Disusun Oleh:
PEMBIMBING:
KEPANITERAAN KLINIK
KSM ILMU KESEHATAN JIWA
RSUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA
RSJ KALAWA ATEI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2020
i
LEMBAR PENGESAHAN
Fakultas : Kedokteran
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT karena atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Gangguan
Psikotik Akut”. Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam
Kepaniteraan Klinik KSM Ilmu Kesehatan Jiwa. Selain itu, referat ini diharapkan
dapat memberikan manfaat bagi siapapun yang membacanya untuk menambah
pengetahuan dalam bidang ilmu kesehatan masyarakat, khususnya tentang Gangguan
Psikotik Akut.
Dalam penulisan referat ini terdapat banyak hambatan, namun berkat dukungan
dan bimbingan dari berbagai pihak sehingga penulisan referat ini dapat terselesaikan
dengan baik. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada
pihak-pihak berikut ini:
1. Pembimbing referat penulis, dr. Dina Elizabeth Sinaga, Sp.KJ yang telah bersedia
membimbing penulis dari awal penyusunan, hingga referat ini selesai dibuat.
Serta atas seluruh ilmu yang diberikan kepada penulis selama mengikuti kegiatan
koas di Kepaniteraan Klinik KSM Ilmu Kesehatan Jiwa.
2. Rekan-rekan sejawat penulis yang telah memberikan banyak masukan, dan kritik
dalam penulisan referat ini.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dan penulis berharap agar referat ini dapat bermanfaat dalam Ilmu
Kesehatan Masyarakat.
iv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
PERNYATAAN KEASLIAN .......................................................................... iii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iv
DAFTAR ISI ..................................................................................................... v
Bab I Pendahuluan.......................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang.............................................................................. 1
Bab II Tinjauan Pustaka ................................................................................. 3
1.1 Definisi ........................................................................................ 3
1.2 Epidemiologi ................................................................................ 3
1.3 Etiologi dan Patofisiologi ............................................................. 4
1.4 Klasifikasi .................................................................................... 6
1.5 Gejala Klinis ................................................................................. 11
1.6 Diagnosis ...................................................................................... 12
1.7 Diagnosis Banding ....................................................................... 13
1.8 Pemeriksaan Penunjang ................................................................ 14
1.9 Tatalaksana .................................................................................. 15
1.10.................................................................................. Komplikasi 19
1.11..................................................................................... Prognosis 20
1.12........................................................................................ Edukasi 20
1.13.................................................................................. Pencegahan 21
1.14...................................... Status Mental Gangguan Psikotik Akut 22
Bab III Penutup.................................................................................................. 24
3.1 Kesimpulan ................................................................................... 24
Daftar Pustaka ................................................................................................... 25
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
Saat ini gangguan psikotik masih menjadi masalah di Indonesia. Prevalensi
psikosis 1,8 per 1000 penduduk menurut Riskesdas 2018 sedikit lebih tinggi
dibandingkan hasil Riskesdas 2013 yang menyebutkan pevalensi psikosis 1,7 per
1000 penduduk. Prevalensi psikosis lebih tinggi di perdesaan dibandingkan di
perkotaan. Hal ini berbeda dengan teori kepadatan penduduk yang menyebutkan
skizofrenia (salah satu jenis psikosis) lebih tinggi di daerah dengan kepadataan
penduduk yang tinggi seperti di perkotaan. Faktor lingkungan kepadatan
penduduk merupakan faktor berpengaruh terhadap terjadinya ganguan jiwa antara
lain psikosis. 5,6,7
Selain itu, baru-baru ini telah dilakukan sebuah studi longitudinal gejala
psikologis pada 1738 responden dari 190 kota di China selama wabah COVID-19
di Wuhan, China, yang diulang empat minggu kemudian di puncak epidemi
mengungkapkan 28% laporan kecemasan tingkat tinggi, 17% depresi, 8% stres
dan kesusahan stabil dari waktu ke waktu. Sebuah survei online terhadap 1.074
orang dari Wuhan menghasilkan hasil yang serupa, dengan tingkat kecemasan,
depresi, penggunaan alkohol yang tinggi, dan penurunan kesejahteraan mental di
antara responden, dengan individu berusia 21-40 tahun melaporkan gejala yang
lebih tinggi daripada kelompok usia lainnya.8
Angka prevalensi kemungkinan lebih rendah dari kejadian yang sebenarnya
karena enumerator bertanya kepada kepala keluarga, dan bukan kepada individu
langsung sehingga hanya kasus yang sangat jelas yang terlaporkan. Faktor lain
adalah stigma yang masih ada menyangkut rasa malu mengakui adanya keluarga
yang menderita gangguan jiwa sehingga tidak mengakui adanya anggota keluarga
satu rumah yang mengalami psikosis.9,10
Oleh karena itu, dalam menangani pasien dengan gangguan psikotik akut
perlu teknik pendekatan keluarga dan pasien agar tercipta kejujuran dan kerjasama
yang baik dalam proses penegakkan diagnosis dan tatalaksana untuk pasien.
