Anda di halaman 1dari 57

PRESENTASI KASUS

RINOSINUSITIS

Disusun Oleh :

Michael Christian (01073200143)


Raynard Jonathan (01073200142)

Pembimbing :

dr. Michael Lekatompessy, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK

ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK – BEDAH KEPALA LEHER

PERIODE FEBRUARI – MARET 2021

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN SILOAM HOSPITAL

LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM

LIPPO KARAWACI, TANGERANG


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI II

DAFTAR TABEL V

DAFTAR TABEL V

BAB I ILUSTRASI KASUS 1

1.1 Identitas Pasien 1

1.2 Anamnesis 1

Keluhan Utama 1

Riwayat Penyakit Sekarang 1

Riwayat Penyakit Dahulu 2

Riwayat Penyakit Keluarga 2

Riwayat Alergi 2

Riwayat Sosial dan Kebiasaan 2

1.3 Pemeriksaan Fisik 3

Status Generalis 3

1.4 Pemeriksaan Penunjang 6

1.5 Resume 6

1.6 Diagnosis 7

1.7 Diagnosis Banding 7

1.8 Tata laksana 7

1.9 Prognosis 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8

2.1. Definisi Rinosinusitis 8

2.2 Epidemiologi 10

2.3. Anatomi dan Fisiologi Hidung 11

2.3.2 Inervasi Rongga Hidung 12

2.3.3 Vaskularisasi Rongga Hidung 12


2
2.3.4 Drainase Limfatik Rongga Hidung 13

2.3.5 Fisiologi Hidung 13

2.3.5.1 Jalan napas 14

2.3.5.2 Alat pengatur kondisi udara 14

2.3.5.3 Pelindung saluran napas bawah 14

2.3.5.4 Resonansi suara 15

2.3.5.5 Refleks nasal 15

2.3.5.6 Organ penghidu 16

2.3.6 Anatomi Sinus Paranasal 16

2.3.7 Vaskularisasi Sinus Paranasal 17

2.3.8 Inervasi Sinus Paranasal 17

2.3.9 Fisiologi Sinus Paranasal 17

2.3.10 Histologi Sinus Paranasal 17

2.4 Faktor Risiko 19

2.4.1 Faktor Internal 19

2.4.1 Faktor Eksternal 20

2.5 Etiologi 21

2.5.1.1 Rinosinusitis virus 21

2.5.1.2 Rinosinusitis bakterial 22

2.5.1.3 Rinosinusitis jamur 23

2.5.2 Etiologi berdasarkan sinus 24

2.6 Patofisiologi 24

2.6.1.1 Rinosinusitis viral 26

2.6.1.2 Rinosinusitis Post-Viral 28

2.6.1.3 Rinosinusitis Akut Bakterial 29

2.6.2 Rinosinusitis Kronik 29

2.7 Manifestasi Klinis 30

3
2.8 Diagnosis 32

2.9 Diagnosis Banding 35

2.9.1 Rinitis alergi 35

2.10 Tata laksana 37

2.10.2 Rinosinusitis Kronik 40

2.10.2.1 Cuci hidung 41

2.10.2.2 Steroid 41

2.10.2.3 Antibiotik 42

2.10.2.3 Leukotrien Antagonis 42

2.10.2.4 Tatalaksana Alergi 43

2.11 Komplikasi 46

2.12 Prognosis 46

BAB III ANALISA KASUS 47

DAFTAR PUSTAKA 49

4
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Guideline EPOS 2020 ....................................................................................................................... 9


Gambar 2 Grafik Durasi Rhinosinusitis ........................................................................................................... 10
Gambar 3 Kavum Nasi..................................................................................................................................... 11
Gambar 4 Inervasi Rongga Hidung ................................................................................................................. 12
Gambar 5 Vaskularisasi Rongga Hidung ......................................................................................................... 13
Gambar 6 Sinus Paranasal ............................................................................................................................... 16
Gambar 7 Osteometal Complex ....................................................................................................................... 18
Gambar 8 Interaksi jamur dan respon tubuh manusia ...................................................................................... 23
Gambar 9 Kaskade inflamasi pada sel – sel epitel hidung pada rinosinusitis akut .......................................... 27
Gambar 10 Kuesioner NOSE ........................................................................................................................... 33
Gambar 11 Polip hidung pada kavum nasi kanan menutupi meatus media pada pemeriksaan endoskopi ...... 34
Gambar 12 CT Scan rinosinusitis kronik ......................................................................................................... 35
Gambar 13 Posisi Mygind (kiri) dan posisi Moffitt (kanan)........................................................................... 41
Gambar 14 Kuesioner SNOT-22...................................................................................................................... 44
Gambar 15 Skor CT-Scan Lund-Mackay ........................................................................................................ 44

5
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Modalitas tatalaksana medikamentosa untuk rinosinusitis akut 37

6
BAB I
ILUSTRASI KASUS

1.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. M

Usia : 44 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Supir

Alamat : Cilegon

No. MR :

Tanggal Pemeriksaan : 22 Februari 2021

1.2 Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal : 22 Februari 2021

di Rumah Sakit Siloam Lippo Village poliklinik.

Keluhan Utama

Hidung tersumbat sebelah sejak 2 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat pada sisi kanan sejak 2 hari SMRS.
Rasa tersumbat diperingan dengan aktivitas. Pasien juga mengeluhkan nyeri wajah pada daerah
dahi kanan, daerah atas dari mata kanan, dan juga daerah dekat hidung kanan. Nyeri dirasakan
berat seperti menekan wajah, hilang-timbul sepanjang hari, dirasakan semakin berat jika
ditekan, dan ketika sujud ketika akan beribadah, dengan skala nyeri 6 dari 10. Pasien juga
melaporkan keluarnya cairan dari hidung, yaitu sekret berwarna hijau-coklat. Pasien tidak
mengeluhkan adanya bersin maupun demam, namun pasien mengeluhkan seperti mencium bau
busuk sejak 2 hari tersebut.

1
Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengaku sudah mengalami keluhan sejak usia 30 tahun, namun tidak
dirasakan mengganggu, sampai 2 hari yang lalu

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa. Pasien juga
menyangkal anggota keluarga memiliki riwayat hipertensi, diabetes, keganasan dan alergi.

Riwayat Alergi

Pasien menyangkal adanya riwayat alergi makanan maupun obat-obatan.

Riwayat Sosial dan Kebiasaan

Pasien melaporkan kebiasaan merokok 1 bungkus/hari. Pasien tinggal di


lingkungan bersih, tidak banyak debu, tidak dekat pabrik. Pasien tidak memelihara
binatang. Pasien tidak konsumsi obat- obatan terlarang.

2
1.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

GCS : E4M6V5

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Nadi : 60x/menit

Pernafasan : 18x/menit

Suhu : 36,5°

SpO2 : 99% room air

Status Generalis

Bagian Tubuh Hasil Pemeriksaan

Kepala Normosefali

Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Telinga Aurikulum
- Pre-aurikula :
Abses (-/-), fistula (-/-), hiperemis (-/-), edema (-/-), nyeri tekan
(-/-)
- Aurikula :
Kanan dan kiri simetris, bentuk normal, hematoma (-/-), sekret
yang keluar (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)
- Post- aurikula
Fistula retroauricular (-/-), abses (-/-), hiperemis (-/-), edema (-
/-), massa (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-)

Otoskopi
Telinga Kanan
- Meatus Akustikus Eksternus :
Liang telinga lapang, hiperemis (-), edema (-), serumen (-),
darah (-), sekret (-), jaringan granulasi (-)
- Membran timpani :
Intak, refleks cahaya (+), perforasi (-), bulging (-), retraksi (-),
warna jernih, hiperemis (-), darah (-), kolesteatoma (-)

3
Telinga Kiri
- Meatus Akustikus Eksternus :
Liang telinga lapang, hiperemis (-), edema (-), serumen (-),
darah (-), sekret (-), jaringan granulasi (-)
- Membran timpani :
Perforasi (-), refleks cahaya (-), bulging (-), retraksi (-), warna
jernih, hiperemis (-), darah (-), kolesteatoma (-)

Tes Pendengaran

Gesekan jari :simetris

Tes Rinne : +/+

Tes Weber : lateralisasi (-)

Tes Schwabach : sama dengan pemeriksa

Hidung Pemeriksaan Luar


- Inspeksi
Hidung simetris, deviasi (-), deformitas (-), hiperemis (-),
edema (-), sekret (-/-), allergic shiner (-), allergic crease (-),
crooked nose (-), saddle nose (-)
- Palpasi
Krepitasi (-), nyeri tekan (+) pada daerah sinus frontalis,
massa (-), edema (-), tanda- tanda inflamasi (-)
- Perkusi
Nyeri ketuk sinus frontalis (+/-), nyeri ketuk sinus
maksilaris (+/-)

Rinoskopi Anterior
● Cavum nasi : sempit (+/-), sekret mukoid (+/-), polip (-/-),
benda asing (-/-), massa (-/-)
● Konka inferior : edema (+/-), hiperemis (-/-)
● Meatus inferior : terbuka/terbuka, polip (-/-), darah
(-/-)
● Konka media : hipertrofi, edema (-/-), hiperemis (-/-), konka
bullosa (-/-)
● septum deviasi spina (ke kanan), hiperemis (-), perforasi (-)

4
Tenggorok Inspeksi
Bibir normal, warna kemerahan, leukoplakia (-), stomatitis (-),
hiperemis (-), massa (-), edema (-), palatum simetris, gigi dalam batas
normal, gigi berlubang (-), sisa akar gigi (-), mallampati 2.

Faring
Arkus faring simetris, dinding faring tidak hiperemis, uvula terletak di
tengah

Tonsil
T1/T1, Hiperemis (-/-), kripta melebar (-/-), detritus (-/-), massa (-/-)

Laring
Tidak dilakukan pemeriksaan
Leher Inspeksi
Simetris, diskolorasi(-), massa (-), hiperemis (-), bekas luka (-)

Palpasi
Massa (-), nyeri tekan (-), pembesaran KGB (-)
Paru Pengembangan dada simetris, vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-
/-)

Jantung S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen Supel, nyeri tekan (-), massa (-), BU (+)

Ekstremitas Akral hangat, tidak tampak sianosis, edema (-), CRT < 2 detik.

5
1.4 Pemeriksaan Penunjang

- Tidak dilakukan

1.5 Resume

Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat pada sebelah kanan sejak 2 hari SMRS.
Pasien merasa hidung semakin tersumbat sehingga sulit bernafas pada hidung sebelah kanan.
Pasien juga mengeluhkan nyeri wajah pada daerah dahi kanan, daerah bawah dari mata kanan,
dan sekitar hidung. Nyeri dirasakan berat seperti menekan wajah, hilang-timbul sepanjang hari,
menjalar ke sisi kanan kepala, dirasakan semakin berat jika disentuh, dan ketika sujud, ia
mengaku tidak mengeluhkan bersin maupun demam. Pasien juga mengeluhkan seperti
mencium bau busuk sejak 2 hari tersebut. Pasien belum pernah berobat sebelumnya. Pasien
mempunyai riwayat merokok sebungkus dalam satu hari selama 22 tahun.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit sedang. Pada
pemeriksaan fisik hidung luar, nyeri tekan terdapat pada daerah sinus frontalis, dan maksilaris
kanan, serta nyeri ketuk pada sinus frontalis dan maksilaris kanan. Pada rinoskopi anterior,
kavum nasi sempit pada sisi kanan, konka inferior kanan tampak edema, sekret mukoid, serta
tampak septum deviasi spina ke arah kanan.

