total maupun sebagian, dengan asupan tanpa
ejakulasi. Laki-laki hanya dapat melakukan persetubuhan dalam keadaan
aktif, yaitu suatu keadaan yang menggambarkan adanya respon seksual,
baik fase eksitasi maupun fase plato yang ditandai adanya ereksi penis.
Sedangkan wanita dapat disetubuhi dalam keadaan aktif maupun pasif.
Tanda yang paling mencolok pada wanita yang aktif (mengalami respon
seksual) adalah ereksi klitoris dan lubrkasi, guna membasahi dinding
vagina agar tidak terjadi iritasi.2
Tujuan utama pemeriksaan fisik ini adalah pada area anogenital.
Pada anak, jaringan pada area ini mampu sembuh dengan cepat, maka
kerusakan fisik yang disebabkan oleh kekerasan menjadi kurang jelas
seiring berjalannya waktu. Hal inilah yang menyebabkan jarang ditemukan
temuan positif. Oleh karena itu, pemeriksaan yang segera menjadi sangat
penting mengingat sering kali cedera yang awalnya ada, dapat semuh
ketika pasien datang.6,7
Tanda-tanda persetubuhan yang dapat dicari ialah :2,5
i. Tanda Langsung
o Robeknya Hymen akibat penetrasi penis
Pemeriksaan fisik dalam kasus kecurigaan kekerasan
seksual terdiri dari inspeksi daerah anogenital melalui berbagai
metode dan teknik pemeriksaan. Anak diposisikan dengan
semestinya, yaitu frog leg, knee-chest, atau posisi lateral dekubitus.
Diantara ketiga posisi tersebut, kombinasi antara posisi knee-chest,
pemisahan labia, dan traksi labia adalah yang paling memudahkan
dalam visualisasi hymen.7
Penetrasi penis ke dalam vagina wanita yang masih
perawan akan dapat mengakibatkan robeknya hymen yang
mungkin disertai perdarahan. Oleh karena itu, robekan baru pada
hymen dapat diketahui jika pada daerah robekan lama diketahui
jika robekan tersebut sampai ke dasar (insertio) dari hymen. Letak
robekan hymen pada persetubuhan umumnya di bagian belakang
(commisura posterior), yang dinyatakan menurut angka pada jam.
Tidak tertutup kemungkinan selaput dara dari perawan yang
mengalami kekerasan seksual masih utuh, yaitu pada penetrasi
penis yang paling ringan (antara kedua labia) atau kondisi selaput
dara sangat elastis disertai ukuran penis yang sangat kecil.2,7
Seluruh cedera harus didokumentasikan dengan teliti. Saat
ini penggunaan kolposkopi masih yang terbaik, mengingat
fungsinya yang dapat memberikan kombinasi yang baik antara
pencahayaan, pembesaran dan dokumentasi dengan kualitas tinggi.
Namun alat ini jarang digunakan karena harganya yang mahal.2,7
Berdasarkan bukti-bukti medik yang ditemukan dapat
disimpulkan kebenaran terjadinya senggama. Hanya saja, apakah
senggama dilakukan dengan paksaan atau tidak, sangat mustahil
dokter dapat menyimpulkan sebab bukti medic antara senggama
dengan paksa dan tidak dengan paksa tidak ada bedanya.5
o Iritasi atau hematoma
Gesekan-gesekan penis terhadap vagina akan dapat
mengakibatkan lecet atau memar pada dinding vagina. Kelainan
tersebut terjadi karena pada korban tidak terjadi lubrikasi sehingga
vagina dalam keadaan kering (pasif), disamping dilakukan dengan
kasar. Perlu diketahui bahwa lubrikasi merupakan respon seksual
pada wanita, yang akan berfungsi sebagai pasien. Dalam keadaan
diperkosa, diragukan korban dapat mengalami respon seksual.
Namun terdapat beberapa wanita yang diperkosa dapat mengalami
respon seksual, bahkan orgasme, meskipun demikian peristiwa