Adapun dalam menegakkan diagnosis perlu diadakannya pemeriksaan status
psikiatrikus dan dapat diberi penatalaksanaan berupa farmakologi dan non-
farmakologi terhadap pasien.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi11,12
Gangguan psikotik adalah semua kondisi yang menunjukkan adanya
hendaya (kerusakan) berat dalam kemampuan daya nilai realitas, baik dalam
perilaku individu dalam suatu saat maupun perilaku individu dalam perjalanannya
mengalami hendaya berat kemampuan daya nilai realitas (perlu dipertimbangkan
faktor budaya).
Bukti langsung hendaya daya nilai realitas terganggu misal adanya;
• Waham, halusinasi tanpa tilikan akan sifat patologinya;
• Adanya perilaku yang demikian kacau (grossly disorganized) misalnya
bicara yang inkoheren, perilaku agitasi tanpa tujuan, disorientasi pada
delirium dst;
• Adanya kegagalan fungsi sosial dan personal dengan penarikan diri dari
pergaulan sosial dan tidak mampu dalam tugas pekerjaan sehari-hari.
Gangguan psikotik akut dapat didefinisikan sebagai keadaan dimana
seseorang mengalami gangguan jiwa selama 1 hari sampai kurang dari 1 bulan
yang ditandai dengan onset tiba-tiba dari 1 atau lebih gejala berikut ini: delusi,
halusinasi, postur dan perilaku yang bizarre, serta bicara yang kacau. Gangguan
psikotik akut dapat menjadi gejala awal dari penyakit psikotik lainnya, seperti
schizophrenia. Perbedaan antara penyakit ini dengan gangguan psikotik lainnya
adalah dalam hal jenis dan intensitas gejala, durasi waktu, serta perjalanan
gangguan psikotik yang dapat kembali penuh pada fungsi premorbid.
2.2 Epidemiologi
Berdasarkan hasil penelitian epidemiologi berskala internasional, insidensi
gangguan psikotik singkat lebih tinggi 10 kali lipat pada negara berkembang
dibandingkan negara industri. Beberapa ahli yakin bahwa gangguan ini paling
sering terjadi pada kelas sosial ekonomi rendah, pasien dengan gangguan
kepribadian, dan imigran. Gangguan paling umum pada pasien yang berusia 30-an
hingga awal 40-an. Insidensi wanita 2 kali lipat dari laki-laki. 13 Sebuah studi
3
kohort mengemukakan bahwa seseorang memiliki peningkatan risiko sebesar 2
kali lipat ketika memiliki faktor risiko genetik.
Laporan sebelumnya dari epidemi SARS CoV-1 mengidentifikasi berbagai
komplikasi kejiwaan pada pasien yang terkena SARS, termasuk kecemasan terkait
penyesuaian, depresi, keinginan bunuh diri, serta halusinosis organik dan
gangguan manik organik.14 Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi telah
diidentifikasi sebagai faktor terkait yang signifikan dalam presentasi
psikotik.14,15,16
A. Faktor Genetik
Sebuah studi kohort mengemukakan bahwa seseorang memiliki peningkatan
risiko sebesar 2 kali lipat ketika memiliki faktor risiko genetik (terutama
pada first-degree relative, seperti hubungan langsung antara ayah atau ibu dan
anak) dibandingkan tanpa riwayat genetik. Faktor ini tidak pernah 100%, hanya
berkisar antara 5% pada orang tua sampai 45% pada saudara kembar identik dari
orang yang skizofrenia. Risiko ini semakin besar apabila dalam garis keluarga
memiliki riwayat skizofrenia dan/atau gangguan bipolar.18
B. Faktor Biologi
Faktor biologi dikaitkan dengan komponen biokimia, fisiologi dan aktivitas
otak. Komponen biokimia dan fisiologi didasarkan pada hipotesis dopamin di
dalam otak yang mengalami peningkatan terutama pada area mesolimbik sehingga
4
memunculkan gejala seperti delusi, halusinasi, perilaku bizarre dan pembicaraan
yang kacau.12
Hasil studi mengemukakan adanya pasien gangguan psikotik akut yang
memiliki kelainan berupa mikrodelesi kromosom 2q37 yang menyebabkan pasien
memiliki gejala agitasi, pembicaraan berulang, waham nihilistik hingga gangguan
tidur. Studi yang berbeda menunjukkan adanya perubahan terhadap komponen
aktivitas otak pada orang yang terpapar stres tinggi dan berulang seperti halnya
pasien gangguan psikotik akut.19
Paparan kronis stres psikis yang berasal dari masalah kehidupan sehari-hari
dan interaksi sosial berhubungan dengan perubahan proses dan konektivitas regio
kortikostriatal yang mengarah pada gangguan psikotik. Hasil resting state MRI
pada orang yang sering terpapar stress psikososial menunjukkan peningkatan
konektivitas antara ventral striatum inferior, girus supramarginal kanan,
operculum insular dan girus temporal tengah.20
Sistem dopamin berperan pada patofisiologi gangguan psikotik akut.
Gangguan aktivitas hippocampal dan peningkatan respons dopamin diikuti
penurunan parvalbumin interneuron di hippocampus dan hiperaktivitas regio
hippocampal ventral yang menyebabkan disinhibisi neuron firing dopamin di
mesolimbik. Sehingga muncul peningkatan dua kali lipat dopamin di area ventral
tegmental. Stimulus eksternal menyebabkan peningkatan respons sistem
dopamin.21
Sementara etiologi gejala psikotik yang dijelaskan di sini mungkin terkait
dengan stres yang tidak terungkap atau tidak terartikulasikan dari pandemi
COVID pada individu yang rentan secara psikiatri. Namun adanya infeksi COVID
dan penanda inflamasi yang tinggi, terutama CRP, meningkatkan kemungkinan
pemicu inflamasi terkait virus.
