RINOSINUSITIS
Disusun Oleh :
Pembimbing :
KEPANITERAAN KLINIK
DAFTAR ISI II
DAFTAR TABEL V
DAFTAR TABEL V
1.2 Anamnesis 1
Keluhan Utama 1
Riwayat Alergi 2
Status Generalis 3
1.5 Resume 6
1.6 Diagnosis 7
1.9 Prognosis 7
2.2 Epidemiologi 10
2.5 Etiologi 21
2.6 Patofisiologi 24
3
2.8 Diagnosis 32
2.10.2.2 Steroid 41
2.10.2.3 Antibiotik 42
2.11 Komplikasi 46
2.12 Prognosis 46
DAFTAR PUSTAKA 49
4
DAFTAR GAMBAR
5
DAFTAR TABEL
6
BAB I
ILUSTRASI KASUS
Nama : Tn. M
Usia : 44 tahun
Pekerjaan : Supir
Alamat : Cilegon
No. MR :
1.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat pada sisi kanan sejak 2 hari SMRS.
Rasa tersumbat diperingan dengan aktivitas. Pasien juga mengeluhkan nyeri wajah pada daerah
dahi kanan, daerah atas dari mata kanan, dan juga daerah dekat hidung kanan. Nyeri dirasakan
berat seperti menekan wajah, hilang-timbul sepanjang hari, dirasakan semakin berat jika
ditekan, dan ketika sujud ketika akan beribadah, dengan skala nyeri 6 dari 10. Pasien juga
melaporkan keluarnya cairan dari hidung, yaitu sekret berwarna hijau-coklat. Pasien tidak
mengeluhkan adanya bersin maupun demam, namun pasien mengeluhkan seperti mencium bau
busuk sejak 2 hari tersebut.
1
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku sudah mengalami keluhan sejak usia 30 tahun, namun tidak
dirasakan mengganggu, sampai 2 hari yang lalu
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa. Pasien juga
menyangkal anggota keluarga memiliki riwayat hipertensi, diabetes, keganasan dan alergi.
Riwayat Alergi
2
1.3 Pemeriksaan Fisik
GCS : E4M6V5
Nadi : 60x/menit
Pernafasan : 18x/menit
Suhu : 36,5°
Status Generalis
Kepala Normosefali
Telinga Aurikulum
- Pre-aurikula :
Abses (-/-), fistula (-/-), hiperemis (-/-), edema (-/-), nyeri tekan
(-/-)
- Aurikula :
Kanan dan kiri simetris, bentuk normal, hematoma (-/-), sekret
yang keluar (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)
- Post- aurikula
Fistula retroauricular (-/-), abses (-/-), hiperemis (-/-), edema (-
/-), massa (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-)
Otoskopi
Telinga Kanan
- Meatus Akustikus Eksternus :
Liang telinga lapang, hiperemis (-), edema (-), serumen (-),
darah (-), sekret (-), jaringan granulasi (-)
- Membran timpani :
Intak, refleks cahaya (+), perforasi (-), bulging (-), retraksi (-),
warna jernih, hiperemis (-), darah (-), kolesteatoma (-)
3
Telinga Kiri
- Meatus Akustikus Eksternus :
Liang telinga lapang, hiperemis (-), edema (-), serumen (-),
darah (-), sekret (-), jaringan granulasi (-)
- Membran timpani :
Perforasi (-), refleks cahaya (-), bulging (-), retraksi (-), warna
jernih, hiperemis (-), darah (-), kolesteatoma (-)
Tes Pendengaran
Rinoskopi Anterior
● Cavum nasi : sempit (+/-), sekret mukoid (+/-), polip (-/-),
benda asing (-/-), massa (-/-)
● Konka inferior : edema (+/-), hiperemis (-/-)
● Meatus inferior : terbuka/terbuka, polip (-/-), darah
(-/-)
● Konka media : hipertrofi, edema (-/-), hiperemis (-/-), konka
bullosa (-/-)
● septum deviasi spina (ke kanan), hiperemis (-), perforasi (-)
4
Tenggorok Inspeksi
Bibir normal, warna kemerahan, leukoplakia (-), stomatitis (-),
hiperemis (-), massa (-), edema (-), palatum simetris, gigi dalam batas
normal, gigi berlubang (-), sisa akar gigi (-), mallampati 2.
Faring
Arkus faring simetris, dinding faring tidak hiperemis, uvula terletak di
tengah
Tonsil
T1/T1, Hiperemis (-/-), kripta melebar (-/-), detritus (-/-), massa (-/-)
Laring
Tidak dilakukan pemeriksaan
Leher Inspeksi
Simetris, diskolorasi(-), massa (-), hiperemis (-), bekas luka (-)
Palpasi
Massa (-), nyeri tekan (-), pembesaran KGB (-)
Paru Pengembangan dada simetris, vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-
/-)
Ekstremitas Akral hangat, tidak tampak sianosis, edema (-), CRT < 2 detik.
5
1.4 Pemeriksaan Penunjang
- Tidak dilakukan
1.5 Resume
Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat pada sebelah kanan sejak 2 hari SMRS.
Pasien merasa hidung semakin tersumbat sehingga sulit bernafas pada hidung sebelah kanan.
Pasien juga mengeluhkan nyeri wajah pada daerah dahi kanan, daerah bawah dari mata kanan,
dan sekitar hidung. Nyeri dirasakan berat seperti menekan wajah, hilang-timbul sepanjang hari,
menjalar ke sisi kanan kepala, dirasakan semakin berat jika disentuh, dan ketika sujud, ia
mengaku tidak mengeluhkan bersin maupun demam. Pasien juga mengeluhkan seperti
mencium bau busuk sejak 2 hari tersebut. Pasien belum pernah berobat sebelumnya. Pasien
mempunyai riwayat merokok sebungkus dalam satu hari selama 22 tahun.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit sedang. Pada
pemeriksaan fisik hidung luar, nyeri tekan terdapat pada daerah sinus frontalis, dan maksilaris
kanan, serta nyeri ketuk pada sinus frontalis dan maksilaris kanan. Pada rinoskopi anterior,
kavum nasi sempit pada sisi kanan, konka inferior kanan tampak edema, sekret mukoid, serta
tampak septum deviasi spina ke arah kanan.