6
1.6 Diagnosis

- Rinosinusitis

1.7 Diagnosis Banding


- Rhinitis alergi
- Rhinitis odontogenik

1.8 Tata laksana

1.8.1 Tatalaksana Medikamentosa :


- NaCl 0.9% 500 ml pro cuci hidung 3x sehari 30 ml sekali cuci KNDS
- Acetylcystein 200 mg 3x sehari
- Oxymethazoline (Afrin) 0.05% 2x sehari 2 semprot
- Zinc 20 mg 1x sehari

1.9 Prognosis

Ad Vitam : Ad bonam

Ad Functionam : Dubia ad Bonam

Ad Sanationam : Dubia ad Bonam

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Rinosinusitis

Rinosinusitis merupakan inflamasi pada hidung dan sinus paranasal yang


ditandai dengan 2 atau lebih gejala, dimana salah satu gejala adanya obstruksi/kongesti
nasal atau sekret hidung dengan adanya:
- Nyeri pada wajah dan/atau
- Penurunan fungsi mencium (dewasa) atau batuk (anak), dan/atau
- Tanda yang dapat ditemukan pada endoskopi adalah:
- Adanya polip nasal dan/atau
- Sekret mukopurulen yang didapat dari meatus media dan/atau
- Edema/obstruksi mukosa pada meatus media dan/atau
- Adanya perubahan hasil CT scan dimana terdapat perubahan mukosa pada
kompleks ostiomeatal dan/atau pada sinus. 1

Rinosinusitis dapat terjadi secara akut yaitu kurang dari 12 minggu, ataupun kronik,
yang terjadi lebih dari 12 minggu1

8
Gambar 1 Guideline EPOS 2020

Menurut American Academy of Otolaryngology / Head and Neck Surgery


(AAO-HNS), rinosinusitis dibagi menjadi lima (Tabel 1) yaitu :
1. Rinosinusitis akut : inflamasi pada sinus paranasal dengan onset gejala 1 hari
sampai 4 minggu.
2. Rinosinusitis subakut : inflamasi sinus paranasal yang berkelanjutan dengan onset
4 -12 minggu.
3. Rinosinusitis akut rekuren : rinosinusitis akut berulang kurang dari 4 minggu
diselingi fase tanpa gejala kurang lebih 10 hari.
4. Rinosinusitis kronik : peradangan sinus paranasal dengan gejala rinosinusitis lebih
dari 12 minggu.
5. Rinosinusitis kronik eksaserbasi akut : rinosinusitis akut berulang lebih dari 90 hari
dengan diselingi fase rinosinusitis kronik, dimana pada fase ini gejala hanya
mereda saja.2

9
Berdasarkan durasi, common cold adalah rinosinusitis akut viral yang terjadi
kurang dari 10 hari. Selanjutnya akan menjadi rinosinusitis akut post viral dimana
gejala bertambah setelah 5 hari atau gejala menetap selama 10 hari, dalam kurang dari
12 minggu.1

Gambar 2 Grafik Durasi Rhinosinusitis

2.2 Epidemiologi
Rinosinusitis adalah masalah kesehatan umum yang mempengaruhi kualitas
hidup dan produktivitas. Menurut penelitian di Amerika Serikat, rinosinusitis
menyerang sekitar 1 dari 7 orang dewasa. Data lain menunjukkan bahwa rinosinusitis
kronik berdampak lebih besar pada angina pektoris, gagal jantung kronik, penyakit paru
obstruktif kronik atau nyeri punggung bawah kronik, dan dapat mempengaruhi seluruh
area kesehatan (fungsi sosial, nyeri fisik).2
Rinosinusitis akut paling sering berasal dari virus. Insiden rinosinusitis virus
akut sangat tinggi, diperkirakan terjadi 2 sampai 5 kali per tahun pada rata-rata orang
dewasa. Insidensi terjadinya infeksi Virus paling sering adalah rhinovirus yaitu sebesar
3-15 %
Infeksi bakteri sekunder diperkirakan hanya mempersulit sebagian kecil kasus
rinosinusitis (0,5% -2,0%).1 Insidensi terjadinya infeksi bakteri paling sering adalah
streptococcus pneumoniae yaitu sebesar 30-66%
Rinosinusitis akut adalah jenis yang paling sering terjadi, dan kejadian
rinosinusitis virus akut termasuk tinggi. Orang dewasa menderita 2 dari 5 episode
rinosinusitis virus akut setiap tahun, dan anak usia sekolah menderita 7 dari 10 episode
setiap tahun. Sekitar 0,5-2% infeksi bakteri dapat memperumit infeksi saluran
10
pernapasan bagian atas yang disebabkan oleh virus.1

2.3. Anatomi dan Fisiologi Hidung


2.3.1 Anatomi Rongga Hidung
Hidung bagian dalam terbagi atas vestibulum nasi di bagian depan yang dilapisi
kulit, serta kavum nasi yang dilapisi oleh mukosa. Keduanya berhubungan dengan
dunia luar melalui lubang hidung, dan berhubungan dengan nasofaring melalui koana.
1

Vestibulum nasi merupakan bagian anterior inferior hidung, batas atasnya pada
dinding lateral hidung merupakan tonjolan yang disebut limen nasi (nasal valve).
Rongga hidung (kavum nasi) terbagi menjadi kanan dan kiri yang masing- masing
mempunyai atap, dasar, dinding lateral, dan dinding medial, yang dilapisi oleh selaput
lendir (mukosa) yang berupa epitel berlapis semu bersilia, kecuali di bagian superior
yang dilapisi oleh epitel penghidu.1
Pada dinding lateral hidung terdapat konka dan meatus. Konka dibagi menjadi
konka inferior, konka media, konka superior, dan konka suprema (tidak selalu ada).
Celah di bawah konka disebut meatus.1

Gambar SEQ Gambar


Gambar 3\*Kavum Nasi 3 Kavum nasi 3
ARABIC

Dua pertiga bagian bawah rongga hidung berfungsi sebagai saluran pernapasan.
Permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu bersilia (pseudostratified ciliated
columnar epithelium) yang mengandung banyak sel goblet. Sepertiga bagian atas
hidung, mulai dari konka superior ke atas dan septum di seberangnya serta atap rongga
11
hidung, dilapisi oleh epitel olfaktorius yang berwarna lebih pucat.1

2.3.2 Inervasi Rongga Hidung


Sensasi hidung berasal dari divisi oftalmikus (V1) dan maksila (V2) dari saraf
trigeminal. Divisi oftalmikus memiliki tiga cabang utama: lakrimal, frontal, dan
nasosiliar. Saraf infratroklear muncul dari saraf nasosiliar dan memberikan persarafan
aspek superior dari hidung luar. Saraf hidung eksterna juga muncul dari nasosiliar dan
keluar di antara batas tulang hidung dan tulang rawan lateral atas, memberikan sensasi
pada kulit ujung hidung, aspek medial dari nasal alae, dan dorsum hidung. Divisi rahang
atas (V2) memberikan persarafan bilateral ke dorsum lateral dan ala nasi.4
Di hidung, cabang V1 dan V2 memberikan sensasi pada mukosa hidung. Saraf
ethmoidal anterior (cabang sinus hidung) memberikan sensasi ke hidung bagian dalam
dan bagian atas anterior dari mukosa septum anterior. Kemudian, saraf pada hidung
memberikan saraf sensorik ke septum hidung. Saraf p dan saraf sinusoid anterior
menginervasi mukosa lateral dinding hidung Persarafan penting lainnya dari hidung
termasuk saraf Fasial (VII) yang menginervasi otot hidung dan saraf Olfaktorius (I).4

Gambar SEQ Gambar


Gambar\*4 ARABIC Hidung Rongga Hidung 3
4 Inervasi
Inervasi Rongga

2.3.3 Vaskularisasi Rongga Hidung


Hidung adalah struktur yang sangat vaskular dimana hidung luar menerima
suplai vaskular melalui arteri dorsal nasal dari arteri oftalmikus, yang mensuplai
superfisial superior dari hidung. Arteri labial angular dan superior berasal dari arteri
fasialis dan mensuplai ke lateral hidung, ala nasi, dan kolumela.4
12
Septum superior diperdarahi oleh arteri anterior dan posterior dari tulang
ethmoid dan arteri ala sphenoid. Cabang terminal arteri bibir atas memasok diafragma
anterior dan dasar hidung. Septum anterior mensuplai darah melalui bibir atas, sinus
ethmoid anterior, secara arteri utama dan arteri sphenoidal, yang menganastomosis
pleksus saraf Kiesselbach.4 Selain pleksus Kiesselbach, terdapat pula pleksus
Woodruff. Pleksus Woodruff adalah anastomosis vaskular antara arteri sphenopalatina
dan arteri asending faringeal. Terletak di dinding lateral rongga hidung di daerah
posterior ke tengah dan turbinat inferior.5
Drainase vena hidung terjadi melalui vena fasialis anterior, vena
sphenopalatina, dan vena ethmoid. Drainase limfatik hidung terjadi di anterior melalui
limfatik bibir atas dan di posterior melalui kelenjar getah bening serviks dan retrofaring
dalam.4

Gambar SEQ Gambar \* 5ARABIC


Gambar Rongga Hidung Rongga Hidung 3
5 Vaskularisasi
Vaskularisasi

2.3.4 Drainase Limfatik Rongga Hidung


Rongga hidung anterior mengalir ke wajah yang kemudian menuju ke kelenjar
getah bening submandibular di tingkat IB. Limfatik rongga hidung posterior dan sinus
paranasal mengalir ke kelenjar getah bening servikal bagian atas dan kelenjar getah
bening retropharyngeal.6

2.3.5 Fisiologi Hidung


Hidung berfungsi sebagai jalan napas, alat pengatur kondisi udara, pelindung

13
saluran napas bawah, indra penghidu, dan pembantu proses berbicara dan resonansi
suara, serta fungsi refleks nasal. Hidung merupakan tempat bermuaranya sinus
paranasalis dan saluran air mata.2

2.3.5.1 Jalan napas


Pada pernapasan normal, udara pernapasan berjalan melalui bagian tengah
hidung yaitu konka dan septum. Hanya sedikit udara yang melalui meatus inferior, atau
yang mencapai regio olfaktorius hidung. Saat ekspirasi, udara pernapasan mengalir
melalui jalan yang sama, tetapi tidak semua dikeluarkan melalui nares anterior. Ada
tahanan di daerah limen nasi yang menyebabkan sebagian udara masuk ke meatus
medius, kemudian ke dalam sinus melalui ostiumnya. 2

2.3.5.2 Alat pengatur kondisi udara


Hidung merupakan alat pengatur kondisi udara untuk paru-paru. Udara
pernapasan difiltrasi, dan dibersihkan, serta disesuaikan temperatur dan kelembabannya
sebelum sampai ke paru-paru. Filtrasi dilakukan oleh bulu hidung yang terdapat pada
nares anterior. Partikel halus 0,5-3µm seperti debu, polen dan bakteri akan melekat
pada lendir yang terdapat di seluruh permukaan mukosa hidung. Partikel < 0,5µm yang
dapat langsung masuk ke saluran pernapasan bawah.2
Mukosa hidung, terutama pada konka inferior dan konka media, serta septum
yang berhadapan, mengandung banyak pembuluh darah yang mengatur temperatur
udara pernapasan seperti suhu tubuh. Udara inspirasi dari luar yang dingin, di dalam
rongga hidung dihangatkan menjadi 37oC sebelum mencapai nasofaring. Mukosa
hidung juga melembabkan udara pernapasan sampai 75% atau lebih, yaitu oleh sekret
yang dihasilkan oleh kelenjar mukus dan kelenjar serosa. Keadaan lembab juga penting
untuk kelangsungan hidup serta fungsi epitel bersilia. Jika kelembaban kurang dari 50%
selama 10 menit, fungsi silia akan berhenti sehingga mukosa hidung menjadi rentan
terhadap bakteri. 2

2.3.5.3 Pelindung saluran napas bawah


Mukosa hidung mengandung banyak sel goblet, kelenjar mukus dan kelenjar
serosa yang menghasilkan sekret berupa lendir, yang terus menerus menyelimuti
mukosa, dan disebut mucous blanket. Mucous blanket terdiri dari 2 lapis, lapisan di
permukaan yang lebih kental (mukosa), dan lapisan bawah yang lebih cair (serosa),

14
berada di atas silia yang terus menerus bergerak secara teratur, mengalirkan mucous
blanket ke arah nasofaring. Partikel debu, bakteri dan virus yang masuk hidung
tertangkap dan melekat pada lapisan lendir yang kental, kemudian dialirkan melalui
nasofaring ke faring dan selanjutnya tertelan. Di dalam rongga hidung, mukus akan
didorong ke arah nasofaring, sedangkan di dalam sinus paranasal mukus akan dialirkan
ke arah ostium sinus. 2
Sekret hidung juga mengandung enzim (lysozyme) yang dapat membunuh
bakteri dan virus, juga mengandung imunoglobulin IgA dan IgE, serta interferon yang
membuat imunitas terhadap infeksi traktus respiratorius atas, yang dapat bekerja
dengan baik pada pH sekret hidung 7. 2
Refleks bersin merupakan refleks pertahanan tubuh, dimana dengan bersin
partikel asing yang mengiritasi mukosa hidung dikeluarkan. Fungsi ini dibantu oleh
keluarnya lendir, yang kan mengalirkan benda asing yang mengiritasi mukosa hidung.2

