Anda di halaman 1dari 16

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Penyakit TORCH merupakan kelompok infeksi beberapa jenis virus yaitu
parasit Toxoplasma gondii, virus Rubella, CMV (Cytomegalo Virus), virus
Herpes Simplex (HSV1 HSV2) dan kemungkinan oleh virus lain yang dampak
klinisnya lebih terbatas (misalnya Measles, Varicella, Echovirus, Mumps,
Vassinia, Polio dan Coxsackie-B).
Penyakit TORCH ini dikenal karena menyebabkan kelainan dan berbagai
keluhan yang bisa menyerang siapa saja, mulai anak-anak sampai orang dewasa,
baik pria maupun wanita. Bagi ibu yang terinfeksi saat hamil dapat menyebabkan
kelainan pertumbuhan pada bayinya, yaitu cacat fisik dan mental yang beraneka
ragam.
Infeksi TORCH juga dapat menyerang semua jaringan organ tubuh,
termasuk sistem saraf pusat dan perifer yang mengendalikan fungsi gerak,
penglihatan, pendengaran, sistem kadiovaskuler serta metabolisma tubuh.

1.2 Pengertian TORCH
TORCH adalah singkatan dari Toxoplasma gondii (Toxo), Rubella,
Cyto Megalo Virus (CMV), Herpes Simplex Virus (HSV) yang terdiri dari
HSV1 dan HSV2 serta kemungkinan oleh virus lain yang dampak klinisnya lebih
terbatas (Misalnya Measles, Varicella, Echovirus, Mumps, virus Vaccinia, virus
Polio, dan virus Coxsackie-B).




2

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Etiologi TORCH
Penyebab utama dari virus dan parasit TORCH (Toxoplasma, Rubella,
CMV, dan Herpes) adalah hewan yang ada di sekitar kita, seperti ayam, kucing,
burung, tikus, merpati, kambing, sapi, anjing, babi dan lainnya. Meskipun tidak
secara langsung sebagai penyebab terjangkitnya penyakit yang berasal dari virus
ini adalah hewan, namun juga bisa disebabkan oleh karena perantara (tidak
langsung) seperti memakan sayuran, daging setengah matang dan lainnya.

A. Toxoplasma Gondii
Infeksi Toxoplasma disebabkan oleh parasit yang disebut Toxoplasma
gondi. Pada umumnya, infeksi Toxoplasma terjadi tanpa disertai gejala yang
spesifik. Kira-kira hanya 10-20% kasus infeksi Toxoplasma yang disertai gejala
ringan, mirip gejala influenza, malaise, demam, dan umumnya tidak menimbulkan
masalah.
Parasit ini termasuk subfilum sporozoa, kelas toxoplasma dan merupakkan
salah satu genus dari ordo toxoplasmida. Toxoplasma gondii terdapat dalam sel-
sel dari sistem retikulo-endotelial serta sel parenkim.

3

Infeksi Toxoplasma berbahaya bila terjadi saat ibu sedang hamil atau pada
orang dengan sistem kekebalan tubuh terganggu (misalnya penderita AIDS,
pasien transpalasi organ yang mendapatkan obat penekan respon imun).
Jika wanita hamil terinfeksi Toxoplasma maka akibat yang dapat terjadi
adalah abortus spontan atau keguguran (4%), lahir mati (3%) atau bayi menderita
toxoplasmosis bawaan. Pada toxoplasmosis bawaan, gejala dapat muncul setelah
dewasa, misalnya kelainan mata dan telinga, retardasi mental, kejang dan
ensefalitis.
Diagnosis Toxoplasmosis secara klinis sulit ditentukan karena gejala-
gejalanya tidak spesifik atau bahkan tidak menunjukkan gejala (sub klinik). Oleh
karena itu, pemeriksaan laboratorium mutlak diperlukan untuk mendapatkan
diagnosis yang tepat. Pemeriksaan yang lazim dilakukan adalah Anti-Toxoplasma
IgG, IgM dan IgA, serta Aviditas Anti-Toxoplasma IgG.
Pemeriksaan tersebut perlu dilakukan pada orang yang diduga terinfeksi
Toxoplasma, wanita sebelum atau selama masa hamil (bila hasilnya negatif perlu
diulang sebulan sekali khususnya pada trimester pertama, selanjutnya tiap
trimeter, serta bayi baru lahir dari ibu yang terinfeksi Toxoplasma.

