Disusun oleh:
Astrid Ainun
2110017105
Pembimbing:
dr. Selvianti, Sp.THT-KL
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat tentang
“Rinosinusitis Bakterial Akut”. Referat ini disusun dalam rangka tugas
kepaniteraan klinik di Laboratorium THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Selvianti,
Sp.THT-KL, selaku dosen pembimbing klinik yang telah memberikan saran
kepada penulis sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis
menyadari masih terdapat banyak ketidaksempurnaan dalam laporan kasus ini,
sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan laporan
kasus ini. Akhir kata penulis berharap semoga referat ini menjadi ilmu bermanfaat
bagi para pembaca.
Astrid Ainun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Penulisan 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1. Anatomi dan Fisiologi Rongga Hidung dan Sinus Paranasalis 6
2.1.1 Kompleks Osteomeatal (KOM) 6
2.1.2 Sistem Mukosiliar 7
2.2 Rinosinusitis Akut 8
2.2.1 Definisi 8
2.2.2 Epidemiologi 9
2.2.3 Etiologi 10
2.2.4 Patofisiologi 11
2.2.5 Penegakan Diagnosis 14
2.2.7 Diagnosis Banding 19
2.2.8 Penatalaksanaan 19
2.2.9 Komplikasi 22
2.2.10 Prognosis 23
BAB III 24
3.1 Kesimpulan 24
3.2 Saran 24
DAFTAR PUSTAKA 26
BAB 1
PENDAHULUAN
4
secara dini tampaknya sedikit atau tidak berhubungan dengan berkembangnya
komplikasi RSA. Antibiotik hanya diindikasikan pada sebagian kecil pasien
RSBA.7 Penulisan referat ini diharapkan dapat menambah wawasan pembaca
mengenai rinosinusitis akut, penatalaksanaan yang tepat menggunakan
pendekatan Evidence-based Medicine, serta mencegah peningkatan kejadian
resistansi antibiotik.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
6
lapisan membran mukosa terdapat di dinding lateral. Sesuai posisinya,
konka dapat dibagi menjadi empat bagian, yakni konka inferior, konka media,
konka superior, dan konka suprema. Bagian bawah konka membentuk celah yang
disebut meatus. Meatus terdiri atas meatus inferior, meatus media, dan meatus
superior.5
Berdasarkan fungsinya, terdapat dua regio yang dimiliki kavum nasi, yakni
regio olfaktori dan regio respiratori. Pada regio olfaktori, membran mukosa
tampak lebih pucat. Regio ini melingkupi bagian sepertiga atas dinding lateral
(hingga konka superior), septum, dan dinding bagian atap. Sementara regio
respiratori memiliki membran mukosa yang dilapisi epithelium pseuostratified
columnar bersilia, dan memiliki vaskularisasi yang tinggi. Ketebalan mukosa
pada regio ini lebih beragam. Membran mukosa di konka sangat tebal, sedangkan
membran mukosa di meatus lebih tipis.5
Selain kavum nasi, bagian penting lainnya adalah sinus paranasalis. Sinus
paranasalis merupakan rongga berisi udara yang dilapisi membran mukosa. Akan
tetapi, lain halnya dengan rongga hidung, membran mukosanya tipis dan
vaskularisasinya lebih sedikit. Sinus paranasalis berfungsi untuk melembapkan
udara, resonansi suara, meringankan kranium, dan memperluas area olfaktori.
Sinus paranasalis dapat dibagi menjadi dua grup secara klinis, antara lain:5
a. Grup anterior: sinus maksilaris, frontalis, dan etmoidalis anterior. Drainase
yang menuju rongga hidung dari ketiga sinus ini melalui ostium di
kompleks osteomeatal (KOM) yang terletak di meatus media.
b. Grup posterior: sinus etmoidalis posterior dan sinus sphenoid. Sinus
etmoidalis posterior bermuara di meatus superior, sedangkan sinus
sphenoid bermuara di resesus sphenoetmoidalis pada bagian medial dan
posterior konka superior.