Respon inflamasi yang mendalam terhadap infeksi COVID-19 ("cytokine
storm") dianggap bertanggung jawab atas komplikasi penyakit paru dan jantung
yang parah, terkadang fatal, dan telah didalilkan untuk menghasilkan gejala
neuropsikiatri melalui mekanisme imunologi.22,23 Pemicu berbasis kekebalan telah
lama terlibat dalam patogenesis penyakit kejiwaan, termasuk depresi, gangguan
5
psikotik seperti skizofrenia, dan manifestasi neuropsikiatri dari infeksi HIV dan
virus lainnya.24,25 CRP, yang meningkat pada ketiga pasien kami, telah dipelajari
sebagai penanda potensial aktivasi imun perifer, yang didalilkan memiliki peran
kausal atau pemicu pada psikosis skizofreniform.26 Telah dihipotesiskan bahwa
virus korona manusia dan virus pernapasan lainnya dapat bertindak sebagai
patogen oportunistik dari sistem saraf pusat (SSP) karena telah terbukti memiliki
kualitas invasif saraf, baik karena autoimunitas atau replikasi virus.27 Faktanya,
penetrasi SSP dan peradangan saraf dari virus korona lain telah dikaitkan dengan
gangguan psikotik onset baru atau infeksi SSP.16,23
C. Faktor Psikodinamika
Teori psikodinamika adalah bahwa gejala psikotik yang merupakan suatu
pertahanan terhadap fantasi yang dilarang, pemenuhan harapan yang tidak
tercapai atau suatu pelepasan dari situasi psikosial tertentu.3
Kepribadian schizoid sering menjadi kepribadian dasar seseorang yang
mengalami gangguan psikotik akut, namun ciri kepribadian lain juga memiliki
risiko mengalami gangguan serupa, di antaranya ciri kepribadian cemas,
dependen, histrionik, narsisistik, paranoid dan anankastik.21
Seseorang dengan kerentanan terhadap masalah, pendiam, tertutup, selalu
memilih aktivitas sendiri, kurang bisa menunjukkan kehangatan dalam sosial dan
aspek hidup, kurang bisa menerima kritik memiliki kerentanan mengalami
gangguan psikotik akut. Kondisi ini akan membawa seseorang masuk dan lebih
nyaman dengan fantasi yang dimiliki dan mengalami alienasi dari lingkungan
sekitar hingga akhirnya muncul manifestasi gejala psikotik.28
Dari berbagi macam faktor, faktor yang paling sering menyebabkan
gangguan psikotik akut ialah faktor stresor kehidupan, napza, alkohol, trauma
kepala atau infeksi otak, faktor kepribadian, dan faktor genetik.
2.4 Klasifikasi4
F23.0 Gangguan Psikotik Polimorfik Akut Tanpa Gejala Skizofrenia
a) Onset harus akut (dari suatu keadaan nonpsikotik sampai keadaan psikotik
yang jelas dalam kurun waktu 2 minggu atau kurang);
6
b) Harus ada beberapa halusinasi atau waham yang berubah dalam jenis dan
intensitasnya dari hari kehari atau dalam hari yang sama;
c) Harus ada keadaan emosional yang sama beraneka ragamnya;
d) Walaupun gejala-gejalanya beraneka ragam, tidak satupun dari gejala itu
ada secara cukup konsisten dapat memenuhi kriteria skizofrenia atau
episode manik atau depresi.
1. Kriteria skizofrenia:
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan
biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau
kurang jelas):
a. - Thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda, atau
- Thought insertion or withdrawal = isi pikiran yang asing dari
luar masuk kedalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya
diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (Withdrawal) dan
- Thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga
orang lain atau umumnya mengetahuinya.
b. - Delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar atau
- Delusion of influence = waham tentang dirinya dipengaruhi
oleh suatu kekuatan tertentu dari luar atau
- Delusion of passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya
dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang dirinya=
secara jelas ,merujuk ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau
kepikiran, tindakan atau penginderaan khusus).
- Delusion perception = pengalaman inderawi yang tidak wajar,
yang bermakna sangat khas bagi dirinya , biasanya bersifat
mistik dan mukjizat.
c. Halusional Auditorik ;
7
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus
terhadap prilaku pasien
- Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri
(diantara berbagai suara yang berbicara atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian
tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya
setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahi,
misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu atau
kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa (misalnya
mampu mengendalikan cuaca atau berkomunikasi dengan
mahluk asing atau dunia lain)
Atau paling sedikitnya dua gejala dibawah ini yang harus selalu
ada secara jelas:
e. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja , apabila
disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang
setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun
disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang
menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-
minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation) yang berakibat inkoherensia atau pembicaraan
yang tidak relevan atau neologisme.
g. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement),
posisi tubuh tertentu (posturing) atay fleksibilitas cerea,
negativisme, mutisme, dan stupor.
h. Gejala negatif seperti sikap apatis, bicara yang jarang dan
respons emosional yang menumpul tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan
menurunya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neureptika.