B. Rubella
Infeksi Rubella ditandai dengan demam akut, ruam pada kulit dan
pembesaran kelenjar getah bening. Infeksi ini disebabkan oleh virus Rubella,
dapat menyerang anak-anak dan dewasa muda. Virus rubella merupakan sebuah
togavirus yang menyelimuti dan memiliki genom RNA beruntai tunggal. Virus ini
ditularkan melalui rute pernapasan dan bereplikasi dalam nasofaring dan kelenjar
getah bening. Virus ini dapat ditemukan dalam darah 5 sampai 7 hari setelah
infeksi dan menyebar ke seluruh tubuh. Virus memiliki sifat teratogenik dan
mampu melalui plasenta dan menginfeksi janin.
4


Menurut America College of Obstatrician and Gynecologists, 1981,
Infeksi Rubella berbahaya bila tejadi pada wanita hamil muda, karena dapat
menyebabkan kelainan pada bayinya. Jika infeksi terjadi pada bulan pertama
kehamilan maka risiko terjadinya kelainan adalah 50%, sedangkan jika infeksi
tejadi trimester pertama maka risikonya menjadi 25%.
Tanda tanda dan gejala infeksi Rubella sangat bervariasi untuk tiap
individu, bahkan pada beberapa pasien tidak dikenali, terutama apabila ruam
merah tidak tampak. Oleh Karena itu, diagnosis infeksi Rubella yang tepat perlu
ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan laboratorium.

C. Cyto Megalo Virus (CMV)
Infeksi CMV disebabkan oleh virus Cytomegalo, dan virus ini temasuk
golongan virus keluarga Herpes. Seperti halnya keluarga herpes lainnya, virus
CMV dapat tinggal secara laten dalam tubuh dan CMV merupakan salah satu
penyebab infeksi yang berbahaya bagi janin bila infeksi yang berbahaya bagi janin
bila infeksi terjadi saat ibu sedang hamil.
5


Jika ibu hamil terinfeksi. maka janin yang dikandung mempunyai risiko
tertular sehingga mengalami gangguan misalnya pembesaran hati, kelainan otak,
gangguan pendengaran, retardasi mental, dan lain-lain.

D. Herpes Simpleks
Infeksi herpes pada alat genital (kelamin) disebabkan oleh Virus Herpes
Simpleks tipe II (HSV II). Virus ini dapat berada dalam bentuk laten, menjalar
melalui serabut syaraf sensorik dan berdiam pada ganglion sistem syaraf otonom.
Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HSV II biasanya
memperlihatkan lepuh pada kultti, tetapi hal ini tidak selalu muncul sehingga
mungkin tidak diketahui. Infeksi HSV II pada bayi yang baru lahir dapat berakibat
fatal.
Infeksi TORCH yang terjadi pada ibu hamil dapat membahayakan janin
yang dikandungnya. Pada infeksi TORCH, gejala klinis yang ada sering sulit
dibedakan dari penyakit lain karena gejalanya tidak spesifik. Walaupun ada yang
memberi gejala ini tidak muncul sehingga menyulitkan dokter untuk melakukan
diagnosis. Oleh karena itu, pemeriksaan laboratorium sangat diperlukan untuk
membantu mengetahui infeksi TORCH agar dokter dapat memberikan
penanganan atau terapi yang tepat.


