Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

GANGGUAN PSIKOTIK AKUT


Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat dalam Mengikuti
Program Pendidikan Profesi Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa

Disusun Oleh:

Fikri Lukman Hakiem, S.Ked


FAB 118 084

PEMBIMBING:

dr. DINA ELIZABETH, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK
KSM ILMU KESEHATAN JIWA
RSUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA
RSJ KALAWA ATEI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2020

i
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Fikri Lukman Hakiem, S.Ked

NIM : FAB 118 084

Fakultas : Kedokteran

Universitas : Universitas Palangka Raya

Tahun Akademik : 2020

Judul Referat : Gangguan Psikotik Akut

Diajukan : September 2020

Pembimbing : dr. Dina Elizabeth Sinaga, Sp.KJ

TELAH DIPERIKSA DAN DISAHKAN TANGGAL : September 2020

Telah disetujui oleh:


Pembimbing Materi

dr. Dina Elizabeth Sinaga, Sp.KJ

ii
PERNYATAAN KEASLIAN

Saya yang bertandatangan di bawahini:

Nama : Fikri Lukman Hakiem, S.Ked

NIM : FAB 118 084

Jurusan : Profesi Dokter

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa referat yang berjudul “Gangguan


Psikotik Akut” ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan peniruan
terhadap hasil karya dari orang lain. Kutipan pendapat dan tulisan orang lain yang
ditunjuk sesuai dengan cara – cara penulisan yang berlaku. Apabila dikemudian hari
terbukti atau dapat dibuktikan bahwa referat ini terkandung ciri-ciri plagiat dan
bentuk-bentuk peniruan lain yang dianggap melanggar peraturan, maka saya bersedia
menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Palangka Raya, September 2020

Fikri Lukman Hakiem, S.Ked


FAB 118 084

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Gangguan
Psikotik Akut”. Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam
Kepaniteraan Klinik KSM Ilmu Kesehatan Jiwa. Selain itu, referat ini diharapkan
dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya untuk menambah
pengetahuan dalam bidang ilmu kesehatan masyarakat, khususnya tentang Gangguan
Psikotik Akut.
Dalam penulisan referat ini terdapat banyak hambatan, namun berkat dukungan
dan bimbingan dari berbagai pihak sehingga penulisan referat ini dapat terselesaikan
dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada
pihak-pihak berikut ini:
1. Pembimbing referat penulis, dr. Dina Elizabeth Sinaga, Sp.KJ yang telah bersedia
membimbing penulis dari awal penyusunan, hingga referat ini selesai dibuat.
Serta atas seluruh ilmu yang diberikan kepada penulis selama mengikuti kegiatan
koas di Kepaniteraan Klinik KSM Ilmu Kesehatan Jiwa.
2. Rekan-rekan sejawat penulis yang telah memberikan banyak masukan, dan kritik
dalam penulisan referat ini.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dan penulis berharap agar referat ini dapat bermanfaat dalam Ilmu
Kesehatan Masyarakat.

Palangka Raya, September 2020


Penulis

Fikri Lukman Hakiem

iv
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
PERNYATAAN KEASLIAN .......................................................................... iii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iv
DAFTAR ISI ..................................................................................................... v
Bab I Pendahuluan.......................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang.............................................................................. 1
Bab II Tinjauan Pustaka ................................................................................. 3
1.1 Definisi ........................................................................................ 3
1.2 Epidemiologi ................................................................................ 3
1.3 Etiologi dan Patofisiologi ............................................................. 4
1.4 Klasifikasi .................................................................................... 6
1.5 Gejala Klinis ................................................................................. 11
1.6 Diagnosis ...................................................................................... 12
1.7 Diagnosis Banding ....................................................................... 13
1.8 Pemeriksaan Penunjang ................................................................ 14
1.9 Tatalaksana .................................................................................. 15
1.10.................................................................................. Komplikasi 19
1.11..................................................................................... Prognosis 20
1.12........................................................................................ Edukasi 20
1.13.................................................................................. Pencegahan 21
1.14...................................... Status Mental Gangguan Psikotik Akut 22
Bab III Penutup.................................................................................................. 24
3.1 Kesimpulan ................................................................................... 24
Daftar Pustaka ................................................................................................... 25

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan jiwa merupakan suatu keadaan sejahtera yang dikaitkan dengan
kebahagian, kegembiraan, kepuasan, pencapaian, optimisme atau harapan.
Sedangkan gangguan jiwa merupakan bentuk dari pola perilaku atau psikologis
yang ditunjukan oleh individu sehingga seorang individu dapat mengalami
distress, disfungsi dan menurunnya kualitas kehidupan. Gangguan jiwa secara
luas diklasifikasikan menjadi gangguan jiwa neurosis dan gangguan jiwa
psikosis.1
Psikosis merupakan bentuk gangguan jiwa dengan karakteristik berupa
adanya perilaku regresif, disintegrasi kepribadian, penurunan bermakna pada
tingkat kesadaran, kesulitan besar dalam berfungsi secara adekuat, kerusakan yang
nyata, berat pada uji realitas. Bukti langsung dari psikosis adalah adanya waham
dan halusinasi dalam diri mereka.1
Menurut PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
di Indonesia edisi IV) atau DSM IV-TR (Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders) gangguan jiwa psikosis ditandai hilangnya kemampuan menilai
realitas yaitu waham (delusi), halusinasi misalnya skizoprenia. Psikosis (gangguan
jiwa) diartikan sebagai keadaaan jiwa yang tidak berhubungan dengan realitas.
Selama episode gangguan jiwa, orang yang memiliki gangguan psikosis tidak
mampu menilai bahwa apa yang terjadi pada dirinya berbeda dengan realita.2
Pengertian lainnya gangguan psikotik adalah gangguan mental yang
ditandai dengan kerusakan menyeluruh dalam uji realitas seperti yang ditandai
dengan delusi, halusinasi, bicara inkohern, perilaku yang tidak teratur atau
mengacau, biasanya tanpa ada kewaspadaan pasien terhadap inkomprehensibilitas
dalam tingkah lakunya. Gangguan psikotik akut didefinisikan sebagai suatu
gangguan kejiwaan yang terjadi selama 1 hari sampai kurang dari 1 bulan, dengan
gejala psikosis, dan dapat kembali ke tingkat fungsional premorbid.3,4