8
Gambar 2. 4 Anatomi Kompleks Osteomeatal (KOM) 1
10
Gambar 2.7. Definisi Rinosinusitis Akut (Fokkens et al., 2020)
2.2.3 Etiologi
Rhinosinusitis akut dibagi menjadi rhinosinusitis akut viral
disebabkan oleh infeksi virus, paling sering akibat infeksi Rhinovirus
(RV), Coronavirus (CorV), Influenza virus (IFV), Respiratory syncytial
virus (RSV), Parainfluenza virus (PIV), Adenovirus (AdeV) dan
Enterovirus (EV). RV dan CorV sering ditemukan pada pasien dewasa.
RSV, PIV, AdeV merupakan virus lain yang sering ditemukan pada pasien
anak. Penularan terjadi secara droplet aerosol melalui batuk dan bersin,
dengan masa inkubasi selama 1 – 4 hari. Rhinosinusitis bakterial sering
dianggap sebagai komplikasi rhinosinusitis akut viral yang terjadi akibat
beberapa faktor predisposisi, yakni : infeksi bakteri Streptococcus
pneumoniae, Haemophilus influenza, Moraxella catarrhalis, dan
Staphylococcus aureus.6
2.2.4 Patofisiologi
Pasien dengan rinosinusitis virus akut biasanya mengalami gejala 1–4 hari
setelah infeksi (Durand & Deschler, 2018). Virus menempel pada epitel hidung
dan dapat menyebar dari rongga hidung ke sinus paranasalis. Ketika berada di
dalam sinus paranasalis, virus dapat memberikan efek toksik langsung terhadap
mucociliary clearance, dan dapat mencetuskan permeabilitas epitel dan
hipersekresi dari sitokin inflamasi. Perubahan ini menyebabkan edema mukosa,
penebalan sekret, dan karakteristik obstruksi ostium pada RSA.6 Patofisiologi
rhinosinusitis virus akut dapat dilihat pada Gambar 2.10.
ARS post-viral dan RSBA sering didahului oleh rinosinusitis virus akut
atau common cold. Patofisiologi dan mekanisme patogenik rinosinusitis post-viral
masih belum jelas. Infeksi virus pada hidung dan sinus menginduksi banyak
perubahan, yang meliputi infiltrasi dan aktivasi berbagai sel inflamasi pada
mukosa sinonasal dan defek pada host dan fungsi pertahanan imun adaptif, serta
meningkatkan risiko superinfeksi bakteri. Oleh karena itu, pada kebanyakan
pasien, ini adalah periode waktu untuk pemulihan dari satu episode RSA hingga
resolusi lengkap. Rinosinusitis post-viral bukan merupakan indikator
perkembangan infeksi bakteri, karena hanya sebagian kecil pasien dengan RSA
yang akan mengalami RSBA.7
RSBA dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Namun, paling sering
dihasilkan dari etiologi virus yang berkaitan dengan infeksi saluran pernapasan
atas. Edema mukosa sinus, obstruksi ostium sinus, dan penurunan aktivitas
mukosiliar merupakan tiga faktor kunci dalam patofisiologi rinosinusitis.
Akibatnya, sekresi menjadi stagnan sehingga menjadi lingkungan yang
menguntungkan untuk pertumbuhan bakteri. Pada pasien dewasa dengan
kecurigaan sinusitis maksilaris akut setelah infeksi saluran pernapasan atas akibat
virus, sekitar setengahnya ditemukan secret purulent dan mukopurulen pada
aspirasi sinus, dan sepertiganya ditemukan bakteri patogen yang tumbuh dalam
kultur. Organisme bakteri yang paling umum pada rinosinusitis bakteri yang
didapat dari komunitas (community-acquired bacterial rhinosinusitis) antara lain
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Moraxella
(Branhamella) catarrhalis.2
a) Anamnesis
Anamnesis perlu dilakukan untuk menggali gejala-gejala yang saat ini
dialami serta kemungkinan faktor predisposisi yang dimiliki oleh pasien. Hal ini
akan membantu dalam menegakkan diagnosis dan menentukan pemeriksaan
lanjutan serta tatalaksana yang akan diberikan kepada pasien. Beberapa
pertanyaan yang perlu ditanyakan untuk membantu dalam mengetahui faktor
predisposisi yang dimiliki pasien, yakni kondisi komorbid (diabetes mellitus,
status immunocompromised, penyakit paru, kelainan kongenital), riwayat
atopi/rhinitis alergi, riwayat trauma pada wajah (tindakan pembedahan pada
wajah, tindakan pembedahan pada sinus paranasal), riwayat pengobatan & alergi
obat, riwayat merokok dan psikosisial.
