Anda di halaman 1dari 37

REFERAT

ILMU SARAF
MENINGOENSEFALITIS

Pembimbing :
dr. Dian Maria Pia, Sp.S

Penyusun :
Denis Galuh Priambodo 2017.04.2.0036
Desy Andriyani 2017.04.2.0037
Devinta Akhlinianti 2017.04.2.0038
Diah Kusuma Arumsari 2017.04.2.0039
Dian Riftya Rahmawati 2017.04.2.0040
Diana Hardiyanti 2017.04.2.0041
Dilino Ryan Guntoro 2017.04.2.0042

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA BAGIAN ILMU SARAF
RUMKITAL DR. RAMELAN SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
BAGIAN ILMU SARAF
MENINGOENSEFALITIS

Oleh:

Denis Galuh Priambodo 2017.04.2.0036


Desy Andriyani 2017.04.2.0037
Devinta Akhlinianti 2017.04.2.0038
Diah Kusuma Arumsari 2017.04.2.0039
Dian Riftya Rahmawati 2017.04.2.0040
Diana Hardiyanti 2017.04.2.0041
Dilino Ryan Guntoro 2017.04.2.0042

Telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas dalam


rangka menyelesaikan studi kepaniteraan klinik dokter muda di
bagian Ilmu Saraf.
.

Pembimbing :

dr. Dian Maria Pia, Sp.S

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa


karena atas berkat dan Rahmat-Nya, referat Ilmu Saraf yang
berjudul “Meningoensefalitis” ini dapat terselesaikan. Referat ini
kami susun sebagai bagian dari proses belajar mengajar.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih yang
sebesarbesarnya kepada dosen pengajar dan semua pihak yang
telah membantu kami mengerjakan referat baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Kami sadar bahwa referat ini masih jauh dari sempurna,
karena itu kami terbuka atas saran dan kritik yang dapat
meningkatkan kinerja kami. Kami berharap referat ini dapat
bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi siapa saja yang
membaca.

Surabaya, 13 Februari 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................. i

KATA PENGANTAR......................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................. 1

1.1 Latar belakang .................................................................... 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................... 3

2.1 Anatomi Organ Terkait (Meningens dan Encephalon) ........ 3

2.1.1 Meningens .................................................................... 3

2.1.2 Encephalon ................................................................... 6

2.2 Definisi ................................................................................ 7

2.3 Etiologi ................................................................................ 9

2.4 Patofisiologi ......................................................................... 14

2.5 Manifestasi Klinis ................................................................ 17

2.6 Diagnosis ............................................................................ 19

2.6.1 Anamnesa ..................................................................... 19

2.6.2 Pemeriksaan Fisik....................................................... 20

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang ............................................. 22

2.7 Diagnosa Banding ............................................................. 26

2.8 Tatalaksana ...................................................................... 26

2.9 Prognosis .......................................................................... 29

BAB 3 KESIMPULAN ................................................................ 31

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 32

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Penyakit yang menyerang otak merupakan masalah yang


serius dalam bidang kesehatan terutama di Indonesia. Dewasa ini,
penyakit meningoenchepalitis mulai banyak ditemukan di
masyarakat kita. Penyakit ini merupakan penyakit yang serius yang
menyerang selaput otak dan jaringan otak, penyakit ini juga bisa
menyebabkan penurunan kesadaran dari penderita hingga
kematian.

Insidens Meningitis sebenarnya masih belum diketahui pasti,


menurut penelitian BMJ Clinical Research tahun 2008, Meningitis
bakterial terjadi pada kira-kira 3 per 100.000 orang setiap tahunnya
di negara-negara Barat. Studi populasi secara luas memperlihatkan
bahwa meningitis virus lebih sering terjadi, sekitar 10,9 per 100.000
orang, dan lebih sering terjadi pada musim panas. Di Brasil, angka
meningitis bakterial lebih tinggi, yaitu 45,8 per 100,000 orang setiap
tahun. Afrika Sub-Sahara sudah mengalami epidemik meningitis
meningokokus yang luas selama lebih dari satu abad, sehingga
disebut “sabuk meningitis”.

Encephalitis sendiri merupakan penyakit langka yang terjadi


pada sekitar 0,5 per 100.000 orang, dan paling sering terjadi pada
anak-anak, orang tua, dan orang dengan sistem kekebalan tubuh
yang lemah (misalnya, orang dengan HIV / AIDS atau kanker).

Meningoencephalitis merupakan penyakit infeksi yang bisa


disebabkan oleh banyak hal, antara lain bakteri, virus , jamur,

1
parasit. Untuk bisa menegakkan diagnosa dengan tepat, maka
pemahaman dokter tentang penyakit ini sangat dibutuhkan.
Prognosis penyakit ini juga didukung oleh ketepatan dan kecepatan
dokter dalam memberikan terapi yang sesuai.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Organ Terkait (Meningens dan Encephalon)

2.1.1 Meningens

Meningens merupakan selaput atau membran yang terdiri


atas jaringan ikat yang melapisi dan melindungi otak. Selaput otak
atau meningens terdiri dari tiga bagian yaitu:
1. Duramater
Durameter dibentuk dari jaringan ikat fibrous. Secara
konvensional durameter ini terdiri atas dua lapis, yaitu endosteal dan
lapisan meningeal. Kedua lapisan ini melekat dengan rapat, kecuali
sepanjang tempat-tempat tertentu, terpisah dan membentuk sinus-
sinus venosus. Lapisan endosteal sebenarnya merupakan lapisan
periosteum yang menutupi permukaan dalam tulang cranium. Lapisan
meningeal merupakan lapisan durameter yang sebenarnya, sering
disebut dengan cranial durameter. Lapisan meningeal ini terdiri atas
jaringan fibrous padat dan kuat yang membungkus otak dan
melanjutkan menjadi durameter spinalis setelah melewati foramen
magnum yang berakhit sampai segmen kedua dari os sacrum.
Lapisan meningeal membentuk septum ke dalam, membagi
rongga cranium menjadi ruang-ruang yang saling berhubungan
dengan bebas dan menampung bagian-bagian otak. Fungsi
septum ini adalah untuk menahan pergeseran otak. Adapun empat
septum itu antara lain:

 Falx cerebri adalah lipatan durameter berbentuk bulan


sabit yang terletak pada garis tengah diantara kedua
hemisfer cerebri. Ujung bagian anterior melekat pada
crista galli. Bagian posterior melebar, menyatu dengan
permukaan atas tentorium cerebelli.