1
Saat ini gangguan psikotik masih menjadi masalah di Indonesia. Prevalensi
psikosis 1,8 per 1000 penduduk menurut Riskesdas 2018 sedikit lebih tinggi
dibandingkan hasil Riskesdas 2013 yang menyebutkan pevalensi psikosis 1,7 per
1000 penduduk. Prevalensi psikosis lebih tinggi di perdesaan dibandingkan di
perkotaan. Hal ini berbeda dengan teori kepadatan penduduk yang menyebutkan
skizofrenia (salah satu jenis psikosis) lebih tinggi di daerah dengan kepadataan
penduduk yang tinggi seperti di perkotaan. Faktor lingkungan kepadatan
penduduk merupakan faktor berpengaruh terhadap terjadinya ganguan jiwa antara
lain psikosis. 5,6,7
Selain itu, baru-baru ini telah dilakukan sebuah studi longitudinal gejala
psikologis pada 1738 responden dari 190 kota di China selama wabah COVID-19
di Wuhan, China, yang diulang empat minggu kemudian di puncak epidemi
mengungkapkan 28% laporan kecemasan tingkat tinggi, 17% depresi, 8% stres
dan kesusahan stabil dari waktu ke waktu. Sebuah survei online terhadap 1.074
orang dari Wuhan menghasilkan hasil yang serupa, dengan tingkat kecemasan,
depresi, penggunaan alkohol yang tinggi, dan penurunan kesejahteraan mental di
antara responden, dengan individu berusia 21-40 tahun melaporkan gejala yang
lebih tinggi daripada kelompok usia lainnya.8
Angka prevalensi kemungkinan lebih rendah dari kejadian yang sebenarnya
karena enumerator bertanya kepada kepala keluarga, dan bukan kepada individu
langsung sehingga hanya kasus yang sangat jelas yang terlaporkan. Faktor lain
adalah stigma yang masih ada menyangkut rasa malu mengakui adanya keluarga
yang menderita gangguan jiwa sehingga tidak mengakui adanya anggota keluarga
satu rumah yang mengalami psikosis.9,10
Oleh karena itu, dalam menangani pasien dengan gangguan psikotik akut
perlu teknik pendekatan keluarga dan pasien agar tercipta kejujuran dan kerjasama
yang baik dalam proses penegakkan diagnosis dan tatalaksana untuk pasien.
Adapun dalam menegakkan diagnosis perlu diadakannya pemeriksaan status
psikiatrikus dan dapat diberi penatalaksanaan berupa farmakologi dan non-
farmakologi terhadap pasien.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi11,12
Gangguan psikotik adalah semua kondisi yang menunjukkan adanya
hendaya (kerusakan) berat dalam kemampuan daya nilai realitas, baik dalam
perilaku individu dalam suatu saat maupun perilaku individu dalam perjalanannya
mengalami hendaya berat kemampuan daya nilai realitas (perlu dipertimbangkan
faktor budaya).
Bukti langsung hendaya daya nilai realitas terganggu misal adanya;
• Waham, halusinasi tanpa tilikan akan sifat patologinya;
• Adanya perilaku yang demikian kacau (grossly disorganized) misalnya
bicara yang inkoheren, perilaku agitasi tanpa tujuan, disorientasi pada
delirium dst;
• Adanya kegagalan fungsi sosial dan personal dengan penarikan diri dari
pergaulan sosial dan tidak mampu dalam tugas pekerjaan sehari-hari.
Gangguan psikotik akut dapat didefinisikan sebagai keadaan dimana
seseorang mengalami gangguan jiwa selama 1 hari sampai kurang dari 1 bulan
yang ditandai dengan onset tiba-tiba dari 1 atau lebih gejala berikut ini: delusi,
halusinasi, postur dan perilaku yang bizarre, serta bicara yang kacau. Gangguan
psikotik akut dapat menjadi gejala awal dari penyakit psikotik lainnya, seperti
schizophrenia. Perbedaan antara penyakit ini dengan gangguan psikotik lainnya
adalah dalam hal jenis dan intensitas gejala, durasi waktu, serta perjalanan
gangguan psikotik yang dapat kembali penuh pada fungsi premorbid.

2.2 Epidemiologi
Berdasarkan hasil penelitian epidemiologi berskala internasional, insidensi
gangguan psikotik singkat lebih tinggi 10 kali lipat pada negara berkembang
dibandingkan negara industri. Beberapa ahli yakin bahwa gangguan ini paling
sering terjadi pada kelas sosial ekonomi rendah, pasien dengan gangguan
kepribadian, dan imigran. Gangguan paling umum pada pasien yang berusia 30-an
hingga awal 40-an. Insidensi wanita 2 kali lipat dari laki-laki. 13 Sebuah studi

3
kohort mengemukakan bahwa seseorang memiliki peningkatan risiko sebesar 2
kali lipat ketika memiliki faktor risiko genetik.
Laporan sebelumnya dari epidemi SARS CoV-1 mengidentifikasi berbagai
komplikasi kejiwaan pada pasien yang terkena SARS, termasuk kecemasan terkait
penyesuaian, depresi, keinginan bunuh diri, serta halusinosis organik dan
gangguan manik organik.14 Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi telah
diidentifikasi sebagai faktor terkait yang signifikan dalam presentasi
psikotik.14,15,16

2.3 Etiologi dan Patofisiologi


Etiologi dan patofisiologi secara spesifik gangguan psikotik akut tidak
diketahui, tetapi terdapat faktor-faktor yang berperan terhadap terjadinya penyakit
ini. Faktor-faktor tersebut adalah faktor genetik, biologi, kepribadian, dan respons
terhadap stres.17 Faktor biologis berupa peningkatan respons sistem dopamin
sedangkan faktor psikodinamik berupa mekanisme adaptasi yang mengarah pada
gangguan psikotik. Selain itu, terdapat faktor pencetus terbentuknya gangguan
psikotik akut yaitu COVID-19.

A. Faktor Genetik
Sebuah studi kohort mengemukakan bahwa seseorang memiliki peningkatan
risiko sebesar 2 kali lipat ketika memiliki faktor risiko genetik (terutama
pada first-degree relative, seperti hubungan langsung antara ayah atau ibu dan
anak) dibandingkan tanpa riwayat genetik. Faktor ini tidak pernah 100%, hanya
berkisar antara 5% pada orang tua sampai 45% pada saudara kembar identik dari
orang yang skizofrenia. Risiko ini semakin besar apabila dalam garis keluarga
memiliki riwayat skizofrenia dan/atau gangguan bipolar.18

B. Faktor Biologi
Faktor biologi dikaitkan dengan komponen biokimia, fisiologi dan aktivitas
otak. Komponen biokimia dan fisiologi didasarkan pada hipotesis dopamin di
dalam otak yang mengalami peningkatan terutama pada area mesolimbik sehingga

4
memunculkan gejala seperti delusi, halusinasi, perilaku bizarre dan pembicaraan
yang kacau.12
Hasil studi mengemukakan adanya pasien gangguan psikotik akut yang
memiliki kelainan berupa mikrodelesi kromosom 2q37 yang menyebabkan pasien
memiliki gejala agitasi, pembicaraan berulang, waham nihilistik hingga gangguan
tidur. Studi yang berbeda menunjukkan adanya perubahan terhadap komponen
aktivitas otak pada orang yang terpapar stres tinggi dan berulang seperti halnya
pasien gangguan psikotik akut.19
Paparan kronis stres psikis yang berasal dari masalah kehidupan sehari-hari
dan interaksi sosial berhubungan dengan perubahan proses dan konektivitas regio
kortikostriatal yang mengarah pada gangguan psikotik. Hasil resting state MRI
pada orang yang sering terpapar stress psikososial menunjukkan peningkatan
konektivitas antara ventral striatum inferior, girus supramarginal kanan,
operculum insular dan girus temporal tengah.20
Sistem dopamin berperan pada patofisiologi gangguan psikotik akut.
Gangguan aktivitas hippocampal dan peningkatan respons dopamin diikuti
penurunan parvalbumin interneuron di hippocampus dan hiperaktivitas regio
hippocampal ventral yang menyebabkan disinhibisi neuron firing dopamin di
mesolimbik. Sehingga muncul peningkatan dua kali lipat dopamin di area ventral
tegmental. Stimulus eksternal menyebabkan peningkatan respons sistem
dopamin.21
Sementara etiologi gejala psikotik yang dijelaskan di sini mungkin terkait
dengan stres yang tidak terungkap atau tidak terartikulasikan dari pandemi
COVID pada individu yang rentan secara psikiatri. Namun adanya infeksi COVID
dan penanda inflamasi yang tinggi, terutama CRP, meningkatkan kemungkinan
pemicu inflamasi terkait virus.
Respon inflamasi yang mendalam terhadap infeksi COVID-19 ("cytokine
storm") dianggap bertanggung jawab atas komplikasi penyakit paru dan jantung
yang parah, terkadang fatal, dan telah didalilkan untuk menghasilkan gejala
neuropsikiatri melalui mekanisme imunologi.22,23 Pemicu berbasis kekebalan telah
lama terlibat dalam patogenesis penyakit kejiwaan, termasuk depresi, gangguan