6
1.6 Diagnosis
- Rinosinusitis
1.9 Prognosis
Ad Vitam : Ad bonam
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Rinosinusitis dapat terjadi secara akut yaitu kurang dari 12 minggu, ataupun kronik,
yang terjadi lebih dari 12 minggu1
8
Gambar 1 Guideline EPOS 2020
9
Berdasarkan durasi, common cold adalah rinosinusitis akut viral yang terjadi
kurang dari 10 hari. Selanjutnya akan menjadi rinosinusitis akut post viral dimana
gejala bertambah setelah 5 hari atau gejala menetap selama 10 hari, dalam kurang dari
12 minggu.1
2.2 Epidemiologi
Rinosinusitis adalah masalah kesehatan umum yang mempengaruhi kualitas
hidup dan produktivitas. Menurut penelitian di Amerika Serikat, rinosinusitis
menyerang sekitar 1 dari 7 orang dewasa. Data lain menunjukkan bahwa rinosinusitis
kronik berdampak lebih besar pada angina pektoris, gagal jantung kronik, penyakit paru
obstruktif kronik atau nyeri punggung bawah kronik, dan dapat mempengaruhi seluruh
area kesehatan (fungsi sosial, nyeri fisik).2
Rinosinusitis akut paling sering berasal dari virus. Insiden rinosinusitis virus
akut sangat tinggi, diperkirakan terjadi 2 sampai 5 kali per tahun pada rata-rata orang
dewasa. Insidensi terjadinya infeksi Virus paling sering adalah rhinovirus yaitu sebesar
3-15 %
Infeksi bakteri sekunder diperkirakan hanya mempersulit sebagian kecil kasus
rinosinusitis (0,5% -2,0%).1 Insidensi terjadinya infeksi bakteri paling sering adalah
streptococcus pneumoniae yaitu sebesar 30-66%
Rinosinusitis akut adalah jenis yang paling sering terjadi, dan kejadian
rinosinusitis virus akut termasuk tinggi. Orang dewasa menderita 2 dari 5 episode
rinosinusitis virus akut setiap tahun, dan anak usia sekolah menderita 7 dari 10 episode
setiap tahun. Sekitar 0,5-2% infeksi bakteri dapat memperumit infeksi saluran
10
pernapasan bagian atas yang disebabkan oleh virus.1
Vestibulum nasi merupakan bagian anterior inferior hidung, batas atasnya pada
dinding lateral hidung merupakan tonjolan yang disebut limen nasi (nasal valve).
Rongga hidung (kavum nasi) terbagi menjadi kanan dan kiri yang masing- masing
mempunyai atap, dasar, dinding lateral, dan dinding medial, yang dilapisi oleh selaput
lendir (mukosa) yang berupa epitel berlapis semu bersilia, kecuali di bagian superior
yang dilapisi oleh epitel penghidu.1
Pada dinding lateral hidung terdapat konka dan meatus. Konka dibagi menjadi
konka inferior, konka media, konka superior, dan konka suprema (tidak selalu ada).
Celah di bawah konka disebut meatus.1
Dua pertiga bagian bawah rongga hidung berfungsi sebagai saluran pernapasan.
Permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu bersilia (pseudostratified ciliated
columnar epithelium) yang mengandung banyak sel goblet. Sepertiga bagian atas
hidung, mulai dari konka superior ke atas dan septum di seberangnya serta atap rongga
11
hidung, dilapisi oleh epitel olfaktorius yang berwarna lebih pucat.1
13
saluran napas bawah, indra penghidu, dan pembantu proses berbicara dan resonansi
suara, serta fungsi refleks nasal. Hidung merupakan tempat bermuaranya sinus
paranasalis dan saluran air mata.2
14
berada di atas silia yang terus menerus bergerak secara teratur, mengalirkan mucous
blanket ke arah nasofaring. Partikel debu, bakteri dan virus yang masuk hidung
tertangkap dan melekat pada lapisan lendir yang kental, kemudian dialirkan melalui
nasofaring ke faring dan selanjutnya tertelan. Di dalam rongga hidung, mukus akan
didorong ke arah nasofaring, sedangkan di dalam sinus paranasal mukus akan dialirkan
ke arah ostium sinus. 2
Sekret hidung juga mengandung enzim (lysozyme) yang dapat membunuh
bakteri dan virus, juga mengandung imunoglobulin IgA dan IgE, serta interferon yang
membuat imunitas terhadap infeksi traktus respiratorius atas, yang dapat bekerja
dengan baik pada pH sekret hidung 7. 2
Refleks bersin merupakan refleks pertahanan tubuh, dimana dengan bersin
partikel asing yang mengiritasi mukosa hidung dikeluarkan. Fungsi ini dibantu oleh
keluarnya lendir, yang kan mengalirkan benda asing yang mengiritasi mukosa hidung.2
15
erat kaitannya dengan fungsi paru melalui nasobronkial dan nasopulmonal. Obstruksi
hidung akan menyebabkan peningkatan tahanan paru. 2
Gambar 6\*Sinus
Gambar SEQ Gambar Paranasal
ARABIC 6 Sinus paranasal
16
2.3.7 Vaskularisasi Sinus Paranasal
Arteri utama dari sinus maksilaris adalah arteri maksilaris interna, cabang dari
arteri karotis eksterna. Sinus etmoid dan sinus frontal memiliki berbagai macam suplai
darah, termasuk pembuluh meningeal untuk pelat cribriform di atas sinus ethmoid, serta
dinding posterior. Sinus sphenoid dapat memperoleh suplai darah dari cabang kecil
arteri karotis interna kavernosa.7
Saraf utama yang berada di bawah sinus frontal adalah cabang pertama dari
saraf kranial kelima. Saraf utama dari aspek inferior dari sinus maksilaris adalah cabang
kedua dari saraf kranial kelima. Saraf ini memiliki fungsi sensorik tetapi tidak memiliki
fungsi motorik spesifik, berbeda dengan divisi ketiga dari saraf kranial lima, yang
terakhir memiliki fungsi sensorik (terutama keterampilan rahang dan gigi) dan fungsi
motorik (terutama otot pengunyahan).7
17
Gambar 7 Osteometal Complex
Fungsi utama sinus paranasal adalah mengeliminasi benda asing dan sebagai
pertahanan tubuh terhadap infeksi melalui tiga mekanisme yaitu terbukanya kompleks
osteomeatal, transport mukosiliar dan produksi mukus yang normal.
Kompleks ostiomeatal atau KOM adalah jalur pertemuan drainase kelompok sinus
anterior yang terdiri dari meatus media, prosesus unsinatus, hiatur semilunaris,
infundibulum etmoid, bula etmoid, ostium sinus maksila dan resesus frontal. KOM bukan
merupakan struktur anatomi tetapi merupakan suatu jalur yang jika mengalami obstruksi
karena mukosa yang inflamasi atau massa yang akan menyebabkan obstruksi ostium sinus,
stasis silia dan terjadi infeksi sinus.
Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous kompleks
pada vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang vestibulum dan epitel
kolumnar berlapis semu bersilia pada sebagian mukosa respiratorius. Epitel kolumnar
sebagian besar memiliki silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang
sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber
energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia. Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler
yang menghasilkan mukus, sedangkan sel basal merupakan sel primitif yang merupakan
sel bakal dari epitel dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan sel tunggal,
menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Distribusi dan
18
kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka inferior sebanyak 11.000 sel/mm2 dan
terendah di septum nasi sebanyak 5700 sel/mm2 . Sel basal tidak pernah mencapai
permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia.
Pada pasien defisiensi imun dapat terbentuk inflamasi secara difus pada mukosa
19
sinonasal. Inflamasi ini akan menyebabkan obstruksi ostium sinus dan mengaktivasi
kaskade rusaknya mucociliary clearance, kemudian mukus menjadi statis dan menjadi
tempat yang baik untuk bakteri berkembang biak.11
Pasien dengan penyakit autoimun seperti lupus dan artritis reumatoid juga
memiliki risiko terhadap rinosinusitis kronik, dimana ditemukan bahwa pada
rinosinusitis kronik dengan polip hidung terdapat respon imun lokal yang menghasilkan
autoantibodi terutama terhadap antigen epitel.9
Wegener’s granulomatosis adalah suatu penyakit inflamasi kronik idiopatik
yang ditandai dengan lesi nekrosis granulomatosa dan vaskulitis sistemik yang
berhubungan dengan antibodi antineutrofil sitoplasmik (C-ANCA). ANCA dapat
menginduksi pembentukan kompleks imun dan secara langsung merusak sel endotel
sehingga menyebabkan vaskulitis. Kolonisasi Staphylococcus aureus di hidung sering
ditemukan pada Wegener’s granulomatosis dibandingkan pada rinosinusitis kronik dan
populasi kontrol (72%; 28%; 25%).1
Penyakit refluks gastro-esofageal adalah salah satu faktor yang menginduksi
dan memperparah rinosinusitis kronik. Refluks nasofaringeal menyebabkan refluks
asam lambung dan pepsin langsung pada kavum nasal kemudian menginduksi
inflamasi.1
Hipertrofi adenoid ditemukan memiliki hubungan signifikan dengan terjadinya
rinosinusitis kronik pada anak. Hipertrofi adenoid tidak hanya berkontribusi sebagai
obstruksi mekanik, akan tetapi juga sebagai reservoir bakteri berkembang biak. Pada
populasi anak, penyakit penyerta kronik seperti bronkitis, asma, penyakit
kardiovaskular, diabetes mellitus, dan kanker maligna berhubungan dengan
meningkatnya kejadian rinosinusitis akut yang didahului influenza.1
Faktor eksternal dari rinosinusitis adalah trauma, paparan terhadap zat kimia,
dan iatrogenik. Trauma wajah yang mengenai daerah sinus juga dapat menyebabkan
rinosinusitis akut.
Zat yang dapat menyebabkan rinosinusitis adalah senyawa inhalasi seperti asap
(contohnya rokok, kayu bakar, arang), debu, uap dan gas. Studi yang dilakukan Thilsing
et al menyatakan bahwa perokok aktif memiliki odds ratio (OR) 1.9 terhadap
20
rinosinusitis kronik, dan OR 1.3 pada individu yang pernah merokok aktif dengan p
value 0.000. Perokok pasif dewasa dan anak juga memiliki hubungan signifikan dengan
rinosinusitis kronik.1 Beberapa studi telah membuktikan efek patofisiologi dari asap
rokok pada mukosa sinonasal berupa penurunan aliran mukosilia oleh perubahan
mekanisme transpor ion, mengganggu pembentukan silia, serta supresi imun innate
oleh karena perubahan pada reseptor toll-like (TLR) dan komponen komplemen.9
Pajanan terhadap debu, uap, asap, dan gas di tempat kerja ditemukan meningkatkan
prevalensi rinosinusitis dengan membandingkan prevalensi rinosinusitis pada beberapa
pekerjaan dengan “paparan tinggi” seperti pekerja konstruksi, pekerja pabrik semen,
tekstil dan rempah, pekerja daur ulang kertas, supir dengan yang pada pekerjaan dengan
“paparan rendah” seperti pekerja pabrik buah, pekerja industri makanan, tenaga
kesehatan dan pekerja pengiriman.9,20 SO2, NO2 dan CO memiliki korelasi signifikan
terhadap prevalensi rinosinusitis dan diketahui bahwa debu pasir di Asia memiliki
sejumlah besar partikel tanah yang secara langsung meningkatkan replikasi Rhinovirus
dan inflamasi pada sel epitel hidung dengan meningkatkan sekresi IFN-γ, IL-1β, IL-6,
dan IL-8.9
Rinosinusitis juga memiliki etiologi iatrogenik, yaitu benda asing di sinus dan
oroantral communication (OAC), hubungan antara rongga mulut dan sinus maksilaris
yang tidak tertutup, setelah ekstraksi gigi premolar dan molar atas.22
2.5 Etiologi
21
Patogen yang paling sering menyebabkan rinosinusitis adalah virus. Virus
paling banyak terlibat pada penyakit ini adalah rhinovirus dengan prevalensi 15%,
influenza virus 5%, dan parainfluenza virus 3%, dan adenovirus 2%. Rhinovirus masuk
ke dalam tubuh melewati hidung, secara inokulasi langsung atau bersamaan dengan
partikel udara besar. Partikel virus mengikuti aliran mukus ke daerah adenoid dimana
mereka akan bertemu dengan reseptor spesifik (rhinovirus receptor intercellular
adhesion molecule 1) pada sel limfoepitelial dari folikel limfoid.11
22
2.5.1.3 Rinosinusitis jamur
Bola jamur atau fungal ball terbentuk dari gumpalan hifa jamur yang tidak
invasif membentuk sebuah massa. Kondisi ini terbentuk oleh implantasi jamur pada
sinus normal pada pasien imunokompeten tanpa faktor risiko lainnya. Hal ini paling
sering melibatkan sinus maksilaris, diikuti oleh sfenoid dan etmoid.11
Rinosinusitis alergi jamur adalah subtype dari rinosinusitis kronik yang ditandai
oleh adanya allergic mucin yang tebal dengan eosinofil dan hifa jamur.11
Sinusitis jamur akut invasif pada umumnya terjadi pada individu dengan kondisi
immunocompromised. Pasien dengan diabetes tidak terkontrol, HIV/AIDS, keganasan,
dan imunosupresi karena pengobatan adalah yang paling sering mengalami penyakit
ini. Kondisi ini ditandai oleh infeksi jamur yang berprogresi sampai ke orbita, fossa
pterigopalatina, sinus kavernosus, atau kavum intrakranial.11 Sinusitis jamur akut
invasif berprogresi ekstensi ke ekstra sinus dengan mengerosi langsung tulang,
menyebar perineural, atau ekstensi perivaskular melalui pembuluh
23
darah sekitar tulang. Proses ini akan menyebabkan nekrosis mukosa hidung dan atau
palatina, proptosis, defisit nervus kranialis, oftalmoplegia, penurunan visus, dan
gangguan kesadaran. Hal ini menunjukkan invasi vaskular dan persyarafan yang
agresif. Patogen jamur yang menyebabkan penyakit ini adalah Aspergillus, Mucor, dan
Rhizopus.11
Setiap sinus yang terlibat pada rinosinusitis memiliki etiologi yang berbeda
dengan sinus lainnya. Rinosinusitis maksilaris akut biasanya didahului rinitis virus
yang meluas ke mukosa sinus, kemudian diikuti infeksi bakteri, dapat juga karena
berenang atau menyelam di tempat yang mengandung kuman. Rinosinusitis maksilaris
akut juga dapat terjadi karena infeksi dari gigi premolar atau molar yang akar giginya
dengan sinus maksilaris hanya terpisah oleh selapis tulang atau mukosa yang tipis.