3
 Tentorium cerebelli adalah lipatan durameter
berbentuk bulan sabit yang menutupi fossa crania
posterior. Septum ini menutupi permukaan atas
cerebellum dan menopang lobus occipitalis cerebri.

 Falx cerebelli adalah lipatan durameter yang melekat


pada protuberantia occipitalis interna.

 Diapharma sellae adalah lipatan sirkuler kecil dari


durameter, yang mmenutupi sella turcica dan fossa
pituitary pada os sphenoidalis. Diafragma ini memisahkan
pituitary gland dari hypothalamus dan chiasma opticum.
Pada bagian tengah terdapat lubang yang dilalui oleh
tangkai hypophyse.

Pada pemisahan dua lapisan durameter ini, terdapat sinus


duramatris yang berisi darah vena. Sinus venosus/duramatris ini
menerima darah dari drainase vena pada otak dan mengalir menuju
vena jugularis interna. Dinding dari sinus-sinus ini dibatasi oleh
endothelium. Sinus pada calvaria yaitu sinus sagitalis superior. Sinus
sagitalis inferior, sinus transverses dan sinus sigmoidea. Sinus pada
basis crania antara lain: sinus occipitalis, sinus sphenoidalis, sinus
cavernosus, dan sinus petrosus.
Pada lapisan durameter ini terdapat banyak cabang-cabang
pembuluh darah yang berasal dari arteri carotis interna, a.
maxilaris, a.pharyngeus ascendens,a.occipitalis dan a.vertebralis.
Dari sudut klinis, yang terpenting adalah a. meningea media
(cabang dari a.maxillaris) karena arteri ini umumnya sering pecah
pada keadaan trauma capitis. Pada durameter terdapat banyak
ujung-ujung saraf sensorik, dan peka terhadapa rgangan sehingga
jika terjadi stimulasi pada ujung saraf ini dapat menimbulkan sakit
kepala yang hebat.

4
2. Arachnoid
Lapisan ini merupakan suatu membran yang impermeable halus,
yang menutupi otak dan terletak diantara piameter dan durameter.
Mebran ini dipisahkan dari durameter oleh ruang potensial yaitu
spatium subdurale dan dari piameter oleh cavum subarachnoid
yang berisi cerebrospinal fluid. Cavum subarachnoid (subarachnoid
space) merupakan suatu rongga/ruangan yang dibatasi oleh
arachnoid dibagian luar dan piameter pada bagian dalam. Dinding
subarachnoid space ini ditutupi oleh mesothelial cell yang pipih.
Pada daerah tertentu arachnoid menonjol ke dalam sinus venosus
membentuk villi arachnoidales. Agregasi ini berfungsi sebagai tempat
perembesan cerebrospinal fluid ke dalam aliran darah.
Arachnodi berhubungan dengan piameter melalui untaian
jaringan fibrosa halus yang melintasi cairan dalam cavum
subarachnoid. Struktur yang berjalan dari dan ke otak menuju
cranium atau foraminanya harus melalui cavum subarachnoid.

3. Piamater
Lapisan piameter berhubungan erat dengan otak dan sum-
sum tulang belakang, mengikuti tiap sulcus dan gyrus. Piameter ini
merupakan lapisan dengan banyak pembuluh darah dan terdiri
atas jaringan penyambung yang halus serta dilalui pemmbuluh
darah yang memberi nutrisi pada jaringan saraf.
Astrosit susunan saraf pusat mempunyai ujung-ujung yang
berakhir sebagai end feet dalam piameter untuk membentuk
selaput pia-glia Selaput ini berfungsi untuk mencegah masuknya
bahan-bahan yang merugikan ke dalam susunan saraf pusat.
Piameter membentuk tela choroidea, atap ventriculus tertius
dan quartus dan menyatu dengan ependyma membentuk plexus

5
choroideus dalam ventriculus lateralis, tertius dan quartus
(Fitzgerald MJ, 2007).

Gambar 2.1. Penampang melintang lapisan pembungkus jaringan otak

2.1.2 Encephalon

Sedangkan encephalon adalah bagian sistem saraf pusat


yang terdapat di dalam cranium; terdiri atas proencephalon
(disebut juga forebrain yaitu bagian dari otak yang berkembang
dari anterior tiga vesikel primer terdiri atas diensefalon dan
telensefalon); mesencephalon (disebut juga brainstem yaitu bagian
dari otak yang berkembang dari bagian tengah tiga vesikel primer,
terdiri atas tektum dan pedunculus); dan rhombencephalon
(disebut juga hindbrain,terdiri atas metensefalon (serebelum dan
pons) dan mielensefalon (medulla oblongata) (Chusid JG, 1990).

