Anda di halaman 1dari 19

REFERAT KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

SUBDURAL HEMATOMA

Disusun Oleh:
Helenia Putri 01073200145
Jessica Clarensia 01073200144
Michael Christian 01073200143
Natalie Angelina 01073200140
Raynard Jonathan 01073200142
Usha Wijay Kumar Chugani 01073200146
Vivian Eillen 01073200181
Yeshiza Khosasih 01073200182

Penguji:
Dr. dr Lutfi Hendriansyah, Sp.BS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE
RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE AGUSTUS - OKTOBER 2021
TANGERANG
BAB I
PENDAHULUAN

Hematoma subdural (SDH) adalah kumpulan darah di bawah lapisan dalam dura
tetapi di luar otak dan membran arachnoid. Hematoma subdural adalah jenis lesi massa
intrakranial traumatis yang paling umum. Hematoma subdural terjadi tidak hanya pada pasien
dengan cedera kepala berat tetapi juga pada pasien dengan cedera kepala ringan, terutama
mereka yang berusia lanjut atau yang menerima antikoagulan.
Hematoma subdural juga dapat terjadi secara spontan atau disebabkan oleh suatu
prosedur, seperti pungsi lumbal. Tingkat mortalitas dan morbiditas bisa tinggi, bahkan dengan
perawatan medis dan bedah saraf terbaik. Hematoma subdural biasanya dicirikan berdasarkan
ukuran dan lokasinya serta jumlah waktu yang telah berlalu sejak usia kejadian pemicu
(yaitu, apakah akut, subakut, atau kronis). Ketika peristiwa pemicu tidak diketahui,
penampilan hematoma pada studi neuroimaging dapat membantu menentukan kapan
hematoma terjadi. Faktor-faktor ini, serta kondisi neurologis dan medis pasien, menentukan
jalannya pengobatan dan juga dapat mempengaruhi hasilnya.
Umumnya, hematoma subdural akut berusia kurang dari 72 jam dan hiperdens
dibandingkan dengan otak pada pemindaian tomografi komputer. Fase subakut dimulai 3-7
hari setelah cedera akut. Hematoma subdural kronis berkembang selama berminggu-minggu
dan hipodens dibandingkan dengan otak. Namun, hematoma subdural dapat bersifat
campuran, seperti ketika perdarahan akut telah terjadi menjadi hematoma subdural kronis.
Presentasi sangat bervariasi pada hematoma subdural akut. Banyak dari pasien ini koma saat
masuk.
Namun, sekitar 50% pasien dengan cedera kepala yang memerlukan bedah saraf
darurat datang dengan cedera kepala yang diklasifikasikan sebagai sedang atau ringan (skor
Skala Koma Glasgow 9-13 dan 14-15, masing-masing). Banyak dari pasien ini memiliki lesi
massa intrakranial. Dalam sejumlah besar pasien yang mengalami hematoma intrakranial
yang membutuhkan dekompresi darurat, lebih dari setengahnya memiliki interval jernih dan
mampu membuat percakapan antara waktu cedera dan perburukan berikutnya. Dalam
tinjauan literatur yang lebih komprehensif tentang perawatan bedah hematoma subdural akut,
hematoma subdural akut umumnya dikaitkan dengan cedera otak primer yang luas. Dalam
satu penelitian, 82% pasien koma dengan hematoma subdural akut mengalami memar
parenkim.Tingkat keparahan cedera parenkim difus menunjukkan korelasi terbalik yang kuat
dengan hasil akhir pasien. Untuk mengetahui fakta ini, hematoma subdural yang tidak
berhubungan dengan cedera otak yang mendasari kadang-kadang disebut hematoma subdural
sederhana atau murni. Istilah rumit telah diterapkan pada hematoma subdural di mana cedera
signifikan dari otak yang mendasarinya juga telah diidentifikasi.
Hematoma subdural akut adalah jenis hematoma intrakranial traumatis yang paling
umum, terjadi pada 24% pasien yang mengalami koma. Jenis cedera kepala ini juga sangat
terkait dengan kerusakan otak yang tertunda, yang kemudian ditunjukkan pada CT scan.
Presentasi seperti itu menandakan hasil yang buruk, dan angka kematian secara keseluruhan
biasanya dikutip sekitar 60%. Trauma yang signifikan bukan satu-satunya penyebab
hematoma subdural. Hematoma subdural kronis dapat terjadi pada orang tua setelah trauma
kepala yang tampaknya tidak signifikan. Seringkali, peristiwa sebelumnya tidak pernah
dikenali. Hematoma subdural kronis adalah penyebab umum demensia yang dapat diobati.
Sebagian kecil kasus hematoma subdural kronis berasal dari hematoma subdural akut yang
telah matang (yaitu, cair) karena kurangnya pengobatan.
Untuk sebagian besar, referat ini membahas hematoma subdural akut dan kronis;
sedikit informasi yang tersedia tentang hematoma subdural subakut yang kurang umum.
Hematoma subdural atraumatik dan higroma subdural dibahas secara singkat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Subdural hematoma (SDH) merupakan akumulasi darah yang tidak normal di antara
duramater dan arachnoid (ruang subdural). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya
“bridging vein” yang tertarik ketika terjadi trauma akselerasi atau deselerasi pada otak. SDH
umumnya paling sering terjadi pada permukaan lateral bagian atas hemisfer dan sebagian di
daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging vein”.
SDH dapat dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi, tergantung pada
ukuran hematom dan kelainan lain yang terkait dengan kerusakan otak. Semakin cepat
diatasi, maka semakin tinggi harapan pulih.