5
psikotik seperti skizofrenia, dan manifestasi neuropsikiatri dari infeksi HIV dan
virus lainnya.24,25 CRP, yang meningkat pada ketiga pasien kami, telah dipelajari
sebagai penanda potensial aktivasi imun perifer, yang didalilkan memiliki peran
kausal atau pemicu pada psikosis skizofreniform.26 Telah dihipotesiskan bahwa
virus korona manusia dan virus pernapasan lainnya dapat bertindak sebagai
patogen oportunistik dari sistem saraf pusat (SSP) karena telah terbukti memiliki
kualitas invasif saraf, baik karena autoimunitas atau replikasi virus.27 Faktanya,
penetrasi SSP dan peradangan saraf dari virus korona lain telah dikaitkan dengan
gangguan psikotik onset baru atau infeksi SSP.16,23

C. Faktor Psikodinamika
Teori  psikodinamika adalah bahwa gejala psikotik yang merupakan suatu
pertahanan terhadap fantasi yang dilarang, pemenuhan harapan yang tidak
tercapai atau suatu pelepasan dari situasi  psikosial tertentu.3
Kepribadian schizoid sering menjadi kepribadian dasar seseorang yang
mengalami gangguan psikotik akut, namun ciri kepribadian lain juga memiliki
risiko mengalami gangguan serupa, di antaranya ciri kepribadian cemas,
dependen, histrionik, narsisistik, paranoid dan anankastik.21
Seseorang dengan kerentanan terhadap masalah, pendiam, tertutup, selalu
memilih aktivitas sendiri, kurang bisa menunjukkan kehangatan dalam sosial dan
aspek hidup, kurang bisa menerima kritik memiliki kerentanan mengalami
gangguan psikotik akut. Kondisi ini akan membawa seseorang masuk dan lebih
nyaman dengan fantasi yang dimiliki dan mengalami alienasi dari lingkungan
sekitar hingga akhirnya muncul manifestasi gejala psikotik.28
Dari berbagi macam faktor, faktor yang paling sering menyebabkan
gangguan psikotik akut ialah faktor stresor kehidupan, napza, alkohol, trauma
kepala atau infeksi otak, faktor kepribadian, dan faktor genetik.

2.4 Klasifikasi4
F23.0 Gangguan Psikotik Polimorfik Akut Tanpa Gejala Skizofrenia
a) Onset harus akut (dari suatu keadaan nonpsikotik sampai keadaan psikotik
yang jelas dalam kurun waktu 2 minggu atau kurang);

6
b) Harus ada beberapa halusinasi atau waham yang berubah dalam jenis dan
intensitasnya dari hari kehari atau dalam hari yang sama;
c) Harus ada keadaan emosional yang sama beraneka ragamnya;
d) Walaupun gejala-gejalanya beraneka ragam, tidak satupun dari gejala itu
ada secara cukup konsisten dapat memenuhi kriteria skizofrenia atau
episode manik atau depresi.
1. Kriteria skizofrenia:
 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan
biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau
kurang jelas):
a. - Thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda, atau
- Thought insertion or withdrawal = isi pikiran yang asing dari
luar masuk kedalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya
diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (Withdrawal) dan
- Thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga
orang lain atau umumnya mengetahuinya.
b. - Delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar atau
- Delusion of influence = waham tentang dirinya dipengaruhi
oleh suatu kekuatan tertentu dari luar atau
- Delusion of passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya
dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang dirinya=
secara jelas ,merujuk ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau
kepikiran, tindakan atau penginderaan khusus).
- Delusion perception = pengalaman inderawi yang tidak wajar,
yang bermakna sangat khas bagi dirinya , biasanya bersifat
mistik dan mukjizat.
c. Halusional Auditorik ;

7
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus
terhadap prilaku pasien
- Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri
(diantara berbagai suara yang berbicara atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian
tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya
setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahi,
misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu atau
kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa (misalnya
mampu mengendalikan cuaca atau berkomunikasi dengan
mahluk asing atau dunia lain)
Atau paling sedikitnya dua gejala dibawah ini yang harus selalu
ada secara jelas:
e. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja , apabila
disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang
setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun
disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang
menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-
minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation) yang berakibat inkoherensia atau pembicaraan
yang tidak relevan atau neologisme.
g. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement),
posisi tubuh tertentu (posturing) atay fleksibilitas cerea,
negativisme, mutisme, dan stupor.
h. Gejala negatif seperti sikap apatis, bicara yang jarang dan
respons emosional yang menumpul tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan
menurunya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neureptika.

8
* Adapun gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal);
* Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan,
tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitute),
dan penarikan diri secara sosial.
Tip-tipe skizofrenia yaitu:
 Skizofrenia paranoid
 Skizofrenia hebefrenik
 Skizofrenia katanonik
 Skizofrenia tak terinci
 Depresi pasca-skizofrenia
 Skizofrenia residual
 Skizofrenia simpleks

2. Episode Manik:
 Derajat gangguan yg lebih ringan dari mania (F30.1)
 Afek yangg meninggi atau berubah disertai peningkatan aktivitas,
menetap selama sekurang-kurangnya beberapa hari berturut-turut,
pada suatu derajat intensitas dan yang bertahan melebihi apa yang
digambarkan bagi siklotimia (F34.0)
 Tidak disertai halusinasi atau waham
 Pengaruh nyata atas kelancaran pekerjaan dan aktivitas sosial memang
sesuai dg diagnosis hipomania, akan tetapi bila kekacauan itu berat
atau menyeluruh, maka diagnosis mania (F30.1 atau F30.2) harus
ditegakkan.
Tipe-tipe episode Manik yaitu:
 Hipomania
 Mania tanpa gejala psikotik

9
 Mania dengan gejala psikotik

3. Kriteria Episode Depresif


 Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat):
 Afek depresif
 Kehilangan minat dan kegembiraan
 Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah
lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan
menurunnya aktivitas
 Gejala lainnya:
 Konsentrasi dan perhatian berkurang
 Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
 Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
 Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
 Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
 Tidur terganggu
 Nafsu makan berkurang
 Episode depresif ringan
 Episode depresif sedang
 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik
 Episode depresif berat dengan gejala psikotik

F.23.1 Gangguan Psikotik Polimorfik Akut dengan Gejala Skizofrenia


 Memenuhi kriteria yang khas untuk gangguan psikotik polimorfik akut.
 Disertai gejala-gejala yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia
yang harus sudah ada untuk sebagian besar waktu sejak munculnya
gambaran klinis psikoti itu secara jelas.
 Apabila gejala-gejala skizofrenia menetap untuk lebih dari 1 bulan maka
diagnosis harus diubah menjadi skizofrenia.