6
Gambar 2.2 Bagian Otak
Sumber: http://brainconnection.positscience.com/topics/?main=gal/home

Gambar 2.3 Jaringan Otak (Encephalon)

2.2 Definisi

Meningoensefalitis adalah peradangan otak dan meningen,


nama lainnya yaitu cerebromeningitis, encephalomeningitis,
meningocerebritis (Dorlan, 2002). Meningitis adalah radang umum
pada araknoid dan piameter yang disebabkan oleh bakteri, virus,

7
riketsia, atau protozoa yang dapat terjadi secara akut dan kronis.
Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat
disebabkan oleh bakteri, cacing, protozoa, jamur, ricketsia, atau
18
virus. Meningitis dan ensefalitis dapat dibedakan pada banyak
kasus atas dasar klinik namun keduanya sering bersamaan
sehingga disebut meningoensefalitis. Alasannya yaitu selama
meningitis bakteri, mediator radang dan toksin dihasilkan dalam sel
subaraknoid menyebar ke dalam parenkim otak dan menyebabkan
respon radang jaringan otak. Pada ensefalitis, reaksi radang
mencapai cairan serebrospinal (CSS) dan menimbulkan gejala-
gejala iritasi meningeal di samping gejala-gejala yang berhubungan
dengan ensefalitis dan pada beberapa agen etiologi dapat
menyerang meninges maupun otak misalnya enterovirus (Shulman,
1994 dan Slaven, 2007). Meningitis dibagi menjadi dua golongan
berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak yaitu
meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa
adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai
cairan yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah
Mycobacterium tuberculosa, Toxoplasma gondii, Ricketsia dan
virus. Meningitis purulenta adalah radang bernanah araknoid dan
piameter yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya
antara lain: Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria
meningitidis (meningokok), Streptococcus haemolyticus,
Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli,
Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeuruginosa (Mansjoer,
Arif.,dkk, 2007).

8
2.3 Etiologi

Agen penyebab umum meningoensefalitis sebagai berikut :

Tabel 2.1. Etiologi Penyebab Meningoensefalitis (Shulman, 1994


dan Greenberg 2002)

9
10
11
Penyebab karena Mumpsvirus ditularkan melalui kontak
langsung, titik ludah atau muntahan penderita, serta dikeluarkan
melalui urin penderita yang terinfeksi. Penularan Mumpsvirus
terjadi sekitar 4 hari sebelum sampai 7 hari sesudah timbulnya
gejala klinik. Diperlukan kontak yang lebih erat dengan penderita
agar terjadi penularan Mumpsvirus, bila dibandingkan dengan
penularan virus Measles atau Varicella-zoster (Soedarto, 2004).
Penyebab karena Togavirus dalam siklus biologiknya
membutuhkan invertebrata/arthropoda pengisap darah, misalnya
nyamuk dan caplak. Infeksi pada manusia terjadi melalui gigitan
arthropoda, misalnya nyamuk yang mengandung Togavirus. Manusia
adalah hospes alami Herpes simpleks virus, namun banyak strain
yang patogenik terhadap berbagai hewan percobaan, misalnya kelinci,
tikus, marmot, anak ayam dan kera. Virus ini mencapai otak melalui
saraf olfaktoris, kemudian menyebar dari sel ke sel sehingga
menimbulkan nekrosis neuron yang luas (Soedarto, 2004). Ensefalitis
virus dibagi dalam 3 kelompok yaitu: ensefalitis primer yang bisa
disebabkan oleh infeksi virus kelompok Herpes simpleks, Virus
Influenza, ECHO, Coxsackie dan Arbovirus. Ensefalitis primer yang
belum diketahui penyebabnya dan ensefalitis para infeksiosa, yaitu
ensefalitis yang timbul sebagai komplikasi penyakit virus yang sudah
dikenal, seperti Rubela, Varisela, Herpes zooster, Parotitis epidemika,
Mononukleosis infeksiosa (Mardjono dan Priguna, S., 2009).
Virus penyebab meningoensefalitis memiliki variasi geografis
yang besar yaitu: di negara berkembang, penyebab terbesar yaitu
herpes simplex type-1 (HSV1), virus gondok, enterovirus, herpes
zooster, adenovirus dan virus Epstein –Barr. Di Amerika Serikat
terdapat ensefalitis St.Louis, West Nile virus, Eastern and Weastern
equine virus, Bunyavirus termasuk Virus Ensefalitis California. Di
Eropa Tengah dan Timur, Virus Ensefalitis Tick-born adalah endemis.

12
Herpes simpleks-type 2 merupakan penyebab penyakit paling banyak
pada neonatus. Di Asia, Ensefalitis Jepang adalah penyebab
ensefalitis yang paling banyak. Virus Valley fever di Afrika dan Timur
tengah, Amerika latin, dan berbagai belahan di dunia. Ensefalomieletis
pasca infeksi dapat mengikuti semua tetapi yang paling sering
dikaitkan dengan campak. Sindrom Guillane Barre telah dikaitkan
dengan infeksi Virus Epstein Barr, cytomegalovirus, coxsackie B,
Virus Herpes zooster. Pasien dengan imunodefisiensi sangat rentan
dengan virus tertentu yaitu orang-orang dengan sel imunitas yang
lemah termasuk pasien yang terinfeksi virus HIV dapat berkembang
menjadi ensefalitis yang disebabkan oleh Herpes zoster atau
Cytomegalovirus (Warlow C, 2006).
Pada umumnya invasi jamur ke dalam otak merupakan
penyebaran hematogen dari infeksi di paru-paru. Penyebaran
hematogen dari paru-paru ke otak dan selaputnya sebanding
dengan metastasis kuman tuberculosa ke ruang intrakranial, baik di
permukaan korteks maupun di arakhnoid dapat dibentuk
granuloma yang besar atau yang kecil, yang akhirnya berkembang
menjadi abses (Mardjono dan Priguna, S., 2009).
Penyebab karena bakteri yang mencapai cairan
serebrospinal akan memperbanyak diri dengan cepat karena
ruangan subaraknoid dan CSS tidak ada komplemen, antibodi
opsonin dan sel fagosit. Terbukti pada infeksi oleh H. influenzae
eksperimental, hanya memerlukan satu bakteri hidup untuk
memulai infeksi pada CSS. Bakteri Streptococcus dapat
menyebabkan meningitis pada semua kelompok umur, dan pada
penderita umur lebih dari 40 tahun merupakan agen penyebab
yang paling sering (Shulman, 1994).