2.2 Epidemiologi
Mortalitas/morbiditas SDH akut telah dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien dengan
cedera kepala berat, tergantung pada penelitian. Insiden tahunan SDH kronis telah dilaporkan
1-5,3 kasus per 100.000 penduduk. Studi yang lebih baru menunjukkan insiden yang lebih
tinggi, mungkin karena teknik pencitraan yang lebih baik. Perbedaan terkait usia dan jenis
kelamin dalam insiden secara keseluruhan, SDH lebih sering terjadi pada pria dibandingkan
pada wanita, dengan rasio pria:wanita sekitar 3:1.
Pria juga memiliki insiden SDH kronis yang lebih tinggi. Rasio pria:wanita telah
dilaporkan 2:1. Insiden SDH kronis tampaknya paling tinggi pada dekade kelima sampai
ketujuh kehidupan. Satu studi retrospektif melaporkan bahwa 56% kasus terjadi pada pasien
pada dekade kelima dan keenam; studi lain mencatat bahwa lebih dari setengah dari semua
kasus terlihat pada pasien yang lebih tua dari 60 tahun. Insiden tertinggi, 7,35 kasus per
100.000 penduduk, terjadi pada orang dewasa berusia 70-79 tahun. Adhesi yang ada di ruang
subdural tidak ada saat lahir dan berkembang seiring bertambahnya usia; oleh karena itu,
SDH bilateral lebih sering terjadi pada bayi. SDH interhemispheric sering dikaitkan dengan
kekerasan pada anak.

2.3 Klasifikasi
Berdasarkan Brain Trauma Foundation, SDH dibagi menjadi lesi akut, subakut, dan
kronik. Brain Trauma Foundation mendefinisikan SDH akut sebagai SDH yang didiagnosis
dalam waktu kurang dari 3 hari setelah cedera otak traumatik. Bila dalam jangka waktu 4-21
hari maka disebut sebagai SDH subakut, sedangkan bila >3 minggu hari maka disebut
sebagai SDH kronis. Berdasarkan waktu kejadian dan gambaran CT Scan, SDH terbagi
menjadi 3 bagian:

