Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

Isolated Sphenoid Sinusitis

Pembimbing :

--- Sp.THT-KL

Penyusun :

-, S.Ked

030.--.---

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ---

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ----

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ------------

PERIODE -----

KATA PENGANTAR

1
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Isolated Sphenoid Sinusitis” tepat
pada waktunya. Penyusunan referat ini ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu
persyaratan dalam menempuh kepaniteraan klinik di bagian Ilmu -----. Penulis mengucapkan
terima kasih sebesar besarnya kepada:

1. Dr.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, hal tersebut tidak lepas dari
segala keterbatasan kemampuan yang peneliti miliki. Oleh karena itu bimbingan dan kritik yang
membangun dari semua pihak sangatlah diharapkan

Jakarta, November 2018

Penulis

2
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT DENGAN JUDUL

“Isolated Sphenoid Sinusitis”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ---

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ----

Jakarta, November 2018

Koorpanit

DAFTAR ISI

3
BAB I 5
PENDAHULUAN 5
1.1 Latar belakang 5
BAB II 6
TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Anatomi6
2.2 Definisi 7
2.3 Etiologi 7
2.4 Faktor Predisposisi 7
2.5 Gejala Klinis 8
2.6 Diagnosis 10
2.6.1 Anamnesis.....................................................................................................................10
2.6.2 Pemeriksaan fisik..........................................................................................................10
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang................................................................................................11
2.7 Diagnosis Banding 15
2.8 Penatalaksanaan 18
2.8.1 Medikamentosa.............................................................................................................18
2.8.2 Manajemen Pembedahan..............................................................................................18
BAB III 20
KESIMPULAN 20
3.1 Kesimpulan 20
DAFTAR PUSTAKA 21

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latarbelakang

Infeksi Isolated sphenoid sinusitis atau sinusitis sfenoid terisolasi jarang terjadi. Biasanya terjadi
bersamaan dengan infeksi sinus paranasal lainnya. Sinus sfenoid terisolasi akut terlihat pada
kurang dari 3% dari semua kasus sinusitis. Hal ini sering salah didiagnosis karena gejala yang
tidak jelas dan kurangnya temuan klinis. Diagnosis sering tertunda sampai pasien menderita
komplikasi neurologis.1

Oleh karena tanda dan gejala klinis yang non spesifik, penyakit ini sulit didiagnosis pada
tahap awal. Sinus sfenoid terletak di dasar tengkorak di persimpangan fosa serebri anterior dan
tengah. Sinus ini mulai tumbuh antara bulan ketiga dan keempat dari perkembangan janin.
Pneumatisasi tulang sfenoid dimulai pada usia tiga tahun dan mencapai bentuk akhir pada
pertengahan usia remaja. Hubungan antara sinus sfenoid dan bagian superior sela tursika yang
berada di sisi lateral dari sinus sfenoid memiliki peran utama, termasuk kanal karotis dan kanal
optik. Arteri karotid internal adalah struktur paling medial di sinus kavernosa.2

Penyakit sinus sfenoid yang terisolasi adalah penyakit langka yang dapat mengakibatkan
gejala serius jika penegakkan diagnosis dan pengobatan tertunda. Jika penegakkan diagnosis
terlambat maka akan memberikan konsekuensi buruk karena adanya faktor struktur anatomi
dimana sinus sfenoid berdekatan dengan otak dan meningen, saraf optik, arteri karotid internal,
sinus kavernosa dan saraf kranial terkait (n.III, n.IV, V1, V2, dan n.VI). Karena hubungan sinus
sfenoid dengan struktur vital penting dari dasar tengkorak, diagnosis dan pengobatan dini harus
dilakukan segera untuk menghindari komplikasi intrakranial dan orbital yang serius.
Histopatologi dan mikrobiologi penting untuk diagnosis pasti. Sfenoidotomi lebar dengan nasal
endoskopi merupakan tatalaksana pilihan untuk penyakit inflamasi sfenoid yang terisolasi.2,3