13
2.4 Patofisiologi

Patofisiologi Meningitis
Sebagian besar kasus meningitis disebabkan oleh agen infeksi
yang telah menjajah atau membentuk infeksi lokal. Situs potensial
kolonisasi atau infeksi termasuk kulit, nasofaring, saluran pernapasan,
saluran gastrointestinal (GI), dan saluran genitourinari. Organisme
menginvasi submukosa di situs-situs ini dengan menghindari
pertahanan inang (misalnya, hambatan fisik, kekebalan lokal, dan
fagosit atau makrofag).
Agen infeksius (yaitu bakteri, virus, jamur, atau parasit)
dapat memperoleh akses ke SSP dan menyebabkan penyakit
meningeal melalui salah satu dari 3 jalur utama berikut:
• Invasi aliran darah (yaitu, bakteremia, viremia, fungemia,
atau parasitemia) dan penyemaian hematogen SSP
berikutnya
• Jalur retrograde neuronal (misalnya, penciuman dan saraf
perifer) (misalnya, Naegleria fowleri atau Gnathostoma
spinigerum)
• Penyebaran berdekatan langsung (misalnya, sinusitis,
otitis media, kelainan bawaan, trauma, atau inokulasi
langsung selama manipulasi intrakranial)

Invasi aliran darah dan penyemaian berikutnya adalah cara


penyebaran yang paling umum untuk sebagian besar agen. Jalur
ini adalah karakteristik meningitis meningokokus, kriptokokus,
sifilis, dan pneumokokus.
Jarang, meningitis timbul dari invasi melalui trombi septik
atau erosi osteomielitik dari struktur yang berdekatan yang
terinfeksi. Penyemaian meningeal juga dapat terjadi dengan
inokulasi bakteri langsung selama trauma, bedah saraf, atau

14
instrumentasi. Meningitis pada bayi baru lahir dapat ditularkan
secara vertikal, melibatkan patogen yang telah menjajah saluran
pencernaan atau genital ibu, atau secara horizontal, dari tenaga
perawat atau perawat di rumah.
Perluasan lokal dari infeksi ekstraserebral yang berdekatan
(misalnya, otitis media, mastoiditis, atau sinusitis) adalah penyebab
umum. Jalur yang mungkin untuk migrasi patogen dari telinga
tengah ke meninge meliputi yang berikut:
• Aliran darah
• Bidang jaringan yang dibentuk sebelumnya (mis. Fossa
posterior)
• Fraktur tulang temporal
• Membran jendela berbentuk oval atau bundar

Otak secara alami dilindungi dari sistem kekebalan tubuh


oleh penghalang yang diciptakan oleh meninges antara aliran darah
dan otak. Biasanya, perlindungan ini merupakan keuntungan
karena penghalang mencegah sistem kekebalan dari menyerang
otak. Namun, pada meningitis, sawar darah-otak dapat menjadi
terganggu; begitu bakteri atau organisme lain menemukan jalannya
ke otak, mereka agak terisolasi dari sistem kekebalan tubuh dan
dapat menyebar.
Ketika tubuh mencoba melawan infeksi, masalahnya dapat
memburuk; pembuluh darah menjadi bocor dan memungkinkan
cairan, sel darah putih, dan partikel penangkal infeksi lainnya
memasuki otak dan meninges. Proses ini, pada gilirannya,
menyebabkan pembengkakan otak dan pada akhirnya dapat
mengakibatkan penurunan aliran darah ke bagian-bagian otak,
memperburuk gejala-gejala infeksi.
Bergantung pada keparahan meningitis bakteri, proses
inflamasi mungkin tetap terbatas pada ruang subarachnoid. Dalam

15
bentuk yang kurang parah, penghalang pial tidak menembus, dan
parenkim yang mendasarinya tetap utuh. Namun, dalam bentuk
yang lebih parah dari meningitis bakteri, penghalang pial dilanggar,
dan parenkim yang mendasarinya diserang oleh proses inflamasi.
Dengan demikian, meningitis bakteri dapat menyebabkan
kerusakan kortikal luas, terutama jika tidak diobati.

Bakteri replikasi, peningkatan jumlah sel inflamasi,


gangguan yang diinduksi sitokin dalam transportasi membran, dan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan membran
melanggengkan proses infeksi pada meningitis bakteri. Proses-
proses ini menjelaskan perubahan karakteristik dalam jumlah sel
CSF, pH, laktat, protein, dan glukosa pada pasien dengan penyakit
ini.
Eksudat meluas ke seluruh CSF, khususnya ke tangki basal,
menghasilkan yang berikut:
• Kerusakan saraf kranial (mis., Saraf kranial VIII, dengan
gangguan pendengaran yang dihasilkan)
• Obliterasi jalur CSF (menyebabkan hidrosefalus obstruktif)
• Induksi vaskulitis dan tromboflebitis (menyebabkan
iskemia otak lokal)

Patofisiologi Encephalitis
Secara umum, virus bereplikasi di luar SSP dan memperoleh jalan
masuk ke SSP baik dengan penyebaran hematogen atau melalui
perjalanan sepanjang jalur saraf (misalnya, virus rabies, HSV,
VZV). Etiologi infeksi virus lambat, seperti yang terlibat dalam
panencephalitis subakut terkait campak (SSPE). Begitu melewati
sawar darah-otak, virus memasuki sel-sel saraf, dengan gangguan
yang terjadi pada fungsi sel, kemacetan perivaskular, perdarahan,