Gambar 1. Klasifikasi SDH


SDH akut merupakan tipe hematoma intrakranial dimana 24% pasien mengalami
koma. Jika pasien sudah koma, angka kematian meningkat menjadi 60%. SDH akut dapat
terjadi ketika seseorang mengalami cedera benturan kepala yang cukup berat. Hal ini dapat
mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang sudah mengalami gangguan
kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat <5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada
gambaran CT-Scan didapatkan lesi hiperdens berbentuk cekung.
Pada SDH subakut akan ditemukan adanya campuran bekuan darah dan cairan darah.
Perdarahan dapat lebih tebal namun belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada
gambaran CT-Scan didapatkan lesi isodens atau hipodens berbentuk cekung. Lesi isodens
dapat terlihat akibat terjadinya lisis dari sel darah merah dan reabsorpsi dari hemoglobin.
Gejala pada pasien dengan SDH kronik dapat muncul dalam waktu
berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah trauma ringan atau trauma yang tidak jelas,
bahkan hanya terbentur ringan saja dapat mengakibatkan perdarahan apabila pasien juga
mengalami gangguan pembekuan darah. Klinisi harus berhati-hati karena hematoma pada
SDH kronik lama-lama bisa membesar secara perlahan dan dapat menyebabkan penekanan
dan herniasi. Pada SDH kronik akan ditemukan kapsula jaringan ikat yang mengelilingi
hematoma yang lebih baru, kapsula belum terbentuk atau tipis pada daerah arachnoid.
Kapsula akan melekat pada arachnoid bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini
mengandung pembuluh darah dengan dinding yang tipis terutama pada sisi duramater. Karena
dindingnya yang tipis, protein dari plasma darah dapat tembus dan meningkatkan volume
hematoma. Pembuluh darah baru ini dapat pecah dan menyebabkan hematoma baru. Darah di
dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan
subarachnoid. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seperti pada pasien
dengan tumor serebri. Sebagian besar SDH kronik ditemukan pada pasien >50 tahun. Pada
gambaran CT-Scan ditemukan lesi hipodens yang berbentuk cekung.

Gambar 2. Perbedaan tipe-tipe SDH dalam gambaran CT-Scan

2.4 Etiologi
SDH umumnya paling sering disebabkan oleh trauma berupa benturan tiba-tiba yang
mengguncang tengkorak. Trauma tersebut dapat menyebabkan pergeseran otak di dalam
tengkorak sehingga dapat menyebabkan robeknya pembuluh darah kecil yang menjembatani
antara tengkorak dan otak (bridging vein). Ukuran dan lokasi pembuluh darah yang robek
dapat menyebabkan perdarahan cepat sehingga pasien cepat kolaps atau gejala keluar lebih
lambat yaitu beberapa hari setelah trauma. Trauma tidak selalu harus berupa pukulan
langsung ke kepala. Sekitar setengah dari pasien SDH kronis dilaporkan jatuh tanpa
membentur kepala.
Meskipun jarang, SDH juga dapat terjadi tanpa adanya trauma. Pembuluh darah yang
tidak normal, keadaan dehidrasi, kanker, dan gangguan pembekuan darah dapat menyebabkan
SDH spontan. Faktor lain yang mungkin dapat menyebabkan terjadinya SDH tanpa trauma
adalah penggunaan kokain serta steroid anabolik yang merupakan obat pembekuan darah
yang umumnya digunakan dalam pembentukan tubuh.

SDH akut SDH kronik

● Trauma kepala (jatuh, kecelakaan lalu ● Trauma kepala


lintas, penyerangan) ● SDH akut dengan atau tanpa intervensi
● Gangguan faktor perdarahan atau operasi
orang-orang yang mengkonsumsi obat Faktor risiko:
antikoagulan (warfarin, heparin, ● Alkoholisme kronik
hemofilia, gangguan hepar, ● Koagulopati
trombositopenia) ● Terapi antikoagulan (termasuk aspirin)
● Perdarahan intrakranial non-traumatik ● Penyakit kardiovaskuler (hipertensi,
(aneurisma serebri, arteri-vena aterosklerosis)
malformasi, tumor) ● Trombositopenia
● Post operasi (kraniotomi, CSF ● Diabetes Melitus
shunting)
● Shaken baby syndrome (pediatri)

Tabel 1. Etiologi SDH Akut dan Kronik


Gangguan perdarahan, terapi koagulan oral, trombositopenia, dan konsumsi alkohol
jangka panjang lebih banyak ditemukan pada pasien yang lebih muda. Kista arachnoid sering
dikaitkan dengan SDH kronik pada pasien <40 tahun. Penyakit jantung dan hipertensi lebih
banyak ditemukan pada pasien yang lebih tua. Menurut penelitian terdahulu, 16% pasien
dengan SDH kronik mendapatkan terapi aspirin. Gejala dehidrasi berat hanya ditemukan pada
2% pasien dengan SDH kronik. Selain itu, pada pasien >60 tahun didapatkan atrofi serebri
yang menyebabkan “bridging vein” menjadi tegang sehingga memungkinkan terjadinya
cedera.