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Sinus sfenoid berkembang setelah lahir. Pneumatisasi berlangsung pada usia 6 tahun dan selesai
pada usia 9 tahun hingga usia 12 tahun. Pasien termuda yang didiagnosis dan dilaporkan
mengalami sfenoiditis adalah usia 10 tahun. Sinus sfenoid terletak posterior di apeks rongga
hidung. Dinding sinus ini melekat pada kanal optik, dura mater, kelenjar pituitari dan sinus
kavernosa yang terdiri dari arteri karotid internal dan saraf kranial ketiga, keempat dan keenam.
Infeksi rongga dapat langsung menyebar ke struktur ini karena dekat dengan rongga sinus itu
sendiri, sering mengakibatkan komplikasi serius.4,5

Gambar 2.1 Tampilan aksial (horizontal) dari sinus sphenoid (SS) menunjukkan midline septum
dan hubungan sinus ke hypophysis, orbital apices, dan ethmoid sinuses (ES). CS, sinus
kavernosus; MT, konka tengah; NLD, duktus nasolakrimal; ON, saraf optik.5

2.2 Definisi
6
Sinus sfenoid dianggap sebagai sinus yang sering diabaikan. Sinus ini terdiri dari epitel bersilia
semu dengan sel yang mensekresi mukus lebih sedikit dibandingkan dengan sinus paranasal
lainnya. Hal ini menyebabkan drainase yang lebih sedikit dan mengakibatkan sfenoiditis
terisolasi. 1

Setiap struktur anatomi yang berdekatan dengan sinus sfenoid akan dipengaruhi oleh
proses patologis yang melibatkan sinus itu sendiri. Menurut Proetz terdapat 13 struktur yang
berdekatan dengan sinus sfenoid; nervus kranialis II, III, IV, V1, V2, VI, dura mater, kelenjar
pituitari, sinus kavernosus, arteri karotid internal, ganglion sfenopalatina, arteri sfenopalatina,
saluran pterygoid dan saraf. Sinus sfenoid dapat menyebabkan selulitis dan abses orbital,
sindrom apeks orbital, kebutaan, sepsis, meningitis, abses epidural dan subdural, infark serebral,
abses pituitari, trombosis sinus kavernosus, sepsis, dan trombosis arteri karotis interna.1

2.3 Etiologi

Sfenoiditis akut paling sering disebabkan oleh Stafilokokus aureus dan Streptokokus. Bakteri
gram-negatif dan organisme anaerobik kadang ditemukan pada kultur. Jamur, terutama
Aspergillus, harus dipikirkan pada semua pasien terutama jika pasien imunokompromais. (1)

2.4 Faktor Predisposisi

Terdapat berbagai faktor predisposisi untuk terjadinya sfenoiditis akut yaitu obstruksi pada
ostium sinus sfenoid yang kecil dan letak anatominya yang salah, deviasi septum dan meatus
superior atau media yang berukuran besar. Faktor trauma telah terbukti menyebabkan infeksi
karena pola drainase yang berubah dan inokulasi langsung organisme patogen. Berenang atau
menyelam dengan tekanan kuat air yang masuk ke dalam hidung juga telah dikaitkan dengan
sfenoiditis akut. Faktor predisposisi lainnya yaitu radioterapi, supresi imun, polip sinonasal, dan
tumor primer atau metastatik. (1)

2.5 Gejala Klinis

Pasien dengan rinosinusitis sfenoid kronis yang terisolasi dapat disertai gejala klinis non spesifik.
Sakit kepala merupakan manifestasi klinis yang paling umum. sekitar 80% kasus mengalami

7
gejala sakit kepala. Masalah penglihatan dan keterlibatan saraf kranial lainnya mewakili 12%
dari gejala yang muncul. Sakit kepala lebih sering terasa di retroorbital, frontal, di atas verteks,
temporal, oksipital atau post-aurikuler. Lokasi sakit kepala lebih sering tidak spesifik dan dapat
timbul di mana saja daerah kraniofasial. Rasa sakit kepala biasanya progresif, bisa kambuh
setelah diberi tatalaksana dan mengganggu tidur. Sakit kepala berada di sisi kontralateral dari
infeksi sfenoid. Penjelasan untuk ini didasarkan pada fakta anatomi bahwa rongga sfenoid yang
dominan berhubungan dengan struktur pada sisi kontralateral. Rasa sakit digambarkan sebagai
nyeri tumpul atau tajam. Sakit kepala berasal dari iritasi cabang pertama dan kedua dari saraf
trigeminal, melalui saraf nasociliary dan sfenopalatina, yang menginervasi sinus sfenoid.1,2,4

