a. Anamnesis
mengenai:2,3
Inkontinensia urin.
b. Pemeriksaan Fisik
Korban sebaiknya tidak dibiarkan menunggu dengan perasaan was-was
dan cemas di kamar periksa. Sebelum dilakukan pemeriksaan, perlu diajukan
persetujuan (informed consent) yang diperoleh dari orang tua untuk melakukan
pemeriksaan fisik dan mengumpulkan specimen untuk bukti forensik serta
menjelaskan tentang maksud, tujuan, proses dan lama pemeriksaan. Dalam kasus-
kasus dimana pengasuh menolah untuk memberikan persetujuan untuk evaluasi
medis, bahkan setelah kebutuhan untuk pemeriksaan telah dijelaskan. Otoritas
perlindungan anak mungkin perlu disebut.1,2
Pemeriksaan fisik harus terdiri dari pemeriksaan head to toe ditambah
dengan inspeksi daerah anogenital. Dalam melakukan pemeriksaan, petugas
kesehatan harus didampingin oleh petugas kesehatan lainya. Jika anak berjenis
kelamin perempuan, sebaiknya diperiksa oleh petugas kesehatan perempuan dan
sebaliknya.1 Sebagai fungsinya dalam bidang penyelidikan, ilmu kedokteran
forensik pada kasus kekerasan seksual beguna untuk melakukan pemeriksaan
terhadap :
Korban, dengan tujuan untuk :
1) Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan
Kekerasan yang dimaksud adalah tindakan pelaku yang bersifat
fisik yang dilakukan dalam rangka memaksa korban agar dapat disetubuhi.
Kekerasan seksual pada anak tidak hanya merugikan secara fisik, namun
juga secara psikologis karena kekerasan tersebut dimaksudkan untuk
menimbulkan ketakutan atau untuk melemahkan daya lawan korban. Oleh
sebab itu, yang perlu dicari selain tanda-tanda persetubuhan, yaitu adanya
tanda-tanda kekerasan fisik yang berada di luar alat kelamin, seperti
cekikan di leher, pukulan di kepala dan lain sebagainya atau tanda-tanda
oerientasi seksual sekunder (sexually oriented injuries), seperti bekas
gigitan pada payudara, leher, dan sebagainya.3
Pada pemeriksaan mulut dan faring, perlu diperhatikan apakah
terdapat ptekiae pada palatum atau faring posterior untuk mencari bukti
tanda kekerasan seksual secara oral. Selain itu perlu juga memeriksa
tanda-tanda kekerasan lainnya seperti memar di kulit pada daerah yang
tidak lazim seperti pipi, lengan atas, paha, bohong dan genital. Terlebih
pada kasus kekerasan seksual, perlu sekali diperhatikan apakah terdapat
tanda-tanda perlawanan seperti pakaian yang robek, bercak darah pada
pakaian dalam, gigitan, cakaran, ekimosis, hematoma dan perhatikan
kesesuaian tanda kekerasan dengan urutan kejadian kekerasan. Kadang-
kadang tanda ini muncul dengan segera atau setelah beberapa waktu
kemudian. Perlu pula digunting ataupun dikerok kuku dari korban baik
pada tangan kanan maupun tangan kiri lalu dimasukkan dalam amplop
terpisah dan diberi label untuk dilakukan analisis. Hal ini dapat berguna
apabila korban mencakar pelaku maka ada kemungkinan dibawah kuku
korban ditemukan sel-sel darah sehingga dapat dimanfaatkan untuk
mengetahui golongan darah serta DNA pelaku.4
Jika pelaku tindak pidana seksual menderita sadism maka ada
kemungkinan dapat ditemukan jejas gigit pada tubuh korban dengan air
liur disekitarnya. Pola jejas gigit tersebut dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan identifikasi dengan cara mencocokannya dengan pola gigi
dari orang yang diduga sebagai pelakunya. Sedangkan air liur yang
ditemukan disekitarnya dapat digunakan untuk mengetahui golongan
darah (bagi yang bersifar sekretoar) atau DNA.5
Seringkali korban tindak pidana seksual berhasil menjambak
rambut pelaku. Oleh sebab itu perlu dicari di sela-sela jari tangan korban.
Dari rambut tersebut dapat diketahui suku bangsa, golongan darah dan
bahkan DNA asalkan pada pangkal dari rambut tersebut ditemukan sel. 5
Kekerasan tidak selamanya meninggalkan bekas atau luka,
tergantung dari penampang benda, daerah yang terkena kekerasan, serta
kekuatan dari kekerasan itu sendiri. Termasuk kekerasan disini juga
penggunaan obat-obatan yang dapat mengakibatkan korban tidak sadar.
Oleh karenanya, perlu juga memeriksa keadaan umum korban yang
meliputi tanda-tanda bekas kehilangan kesadaran atau penggunaan obat
bius dengan melihat needle marks, serta perlu dicari pula racun dan gejala
akibat obat bius/racun pada korban.5,6
Adanya luka berarti adanya kekerasan, namun tidak ada luka bukan
berarti tidak ada kekerasan. Faktor waktu sangat berperan, karena dengan
berlalunya waktu, luka dapat sembuh atau tidak ditemukan, karena
racun/obat bius telah dikeluarkan dari tubuh. Bukti-bukti medik dapat
digunakan untuk menyimpulkan adanya kekerasan. Yang tidak dapat
dibuktikan adalah ancaman kekerasan, sebab pada ancaman kekerasan
tidak ditemukan bukti-bukti medik.5
2) Memperkirakan umur
Tidak ada satu metode tepat untuk menentukan umur secara pasti.
Pada pemeriksaannya memerlukan berbagai sarana seperti alat rontgen
untuk memeriksa pertumbuhan tulang dan gigi, dasar berat badan, tinggi
badan, bentuk tubuh, dan cirri-ciri kelamin sekunder. Perkiraan umur
digunakan untuk menentukan apakah seseorang tersebut sudah dewasa
(>21 tahun) khususnya pada homoseksual/lesbian serta pada pelaku kasus
kekerasan seksual. Sedangkan pada kasus korban kekerasan seksual
perkiraan umur tidak diperlukan.5
3) Menentukan pantas/tidaknya korban untuk dikawin
Secara biologis jika persetubuhan bertujuan untuk mendapatkan
keturunan, pengertian pantas/tidaknya untuk kawin dapat dilihat dari
perkembangan seksual sekunder pada anak. Bila dilihat Undang-undang
Perkawinan, yaitu pada Bab II pasal 7 ayat 1 berbunyi : perkawinan hanya
diizinkan jika pria sudah mencapau 19 tahun dan wanita sudah mencapai
16 tahun.5
1. Dahlan S. Ilmu kedokteran forensic: pedoman bagi dokter dan penegak hukum.
Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. 2007.
2. Aulia. Kenali tipe penjahat kekerasan seksual anak. 2014. Available from:
https://www.motherandbaby.co.id/article/2014/4/11/1977/Kenali-Tipe-Penjahat-
Kekerasan-Seksual-Anak