b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan yaitu pengukuran suhu tubuh,
rinoskopi anterior dan inspeksi serta palpasi sinus paranasalis.
1) Suhu Tubuh
Demam >38°C mengindikasikan adanya penyakit yang lebih parah dan
kemungkinan diperlukannya pengobatan yang lebih aktif. Demam >38°C secara
signifikan berhubungan dengan adanya kultur bakteriologis positif, terutama S.
pneumoniae dan H. influenzae, yang diperoleh melalui aspirasi sinus atau bilas
(lavage).7
2) Rinoskopi anterior
Meskipun rinoskopi anterior saja merupakan pemeriksaan yang sangat
terbatas, pemeriksaan ini harus dilakukan pada pelayanan kesehatan
primer sebagai bagian dari asesmen klinis suspek RSA karena dapat
memperlihatkan temuan yang mendukung seperti inflamasi pada hidung,
edema mukosa dan sekret hidung purulen, dan kadang-kadang dapat
mengungkapkan temuan yang tidak terduga sebelumnya seperti polip atau
kelainan anatomis.7
3) Inspeksi dan Palpasi sinus
c) Pemeriksaan Penunjang
4) Endoskopi hidung
Endoskopi hidung umumnya tidak tersedia dalam layanan kesehatan
primer dan tidak diperlukan dalam diagnosis klinis ARS.7
6) Prokalsitonin
Prokalsitonin juga telah dianjurkan sebagai biomarker hematologis
potensial yang menunjukkan infeksi bakteri yang lebih parah dan diteliti sebagai
alat untuk memandu peresepan antibiotik pada infeksi saluran pernapasan di
masyarakat. Sebuah tinjauan baru-baru ini mengungkapkan dua studi Randomised
Controlled Trials (RCT) yang bertujuan untuk mengurangi peresepan antibiotik
dengan prokalsitonin sebagai pedoman marker. Studi-studi ini memang
menunjukkan pengurangan resep antibiotik tanpa efek yang merugikan.7
8) Radiologi
Temuan pencitraan rinosinusitis akut tidak spesifik dan dapat dilihat pada
sejumlah besar pasien tanpa gejala (hingga 40%). Air-fluid level adalah temuan
pencitraan yang paling umum. Namun, hanya ada pada 25-50% pasien dengan
sinusitis akut. Pada foto polos, tampak opasifikasi sinus dan air-fluid level paling
baik terlihat pada sinus maksilaris. Namun, tidak memungkinkan untuk menilai
sejauh mana peradangan dan komplikasinya. Sinus ethmoidal dan sphenoidal sulit
dinilai pada radiografi polos.8
Gambar 2.14 Opasifikasi sinus maksilaris sinistra8
a. Analgesik
1) Parasetamol
Parasetamol dapat membantu meringankan sumbatan hidung dan rinorea,
namun kurang dapat efektif mengurangi gejala sakit tenggorokan, malaise,
bersin-bersin dan batuk.
Dosis per oral dewasa: 500mg/dosis (3-4x/hari), dosis maksimal 4
gram/hari.
Dosis per oral anak: 10-15 mg/kgBB/dosis, maksimal (3-4x/hari),
maksimal 4 kali pemberian.