Perubahan pada fungsi penglihatan seperti penglihatan kabur atau hilangnya penglihatan
merupakan gejala kedua yang paling umum. Saraf optik paling sering terlibat diikuti oleh saraf
kranialis keenam. Kebutaan jarang terjadi kecuali abses orbita atau trombosis sinus kavernosus
berkembang. 1Meskipun keterlibatan saraf kranial lebih sering terjadi pada neoplasma sfenoid,
gejala klinis ini tidak jarang terjadi pada sfenoiditis. Penurunan fungsi penglihatan dan
keterlibatan saraf kranial lainnya dilaporkan sebesar 12% pada rinosinusitis sfenoid. Penurunan
penglihatan dapat disebabkan oleh inflamasi saraf optik dalam kasus rinosinusitis bakteri atau
efek massa. Gejala klinis demam biasanya juga dapat muncul pada sfenoiditis.1,4

Diplopia akibat lesi pada nervus kranialis ketiga, keempat atau keenam karena lokasi
terdekat dari sinus sfenoid dan sinus kavernosa. Saraf abducens adalah saraf kranial yang paling
sering terkena pada sinusitis sfenoid yang terisolasi dan efek ini dapat terjadi dalam isolasi atau
dalam kombinasi dengan lainnya.4

Tidak adanya gejala klinis pada hidung tidak menutup kemungkinan terjadi sfenoiditis.
Temuan fisik yang signifikan biasanya tidak ada, meskipun temuan neurologis menunjukkan
komplikasi intrakranial.1

Tabel 2.1 Gejala sfenoid terisolasi dalam berbagai studi.6

Asymptomatic Headache Nasal symptom Eye Neurologic General


symptom symptoms symptom

8
Friedman, 72% Rhinorrhea 46% 14%
et al Nasal congestion
26%

Marcolini, 71.70% Nasal Epiphora Fever (10.9%),


et al obstruction 4.3%, 5.2% patient’s level
32.6%, with of
cerebrospinal diplopia, consciousness
fluid rhinorrhea another 2.1% was altered and
15.2%, be required
mucopurulent hospitalization
rhinorrhea in 6 (2.1%)
patients 13%,
epistaxis 4.3%

Kim, et 5,3% 65.80% Nasal Decreased Facial 15.8%


al. obstruction visual acuity numbness
22.4% 11.8 % 3.9%
Postnasal drip visual field
21% defect 3.9 %
Rhinorrhea 9,2%

Martin, et 69% Unilateral nasal Decreased Facial pain Patients


al. obstruction 24% visual acuity 17% presented with
or diplopia symptoms
(21%) consistent with
meningitis, 3
presented with
cerebrospinal
fluid (CSF),
rhinorrhea and
2 presented
with endocrine
abnormalities

Ruoppi, et 82% Rhinitis 38% 28% Cranial Dizziness 26%


al. nerve Fever 18%
palsy 21%

Meskipun kasus sinusitis sfenoidalis terisolasi tidak sebanyak kasus pansinusitis, sinusitis
ini telah banyak dibahas pada beberapa laporan kasus dan tinjauan retrospektif. Beragam proses
9
patologi, termasuk alergi, infeksi, dan penyakit neoplastik menyebabkan opasitas sfenoid tanpa
disertai penyakit sinus lainnya. Gejala klinis seringkali berupa sakit kepala atau gejala sinonasal
lainnya. Penyakit sfenoid yang tidak diobati dapat menyebabkan komplikasi yang serius, seperti
kebutaan dan infeksi yang mengancam jiwa.7

2.6 Diagnosis

2.6.1 Anamnesis

Pasien dapat datang dengan gejala non-spesifik seperti sakit kepala, nyeri wajah dan rasa penuh
pada wajah. Gejala hidung sering tidak ada. Sinusitis sfenoid terisolasi sekarang lebih sering
didiagnosis berdasarkan anamnesis oleh dokter serta ketersediaan alat diagnostik yang lebih baik
seperti endoskopi dan modalitas radiologi CT-scan dan magnetic resonance imaging (MRI). 4