8
* Adapun gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal);
* Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan,
tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitute),
dan penarikan diri secara sosial.
Tip-tipe skizofrenia yaitu:
Skizofrenia paranoid
Skizofrenia hebefrenik
Skizofrenia katanonik
Skizofrenia tak terinci
Depresi pasca-skizofrenia
Skizofrenia residual
Skizofrenia simpleks
2. Episode Manik:
Derajat gangguan yg lebih ringan dari mania (F30.1)
Afek yangg meninggi atau berubah disertai peningkatan aktivitas,
menetap selama sekurang-kurangnya beberapa hari berturut-turut,
pada suatu derajat intensitas dan yang bertahan melebihi apa yang
digambarkan bagi siklotimia (F34.0)
Tidak disertai halusinasi atau waham
Pengaruh nyata atas kelancaran pekerjaan dan aktivitas sosial memang
sesuai dg diagnosis hipomania, akan tetapi bila kekacauan itu berat
atau menyeluruh, maka diagnosis mania (F30.1 atau F30.2) harus
ditegakkan.
Tipe-tipe episode Manik yaitu:
Hipomania
Mania tanpa gejala psikotik
9
Mania dengan gejala psikotik
10
F.23.2 Gangguan Psikotik Lir-Skizofrenia Akut
Suatu gangguan psikotik akut dengan gejala yang stabil dan memenuhi
kriteria skizofrenia, tetapi hanya berlangsung kurang dari satu bulan lamanya.
Pedoman diagnosis:
Onset psikotiknya akut (dua minggu atau kurang).
Memenuhi kriteria skizofrenia, tetapi lamanya kurang 1 bulan.
Tidak memenuhi kriteria psikosis polimorfik akut.
11
2.6 Diagnosis
Penegakan diagnosis gangguan psikotik akut melalui eksplorasi status
mental dalam proses anamnesis serta observasi perilaku pasien. Data pendukung
diambil dari keterangan keluarga yang mengetahui perubahan kondisi mental
pasien. Pedoman diagnosis gangguan psikotik akut ada dalam PPDGJ-III.4
2.6.1 Anamnesis29
Autoanamnesis dan observasi perilaku pasien gangguan psikotik akut
menunjukkan gangguan pada status mental:
Gangguan proses pikir: pikiran tidak realistik, waham yang disertai arus
pikir kacau.
Gangguan persepsi: halusinasi, ilusi, depersonalisasi dan derealisasi.
Gangguan pembicaraan dan gangguan psikomotor: gaduh gelisah, mondar-
mandir, tindakan yang membahayakan diri sendiri dan lingkungan.
Data pendukung dari keluarga terdekat atau orang yang tinggal bersama
akan memperjelas perubahan yang dialami, pemahaman sumber stresor, riwayat
gangguan psikiatrik dan gangguan medis sebelumnya, riwayat penyalahgunaan
zat, riwayat tumbuh kembang dan ciri kepribadian sebagai bahan penunjang
diagnosis.
12
Tidak memenuhi kriteria episode manik atau episode depresif, walaupun
perubahan emosional dan gejala afektif individual menonjol dari waktu ke
waktu.
13
2.7.4 Gangguan Psikotik Lain
Dokter perlu memikirkan kondisi gangguan psikotik lain ketika durasi
gejala psikotik menetap selama 1 bulan atau lebih, di antaranya gangguan
skizofreniform, gangguan waham, gangguan depresi dengan gejala psikotik,
gangguan bipolar dengan gejala psikotik, tergantung pada gejala yang muncul
ketika dilakukan pemeriksaan. Dokter harus mengevaluasi kemungkinan episode
kekambuhan gejala psikotik.
14
pemeriksaan EEG, demikian halnya pada penyalahgunaan zat maka tes urine
dapat dilakukan.30
2.9 Tatalaksana
Penatalaksanaan gangguan psikotik akut bertujuan untuk mengembalikan
fungsi premorbid, meredakan dan mengontrol gejala. Penatalaksanaan dimulai
dengan identifikasi dan penanganan kondisi kegawatdaruratan. Apabila gangguan
psikotik akut disertai kondisi kegawatdaruratan psikiatri, maka pasien perlu
dilakukan rawat inap.31
15
Dosis maksimal 30 mg/hari
16
Paliperidone 3-9 mg/hari Tablet (3 mg; 6 mg; 9 mg)
Zotepin 75-150 mg/hari Tablet (25 mg; 50 mg)
2.9.3 Psikoterapi
Psikoterapi individual dan kelompok dapat dilaksanakan sebagai sarana
mendiskusikan pendapat pasien gangguan psikotik akut mengenai stresor yang
dihadapi. Apabila gangguan psikotik akut muncul tanpa adanya suatu stresor yang
jelas, maka perlu digali faktor risiko lain, karena didapatkan kemungkinan kondisi
psikotik akut berulang selama masa kehidupan dan kecenderungan kebutuhan
klinis yang tidak terpenuhi.33
Cara psikoterapi suportif:
A. Psikoterapi suportif (atau supresif, atau non-spesifik)
Tujuan psikotrapi jenis ini ialah:
1. Menguatkan daya tahan mental yang ada.
2. Mengembangkan mekanisme yang baru dan yang lebih baik untuk
mempertahankan kontrol diri.