2.3.5.4 Resonansi suara


Hidung merupakan ruang resonansi beberapa huruf konsonan (konsonan nasal)
saat berbicara. Ketika mengucapkan huruf konsonan M, N dan Ng, suara akan melalui
ismus nasofaring dan keluar dari hidung. Ketika ada sumbatan pada hidung atau
nasofaring, pengucapan kata menjadi denasal (bindeng), M/N/Ng menjadi B/D/G. 2

2.3.5.5 Refleks nasal


Mencium bau makanan yang sedap akan menimbulkan refleks sekresi saliva
dan getah lambung. Iritasi mukosa menyebabkan refleks bersin. Fungsi hidung sangat

15
erat kaitannya dengan fungsi paru melalui nasobronkial dan nasopulmonal. Obstruksi
hidung akan menyebabkan peningkatan tahanan paru. 2

2.3.5.6 Organ penghidu


Pada hidung terdapat reseptor penciuman untuk menerima rangsang odoran
(bau-bauan). Selain itu, penghidu juga penting untuk fungsi pengecapan. Jika hidung
tersumbat, rasa makanan menjadi hambar dan kurang enak. Reseptor tersebut terletak
di rongga hidung sepertiga bagian atas.2

2.3.6 Anatomi Sinus Paranasal


Sinus paranasal adalah rongga-rongga berisi udara yang terdapat pada kepala,
tiap sisi ada 4 sinus, yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:2
o Kelompok sinus anterior: sinus maksilaris, sinus frontalis, sinus etmoidalis
anterior
o Kelompok sinus posterior: sinus etmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis.

Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal yang terbesar dan terdapat di


bawah mata di dalam tulang maksilaris. Sinus berbentuk piramid, dengan dasar dinding
lateral hidung dan puncaknya pada arkus zigomatikus tulang maksila. Sinus frontalis
dilapisi oleh mukosa epitel berlapis semu bersilia yang menghasilkan mukus yang
berguna untuk melembabkan rongga hidung dan berlokasi di atas mata, di dalam tulang
frontal. Sinus etmoidalis terletak di antara hidung dan mata. Sinus sfenoidalis terletak
di dalam korpus tulang sfenoid.7

Gambar 5. Sinus Paranasal3

Gambar 6\*Sinus
Gambar SEQ Gambar Paranasal
ARABIC 6 Sinus paranasal

16
2.3.7 Vaskularisasi Sinus Paranasal
Arteri utama dari sinus maksilaris adalah arteri maksilaris interna, cabang dari
arteri karotis eksterna. Sinus etmoid dan sinus frontal memiliki berbagai macam suplai
darah, termasuk pembuluh meningeal untuk pelat cribriform di atas sinus ethmoid, serta
dinding posterior. Sinus sphenoid dapat memperoleh suplai darah dari cabang kecil
arteri karotis interna kavernosa.7

2.3.8 Inervasi Sinus Paranasal

Saraf utama yang berada di bawah sinus frontal adalah cabang pertama dari
saraf kranial kelima. Saraf utama dari aspek inferior dari sinus maksilaris adalah cabang
kedua dari saraf kranial kelima. Saraf ini memiliki fungsi sensorik tetapi tidak memiliki
fungsi motorik spesifik, berbeda dengan divisi ketiga dari saraf kranial lima, yang
terakhir memiliki fungsi sensorik (terutama keterampilan rahang dan gigi) dan fungsi
motorik (terutama otot pengunyahan).7

2.3.9 Fisiologi Sinus Paranasal

Fungsi sinus paranasal adalah :2

o Pengatur kondisi udara, melembabkan dan menghangatkan udara


pernapasan
o Mengatur keseimbangan kepala, terutama pada tengkorak bagian depan
dan tulang wajah
o Membantu menguatkan resonansi suara
o Peredam perubahan tekanan udara di dalam rongga hidung
o Membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung
o Membantu sistem pertahanan imunologis.

2.3.10 Histologi Sinus Paranasal

17
Gambar 7 Osteometal Complex

Fungsi utama sinus paranasal adalah mengeliminasi benda asing dan sebagai
pertahanan tubuh terhadap infeksi melalui tiga mekanisme yaitu terbukanya kompleks
osteomeatal, transport mukosiliar dan produksi mukus yang normal.
Kompleks ostiomeatal atau KOM adalah jalur pertemuan drainase kelompok sinus
anterior yang terdiri dari meatus media, prosesus unsinatus, hiatur semilunaris,
infundibulum etmoid, bula etmoid, ostium sinus maksila dan resesus frontal. KOM bukan
merupakan struktur anatomi tetapi merupakan suatu jalur yang jika mengalami obstruksi
karena mukosa yang inflamasi atau massa yang akan menyebabkan obstruksi ostium sinus,
stasis silia dan terjadi infeksi sinus.
Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous kompleks
pada vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang vestibulum dan epitel
kolumnar berlapis semu bersilia pada sebagian mukosa respiratorius. Epitel kolumnar
sebagian besar memiliki silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang
sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini merupakan sumber
energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia. Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler
yang menghasilkan mukus, sedangkan sel basal merupakan sel primitif yang merupakan
sel bakal dari epitel dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan sel tunggal,
menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Distribusi dan

18
kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka inferior sebanyak 11.000 sel/mm2 dan
terendah di septum nasi sebanyak 5700 sel/mm2 . Sel basal tidak pernah mencapai
permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya memiliki silia.

2.4 Faktor Risiko


Faktor predisposisi terbentuknya rinosinusitis terbagi menjadi dua, yaitu faktor
internal dan eksternal.

2.4.1 Faktor Internal


Faktor internal berupa faktor genetik, kelainan kongenital seperti fibrosis kistik
dan diskinesia silia primer atau sindrom Kartagener, alergi seperti rinitis alergi dan
asma khususnya terhadap rinosinusitis kronik dengan polip, imunodefisiensi seperti
pada infeksi human immunodeficiency virus, pengobatan kemoterapi, dan transplantasi
sumsum tulang, serta kelainan anatomi sinus paranasal. 1,8
Faktor genetik yang berhubungan signifikan dengan rinosinusitis kronik adalah
gen yang terlibat dengan kanal ion (CFTR), gen yang terlibat dengan antigen human
leukocyte (CD14, IRAK4, LFT, MET, NOS1, NOS1AP, NOS2A, SERPINA1,
dan TLR2), gen yang terlibat dengan inflamasi tipe 2 (IL1RL1, IL4, IL13, IL33), gen
yang terlibat dengan inflamasi (IDO1, IL1A, IL1B, IL1R2, IL6, IL22RA1, LTA, TNF,
TNFA1P3), gen yang terlibat dengan perbaikan jaringan atau tissue remodeling
(MMP9, POSTN, TGFB1), serta gen yang terlibat dengan metabolisme asam
arakidonat (LTC4S, PTGDR, PTGS2).9
Kelainan anatomi yang menyebabkan penyempitan kompleks osteomeatal
menyebabkan alirannya terganggu dan gangguan ventilasi pada sinus paranasal, yang
kemudian menyebabkan inflamasi mukosa sinus. Kelainan atau variasi anatomi yang
dapat menyebabkan penyempitan kompleks osteomeatal berupa seperti deviasi septum
nasi dengan prevalensi 78.3% pasien dengan rinosinusitis kronik, diikuti dengan
hipertrofi konka inferior (58.7%), septal spur (38%), concha bullosa (32.6%), retention
cyst (29.3%), Agger Nasi cells (28.3%), paradoxical middle turbinate (19.6%),
uncinate process, uncinate hypertrophy, onodi cells, Haller cells, dan double concha
bullosa.10

Pada pasien defisiensi imun dapat terbentuk inflamasi secara difus pada mukosa

19
sinonasal. Inflamasi ini akan menyebabkan obstruksi ostium sinus dan mengaktivasi
kaskade rusaknya mucociliary clearance, kemudian mukus menjadi statis dan menjadi
tempat yang baik untuk bakteri berkembang biak.11

Pasien dengan penyakit autoimun seperti lupus dan artritis reumatoid juga
memiliki risiko terhadap rinosinusitis kronik, dimana ditemukan bahwa pada
rinosinusitis kronik dengan polip hidung terdapat respon imun lokal yang menghasilkan
autoantibodi terutama terhadap antigen epitel.9
Wegener’s granulomatosis adalah suatu penyakit inflamasi kronik idiopatik
yang ditandai dengan lesi nekrosis granulomatosa dan vaskulitis sistemik yang
berhubungan dengan antibodi antineutrofil sitoplasmik (C-ANCA). ANCA dapat
menginduksi pembentukan kompleks imun dan secara langsung merusak sel endotel
sehingga menyebabkan vaskulitis. Kolonisasi Staphylococcus aureus di hidung sering
ditemukan pada Wegener’s granulomatosis dibandingkan pada rinosinusitis kronik dan
populasi kontrol (72%; 28%; 25%).1
Penyakit refluks gastro-esofageal adalah salah satu faktor yang menginduksi
dan memperparah rinosinusitis kronik. Refluks nasofaringeal menyebabkan refluks
asam lambung dan pepsin langsung pada kavum nasal kemudian menginduksi
inflamasi.1
Hipertrofi adenoid ditemukan memiliki hubungan signifikan dengan terjadinya
rinosinusitis kronik pada anak. Hipertrofi adenoid tidak hanya berkontribusi sebagai
obstruksi mekanik, akan tetapi juga sebagai reservoir bakteri berkembang biak. Pada
populasi anak, penyakit penyerta kronik seperti bronkitis, asma, penyakit
kardiovaskular, diabetes mellitus, dan kanker maligna berhubungan dengan
meningkatnya kejadian rinosinusitis akut yang didahului influenza.1

2.4.1 Faktor Eksternal

Faktor eksternal dari rinosinusitis adalah trauma, paparan terhadap zat kimia,
dan iatrogenik. Trauma wajah yang mengenai daerah sinus juga dapat menyebabkan
rinosinusitis akut.

Zat yang dapat menyebabkan rinosinusitis adalah senyawa inhalasi seperti asap
(contohnya rokok, kayu bakar, arang), debu, uap dan gas. Studi yang dilakukan Thilsing
et al menyatakan bahwa perokok aktif memiliki odds ratio (OR) 1.9 terhadap
20
rinosinusitis kronik, dan OR 1.3 pada individu yang pernah merokok aktif dengan p
value 0.000. Perokok pasif dewasa dan anak juga memiliki hubungan signifikan dengan
rinosinusitis kronik.1 Beberapa studi telah membuktikan efek patofisiologi dari asap
rokok pada mukosa sinonasal berupa penurunan aliran mukosilia oleh perubahan
mekanisme transpor ion, mengganggu pembentukan silia, serta supresi imun innate
oleh karena perubahan pada reseptor toll-like (TLR) dan komponen komplemen.9
Pajanan terhadap debu, uap, asap, dan gas di tempat kerja ditemukan meningkatkan
prevalensi rinosinusitis dengan membandingkan prevalensi rinosinusitis pada beberapa
pekerjaan dengan “paparan tinggi” seperti pekerja konstruksi, pekerja pabrik semen,
tekstil dan rempah, pekerja daur ulang kertas, supir dengan yang pada pekerjaan dengan
“paparan rendah” seperti pekerja pabrik buah, pekerja industri makanan, tenaga
kesehatan dan pekerja pengiriman.9,20 SO2, NO2 dan CO memiliki korelasi signifikan
terhadap prevalensi rinosinusitis dan diketahui bahwa debu pasir di Asia memiliki
sejumlah besar partikel tanah yang secara langsung meningkatkan replikasi Rhinovirus
dan inflamasi pada sel epitel hidung dengan meningkatkan sekresi IFN-γ, IL-1β, IL-6,
dan IL-8.9

Ditemukan bahwa pria memiliki resiko lebih tinggi sebagai penderita


rinosinusitis kronik daripada wanita, karena perbedaan aktivitas yang dilakukan oleh
pria dan wanita, dimana pria lebih sering berada di luar ruangan, sehingga lebih rentan
terhadap polusi, debu, udara dingin, dan udara kering yang menyebabkannya gangguan
aliran mukosilia.21

Rinosinusitis juga memiliki etiologi iatrogenik, yaitu benda asing di sinus dan
oroantral communication (OAC), hubungan antara rongga mulut dan sinus maksilaris
yang tidak tertutup, setelah ekstraksi gigi premolar dan molar atas.22

2.5 Etiologi

2.5.1 Etiologi berdasarkan agen infeksi

Mayoritas rinosinusitis akut disebabkan oleh infeksi. Agen infeksi pada


rinosinusitis dapat berupa bakteri, virus atau jamur.