2.6.2 Pemeriksaan fisik

Nasal endoskopi harus dilakukan pada setiap pasien yang diduga menderita sfenoiditis kronis
(Gambar 2.2). Meskipun beberapa pasien mungkin tidak mengeluhkan gejala pada hidung,
pemeriksaan endoskopi dapat menunjukkan tanda inflamasi sfenoid seperti mukopurulen, edema
atau polip di reses sfenoetmoidal. Namun, pemeriksaan radiologi tetap butuh untuk dilakukan.
Diketahui bahwa reses sfenoetmoidal yang tampak normal pada nasal endoskopi tidak menutup
kemungkinan proses patologi di sinus sfenoid. Di sisi lain, sekret mukopurulen yang mengalir
dari reses sfenoethmoidal tidak dianggap hanya sebagai infeksi bakteri. Pemeriksaan radiologi
lanjutan masih diperlukan untuk mengidentifikasi kemungkinan kasus bedah.4,8

10
Gambar 2.2 Pembuangan postnasal drip dari reses sphenoethmoidal kiri. NS, septum hidung;
MT, konka tengah; SeR, reses sphenoethmoidal; MM, meatus media.4

Diagnosis sfenoiditis akut ditegakkan dengan alat diagnostik. Seperti disebutkan


sebelumnya, penegakkan diagnosis sinus sfenoid menjadi sulit jika hanya berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik saja. Nasendoskopi yang fleksibel dapat mengevaluasi drainase purulen
dari ostium sfenoid atau nasofaring. Setelah lesi sfenoid dapat ditemukan, pemeriksaan lebih
lanjut diperlukan.1

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang

2.6.3.1 Radiologi

Saat ini, CT scan dan magnetic resonance imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi pasien
dengan masalah neurologis. Kelainan dari sinus sfenoid dicatat untuk tatalaksana lebih lanjut.8

Pemeriksaan radiologi penting dalam diagnosis lesi sfenoid yang terisolasi. CT scan
merupakan gold standard dalam penegakkan diagnosis. CT scan dapat menunjukkan kelainan
patologi yang berbeda dan membantu dalam menyingkirkan penyakit inflamasi, neoplasma,
infeksi bakteri dan jamur. MRI digunakan jika ada kecurigaan komplikasi ke sistem saraf pusat
atau mata. 2
11
CT scan yang digunakkan adalah CT scan dengan resolusi tinggi (pandangan aksial dan
koronal) untuk mengevaluasi adanya cairan dan menggambarkan dinding sinus sfenoid. Pada
sinusitis sfenoid biasanya tidak ada erosi tulang dibandingkan dengan penyakit keganasan.
Pencitraan MRI dengan kontras harus dilakukan jika ada kelainan saraf kranial karena lebih
unggul dibandingkan CT scan dalam menunjukkan kelainan patologi di sinus kavernosa dan
struktur neurovaskular yang berdekatan.1

Gambar 2.3 CT scan aksial sinus menunjukkan kekeruhan sfenoid kanan konsisten dengan
sfenoiditis. 1

12
Gambar 2.4 CT scan koronal pada sinus menunjukkan sphenoiditis dan sinus kavernosa kiri
sebagian dan thrombosis vena orbital superior (panah). 1

Gambar 2.5 CT scan menunjukkan sinusitis sphenoid dengan sinusitis ethmoid posterior ringan.
Ada udara bebas di fossa kranial kiri (panah). 1

13
Gambar 2.6 Sinus koronal CT menunjukkan sinusitis sphenoid dengan tingkat cairan udara kiri
sphenoid dan udara di fossa cranial bagian tengah (panah). 1

