Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH RANGKUMAN

TATALAKSANA KORBAN KEKERASAN SEKSUAL


PADA PEREMPUAN DEWASA DAN ANAK

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepaniteraan di Bagian


Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal

Oleh:
Shiva Valeska Ardhaniswari
4151181480

Preseptor:
dr. Andri Andrian Rusman, M.Kes, Sp.F

ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
MEI 2020

1
Latar Belakang
Komnas perempuan pada tahun 2019 melaporkan bahwa jumlah kasus
kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan meningkat sebesar 6 %.
Jumlah kasus KTP 2019 sebesar 431.471, jumlah ini meningkat dibandingkan
dengan tahun sebelumnya sebesar 406.178. Menurut World Health
Organization (WHO), sedikitnya satu diantara lima penduduk perempuan di
dunia, semasa hidupnya pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual yang
dilakukan oleh laki-laki. Kekerasan terhadap perempuan (KtP) merupakan
penyebab kematian urutan ke 10 terbesar bagi perempuan usia subur pada
tahun 1998. 1,2
Selain itu, kekerasan terhadap anak juga kerap terjadi. Berdasarkan data
Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak terjadi peningkatan kasus
Kekerasan terhadap Anak (KtA) yang cukup menonjol di Indonesia pada
tahun 2005 dibandingkan tahun 2006 dengan rincian sebagai berikut: kasus
kekerasan fisik dari 223 kasus menjadi 247; kasus kekerasan psikis dari 176
menjadi 450; kasus kekerasan seksual dari 327 menjadi 426 sedangkan kasus
penelantaran dari 15 menjadi 131.3,4
Kasus KtP/A sangat mempengaruhi kesehatan korban terutama pada anak
yang masih berada dalam proses tumbuh kembang, sehingga akan berdampak
pada penurunan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). 4

Definisi
a. Kekerasan terhadap Perempuan (KtP)
Adalah segala bentuk tindak kekerasan berbasis gender yang berakibat,
atau mungkin berakibat, menyakiti secara fisik, seksual, mental, atau
penderitaan terhadap perempuan
b. Kekerasan terhadap Anak (KtA)
Semua bentuk tindakan/perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun
emosional, penyalahgunaan seksual, trafiking, penelantaran, eksploitasi
komersial termasuk ekploitasi seksual komersial anak (ESKA) yang

2
mengakibatkan cidera/ kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan,
kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan/atau martabat anak.
c. Kekerasan Seksual (Sexual Violence)
Kekerasan seksual adalah kekerasan yang bernuansa seksual, termasuk
berbagai perilaku yang tak diinginkan dan mempunyai makna seksual yang
disebut pelecehan seksual, maupun berbagai bentuk pemaksaan hubungan
seksual yang disebut sebagai perkosaan. Kekerasan Seksual Anak adalah
pelibatan anak dalam kegiatan seksual, dimana ia sendiri tidak sepenuhnya
memahami atau tidak mampu memberi persetujuan, yang ditandai dengan
adanya aktivitas seksual antara anak dengan orang dewasa atau anak lain
dengan tujuan untuk memberikan kepuasan bagi orang tersebut.
d. Pelecehan Seksual (Sexual Abuse)
Tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun nonfisik dengan sasaran
organ seksual atau seksualitas korban. Tindakan yang dimaksud termasuk
juga siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukkan materi
pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, dan
gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak
nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai
menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan. Pelecehan seksual
merupakan salah satu jenis perbuatan kekerasan seksual.

3
Penatalaksanaan Kekerasan Seksual
Menurut Pedoman Pengembangan Puskesmas Mampu
Tatalaksana Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak, terdapat
algoritma pelayanan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak
yang dapat mempermudah memahami alur tatalaksana, terutama di
puskesmas.1

4
Langkah penanganan kasus kekerasan dikenal dengan istilah RADAR
 Recognize : kenali kemungkinan kekerasan
 Ask & listen : tanyakan secara langsung & dengarkan secara
empati
 Discuss option : bicarakan berbagai pilihan
 Assess danger : nilai kemungkinan ada bahaya
 Refers to other group that could provide assistance : rujuk ke
lembaga atau kelompok yang dapat membantu