2.5.1.1 Rinosinusitis virus

21
Patogen yang paling sering menyebabkan rinosinusitis adalah virus. Virus
paling banyak terlibat pada penyakit ini adalah rhinovirus dengan prevalensi 15%,
influenza virus 5%, dan parainfluenza virus 3%, dan adenovirus 2%. Rhinovirus masuk
ke dalam tubuh melewati hidung, secara inokulasi langsung atau bersamaan dengan
partikel udara besar. Partikel virus mengikuti aliran mukus ke daerah adenoid dimana
mereka akan bertemu dengan reseptor spesifik (rhinovirus receptor intercellular
adhesion molecule 1) pada sel limfoepitelial dari folikel limfoid.11

2.5.1.2 Rinosinusitis bakterial

Rinosinusitis bakterial akut secara umum didahului infeksi virus saluran


pernafasan atas yang kemudian terjadi infeksi sekunder oleh bakteri. 0.5% sampai 2%
dari kasus rinosinusitis bakterial akut yang mengalami komplikasi oleh infeksi bakteri
sekunder. Rinosinusitis akut bakterial paling sering disebabkan oleh Streptococcus
pneumonia dengan prevalensi 20% - 43%, Haemophilus influenzae 22% - 35%, dan
Moraxella catarrhalis 2% - 10%.11

Sedangkan pada rinosinusitis kronik bakterial dimana terjadi inflamasi mukosa


sinonasal yang terjadi setidaknya selama 12 minggu, bakteri yang paling sering
ditemukan adalah Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, dan Haemophilus
influenzae. Bakteri tersebut membentuk biofilm yang merupakan agregasi bakteri yang
dibungkus matriks ekstraseluler. Bakteri di dalam biofilm bersifat lebih resisten
terhadap sistem imun dan dapat sampai 1000 kali resisten terhadap tatalaksana
antibiotik..11 Staphylococcus aureus memproduksi eksotoksin superantigen yang
berkontribusi dalam pembentukan polip pada pasien dengan rinosinusitis dengan polip
nasal. Superantigen dapat menyebabkan inflamasi dengan mengaktivasi sel T dan
respon poliklonal IgE.11

Infeksi odontogenik adalah salah satu penyebab rinosinusitis maksilaris akut.


Rinosinusitis odontogenik adalah penyebab umum rinosinusitis akut yang disebabkan
oleh odontogenik atau gigi, seperti infeksi gigi periapikal atau periodontal,
perikoronitis atau infeksi implan gigi. 15,3% dari diagnosis rinosinusitis akut
disebabkan oleh infeksi gigi. Gejala unilateral dan temuan bakteri normal flora mulut
pada kultur sinus maksilaris menunjukkan etiologi infeksi odontogenik.2

22
2.5.1.3 Rinosinusitis jamur

Beberapa genus jamur menyebabkan penyakit sinus, diantaranya adalah


Aspergillus, Bipolaris, Rhizopus, dan Alternaria. Rinosinusitis jamur memiliki 3
manifestasi yang ditentukan oleh keadaan sistem imun tubuh dari host, yaitu fungal
ball, rinosinusitis alergi jamur, dan rinosinusitis jamur akut invasif.11 Infeksi jamur
pada pasien imunokompeten bermanifestasi sebagai fungal ball, pada pasien imun
hipersensitif bermanifestasi sebagai rinosinusitis alergi jamur, dan pada pasien
imunodefisiensi bermanifestasi sebagai rinosinusitis jamur akut invasif.1

Gambar SEQ Gambar


Gambar 8\*Interaksi
ARABIC 8 dan
jamur Interaksi jamur
respon tubuh dengan respon imun
manusia
manusia1

Bola jamur atau fungal ball terbentuk dari gumpalan hifa jamur yang tidak
invasif membentuk sebuah massa. Kondisi ini terbentuk oleh implantasi jamur pada
sinus normal pada pasien imunokompeten tanpa faktor risiko lainnya. Hal ini paling
sering melibatkan sinus maksilaris, diikuti oleh sfenoid dan etmoid.11

Rinosinusitis alergi jamur adalah subtype dari rinosinusitis kronik yang ditandai
oleh adanya allergic mucin yang tebal dengan eosinofil dan hifa jamur.11

Sinusitis jamur akut invasif pada umumnya terjadi pada individu dengan kondisi
immunocompromised. Pasien dengan diabetes tidak terkontrol, HIV/AIDS, keganasan,
dan imunosupresi karena pengobatan adalah yang paling sering mengalami penyakit
ini. Kondisi ini ditandai oleh infeksi jamur yang berprogresi sampai ke orbita, fossa
pterigopalatina, sinus kavernosus, atau kavum intrakranial.11 Sinusitis jamur akut
invasif berprogresi ekstensi ke ekstra sinus dengan mengerosi langsung tulang,
menyebar perineural, atau ekstensi perivaskular melalui pembuluh

23
darah sekitar tulang. Proses ini akan menyebabkan nekrosis mukosa hidung dan atau
palatina, proptosis, defisit nervus kranialis, oftalmoplegia, penurunan visus, dan
gangguan kesadaran. Hal ini menunjukkan invasi vaskular dan persyarafan yang
agresif. Patogen jamur yang menyebabkan penyakit ini adalah Aspergillus, Mucor, dan
Rhizopus.11

2.5.2 Etiologi berdasarkan sinus

Setiap sinus yang terlibat pada rinosinusitis memiliki etiologi yang berbeda
dengan sinus lainnya. Rinosinusitis maksilaris akut biasanya didahului rinitis virus
yang meluas ke mukosa sinus, kemudian diikuti infeksi bakteri, dapat juga karena
berenang atau menyelam di tempat yang mengandung kuman. Rinosinusitis maksilaris
akut juga dapat terjadi karena infeksi dari gigi premolar atau molar yang akar giginya
dengan sinus maksilaris hanya terpisah oleh selapis tulang atau mukosa yang tipis.
Abses periapikal dapat pecah ke dalam sinus atau akar gigi terdorong masuk ke dalam
sinus saat pencabutan gigi; atau pada kasus fistula oroantral, bakteri masuk ke dalam
sinus saat pencabutan gigi. Selain itu, trauma wajah yang mengenai sinus maksilaris
dapat menyebabkan rinosinusitis maksilaris akut.2

Rinosinusitis frontalis akut juga biasanya didahului rinitis virus yang meluas ke
mukosa sinus, kemudian diikuti infeksi bakteri, dapat juga karena berenang atau
menyelam. Rinosinusitis frontalis akut juga dapat disebabkan oleh trauma sinus dari
luar, seperti kecelakaan lalu lintas, dan edema pada meatus medius karena infeksi sinus
maksilaris atau sinus etmoidalis ipsilateral.2

2.6 Patofisiologi

2.6.1 Rinosinusitis Akut

Patogenesis rinosinusitis melibatkan tiga elemen kunci: ostia sinus sempit,


disfungsi aparatus siliaris, dan sekret sinus yang kental. Lubang yang sempit ostia sinus
menjadi landasan dari terjadinya obstruksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi ostia
untuk obstruksi adalah hal-hal yang mengakibatkan mukosa membengkak dan

24
hal-hal yang menyebabkan obstruksi mekanis secara langsung pada kompleks
osteomeatal. Kompleks osteomeatal merupakan jalur pertemuan drainase kelompok
sinus anterior yang terdiri dari meatus media, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris,
infundibulum etmoid, bula etmoid, ostium sinus maksila dan resesus frontal. Oleh
karena itu, inflamasi baik yang diakibatkan oleh infeksi ataupun alergi menjadi bagian
yang paling penting dan paling sering dalam menyebabkan rinosinusitis.12

Selama episode akut rhinitis, ostia yang paten hanya terjadi pada 20% kasus.
Ketika obstruksi ostium sinus terjadi, ada peningkatan tekanan sementara di dalam
rongga sinus. Saat oksigen habis dari ruang tertutup ini, tekanan di sinus menjadi relatif
negatif terhadap tekanan atmosfer. Tekanan negatif ini memungkinkan masuknya
bakteri hidung ke dalam sinus saat mengendus atau menghembuskan nafas dari hidung.
Saat ostium sinus tersumbat, sekresi mukosa oleh mukosa sinus tetap berlanjut,
mengakibatkan penumpukan cairan di sinus.12

Sebuah studi dari seorang relawan dewasa yang menyelidiki peran


menghembuskan nafas melalui hidung dalam memasukkan cairan hidung, dan
kemungkinan mikroba dengan cairan ke rongga sinus. Pemindaian computed
tomography (CT) serial menunjukkan bahwa hingga 1 ml cairan kental didorong ke
sinus saat sukarelawan menghembuskan nafas melalui hidung mereka. Ini adalah
mekanisme yang berpotensial untuk memasukkan cairan hidung dan flora untuk
mengkontaminasi sinus, terutama selama flu / common cold. Namun, anak kecil yang
tidak menghembuskan nafas dari hidung mereka masih dapat terjadi sinusitis bakteri
akut, jadi harus ada beberapa faktor yang berperan dalam perkembangan infeksi akut.12

Disfungsi aparatus mukosiliaris juga berkontribusi dalam patogenesis sinusitis.


Selama flu akibat virus, baik struktur maupun fungsi dari aparatus mukosiliar menjadi
terganggu. Dalam sebuah studi mengenai anak-anak dengan infeksi saluran nafas atas
akibat virus, biopsi mukosa hidung dilakukan untuk pemeriksaan ultrastruktur silia.
Bentuk siliaris dismorfik yang melibatkan kelainan tubular mikro terlihat selama fase
akut (7 hari) penyakit. Hilangnya sel bersilia secara progresif juga didapatkan selama
periode sakit dengan pola yang bervariasi. Dalam studi yang mendokumentasikan
infeksi saluran pernafasan atas pada orang dewasa, mucociliary clearance dihitung
dengan menggunakan larutan pewarna sakarin. Waktu

25
mucociliary clearance, yang diukur berdasarkan rasa dan warna, secara signifikan lebih
lambat selama fase akut penyakit. Mungkin perubahan yang sama dalam struktur dan
fungsi mukosa hidung selama infeksi virus ini terjadi juga di mukosa sinus.12

Untuk aliran mukosiliaris yang efisien, perlu ada interaksi yang baik antara silia
dan mukus hidung. Maka kualitas dan karakter dari sekresi sinus juga berperan dalam
patogenesis sinusitis. Mukus pada saluran pernafasan terdiri dari dua lapisan, yaitu
lapisan solution dan lapisan gel. Lapisan solution adalah lapisan tipis dengan viskositas
rendah yang menyelimuti batang silia dan memungkinkan silia bergerak bebas. Lapisan
yang lebih kental, lapisan gel, terdapat pada bagian atas dari lapisan solution. Perubahan
pada lapisan mukosa, yang terjadi akibat adanya debris inflamasi, seperti pada sinus
yang terinfeksi, selanjutnya dapat mengganggu gerakan siliaris.12

Rinosinusitis akut sendiri dapat dibagi menjadi rinosinusitis akut viral,


rhinosinusitis post-viral, dan rinosinusitis akut bakterial. Rinosinusitis akut bakterial
seringkali didahului oleh infeksi virus. Tentunya patogenesis dari infeksi bergantung
dari berbagai faktor seperti usia, sistem imun host, infeksi sebelumnya atau imunisasi,
kondisi inflamasi mukosa sebelumnya, patogen atau kondisi lingkungan sekitar, serta
deformitas anatomi.1