3. Mengembalikan kesimbangan adaptif (dapat menyesuaikan diri).
Cara-cara psikoterapi suportif antara lain ialah sebagal berikut:
1. Ventilasi atau (psiko-) katarsis.
2. Persuasi atau bujukan.
3. Sugesti.
4. Penjaminan kembali (reassurance).
17
proporsi yang sebenarnya. Hal ini dibantu oleh dokter dengan sikap yang
penuh pengertian (empati) dan dengan anjuran. Jangan terlalu banyak
memotong bicaranya (menginterupsi). Yang dibicarakan ialah kekhawatiran,
impuls-impuls, kecemasan, rnasalah keluarga, perasaan salah atau berdosa.
Persuasi ialah penerangan yang masuk akal tentang timbulnya gejala-gejala
serta baik-buruknya atau fungsi gejala-gejala itu. Kritik diri sendiri oleh pasien
penting untuk dilakukan. Dengan demikian rnaka impuls-impuls yang tertentu
dibangkitkan, diubah atau diperkuat dan impuls-impuls yang lain dihilangkan
atau dikurangi, serta pasien dibebaskan dari impuls-impuls yang sangat
mengganggu. Pasien pelan-pelan menjadi yakin bahwa gejala-gejalanya akan
hilang.
Sugesti ialah secara halus dan tidak langsung menanamkan pikiran pada pasien
atau rnembangkitkan kepercayaan padanya bahwa gejala-gejala akan hilang.
Dokter sendiri harus mempunyai sikap yang meyakinkan dan otoritas
profesional serta menunjukkan empati. Pasien percaya pada dokter sehingga
kritiknya berkurang dan emosinya terpengaruh serta perhatiannya menjadi
sempit. Ia mengharapharapkan sesuatu dan ia mulai percaya. Bila tidak
terdapat gangguan kepribadian yang mendalam, maka sugesti akan efektif,
misalnya pada reaksi konversi yang baru dan dengan konflik yang dangkal atau
pada neurosis cemas sesudah kecelakaan.
Sugesti dengan aliran Iistrik (faradisasi) atau dengan masase kadang-kadang
juga menolong, tetapi perbaikan itu cenderung untuk tidak menetap karena
pasien menganggap pengobatan itu datang dari luar dirinya. Jadi sugesti harus
diikuti dengan reedukasi.
Anak-anak dan orang dengan inteligensi yang sedikit kurang serta pasien yang
berkepribadian tidak matang atau histerik lebih mudah disugesti. Jangan
rnemaksa pasien dan jangan rnemberikan kesan bahwa dokter menganggap ia
membesar-besarkan gejalanya. Jangan mengganggu rasa harga diri pasien.
Pasien harus percaya bahwa gejala-gejalanya akan hilang dan bahwa tidak
terdapat kerusakan organik sebagai penyebab gejala-gejala itu. Ia harus
18
diyakinkan bahwa bila gejala-gejala itu hilang, hal itu terjadi karena ia sendiri
mengenal maksud gejala-gejala itu dan bahwa tirnbulnya gejala itu tidak logis.
Penjaminan kembali atau reassurance dilakukan melalui komentar yang
halus atau sambil lalu dan pertanyaan yang hati-hati, bahwa pasien mampu
berfungsi secara adekuat (cukup, memadai). Dapat juga diberi secara tegas
berdasarkan kenyataan atau dengan rnenekankan pada apa yang telah dicapai
oleh pasien.34
Psikoedukasi merupakan intervensi yang ditujukan untuk mengurangi
stimulus berlebih, stresor lingkungan dan peristiwa kehidupan. Psikoterapi
umumnya dilakukan saat kontrol setelah gejala awal tertangani.32
2.10 Komplikasi
Komplikasi gangguan psikotik akut cenderung lebih rendah dibandingkan
schizophrenia, dikarenakan kemampuan kembali pada fungsi premorbid.
Komplikasi yang terjadi dibedakan menjadi komplikasi psikiatri, membahayakan
diri, komplikasi sosial, dan komplikasi akibat penggunaan obat antipsikotik.
Adapun tanda gejala dari setiap komplikasi, yaitu:
Komplikasi psikiatri berupa munculnya risiko gangguan skizofreniform,
schizophrenia atau berkembang menjadi gangguan psikotik dengan muatan
gejala afektif di kemudian hari.35
Komplikasi yang muncul akibat adanya perilaku membahayakan diri
sendiri atau lingkungan, ide dan percobaan bunuh diri. Perilaku bunuh diri
sering muncul pada pasien gangguan psikotik akut yang memiliki riwayat
gangguan jiwa pada keluarga seperti depresi, gangguan afektif dan
spektrum gangguan schizophrenia. Pasien gangguan psikotik akut juga
lebih berisiko mengalami kematian akibat kecelakaan atau akibat tindak
kekerasan terhadap pasien.36
Komplikasi sosial muncul dari sisi pasien dan keluarga atau lingkungan.
Pasien yang merasa tidak nyaman dengan gangguan psikotik yang dialami
merasa malu, terasing dan menjadi aib. Sedangkan keluarga atau
lingkungan juga bisa memunculkan stigma terhadap gangguan jiwa.37
19
Obat antipsikotik memiliki beberapa efek samping, yang terutama adalah
sindrom ekstrapiramidal seperti kaku di badan dan persendian,
mengeluarkan air liur, tremor, akatisia, perlambatan psikomotor, demam,
hingga risiko mengalami Neuroleptic Malignant Syndrome (NMS).