Abses periapikal dapat pecah ke dalam sinus atau akar gigi terdorong masuk ke dalam
sinus saat pencabutan gigi; atau pada kasus fistula oroantral, bakteri masuk ke dalam
sinus saat pencabutan gigi. Selain itu, trauma wajah yang mengenai sinus maksilaris
dapat menyebabkan rinosinusitis maksilaris akut.2
Rinosinusitis frontalis akut juga biasanya didahului rinitis virus yang meluas ke
mukosa sinus, kemudian diikuti infeksi bakteri, dapat juga karena berenang atau
menyelam. Rinosinusitis frontalis akut juga dapat disebabkan oleh trauma sinus dari
luar, seperti kecelakaan lalu lintas, dan edema pada meatus medius karena infeksi sinus
maksilaris atau sinus etmoidalis ipsilateral.2
2.6 Patofisiologi
24
hal-hal yang menyebabkan obstruksi mekanis secara langsung pada kompleks
osteomeatal. Kompleks osteomeatal merupakan jalur pertemuan drainase kelompok
sinus anterior yang terdiri dari meatus media, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris,
infundibulum etmoid, bula etmoid, ostium sinus maksila dan resesus frontal. Oleh
karena itu, inflamasi baik yang diakibatkan oleh infeksi ataupun alergi menjadi bagian
yang paling penting dan paling sering dalam menyebabkan rinosinusitis.12
Selama episode akut rhinitis, ostia yang paten hanya terjadi pada 20% kasus.
Ketika obstruksi ostium sinus terjadi, ada peningkatan tekanan sementara di dalam
rongga sinus. Saat oksigen habis dari ruang tertutup ini, tekanan di sinus menjadi relatif
negatif terhadap tekanan atmosfer. Tekanan negatif ini memungkinkan masuknya
bakteri hidung ke dalam sinus saat mengendus atau menghembuskan nafas dari hidung.
Saat ostium sinus tersumbat, sekresi mukosa oleh mukosa sinus tetap berlanjut,
mengakibatkan penumpukan cairan di sinus.12
25
mucociliary clearance, yang diukur berdasarkan rasa dan warna, secara signifikan lebih
lambat selama fase akut penyakit. Mungkin perubahan yang sama dalam struktur dan
fungsi mukosa hidung selama infeksi virus ini terjadi juga di mukosa sinus.12
Untuk aliran mukosiliaris yang efisien, perlu ada interaksi yang baik antara silia
dan mukus hidung. Maka kualitas dan karakter dari sekresi sinus juga berperan dalam
patogenesis sinusitis. Mukus pada saluran pernafasan terdiri dari dua lapisan, yaitu
lapisan solution dan lapisan gel. Lapisan solution adalah lapisan tipis dengan viskositas
rendah yang menyelimuti batang silia dan memungkinkan silia bergerak bebas. Lapisan
yang lebih kental, lapisan gel, terdapat pada bagian atas dari lapisan solution. Perubahan
pada lapisan mukosa, yang terjadi akibat adanya debris inflamasi, seperti pada sinus
yang terinfeksi, selanjutnya dapat mengganggu gerakan siliaris.12
Secara definisi, common cold adalah rinosinusitis viral akut dengan durasi
gejala kurang dari 10 hari. Rinosinusitis viral disebabkan oleh virus respiratorik seperti
rhinovirus (RV), respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus (IFV), coronavirus
(CorV), parainfluenza virus (PIV), adenovirus (AdeV) dan enterovirus (EV). RV dan
CorV adalah virus yang paling sering menyebabkan RSA pada pasien dewasa.
Sementara pada anak-anak lebih beragam.1
26
Epithelium nasal adalah port d’ entrée bagi seluruh virus pernapasan dan
merupakan target langsung untuk replikasi virus pada saluran pernafasan. Sel epithelial
nasi mengekspresikan berbagai reseptor untuk mengenali virus-virus spesifik seperti
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1), toll-like receptor 3 (TLR3), α-2,3-linked
sialic acid (α-2,3-SA) retinoic acid inducible gene 1 ((RIG-1) dan MDA4. Saat virus
masuk maka akan dikenali oleh reseptor dan terjadi endositosis yang kemudian diikuti
oleh ekspresi dan replikasi dari genome virus dalam beberapa jam setelah infeksi.1
Gambar
Gambar SEQ Gambar
9 Kaskade \* pada
inflamasi sel – sel9epitel
ARABIC Kaskade inflamasi
hidung pada sel –
padaakut
rinosinusitis
sel epitel hidung pada rinosinusitis akut
27
Epithelium nasi turut berperan dalam respons imun adaptif ataupun innate.
Reaksi ini akan menghasilkan inflamasi yang dapat merusak epithelium
pseudostratified saluran pernafasan. Sel epitel nasal dapat menghasilkan respons imun
secara mandiri dan secara aktif mencegah patogen merusak saluran pernafasan. Saat
terjadi infeksi, mereka tidak hanya melepaskan surfaktan antimikroba dan mukus untuk
menghambat transmisi patogen di saluran pernafasan, tetapi juga mengekspresikan dan
mensekresikan berbagai sitokin dan kemokin untuk menjalankan respons imun
menghadapi patogen yang menginvasi saluran pernafasan.1
Lapisan mukosa dari kavum nasi dilapisi oleh mukus setebal 10 – 15 µm, mukus
ini dihasilkan oleh sel goblet pada glandula epithelium dan submukosa seromukosa.