Meskipun demikian, patogenesis lengkap dari rinosinusitis masih belum


sepenuhnya dimengerti akibat kurangnya penelitian klinis dan laboratorium yang
dilakukan selama perjalanan penyakit rinosinusitis akut (RSA).1

2.6.1.1 Rinosinusitis viral

Secara definisi, common cold adalah rinosinusitis viral akut dengan durasi
gejala kurang dari 10 hari. Rinosinusitis viral disebabkan oleh virus respiratorik seperti
rhinovirus (RV), respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus (IFV), coronavirus
(CorV), parainfluenza virus (PIV), adenovirus (AdeV) dan enterovirus (EV). RV dan
CorV adalah virus yang paling sering menyebabkan RSA pada pasien dewasa.
Sementara pada anak-anak lebih beragam.1

26
Epithelium nasal adalah port d’ entrée bagi seluruh virus pernapasan dan
merupakan target langsung untuk replikasi virus pada saluran pernafasan. Sel epithelial
nasi mengekspresikan berbagai reseptor untuk mengenali virus-virus spesifik seperti
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1), toll-like receptor 3 (TLR3), α-2,3-linked
sialic acid (α-2,3-SA) retinoic acid inducible gene 1 ((RIG-1) dan MDA4. Saat virus
masuk maka akan dikenali oleh reseptor dan terjadi endositosis yang kemudian diikuti
oleh ekspresi dan replikasi dari genome virus dalam beberapa jam setelah infeksi.1

Gambar
Gambar SEQ Gambar
9 Kaskade \* pada
inflamasi sel – sel9epitel
ARABIC Kaskade inflamasi
hidung pada sel –
padaakut
rinosinusitis
sel epitel hidung pada rinosinusitis akut

Setelah dikenalnya patogen-patogen tersebut oleh tubuh, maka akan terjadi


kaskade inflamasi yang diinisiasi langsung oleh sel epithelial dengan menggunakan
berbagai macam sitokin seperti IFNα/β, IL-28A, IL-29A, IL-6, IL-8 dan lain
sebagainya yang mengakibatkan kerusakan dari sel dan timbul gejala seperti edema,
ekstravasasi cairan, produksi mukus dan obstruksi sinus dalam prosesnya. Hal inilah
yang kemudian dapat mengakibatkan disfungsi dari sel epitel yang seharusnya berperan
dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi yang pada akhirnya berakibat
sebagai rinosinusitis post-viral ataupun infeksi sekunder oleh bakteri.1

27
Epithelium nasi turut berperan dalam respons imun adaptif ataupun innate.
Reaksi ini akan menghasilkan inflamasi yang dapat merusak epithelium
pseudostratified saluran pernafasan. Sel epitel nasal dapat menghasilkan respons imun
secara mandiri dan secara aktif mencegah patogen merusak saluran pernafasan. Saat
terjadi infeksi, mereka tidak hanya melepaskan surfaktan antimikroba dan mukus untuk
menghambat transmisi patogen di saluran pernafasan, tetapi juga mengekspresikan dan
mensekresikan berbagai sitokin dan kemokin untuk menjalankan respons imun
menghadapi patogen yang menginvasi saluran pernafasan.1

Lapisan mukosa dari kavum nasi dilapisi oleh mukus setebal 10 – 15 µm, mukus
ini dihasilkan oleh sel goblet pada glandula epithelium dan submukosa seromukosa.
Sekresi sinus adalah campuran dari glikoprotein, produk glandular lainnya dan protein
plasma. Sekresi ini kaya akan lysozyme, lactoferrin, albumin, inhibitor sekretorik
leukoprotease, dan mucoprotein. Reaksi inflamasi yang berlebihan akibat dari infeksi
awal dapat menyebabkan kerusakan, edema, ekstravasasi cairan dan produksi mukus
yang akhirnya menyebabkan obstruksi sinus, hal ini pada akhirnya menyebabkan
rinosinusitis akut atau eksaserbasi RSA. Sel goblet dapat berinteraksi dengan pathogen
mengakibatkan gejala yang lebih berat seperti hipersekresi mukus pada infeksi
rhinovirus, dan produksi dari asam sialat pada infeksi virus influenza. Asam sialat pada
infeksi virus influenza bertujuan mencegah virus berikatan dengan sel epitel. Namun,
virus dapat menghindari asam sialat dengan cleavage oleh neuraminidase yang mana
hasil pemecahan asam sialat ini menjadi nutrisi untuk bakteri bertumbuh sehingga
berperan dalam patogenesis infeksi bakteri.1

2.6.1.2 Rinosinusitis Post-Viral

Patofisiologi dan mekanisme patogenesis dari rinosinusitis post-viral masih


belum jelas. Definisi ini digunakan untuk menjelaskan fenomena peningkatan gejala
setelah 5 hari atau gejala menetap setelah 10 hari dengan durasi kurang dari 12 minggu.
Infeksi virus pada hidung dan sinus menyebabkan berbagai perubahan akibat dari
infiltrasi dan aktivasi berbagai sel inflamasi. Oleh karena itu, pada beberapa

28
pasien memerlukan penyembuhan selama beberapa waktu yang mana selama periode
ini resiko infeksi bakteri meningkat.1

2.6.1.3 Rinosinusitis Akut Bakterial

Rinosinusitis bakterial akut terjadi setelah 5 hari atau gejala menetap setelah 10
hari dengan durasi kurang dari 12 minggu dengan setidaknya 3 tanda dan gejala:
perubahan warna mukus, nyeri wajah lokal, demam lebih dari 38 derajat celcius,
peningkatan laju endap darah (LED) atau C - Reactive Protein (CRP), dan double
sickening. Rinosinusitis bakterial akut adalah sebuah komplikasi dari infeksi saluran
pernafasan atas virus yang menyebabkan kerusakan mukosa dan superinfeksi bakteri.
masalah utama dari infeksi bakteri sekunder ini adalah adanya kerusakan atau gangguan
fungsi mukosiliar yang disebabkan oleh infeksi virus. Infeksi virus pada mukosa hidung
mengaktifkan kaskade inflamasi. Proses dari pembersihan virus oleh respon imun tubuh
menghasilkan sel-sel epitel mati dan sel infiltrasi. Keadaan ini merupakan tempat yang
cocok untuk infeksi sekunder bakteri seperti Staphylococcus aureus dan Streptococcus
pneumonia.1

Teori lain menyatakan bahwa infeksi virus menginduksi produksi interferon


tipe 1 yang menghentikan pengaktifan neutrophil dan makrofag ke paru – paru, serta
diferensiasi sel T helper dari sel T naïve. Hal ini membuat risiko infeksi sekunder
bakteri semakin besar.1

2.6.2 Rinosinusitis Kronik

Rinosinusitis kronik adalah peradangan sinus paranasal dengan awitan gejala


rinosinusitis lebih dari 12 minggu. Dalam pemeliharaan fungsi sinus paranasal, terdapat
3 faktor yang berperan, yaitu patensi kompleks ostiomeatal, fungsi transport mukosilia,
dan komposisi lapisan gel dan lapisan sol pada palut lendir. Apabila terdapat gangguan
dari salah satu faktor tersebut, maka akan menyebabkan terganggunya keseimbangan
atau homeostatis sinonasal.2

29
Selain tiga faktor tersebut, sistem imun tubuh juga berperan pada perkembangan
penyakit ini.2 Respon imun fisiologis terhadap patogen pada mukosa melibatkan respon
imun seluler dan sitokin yang menargetkan terhadap salah satu dari
3 jenis patogen, yaitu respon imun tipe 1 yang menargetkan virus, tipe 2 yang
menargetkan parasit, dan tipe 3 yang menargetkan bakteri dan jamur ekstraseluler. Pada
kasus rinosinusitis kronik, penetrasi mukosa menyebabkan respon inflamasi kronik
yang gagal resolusi. Inflamasi tipe 2 melibatkan sitokin IL-4, IL-5 and IL-13, serta
aktivasi eosinofil dan sel mas. Remodelling atau perbaikan jaringan sinonasal pada
rinosinusitis kronik kebanyakan menghasilkan polip, hiperplasia sel goblet, dan
kelainan epitel.1 Kelainan mukosa sinonasal ini menyebabkan ketidakmampuan untuk
menjaga keseimbangan kolonisasi mikrobiota dan flora normal pada hidung dan sinus,
serta tidak mampu mengeliminasi bakteri oportunis yang berperan sebagai superantigen
dan memicu respons spesifik oleh sel T dan sel B pada sistem imunitas adaptif. Lama
kelamaan, rinosinusitis kronik membuat kerusakan mukosa sehingga terbentuk polip
pada mukosa hidung dan atau sinus.2

Patofisiologi dari rinosinusitis kronik dengan polip nasal (chronic rhinosinusitis


with nasal polyp atau CRSwNP) berbeda dengan rinosinusitis kronik tanpa polip
(chronic rhinosinusitis without nasal polyp atau CRSsNP). Secara histopatologi,
kebanyakan polip nasal memiliki inflamasi eosinofilik. Dengan ini, diasumsikan bahwa
mekanisme alergi memiliki peran dalam pembentukan polip. Melainkan pada CRSsNP
yang lebih sering ditemukan infiltrat inflamasi neutrofil, maka diasumsikan bahwa
infeksi bakterial sebagai penyebab yang mendasarinya.23 Dengan pengertian ini, maka
pemeriksaan histopatologi menjadi peran penting dalam menentukan terapi
rinosinusitis kronik, serta prognosis dan keparahan penyakit tersebut.1

2.7 Manifestasi Klinis


Gejala yang dapat ditemukan pada rinosinusitis, berdasarkan dengan onsetnya:

1. Rinosinusitis akut terdapat ≧2 gejala berikut :

- Hidung tersumbat
- Pilek

30
- Nyeri pada wajah
- Hiposmia/Anosmia yang akan terjadi kurang dari 12 minggu, dan harus
disertai minimal 1 dari gejala hidung tersumbat atau pilek.1

2. Rinosinusitis kronik
Rinosinusitis kronik harus bergejala satu dari dua gejala berikut hidung
tersumbat dan/atau sekret dari hidung bagian anterior atau posterior, yang
berlangsung > 12 minggu. Pada orang dewasa dapat disertai dengan nyeri pada
wajah dan pada anak dapat disertai batuk.2

Selain gejala lokal dapat juga ditemukan gejala tambahan pada rinosinusitis
akut yang berkaitan dengan iritasi pada faring, laring dan trakea yang menyebabkan
nyeri tenggorok, disfonia, dan batuk, serta beberapa gejala umum seperti lemas dan
demam. Hanya sedikit proporsi pasien dengan purulen rinosinusitis mengeluhkan
batuk.1

Gejala tambahan yang dapat muncul pada rinosinusitis maksilaris akut adalah
nyeri pada pipi atau rahang atas, atau nyeri pada gusi atau gigi serta sakit kepala
terutama di daerah dahi. Selain itu dapat ditemukan nyeri tekan atau nyeri ketuk pada
pipi di depan sinus yang terkena, kelopak mata bawah yang mungkin bengkak, dan
dapat ditemukan kemerahan dan bengkak pada pipi khususnya pada pasien anak.2

Gejala yang dapat ditemukan pada rinosinusitis frontalis akut adalah sakit
kepala daerah frontal. Sakit kepalanya ringan saat bangun tidur, semakin berat dan
memuncak tengah hari, kemudian mereda kembali. Nyeri hebat jika ada penekanan
pada dasar sinus frontalis ditekan ke atas. Nyeri tekan atau nyeri ketuk pada dinding
anterior sinus frontalis yang terkena juga dapat ditemukan, serta edema kelopak mata
atas, meluas ke konjungtiva, dan dapat disertai fotofobia.2

Gejala yang dapat ditemukan pada rinosinusitis etmoidalis akut adalah nyeri di
daerah pangkal hidung, medial mata, dan dalam bola mata. Nyeri dapat lebih terasa saat
menggerakan bola mata. Selain itu dapat ditemukan edema kelopak mata, kelopak mata
atas dan bawah bengkak dan sembab, dan dapat keluar air mata. Rinosinusitis
sfenoidalis akut jarang ditemukan, dan dapat bergejala seperti sakit kepala di daerah
oksipital atau verteks, dan dapat terjadi nyeri alih ke daerah mastoid.2