2.5 Patofisiologi
SDH umumnya disebabkan oleh suatu mekanisme cedera akselerasi-deselerasi
dimana terjadi akselerasi kepala pada bidang sagital dari posterior ke anterior dan deselerasi
kepala dari anterior ke posterior akibat dari perbedaan arah gerak antara otak terhadap
fenomena mendasar dari keadaan otak yang dapat bergerak bebas di dalam rongga tengkorak
dalam batas-batas tertentu. Ketika terjadi cedera akselerasi, otak akan tertinggal di belakang
tengkorak untuk beberapa waktu yang singkat. Sehingga, otak relatif bergeser terhadap tulang
tengkorak dan duramater yang mengakibatkan terjadinya cedera pada permukaan terutama
“bridging vein”.
Mekanisme ini juga sering dikaitkan dengan kontusio, edema otak, dan diffuse axonal
injury. Robeknya “bridging vein” antara permukaan korteks sampai sinus duramater
merupakan penyebab SDH yang paling sering terjadi. SDH seringkali terjadi sebagai akibat
dari trauma yang relatif kecil. Anak-anak memiliki risiko besar untuk menderita SDH karena
anak-anak memiliki vena-vena yang lebih halus, selain itu orang dewasa dengan atrofi otak
juga memiliki risiko besar menderita SDH karena pada keadaan atrofi otak “bridging vein”
menjadi lebih panjang. Secara alternatif, suatu pembuluh darah kortikal dapat terganggu
akibat cedera akselerasi langsung. Pada SDH akut, robeknya arteri kortikal mungkin
berhubungan dengan cedera ringan dan tidak terdapat kontusio.

Gambar 3. Tipe-tipe Trauma Kepala


SDH seringkali disebabkan oleh perdarahan vena sehingga darah yang terkumpul
hanya 100-200cc saja. Perdarahan vena umumnya berhenti karena adanya tamponade
hematoma sendiri. Setelah 5-7 hari hematoma mulai melakukan reorganisasi dan akan selesai
dalam 10-20 hari. Darah yang diserap nantinya akan meninggalkan jaringan yang kaya akan
pembuluh darah. Pada jaringan tersebut dapat timbul lagi perdarahan kecil yang
menimbulkan hiperosmolalitas SDH dan pembentukan kantung subdural yang penuh dengan
cairan dan sisa darah (higroma).
Pada kasus-kasus cedera kepala berat, sebanyak 82% pasien memiliki tekanan
intrakranial (TIK) >10 mmHg dan 44% pasien memiliki TIK >20 mmHg. Nilai TIK normal
berkisar antara 10-15 mmHg. Tingginya TIK memiliki kaitan erat dengan prognosis buruk
bagi penderita. Peningkatan TIK >10 mmHg dikategorikan sebagai keadaan patologis atau
dapat disebut sebagai hipertensi intrakranial, yang berpotensi merusak otak dan berakibat
fatal. Secara garis besar, kerusakan otak akibat peningkatan TIK dapat terjadi melalui 2
mekanisme, yaitu sebagai akibat dari gangguan aliran darah ke serebral dan sebagai akibat
dari proses mekanisme pergeseran otak yang kemudian menimbulkan distorsi dan herniasi
otak.
Gambar 4. Patofisiologi SDH
2.6 Anamnesis
Hematoma subdural traumatik akut sering terjadi akibat jatuh, kekerasan, atau
kecelakaan kendaraan bermotor. Curigailah hematoma subdural akut setiap kali pasien
mengalami trauma kepala tumpul sedang sampai berat. Presentasi klinis tergantung pada
lokasi lesi dan kecepatan perkembangannya. Seringkali, pasien mengalami koma pada saat
cedera. Sebagian pasien tetap sadar; yang lain memburuk secara tertunda saat hematoma
meluas. Pasien yang ditemukan memiliki hematoma subdural akut biasanya lebih tua dari
pasien lain dengan trauma. Dalam sebuah penelitian, usia rata-rata pasien dengan trauma
tetapi tanpa hematoma subdural akut adalah 26 tahun, sedangkan usia rata-rata pasien dengan
hematoma subdural akut adalah 41 tahun.
Oleh karena itu, pasien yang lebih tua tampaknya memiliki risiko lebih besar untuk
mengalami hematoma subdural akut setelah cedera kepala. Hal ini diyakini berasal dari
pasien yang lebih tua yang memiliki lebih banyak atrofi otak, yang memungkinkan lebih
banyak gaya geser terhadap bridging vein segera setelah benturan. Hematoma subdural
subakut didefinisikan secara sewenang-wenang sebagai yang muncul antara 4 dan 21 hari
setelah cedera. Hematoma subdural kronis didefinisikan secara sewenang-wenang sebagai
hematoma yang muncul 21 hari atau lebih setelah cedera. Angka-angka ini tidak mutlak, dan
klasifikasi hematoma subdural yang lebih akurat biasanya didasarkan pada karakteristik
pencitraan.
Seperempat hingga setengah pasien dengan hematoma subdural kronis tidak memiliki
riwayat trauma kepala yang dapat diidentifikasi. Jika pasien memang memiliki riwayat
trauma kepala, biasanya ringan. Dari pasien yang mengalami cedera kepala, gejala
berkembang setelah 1-4 minggu pada 25%. 25% lainnya mengalami gejala dari 5 minggu
hingga 3 bulan sebelum masuk rumah sakit. Hanya sepertiga pasien yang tidak mengalami
periode asimtomatik. Presentasi klinis untuk hematoma subdural kronis seringkali berbahaya,
dengan gejala yang meliputi: Tingkat kesadaran menurun, sakit kepala, kehilangan
keseimbangan, gangguan kognitif atau memori, gangguan kepribadian, defisit motor, dan
afasia.
Hematoma subdural kronis mungkin memiliki presentasi yang mirip dengan penyakit
Parkinson. Sebuah presentasi akut juga mungkin, seperti dalam kasus pasien yang datang
dengan kejang. Sakit kepala dan kebingungan tampaknya merupakan gambaran yang paling
umum, terjadi pada masing-masing sebanyak 90% dan 56% kasus. Dalam 75% kasus, sakit
kepala memiliki setidaknya satu dari karakteristik berikut: Onset tiba-tiba sakit parah disertai
mual dan muntah, eksaserbasi dengan batuk, mengejan, atau berolahraga. Perlu ditanyakan
juga mengenai riwayat penyakit terdahulu dan juga obat-obatan yang rutin dikonsumsi.