16
dan respons inflamasi difus yang secara tidak proporsional
memengaruhi matter abu-abu di atas matter putih. Regio tropis
yang terkait dengan virus tertentu disebabkan oleh reseptor
membran sel neuron yang hanya ditemukan di bagian tertentu dari
otak, dengan patologi fokus yang lebih kuat di area ini. Contoh
klasik adalah predileksi HSV untuk lobus temporal inferior dan
medial.
Berbeda dengan virus yang menyerang gray matter secara
langsung, ensefalitis diseminata akut dan ensefalomielitis
postinfectious (PIE), paling umum karena infeksi campak dan terkait
dengan virus Epstein-Barr (EBV) dan infeksi CMV, adalah proses yang
dimediasi imun yang menghasilkan demielinasi multifokal. materi putih
perivenous (Howes, 2018)
2.5 Manifestasi Klinis

Meningitis adalah proses peradangan pada meninges,


selaput yang mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang.
Ensefalitis adalah proses peradangan pada jaringan otak.
Penyebab meningitis dan ensefalitis meliputi virus, bakteri, jamur,
dan parasit. Gejala meningoencephalitis tergantung dari letak lesi
dari proses peradangan yang terjadi.
Gejala meningitis, yang mungkin muncul tiba-tiba, sering kali
meliputi:

- Demam tinggi (high fever)


- Sakit kepala yang parah dan persisten (severe and
persistent headache)
- Leher kaku (stiff neck)
- Mual (nausea)
- Sensitivitas terhadap cahaya terang (sensitivity to bright
light)

17
- Muntah (vomiting)
- Perubahan perilaku seperti kebingungan, mengantuk, dan
kesulitan bangun (changes in behavior such as confusion,
sleepiness, and difficulty waking up)
- Ruam yang khas biasanya terlihat pada beberapa jenis
meningitis.
- Tanda trias meningitis yaitu demam tinggi mendadak, sakit
kepala yang hebat, dan leher kaku/kaku kuduk;

Sedangkan gejala ensefalitis termasuk:


- Demam mendadak (sudden fever)
- Sakit kepala (headache)
- Muntah (vomiting)
- Sensitivitas tinggi terhadap cahaya (heightened sensitivity
to light)
- Leher dan punggung kaku (stiff neck and back)
- Kebingungan dan gangguan penilaian (confusion and
impaired judgment)
- Kantuk (drowsiness)
- Otot yang lemah (weak muscles)
- Gaya berjalan yang kikuk dan tidak stabil (a clumsy and
unsteady gait)
- Sifat lekas marah (irritability)
- Dalam kasus yang lebih parah, gangguan pembicaraan
atau pendengaran, masalah penglihatan, dan halusinasi (in
more severe cases, people may have problems with
speech or hearing, vision problems, and hallucinations)
- Dalam keadaan darurat termasuk kehilangan kesadaran,
kejang, kelemahan otot, atau demensia berat yang tiba-tiba

18
Pada bayi, gejala meningitis atau ensefalitis dapat meliputi
demam, muntah, lesu, kekakuan tubuh, iritabilitas yang tidak dapat
dijelaskan, dan fontanela yang penuh atau menggembung.

2.6 Diagnosis

2.6.1 Anamnesa

1. Anamnesis pada meningitis


Riwayat pada anak yang merupakan faktor resiko seperti:
semakin muda anak semakin kecil kemungkinan ia untuk
menunjukan gejala klasik yaitu demam, sakit kepala, dan
meningeal; trauma kepala; splenektomi; penyakit kronis;
dan anak dengan selulitis wajah, selulitis periorbital,
sinusitis, dan arthritis septic memiliki peningkatan risiko
meningitis.

• Meningitis pada periode neonatal dikaitkan dengan infeksi


ibu atau pireksia saat proses persalinan sedangkan
meningitis pada anak < 3 bulan mungkin memiliki gejala
yang sangat spesifik, termasuk hipertermia atau
hipotermia, perubahan kebiasaan tidur atau makan,
iritable atau kelesuan, muntah, menangis bernada tinggi,
atau kejang.
• Setelah usia 3 bulan, anak dapat menampilkan gejala
yang lebih sering dikaitkan dengan meningitis bakteri,
dengan demam, muntah , lekas marah, lesu, atau
perubahan perilaku
• Setelah usia 2-3 tahun, anak-anak mungkin mengeluh
sakit kepala, leher kaku, dan fotofobia

19
2. Anamnesis untuk meningoencephalitis viral
• Anak yang tidak mendapatkan imunisasi untuk campak,
gondok dan rubella beresiko mengalami
meningoencephalitis viral

3. Anamnesis untuk meningitis akibat infeksi jamur


• pasien immunocompromised beresiko mengalami
meningoencephalitis akibat infeksi jamur

4. Anamnesis untuk meningitis aseptik


• Terdapat riwayat mengkonsumsi obat biasanya obat anti-
inflammatory drugs (NSAID), IVIG, dan antibiotik. Gejala
mirip dengan meningitis virus. Gejala dapat terjadi dalam
beberapa menit menelan obat.

5. Anamnesis untuk ensefalitis


a. Informasi seperti musim tahun, perjalanan, kegiatan,
dan paparan dengan hewan membantu diagnosis.