31
2.8 Diagnosis
Rinosinusitis akut umumnya dapat didiagnosis secara memadai berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik saja, tanpa menggunakan teknik pemeriksaan
penunjang. Pada anamnesis dapat ditegakkan rinosinusitis akut dengan gejala obstruksi
hidung dengan adanya sekret, atau dapat ditemukan adanya nyeri pada bagian wajah
atau berkurangnya penciuman yang dapat terjadi secara akut, yaitu kurang dari 4
minggu. Onset perlu ditanyakan untuk mendiagnosis apakah rinositus tersebut akut
ataupun kronik. Pemeriksaan inspeksi dan palpasi dari sinus juga dapat dilakukan untuk
melihat apakah adanya nyeri tekan atau kemerahan serta bengkak pada area yang
terkena.1
Pemeriksaan penunjang berupa laboratorium dapat membantu menegakkan
diagnosis dari rinosinusitis akut bakterial yaitu dapat ditemukan nilai LED (laju endap
darah) atau CRP (C-reactive protein) yang meningkat. Peningkatan CRP dapat
mengindikasikan adanya infeksi bakteri. Menurut penelitian EPOS 2020, apabila sudah
ditemukan 3 dari 5 gejala berikut dapat didiagnosis rinosinusitis, yaitu:1
- Sekret tidak berwarna
- Nyeri hebat lokal (pada bagian wajah)
- Demam
- Double sickening (gejala yang memperparah seperti nyeri yang semakin hebat
pada wajah)
- Peningkatan LED

Pemeriksaan subjektif untuk menilai sumbatan hidung dapat dilakukan menggunakan


kuesioner Nasal Obstruction and Symptom Evaluation (NOSE). Kuesioner ini dapat
digunakan untuk menilai sumbatan hidung akibat deformitas hidung seperti crooked
nose, saddle nose, gangguan katup hidung dan deviasi septum. Kuesioner NOSE
memiliki nilai 0-4 pada masing-masing pertanyaan, total dari seluruh pertanyaan
tersebut akan dikalikan 5 sehingga total nilai yang didapat 0-100. Interpretasi dari total
nilai yaitu 0 adalah tidak ada sumbatan hidung, 5-25 sumbatan hidung ringan, 30-50
sedang, 55-75 berat dan >80 sangat berat.

32
Gambar 10 Kuesioner NOSE

Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan pula adalah kadar eosinofil darah


dan IgE, untuk membedakan tipe rinosinusitis kronis. Tipe rinosinusitis kronis bilateral
dapat dibagi menjadi eosinofilik rinosinusitis kronis dan non eosinofilik rinosinusitis
kronis. Eosinofilik rinosinusitis kronis dapat disertai dengan peningkatan eosinofil dan
juga IgE. Selain itu juga dapat sebagai indikasi operasi pada pasien dengan polip.
Peningkatan eosinofil darah >250 atau total IgE > 100 merupakan salah satu kriteria
operasi pada rinosinusitis kronis dengan polip.2
Menurut beberapa penelitian foto polos tidak terlalu efektif untuk
mendiagnosis. CT Scan lebih direkomendasikan untuk kasus-kasus yang ditandai
dengan keadaan yang kronis atau keadaan immunocompromised dan juga sudah
komplikasi. CT Scan juga dapat digunakan untuk evaluasi kasus rinosinusitis akut
berulang.4
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan lainnya adalah rinoskopi anterior.
Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya inflamasi nasal, edema mukosal, dan
sekret nasal yang purulen. Menurut EPOS, rinosinusitis kronis dapat dibagi menjadi
rinosinusitis kronis dengan polip dan rinosinusitis kronis dengan polip. Oleh karena itu,
pada pemeriksaan dapat juga ditemukan polip ataupun abnormalitas anatomi lainnya.

33
Gambar 11 Polip hidung pada kavum nasi kanan menutupi meatus media pada pemeriksaan endoskopi

Pemeriksaan lainnya adalah nasoendoskopi yang disarankan untuk memeriksa


regio meatus media dan bagian sphenoethmoidal untuk mengetahui purulen yang
berkaitan dengan diagnosis rinosinusitis akut. Terdapat penelitian yang mengatakan
bahwa endoskopi hidung dapat diindikasikan untuk mengevaluasi kasus yang sulit
ditangani dengan pengobatan empiris, pasien dengan penyakit unilateral tanpa deviasi
septum, dan pasien dengan gejala yang parah.4
Pemeriksaan kultur hidung umumnya tidak direkomendasikan untuk
pemeriksaan rutin rinosinusitis akut tanpa komplikasi, tapi dapat dijadikan sebagai
pilihan jika terjadi kegagalan pengobatan atau komplikasi. Kultur endoskopi dapat
berguna untuk mengidentifikasi organisme penyebab rinosinusitis tersebut.4

Hasil pemeriksaan penunjang yang dapat ditemukan pada rinosinusitis kronik :2


- Pada pemeriksaan nasoendoskopi :
o Sekret mukopurulen dari meatus medius, dan/atau
o Edema mukosa atau obstruksi di meatus medius, dan/atau
o Adanya polip nasi dan/atau
- Pemeriksaan CT scan dapat terdapat perubahan mukosa di kompleks ostiomeatal,
atau kelainan pada sinus paranasal. (Gambar 5) CT scan yang dilakukan untuk
memeriksa rhinosinusitis adalah CT scan sinus paranasal dengan potongan axial
sagital koronal, dengan bone setting 3mm.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis rinosinusitis kronik dengan


polip adalah :2

34
- Rinoskopi anterior : dapat ditemukan polip hidung bilateral, adanya inflamasi
nasal, edema mukosal, dan sekret nasal yang purulen, serta konka edema.
- Endoskopi hidung : dapat ditemukan polip, dan dapat ditentukan derajatnya
menggunakan kriteria Lund-Kennedy, yang dibagi menjadi 3 derajat yaitu :
o Derajat 1 : polip terbatas di meatus medius
o Derajat 2 : polip sudah melewati tepi bawah konka media tetapi tidak
menutupi seluruh rongga hidung
o Derajat 3 : polip memenuhi seluruh rongga hidung
- Histopatologi : mengambil jaringan polip (polipektomi)
- Laboratorium : untuk mengevaluasi adanya penyakit yang dapat mempengaruhi
pemberian steroid oral dosis tinggi, seperti hipertensi, diabetes, tukak lambung.
- CT scan : dilakukan sesudah terapi medikamentosa maksimal (diberikan 6-12
minggu). Selain itu untuk melihat apakah adanya erosi tulang, rinosinusitis, dan
ekspansi massa jika ternyata neoplasma.

Gambar SEQ Gambar \*12


Gambar ARABIC 12 CT Scan
CT Scan rinosinusitis rinosinusitis kronik3
kronik

2.9 Diagnosis Banding


2.9.1 Rinitis alergi
Rinitis alergi adalah tipe rinitis non-infeksius yang paling umum dan
berhubungan dengan respon imun dimediasi IgE terhadap alergen. Karena mukosa
hidung berhubungan dengan mukosa sinus paranasal, maka sumbatan pada ostium
dapat menyebabkan rinosinusitis tanpa adanya rinitis. Maka dari itu, rinitis akut dapat
menjadi bagian dari rinosinusitis alergi dengan gejala yang serupa dengan rinosinusitis

35
akut dan kronik.1

Gejala rinitis alergi adalah rinorea non-purulen, obstruksi hidung, hidung gatal,
bersin – bersin. Semua gejalanya bersifat berulang dan reversibel secara spontan atau
dengan pengobatan. Gejala umumnya memburuk pada pagi hari dan saat malam hari,
dapat juga mengalami gejala gatal pada kulit, mendengkur saat tidur, dan sesak nafas
atau mengi, juga mungkin ada radang telinga berulang. Pada umumnya pasien memiliki
riwayat atopi pada keluarga, dan perlu dicari pemicu timbulnya gejala. 1

Pada pemeriksaan fisik inspeksi dapat terlihat tanda-tanda khas alergi, seperti
edema dan eritema konjungtiva, edema palpebra, allergic shiners, Dennie Morgan line
, allergic salute, dan allergic crease. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak
edema konka berwarna pucat dan sekret serous pada dasar hidung. Pada pemeriksaan
telinga mungkin didapatkan tanda efusi telinga tengah.2

Gejala okular sering terdapat pada rinitis alergi, tetapi tidak umum pada
rinosinusitis akut. Rinorea mukopurulen, nyeri, hidung tersumbat tanpa gejala lainnya,
serta anosmia jarang ditemukan pada rinitis alergi. Diagnosis pasti rinitis alergi
ditegakkan melalui pemeriksaan penunjuang menggunakan skin test atau tusuk kulit
terhadap alergen-imunoglobulin IgE spesifik.2

2.9.2 Rinitis Odontogenik

Sinusitis odontogenik adalah kondisi peradangan pada sinus paranasal yang


merupakan akibat dari patologi gigi, paling sering disebabkan oleh prosedur dentoalveolar
sebelumnya, infeksi pada gigi rahang atas, atau trauma gigi rahang atas. Infeksi seringkali
bersifat polimikroba dengan mikrobioma dominan anaerob yang memerlukan pertimbangan
khusus untuk terapi antimikroba.29

Sinusitis odontogenik paling sering terjadi akibat cedera iatrogenik pada


mukoperiosteum, atau membran Schneiderian, dari sinus maksilaris. Prosedur gigi seperti
pencabutan gigi, pemasangan implan gigi rahang atas, cangkok augmentasi sinus
("pengangkatan sinus"), benda asing yang salah tempat sebagai serta prosedur bedah
ortognatik dan sumbing semuanya telah dikaitkan dengan sinusitis odontogenik.

Gambaran klinis dari sinusitis odontogenik paling umum mencakup gejala nyeri atau
36
tekanan wajah, postnasal drip, hidung tersumbat, rinore anterior purulen yang mungkin
unilateral, bau atau rasa tidak enak, dan kelelahan. Mendapatkan riwayat menyeluruh
terutama yang berkaitan dengan operasi dentoalveolar sangat penting. Dari catatan khusus
adalah temuan bahwa sakit gigi sering tidak ada pada sinusitis odontogenik, dan bila sakit
gigi hadir tanpa gejala hidung lainnya, itu tidak spesifik untuk sinusitis. Gambaran
radiografi adalah alat diagnostik penting dalam diagnosis dan pengelolaan sinusitis
odontogenik. Radiografi gigi standar termasuk radiografi periapikal dan radiografi
panoramik.

Bakteriologi sinusitis odontogenik sangat berbeda dari kasus sinusitis non-


odontogenik. Infeksi sinus odontogenik umumnya bersifat polimikroba dengan organisme
anaerob yang didominasi dalam kultur, umumnya termasuk Peptostreptococcus, Prevotella,
dan Fusobacterium.

2.10 Tata laksana

2.10.1 Rinosinusitis Akut

Tatalaksana medikamentosa rinosinusitis akut meliputi analgesik, antipiretik,


cuci hidung, dekongestan topikal atau sistemik, kortikosteroid topikal atau
sistemik,antihistamin, mukolitik, dan antibiotik. Tabel berikut menjelaskan setiap kelas
terapi medikamentosa dengan contoh obat generiknya, keuntungan klinis, serta
rekomendasi pemakaiannya pada rinosinusitis akut viral (RAV) atau rinosinusitis akut
bakterial (RAB).10 Tabel 1 menunjukkan beberapa modalitas tatalaksana
medikamentosa untuk rinosinusitis akut.

