Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

TUMOR HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

Pembimbing:

dr. M. Bima Mandraguna, Sp. THT-KL

dr. Aditya Arifianto, Sp. THT-KL

Disusun oleh:

Tiara Larasati Widyaswara

030.13.190

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT-KL

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG

PERIODE NOVEMBER – DESEMBER 2017

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA
Penulis panjatkan rasa syukur atas kehadirat Allah SWT atas kesehatan dan
kemudahan yang dilimpahkan karena berkah-Nya penulis dapat menyelesaikan
tugas referat dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL di RSUD
Karawang yang berjudul “Tumor hidung dan sinus paranasal “.

Tidak sedikit hambatan yang dihadapi penulis dalam penyusunan referat ini,
namun berkat bantuan berbagai pihak karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan. Pada
kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih sebesar-besarnya kepada
dr. M. Bima Mandraguna, Sp. THT-KL dan dr. Aditya Arifianto, Sp. THT-KL
selaku pembimbing atas masukan dan pengarahannya selama penulis belajar dalam
kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit THT.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dan para
pembaca,. Penulis menyadari karya tulis ini masih perlu banyak perbaikan oleh
karena itu kritik dan saran diharapkan dari para pembaca.

Karawang, Desember 2017

` Tiara Larasati Widyaswara

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Referat

“Tumor hidung dan sinus paranasal”


Disusun oleh :

Tiara Larasati Widyaswara

(030.13.190)

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kelulusan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT di RSUD Karawang

Karawang, Desember 2017.

Telah diterima dan disetujui oleh Pembimbing,

Karawang, Desember 2017

Pembimbing Pembimbing

dr. M. Bima Mandraguna, Sp. THT-KL dr.Aditya Arifianto, Sp. THT-KL

iii
DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR ............................................................................ v

DAFTAR TABEL ................................................................................ vi

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 2


2.1. Anatomi hidung dan sinus paranasal .......................................... 2
2.2 Fisiologi hidung ........................................................................... 5
2.3 Definisi tumor hidung dan sinus paranasal .................................. 6
2.4 Epidemiologi................................................................................ 6
2.5 Jenis histopatologi tumor hidung dan sinus paranasal ................. 6
2.6 Etiopatogenesis .......................................................................... 11
2.7 Gejala Klinis .............................................................................. 12
2.8 Diagnosis ................................................................................... 12
2.9 Staging ....................................................................................... 16
2.10 Tatalaksana .............................................................................. 18
2.11 Prognosis.................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 21

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Hubungan sinus paranasal dengan organ sekitar ..............................4


Gambar 2.2. Anatomi sinus paranasal ...................................................................5
Gambar 2.3. Jenis histopatologi tumor sinonasal ..................................................8
Gambar 2.4. Morfologi karsinoma NUT ...............................................................9
Gambar 2.5. Erosi tumor ke palatum durum........................................................14
Gambar 2.6. Karsinoma sel skuamosa pada pencitraan CT scan ........................15

v
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Klasifikasi T sinus maksilaris .............................................................16


Tabel 2.2. Klasifikasi T kavum nasi dan etmoid .................................................17
Tabel 2.3. Nodus regional, metastase kelenjar limfe regional. ............................17
Tabel 2.4. Metastase jauh ....................................................................................17
Tabel 2.5. Stadium tumor ganas dan sinus paranasal. ....................................... 18

vi
BAB I
PENDAHULUAN
Tumor hidung dan sinus paranasal (sinonasal) merupakan tumor yang jarang
ditemukan yang mempengaruhi kurang dari 1 dalam 100.000 orang per tahun.
Tumor ini secara histologis merupakan kelompok tumor yang beragam dan
berpotensi menimbulkan masalah manajemen tatalaksana yang signifikan karena
kedekatannya dengan orbit dan rongga intrakranial. Sampai saat ini diagnosis secara
dini dan pengobatan masih merupakan tantangan. Gejala dan tandanya hampir sama
dengan proses inflamasi daerah hidung dan sinus, sehingga pasien biasanya datang
sudah dalam stadium lanjut. Keganasan ini juga merupakan tumor yang sulit untuk
diobati sehingga prognosisnya sering buruk. Keadaan ini disebabkan lokasi anatomi
hidung dan sinus paranasal yang berdekatan dengan struktur- struktur vital seperti
dasar tengkorak, otak, mata dan arteri karotis.1,2
Keganasan hidung dan sinus paranasal hanya merupakan 1% dari seluruh
tumor ganas di tubuh, dan 3 % dari keganasan di kepala dan leher, sinus maksila
merukan tempat tersering (60-80%) diikuti kavum nasi 20-30% dan sinus etmoid
±15%, sedangkan sinus frontal dan sfenoid sangat jarang dijumpai (kurang dari 1%)
dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 2:1.2
Data di bagian THT FKUI/RSCM selama 10 tahun, keganasan ini
menduduki urutan ke tiga terbanyak setelah karsinoma nasofaring dan limfoma
malignum non Hodgkins di kepala leher,2 sedangkan di RS.Dr.M. Djamil belum ada
penelitian, namun dari penelusuran rekam medis pasien, selama 6 bulan sejak 1
Januari 2006 bagian THT-KL RS.Dr. M. Djamil telah merawat 10 kasus baru
keganasan hidung dan sinus paranasal, selama tahun 2004 dan 2005 merawat 37
kasus baru keganasan hidung dan sinus paranasal. Beberapa penelitian
epidemiologi menunjukkan adanya hubungan antara tingginya insiden keganasan
ini dengan terpapar bahan-bahan kimia karsinogen dan serbuk kayu.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi hidung dan sinus paranasal