2.6.2 Pemeriksaan Fisik

Temuan pada pemeriksaan fisik bervariasi berdasarkan


pada usia dan organisme penyebab infeksi. Penting untuk diingat
bahwa anak muda, jarang menunjukan gejala spesifik.
- Pada bayi muda temuan yang pasti mengarah ke meningitis
jarang spesifik:
a. Hipotermia atau mungkin bayi demam
b. Ubun-ubun membumbung, diastasis (pemisahan) pada
sutura, dan kaku kuduk tapi biasanya temuan ini muncul
lambat.
- Saat anak tumbuh lebih tua, pemeriksaan fisik menjadi lebih
mudah dicari.

20
a. tanda-tanda meningeal lebih mudah di amati (misalnya,
kaku kuduk, tanda kernig positif dan Brudzinski juga
positif)

Gambar 2.4: Gambar pemeriksaan brudzinski dan kernig

b. tanda fokal neurologis dapat ditemukan sampai dengan


15% dari pasien yang berhubungan dengan prognosis
yang buruk
c. Kejang terjadi pada 30% anak dengan meningitis bakteri
d. Kesadaran berkabut (obtundation) dan koma terjadi pada
15-20 % dari pasien dan lebih sering dengan meningitis
pneumokokus.
Dapat ditemukan tanda peningkatan tekanan intrakranial dan
pasien akan mengeluhkan sakit kepala, diplopia, dan muntah.
Ubun-ubun menonjol, ptosis, saraf cerebral keenam,
anisocoria, bradikardia dengan hipertensi, dan apnea adalah
tanda-tanda tekanan intrakranial meningkat dengan herniasi
otak. Papilledema jarang terjadi, kecuali ada oklusi sinus
vena, empiema subdural, atau abses otak.
Pada infeksi ensefalitis akut biasanya didahului oleh
prodrome beberapa hari gejala spesifik, seperti batuk, sakit
tenggorokan, demam, sakit kepala, dan keluhan perut, yang diikuti

21
dengan gejala khas kelesuan progresif, perubahan perilaku, dan
defisit neurologis. Anak-anak dengan ensefalitis juga mungkin
memiliki ruam makulopapular dan komplikasi parah, seperti
fulminant coma, transverse myelitis, anterior horn cell disease
(polio-like illness), atau peripheral neuropathy. Selain itu temuan
fisik yang umum ditemukan pada ensefalitis adalah demam, sakit
kepala, dan penurunan fungsi neurologis. Penurunan fungsi saraf
termasuk berubah status mental, fungsi neurologis fokal, dan
aktivitas kejang. Temuan ini dapat membantu mengidentifikasi jenis
virus dan prognosis. Misalnya akibat infeksi virus West Nile, tanda-
tanda dan gejala yang tidak spesifik dan termasuk demam,
malaise, nyeri periokular, limfadenopati, dan mialgia. Selain itu
terdapat beberapa temuan fisik yang unik termasuk makulopapular,
ruam eritematous; kelemahan otot proksimal, dan flaccid paralysis.

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Pungsi Pumbal

Bakteri meningitis ditandai dengan pleositosis neutrophilic,


cukup dengan protein tinggi nyata, dan glukosa rendah. Viral
meningitis ditandai dengan protein pleositosis limfositik ringan
sampai sedang, normal atau sedikit lebih tinggi, dan glukosa
normal. Sedangkan pada encephalitis menunjukkan pleositosis
limfositik, ketinggian sedikit kadar protein, dan kadar glukosa
normal. Peningkatan eritrosit dan protein CSF dapat terjadi
dengan HSV. Peningkatan protein yang ekstrim dan rendahnya
kadar glukosa menunjukan infeksi tuberkulosis, infeksi
kriptokokus, atau carcinomatosis meningeal.
Cairan serebrospinal harus dikultur untuk mengetahui
bakteri, jamur, virus, dan mikobakteri yang menginfeksi. PCR

22
digunakan untuk mendiagnosis enterovirus dan HSV karena
lebih sensitif dan lebih cepat dari biakan virus. Leukositosis
biasanya umum ditemukan. Kultur darah positif pada 90%
kasus. Lumbal pungsi tidak dilakukan bila terdapat edema papil,
atau terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Pada kasus
seperti ini, pungsi lumbal dapat ditunda sampai kemungkinan
massa dapat disingkirkan dengan melakukan pemindaian CT
scan atau MRI kepala.
a. Pada meningitis purulenta, diperoleh hasil
pemeriksaan cairan serebrospinal yang keruh
karena mengandung pus, nanah yang merupakan
campuran leukosit yang hidup dan mati, jaringan
yang mati dan bakteri.
b. Infeksi yang disebabkan oleh virus, terjadi
peningkatan cairan serebrospinal, biasanya disertai
limfositosis ringan, peningkatan protein, dan kadar
glukosa yang normal.
c. Penyebab dengan Mycobakterium tuberkulosa pada
pemeriksaan cairan otak ditemukan adanya protein
meningkat, warna jernih, tekanan meningkat, glukosa
menurun, klorida menurun
d. Pemeriksaan cairan serebrospinal pada amuba
meningoensefalitis yang diperiksa secara
mikroskopik, mungkin dapat ditemukan trofozoit
amuba.

Penyebab dengan Toxoplasma gondii didapat protein


yang meningkat, kadar glukosa normal atau turun. Penyebab
dengan Criptococcal, tekanan cairan otak normal atau
meningkat, protein meningkat, kadar glukosa menurun.

23
Tabel 2.2 Temuan pada pemeriksaan cairan serebrospinal pada
beberapa gangguan sistem saraf pusat

24
2. Pemeriksaan darah
a. Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah
dan jenis leukosit, kadar glukosa, kadar ureum. Pada
meningitis purulenta didapatkan peningkatan leukosit
dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis, biasanya
terdapat kenaikan jumlah leukosit. Gangguan elektrolit
sering terjadi karena dehidrasi. Di samping itu hiponatremia
dapat terjadi akibat pengeluaran hormon ADH (Anti Diuretic
Hormon) yang menurun.
b. Pada Mycobacterium tuberculosa, leukosit
meningkat sampai 500/mm3 dengan sel mononuklear yang
dominan, pemeriksaan pada darah ditemukan jumlah
leukosit meningkat sampai 20.000, dan test tuberkulin sering
positif.