Tabel 1. Modalitas tatalaksana medikamentosa untuk rinosinusitis akut8

Kelas Contoh Obat Keuntungan Klinis Rekomendasi


Generik Pemakaian

Analgesik atau Acetaminofen Mengurangi nyeri dan Rekomendasi untuk RAV


antipiretik demam dan RAB

Irigasi salin Menipiskan mukus, Rekomendasi untuk RAV


(cuci hidung) membantu aliran dan RAB
mukosiliar, mengurangi
inflamasi

37
Dekongestan Oxymetazoline Mengurangi edema Untuk RAV dan
topikal mukosa dan obstruksi RAB hanya selama 3
jalur nafas hidung hari

Dekongestan Pseudoefedrin Mengurangi edema Tidak seefektif


sistemik mukosa secara terbatas dekongestan topikal

Kortikosteroid Flutikason Memperbaik gejala Untuk RAB dengan


topikal propionat kontrol RAB komponen alergi

Kortikosteroid Predinisone Tidak didukung literatur Tidak ada bukti yang


sistemik mendukung untuk RAV
dan RAB

Antihistami Loratadin Mengeringkan sekresi Untuk RAV dan RAB


n non-sedasi dengan komponen alergi

Mukolitik Guaifenesin Menipiskan sekresi dan Memperbaik gejala


phlegm kontrol pada RAV,
dukungan terbatas untuk
RAB

Antibiotik – Amoksisilin Bakterisidal, Lini pertama untuk RAB


penisilin klavulanat menginhibisi cross- berat atau ringan yang

38
linking peptidoglikan tidak membaik dengan
pada sintesis dinding sel observasi

Antibiotik – Cefpodoxime Bakterisidal, Lini kedua untuk RAB


sefalosporin proxetil, menginhibisi cross-
cefuroxime linking peptidoglikan
axetil, cefdinir pada sintesis dinding sel

Antibiotik – Trimethoprim – Bakteriostatik, Lini pertama alternatif


sulfonamid dan sulfamethoxazo menginhibisi sintesis untuk RAB ringan atau
trimethoprim le folat, sehingga berat yang tidak membaik
mencegah replikasi dan dengan observasi pada
transkripsi DNA pasien alergi penisilin

Antibiotik – Doksisiklin Bakterisidal, Efektif untuk RAB


tetrasiklin menginhibisi sintesis
protein

Antibiotik – Azitromisin, Bakterisidal, Paling kurang efektif


eritromisin, klaritromisin, menginhibisi sintesis untuk RAB,
linkosamid, eritromisin protein dipertimbangkan sebagai
makrolida alternatif pada pasien
dengan alergi penisilin

RAV: rinosinusitis akut viral; RAB: rinosinusitis akut bakterial

Tatalaksana RAV bertujuan untuk kontrol gejala atau sebagai tatalaksana


suportif, karena RAV merupakan kondisi yang dapat sembuh sendiri (self-limiting) dan
tidak terdapat bukti bahwa menggunakan obat-obatan dapat mengurangi potensi
konversi menjadi RAB. Obat analgesik dan antipiretik membantu mengurangi nyeri
dan demam, yang merupakan 2 keluhan utama pada pasien. Cuci hidung dengan cairan
salin hipertonik telah dibuktikan dapat memperbaiki gejala dan mengurangi
penggunaan obat nyeri pada RAV, serta menipiskan mukus dan membantu
melancarkan aliran mukosilier. Dekongestan topikal intranasal efektif untuk meredakan
gejala, tetapi perlu diperhatikan bahwa pemakaian lebih dari 3 hari dapat menyebabkan
rinitis medikamentosa. Steroid topikal intranasal memiliki absorpsi sistemik minimal
dan efektif untuk rinosinusitis dengan adanya komponen alergi. Antihistamin diberikan
pada rinosinusitis yang melibatkan peran alergi pada proses penyakit. Mukolitik
digunakan untuk menipiskan mukus dengan tujuan untuk memfasilitasi aliran
mukosiliar.8

39
Terapi antibiotik hanya diberikan bila terdapat tanda-tanda infeksi bakteri
sebagai berikut:2

1. Sekret hidung berubah warna terutama pada satu sisi


2. Nyeri wajah unilateral
3. Demam lebih dari 38⁰C
4. Terdapat double sickening
5. Terdapat peningkatan laju endap darah (LED) dan hitung leukosit

Antibiotik pilihan untuk rinosinusitis akut bakterial adalah amoksisilin


klavulanat. Antibiotik alternatif untuk pasien dengan alergi penisilin adalah
trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX) atau makrolida.8 Antibiotik diberikan
selama 5 – 10 hari.2 Jika tidak ada perbaikan, atau gejala memburuk pada evaluasi
setelah konsumsi antibiotik amoksisilin klavulanat, organisme lainnya harus dipikirkan
seperti H. influenzae yang memproduksi beta-laktamase atau M. catarrhalis, dan S.
pneumoniae dengan efektivitas respon yang lebih rendah terhadap beta-laktam,
makrolida, tetrasiklin, dan TMP-SMX. Pada rinosinusitis akut bakterial yang gagal
terapi ini, terapi antibiotik yang direkomendasikan adalah amoksisilin- klavulanat dosis
tinggi (4 gram/hari) atau fluorokuinolon (levofloksasin, moksifloksasin).8

Apabila pasien memiliki komplikasi dari rinosinusitis akut, maka perlu dirujuk
ke dokter spesialis THT dan dirawat inap. Tanda bahaya dari komplikasi rinosinusitis
akut yang memerlukan rujukan atau rawat inap adalah edema atau eritema periorbital,
dislokasi bola mata, pandangan ganda, oftalmoplegia, penurunan visus, nyeri kepala
berat pada frontal unilateral atau bilateral, edema daerah frontal, tanda-tanda
meningitis, defisit neurologis, dan penurunan kesadaran.2

2.10.2 Rinosinusitis Kronik

Tatalaksana rinosinusitis kronik dibagi menjadi 3, yaitu anti-inflamasi,


antimikroba, dan mekanik.11

40
2.10.2.1 Cuci hidung

Terapi lini pertama pada rinosinusitis kronik adalah cuci hidung dengan larutan
salin untuk membersihkan silia dan mengurangi koloni bakteri dalam rongga hidung,
serta membuang sitokin-sitokin produk inflamasi.2

2.10.2.2 Steroid

Steroid intranasal berperan dengan menekan inflamasi dengan menginhibisi


pelepasan mediator vasoaktif, mengurangi vasodilatasi, ekstravasasi cairan, edema,
deposisi mediator lokal. Steroid topikal efektif dalam terapi polip ukuran kecil dan
medium, gejala nasal, dan dapat digunakan untuk pemakaian jangka panjang.25

Panduan tatalaksana polip hidung oleh Kelompok Studi Rinologi PP


PERHATI-KL tahun 2016 menuliskan bahwa steroid oral dosis tinggi diberikan dengan
penurunan bertahap selama 9 hari, dan steroid intranasal diberikan selama 4 – 12
minggu.

Gambar SEQ13Gambar
Gambar \* ARABIC
Posisi Mygind 13 Posisi
(kiri) dan posisi Moffitt Mygind
(kanan) (kiri)
dan posisi Moffitt (kanan)17

Steroid intranasal memiliki bioavailabilitas sistemik yang rendah, seperti


mometasone furoate, fluticasone propionate, atau furoate. Efek samping dari
pemakaian steroid intranasal adalah iritasi nasal, epistaksis, dan pengerasan kulit atau
crusting yang terjadi pada kurang dari 10% pasien. Perforasi septum nasi jarang terjadi
pada penggunaan steroid intranasal spray. Untuk mencegah perforasi septum dan
epistaksis, pasien perlu mengarahkan spray ke arah internal lateral kavum nasi,

41
bukan ke arah septum nasi.25 Pemberian steroid untuk penetrasi sampai sinus frontalis,
dapat menggunakan tetes mata. Cara pemakaian obat tetes untuk sinus frontalis berbeda
dengan obat steroid intranasal untuk sinus lainnya, dimana dilakukan pada posisi
berlutut dan meletakan dahi di atas lantai (posisi Moffitt) atau kepala bergantung pada
tepi tempat tidur (posisi Mygind).11

Steroid sistemik memiliki efektivitas yang tinggi untuk mengurangi inflamasi


mukosa dan polip nasal pada rinosinusitis kronik, akan tetapi pemberian steroid oral
harus dibatasi hanya untuk jangka pendek untuk rinosinusitis kronik dengan atau tanpa
polip nasal yang memerlukan perbaikan cepat dengan pemantauan secara ketat.11,25

2.10.2.3 Antibiotik
Antibiotik diberikan hanya jika terdapat tanda-tanda infeksi bakteri pada
episode eksaserbasi akut. Antibiotik yang direkomendasikan adalah amoksisilin
klavulanat, makrolida (seperti eritromisin, klaritromisin, roxitromisin, azitromisin),
klindamisin, TMP-SMX, dan fluorokuinolon. Durasi terapi antibiotik yang optimal
adalah 3 sampai 4 minggu. Makrolida menjadi terapi pilihan karena memiliki sifat
imunomodulator dan anti-inflamasi. Antibiotik topikal secara teori memiliki
keuntungan yang bekerja terlokalisir dan absorpsi sistemik minimal, harga lebih murah,
rendahnya angka morbiditas dibandingkan dengan antibiotik intravena. Antibiotik
topikal juga digunakan post-operasi rinosinusitis kronik. Mupirosin sering digunakan
karena efektivitasnya terhadap Staphylococcus aureus.11 Antibiotik pilihan untuk
infeksi (methicillin-resistant staphylococcus aureus) MRSA adalah klindamisin, TMP-
SMX, tetrasiklin, doksisiklin, minosiklin, rifampin, dan linezolid.25

2.10.2.3 Leukotrien Antagonis

Leukotrien reseptor antagonis (Montelukast, Zafirlukast) telah dibuktikan lebih


efektif daripada placebo, akan tetapi tidak lebih efektif daripada steroid intranasal bila
diberikan secara monoterapi. Pemberian leukotriene reseptor antagonis

42
direkomendasikan untuk rinosinusitis kronik dengan polip nasal sebagai tambahan atau
pengganti steroid intranasal.11

2.10.2.4 Tatalaksana Alergi


Pasien dengan riwayat alergi perlu menghindari alergen, menggunakan
antihistamin, steroid nasal topikal, dan imunoterapi untuk mencegah eksaserbasi rinitis
alergi.11 Berbeda dengan antihistamin sediaan oral, antihistamin intranasal tidak hanya
efektif untuk mengobati rinorea, bersin dan hidung gatal, tetapi juga efektif dalam
mengobati hidung tersumbat.

2.10.2.5 Functional Endoscopic Sinus Surgery


Terapi pembedahan pada rinosinusitis lebih dikenal dengan sebutan FESS atau
Functional Endoscopic Sinus Surgery. Pembedahan ini dilakukan dengan
menggunakan endoskopi melalui kavum nasi dengan insisi internal sehingga tidak
meninggalkan luka eksternal. Tujuan dari operasi adalah mengurangi inflamasi atau
jaringan yang rusak, membuka jalur drainase, dan menjadikan terapi topikal dan
aplikasi irigasi menjadi lebih baik, serta mencegah progresi penyakit ataupun
mengurangi resiko dari penyakit saluran nafas bawah. 26

Gagal terapi medikamentosa merupakan indikasi untuk tatalaksana


pembedahan. Terapi medikamentosa yang gagal dapat dilihat dengan menggunakan
endoskopi untuk menilai perbaikan ataupun CT-scan dengan menilai opasifikasi. Studi
Kohanski et al, menggunakan contoh skoring SNOT-22 dan Lund-Mackay sebagai
penilaian yang objektif.26

43
Gambar 14 Kuesioner SNOT-22

Gambar SEQ Gambar Gambar\* 15


ARABIC 15 Skor
Skor CT-Scan CT-Scan Lund-Mackay.
Lund-Mackay
Setiap sinus dinilai sebagai 0 = bersih, 1 = opasifikasi parsial, 2 =
Untuk opasifikasi total.
pasien dengan Nilai untuk kronik
rinosinusitis OMC adalah 0 = bersih, 2dengan
tanpa komplikasi = polip nasi,
25
tersumbat.
FESS disarankan ketika skor CT Lund-Mackay >=1 dan setidaknya telah dilakukan
terapi dengan durasi setidaknya 8 minggu dengan kortikosteroid intranasal dan