2.7 Pemeriksaan Fisik


Pasien SDH biasanya datang dengan riwayat trauma, maka perlu dilakukan primary
survey dan secondary survey pada pasien dengan riwayat trauma. Kemudian lakukan
pemeriksaan fisik, pada pemeriksaan fisik status mental/ GCS (Glasgow Coma Scale) akan
menurun (pasien tampak kebingungan, lemas, dan iritabilitas), pola pernapasan pasien
abnormal, adanya episode apnea, muntah, gerakan abnormal, dan kejang. Periksa fungsi
motorik pasien pada kedua sisi perhatikan adanya postur dekortikasi dan deserebrasi,
perhatikan apakah pasien mampu mengikuti perintah, melokalisir nyeri, atau menunjukkan
fleksi abnormal sebagai respon nyeri. Periksa reaktivitas pupil pasien dan apakah terdapat
isokor/anisokor pada pasien dengan SDH. Pada subdural hematoma pasien biasanya akan
mengalami lucid-interval periode dimana pasien akan mengalami perbaikan sebelum
akhirnya mengalami perburukan hingga koma yang disebabkan karena terjadinya
pembentukan dari hematoma. Temuan lain pada pemeriksaan fisik seperti hemiparese (bisa
kontralateral dan ipsilateral), gangguan keseimbangan atau berjalan, disfagia, dan gejala lain
yang lebih jarang yaitu kaku leher dan ataksia. Hemiparesis dapat ditemukan ipsilateral bila
terjadi kompresi batang otak kontralateral karena hematoma terhadap tepi tentorium cerebelli
(fenomena Kernohan notch). Periksa juga tanda-tanda trauma di daerah tubuh lain

https://ezproxy.library.uph.edu:2206/content.aspx?sectionid=198008223&bookid=1477#2151
42640
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532970/#article-29623.s7

2.8 Pemeriksaan Penunjang


a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk pasien dengan SDH seperti
tes darah lengkap, hemoglobin dan hematokrit, profil koagulasi, basic metabolic
panel, tipe golongan darah dan crossmatch. Pada pasien dengan SDH akut, dapat
mengalami adanya anemia karena akumulasi darah pada ruang subdural. Pada pasien
dengan SDH kronik, platelet berkurang, menandakan terjadinya koagulopati. Pada
pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan protrombin yang memanjang, penurunan
fibrinogen, dan peningkatan produk degradasi fibrin. Basic metabolic panel dapat
menunjukkan adanya hiperkalemia yang disebabkan dari pemecahan sel darah merah
yang telah ekstravasasi ke dalam ruang subdural.