3. Pemeriksaan Radiologis
a. CT scan dan Magnetic Resonance Maging (MRI)
otak dapat menyingkirkan kemungkinan lesi massa dan
menunjukkan edema otak.
b. Elektroensefalografi (EEG) menunjukkan kelainan
dengan bukti disfungsi otak difus. Pemeriksaan
Electroencephalogram (EEG) dapat mengkonfirmasi
komponen ensefalitis. EEG adalah tes definitif dan
menunjukkan aktivitas gelombang lambat, walaupun
perubahan fokal mungkin ada. Studi neuroimaging mungkin
normal atau mungkin menunjukkan pembengkakan otak difus
parenkim atau kelainan fokal.

25
2.7 Diagnosa Banding

Beberapa diagnosis banding untuk meningoencephalitis adalah


1. Kejang demam
2. Meningitis
3. Encephalitis
4. Intracranial abscess
5. Sekuele dari edema otak

6. Infark cerebral
7. Perdarahan cerebral
8. Vaskulitis
9. Measles
10. Mumps

2.8 Tatalaksana

Penatalaksanaan pada pasien dengan meningoensefalitis


yaitu :
a. Antibiotik
b. Pengurangan cahaya ruangan, kebisingan dan tamu.
c. Nyeri kepala diatasi dengan istirahat dan analgesik
d. Asetamenofen dianjurkan untuk demam
e. Kodein, morfin dan derivat fenotiazin untuk nyeri dan
muntah
f. Perawatan yang baik dan pantau dengan teliti (Nelson,
2010).

Sedangkan menurut Linda (2009), penatalaksanaan pada


kasus meningoensefalitis yaitu anak ditempatkan dalam ruang isolasi
pernapasan sedikitnya selama 24 jam setelah mendapatkan terapi
antibiotic IV yang sensitif terhadap organisme penyebab, steroid dapat
diberikan sebagai tambahan untuk mengurangi proses inflamasi,

26
terapi hidrasi intravena diberikan untuk mengoreksi
ketidakseimbangan elektrolit dan memberikan hidrasi. Dalam
pemberian cairan ini perlu dilakukan pengkajian yang sering utuk
memantau volume cairan yang diinfuskan untuk mencegah komplikasi
kelebihan cairan, seperti edema serebri. Pengobatan kemudian
ditujukan untuk mengidentifikasi dan mengatasi komplikasi dari proses
penyakit.

 Terapi meningitis bacterial


 Terapi antibiotik yang digunakan harus dapat menembus
sawar darah otak, contohnya rifampicin, chloramphenicol,
dan quinolones (konsentrasi serum sekitar 30%-50%)
 Terapi antibiotik diberikan secepatnya setelah didapatkan
hasil kultur.
 Pada orang dewasa, Benzyl penicillin G dengan dosis 1-2
juta unit diberikan secara intravena setiap 2 jam.
 Pada anak dengan berat badan 10-20 kg. Diberikan 8 juta
unit/hari, anak dengan berat badan kurang dari 10 kg
diberikan 4 juta unit/hari.
 Ampicillin dapat ditambahkan dengan dosis 300-400
mg/KgBB/hari untuk dewasa dan 100-200 mg/KgBB/ untuk
anak-anak.
 Untuk pasien yang alergi terhadap penicillin, dapat diberikan
sampai 5 hari bebas panas.

 Terapi meningitis TB
 Diberikan prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu
kemudian penurunan dosis (tapering-off) selama 8 minggu
sehingga pemberian prednison keseluruhan tidak lebih dari
2 bulan.

27
 Terapi meningitis viral
 Diberi anti emetik seperti ondansetron dosis dewasa 4-8 mg
IV tiap 8jam, dosis pediatrik 0,1 mg/kg IV lambat max 4
mg/dosis dan dapat diulang tiap 12 jam
 Diberi antiviral seperti acyclovir, diberikan secepatnya ketika
didiagnosis herpetic meningoencephalitis, dosis dewasa 30
mg/kg IV tiap 8 jam Terapi meningitis jamur
 Meningitis kriptokokus diobati dengan obat antijamur. Dapat
digunakan :
 Flukonazol, obat ini tersedia dengan bentuk pil atau infus
 Jika pasien intoleran dengan flukonazol dapat digunakan
dengan amfoterisin B dan kapsul flusitosin. Mempunyai efek
samping besar pada amfoterisin B, dapat diatasi dengan
pemberian ibuprofen setengah jam sebelum amfoterisin B
dipakai.

 Terapi suportive
 Memelihara status hidrasi dengan larutan infuse elektrolit
dan oksigenasi
 Direkomendasikan pemberian heparin 5000-10.000 unit
diberikan dengan pemberian cepat secara intravena dan
dipertahankan pada dosis yang cukup untuk
memperpanjang clotting time dan partial thromboplastin
time menjadi 2 atau 3 kali harga normal.
 Untuk mengontrol kejang diberikan antikonvulsan,
contohnya Fenitoin 5 mg/kg/24 jam, 3 kali sehari.
 Jika demam diberikan Antipiretika : parasetamol atau
salisilat 10 mg/kg/dosis

28
 Pada udem cerebri dapat diberikan osmotik diuretik atau
corticosteroid, tetapi hanya bila didapatkan tanda awal dari
impending herniasi.