Beberapa antipsikotik juga dapat menyebabkan neutropenia,
misalnya clozapine, sehingga pasien perlu menjalani pemeriksaan darah
secara reguler.38
2.11 Prognosis
Prognosis gangguan psikotik akut ditentukan oleh gejala yang terjadi.
Pasien dengan gejala dominan waham atau halusinasi memiliki tingkat
kekambuhan. Komplikasi dapat terjadi akibat obat antipsikotik yang digunakan,
misalnya sindrom ekstrapiramidal dan sindrom neuroleptik maligna.
Berbagai studi memiliki pendapat berbeda mengenai prognosis gangguan
psikotik akut, namun secara umum pasien memiliki risiko kekambuhan di masa
kehidupan selain kemampuan kembali pada fungsi premorbid.35
Meskipun secara teori dinyatakan bahwa pada kondisi gangguan psikotik
akut akan kembali pada fungsi premorbid, tetapi gangguan psikotik akut juga
dapat mengalami kekambuhan atau berkembang menjadi gangguan psikotik
kronis seperti schizophrenia. Kondisi ini lebih sering terjadi pada pasien gangguan
psikotik akut dengan gejala dominan halusinasi atau waham.39
Studi yang dilakukan selama 9 tahun pada pasien gangguan psikotik akut
menemukan tingkat kekambuhan sekitar 50%, terutama pada pasien dengan gejala
dominan waham.40
2.12 Edukasi
Edukasi dan promosi kesehatan gangguan psikotik akut ditujukan pada
pengenalan gejala dan kemampuan identifikasi tanda bahaya. Pasien dan keluarga
perlu dilibatkan aktif sejak penanganan fase akut.
Dokter perlu menyampaikan mengenai gangguan psikotik akut pada pasien
(apabila sudah dalam kondisi stabil dan bisa menerima informasi dengan baik)
dan keluarga serta menjelaskan faktor risiko terkait. Upayakan saat melakukan
20
komunikasi tersebut menggunakan bahasa awam yang dapat dimengerti dengan
mudah. Beberapa hal terkait mengenai faktor penyebab, pencetus dan gejala perlu
diketahui dan disampaikan.29
Edukasi mengenai terapi yang meliputi 2 aspek dalam hal pengobatan dan
psikoterapi perlu ditekankan untuk mencapai perbaikan optimal. Pasien dan
keluarga diharapkan dapat berkunjung kembali pasca rawat inap (apabila saat itu
membutuhkan rawat inap) atau kontrol pasca pemberian obat yang pertama kali.
Informasikan bahwa kontrol berikutnya akan dilakukan evaluasi ulang mengenai
kondisi klinis dan penyesuaian terapi.41
2.13 Pencegahan29
Selain pengenalan gejala, pasien dan keluarga perlu diajak melakukan
tindakan pencegahan, di antaranya:
1. Mengenal faktor stres yang mendasari.
2. Meminta pasien kontrol kembali sambil menceritakan progress terapi yang
dijalani.
3. Memahami kondisi diri dan kerentanan (apabila ada faktor risiko berupa
mekanisme coping maladaptif maka dapat dilakukan tata laksana lanjutan
dalam psikoterapi).
4. Meminta keluarga untuk memberikan dukungan adekuat terhadap proses
terapi yang dijalani.
5. Pasien diminta menyampaikan keinginan yang belum terpenuhi selama
proses terapi supaya terapi yang dijalankan dapat efektif.
Salah satu bentuk pencegahan yang efektif adalah menyadarkan dan
membangkitkan penerimaan mengenai kondisi yang dihadapi. Penerimaan yang
baik terhadap gangguan yang dialami dan munculnya tilikan yang baik akan
membantu progress terapi.
I. Status Mental
A. Deskripsi Umum
21
1. Penampilan : Dari hasil observasi didapatkan roman wajah tampak
akan sesuai usia atau lebih tua, perawatan diri tampak terawat atau
bisa tidak terawat, kesan penampilan secara umum baik dan bisa
kurang baik.
2. Perilaku dan aktivitas motorik: Pasien akan tampak tenang atau
gelisah, kontak mata dengan pewawancara baik, tidak ada aktivitas
motorik yang berlebihan atau bisa berlebihan, kesan baik tidak ada
gangguan, bisa juga terganggu.
3. Pembicaraan: Pasien menggunakan bahasa sehari-hari, artikulasi
jelas, volume sedang, pembendaharaan kata cukup, atau bisa
kurang, kesan dapat baik tidak ada gangguan atau bisa terganggu
(inkoheren, irrelevan).
4. Sikap terhadap pemeriksa: Kooperatif atau tidak kooperatif.
D. Proses Pikir
1. Bentuk pikir : non-realistis
2. Arus piker : coherent, incoherent, irrelevan, blocking atau asosiasi
longgar
3. Isi pikir : miskin isi pikir, waham atau ide-ide tak wajar
22
E. Gangguan persepsi:
Halusinasi auditorik dan atau visual
F. Kemauan :
Merawat diri : Pasien masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari
seperti merawat diri (mandi, makan) meskipun harus disuruh.