6

2.2 Cara Penularan TORCH
Penularan TORCH pada manusia dapat melalui 2 (dua) cara. Pertama,
secara aktif (didapat) dan yang kedua, secara pasif (bawaan). Penularan secara
aktif disebabkan antara lain sebagai berikut :
1. Memakan daging setengah matang yang berasal dari hewan yang terinfeksi
(mengandung sista), misalnya daging sapi, kambing, domba, kerbau, babi,
ayam, kelinci dan lainnya. Kemungkinan terbesar penularan TORCH
melalui jalur ini, yaitu melalui daging yang tidak dimasak sempurna.
2. Memakan makanan yang tercemar ookista dari feses (kotoran) kucing yang
menderita TORCH. Feses kucing yang mengandung ookista akan
mencemari tanah (lingkungan) dan dapat menjadi sumber penularan baik
pada manusia maupun hewan. Tingginya resiko infeksi TORCH melalui
tanah yang tercemar, disebabkan karena ookista bisa bertahan di tanah
sampai beberapa bulan
3. Transfusi darah (trofozoid), transplantasi organ atau cangkok jaringan
(trozoid, sista), kecelakaan di laboratorium yang menyebabkan TORCH
masuk ke dalam tubuh atau tanpa sengaja masuk melalui luka
4. Hubungan seksual antara pria dan wanita juga bisa menyebabkan
menularnya TORCH. Misalnya seorang pria terkena salah satu penyakit
TORCH kemudian melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita
(padahal sang wanita sebelumnya belum terjangkit) maka ada
kemungkinan wanita tersebut nantinya akan terkena penyakit TORCH
sebagaimana yang pernah diderita oleh lawan jenisnya.
5. Melalui plasenta. Hal ini ditularkan oleh Ibu hamil yang menderita
TORCH kepada janin yang dikandungnya.
6. Melalui Air Susu Ibu (ASI). Hal ini bisa terjadi jika ASI berasal dari ibu
yang menderita TORCH, maka ketika menyusui penyakit tersebut bisa
menular kepada sang bayi yang sedang disusuinya.
7

7. Keringat yang menempel pada baju atau pun yang masih menempel di
kulit. Hal ini bisa terjadi apabila seorang yang kebetulan kulitnya
menempel atau pun lewat baju yang baru saja dipakai penderita TORCH
8. Faktor lain yang dapat mengakibatkan terjadinya penularan pada manusia,
antara lain adalah kebiasaan memakan sayuran mentah dan buah - buahan
segar yang dicuci kurang bersih, makan tanpa mencuci tangan terlebih
dahulu, mengkonsumsi makanan dan minuman yang disajikan tanpa
ditutup, sehingga kemungkinan terkontaminasi ookista lebih besar
9. Air liur. Cara penularannya sama dengan penularan pada hubungan
seksual.

2.3 Pencegahan TORCH
1. Memasak daging sebelum dikonsumsi hingga suhu mencapai 66
o
C.
2. Kucing peliharaan di rumah hendaknya diberi daging matang untuk
mencegah infeksi yang masuk ke dalam tubuh kucing. Tempat makan,
minum dan alas tidur harus selalu dicuci / dibersihkan.
3. Hindari kontak dengan hewan - hewan mamalia liar, seperti rodensia liar
(tikus, bajing, musang) serta reptilia kecil seperti cecak, kadal sebagai
hewan perantara TORCH.
4. Membersihkan kotoran kucing menggunakan sarung tangan disposable
(dibuang setelah dipakai).
5. Bagi wanita yang sedang hamil, terutama yang dinyatakan secara serologis
sudah negatif, jangan memelihara kucing kecuali dengan sarung tangan.
6. Mecuci tangan dengan sabun sebelum makan
7. Mencuci sayuran atau buah sebelum dimakan.
8. Darah penderita seropositif tidak boleh ditransfusikan pada penderita yang
menderita imunosupresif, demikian pula transplantasi organ pada
penderita seronegatif harus dari orang dengan seronegatif TORCH.
9. Pemberantasan terhadap lalat dan kecoa sebagai pembawa ooksista
10. Penggunaan desinfektan untuk membasmi ookista.
8