2) NSAID
Non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) dapat meredakan rasa
nyeri dan tidak nyaman yang disebabkan oleh common cold.
b. Irigasi saline
Irigasi saline membantu menipiskan mukus, membersihkan bakteri dan
memberikan efek penurunan gejala.
c. Dekongestan
Dekongestan dapat mengurangi obstruksi hidung. Penggunaan topikal
harus dibatasi selama beberapa hari, dikarenakan penggunaan jangka panjang
dapat menyebabkan rinitis medikamentosa. Penggunaan oral dapat digunakan
apabila tidak ada kontraindikasi seperti hipertensi atau ulkus peptikum.
Sediaan obat yang dapat digunakan antara lain:
1) 1% efedrin tetes hidung (1-2 tetes setiap lubang hidung 4x1 selama
diperlukan) maksimal 5 hari.
2) 0,1% xylometazoline tetes hidung (2-3 tetes pada setiap lubang hidung, 2-
3x1), semprot hidung (1 semprot tiap lubang hidung 1-3x1) dalam waktu
terapi maksimal 5 hari.
3) 0,05% oxymetazoline tetes hidung (1-2 tetes pada setiap lubang hidung,
2-3x1), sempot hidung (1-2 semprot pada setiap lubang hidung, 2-3x1
maksimal terapi 5-7 hari, atau 2-3 semprot pada setiap lubang hidung 2x1,
maksimal terapi selama 3 hari.
d. Kortikosteroid intranasal merupakan obat anti inflamasi yang dapat
digunakan untuk mengurangi edema, namun tidak ada bukti yang mendukung
mengenai manfaat pemberian nasal-kortikosteroid untuk common cold,
seperti: Fluticasone Propionate 100mcg Dosis dewasa dan anak >12 tahun, 2
semprot ke dalam tiap lubang hidung 1 kali sehari di pagi hari, dosis maksimal
terapi 200mcg/hari. Dosis anak 4-11 tahun, 1 semprotan ke dalam tiap lubang
hidung.
e. Zinc
Zinc diberikan sebagai zinc asetat atau glukonat lozanges (tablet hisap)
dengan dosis ≥75mg/hari dan diminum dalam 24 jam setelah onset gejala
dapat mengurangi durasi common cold.7
f. Antibiotik Golongan Beta-laktam untuk RSBA
Antibiotik beta-laktam seperti Amoksisilin dan Amoksisilin-asam klavulanat
(co-amoxiclav diketahui efektif dalam menangani RSBA. Sementara itu,
ditemukan bahwa antibiotik fluoroquinolone (moxifloxacin) tidak efektif
dalam pengobatan RSBA.7
g. Vitamin C
Vitamin C memiliki efek yang konsisten pada durasi dan keparahan common
cold dalam studi suplementasi reguler, dengan biayanya yang rendah dan
relatif aman untuk dikonsumsi,7
2.2.9 Komplikasi
23
orbita (selulitis dan abses), meningitis, abses ekstradural, abses subdural,
abses serebral (lobus frontal), osteomielitis tulang frontal, trombosis sinus
kavernosus, dan mukokel.4
2.2.10 Prognosis
Secara garis besar, prognosis ad vitam, ad functionam dan ad sanationam
rinosinusitis akut adalah Bonam (baik).9 Rinosinusitis akut tidak menyebabkan
kematian yang signifikan dengan sendirinya. Namun, sinusitis dengan komplikasi
dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas (meskipun kasusnya jarang). Pasien
dengan sinusitis akut, bila diobati dengan antibiotik yang tepat, biasanya
menunjukkan perbaikan yang cepat. Tingkat kekambuhan setelah pengobatan
yang berhasil kurang dari 5%.3
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Rinosinusitis akut merupakan kondisi peradangan yang melibatkan hidung
dan sinus paranasalis, dialami selama <12 minggu, dengan onset mendadak dari
≥2 gejala yang salah satunya harus berupa hidung tersumbat/sumbatan/kongesti
atau sekret hidung (anterior/posterior nasal drip); dengan atau tanpa nyeri atau
rasa tertekan pada wajah, dengan atau tanpa penurunan/hilangnya kemampuan
penghidu; dan salah satu temuan endoskopi dan gambaran CT.7 Rinosinusitis akut
menyebabkan kerusakan epitel dan silia, edema mukosa dan obstruksi ostium
sinus. Diagnosis rinosinusitis akut pada umumnya dapat ditegakkan secara klinis,
dan pemeriksaan penunjang seperti radiologis maupun nasal endoskopi hanya
dilakukan untuk mengonfirmasi atau mengevaluasi pengobatan terutama pada
rinosinusitis kronis. Penatalaksanaan rinosinusitis bergantung pada etiologinya,
dan tatalaksana medikamentosa merupakan terapi yang penting dan lebih
sederhana, dapat mengurangi ketidaknyamanan pasien, serta dapat mencegah
terjadinya komplikasi. Secara umum, prognosis rinosinusitis akut baik. Meskipun
demikian, komplikasi orbita dan intrakranial dapat terjadi apabila infeksi
menyebar ke luar dinding sinus.