Dokter umum dalam hal ini bertugas mencari adanya tanda-tanda


kekerasan dan adanya tanda-tanda persetubuhan melalui anamnesis umum
dan khusus, pemeriksaan fisik umum dan khusus, pemeriksaan status mental
secara umum, pemeriksaan penunjang, memberikan tatalaksana medis yang
sesuai hingga merujuk, melakukan pencatatan, fotografi forensik, hingga
pembuatan Visum et Repertum. Hal-hal yang harus diperhatikan dokter dalam
menjalankan tugasnya yaitu:
1. Merahasiakan identitas pelapor
2. Lindungi korban dari pelaku dan upaya bunuh diri
3. Laporkan kejadian kepada pihak berwenang dengan persetujuan korban,
bila terdapat ancaman maka tenaga kesehatan dapat melaporkan tanpa
persetujuan.
4. Sediakan penanganan medis komprehensif
5. Perhatikan kondisi keluarga demi keamanan korban
6. Rujuk ke jejaring untuk pendampingan paripurna dan penanganan aspek
non-medis

Dalam penatalaksanaan pada kekerasan seksual terdiri dari 3 aspek yaitu


aspek medis, medikolegal, dan psikososial. Penangan penatalaksanaan ini
harus bekerjasama dengan lintas program.

5
a. Aspek Medis
Dalam melakukan penanganan kasus kekerasan seksual pada
perempuan dewasa sebaikanya didampingi oleh petugas kesehatan. Petugas
kesehatan harus membantu korban dalam mengatasi perasaan tidak berdaya
karena kekerasan yang dialaminya. Pemeriksaan dilakukan setelah korban
tenang dan didampingi oleh keluarga/pendamping serta dibantu oleh
perawat/bidan untuk memberi dukungan mental. Lakukan informed consent
sebelum melakukan pemeriksaan fisik. Pastikan korban/pendamping mengerti
tentang proses, maksud, tujuan dan risiko pemeriksaan. Untuk mencegah hal-
hal yang tidak diinginkan, tenaga kesehatan sebaiknya didampingi oleh
petugas kesehatan lain yang jenis kelaminnya sama dengan korban. Aspek
medis pada kasus kekerasan seksual terdiri dari:
1. Pemeriksaan Medis
A. Anamnesis yang diperoleh secara cermat baik dari pengantar maupun
korban dengan menggunakan ruang tersendiri dan harus dijamin
kerahasiaannya.
a) Perhatikan sikap korban dan pengantar, apakah korban terlihat dikontrol
atau ditekan dalam memberikan jawaban.
b) Bila memungkinkan anamnesis terhadap korban dan pengantar
dilakukan secara terpisah.
c) Perhatikan adanya ketidaksesuaian yang muncul antara penuturan
korban dan pengantar dengan temuan medis.
d) Lengkapi rekam medis terutama perkembangan seksnya serta hubungan
seks terakhir, siklus haid terakhir, dan apakah masih haid saat kejadian.
e) Tanyakan status hubungan korban dengan terlapor
f) Konfirmasi ulang urutan kejadian
g) Waktu dan lokasi kejadian
h) Apa yang dilakukan korban setelah kejadian kekerasan
B. Pemeriksaan Fisik dilakukan secara menyeluruh dengan ramah dan
sopan.
a) Keadaan umum, kesadaran dan tanda-tanda vital.

6
b) Perhatikan apakah ada luka lama dan baru yang sesuai urutan kejadian
peristiwa kekerasan yang dialami.
c) Tanda-tanda perlawanan atau kekerasan seperti gigitan, cakaran,
ekimosis, hematom dan perhatikan kesesuaian tanda kekerasan dengan
riwayat kejadian.
d) Periksa tanda-tanda lecet dan perdarahan pada palatum, bila dicurigai
terjadi persetubuhan oral secara paksa.
e) Pemeriksaan ginekologik pada korban meliputi:
 Rambut pubis disisir, rambut lepas yang ditemukan mungkin milik
pelaku (dimasukan ke dalam amplop).
 Periksa adanya luka di daerah sekitar paha, vulva dan perineum.
Catat jenis, lokasi, bentuk, dasar dan tepi luka.
 Periksa saluran vagina dan selaput dara, pada selaput dara tentukan
ada atau tidaknya robekan-robekan baru atau lama, lokasi robekan
dan teliti apakah sampai ke dasar atau tidak.
 Lakukan swab vagina forniks posterior bila kejadiannya kurang dari
72 jam.
Menurut rekomendasi WHO Guideline Child Sexual Abuse, pihak
penyedia pelayanan kesehatan harus secara akurat dan lengkap
mendokumentasikan temuan-temuan medis, pemeriksaan fisik dan tes
forensik, dan informasi terkait lainnya, untuk keperluan tindak lanjut yang
sesuai dan mendukung para penyintas dalam mengakses layanan kepolisian
dan hukum, sementara pada saat yang sama waktu melindungi kerahasiaan
dan meminimalkan kesusahan untuk anak-anak atau remaja dan pengasuh
mereka. Tindakan ini meliputi:
a. Menggunakan format terstruktur untuk merekam temuan;
b. Merekam pernyataan kata demi kata anak atau remaja dan
pengasuh yang tidak menyinggung, bila berlaku, untuk
dokumentasi pengungkapan penyalahgunaan yang akurat dan
lengkap;