11. Memeriksakan hewan peliharaan ke dokter hewan

2.4 Diagnosa Penyakit TORCH
A. Diagnosis Prenatal Toksoplasmosis
Diagnosis pranatal umumnya dilakukan pada usia kehamilan 14-27
minggu. Aktivitas diagnosis meliputi :
1. Kordosentesis (pengambilan sampel darah janin melalui tali pusat)
ataupun amniosentesis (aspirasi cairan ketuban) dengan tuntunan
Ultrasonografi. Menurut penelitian, hasil skrining antenatal untuk
toxoplasmosis dapat ditingkatkan dengan kombinasi skrining
menggunakan ultrasound , amniosentesis, funipuncture cordocentesis
dengan tingkat keberhasilan 44 dari 49 kehamilan. Komplikasi
pemeriksaan melalui teknik kordosintesis yaitu perdarahan transien,
bradikardia janin (7-9%), persalinan prematur (2-5%), dan kematian
janin (1,7-1,9%). Komplikasi dari amniosentesis yaitu kematian janin
(1%), kebocoran cairan ketuban, dan perdarahan dari jalan lahir. Tes
kordiosintesis memiliki sensitivitas 20%-75% dan spesifisitas 100%
sedangkan tes amniosintesis memiliki sensitifitas tinggi dan spesifisitas
yang tinggi yaitu 100% dan isolasi virus dari cairan ketuban telah
diakui sebagai metode referensi untuk diagnosis prenatal.
2. Pembiakan darah janin ataupun cairan ketuban dalam kultur sel
fibroblast, ataupun diinokulasi ke dalam ruang peritoneum dan diikuti
isolasi parasit. Pemeriksaan dengan PCR untuk mendeteksi adanya
DNA Toksoplasma gondii pada darah janin ataupun cairan ketuban.
Pemeriksaan dengan teknik ELISA pada darah janin untuk mendeteksi
antibody IgM janin spesifik (antitoksoplasma). IgM toksoplasmosis
memiliki spesifisitas yang buruk untuk mendeteksi wanita yang
terkena infeksi aktif, 20 % di antara wanita-wanita tersebut setelah 20
minggu kehamilannya akan menularkan infeksi ke janin mereka. IgM
merupakan respon antibodi saat terdeteksi infeksi pertama kali. IgM
9

tidak selalu menunjukkan infeksi baru dan dapat bertahan selama
bertahun-tahun, sebagai penyelidikan lebih lanjut konsekuensi hanya
diperlukan dari ibu yang serokonversi selama kehamilan atau memiliki
titer antibodi awalnya tinggi.


Interpretasi pemeriksaan serologi imunologi
1. 1gG (+) dan IgM (-)
Pernah terinfeksi sebelumnya (infeksi sudah lama) dan sekarang elah
memiliki kekebalan. Disarankan unuk melakukan pemeriksaan satu
kali lagi dengan selang waktu satu minggu untuk menyingkirkan
adanya infeksi primer.


10

2. IgG (+) dan IgM (+)
Infeksi primer yang aru atau infeksi lampau tetapi IgM masih erdeteksi
(persisten). Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan tambahan igG
Avidity pada serum yang sama untuk mengetahui waktu terjadi infeksi.
3. IgG (-) dan IgM (-)
Belum pernah terinfeksi. Jika wanita hamil maka dilakukan
pemeriksaan kembali pada trimester berikutnya hingga trimester
ketiga. Bila hasilnya tetap negatif, maka dapat dikatakan tidak
terinfeksi TORCH
4. IgG (-) dan IgM (+)
Kasus ini jarang terjadi dan memiliki interpretasi awal dari infeksi.
harus dilakukan pemeriksaan kembali tiga minggu kemudian untuk
mengetahui nilai IgG. Jika IgG negatif, didapatkan interpretasi bahwa
IgM tidak spesifik (tidak terinfeksi TORCH).

Infeksi primer dinyatakan dengan :
1. Terjadi serokonversi IgG dari negative ke positif atau terjadi
peningkatan titer IgG yang bermakna (2x) pada pemeriksaan serial
selang waktu 3 minggu
2. IgM positif dan/atau IgA postif
3. IgG avidity rendah.

B. Diagnosis Prenatal Rubella
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan serologik yaitu adanya
peningkatan titer antibodi 4 kali pada hemaglutination inhibition test (HAIR) atau
ditemukannya antibodi IgM yang spesifik untuk rubela. Titer antibodi mulai
meningkat 24-48 jam setelah permulaan erupsi dan mencapai puncaknya pada hari
ke 6-12. selain pada infeksi primer, antibodi IgM spesifik rubela dapat ditemukan
pula pada reinfeksi. Dalam hal ini adanya antibodi IgM spesifik rubella. Diagnosis
11

prenatal dilakukan dengan memeriksa adanya IgM dari darah janin melalui CVS
(chorionoc villus sampling) atau kordosentesis. Konfirmasi infeksi fetus pada
trimester I dilakukan dengan menemukan adanya antigen spesifik rubella dan
RNA pada CVS. Metode ini adalah yang terbaik untuk isolasi virus pada hasil
konsepsi.