Sekresi sinus adalah campuran dari glikoprotein, produk glandular lainnya dan protein
plasma. Sekresi ini kaya akan lysozyme, lactoferrin, albumin, inhibitor sekretorik
leukoprotease, dan mucoprotein. Reaksi inflamasi yang berlebihan akibat dari infeksi
awal dapat menyebabkan kerusakan, edema, ekstravasasi cairan dan produksi mukus
yang akhirnya menyebabkan obstruksi sinus, hal ini pada akhirnya menyebabkan
rinosinusitis akut atau eksaserbasi RSA. Sel goblet dapat berinteraksi dengan pathogen
mengakibatkan gejala yang lebih berat seperti hipersekresi mukus pada infeksi
rhinovirus, dan produksi dari asam sialat pada infeksi virus influenza. Asam sialat pada
infeksi virus influenza bertujuan mencegah virus berikatan dengan sel epitel. Namun,
virus dapat menghindari asam sialat dengan cleavage oleh neuraminidase yang mana
hasil pemecahan asam sialat ini menjadi nutrisi untuk bakteri bertumbuh sehingga
berperan dalam patogenesis infeksi bakteri.1
28
pasien memerlukan penyembuhan selama beberapa waktu yang mana selama periode
ini resiko infeksi bakteri meningkat.1
Rinosinusitis bakterial akut terjadi setelah 5 hari atau gejala menetap setelah 10
hari dengan durasi kurang dari 12 minggu dengan setidaknya 3 tanda dan gejala:
perubahan warna mukus, nyeri wajah lokal, demam lebih dari 38 derajat celcius,
peningkatan laju endap darah (LED) atau C - Reactive Protein (CRP), dan double
sickening. Rinosinusitis bakterial akut adalah sebuah komplikasi dari infeksi saluran
pernafasan atas virus yang menyebabkan kerusakan mukosa dan superinfeksi bakteri.
masalah utama dari infeksi bakteri sekunder ini adalah adanya kerusakan atau gangguan
fungsi mukosiliar yang disebabkan oleh infeksi virus. Infeksi virus pada mukosa hidung
mengaktifkan kaskade inflamasi. Proses dari pembersihan virus oleh respon imun tubuh
menghasilkan sel-sel epitel mati dan sel infiltrasi. Keadaan ini merupakan tempat yang
cocok untuk infeksi sekunder bakteri seperti Staphylococcus aureus dan Streptococcus
pneumonia.1
29
Selain tiga faktor tersebut, sistem imun tubuh juga berperan pada perkembangan
penyakit ini.2 Respon imun fisiologis terhadap patogen pada mukosa melibatkan respon
imun seluler dan sitokin yang menargetkan terhadap salah satu dari
3 jenis patogen, yaitu respon imun tipe 1 yang menargetkan virus, tipe 2 yang
menargetkan parasit, dan tipe 3 yang menargetkan bakteri dan jamur ekstraseluler. Pada
kasus rinosinusitis kronik, penetrasi mukosa menyebabkan respon inflamasi kronik
yang gagal resolusi. Inflamasi tipe 2 melibatkan sitokin IL-4, IL-5 and IL-13, serta
aktivasi eosinofil dan sel mas. Remodelling atau perbaikan jaringan sinonasal pada
rinosinusitis kronik kebanyakan menghasilkan polip, hiperplasia sel goblet, dan
kelainan epitel.1 Kelainan mukosa sinonasal ini menyebabkan ketidakmampuan untuk
menjaga keseimbangan kolonisasi mikrobiota dan flora normal pada hidung dan sinus,
serta tidak mampu mengeliminasi bakteri oportunis yang berperan sebagai superantigen
dan memicu respons spesifik oleh sel T dan sel B pada sistem imunitas adaptif. Lama
kelamaan, rinosinusitis kronik membuat kerusakan mukosa sehingga terbentuk polip
pada mukosa hidung dan atau sinus.2
- Hidung tersumbat
- Pilek
30
- Nyeri pada wajah
- Hiposmia/Anosmia yang akan terjadi kurang dari 12 minggu, dan harus
disertai minimal 1 dari gejala hidung tersumbat atau pilek.1
2. Rinosinusitis kronik
Rinosinusitis kronik harus bergejala satu dari dua gejala berikut hidung
tersumbat dan/atau sekret dari hidung bagian anterior atau posterior, yang
berlangsung > 12 minggu. Pada orang dewasa dapat disertai dengan nyeri pada
wajah dan pada anak dapat disertai batuk.2
Selain gejala lokal dapat juga ditemukan gejala tambahan pada rinosinusitis
akut yang berkaitan dengan iritasi pada faring, laring dan trakea yang menyebabkan
nyeri tenggorok, disfonia, dan batuk, serta beberapa gejala umum seperti lemas dan
demam. Hanya sedikit proporsi pasien dengan purulen rinosinusitis mengeluhkan
batuk.1
Gejala tambahan yang dapat muncul pada rinosinusitis maksilaris akut adalah
nyeri pada pipi atau rahang atas, atau nyeri pada gusi atau gigi serta sakit kepala
terutama di daerah dahi. Selain itu dapat ditemukan nyeri tekan atau nyeri ketuk pada
pipi di depan sinus yang terkena, kelopak mata bawah yang mungkin bengkak, dan
dapat ditemukan kemerahan dan bengkak pada pipi khususnya pada pasien anak.2
Gejala yang dapat ditemukan pada rinosinusitis frontalis akut adalah sakit
kepala daerah frontal. Sakit kepalanya ringan saat bangun tidur, semakin berat dan
memuncak tengah hari, kemudian mereda kembali. Nyeri hebat jika ada penekanan
pada dasar sinus frontalis ditekan ke atas. Nyeri tekan atau nyeri ketuk pada dinding
anterior sinus frontalis yang terkena juga dapat ditemukan, serta edema kelopak mata
atas, meluas ke konjungtiva, dan dapat disertai fotofobia.2
Gejala yang dapat ditemukan pada rinosinusitis etmoidalis akut adalah nyeri di
daerah pangkal hidung, medial mata, dan dalam bola mata. Nyeri dapat lebih terasa saat
menggerakan bola mata. Selain itu dapat ditemukan edema kelopak mata, kelopak mata
atas dan bawah bengkak dan sembab, dan dapat keluar air mata. Rinosinusitis
sfenoidalis akut jarang ditemukan, dan dapat bergejala seperti sakit kepala di daerah
oksipital atau verteks, dan dapat terjadi nyeri alih ke daerah mastoid.2
31
2.8 Diagnosis
Rinosinusitis akut umumnya dapat didiagnosis secara memadai berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik saja, tanpa menggunakan teknik pemeriksaan
penunjang. Pada anamnesis dapat ditegakkan rinosinusitis akut dengan gejala obstruksi
hidung dengan adanya sekret, atau dapat ditemukan adanya nyeri pada bagian wajah
atau berkurangnya penciuman yang dapat terjadi secara akut, yaitu kurang dari 4
minggu. Onset perlu ditanyakan untuk mendiagnosis apakah rinositus tersebut akut
ataupun kronik. Pemeriksaan inspeksi dan palpasi dari sinus juga dapat dilakukan untuk
melihat apakah adanya nyeri tekan atau kemerahan serta bengkak pada area yang
terkena.1
Pemeriksaan penunjang berupa laboratorium dapat membantu menegakkan
diagnosis dari rinosinusitis akut bakterial yaitu dapat ditemukan nilai LED (laju endap
darah) atau CRP (C-reactive protein) yang meningkat. Peningkatan CRP dapat
mengindikasikan adanya infeksi bakteri. Menurut penelitian EPOS 2020, apabila sudah
ditemukan 3 dari 5 gejala berikut dapat didiagnosis rinosinusitis, yaitu:1
- Sekret tidak berwarna
- Nyeri hebat lokal (pada bagian wajah)
- Demam
- Double sickening (gejala yang memperparah seperti nyeri yang semakin hebat
pada wajah)
- Peningkatan LED
32
Gambar 10 Kuesioner NOSE
33
Gambar 11 Polip hidung pada kavum nasi kanan menutupi meatus media pada pemeriksaan endoskopi
34
- Rinoskopi anterior : dapat ditemukan polip hidung bilateral, adanya inflamasi
nasal, edema mukosal, dan sekret nasal yang purulen, serta konka edema.