10
F.23.2 Gangguan Psikotik Lir-Skizofrenia Akut
Suatu gangguan psikotik akut dengan gejala yang stabil dan memenuhi
kriteria skizofrenia, tetapi hanya berlangsung kurang dari satu bulan lamanya.
Pedoman diagnosis:
 Onset psikotiknya akut (dua minggu atau kurang).
 Memenuhi kriteria skizofrenia, tetapi lamanya kurang 1 bulan.
 Tidak memenuhi kriteria psikosis polimorfik akut.

F.23.3 Gangguan Psikotik Akut Lainnya dengan Predominan Waham


Gambaran klinis berupa waham dan halusinasi yang cukup stabil, tetapi
tidak memenuhi skizofrenia. Sering berupa waham kejaran dan waham rujukan,
dan halusinasi pendengaran.

2.5 Gejala Klinis11


Perilaku yang diperlihatkan oleh pasien yaitu:
1. Mendengar suara-suara yang tidak ada sumbernya
2. Keyakinan atau ketakutan yang aneh atau tidak masuk akal
3. Kebingungan atau disorientasi
4. Perubahan perilaku; menjadi aneh atau menakutkan seperti menyendiri,
kecurigaan berlebihan, mengancam diri sendiri, orang lain atau lingkungan,
bicara dan tertawa serta marah-marah atau memukul tanpa alasan.
Gejala gangguan psikotik singkat selalu termasuk sekurang-kurangnya satu
gejala psikosis utama, biasanya dengan onset yang tiba-tiba, tetapi tidak selalu
memasukkan seluruh pola gejala yang ditemukan pada skizofrenia.
Gejala karakteristik untuk gangguan psikotik singkat adalah emosi mudah
berubah, pakaian atau perilaku yang aneh, berteriak-teriak atau diam membisu dan
gangguan daya ingat untuk peristiwa yang belum lama terjadi.
Hasil obserasi klinisi menyatakan bahwa mood labil, kebingungan, dan
gangguan perhatian dapat lebih sering terjadi pada awitan gangguan psikotik
sementara daripada awitan gangguan psikotik kronik.

11
2.6 Diagnosis
Penegakan diagnosis gangguan psikotik akut melalui eksplorasi status
mental dalam proses anamnesis serta observasi perilaku pasien. Data pendukung
diambil dari keterangan keluarga yang mengetahui perubahan kondisi mental
pasien. Pedoman diagnosis gangguan psikotik akut ada dalam PPDGJ-III.4

2.6.1 Anamnesis29
Autoanamnesis dan observasi perilaku pasien gangguan psikotik akut
menunjukkan gangguan pada status mental:
 Gangguan proses pikir: pikiran tidak realistik, waham yang disertai arus
pikir kacau.
 Gangguan persepsi: halusinasi, ilusi, depersonalisasi dan derealisasi.
 Gangguan pembicaraan dan gangguan psikomotor: gaduh gelisah, mondar-
mandir, tindakan yang membahayakan diri sendiri dan lingkungan.
Data pendukung dari keluarga terdekat atau orang yang tinggal bersama
akan memperjelas perubahan yang dialami, pemahaman sumber stresor, riwayat
gangguan psikiatrik dan gangguan medis sebelumnya, riwayat penyalahgunaan
zat, riwayat tumbuh kembang dan ciri kepribadian sebagai bahan penunjang
diagnosis.

2.6.2 Kriteria Diagnosis4


Diagnosis gangguan psikotik akut dalam PPDGJ-III dijelaskan bahwa
diagnosis yang mencerminkan urutan prioritas untuk ciri-ciri utama terpilih dari
gangguan ini. Urutan priortitasnya adalah:
1. Onset yang akut
2. Adanya sindrom yang khas berupa polimorfik (beraneka ragam dan berubah
cepat) atau schizophrenia-like (gejala skizofrenia yang khas)
3. Adanya stres akut yang berkaitan (tidak selalu ada).
4. Tanpa diketahui berapa lama gangguan akan berlangsung.

12
 Tidak memenuhi kriteria episode manik atau episode depresif, walaupun
perubahan emosional dan gejala afektif individual menonjol dari waktu ke
waktu.

2.7 Diagnosis Banding30


Diagnosis banding gangguan psikotik akut didasarkan pada beberapa
kemungkinan penyebab lain yang mendasari seperti keterlibatan faktor organik,
gangguan medis serta riwayat penggunaan zat atau obat. Penelusuran data melalui
anamnesis akan mengarah pada beberapa diagnosis banding, di antaranya:

2.7.1 Gangguan Mental Organik


Gejala psikotik pada gangguan mental organik dengan dasar gangguan
metabolik seperti pada gangguan delirium, tumor otak, epilepsi (post ictal
psychosis), sindrom Cushing, cerebral anoxia, trauma kepala. Seperti gangguan
psikiatri lainnya, penyebab organik harus lebih dahulu disingkirkan dan ditangani
sesuai etiologi.

2.7.2 Substance Use Disorder


Substance use disorder dapat menyebabkan gejala delirium dan intoksikasi
yang mengarah pada gejala psikotik. Anamnesis akan didapatkan keterangan
penggunaan zat atau obat tertentu hingga muncul gejala psikotik. Tes
laboratorium dapat bermanfaat untuk skrining adanya substance use disorder,
misalnya kadar alkohol dalam darah atau skrining obat melalui urine.

2.7.3 Gangguan Depresi dan Bipolar


Diagnosis gangguan psikotik akut tidak boleh ditegakkan apabila gejala
psikotik yang muncul pada diri pasien merupakan bagian dari episode mood. Hal
ini akan tampak selama observasi perilaku dan keterangan perubahan pola mood
sebagai bagian dari depresi, manik atau episode campuran. Depresi berat dengan
gejala psikotik dan bipolar dengan gejala psikotik yang menjadi diagnosis banding
untuk psikotik akut.

13
2.7.4 Gangguan Psikotik Lain
Dokter perlu memikirkan kondisi gangguan psikotik lain ketika durasi
gejala psikotik menetap selama 1 bulan atau lebih, di antaranya gangguan
skizofreniform, gangguan waham, gangguan depresi dengan gejala psikotik,
gangguan bipolar dengan gejala psikotik, tergantung pada gejala yang muncul
ketika dilakukan pemeriksaan. Dokter harus mengevaluasi kemungkinan episode
kekambuhan gejala psikotik.

2.7.5 Malingering and Factitious Disorder


Pasien malingering seolah mengalami gejala psikotik, namun hal ini
didasarkan pada sikap berpura-pura serta didapatkan bukti bahwa perilaku
tersebut muncul dengan tujuan yang jelas, misalnya untuk menghindari
penangkapan atau tuduhan kriminal. Sebaliknya, pada factitious disorder, perilaku
pura-pura pasien tidak memiliki tujuan yang jelas selain kesenangan pribadi atau
mencari perhatian. Dokter perlu melakukan observasi perilaku harian terhadap
kondisi tersebut untuk membedakan dengan gangguan psikotik akut.

2.7.6 Gangguan Kepribadian


Pada beberapa orang dengan gangguan kepribadian, munculnya stresor
psikososial dapat mencetuskan kejadian gangguan psikotik akut. Gejala yang
muncul bersifat sementara dan tidak memerlukan diagnosis terpisah (tetap
menjadi bagian dari gangguan kepribadian). Namun, apabila gejala psikotik
bertahan setidaknya 1 hari, maka diagnosis gangguan psikotik akut perlu
ditambahkan (selain gangguan kepribadian).