7
c. Mencatat perbedaan antara akun anak atau remaja dan
pengasuh, jika ada, tanpa interpretasi;
d. Merekam deskripsi terperinci dan akurat tentang gejala dan
cedera anak atau remaja;
e. Bila mana tidak ada bukti fisik ditemukan, mencatat bahwa
tidak adanya bukti fisik, tidak berarti bahwa pelecehan tidak
terjadi;
f. Mendokumentasikan keadaan emosi anak atau remaja, sambil
mencatat bahwa tidak ada keadaan tertentu yang
mengindikasikan pelecehan seksual;
g. mencari persetujuan, sebagaimana layaknya, untuk mengambil
foto dan / atau video, setelah menjelaskan bagaimana mereka
akan digunakan;
h. Menangani semua informasi yang dikumpulkan secara rahasia
(misalnya, berbagi informasi hanya setelah mendapat izin dari
anak atau remaja dan pengasuh dan hanya berdasarkan
kebutuhan, untuk memberikan perawatan; menyimpan
informasi dengan aman di lemari yang terkunci atau kata sandi
file yang dilindungi; menganonimkan informasi
pengidentifikasian, dan tidak mengungkapkan informasi
pengidentifikasian tentang kasus tertentu kepada mereka yang
tidak perlu tahu, dan terutama tidak kepada media).

f) Pemeriksaan dubur meliputi:


 Pada korban yang sudah sering mendapat perlakuan sodomi, dubur
terlihat berbentuk corong.
 Pada korban yang baru pertama kali/ belum sering mendapat
perlakuan sodomi, lakukan pemeriksaan colok dubur dengan
menggunakan jari untuk mengetahui kekuatan sphyngter ani.
 Untuk melihat adanya luka baru dan gambaran rugae gunakan
anuskop.

8
g) Periksa apakah ada tanda-tanda kehilangan kesadaran yang
diakibatkan pemberian NAPZA.
2. Pemeriksaan Status Mental
a) Gejala-gejala yang muncul antara lain ketakutan, syok, rasa tidak
percaya, marah, malu, menyalahkan diri sendiri, kacau, bingung,
histeris, yang menyebabkan sulit tidur (insomnia), hilang nafsu makan,
mimpi buruk, selalu ingat peristiwa itu, siaga berlebihan (mudah kaget,
terkejut dan cemas), panik, dan berduka (perasaan sedih terus menerus).
b) Gejala-gejala tersebut dapat diatasi dengan konseling. Bila konseling
tidak berhasil, rujuk ke PPT/PKT,P2TP2A. Jika gejala-gejala nya
bertaraf berat, dapat menimbulkan gangguan jiwa.
c) Gangguan jiwa yang bisa terjadi yaitu PTSD (Gangguan Stres Pasca
Trauma), gangguan depresi, gangguan cemas terkait trauma, gangguan
penyesuaian, gangguan psikotik.
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Rontgen dan USG (jika tersedia)
b) Pemeriksaan laboratorium: darah dan urin rutin.
c) Penapisan (screening) penyakit kelamin
d) Test kehamilan
e) Pemeriksaan mikroskop adanya sperma dengan menggunakan NaCl
f) Usapan rugae untuk pemeriksaan adanya sperma.
4. Penatalaksanaan medik
a) Tangani kegawatdaruratan yang mengancam nyawa terlebih dahulu
b) Tangani luka sesuai kondisi.
c) Bila dicurigai terdapat patah tulang, lakukan rontgen dan penanganan
yang sesuai atau rujuk.
d) Bila dicurigai terdapat perdarahan dalam, lakukan USG atau rujuk
e) Dengarkan dan dukung korban, sesuai dengan manual konseling.
f) Pastikan keamanan korban.
g) Periksa dengan teliti dan lakukan pencatatan serta berikan sura-tsurat
yang diperlukan.