- Endoskopi hidung : dapat ditemukan polip, dan dapat ditentukan derajatnya
menggunakan kriteria Lund-Kennedy, yang dibagi menjadi 3 derajat yaitu :
o Derajat 1 : polip terbatas di meatus medius
o Derajat 2 : polip sudah melewati tepi bawah konka media tetapi tidak
menutupi seluruh rongga hidung
o Derajat 3 : polip memenuhi seluruh rongga hidung
- Histopatologi : mengambil jaringan polip (polipektomi)
- Laboratorium : untuk mengevaluasi adanya penyakit yang dapat mempengaruhi
pemberian steroid oral dosis tinggi, seperti hipertensi, diabetes, tukak lambung.
- CT scan : dilakukan sesudah terapi medikamentosa maksimal (diberikan 6-12
minggu). Selain itu untuk melihat apakah adanya erosi tulang, rinosinusitis, dan
ekspansi massa jika ternyata neoplasma.
35
akut dan kronik.1
Gejala rinitis alergi adalah rinorea non-purulen, obstruksi hidung, hidung gatal,
bersin – bersin. Semua gejalanya bersifat berulang dan reversibel secara spontan atau
dengan pengobatan. Gejala umumnya memburuk pada pagi hari dan saat malam hari,
dapat juga mengalami gejala gatal pada kulit, mendengkur saat tidur, dan sesak nafas
atau mengi, juga mungkin ada radang telinga berulang. Pada umumnya pasien memiliki
riwayat atopi pada keluarga, dan perlu dicari pemicu timbulnya gejala. 1
Pada pemeriksaan fisik inspeksi dapat terlihat tanda-tanda khas alergi, seperti
edema dan eritema konjungtiva, edema palpebra, allergic shiners, Dennie Morgan line
, allergic salute, dan allergic crease. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak
edema konka berwarna pucat dan sekret serous pada dasar hidung. Pada pemeriksaan
telinga mungkin didapatkan tanda efusi telinga tengah.2
Gejala okular sering terdapat pada rinitis alergi, tetapi tidak umum pada
rinosinusitis akut. Rinorea mukopurulen, nyeri, hidung tersumbat tanpa gejala lainnya,
serta anosmia jarang ditemukan pada rinitis alergi. Diagnosis pasti rinitis alergi
ditegakkan melalui pemeriksaan penunjuang menggunakan skin test atau tusuk kulit
terhadap alergen-imunoglobulin IgE spesifik.2
Gambaran klinis dari sinusitis odontogenik paling umum mencakup gejala nyeri atau
36
tekanan wajah, postnasal drip, hidung tersumbat, rinore anterior purulen yang mungkin
unilateral, bau atau rasa tidak enak, dan kelelahan. Mendapatkan riwayat menyeluruh
terutama yang berkaitan dengan operasi dentoalveolar sangat penting. Dari catatan khusus
adalah temuan bahwa sakit gigi sering tidak ada pada sinusitis odontogenik, dan bila sakit
gigi hadir tanpa gejala hidung lainnya, itu tidak spesifik untuk sinusitis. Gambaran
radiografi adalah alat diagnostik penting dalam diagnosis dan pengelolaan sinusitis
odontogenik. Radiografi gigi standar termasuk radiografi periapikal dan radiografi
panoramik.