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Tidak ada pemeriksaan penunjang yang sepenuhnya menegakkan gangguan
psikotik akut. Pemeriksaan penunjang sesuai indikasi apabila ada kecenderungan
gangguan fisik atau gangguan mental organik yang mendasari. Apabila dokter
curiga adanya kejang yang mendasari kejadian psikotik maka disarankan

14
pemeriksaan EEG, demikian halnya pada penyalahgunaan zat maka tes urine
dapat dilakukan.30

2.9 Tatalaksana
Penatalaksanaan gangguan psikotik akut bertujuan untuk mengembalikan
fungsi premorbid, meredakan dan mengontrol gejala. Penatalaksanaan dimulai
dengan identifikasi dan penanganan kondisi kegawatdaruratan. Apabila gangguan
psikotik akut disertai kondisi kegawatdaruratan psikiatri, maka pasien perlu
dilakukan rawat inap.31

2.9.1 Penanganan Awal


Kondisi kegawatdaruratan psikiatri yang menyertai gangguan psikotik akut
di antaranya adalah gaduh gelisah, perilaku menyakiti diri sendiri dan/atau
lingkungan, serta percobaan bunuh diri. Dokter harus mengidentifikasi kondisi
kegawatdaruratan ini dan memberikan penanganan yang sesuai, misalnya
deeskalasi verbal atau pemberian terapi farmakologis untuk pasien agitasi dengan
obat oral sebagai pilihan lini pertama diikuti dengan terapi parenteral jika pasien
tidak mau mengonsumsi obat oral. Terapi farmakologis yang umum digunakan
untuk penanganan awal adalah antipsikotik atau benzodiazepine. Selain itu,
ketamin juga dapat diberikan, khususnya pada pasien yang membutuhkan sedasi
secara cepat.31,32

Tabel 1. Panduan Injeksi pada Fase Akut sesuai Pedoman Nasional


Pelayanan Kedokteran (PNPK) Ilmu Kedokteran Jiwa32
Nama Obat Dosis Rute Pemberian
Olanzapine 10 mg/injeksi Intramuskular
Dapat diulang setiap 2 jam, dosis maksimal 30
mg/hari.
Aripriprazole 9.75 mg/injeksi Intramuskular
Dosis maksimal 29,25 mg/ hari
Haloperidol 5 mg/ injeksi Intramuskular
Dapat diulang setiap setengah jam, dosis
maksimal 20 mg/hari
Diazepam 10 mg/injeksi Intramuskular

15
Dosis maksimal 30 mg/hari

2.9.2 Pemberian Antipsikotik


Apabila kondisi kegawatdaruratan psikiatri teratasi, terapi dilanjutkan
dengan pemberian obat oral antipsikotik yang kemudian dilakukan evaluasi dalam
1-3 minggu pertama sampai dosis optimal. Pemberian antipsikotik pada gangguan
psikotik akut (1-2 tahun) serupa dengan pemberian untuk schizophrenia (Tabel 2).
Antipsikotik atipikal (generasi kedua) bekerja lebih selektif dan
berpengaruh pada reseptor serotonin sehingga memperbaiki fungsi suasana
perasaan. Golongan obat ini juga memiliki risiko efek samping yang lebih rendah
dibandingkan antipsikotik tipikal sehingga menjadi pilihan terapi untuk gangguan
psikotik akut.31

Tabel 2. Daftar Obat Antipsikotik, Dosis dan Sediaan sesuai Pedoman


Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Ilmu Kedokteran Jiwa32
Obat Antipsikotik Rentang dosis anjuran Sediaan
Antipsikotik Generasi I
Chlorpromazine 300-1000 mg/hari Tablet (25 mg; 100 mg)
Perfenazin 16-64 mg/hari Tablet (4 mg)
Trifluoperazin 15-50 mg/hari Tablet (1 mg; 5 mg)
Haloperidol 5-20 mg/hari Tablet (0.5 mg; 1 mg; 1.5 mg; 2 mg;
5 g), injeksi short acting (5 mg/ml),
tetes (2 mg/5 ml), injeksi long
acting (50 mg/ml)
Antipsikotik Generasi II
Aripiprazole 10-30 mg/hari Tablet (5 mg; 10 mg; 15 mg), tetes (1
mg/ml), discmelt (10 mg; 15 mg),
injeksi (9.75 mg/ml)
Olanzapine 10-30 mg/hari Tablet (5 mg; 10 mg), injeksi (10
mg/ml)
Quetiapine 300-800 mg/hari Tablet immediate release (IR) (25
mg; 100 mg; 200 mg; 300 mg),
tablet extended release (XR) (50 mg;
300 mg; 400 mg)
Risperidone 2-8 mg/hari Tablet (1 mg; 2 mg; 3 mg), tetes (1
mg/ml), injeksi long acting (25 mg;
37.5 mg; 50 mg)

16
Paliperidone 3-9 mg/hari Tablet (3 mg; 6 mg; 9 mg)
Zotepin 75-150 mg/hari Tablet (25 mg; 50 mg)

2.9.3 Psikoterapi
Psikoterapi individual dan kelompok dapat dilaksanakan sebagai sarana
mendiskusikan pendapat pasien gangguan psikotik akut mengenai stresor yang
dihadapi. Apabila gangguan psikotik akut muncul tanpa adanya suatu stresor yang
jelas, maka perlu digali faktor risiko lain, karena didapatkan kemungkinan kondisi
psikotik akut berulang selama masa kehidupan dan kecenderungan kebutuhan
klinis yang tidak terpenuhi.33
Cara psikoterapi suportif:
A. Psikoterapi suportif (atau supresif, atau non-spesifik)
Tujuan psikotrapi jenis ini ialah:
1. Menguatkan daya tahan mental yang ada.
2. Mengembangkan mekanisme yang baru dan yang lebih baik untuk
mempertahankan kontrol diri.
3. Mengembalikan kesimbangan adaptif (dapat menyesuaikan diri).
Cara-cara psikoterapi suportif antara lain ialah sebagal berikut:
1. Ventilasi atau (psiko-) katarsis.
2. Persuasi atau bujukan.
3. Sugesti.
4. Penjaminan kembali (reassurance).

Beberapa Jenis Psikoterapi Suportif


Semua dokter kiranya harus dapat melakukan psikoterapi suportif jenis:
katarsis, persuasi, sugesti, penjaminan kembali, bimbingan, dan penyuluhan
(konseling). Oleh karena itu, hal ini akan dibicarakan secara singkat di bawah ini.
Tentang perbandingan antara berbagai kelompok psikoterapi, lihatlah tabel
tentang ini. Tentang cara-cara psikoterapi lain, silahkan melihat glosari, bila perlu.
 Ventilasi atau katarsis ialah membiarkan pasien mengeluarkan isi hati
sesukanya. Sesudahnya biasanya ia lega dan kecemasannya (tentang
penyakitnya) berkurang, karena ia lalu dapat melihat masalahnya dalam