Fungsi : Terganggu
Relasi : Terganggu
Waktu Luang : Terganggu
Aktivitas sehari – hari : Terganggu
Kesan: Terganggu
23
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gangguan psikotik akut adalah kondisi menunjukkan hendaya dalam
kemampuan daya nilai realitas yang terjadi selama > 1 hari sampai < 1 bulan
ditandai onset tiba-tiba dari 1 atau lebih gejala: delusi, halusinasi, postur dan
perilaku yang bizarre, serta bicara kacau.
Penyebab spesifik gangguan ini tidak diketahui, tetapi terdapat faktor-faktor
yang berperan yaitu: faktor genetik, biologi, kepribadian, dan respons terhadap
stres. Tipe-tipe gangguan psikotik, yaitu: gangguan psikotik polimorfik akut tanpa
gejala skizofrenia, psikotik polimorfik akut dengan gejala skizofrenia, psikotik lir-
skizofrenia akut, dan psikotik akut lainnya dengan predominan waham.
Penegakan diagnosisnya melalui eksplorasi status mental dalam proses
anamnesis serta observasi perilaku pasien. Data pendukung diambil dari
keterangan keluarga yang mengetahui perubahan kondisi mental pasien. Diagnosis
banding didasarkan pada keterlibatan faktor organik, gangguan medis, riwayat
penggunaan zat atau obat. Apabila dokter curiga adanya kejang mendasari
kejadian psikotik maka disarankan pemeriksaan EEG dan pada penyalahgunaan
zat maka tes urine dilakukan.
Penatalaksanaan gangguan psikotik akut bertujuan untuk mengembalikan
fungsi premorbid, meredakan dan mengontrol gejala. Penatalaksanaan dimulai
dengan identifikasi dan penanganan kondisi kegawatdaruratan. Apabila gangguan
psikotik akut disertai kondisi kegawatdaruratan psikiatri, maka pasien perlu
dilakukan rawat inap.
Prognosis gangguan psikotik akut ditentukan oleh gejala yang terjadi.
Pasien dengan gejala dominan waham atau halusinasi memiliki tingkat
kekambuhan dan komplikasi berupa schizophrenia yang lebih tinggi. Komplikasi
juga dapat terjadi akibat obat antipsikotik yang digunakan, misalnya sindrom
ekstrapiramidal.
24
DAFTAR PUSTAKA
25
anticipated and internalized stigma, symptom severity, and mental health
service use. Psychiatry Res. 2018;268:15-20.
11. Sadock BJ, Sadock VA. 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis.
Edisi ke-2. Cetakan 2010. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 147-
16.
12. Harrison, P., Cowen, P., Burns, T., & Fazel, M. 2018. Shorter Oxford
Textbook of Psychiatry Seventh Edition. Oxford: Oxford University Press.
13. Memon MA. 2015. Brief Psychotic Disorder. Available from:
http://emedicine.medscape.com/artic1e/29441 6-overview. Accessed 2
December 2015.
14. Cheng SK-W, Tsang JS-K, Ku K-H, Wong C-W, Ng Y-K. Psychiatric
complications in patients with severe acute respiratory syndrome (SARS)
during the acute treatment phase: a series of 10 cases. British Journal of
Psychiatry. 2004;184(4):359–60.
15. Sheng B, Cheng SKW, Lau KK, Li HL, Chan ELY. The effects of disease
severity, use of corticosteroids and social factors on neuropsychiatric
complaints in severe acute respiratory syndrome (SARS) patients at acute and
convalescent phases. European Psychiatry. 2005;20(3):236–42.
16. Lee DTS, Wing YK, Leung HCM, Sung JJY, Ng YK, Yiu GC, et al. Factors
Associated with Psychosis among Patients with Severe Acute Respiratory
Syndrome: A Case-Control Study. Clinical Infectious Diseases.
2004;39(8):1247–9.
17. Sadock, B. J., Sadock, V. A., & Ruiz, P. 2017. Kaplan & Sadock's
Comprehensive Textbook of Psychiatry Tenth Edition. In R. Mojtabai, L. J.
Fochtmann, & E. J. Bromet, Other Psychotic Disorders (pp. 4040-4055).
Philadelphia: Wolters Kluwer.
18. Castagnini, A., Laursen, T., Mortensen, P., & Bertelsen, A. (2013,
November). Family psychiatric morbidity of acute and transient psychotic
disorders and their relationship to schizophrenia and bipolar disorder.
Psychology Medicine, 43(11), 2369-2375.
26
19. Lally, K., Ibrahim, N., Kelly, M., & Gulati, G. 2017. Brief Psychotic Episode
in a Patient with Chromosome 2q37 Microdeletion Syndrome. BMJ Case
Report, 221. doi:10.1136/bcr-2017-221012
20. McCutcheon, R. A., Bloomfield, M. A., Dahoun, T., Mehta, M., & Howes, O.
D. 2018, December 17.
21. Grace, A. 2012. Pathophysiology of Psychosis and Novel Approaches to
Treatment. International Clinical Psychopharmacology, 28(e-Supplement A),
12.
22. Mehta P, Mcauley DF, Brown M, Sanchez E, Tattersall RS, Manson JJ.
COVID-19: consider cytokine storm syndromes and immunosuppression. The
Lancet. 2020;395(10229):1033–4.