CT scan sinus paranasal merupakan pemeriksaan radiologi yang wajib dilakukan untuk
menegakkan diagnosis dan memberi arahan untuk operasi sinus. CT scan dapat membedakan
penyakit inflamasi, neoplasma, infeksi oleh bakteri dan jamur dengan karakteristik mukosa dan
tulang yang berbeda dari setiap penyakit. MRI hanya diperlukan ketika terdapat komplikasi ke
intrakranial atau orbital. MRI diperlukan untuk mendapatkan pencitraan struktur anatomi
terdekat dan mengesampingkan kelainan intrakranial terkait. MRI juga mungkin berguna dalam
membedakan mukokel, tumor jinak, ensefalokel dan aneurisma arteri karotis interna.5

2.6.3.2 Biakan Kultur

Sfenoiditis akut paling sering disebabkan oleh Stafilokokus aureus dan Streptokokus. Bakteri
gram-negatif dan organisme anaerobik kadang juga ditemukan pada kultur. Jamur, terutama
Aspergillus, harus dipikirkan pada semua pasien terutama jika pasien imunokompromais.1

2.7 Diagnosis Banding

Mukokel sfenoid

14
Mukokel adalah lesi kistik yang luas karena akumulasi sekresi mukus di sinus ketika ostium
tertutup, bisa primer atau sekunder oleh karena trauma atau pembedahan, jarang terjadi pada
sinus sfenoid dan dapat menekan struktur yang berdekatan seperti orbita, tempurung kepala dan
hidung.6

Gejala klinis mukokel sfenoid bervariasi. Sakit kepala adalah gejala yang paling umum,
penglihatan kabur, oftalmoplegia, ansonia dan sumbatan pada hidung dapat terjadi. Komplikasi
berat seperti meningitis, abses serebelar dan bilateral amaurosis dapat terjadi pada penyakit
lanjut. Penegakkan diagnosis dengan CT scan menunjukkan lesi kista dengan destruksi tulang
yang luas disertai penebalan tepi. Pengobatan dengan pembedahan untuk drainase dan eksisi atau
marsupialisasi dinding kista. 6

Fungal sinusitis

Sakit kepala merupakan gejala yang paling umum dan dapat disertai dengan postnasal drip dan
nyeri wajah. Komplikasi pada mata seperti diplopia dan kehilangan penglihatan. Pada CT scan
tampak air-fluid level yang tidak signifikan dan adanya kalsifikasi menyebabkan keraguan
diagnosis sinusitis jamur. Pembedahan untuk mengangkat debris jamur merupakan tatalaksana
yang optimal.6

Polip sfenokoanal

Polip sfenokoanal merupakan massa soliter yang langka, berasal dari sinus sfenoid dan menyebar
ke koana melalui ostium sfenoid dan menyebabkan sumbatan pada hidung. Polip harus
dibedakan dengan meningoensefalokel, nasofaringeal, papilloma inverted dan tumor hidung.
Pembedahan merupakan tatalaksana yang optimal. 6

Kebocoran LCS

Riwayat meningitis berulang dengan riwayat operasi hidung atau trauma kepala meningkatkan
kecurigaan untuk kebocoran cairan serebrospinal. Pada pemeriksaan CT Scan tampak desakan
tulang dengan air-fluid level sedangkan pada pemeriksaan MRI tampak massa seperti cairan
serebrospinal di sinus sfenoid, adanya postnasal drip dan perpindahan postnasal drip
mengkonfirmasi diagnosis kebocoran cairan serebrospinal. Pembedahan merupakan tatalaksana
yang optimal.6

15
Inverted Papilloma

Inverted Papilloma terisolasi sinus sfenoid jarang terjadi dan merupakan tumor jinak yang
langka dengan tingkat rekuren yang tinggi. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan CT scan.
Sebagian besar pasien dengan papiloma terbalik datang dengan keluhan hidung seperti obstruksi
nasal unilateral, rhinorrhea dan epistaksis. Namun, manifestasi klinis papiloma terbalik terbatas
pada sinus sfenoid sering non spesifik dan berbahaya, dengan sakit kepala merupakan gejala
klinis yang paling umum.6

Tumor

Tumor sinus sfenoid jarang terjadi. Karsinoma sel skuamosa merupakan kanker sfenoid yang
paling sering terjadi. Pada CT scan tampak massa yang mendesak tulang. Tatalaksana bedah
dengan reseksi total sulit untuk dilakukan dan radioterapi pasca operasi diperlukan.6