17
proporsi yang sebenarnya. Hal ini dibantu oleh dokter dengan sikap yang
penuh pengertian (empati) dan dengan anjuran. Jangan terlalu banyak
memotong bicaranya (menginterupsi). Yang dibicarakan ialah kekhawatiran,
impuls-impuls, kecemasan, rnasalah keluarga, perasaan salah atau berdosa.
 Persuasi ialah penerangan yang masuk akal tentang timbulnya gejala-gejala
serta baik-buruknya atau fungsi gejala-gejala itu. Kritik diri sendiri oleh pasien
penting untuk dilakukan. Dengan demikian rnaka impuls-impuls yang tertentu
dibangkitkan, diubah atau diperkuat dan impuls-impuls yang lain dihilangkan
atau dikurangi, serta pasien dibebaskan dari impuls-impuls yang sangat
mengganggu. Pasien pelan-pelan menjadi yakin bahwa gejala-gejalanya akan
hilang.
 Sugesti ialah secara halus dan tidak langsung menanamkan pikiran pada pasien
atau rnembangkitkan kepercayaan padanya bahwa gejala-gejala akan hilang.
Dokter sendiri harus mempunyai sikap yang meyakinkan dan otoritas
profesional serta menunjukkan empati. Pasien percaya pada dokter sehingga
kritiknya berkurang dan emosinya terpengaruh serta perhatiannya menjadi
sempit. Ia mengharapharapkan sesuatu dan ia mulai percaya. Bila tidak
terdapat gangguan kepribadian yang mendalam, maka sugesti akan efektif,
misalnya pada reaksi konversi yang baru dan dengan konflik yang dangkal atau
pada neurosis cemas sesudah kecelakaan.
Sugesti dengan aliran Iistrik (faradisasi) atau dengan masase kadang-kadang
juga menolong, tetapi perbaikan itu cenderung untuk tidak menetap karena
pasien menganggap pengobatan itu datang dari luar dirinya. Jadi sugesti harus
diikuti dengan reedukasi.
Anak-anak dan orang dengan inteligensi yang sedikit kurang serta pasien yang
berkepribadian tidak matang atau histerik lebih mudah disugesti. Jangan
rnemaksa pasien dan jangan rnemberikan kesan bahwa dokter menganggap ia
membesar-besarkan gejalanya. Jangan mengganggu rasa harga diri pasien.
Pasien harus percaya bahwa gejala-gejalanya akan hilang dan bahwa tidak
terdapat kerusakan organik sebagai penyebab gejala-gejala itu. Ia harus

18
diyakinkan bahwa bila gejala-gejala itu hilang, hal itu terjadi karena ia sendiri
mengenal maksud gejala-gejala itu dan bahwa tirnbulnya gejala itu tidak logis.
 Penjaminan kembali atau reassurance dilakukan melalui komentar yang
halus atau sambil lalu dan pertanyaan yang hati-hati, bahwa pasien mampu
berfungsi secara adekuat (cukup, memadai). Dapat juga diberi secara tegas
berdasarkan kenyataan atau dengan rnenekankan pada apa yang telah dicapai
oleh pasien.34
Psikoedukasi merupakan intervensi yang ditujukan untuk mengurangi
stimulus berlebih, stresor lingkungan dan peristiwa kehidupan. Psikoterapi
umumnya dilakukan saat kontrol setelah gejala awal tertangani.32

2.10 Komplikasi
Komplikasi gangguan psikotik akut cenderung lebih rendah dibandingkan
schizophrenia, dikarenakan kemampuan kembali pada fungsi premorbid.
Komplikasi yang terjadi dibedakan menjadi komplikasi psikiatri, membahayakan
diri, komplikasi sosial, dan komplikasi akibat penggunaan obat antipsikotik.
Adapun tanda gejala dari setiap komplikasi, yaitu:
 Komplikasi psikiatri berupa munculnya risiko gangguan skizofreniform,
schizophrenia atau berkembang menjadi gangguan psikotik dengan muatan
gejala afektif di kemudian hari.35
 Komplikasi yang muncul akibat adanya perilaku membahayakan diri
sendiri atau lingkungan, ide dan percobaan bunuh diri. Perilaku bunuh diri
sering muncul pada pasien gangguan psikotik akut yang memiliki riwayat
gangguan jiwa pada keluarga seperti depresi, gangguan afektif dan
spektrum gangguan schizophrenia. Pasien gangguan psikotik akut juga
lebih berisiko mengalami kematian akibat kecelakaan atau akibat tindak
kekerasan terhadap pasien.36
 Komplikasi sosial muncul dari sisi pasien dan keluarga atau lingkungan.
Pasien yang merasa tidak nyaman dengan gangguan psikotik yang dialami
merasa malu, terasing dan menjadi aib. Sedangkan keluarga atau
lingkungan juga bisa memunculkan stigma terhadap gangguan jiwa.37

19
 Obat antipsikotik memiliki beberapa efek samping, yang terutama adalah
sindrom ekstrapiramidal seperti kaku di badan dan persendian,
mengeluarkan air liur, tremor, akatisia, perlambatan psikomotor, demam,
hingga risiko mengalami Neuroleptic Malignant Syndrome (NMS).
Beberapa antipsikotik juga dapat menyebabkan neutropenia,
misalnya clozapine, sehingga pasien perlu menjalani pemeriksaan darah
secara reguler.38

2.11 Prognosis
Prognosis gangguan psikotik akut ditentukan oleh gejala yang terjadi.
Pasien dengan gejala dominan waham atau halusinasi memiliki tingkat
kekambuhan. Komplikasi dapat terjadi akibat obat antipsikotik yang digunakan,
misalnya sindrom ekstrapiramidal dan sindrom neuroleptik maligna.
Berbagai studi memiliki pendapat berbeda mengenai prognosis gangguan
psikotik akut, namun secara umum pasien memiliki risiko kekambuhan di masa
kehidupan selain kemampuan kembali pada fungsi premorbid.35
Meskipun secara teori dinyatakan bahwa pada kondisi gangguan psikotik
akut akan kembali pada fungsi premorbid, tetapi gangguan psikotik akut juga
dapat mengalami kekambuhan atau berkembang menjadi gangguan psikotik
kronis seperti schizophrenia. Kondisi ini lebih sering terjadi pada pasien gangguan
psikotik akut dengan gejala dominan halusinasi atau waham.39
Studi yang dilakukan selama 9 tahun pada pasien gangguan psikotik akut
menemukan tingkat kekambuhan sekitar 50%, terutama pada pasien dengan gejala
dominan waham.40

2.12 Edukasi
Edukasi dan promosi kesehatan gangguan psikotik akut ditujukan pada
pengenalan gejala dan kemampuan identifikasi tanda bahaya. Pasien dan keluarga
perlu dilibatkan aktif sejak penanganan fase akut.
Dokter perlu menyampaikan mengenai gangguan psikotik akut pada pasien
(apabila sudah dalam kondisi stabil dan bisa menerima informasi dengan baik)
dan keluarga serta menjelaskan faktor risiko terkait. Upayakan saat melakukan

20
komunikasi tersebut menggunakan bahasa awam yang dapat dimengerti dengan
mudah. Beberapa hal terkait mengenai faktor penyebab, pencetus dan gejala perlu
diketahui dan disampaikan.29
Edukasi mengenai terapi yang meliputi 2 aspek dalam hal pengobatan dan
psikoterapi perlu ditekankan untuk mencapai perbaikan optimal. Pasien dan
keluarga diharapkan dapat berkunjung kembali pasca rawat inap (apabila saat itu
membutuhkan rawat inap) atau kontrol pasca pemberian obat yang pertama kali.
Informasikan bahwa kontrol berikutnya akan dilakukan evaluasi ulang mengenai
kondisi klinis dan penyesuaian terapi.41

2.13 Pencegahan29
Selain pengenalan gejala, pasien dan keluarga perlu diajak melakukan
tindakan pencegahan, di antaranya:
1. Mengenal faktor stres yang mendasari.
2. Meminta pasien kontrol kembali sambil menceritakan progress terapi yang
dijalani.
3. Memahami kondisi diri dan kerentanan (apabila ada faktor risiko berupa
mekanisme coping maladaptif maka dapat dilakukan tata laksana lanjutan
dalam psikoterapi).
4. Meminta keluarga untuk memberikan dukungan adekuat terhadap proses
terapi yang dijalani.
5. Pasien diminta menyampaikan keinginan yang belum terpenuhi selama
proses terapi supaya terapi yang dijalankan dapat efektif.
Salah satu bentuk pencegahan yang efektif adalah menyadarkan dan
membangkitkan penerimaan mengenai kondisi yang dihadapi. Penerimaan yang
baik terhadap gangguan yang dialami dan munculnya tilikan yang baik akan
membantu progress terapi.