37
Dekongestan Oxymetazoline Mengurangi edema Untuk RAV dan
topikal mukosa dan obstruksi RAB hanya selama 3
jalur nafas hidung hari
38
linking peptidoglikan tidak membaik dengan
pada sintesis dinding sel observasi
39
Terapi antibiotik hanya diberikan bila terdapat tanda-tanda infeksi bakteri
sebagai berikut:2
Apabila pasien memiliki komplikasi dari rinosinusitis akut, maka perlu dirujuk
ke dokter spesialis THT dan dirawat inap. Tanda bahaya dari komplikasi rinosinusitis
akut yang memerlukan rujukan atau rawat inap adalah edema atau eritema periorbital,
dislokasi bola mata, pandangan ganda, oftalmoplegia, penurunan visus, nyeri kepala
berat pada frontal unilateral atau bilateral, edema daerah frontal, tanda-tanda
meningitis, defisit neurologis, dan penurunan kesadaran.2
40
2.10.2.1 Cuci hidung
Terapi lini pertama pada rinosinusitis kronik adalah cuci hidung dengan larutan
salin untuk membersihkan silia dan mengurangi koloni bakteri dalam rongga hidung,
serta membuang sitokin-sitokin produk inflamasi.2
2.10.2.2 Steroid
Gambar SEQ13Gambar
Gambar \* ARABIC
Posisi Mygind 13 Posisi
(kiri) dan posisi Moffitt Mygind
(kanan) (kiri)
dan posisi Moffitt (kanan)17
41
bukan ke arah septum nasi.25 Pemberian steroid untuk penetrasi sampai sinus frontalis,
dapat menggunakan tetes mata. Cara pemakaian obat tetes untuk sinus frontalis berbeda
dengan obat steroid intranasal untuk sinus lainnya, dimana dilakukan pada posisi
berlutut dan meletakan dahi di atas lantai (posisi Moffitt) atau kepala bergantung pada
tepi tempat tidur (posisi Mygind).11
2.10.2.3 Antibiotik
Antibiotik diberikan hanya jika terdapat tanda-tanda infeksi bakteri pada
episode eksaserbasi akut. Antibiotik yang direkomendasikan adalah amoksisilin
klavulanat, makrolida (seperti eritromisin, klaritromisin, roxitromisin, azitromisin),
klindamisin, TMP-SMX, dan fluorokuinolon. Durasi terapi antibiotik yang optimal
adalah 3 sampai 4 minggu. Makrolida menjadi terapi pilihan karena memiliki sifat
imunomodulator dan anti-inflamasi. Antibiotik topikal secara teori memiliki
keuntungan yang bekerja terlokalisir dan absorpsi sistemik minimal, harga lebih murah,
rendahnya angka morbiditas dibandingkan dengan antibiotik intravena. Antibiotik
topikal juga digunakan post-operasi rinosinusitis kronik. Mupirosin sering digunakan
karena efektivitasnya terhadap Staphylococcus aureus.11 Antibiotik pilihan untuk
infeksi (methicillin-resistant staphylococcus aureus) MRSA adalah klindamisin, TMP-
SMX, tetrasiklin, doksisiklin, minosiklin, rifampin, dan linezolid.25
42
direkomendasikan untuk rinosinusitis kronik dengan polip nasal sebagai tambahan atau
pengganti steroid intranasal.11
43
Gambar 14 Kuesioner SNOT-22
44
kortikosteroid sistemik selama 1 - 3 minggu dengan post-terapi didapatkan skor total
SNOT-22 >= 20. Untuk pasien dewasa dengan rinosinusitis kronik tanpa komplikasi
tanpa polip nasi, ESS dapat menyarankan ketika skor CT Lund-Mackay >=1 dan telah
dilakukan pengobatan selama setidaknya 8 minggu dengan kortikosteroid intranasal
dan terapi sementara antibiotik sistemik spektrum luas atau sesuai kultur atau
penggunaan dari antibiotik dosis rendah dengan durasi memanjang dan post-terapi skor
SNOT-22 >=20.1
Terapi steroid diberikan sebagai persiapan operasi bedah sinus endoskopik pada
kasus polip yang berat untuk mengurangi edema, mengecilkan ukuran polip serta
mengurangi perdarahan saat operasi untuk mengurangi kemungkinan komplikasi
tindakan bedah.2
Indikasi lainnya untuk FESS adalah polip nasi yang gagal ataupun tidak
toleransi dengan pengobatan farmakologi, tumor sinonasal, penanganan dari duktus
nasolakrimal, dekompresi orbital untuk pasien Grave’s oftalmopati, dan perbaikan
kebocoran cairan serebrospinal.26
Komplikasi yang dapat terjadi dari tindakan operasi adalah rekurensi penyakit.
Harus dimengerti bahwa tindakan operasi sendiri jarang sekali dapat menyembuhkan
rinosinusitis kronik. Pasien tetap memerlukan terapi medis jangka panjang untuk terapi
inflamasi persisten asimptomatik yang khas setelah pembedahan. Intervensi operasi
membuka mukosa yang pada anatomi normalnya terlindungi dengan baik dari aliran
udara, polutan, dan allergen. Oleh karena itu, menjadi penting bahwa kontrol
lingkungan dan desensitisasi alergi dilakukan ketika diindikasikan sebelum operasi.26
Pada seluruh pasien dengan rinosinusitis akut juga perlu diperhatikan riwayat
penyakit gigi terutama pada saat pemeriksaan CT-scan. Pasien dengan masalah dentisi
maksilar dan komunikasi apapun dengan sinus maksila atau adanya lusens periapikal
perlu diteliti. Kegagalan dalam menemukan sumber infeksi odontogenik baik sebelum
ataupun segera setelah tindakan FESS dapat menjadi infeksi berkelanjutan pada sinus
dan meningkatkan resiko kegagalan prosedur operasi. Komplikasi lainnya dari operasi
45
FESS adalah epistaksis perioperatif, perdarahan masif, kerusakan atau cedera orbit,
kebocoran cairan serebrospinal, dan cedera otak.26
2.11 Komplikasi
Komplikasi dari rinosinusitis berdasarkan klasifikasinya :
1. Komplikasi rinosinusitis bakterial akut
Komplikasi dari rinosinusitis bakterial akut dapat melibatkan bagian periorbita,
intrakranial dan tulang. Komplikasi dari periorbital dapat berupa selulitis
preseptal, selulitis orbita, abses subperiosteal dan intraorbital. Sedangkan
komplikasi dari intrakranial dapat berupa empiema epidural, empiema subdural,
abses otak, meningitis, ensefalitis, trombosis pada sagital superior dan sinus
kavernosa. Komplikasi yang dapat mengenai tulang dapat berupa osteomielitis
dan dapat terjadi fistula frontokutaneus.1
2.12 Prognosis
46
BAB III
ANALISA KASUS
Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Kriteria diagnosis dari rinosinusitis akut menurut EPOS 2020 adalah
adanya inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan awitan gejala kurang dari 12
minggu. Gejala disertai satu dari dua gejala yang terdiri dari hidung tersumbat, dan/atau sekret
pada bagian anterior atau posterior, disertai gejala lain kurang dari 12 minggu, yaitu nyeri
wajah, gangguan penghidu pada dewasa dan batuk pada anak-anak. Pasien memenuhi kriteria
diagnosis ini karena terdapat hidung tersumbat dan nyeri wajah. Ditambah lagi dengan faktor
resiko yang dimiliki pasien, yaitu sebagai perokok aktif.
Diagnosis rinosinusitis akut juga didukung dengan hasil pemeriksaan fisik yaitu
ditemukan nyeri tekan saat palpasi pada daerah sinus frontalis dan maksilaris dextra. Selain itu
didapatkan nyeri ketuk sinus frontalis dan maksilaris. Diagnosis juga dapat didukung dengan
pemeriksaan rinoskopi anterior dimana ditemukan kavum nasi dextra sempit dan hiperemis,
konka inferior dextra tampak hipertrofi, edema dan hiperemis, sekret mukopus.
Diagnosis banding pada pasien ini adalah rinitis alergi dikarenakan dari keluhan hidung
tersumbat namun, pasien tidak memiliki gejala rinorea non-purulen, hidung gatal, bersin-
bersin, tidak ada tanda khas alergi pada pemeriksaan fisik. Sehingga diagnosis banding rinitis
alergi dapat disingkirkan.