tersebut tetap digolongkan sebagai tindak pidana perkosaan.2,5
Perlukaan genital pada anak perempuan akibat kekerasan
seksual dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi perlukaannya,
yaitu perlukaan eksternal, internal dan anal. Perlukaan eksternal
bila terjadi di labia mayor, labia minor, area periuretral, perineum
dan fourchette posterior. Sedangkan dapat dikatakan perlukaan
internal bila terjadi di fossa navicularis, hymen, dan cervix vagina.
Dikatakan perlukaan anal bila terjadi pada anus dan rektum.4
Perlukaan yang terjadi pada organ genital dapat berupa
robekan, ekimosis, abrasi, kemerahan dan pembengkakan jaringan.
Robekan didefinisikan bila adanya diskontinuitas jaringan,
termasuk adanya fisura, retakan, luka gores, luka potong, luka
bacok dan luka cabik. Ekimosis didefinisikan sebagai perubahan
warna kulit dan membran mukosa, dikenal dengan istilah memar
berwarna merah kebiruan karena pecahnya pembuluh darah kecil
diantara kulit dan membran mukosa. Abrasi didefinisikan sebagai
ekskoriasi kulit karena hilangnya lapisan epidermis dengan batas
tegas.4
Kemerahan pada kulit eritematous dikarenakan peradangan
abnormal karena iritasi atau perlukaan tanpa batas tegas. Pada
perlukaan anal terdapat pembengkakan disekitar lubang anus yang
menandakan tanda trauma akut dan menggambarkan penampakan
edema. Hal ini diduga karena terjadinya hipertrofi pada otot
sfingter ani. Perlukaan yang paling berat pada anus adalah dilatasi
maksimal pada anus membentuk huruf “O”.4,6
Selain itu dapat juga dilakukan pencarian perlekatan rambut
kemaluan pelaku dengan cara menyisir rambut kemaluan korban.
Rambut lepas yang ditemukan mungkin milik pelaku sehingga
perlu dilakukan analisis dan identifikasi lebih lanjut.2,5
o Adanya sperma akibat ejakulasi
Ejakulasi yang dialami oleh pelaku dapat dibuktikan secara
medis dengan ditemukannya sperma pada liang senggama, sekitar
alat kelamin atau pada pakasian korban. Pemeriksaan sperma
tersebut sangat penting karena bukan hanya dapat mengungkapkan
adanya persetubuhan tetapi juga identitas pelakunya melalui
pemeriksaan DNA. Dari pemeriksaan sperma juga dapat diketahui
golongan darah pelakunya.2,7
Adanya ejakulasi di dalam vagina merupakan tanda pasti
adanya persetubuhan. Pada pelaku yang mandul, jumlah
spermanya sedikit sekali (aspermia), sehingga pemeriksaan
ditunjukan adanya zat-zat tertentu dalam air mani seperti asam
fosfatase, spermin dan kholin. Namun nilai persetubuhan lebih
rendah karena tidak mempunyai nilai deskriptif yang mutlak atau
tidak khas. Untuk mencari bercak air mani yang mungkin tercecer
di TKP (Tempat Kejadian Perkara), misalnya pada sprei atau kain
maka barang-barang tersebut disinari dengan cahaya ultraviolet
dan akan terlihat berfluoresensi putih, kemudian dikirim ke
laboratorium.4,5
Perlu diketahui bahwa pada laki-laki yang sehat, air mani
yang keluar setiap ejakulasi sebanyak 2-5mL, yang mengandung
sekitar 60 juta sperma setiap milliliter dan 90% bergerak. Sehingga
sperma masih dapat ditemukan dalam keadaan bergerak dalam
vagina 4-5 jam setelah persetubuhan. Pada orang yang masih
hidup, sperma masih dapat ditemukan sampai sekitar 24-36 jam
setelah persetubuhan, sedangkan pada orang mati sperma masih
dapat ditemukan dalam vagina paling lama 7-8 hari setelah
persetubuhan.4