44
kortikosteroid sistemik selama 1 - 3 minggu dengan post-terapi didapatkan skor total
SNOT-22 >= 20. Untuk pasien dewasa dengan rinosinusitis kronik tanpa komplikasi
tanpa polip nasi, ESS dapat menyarankan ketika skor CT Lund-Mackay >=1 dan telah
dilakukan pengobatan selama setidaknya 8 minggu dengan kortikosteroid intranasal
dan terapi sementara antibiotik sistemik spektrum luas atau sesuai kultur atau
penggunaan dari antibiotik dosis rendah dengan durasi memanjang dan post-terapi skor
SNOT-22 >=20.1

Terapi steroid diberikan sebagai persiapan operasi bedah sinus endoskopik pada
kasus polip yang berat untuk mengurangi edema, mengecilkan ukuran polip serta
mengurangi perdarahan saat operasi untuk mengurangi kemungkinan komplikasi
tindakan bedah.2

Indikasi lainnya untuk FESS adalah polip nasi yang gagal ataupun tidak
toleransi dengan pengobatan farmakologi, tumor sinonasal, penanganan dari duktus
nasolakrimal, dekompresi orbital untuk pasien Grave’s oftalmopati, dan perbaikan
kebocoran cairan serebrospinal.26

Komplikasi yang dapat terjadi dari tindakan operasi adalah rekurensi penyakit.
Harus dimengerti bahwa tindakan operasi sendiri jarang sekali dapat menyembuhkan
rinosinusitis kronik. Pasien tetap memerlukan terapi medis jangka panjang untuk terapi
inflamasi persisten asimptomatik yang khas setelah pembedahan. Intervensi operasi
membuka mukosa yang pada anatomi normalnya terlindungi dengan baik dari aliran
udara, polutan, dan allergen. Oleh karena itu, menjadi penting bahwa kontrol
lingkungan dan desensitisasi alergi dilakukan ketika diindikasikan sebelum operasi.26

Pada seluruh pasien dengan rinosinusitis akut juga perlu diperhatikan riwayat
penyakit gigi terutama pada saat pemeriksaan CT-scan. Pasien dengan masalah dentisi
maksilar dan komunikasi apapun dengan sinus maksila atau adanya lusens periapikal
perlu diteliti. Kegagalan dalam menemukan sumber infeksi odontogenik baik sebelum
ataupun segera setelah tindakan FESS dapat menjadi infeksi berkelanjutan pada sinus
dan meningkatkan resiko kegagalan prosedur operasi. Komplikasi lainnya dari operasi

45
FESS adalah epistaksis perioperatif, perdarahan masif, kerusakan atau cedera orbit,
kebocoran cairan serebrospinal, dan cedera otak.26

2.11 Komplikasi
Komplikasi dari rinosinusitis berdasarkan klasifikasinya :
1. Komplikasi rinosinusitis bakterial akut
Komplikasi dari rinosinusitis bakterial akut dapat melibatkan bagian periorbita,
intrakranial dan tulang. Komplikasi dari periorbital dapat berupa selulitis
preseptal, selulitis orbita, abses subperiosteal dan intraorbital. Sedangkan
komplikasi dari intrakranial dapat berupa empiema epidural, empiema subdural,
abses otak, meningitis, ensefalitis, trombosis pada sagital superior dan sinus
kavernosa. Komplikasi yang dapat mengenai tulang dapat berupa osteomielitis
dan dapat terjadi fistula frontokutaneus.1

2. Komplikasi rinosinusitis kronik


Komplikasi dapat terjadi lokal pada sinus, dapat juga mempengaruhi orbita,
intrakranial atau mengenai infeksi pada saluran napas (otitis media, faringitis,
tonsilitis, laringitis, dan trakeobronkitis, bronkitis atau bronkiektasis).
Komplikasi juga dapat terjadi infeksi fokal yaitu poliartritis, tendosinovitis,
fibrositis, atau dermatitis.2

2.12 Prognosis

Kebanyakan kasus rinosinusitis akut bakterial tanpa komplikasi dapat diobati


dengan prognosis baik. Rinosinusitis frontal dan sfenoid dengan air-fluid level
cenderung memerlukan rawat inap dengan antibiotik intravena. Pasien
immunocompromised juga perlu dirawat inap. Rinosinusitis jamur berhubungan dengan
tingginya angka morbiditas dan mortalitas.18

46
BAB III

ANALISA KASUS

Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Kriteria diagnosis dari rinosinusitis akut menurut EPOS 2020 adalah
adanya inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal dengan awitan gejala kurang dari 12
minggu. Gejala disertai satu dari dua gejala yang terdiri dari hidung tersumbat, dan/atau sekret
pada bagian anterior atau posterior, disertai gejala lain kurang dari 12 minggu, yaitu nyeri
wajah, gangguan penghidu pada dewasa dan batuk pada anak-anak. Pasien memenuhi kriteria
diagnosis ini karena terdapat hidung tersumbat dan nyeri wajah. Ditambah lagi dengan faktor
resiko yang dimiliki pasien, yaitu sebagai perokok aktif.

Diagnosis rinosinusitis akut juga didukung dengan hasil pemeriksaan fisik yaitu
ditemukan nyeri tekan saat palpasi pada daerah sinus frontalis dan maksilaris dextra. Selain itu
didapatkan nyeri ketuk sinus frontalis dan maksilaris. Diagnosis juga dapat didukung dengan
pemeriksaan rinoskopi anterior dimana ditemukan kavum nasi dextra sempit dan hiperemis,
konka inferior dextra tampak hipertrofi, edema dan hiperemis, sekret mukopus.

Diagnosis banding pada pasien ini adalah rinitis alergi dikarenakan dari keluhan hidung
tersumbat namun, pasien tidak memiliki gejala rinorea non-purulen, hidung gatal, bersin-
bersin, tidak ada tanda khas alergi pada pemeriksaan fisik. Sehingga diagnosis banding rinitis
alergi dapat disingkirkan.

Tatalaksana rinosinusitis akut tanpa polip nasi berupa tatalaksana medikamentosa dan
operatif. Terapi lini pertama adalah mencuci hidung dengan larutan garam, steroid intranasal
dan antibiotik apabila didapatkan bukti infeksi bakteri, yaitu ingus berubah warna, nyeri wajah
unilateral, demam >38⁰C, terdapat double sickening, serta peningkatan leukosit dan laju
endapan darah. Selain tatalaksana medikamentosa pasien perlu dianjurkan untuk mengatasi
faktor resiko yang dimiliki, yaitu sebagai perokok aktif.

47
DAFTAR
PUSTAKA

1. Fokkens WJ, Lund VJ, Hopkins C, Hellings PW, Kern R, Reitsma S, et al. European
position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2020. Rhinology. 2020;58(29):1–
328.
2. Mangunkusumo E, Soetjipto D, Said U, Wardani R, Nizar NW. Rinosinusitis. In:
Mangunkusumo E, editor. Buku Teks Komprehensif Ilmu THT-KL. 1st ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran;2019. p. 208 – 23.
3. Paulsen F & J. Waschke. Sobotta Atlas Anatomi Manusia: Anatomi Umum dan
Muskuloskeletal. 2013. EGC. p. 61 – 7.
4. Galarza-Paez L, Marston G, Downs BW. Anatomy, Head and Neck, Nose. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island: StatPearls Publishing; 2020. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532870/
5. Tabassom A, Cho JJ. Epistaxis. [Updated 2020 Aug 8]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK435997/
6. Creighton F, Bergmark R, Emerick K. Drainage Patterns to Nontraditional Nodal
Regions and Level IIB in Cutaneous Head and Neck Malignancy. 2016. Otolaryngol
Head Neck Surg. 155:1005 – 1011.
7. Cappello ZJ, Minutello K, Dublin AB. Anatomy, Head and Neck, Nose Paranasal
Sinuses. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island: StatPearls Publishing; 2020.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499826/
8. Hoddeson EK, Wise SK. Acute rhinosinusitis. In: Johnson JT, Rosen CA, editor.
Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology. 5th ed. Philadelphia: Wolters
Kluwer; 2014. p. 510 – 22.
9. Min JY, Tan BK. Risk factors for chronic rhinosinusitis. Curr Opin Allergy Clin
Immunol. 2015;15(1):1 – 13.
10. Grewal DS, Chaturvedi A. A study on the incidence of anatomical abnormalities in
the osteomeatal complex among chronic rhinosinusitis patient. Journal of Medical
Science and Clinical Research. 2019;7(8): p. 397 – 402.
11. Carlton DA, Beahm DD, Suh JD, Chiu AG. Acute and chronic sinusitis. In: Lalwani
AK, editor. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and Neck
Surgery. 4th ed. New York: McGraw-Hill; 2019. p. 339 – 49.

48
12. Mustafa M, Patawari P, Iftikhar HM, Shimmi SC, Hussain SS, Sien MM. Acute

49
and chronic rhinosinusitis, pathophysiology and treatment. Int J Pharm Sci.
2015;4(2):30 – 6.
13. Rusmono N, Poerbonegoro NL, Irawati N, Mangunkusumo E. Rinitis alergi. In:
Mangunkusumo E, editor. Buku Teks Komprehensif Ilmu THT-KL. 1st ed.
Jakarta;2019. p. 195 – 7.
14. Acharya D. Allergic rhinitis: pearls of wisdom. Scholarly Journal of
Otolaryngology. 2019;3(2).
15. Bakshi SS, Bhattacharjee S. Geographic tongue. J Allergy Clin Immunol.
2017;5(1):176.
16. Green MW, Pace A. Headache and facial pain. In: Brust JCM, editor. Current
Diagnosis & Treatment Neurology. 3rd ed. New York: McGraw-Hill; 2019. p. 66 –
80.
17. Dafna Milk, Grace Khong, Osman CAM, et al. A Comparison between mygind and
kaiteki positions in administration of drops to the olfactory cleft. Authorea. 2020.
18. Battisti AS, Modi P, Pangia J. Sinusitis. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island:
StatPearls Publishing; 2020. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470383/
19. Yeolekar AM, Dasgupta KS, Khode S, Joshi D, Gosrani N. A study of SNOT 22
scores in adults with no sinonasal disease. Journal of Rhinolaryngo-Otologies.
2013;1: p. 6 – 10.

20. Gao WX, Ou CQ, Fang SB, et al. Occupational and environmental risk factors for
chronic rhinosinusitis in China: a multicentre cross-sectional study. Respir Res.
2016;17(1):54.
21. Frinadya N, Munir D, Rambe AYM, Sofyan F, Aboet A, Ashar T. Sinonasal
anatomical variation in chronic rhinosinusitis based on ct scan finding. International
Journal of Recent Innovations on Academic Research. 2019;3(4): p. 196 – 202.
22. Landen AW, Blomgren K, Valimaa H. Acute rhinosinusitis - are we forgetting the
possibility of a dental origin? a retrospective study of 385 patients. Acta Oto-
Laryngologica. 2019;139(9): p. 783 – 7.
23. Ryan MW. Chronic rhinosinusitis with nasal polyposis. In: Johnson JT, Rosen CA,
editor. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology. 5th ed. Philadelphia:

50
Wolters Kluwer; 2014. p. 525 – 33.
24. Paramyta WW, Widiarni D, Wardani RS, Bacthiar A. Validitas dan realibitas
kuesioner Nasal Obstruction Symptom Evaluation (NOSE) dalam Bahasa Indonesia.
ORLI. 2017; 47:11–5
25. Suh JD, Chiu AG. Medical management of chronic sinusitis. In: Johnson JT, Rosen
CA, editor. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology. 5th ed. Philadelphia:
Wolters Kluwer; 2014. p. 586 – 92.
26. Kohanski MA, Toskala E, Kennedy DW. Evolution in the surgical management of
chronic rhinosinusitis: Current indications and pitfalls. J Allergy Clin Immunol.
2018;141(5):1561 – 1569.

27. Kim SM, Eo MY, Cho YJ, Kim YS, Lee SK. Differential protein expression in the
secretory fluids of maxillary sinusitis and maxillary retention cyst. Eur Arch
Otorhinolaryngol. 2017;274:215 – 22.

28. Hopkins, C. Chronic rhinosinusitis with nasal polyps. New England Journal of
Medicine. 2019; 381(1);:55–63

29. Little RE, Long CM, Loehrl TA, Poetker DM. Odontogenic sinusitis: A review of
the current literature. Laryngoscope Investig Otolaryngol. 2018;3(2):110-114.

51

Anda mungkin juga menyukai