C. Diagnosa Prenatal Cytomegalo Virus
Pemeriksaan laboratorium sangat bermanfaat untuk mengetahui
infeksi akut atau infeksi berulang, dimana infeksi akut mempunyai risiko
yang lebih tinggi. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi Anti
CMV IgG dan IgM, serta Aviditas Anti-CMV IgG. Tes serologis mungkin
terjadi peningkatan IgM yang mencapai kadar puncak 3 6 bulan pasca
infeksi dan bertahan sampai 1 2 tahun kemudian. IgG meningkat secara
cepat dan bertahan seumur hidup. Amniosentesis merupakan tes diagnostik
prenatal tunggal yang paling baik dan digunakan untuk mendeteksi infeksi
in utero dengan kombinasi tes darah janin.

D. Diagnosa Prenatal Herpes Simpleks
Pemeriksaan sitologik untuk perubahan sel dari infeksi herpes
virus tidak sensitive dan tidak spesifik baik menggunakan
pemeriksaan Tzank (lesi genital) dan apusan serviks Papanicolaou
dan tidak dapat diandalkan untuk diagnosis konklusif infeksi
herpes simpleks. Jenis yang lebih tua dari pengujian virologi, tes
Pap Tzanck, mengorek dari lesi herpes kemudian menggunakan
pewarnaan Wright dan Giemsa. Pada pemeriksaan ditemukan sel
raksasa khusus dengan banyak nukleus atau partikel khusus yang
membawa virus (inklusi) mengindikasikan infeksi herpes. Tes ini
cepat tapi akurat 50-70% dari waktu. Hal ini tidak dapat
membedakan jenis virus
Tes kultur virus dilakukan dengan mengambil sampel cairan dari
luka sedini mungkin, idealnya dalam 3 hari pertama manifestasi.
12

Virus akan bereproduksi dalam sampel cairan yang berlangsung
selama 1 - 10 hari. Kultur virus akurat jika lesi masih dalam tahap
blister , tetapi tidak akurat pada lesi ulserasi tua, lesi berulang, atau
laten.
Tes PCR yang jauh lebih akurat daripada kultur virus, dan CDC
merekomendasikan tes ini untuk mendeteksi herpes dalam cairan
serebrospinal ketika mendiagnosa herpes ensefalitis. PCR dapat
membuat banyak salinan DNA virus sehingga bahkan sejumlah
kecil DNA dalam sampel dapat dideteksi.
Tes serologi dapat mengidentifikasi antibodi yang spesifik untuk
virus dan jenis, Herpes Simplex Virus 1 (HSV-1) atau Virus
Herpes Simpleks 2 (HSV-2).

2.5 Tatalaksana TORCH
Adanya infeksi-infeksi ini dapat dideteksi dari pemeriksaan darah.
Biasanya ada 2 petanda yang diperiksa untuk tiap infeksi yaitu Imunoglobulin G
(IgG) dan Imunoglobulin M (IgM). Normalnya keduanya negatif.
Jika IgG positif dan IgMnya negatif,artinya infeksi terjadi dimasa lampau
dan tubuh sudah membentuk antibodi. Pada keadaan ini tidak perlu diobati.
Namun, jika IgG negatif dan Ig M positif, artinya infeksi baru terjadi dan harus
diobati. Selama pengobatan tidak dianjurkan untuk hamil karena ada
kemungkinan infeksi ditularkan ke janin. Kehamilan ditunda sampai 1 bulan
setelah pengobatan selesai (umumnya pengobatan memerlukan waktu 1 bulan).
Jika IgG positif dan IgM juga positif,maka perlu pemeriksaan lanjutan yaitu IgG
Aviditas. Jika hasilnya tinggi, maka tidak perlu pengobatan, namun jika hasilnya
rendah maka perlu pengobatan dan menunda kehamilan. Pada infeksi
Toksoplasma, jika dalam pengobatan terjadi kehamilan, teruskan kehamilan dan
lanjutkan terapi sampai melahirkan.Untuk Rubella dan CMV, jika terjadi
kehamilan saat terapi, pertimbangkan untuk menghentikan kehamilan.