Displasia fibrosa

Displasia fibrosa merupakan penyakit tulang yang langka yang mengenai tulang wajah, jarang
terjadi pada sinus sfenoid dan prevalensi tersering ialah anak perempuan. Diagnosis dikonfirmasi
oleh CT scan yang menunjukkan adanya gambaran ground glass.6

Tabel 2.2 Menampilkan diagnosis banding dari sinusitis sfenoid yang terisolasi dalam beberapa
penelitian. 6

Inflammatory Tumor Other

Acute Chronic Fungal Mucocele Sphenocho Malignant Benign CSF Fibrous Other
anal polyp leak Dysplasi

16
a

Friedm 4% 34% 22% 12% 4% 10% 8% 4%


an et al

Marcol 26.1% 6.1% 47.8% 6.1% 2.1% 2.1% 2.1% 2.1%


ini et al

Kim et 47.4% 26.1% 17.5% 11% 8% 13.1%


al

Martin 38% 3% 17%


et al

Ruoppi 67% 33%


et al

Cakma 53/182 15/182 44/182


k et al

Lawso 39/123 28/132 6/132 7/123 15/132 10/132 2/13 4/132 Foreign
n et al 2 body
10/132
5/132
Adjucent
Aneurism
3/132 2/132
Metastasis Clivial
cyst
1/132

2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Medikamentosa

Kasus-kasus sfenoiditis akut yang tidak disertai komplikasi dapat mendapat terapi antibiotik
yang optimal jika penegakkan diagnosis dan tatalaksana dengan cepat. Perawatan yang tepat
diperlukan karena keterlambatan dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang serius.
Pilihan terapi antibiotik spektrum luas berupa kombinasi terapi klindamisin dosis tinggi (target S.
aureus, spesies Streptococcus dan anaerob) dengan sefalosporin generasi ketiga (target
organisme gram negatif) yang diberikan secara parenteral. Pasien yang alergi terhadap
sefalosporin dapat diberikan aminoglikosida sebagai gantinya. Terapi antimikroba spesifik dapat
disesuaikan setelah hasil kultur dari cairan serebrospinal, darah dan aspirasi sinus diketahui.

17
Durasi pengobatan antibiotik adalah sekitar 3 hingga 4 minggu. Dekongestan topikal dan irigasi
saline membantu untuk melancarkan drainase sinus.1

Jika gejala berlanjut lebih dari 24 jam atau jika timbul komplikasi, drainase dengan bedah
sinus sfenoid dapat dilakukan. Pemeriksaan menggunakan endoskopi, baik langsung ke
permukaan anterior atau melalui etmoid merupakan metode pilihan saat ini.1

2.8.2 Manajemen pembedahan

Hanya beberapa kasus rinosinusitis kronis sfenoid yang dilaporkan dalam literatur yang responsif
terhadap terapi medikamentosa dan sisanya harus dilakukan intervensi bedah. Pembedahan sinus
sfenoid diindikasikan ketika sinusitis bakteri tidak respon terhadap terapi medikamentosa yang
tepat selama 6-8 minggu dan ketika diagnosis rinosinusitis atau mukokel jamur telah ditegakkan.
Kasus-kasus dengan keterlibatan saraf kranial mungkin memerlukan perawatan bedah yang lebih
cepat untuk mengembalikan atau mengoptimalkan semua fungsi saraf secara tepat waktu.4

Sfenoidotomi dengan nasal endoskopi diakui sebagai tatalaksana bedah gold standard
untuk rinosinusitis sfenoid kronik. Dibandingkan dengan pendekatan eksternal, operasi
endoskopi memberikan visualisasi yang lebih baik dan dengan demikian memungkinkan
penyembuhan yang lebih cepat, hasil estetika yang lebih baik, morbiditas yang lebih rendah dan
tingkat keberhasilan yang lebih tinggi. Sinus sfenoid dapat dibuka dengan beberapa teknik.
Ostium dapat didekati secara langsung. Tidak seperti operasi tumor, reseksi bagian inferior dari
meatus media biasanya tidak diperlukan. Ostium sfenoid kemudian secara luas dibuka dan
diperbesar sehingga reaksi infeksi atau inflamasi di dalam rongga sinus sfenoid dapat
dihilangkan seluruhnya.4