2.9 Prognosis

Prognosis meningoensefalitis bergantung pada kecepatan dan


ketepatan pertolongan, di samping itu perlu dipertimbangkan pula
mengenai kemungkinan penyulit seperti hidrosefalus, gangguan
mental, yang dapat muncul selama perawatan. Bila meningoensefalitis
(tuberkulosa) tidak diobati, prognosisnya jelek sekali. Penderita dapat
meninggal dalam waktu 6-8 minggu. Angka kematian pada
umumnya 50%. Prognosisnya jelek pada bayi dan orang tua.
Prognosis juga tergantung pada umur dan penyebab yang
mendasari, antibiotik yang diberikan, hebatnya penyakit pada
permulaannya, lamanya gejala atau sakit sebelum dirawat, serta
adanya kondisi patologik lainnya (Beaglehole,et.al 1997). Tingkat
kematian virus mencakup 40-75% untuk herpes simpleks, 10-20%
untuk campak, dan 1% untuk gondok (Harsono. 2005).
Penyakit pneumokokus juga lebih sering menyebabkan
gejala sisa jangka panjang (kurang dari 30% kasus) seperti
hidrosefalus, palsi nervus kranials, defisit visual dan motorik, serta
epilepsi (Ginsberg, L. 2007). Gejala sisa penyakit terjadi pada kira-
kira 30% penderita yang bertahan hidup, tetapi juga terdapat
predileksi usia serta patogen, dengan insidensi terbesar pada bayi
yang sangat muda serta bayi yang terinfeksi oleh bakteri gram
negatif dan S. pneumoniae. Gejala neurologi tersering adalah tuli,
yang terjadi pada 3-25% pasien; kelumpuhan saraf kranial pada 2-
7% pasien; dan cedera berat seperti hemiparesis atau cedera otak
umum pada 1-2% pasien. Lebih dari 50% pasien dengan gejala
sisa neurologi pada saat pemulangan dari rumah sakit akan

29
membaik seiring waktu, dan keberhasilan dalam implan koklea
belum lama ini memberi harapan bagi anak dengan kehilangan
pendengaran (Rudolp, et.al 2006).

30
BAB 3
KESIMPULAN

Meningoensefalitis berarti peradangan pada otak


(encephalon) dan selaput pembungkusnya (meningen). Bakteri,
jamur, dan proses autoimun dapat menyebabkan ensefalitis, tetapi
pada kebanyakan kasus etiologinya adalah virus. Virus herpes
simpleks (HSV) menjadi penyebab tersering dari ensefalitis. Gejala
umum yang terjadi adalah lemah, malaise, demam, sakit kepala,
pusing, mual-muntah, fotofobia, nyeri ekstermitas, tanda
nasofaringitis, halusinasi, kejang, gangguan kesadaran.
Penatalaksaan pada meningoensefalitis adalah dengan
menggilangkan gejala-gejala yang ada dan memberikan obat
sesuai faktor penyebab, yaitu antibakteri atau antivirus. Pada
banyak kasus, penderita meningitis yang ringan dapat sembuh
sempurna walaupun proses penyembuhan memerlukan waktu
yang lama. Sedangkan pada kasus yang berat, dapat terjadi
kerusakan otak dan saraf secara permanen, dan biasanya
memerlukan terapi jangka panjang.

31
DAFTAR PUSTAKA

Beaglehole,R.,dkk. 1997. Dasar-Dasar Epidemiologi. Gadjah Mada


University Press, Yogyakarta.
Betz, C.L dan Linda A.S. 2009. Mosby’s Pediatric Nursing
Reference by Cecily Lynn Betz dan Linda A. Sowden. New
York: Elsevier
Dorlan, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC, Jakarta.
Chusid JG, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional
Bagian Satu, Gajah Mada University Press, Jogjakarta, 1990;
150-190
Fitzgerald MJ, Gruener G, Mtui E, Clinical Neuroanatomy and
Neuroscience Fifth edition International edition, Saunders
Elsevier, British, 2007; 225-257
Ginsberg, L. 2007. Lecture Notes Neurologi. Edisi Delapan.
Erlangga, Jakarta.
Harsono. 2005. Kapita Selekta Neurologi. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Howes, David S. 2018. Enchepalitis. Medscape Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/791896-
overview#a0101 (diakses tanggal 14 Februari 2019)
Mansjoer, Arif.,dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Media
Aesculapis, Jakarta.
Meningitis and Encephalitis. U.S. DEPARTMENT OF HEALTH
AND HUMAN SERVICES Public Health Service National
Institutes of Health. Prepared by: Office of Communications
and Public Liaison National Institute of Neurological Disorders
and Stroke https://catalog.ninds.nih.gov/pubstatic/04-4840/04-
4840.pdf
https://www.ninds.nih.gov/Disorders/All-Disorders/Meningitis-

32
and-Encephalitis-Information-Page (diakses tanggal 10
Februari 2019)
Nelson, Behrman, Kliegman, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Nelson
edisi 15 vol 1. Jakarta : EGC, 2010.
Rudolp, M. Abraham,dkk. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolp.
Vol.1.Kedokteran EGC, Jakarta.

Shulman, T Stanford. 1994. Dasar Biologis dan Klinis Penyakit


Infeksi. Gadjah Mada University, Yogyakarta.
Slaven, Ellen M.,dkk. 2007. Infectious Diseases:Emergency
Departement Diagnosis and Management. Edisi Pertama.
McGraw-Hill, North America.
Greenberg, David. 2002. A lange Medical Book Clinical Neurology.
Edisi 5. Mc Graw-Hill, United States.
Soedarto. 2004. Sinopsis Virologi Kedokteran. Airlangga University
Press, Surabaya.
Warlow, Charles. 2006. The Lancet Handbook of Treatment in
Neurology.Elsevier, USA.

33

Anda mungkin juga menyukai