13


Tatalaksana Toxoplasma
Sampai saat ini pangobatan yang terbaik adalah kombinasi primethamine
dengan trisulfapirimidin. Kombinasi kedua obat ini secara sinergis akan
menghambat siklus p-amino asam benzoate dan siklus asam folat.
Dosis yang dianjurkan untuk primethamine ialah 25-50 mg per hari selama
satu bulan dan trisulfapirimidin dengan dosis 2.000-6.000 mg per hai selama satu
bulan. Dianjurkan untuk menambahkan asam folat dan yeast karena efek samping
obat yaitu trombositopenia dan leukopenia.
Trimetoprin juha efektif untuk pengobatan toxoplasmosis tetapi tidak lebih
efektif dibandingkan primethamin dan trisulfapirimidin. Spiramisin merupakan
obat pilihan lain walaupun kurang efektif. Dosis spiramisin yang dianjurkan yaitu
2-4 mg per hari dibagi dalam 2 atau 4 kali pemberian.

Tatalaksana Rubella
Acyclovir adalah anti virus yang digunakan secara luas dalam kehamilan.
Acyclovir diperlukan untuk terapi infkesi primer herpes simplek atau virus
varicella zoster yang terjadi pada ibu hamil. Selama kehamilan dosis pengobatan
tidak perlu disesuaikan Obat antivirus lain yang masih belum diketahui
keamanannya selama kehamilan yaitu Amantadine dan Ribavirin

Pencegahan aktif dan pasif
Vaksin dengan virus hidup tidak boleh digunakan selama
kehamilan termasuk polio oral, MMR (measles mumps
rubella), varicella
Vaksin dengan virus mati seperti influenza, hepatitis A dan B boleh
digunakan selama kehamilan
Imunoglobulin dapat digunakan selama kehamilan
14

Tatalaksana CMV
Pilihan terapi terbaik dan pencegahan penyakit CMV yaitu gansiklovir dan
valgansiklovir. Pilihan lainnya merupakan lini kedua antara lain foscarnet dan
cidofovir.

Tatalaksana Herpes Simpleks
Penatalaksanaan pada wanita hamil yang terinfeksi virus herpes simpleks,
baik pada infeksi primer ataupun yang sudah pernah terinfeksi dan terinfeksi lagi
harus diterapi sesuai dengan obat dan dosis sesuai dengan tabel berikut ini













15

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
TORCH adalah singkatan dari Toxoplasma gondii (Toxo), Rubella,
Cyto Megalo Virus (CMV), Herpes Simplex Virus (HSV) yang terdiri dari
HSV1 dan HSV2 serta kemungkinan oleh virus lain yang dampak klinisnya lebih
terbatas (Misalnya Measles, Varicella, Echovirus, Mumps, virus Vaccinia, virus
Polio, dan virus Coxsackie-B).
Penyakit ini sangat berbahaya bagi ibu hamil karena dapat mengakibatkan
keguguran, cacat pada bayi, juga pada wanita belum hamil bisa akan sulit
mendapatkan kehamilan.
3.2 Saran
Untuk selalu waspada terhadap penyakit TORCH dengan cara mengetahui
media dan cara penyebaran penyakit ini kita dapat menghindari kemungkinan
tertular. Hidup bersih dan makan makanan yang dimasak dengan matang.










16

DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG, Mac Donald, Obstetri Williams, Edisi 18, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta: 978 87.
2. Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga. Penerbit yayasan ina Pustaka
Sarwono Prawiroharjo. Jakarta. 1999: 518 25.
3. Levena KJ., Cunningham FG., Gant NF., Alexander JM., Bloom SL., Casey
BM., Dashe JS., Sheffield JS., Yost NP., Williams Manual of Obstetrics. The
University of Texas: 569 74.
4. Kumpulan Catatan Obstetri dan Ginekologi: 134 136.
5. Mochtar R. Sinopsis Obstetri Edisi kedua. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta. 1998: 170 3.
6. Waspadji S. Diabetes Dalam Kehamilan. Available at :
www.geocities.com/Yosemite/Rapids/1744/cklobpt3.html.

Anda mungkin juga menyukai