b. CT-Scan
Pada pemeriksaan CT-scan untuk SDH akut dapat ditemukan adanya
hematoma berbentuk crescent-shape yang tampak hiperdens antara tulang tengkorak
dengan hemisphere otak. Saat densitas gumpalan darah meningkat > 50-60
Hounsfield unit (HU) maka akan terlihat lesi hiperdens relatif terhadap korteks. 40 %
SDH memiliki daerah yang tampak hiper atau hipodens yang menggambarkan adanya
darah yang tidak membeku, serum, atau CSF. Seiring berjalannya waktu SDH
menjadi subakut dan pada gambaran CT-scan SDH dapat berubah menjadi isodense
karena percampuran dari darah yang menggumpal, serum, CSF, dan darah yang tidak
menggumpal. Pada fase subakut CT dengan kontras dapat digunakan bila MRI tidak
memungkinkan. Densitas gumpalan darah pada fase ini akan turun sekitar 35-40 HU.
Kemudian pada gambaran kronis SDH, hematoma tampak lesi hipodens. Densitas
gumpalan darah akan turun sampai 0 HU dan dari bentuk awalnya yang crescentic
dapat berubah menjadi biconvex.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4866129/#b4
https://radiopaedia.org/articles/subdural-haemorrhage

c. MRI
CT-scan lebih digunakan pada pasien dengan SDH dibandingkan dengan MRI
karena lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasilnya dan
ketidakmampuan untuk membedakan benda logam yang digunakan pada pasien
trauma (pasien trauma kebanyakan menggunakan ventilator). MRI dapat digunakan
sebagai evaluasi cedera otak parenkim dan memprediksi prognosis. MRI lebih sensitif
untuk mendiagnosis lesi otak nonhemoragik, dan kontusio, dan diffuse axonal injury.
MRI membantu pencitraan hematoma subdural kronis ketika CT-scan sulit
diinterpretasikan. MRI sangat membantu dalam diagnosis hematoma subdural kronis
bilateral karena dapat melihat terjadinya midline shift yang mungkin tidak terlihat
pada CT-scan.

acute SDH MRI


2.9 Diagnosis Banding
Untuk dapat menyingkirkan diagnosis banding dalam kasus SDH perlu dilakukan
anamnesis, dan temuan radiologis. Substansi lain yang terkumpul pada meningen dapat
menyebabkan lesi yang tampak seperti hematoma subdural seperti abses subdural. Dalam
beberapa kasus, ruang subarachnoid dapat terisi oleh cairan serebrospinal (CSF) yang yang
menyebabkan massa otak menjadi turun sehingga memberikan gambaran seperti hematoma
subdural (hidrosefalus ex vacuo).

https://radiopaedia.org/articles/hydrocephalus-ex-vacuo
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4974954/

2.10 Tata Laksana


Seperti halnya pasien trauma, resusitasi dimulai dengan ABC (jalan napas,
pernapasan, sirkulasi). Semua pasien dengan skor Glasgow Coma Scale (GCS) kurang dari 8
harus diintubasi untuk perlindungan jalan napas.
Meskipun evakuasi hematoma dengan pembedahan segera, pasien dengan hematoma
subdural akut sering memiliki prognosis yang buruk karena terkait dengan cedera otak yang
mendasarinya. Pasien sering memerlukan perawatan intensif pasca operasi untuk pernapasan
yang bergantung pada ventilator, kontrol tekanan darah yang ketat, dan pengelolaan
hipertensi intrakranial.
Mekanisme, patofisiologi yang tepat, dan pengobatan yang optimal untuk hematoma
subdural kronis masih belum ditentukan secara pasti. Pekerjaan lebih lanjut dalam
menggambarkan mengapa membran terbentuk dan bagaimana mencegah atau membalikkan
pembentukannya dapat mengarah pada perbaikan dalam strategi pengobatan. Saat
memutuskan apakah akan melakukan operasi, pertimbangkan prognosis pasien. Idealnya
adalah memaksimalkan kemungkinan alokasi sumber daya yang tepat dan, yang lebih
penting, memungkinkan konseling keluarga yang tepat; perlu diingat bahwa tidak ada metode
penilaian prognosis yang 100% akurat.
Konsultasikan dengan ahli bedah saraf segera setelah diagnosis dicurigai dan mulai
transfer jika fasilitas lain diperlukan untuk diagnosis atau manajemen. Hematoma subdural
kronis Pada pasien yang tidak memiliki efek massa yang signifikan pada studi pencitraan
tidak ada gejala atau tanda neurologis kecuali sakit kepala ringan, hematoma subdural kronis
telah diamati dengan pemindaian serial dan terlihat tetap stabil atau sembuh. Meskipun
resolusi hematoma telah dilaporkan, hal itu tidak dapat diprediksi secara andal, dan tidak ada
terapi medis yang terbukti efektif dalam mempercepat resolusi hematoma subdural akut atau
kronis.