2.14 STATUS MENTAL PASIEN GANGGUAN PSIKOTIK AKUT

I. Status Mental
A. Deskripsi Umum

21
1. Penampilan : Dari hasil observasi didapatkan roman wajah tampak
akan sesuai usia atau lebih tua, perawatan diri tampak terawat atau
bisa tidak terawat, kesan penampilan secara umum baik dan bisa
kurang baik.
2. Perilaku dan aktivitas motorik: Pasien akan tampak tenang atau
gelisah, kontak mata dengan pewawancara baik, tidak ada aktivitas
motorik yang berlebihan atau bisa berlebihan, kesan baik tidak ada
gangguan, bisa juga terganggu.
3. Pembicaraan: Pasien menggunakan bahasa sehari-hari, artikulasi
jelas, volume sedang, pembendaharaan kata cukup, atau bisa
kurang, kesan dapat baik tidak ada gangguan atau bisa terganggu
(inkoheren, irrelevan).
4. Sikap terhadap pemeriksa: Kooperatif atau tidak kooperatif.

B. 1. Kesadaran:Kuantitatif : Compos Mentis atau bisa menurun

Kualitatif : berubah atau bisa berkabut (mengalami


gangguan)
2. Orientasi
Waktu : Baik (tidak mengalami gangguan)
Tempat: Baik (tidak mengalami gangguan)
Orang: Baik (tidak mengalami gangguan)

C. Mood dan Afek :


 Mood : senang, sedih dan labil
 Afek : tak wajar, kedangkalan
Keserasian → Inappropriate

D. Proses Pikir
1. Bentuk pikir : non-realistis
2. Arus piker : coherent, incoherent, irrelevan, blocking atau asosiasi
longgar
3. Isi pikir : miskin isi pikir, waham atau ide-ide tak wajar

22
E. Gangguan persepsi:
Halusinasi auditorik dan atau visual
F. Kemauan :
 Merawat diri : Pasien masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari
seperti merawat diri (mandi, makan) meskipun harus disuruh.
 Fungsi : Terganggu
 Relasi : Terganggu
 Waktu Luang : Terganggu
 Aktivitas sehari – hari : Terganggu
Kesan: Terganggu

23
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Gangguan psikotik akut adalah kondisi menunjukkan hendaya dalam
kemampuan daya nilai realitas yang terjadi selama > 1 hari sampai < 1 bulan
ditandai onset tiba-tiba dari 1 atau lebih gejala: delusi, halusinasi, postur dan
perilaku yang bizarre, serta bicara kacau.
Penyebab spesifik gangguan ini tidak diketahui, tetapi terdapat faktor-faktor
yang berperan yaitu: faktor genetik, biologi, kepribadian, dan respons terhadap
stres. Tipe-tipe gangguan psikotik, yaitu: gangguan psikotik polimorfik akut tanpa
gejala skizofrenia, psikotik polimorfik akut dengan gejala skizofrenia, psikotik lir-
skizofrenia akut, dan psikotik akut lainnya dengan predominan waham.
Penegakan diagnosisnya melalui eksplorasi status mental dalam proses
anamnesis serta observasi perilaku pasien. Data pendukung diambil dari
keterangan keluarga yang mengetahui perubahan kondisi mental pasien. Diagnosis
banding didasarkan pada keterlibatan faktor organik, gangguan medis, riwayat
penggunaan zat atau obat. Apabila dokter curiga adanya kejang mendasari
kejadian psikotik maka disarankan pemeriksaan EEG dan pada penyalahgunaan
zat maka tes urine dilakukan.
Penatalaksanaan gangguan psikotik akut bertujuan untuk mengembalikan
fungsi premorbid, meredakan dan mengontrol gejala. Penatalaksanaan dimulai
dengan identifikasi dan penanganan kondisi kegawatdaruratan. Apabila gangguan
psikotik akut disertai kondisi kegawatdaruratan psikiatri, maka pasien perlu
dilakukan rawat inap.
Prognosis gangguan psikotik akut ditentukan oleh gejala yang terjadi.
Pasien dengan gejala dominan waham atau halusinasi memiliki tingkat
kekambuhan dan komplikasi berupa schizophrenia yang lebih tinggi. Komplikasi
juga dapat terjadi akibat obat antipsikotik yang digunakan, misalnya sindrom
ekstrapiramidal.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Stuart G.W.,Sundden S. J. 2014. Buku Saku Keperawatan Jiwa (5th ed.).


Jakarta: EGC.
2. American Psychiatric Association. 2005. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR). Airlington;
APA.
3. Gangguan Psikotik Akut. Editor: Husny Muttaqin dan Tiara Mahatmi Nisa.
Kaplan & Sadock - Buku Ajar Psikiatn Klinis. Edisi 2. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC. 2014:179-181.
4. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan
DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kcdokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. 20
13:53-55.
5. National Basic Health Research 2018 Report. 2018. In progress. Indonesian.
6. National Basic Health Research 2013 Report. 2013.NIHRD Press.
Indonesian.
7. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Schizophrenia spectrum and other psychotic
disorders 2015. In: Kaplan and Sadock’s synopsis of psychiatry. New York:
Wolters Kluwer. 11 th.
8. Wang C, Pan R, Wan X, Tan Y, Xu L, Mcintyre RS, et al. A longitudinal
study on the mental health of general population during the COVID-19
epidemic in China. Brain, Behavior, and Immunity. 2020;S0889-
1591(20)30511-0.
9. Witaj P, Chrostek A, Grygiel P, Wciórka J, Anczewska M. Exploring Factors
Associated with the Psychosocial Impact of Stigma Among People with
Schizophrenia or Affective Disorders. Community Ment Health J 2016
04;52(3):370-378.
10. Fox AB, Smith BN, Vogt D. How and when does mental illness stigma
impact treatment seeking? Longitudinal examination of relationships between