Beberapa ahli bedah mungkin lebih suka mencapai sinus sfenoid dari sinus etmoid
posterior. Pendekatan transetmoidal harus dilakukan ketika pasien memiliki kelainan dalam sinus
etmoid atau tumor yang luas. Dinding orbital adalah penanda anatomi tetap yang digunakan
ketika ostium sinus sfenoid tidak terlihat dengan jelas. Dasar orbita selalu di bawah atap sfenoid
dan ini menunjukkan tingkat ostium sfenoid. Dinding orbita media menunjukkan dinding lateral
sinus sfenoid dan termasuk lokasi saraf optik dan arteri karotid internal berada. Sinus sfenoid
yang diperlebar disarankan karena lebih aman ketika sfenoid direseksi dan jauh dari struktur

18
vital. Reseksi sfenoid tidak dilakukan jika saraf optik dan arteri karotid internal jelas terlihat dari
dinding orbita inferior dan media. Pembukaan maksimal dari sinus sfenoid dapat dicapai ketika
melebar ke arah superior dan lateral.4

BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Sfenoiditis terisolasi akut jarang terjadi. Biasanya muncul dengan gejala non­spesifik dan temuan

fisik yang tidak signifikan. Oleh karena itu diperlukan kecurigaan yang tinggi untuk menegakkan

diagnosis sfenoiditis. Nasal endoskopi dengan bantuan sinus CT / MRI, memungkinkan untuk

diagnosis dini. Komplikasi mungkin timbul karena kedekatan struktur penting dengan sfenoid.

19
Kasus   yang   tidak   disertai   komplikasi   dapat   diberikan   terapi   antibiotik   yang   optimal   jika

didiagnosis dan diobati secara dini. Perkembangan penyakit yang disertai komplikasi intrakranial

merupakan indikasi untuk pembedahan segera.

Lesi sfenoid yang terisolasi adalah kondisi yang tidak umum dengan peningkatan
insidensi. Pasien dapat mengalami gejala non-spesifik seperti sakit kepala, nyeri wajah dan rasa
penuh di wajah. Gejala hidung sering tidak ada. Penegakkan diagnosis dilakukan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dengan menggunakan endoskopi, CT
scan dan magnetic resonance imaging (MRI). Diagnosis dini dengan evaluasi radiologis yang
tepat dan penatalaksanaan yang tepat waktu merupakan faktor penting untuk mengurangi
kemungkinan gejala sisa saraf pada mata yang permanen.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tan H, Ong Y. Acute Isolated Sphenoid Sinusitis. Ann Acad Med Singapore.
2004;33:656-9
2. Alali M, Khatib AA, Azzeh GA. Isolated sphenoid inflammatory diseases. J Otolaryngol
ENT Res. 2018;10(4):248‒51.
3. Friedman A, Batra P, Fakhri S, Citardi M, Lanza D. Isolated Sphenoid Sinus Disease:

20
Etiology and Management. Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2005;133(4):544
4. Charakorn N, Snidvongs K. Chronic Sphenoid Rhinosinusitis: management challenge.
Journal of Asthma and Allergy. 2016;9:199-201
5. Baskin J, Kuriakose A, Lebowitz R. The anatomy and physiology of the sphenoid sinus.
Operative techniques in otolaryngology – head and neck surgery. 2003;14(3):168-172
6. Ramadan O. Isolated Sphenoid Sinus Disease: Review of Some Cases. Journal of
Otolariyngology-ENT Research. 2016;4(4):1-3
7. Moss W, Finegersh A, Jafari A, Panuganti B, Coffey C, Deconde A, et al. Isolated
sphenoid sinus opacifications: a systematic review and meta-analysis. Int Forum Allergy
Rhinol. 2017;7(12):1201-6
8. Fooanant S, Angkurawaranon S, Angkuarawaranon C, Roongrotwattanasiri K, Chaiyasate
S. Sphenoid sinus diseases: a review of 1,442 patients. Int Journal of otolaryngology.
2017;1(1):1-8

21

Anda mungkin juga menyukai