2.10.1 Dekompresi Bedah


Pembedahan untuk dekompresi darurat telah dianjurkan jika hematoma
subdural akut dikaitkan dengan pergeseran garis tengah lebih besar dari atau sama
dengan 5 mm. Pembedahan juga telah direkomendasikan untuk hematoma subdural
akut dengan ketebalan melebihi 1 cm. Indikasi ini telah dimasukkan ke dalam
Pedoman Manajemen Bedah Hematoma Subdural Akut yang diusulkan oleh
perusahaan patungan antara Yayasan Trauma Otak dan Kongres Ahli Bedah Saraf,
dirilis pada tahun 2006. Pedoman ini juga menyerukan dekompresi darurat pada
pasien koma dengan hematoma subdural akut dengan ketebalan kurang dari 1 cm
yang menyebabkan pergeseran garis tengah kurang dari 5 mm jika salah satu kriteria
berikut terpenuhi:
1. SDH dengan ketebalan > 10 mm atau midline shift (MLS) > 5 mm pada CT Scan,
tanpa melihat GCS.
2. SDH dengan ketebalan < 10 mm dan MLS < 5 mm, dilakukan pembedahan evakuasi
perdarahan bila :
a. Terjadi penurunan GCS lebih dari 2 poin atau lebih antara saat kejadian
dengan saat MRS
b. Dan atau jika didapatkan pupil yang asimetri atau fixed dan dilatasi Dan/atau
TIK > 20 mmHg
3. Monitor ICP pada SDH Akut dengan GCS < 9.

Pemilihan Tindakan pembedahan pada SDH:


1. Kraniotomi evakuasi clot
2. Burr Hole drainage
3. Burrhole drainage double setup craniotomy

Dalam serangkaian pasien dengan hematoma subdural traumatik akut yang awalnya
diobati secara konservatif, Wong menemukan bahwa jika pasien dengan skor GCS 15
atau lebih rendah dan pergeseran garis tengah lebih besar dari 5 mm, kondisi mereka
biasanya akan memburuk dan mereka memerlukan pembedahan. Dalam seri lain
yang dilaporkan oleh Matthew et al, semua pasien awalnya diobati nonoperative yang
kemudian diperlukan operasi disajikan dengan hematoma subdural yang setidaknya
10 mm tebal pada CT scan awal mereka. Pembedahan telah dianjurkan ketika
hematoma subdural dikaitkan dengan tangki basilar yang terkompresi atau menipis.
Dalam satu rangkaian besar pasien dengan cedera kepala berat, angka
kematian masing-masing adalah 77%, 39%, dan 22% untuk pasien dengan tangki
penipisan, kompresi, atau normal. Sebuah meta-analisis yang membandingkan
kemanjuran berbagai metode evakuasi hematoma subdural kronis yang didukung
drainase kraniotomi twist drill di samping tempat tidur untuk pasien yang merupakan
kandidat bedah berisiko tinggi dengan hematoma subdural kronis nonseptated.
Hematoma subdural kronis dengan pembentukan membran yang signifikan paling
efektif diobati dengan kraniotomi. Analisis keputusan yang dilakukan oleh Lega et al
mengungkapkan bahwa burr-hole craniotomy adalah bentuk drainase bedah yang
paling efisien untuk hematoma subdural kronis tanpa komplikasi. Irigasi subdural
intraoperatif atau drainase subdural pascaoperasi tidak secara signifikan
mempengaruhi hasil pengobatan