9
h) Tanyakan makna temuan bagi korban dan keluarganya serta langkah
mereka berkaitan dengan temuan tersebut, lalu terangkan temuan
pemeriksaan dan konsekuensinya dengan hati-hati.
i) Jika ditemukan masalah gangguan mental, lakukan konseling atau rujuk
jika memerlukan intervensi psikiatrik.
j) Pada kasus kekerasan seksual, dengan tambahan:
 Periksa/cegah kehamilan (bila perlu)
 Berikan kontrasepsi darurat yaitu kontrasepsi yang dapat mencegah
kehamilan bila digunakan sebelum 72 jam setelah perkosaan, setelah
dilakukan informed concent (lihat buku pedoman kontrasepsi darurat).
 Periksa, cegah dan obati infeksi menular seksual atau rujuk
 Berikan konseling untuk pemeriksaan HIV/AIDS dalam 6-8 minggu
atau rujuk bila perlu
Semua hasil pemeriksaan pada kasus KtP/A merupakan catatan
penting yang harus disimpan dalam rekam medis dan bersifat rahasia.

b. Aspek Medikolegal
Dalam kasus KtP/A aspek medikolegal merupakan hal yang sangat
penting karena berkaitan dengan penanganan masalah hukum yang mungkin
timbul. Pada pasal 187 huruf c KUHAP berbunyi “ Surat keterangan dari ahli
yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau
sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya”. Mengacu hal
tersebut, dokter diwajibkan membuat VeR atas permintaan dari penyidik Polri
melalui surat resmi yang ditandatangani minimal oleh Kepala Kepolisian
Sektor.
Adapun beberapa aturan yang membahas kekerasan terhadap perempuan
dewasa dan anak. Berikut undang-undang yang membahas aturan tersebut:
 UUD 1945 pasal 27 ayat 1 dan 2 UUD 1945 pasal 28B
 UUD 1945 pasal 28H
 UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita

10
 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
 UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
 UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. UU No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah.

c. Aspek Psikososial
Kekerasan seksual dapat menjadi suatu kejadian traumatis bagi korban
hingga menimbulkan stress dan berbagai gejala pasca trauma. Gejala ringan
dapat diatasi dengan melakukan konseling. Sedangkan gejala yang berat dan
dapat menjadi suatu gangguan jiwa misalnya gangguan depresi, gangguan
cemas terakait trauma, gangguan penyesuaian, PTSD, hingga gangguan
psikotik maka korban dapat dirujuk ke Pelayanan Terpadu berbasis rumah
sakit (PPT), Pusat Krisis Terpadu (PKT), atau Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).

Perawatan klinis untuk anak-anak dan remaja yang telah mengalami


pelecehan seksual harus dipandu oleh kewajiban untuk melindungi, mencegah
dan menanggapi semua bentuk kekerasan terhadap anak-anak dan remaja.
Penyedia layanan kesehatan perlu mengetahui standar-standar ini dan
bagaimana mereka menerjemahkannya dalam undang-undang nasional yang
relevan, dan menerapkannya sebagai prinsip panduan dalam memberikan
perawatan kepada anak-anak dan remaja yang telah mengalami pelecehan
seksual. Prinsip-prinsip panduan menyeluruh yang berasal dari standar hak
asasi manusia internasional tercantum di bawah ini.3,4
A. Prinsip kepentingan terbaik anak atau remaja
B. Prinsip kapasitas yang berkembang dari anak atau remaja.
C. Prinsip non-diskriminasi
D. Prinsip Partisipasi Anak-anak dan remaja

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Pengembangan


Puskesmas Mampu Tatalaksana Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan
Anak. Jakarta. 2009
2. Komnas Perempuan. 2020. Catatan Kekerasan terhadap Perempuan.
3. Kurniasari A, et al. Prevalensi Kekerasan Terhadap Anak Laki-Laki Dan
Anak Perempuan Di Indonesia
4. WHO Clinical Guides, Responding to Children and Adolescents Who Have
Been Sexually Abused, Geneva 2017
5. UNODOC. WHO. Strengthening The Medicolegal Response To Sexual
Violence.

12

Anda mungkin juga menyukai