23. Troyer EA, Kohn JN, Hong S. Are we facing a crashing wave of
neuropsychiatric sequelae of COVID-19? Neuropsychiatric symptoms and
potential immunologic mechanisms. Brain, Behavior, and Immunity. 2020
24. Upthegrove R, Khandaker GM. Cytokines, Oxidative Stress and Cellular
Markers of Inflammation in Schizophrenia. Neuroinflammation and
Schizophrenia Current Topics in Behavioral Neurosciences. 2019;:49–66.
25. Munjal S, Ferrando SJ, Freyberg Z. Neuropsychiatric Aspects of Infectious
Diseases: an Update. Crit Care Clin. 2017;33:681-712.
26. Miller BJ, Culpepper N, Rapaport MH. C-Reactive Protein Levels in
Schizophrenia. Clinical Schizophrenia & Related Psychoses. 2014;7(4):223–
30.
27. Desforges M, Coupanec AL, Dubeau P, Bourgouin A, Lajoie L, Dubé M, et
al. Human Coronaviruses and Other Respiratory Viruses: Underestimated
Opportunistic Pathogens of the Central Nervous System? Viruses.
2019;12(1):14.
28. Sevilla-Llewellyn-Jones, J., Cano-Dominiguez, P., de-Luis, M. A., Penuelas-
Calvo, I., Espina-Eizaguirre, A., Moreno-Kustner, B., & Ochoa, S. (2017,
April). Personality Traits and Psychotic Symptoms in Recent Onset of
Psychosis Patients. Comprehension Psychiatry, 74, 109-117.
27
29. Ulya, Z. (2019). Catatan Refleksi untuk Dokter Muda Psikiatri. Jogjakarta:
Indie Book Corner.
30. DSM-5. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fifth
Edition. In W. T. Carpenter, D. M. Barch, J. R. Bustillo, W. Gaebel, R. E.
Gur, S. H. Heckers, J. v. Os, Schizophrenia Spectrum and Other Psychotic
Disorders (pp. 94-96). Washington: American Psychiatric Publishing.
31. Bak, M., Weltens, I., Bervoets, C., De Fruyt, J., Samochowiec, J., Fiorillo, A.,
Dom, G. (2019, April). The Pharmacological Management of Agitated and
Aggressive Behaviour: A Systematic Review and Meta-analysis. European
Psychiatry, 57, 78-100. doi:10.1016/j.eurpsy.2019.01.014.
32. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2015, Februari 26).
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Kedokteran Jiwa (Psikiatri).
Retrieved from Kementerian Kesehatan Republik Indonesia: http: //hukor.
kemkes. go. Id / uploads / produk _ hukum / KMK _ No._HK_.02_.02-
MENKES- 73-2015_ttg_ Pedoman_ Nasional_ Pelayanan_ Kedokteran_
Jiwa_.pdf.
33. Minichino, A., Rutigliano, G., Merlino, S., Davies, C., Oliver, D., De, A. M.,
Fusar-Poli, P. (2019, April). Unmet needs in patients with brief psychotic
disorders: Too ill for clinical high risk services and not ill enough for first
episode services. European Psychiatry, 57, 26-32. doi: 10. 1016/
j.eurpsy.2018.12.006
34. Maramis, Willy F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. Surabaya :
Airlangga University Press. 2009.
35. Sadock, B. J., Ahmad, S., & Sadock, V. A. (2019). Kaplan & Sadock's Pocket
Handbook of Clinical Psychiatry Sixth Edition. Philadelphia: Wolters
Kluwer.
36. Rajkumar, R. (2018). Correlates of Suicide-related Ideation and Attempts in
Patients with Acute and Transient Psychotic Disorder. Clinical Schizophrenia
Related Psychoses, 12(1), 42-47. doi:10.3371/CSRP.RA.070415.
28
37. Ezell, J., Choi, C., Wall, M., & Link, B. (2018, January). Measuring
Recurring Stigma in the Lives of Individuals with Mental Illness. Community
Mental Health Journal, 54(1), 27-32. doi:10.1007/s10597-017-0156-1.
38. Misdrahi, D., Tessier, A., Daubigney, A., Meissner, W., Schurhoff, E., Boyer,
L.,FACE-SZ, G. (2019). Prevalence of and Risk-Factors for Extrapyramidal
Side Effects of Antipsychotics: Results from the National FACE-SZ Group.
Journal Clinical Psychiatry, 8(1), 80. doi:10.4088/JCP.18m12246.
39. Castagnini, A., Foldager , L., & Bertelsen, A. (2013, January). Long-term
stability of acute and transient psychotic disorders. Australian & New
Zealand Journal of Psychiatry, 47(1), 59-64.
40. Castagnini, A., & Foldager, L. (2014). Epidemiology, course and outcome of
acute polymorphic psychotic disorder: implications for ICD-11.
Psychopathology, 47(3), 202-206.
41. Rutigliano, G., Merlino, S., Minichino, A., Patel, R., Davies, C., Oliver, D.,
Fusar-Poli, P. (2018, August). Long term outcomes of acute and transient
psychotic disorders: The missed opportunity of preventive interventions.
European Psychiatry, 52, 126-133. doi:10.1016/j.eurpsy.2018.05.004.
29