ii. Tanda Tidak Langsung


o Terjadinya kehamilan
Adanya kehamilan dapat dijadikan bukti tak langsung tentang
adanya persetubuhan, oleh sebab itu pada setiap korban kekerasan
seksual juga perlu diperiksa ada tidaknya kehamilan. Hanya saja untuk
menghubungkan apakah kehamilan itu sebagai akibat dari perbuatan
yang dilakukan terdakwa, perlu dilakukan pemeriksaan DNA. ada
baiknya korban terus dimonitor jika pelaku mengalami ejakulasi. Jika
ternyata mengakibatkan kehamilan maka atas gugatan dari yang
bersangkutan, terhukum dari kasus tersebut dapat ditetapkan sebagai
ayahnya. Jika jumlah terhukum lebih dari satu orang tentunya
pemeriksaan DNA sangat membantu.5
o Terjadinya penularan penyakit kelamin
Ketika mengevaluasi anak dan kebutuhan untuk skrining infeksi
menular seksual, perlu diingat bahwa jika pelecehan seksual terjadi
baru-baru ini, hasil pemeriksaan akan cenderung negative, kecuali anak
memang sudah terkena IMS sebelumnya. Jika paparan pelecehan dan
pemeriksaan dilakukan dalam hari yang sama, follow up dalam satu
minggu kemudian mungkin diperlukan untuk pengujian IMS.
Pemeriksaan infeksi menular sekunder pada anak yang telah mengalami
pelecehan seksual harusnya dilihat kasus per kasus, dan dapat dilakukan
dengan kondisi berikut:5,8
– Pelaku yang memiliki IMS atau yang memiliki risiko tinggi tertular
– Prevalensi IMS yang tinggi di masyarakat
– Saudara kandung atau anggota rumah lainnya memiliki IMS
– Pasien atau orangtua yang meminta pemeriksaan
o Pelaku, dengan tujuan utuk :
Sebetulnya pemeriksaan medik terhadap pelaku hanya diperlukan
apabila ia menyangkal dapat melakukan persetubuhan karena
impotensi. Seorang laki-laki yang menderita impotensi tentunya tidak
mungkin dapat melakukan persetubuhan, sehingga tidak mungkin
dituduh telah melakukan perkosaan. Dalam kaitannya dengan impotensi
tersebut, dokter hanya dapat memastikannya jika ditemukan penyakit-
penyakit organic yang dapat mengakibatkan impotensi; seperti misalnya
diabetes mellitus, hernia skrotalis atau hidrokel. Impotensi juga dapat
dialami laki-laki yang sudah sangat tua. Hal yang cukup sulit untuk
dibuktikan adalah impotensi yang bersifat.
Jika pelaku kekerasan segera tertangkap setelah kejadian, kepala
zakar harus diperiksa, yaitu untuk mencari sel epitel vagina yang
melekat pada zakar. Hal ini dilakukan dnegan cara menempelkan gelas
objek pada glands penis (tepatkan sekeliling korona glandis) dan segera
dikirim untuk analisis secara mikroskopis.5

Selama pemeriksaan khususnya daerah genitalia, pasien diposisikan dalam


posisi frog position, jika perlu dipegang dan dipangku oleh orangtua. Sementara
pemeriksaan bagian anal, kemudian bila diperlukan dalam penilaian selaput dara,
digunakan posisi knee chest position.5
Gambar 3. Knee Chest Position

Pemeriksaan Penunjang Kekerasan Seksual


Daftar pustaka

1. Dahlan S. Ilmu kedokteran forensic: pedoman bagi dokter dan penegak hukum.
Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. 2007.

2. Aulia. Kenali tipe penjahat kekerasan seksual anak. 2014. Available from:
https://www.motherandbaby.co.id/article/2014/4/11/1977/Kenali-Tipe-Penjahat-
Kekerasan-Seksual-Anak

3. McLean I, Roberts S, White C, Paul S. Female genital injuries resulting from


consensual and non-consensual vaginal intercourse. Forensic Science
International. 2011; 204(3): 27-33.

4. Hermann B, Banaschak S, Csorba R, Navratil F, Dettmeyer R. Physical


examination in child sexual abuse – approaches and current evidence. Dtsch
Arztbl Int. 2014; 111: 692-703.

5. Pedoman rujukan kasus kekerasan terhadap anak bagi petugas kesehatan.


2011. Available from:
http://www.gizikia.depkes.go.id/wpcontent/uploads/downloads/2011/01/Pedoman
-Rujukan-Kasus-KtA-Bagi-Petugas-Kesehatan.pdf
6. Sommers MS. Defining patterns of genital injury from sexual assault.
University of Pennsylvania School of Nursing. Trauma, Violence and Abuse.
2007; 8(7).

7. World Health Organization. Guidelines for medico-legal care for victims of


sexual violence. Library Cataloging Publication Data: Geneva; 2015. 82-90.

8. Prawestiningtyas E. Kekerasan pada anak dan aspek medikolegal dalam


perhimpunan dokter forensic Indonesia. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. 2017.

Anda mungkin juga menyukai