2.11 Prognosis
Prognosis SDH pada sangat bervariasi, tergantung pada luasnya cedera intrakranial.
Pada SDH akut yang merupakan jenis SDH yang paling sering ditemui biasanya memiliki
prognosis yang buruk. Mortalitas dan morbiditas pasien, pasien yang datang dengan GCS
awal 3-8 memiliki prognosis yang lebih buruk. Pada pasien dengan komorbid dan riwayat
pneumonia menunjukkan hasil lebih tingginya mortalitas pada pasien. Pada pasien dengan
SDH kronis yang biasanya berhubungan dengan penyakit kronis lain. Mortalitas pasien
meningkat hingga 1 tahun setelah perawatan pada pasien dengan usia lanjut karena penyakit
kronis yang diderita pasien. Prognosis SDH kronis juga tergantung pada usia, GCS presentasi
awal pasien, dan penyakit terkait seperti gagal jantung dan ginjal.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4974954/
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532970/
https://sci-hub.mksa.top/10.1089/neu.2018.5829
BAB III
KESIMPULAN

Subdural hematoma (SDH) adalah akumulasi darah yang tidak normal di antara
duramater dan arachnoid (atau disebut ruang subdural) yang seringkali terjadi akibat
robeknya “bridging vein” yang tertarik ketika terjadi trauma akselerasi atau deselerasi pada
otak di mana paling sering mengakibatkan perdarahan pada permukaan lateral bagian atas
hemisfer dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging vein”.
Morbiditas dan mortalitas yang tinggi, tergantung pada ukuran hematom dan kelainan lain
yang terkait dengan kerusakan otak. Semakin cepat diatasi, maka semakin tinggi harapan
pulih. Pria memiliki insiden SDH yang lebih tinggi dengan usia >60 tahun.
Klasifikasi dari SDH dibagi menjadi tiga, yaitu, akut (1-3 hari), subakut (4-21 hari),
kronik (>3 minggu). Pada lesi akut, umumnya pasien mengalami cedera benturan kepala
yang cukup berat dengan gangguan kesadaran dan tanda-tanda vital. Pada gambaran CT
Scan, lesi akut berupa hiperdens berbentuk cekung. Pada gambaran CT Scan lesi subakut, lesi
isodens atau hipodens berbentuk cekung karena campuran dari bekuan darah dan cairan
darah. Pada gambaran CT Scan lesi kronik, lesi hipodens namun dapat terjadi hematoma
baru sehingga terlihat membesar dan dapat menyebabkan perburukan dari klinis pasien.
Etiologi pada lesi SDH umumnya terjadi karena trauma benturan kepala, namun
terdapat faktor resiko lain seperti alkohol, terapi antikoagulan, koagulopati, gangguan hepar,
penyakit kardiovaskuler, trombositopenia, dan diabetes melitus. Patofisiologi dari SDH
akibat traumatik maupun non traumatik dapat menyebabkan herniasi dari otak, kompresi dari
korteks, dan naiknya tekanan intrakranial sehingga dapat menyebabkan gejala seperti pupil
anisokor, hemiparese & hemisensory loss, mual, muntah, nyeri kepala hebat, gangguan pada
nervus kranialis, hingga penurunan kesadaran.
Pada anamnesis harus ditanyakan usia, penyebabnya, waktunya, serta mekanismenya.
Pada pemeriksaan fisik harus dilakukan survey primer dan sekunder. Pemeriksaan
penunjangnya dari laboratorium dapat ditemukan koagulopati, penurunan platelet,
pemanjangan prothrombin time, penurunan fibrinogen, dan hiperkalemia. Pemeriksaan
penunjang lainnya adalah CT Scan, di mana terdapat lesi berbentuk crescent shape. MRI juga
dapat dilakukan dan hasilnya lebih terlihat dengan jelas dibandingkan dengan CT Scan,
namun butuh waktu yang lebih lama. Diagnosis bandingnya adalah abses subdural.
Tatalaksananya harus dimulai dari survey primer, yaitu, ABCDE baru dilakukan
survey sekunder untuk melihat indikasi untuk dilakukan pembedahan seperti, dekompresi.
Prognosis dari pasien ini sangat bervariasi tergantung pada luasnya cedera intrakranial, usia,
GCS, dan juga penyakit penyerta lainnya.

Anda mungkin juga menyukai