3.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian epidemiologi mengenai prevalensi rinosinusitis
secara nasional di Indonesia. Selain itu, perlu dibuat pedoman rinosinusitis versi
bahasa Indonesia yang mencantumkan modalitas terapi yang tersedia dan lebih
feasible untuk dilakukan.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Ah-See, K. W., & Evans, A. S. (2007). Sinusitis and Its Management. BMJ,
334. https://doi.org/10.1136/bmj.39092.679722.B
2. Aring, A. M., & Chan, M. M. (2016). Current Concepts in Adult Acute
Rhinosinusitis. American Academy of Family Physicians, 94(2).
http://www.aafp.org/afp/2016/0715/p97-s1.html
3. Brook, I. (2021). Acute Sinusitis.
https://emedicine.medscape.com/article/232670-overview#a4
4. Clarke, R. (2014). Diseases of Ear, Nose and Throat (11th ed.). Wiley-
Blackwell.
5. Dhingra, P., & Dhingra, S. (2018). Diseases of Ear, Nose and Throat &
Head and Neck Surgery (7th ed.). Elsevier.
6. Durand, M. L., & Deschler, D. G. (2018). Infections of the Ears, Nose,
Throat, and Sinuses. Springer International Publishing.
https://doi.org/https://doi.org/10.1007/978-3-319-7
7. Fokkens, W., Lund, V., Hopkins, C., Hellings, P., Kern, R., & Reltsma, S.
(2020). European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2020
(EPOS 2020). Rhinology, 58(29), 1–464.
8. Gaillard, F., Bell, D. Acute sinusitis. Reference article, Radiopaedia.org.
(accessed on 14 Aug 2022)
9. IDI. (2017). Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer (F. Ekayanti, I. Hariyani, J. Hendarto, M. Paranadipa, A.
A. Zainuddin, D. M. Faqih, D. V. Trisna, D. A. Waluyo, & Herqutanto
(eds.); 1st ed.). Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia.
10. Jaume, F., Valls-Mateus, M., & Mullol, J. (2020). Common Cold and Acute
Rhinosinusitis: Up-to-Date Management in 2020. Current Allergy and
Asthma Reports, 20(7).
11. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). Laporan Nasional
Riskesdas 2018. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan (LPB).
https://www.kemkes.go.id/article/print/18110200003/potret-sehat-indonesia-
dari-riskesdas-2018.html
12. Nurmalasari, Y., & Nuryanti, D. (2017). Faktor-Faktor Prognostik
Kesembuhan Pengobatan Medikamentosa Rinosinusitis Kronis di Poli THT
RSUD A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung Tahun 2017. Jurnal Ilmu
Kedokteran Dan Kesehatan, 3(4).
13. Rosen, C. A., & Johnson, J. T. (2014). Bailey’s Head and Neck Surgery
Otolaryngology. Wolters Kluwer.
14. Saharia, P., & Sinha, D. (2013). Clinical Atlas of ENT and Head & Neck
Diseases. Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd.
15. Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., & Restuti, R. D. (2014). Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher
(7th ed.). Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
16. Widya, R. L., & Plas, A. van der. (2014). Startradiology - CT Sinus.
https://www.startradiology.com/internships/otolaryngology/paranasal-
sinuses/ct-sinus/index.html