Tatalaksana rinosinusitis akut tanpa polip nasi berupa tatalaksana medikamentosa dan
operatif. Terapi lini pertama adalah mencuci hidung dengan larutan garam, steroid intranasal
dan antibiotik apabila didapatkan bukti infeksi bakteri, yaitu ingus berubah warna, nyeri wajah
unilateral, demam >38⁰C, terdapat double sickening, serta peningkatan leukosit dan laju
endapan darah. Selain tatalaksana medikamentosa pasien perlu dianjurkan untuk mengatasi
faktor resiko yang dimiliki, yaitu sebagai perokok aktif.
47
DAFTAR
PUSTAKA
1. Fokkens WJ, Lund VJ, Hopkins C, Hellings PW, Kern R, Reitsma S, et al. European
position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2020. Rhinology. 2020;58(29):1–
328.
2. Mangunkusumo E, Soetjipto D, Said U, Wardani R, Nizar NW. Rinosinusitis. In:
Mangunkusumo E, editor. Buku Teks Komprehensif Ilmu THT-KL. 1st ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran;2019. p. 208 – 23.
3. Paulsen F & J. Waschke. Sobotta Atlas Anatomi Manusia: Anatomi Umum dan
Muskuloskeletal. 2013. EGC. p. 61 – 7.
4. Galarza-Paez L, Marston G, Downs BW. Anatomy, Head and Neck, Nose. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island: StatPearls Publishing; 2020. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532870/
5. Tabassom A, Cho JJ. Epistaxis. [Updated 2020 Aug 8]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK435997/
6. Creighton F, Bergmark R, Emerick K. Drainage Patterns to Nontraditional Nodal
Regions and Level IIB in Cutaneous Head and Neck Malignancy. 2016. Otolaryngol
Head Neck Surg. 155:1005 – 1011.
7. Cappello ZJ, Minutello K, Dublin AB. Anatomy, Head and Neck, Nose Paranasal
Sinuses. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island: StatPearls Publishing; 2020.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499826/
8. Hoddeson EK, Wise SK. Acute rhinosinusitis. In: Johnson JT, Rosen CA, editor.
Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology. 5th ed. Philadelphia: Wolters
Kluwer; 2014. p. 510 – 22.
9. Min JY, Tan BK. Risk factors for chronic rhinosinusitis. Curr Opin Allergy Clin
Immunol. 2015;15(1):1 – 13.
10. Grewal DS, Chaturvedi A. A study on the incidence of anatomical abnormalities in
the osteomeatal complex among chronic rhinosinusitis patient. Journal of Medical
Science and Clinical Research. 2019;7(8): p. 397 – 402.
11. Carlton DA, Beahm DD, Suh JD, Chiu AG. Acute and chronic sinusitis. In: Lalwani
AK, editor. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and Neck
Surgery. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2019. p. 339 – 49.
48
12. Mustafa M, Patawari P, Iftikhar HM, Shimmi SC, Hussain SS, Sien MM. Acute
49
and chronic rhinosinusitis, pathophysiology and treatment. Int J Pharm Sci.
2015;4(2):30 – 6.
13. Rusmono N, Poerbonegoro NL, Irawati N, Mangunkusumo E. Rinitis alergi. In:
Mangunkusumo E, editor. Buku Teks Komprehensif Ilmu THT-KL. 1st ed.
Jakarta;2019. p. 195 – 7.
14. Acharya D. Allergic rhinitis: pearls of wisdom. Scholarly Journal of
Otolaryngology. 2019;3(2).
15. Bakshi SS, Bhattacharjee S. Geographic tongue. J Allergy Clin Immunol.
2017;5(1):176.
16. Green MW, Pace A. Headache and facial pain. In: Brust JCM, editor. Current
Diagnosis & Treatment Neurology. 3rd ed. New York: McGraw-Hill; 2019. p. 66 –
80.
17. Dafna Milk, Grace Khong, Osman CAM, et al. A Comparison between mygind and
kaiteki positions in administration of drops to the olfactory cleft. Authorea. 2020.
18. Battisti AS, Modi P, Pangia J. Sinusitis. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island:
StatPearls Publishing; 2020. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470383/
19. Yeolekar AM, Dasgupta KS, Khode S, Joshi D, Gosrani N. A study of SNOT 22
scores in adults with no sinonasal disease. Journal of Rhinolaryngo-Otologies.
2013;1: p. 6 – 10.
20. Gao WX, Ou CQ, Fang SB, et al. Occupational and environmental risk factors for
chronic rhinosinusitis in China: a multicentre cross-sectional study. Respir Res.
2016;17(1):54.
21. Frinadya N, Munir D, Rambe AYM, Sofyan F, Aboet A, Ashar T. Sinonasal
anatomical variation in chronic rhinosinusitis based on ct scan finding. International
Journal of Recent Innovations on Academic Research. 2019;3(4): p. 196 – 202.
22. Landen AW, Blomgren K, Valimaa H. Acute rhinosinusitis - are we forgetting the
possibility of a dental origin? a retrospective study of 385 patients. Acta Oto-
Laryngologica. 2019;139(9): p. 783 – 7.
23. Ryan MW. Chronic rhinosinusitis with nasal polyposis. In: Johnson JT, Rosen CA,
editor. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology. 5th ed. Philadelphia:
50
Wolters Kluwer; 2014. p. 525 – 33.
24. Paramyta WW, Widiarni D, Wardani RS, Bacthiar A. Validitas dan realibitas
kuesioner Nasal Obstruction Symptom Evaluation (NOSE) dalam Bahasa Indonesia.
ORLI. 2017; 47:11–5
25. Suh JD, Chiu AG. Medical management of chronic sinusitis. In: Johnson JT, Rosen
CA, editor. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology. 5th ed. Philadelphia:
Wolters Kluwer; 2014. p. 586 – 92.
26. Kohanski MA, Toskala E, Kennedy DW. Evolution in the surgical management of
chronic rhinosinusitis: Current indications and pitfalls. J Allergy Clin Immunol.
2018;141(5):1561 – 1569.
27. Kim SM, Eo MY, Cho YJ, Kim YS, Lee SK. Differential protein expression in the
secretory fluids of maxillary sinusitis and maxillary retention cyst. Eur Arch
Otorhinolaryngol. 2017;274:215 – 22.
28. Hopkins, C. Chronic rhinosinusitis with nasal polyps. New England Journal of
Medicine. 2019; 381(1);:55–63
29. Little RE, Long CM, Loehrl TA, Poetker DM. Odontogenic sinusitis: A review of
the current literature. Laryngoscope Investig Otolaryngol. 2018;3(2):110-114.
51