25
anticipated and internalized stigma, symptom severity, and mental health
service use. Psychiatry Res. 2018;268:15-20.
11. Sadock BJ, Sadock VA. 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis.
Edisi ke-2. Cetakan 2010. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 147-
16.
12.  Harrison, P., Cowen, P., Burns, T., & Fazel, M. 2018. Shorter Oxford
Textbook of Psychiatry Seventh Edition. Oxford: Oxford University Press.
13. Memon MA. 2015. Brief Psychotic Disorder. Available from:
http://emedicine.medscape.com/artic1e/29441 6-overview. Accessed 2
December 2015.
14. Cheng SK-W, Tsang JS-K, Ku K-H, Wong C-W, Ng Y-K. Psychiatric
complications in patients with severe acute respiratory syndrome (SARS)
during the acute treatment phase: a series of 10 cases. British Journal of
Psychiatry. 2004;184(4):359–60.
15. Sheng B, Cheng SKW, Lau KK, Li HL, Chan ELY. The effects of disease
severity, use of corticosteroids and social factors on neuropsychiatric
complaints in severe acute respiratory syndrome (SARS) patients at acute and
convalescent phases. European Psychiatry. 2005;20(3):236–42.
16. Lee DTS, Wing YK, Leung HCM, Sung JJY, Ng YK, Yiu GC, et al. Factors
Associated with Psychosis among Patients with Severe Acute Respiratory
Syndrome: A Case-Control Study. Clinical Infectious Diseases.
2004;39(8):1247–9.
17. Sadock, B. J., Sadock, V. A., & Ruiz, P. 2017. Kaplan & Sadock's
Comprehensive Textbook of Psychiatry Tenth Edition. In R. Mojtabai, L. J.
Fochtmann, & E. J. Bromet, Other Psychotic Disorders (pp. 4040-4055).
Philadelphia: Wolters Kluwer.
18. Castagnini, A., Laursen, T., Mortensen, P., & Bertelsen, A. (2013,
November). Family psychiatric morbidity of acute and transient psychotic
disorders and their relationship to schizophrenia and bipolar disorder.
Psychology Medicine, 43(11), 2369-2375. 

26
19. Lally, K., Ibrahim, N., Kelly, M., & Gulati, G. 2017. Brief Psychotic Episode
in a Patient with Chromosome 2q37 Microdeletion Syndrome. BMJ Case
Report, 221. doi:10.1136/bcr-2017-221012
20. McCutcheon, R. A., Bloomfield, M. A., Dahoun, T., Mehta, M., & Howes, O.
D. 2018, December 17.
21. Grace, A. 2012. Pathophysiology of Psychosis and Novel Approaches to
Treatment. International Clinical Psychopharmacology, 28(e-Supplement A),
12.
22. Mehta P, Mcauley DF, Brown M, Sanchez E, Tattersall RS, Manson JJ.
COVID-19: consider cytokine storm syndromes and immunosuppression. The
Lancet. 2020;395(10229):1033–4.
23. Troyer EA, Kohn JN, Hong S. Are we facing a crashing wave of
neuropsychiatric sequelae of COVID-19? Neuropsychiatric symptoms and
potential immunologic mechanisms. Brain, Behavior, and Immunity. 2020
24. Upthegrove R, Khandaker GM. Cytokines, Oxidative Stress and Cellular
Markers of Inflammation in Schizophrenia. Neuroinflammation and
Schizophrenia Current Topics in Behavioral Neurosciences. 2019;:49–66.
25. Munjal S, Ferrando SJ, Freyberg Z. Neuropsychiatric Aspects of Infectious
Diseases: an Update. Crit Care Clin. 2017;33:681-712.
26. Miller BJ, Culpepper N, Rapaport MH. C-Reactive Protein Levels in
Schizophrenia. Clinical Schizophrenia & Related Psychoses. 2014;7(4):223–
30.
27. Desforges M, Coupanec AL, Dubeau P, Bourgouin A, Lajoie L, Dubé M, et
al. Human Coronaviruses and Other Respiratory Viruses: Underestimated
Opportunistic Pathogens of the Central Nervous System? Viruses.
2019;12(1):14.
28. Sevilla-Llewellyn-Jones, J., Cano-Dominiguez, P., de-Luis, M. A., Penuelas-
Calvo, I., Espina-Eizaguirre, A., Moreno-Kustner, B., & Ochoa, S. (2017,
April). Personality Traits and Psychotic Symptoms in Recent Onset of
Psychosis Patients. Comprehension Psychiatry, 74, 109-117. 

27
29. Ulya, Z. (2019). Catatan Refleksi untuk Dokter Muda Psikiatri. Jogjakarta:
Indie Book Corner.
30. DSM-5. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fifth
Edition. In W. T. Carpenter, D. M. Barch, J. R. Bustillo, W. Gaebel, R. E.
Gur, S. H. Heckers, J. v. Os, Schizophrenia Spectrum and Other Psychotic
Disorders (pp. 94-96). Washington: American Psychiatric Publishing.
31. Bak, M., Weltens, I., Bervoets, C., De Fruyt, J., Samochowiec, J., Fiorillo, A.,
Dom, G. (2019, April). The Pharmacological Management of Agitated and
Aggressive Behaviour: A Systematic Review and Meta-analysis. European
Psychiatry, 57, 78-100. doi:10.1016/j.eurpsy.2019.01.014.
32. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2015, Februari 26).
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Kedokteran Jiwa (Psikiatri).
Retrieved from Kementerian Kesehatan Republik Indonesia: http: //hukor.
kemkes. go. Id / uploads / produk _ hukum / KMK _ No._HK_.02_.02-
MENKES- 73-2015_ttg_ Pedoman_ Nasional_ Pelayanan_ Kedokteran_
Jiwa_.pdf.
33. Minichino, A., Rutigliano, G., Merlino, S., Davies, C., Oliver, D., De, A. M.,
Fusar-Poli, P. (2019, April). Unmet needs in patients with brief psychotic
disorders: Too ill for clinical high risk services and not ill enough for first
episode services. European Psychiatry, 57, 26-32. doi: 10. 1016/
j.eurpsy.2018.12.006
34. Maramis, Willy F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. Surabaya :
Airlangga University Press. 2009.
35. Sadock, B. J., Ahmad, S., & Sadock, V. A. (2019). Kaplan & Sadock's Pocket
Handbook of Clinical Psychiatry Sixth Edition. Philadelphia: Wolters
Kluwer.
36. Rajkumar, R. (2018). Correlates of Suicide-related Ideation and Attempts in
Patients with Acute and Transient Psychotic Disorder. Clinical Schizophrenia
Related Psychoses, 12(1), 42-47. doi:10.3371/CSRP.RA.070415.

28
37. Ezell, J., Choi, C., Wall, M., & Link, B. (2018, January). Measuring
Recurring Stigma in the Lives of Individuals with Mental Illness. Community
Mental Health Journal, 54(1), 27-32. doi:10.1007/s10597-017-0156-1.
38. Misdrahi, D., Tessier, A., Daubigney, A., Meissner, W., Schurhoff, E., Boyer,
L.,FACE-SZ, G. (2019). Prevalence of and Risk-Factors for Extrapyramidal
Side Effects of Antipsychotics: Results from the National FACE-SZ Group.
Journal Clinical Psychiatry, 8(1), 80. doi:10.4088/JCP.18m12246.
39. Castagnini, A., Foldager , L., & Bertelsen, A. (2013, January). Long-term
stability of acute and transient psychotic disorders. Australian & New
Zealand Journal of Psychiatry, 47(1), 59-64.
40. Castagnini, A., & Foldager, L. (2014). Epidemiology, course and outcome of
acute polymorphic psychotic disorder: implications for ICD-11.
Psychopathology, 47(3), 202-206.
41. Rutigliano, G., Merlino, S., Minichino, A., Patel, R., Davies, C., Oliver, D.,
Fusar-Poli, P. (2018, August). Long term outcomes of acute and transient
psychotic disorders: The missed opportunity of preventive interventions.
European Psychiatry, 52, 126-133. doi:10.1016/j.eurpsy.2018.05.004.

29

Anda mungkin juga menyukai