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah


yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (tip),
ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh
kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, dan
beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan lubang
hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os
maksila, dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri
dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu:
sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis
inferior yang disebut kartilago alar mayor, dan kartilago septum.3
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan
lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi
dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi
dan tepat di belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh
kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut
vibrise. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding lateral,
medial, inferior, dan superior.3
Dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka inferior adalah yang terbesar
dan letaknya paling bawah, konka media yang lebih kecil, konka superior yang
lebih kecil lagi, dan konka suprema adalah yang terkecil. Di antara konka dan
dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Berdasarkan
letaknya, terdapat tiga meatus yaitu meatus superior, meatus medius, dan meatus
inferior. Meatus superior terletak di antara konka superior dan konka media. Di
daerah ini terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Meatus medius
terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus

2
medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior.
Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada daerah ini terdapat muara duktus nasolakrimalis.3
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian atas dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid dan
bagian posterior dibentuk oleh os vomer. Bagian tulang rawan yaitu kartilago
septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Pada bagian tulang rawan septum
dilapisi perikondrium, bagian tulang dilapisi periosteum, sedangkan bagian luar
dilapisi mukosa hidung. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung yang
dibentuk oleh os maksila dan os palatum (permukaan atas palatum durum).
Dinding superior atau atap hidung yang sempit dibentuk oleh lamina kribosa, yang
memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribosa merupakan
lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang tempat
masuknya serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung
dibentuk os sfenoid.3
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid anterior
dan posterior. Bagian bawah hidung diperdarahi oleh cabang arteri maksilaris
interna, yaitu ujung arteri palatina mayor, dan arteri sfenopalatina. Bagian depan
hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Bagian depan
septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid
anterior, arteri labialis anterior, dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus
Kiesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah
cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena hidung
mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya.3
Vena-vena ini membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di bawah
membrana mukosa. Drainase vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis
anterior, dan sfenopalatina. Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius.
Nervus maksilaris dari nervus trigeminus berfungsi untuk impuls aferen sensorik,
nervus fasialis untuk gerakan otot pernapasan pada hidung luar. Ganglion
sfenopalatina berguna mengontrol diameter vena dan arteri hidung, dan juga
produksi mukus, sehingga dapat mengubah pengaturan hantaran, suhu, dan
kelembaban aliran udara.3

3
Sinus paranasal dan rongga hidung berbatasan dengan struktur-struktur vital
yang akan terlibat apabila tumor telah meluas. Kavum nasi merupakan saluran nafas
yang terletak paling atas dan mukosanya terdiri dari kombinasi epitel kubik dan
epitel bertingkat toraks bersilia. Mukosa hidung terdiri dari kelenjar mukus, kelenjar
ludah minor, melanosit dan epitel penghidu di bagian superior. Rongga hidung di
garis tengah dibagi oleh septum. Batas superior dari kavum nasi adalah sinus etmoid
dan bagian inferior berbatasan dengan palatum durum. Dinding lateral rongga
hidung juga merupakan dinding medial sinus maksila. Sinus sfenoid berada di
superior dan posterior dari rongga hidung (Gambar 2.2). 2
Kompleks etmoid terdiri dari 3-18 sel yang berada diantara orbita. Sisi
kanan dan sisi kiri dihubungkan oleh fossa kribriformis. Fossa kribriformis
merupakan salah satu landmark pada penentuan stadium tumor. Kerusakan fossa ini
akan menyebabkan perluasan langsung tumor ke fossa kranial anterior. Lamina
papirasea merupakan dinding lateral etmoid, yang membatasinya dengan orbita.
Kerusakan dinding ini akan menyebabkan perluasan tumor ke orbita, dan harus
menjadi pertimbangan pada saat dilakukan tindakan operasi. Atap etmoid dibentuk
oleh fovea etmoidalis, yang merupakan bagian dasar terkorak yang tipis. 2

Gambar 2.1. Hubungan sinus paranasal dengan organ sekitar.4

4
Gambar 2.2. Anatomi sinus paranasal.2
2.2 Fisiologi hidung

Fungsi fisiologis hidung terdiri dari respirasi dimana udara yang diinspirasi
melalui rongga hidung akan menjalani tiga proses yaitu penyaringan (filtrasi),
penghangatan, dan pelembaban. Penyaringan dilakukan oleh membran mukosa
pada rongga hidung dan terdapat glandula serosa yang mensekresikan mukus cair
untuk membersihkan udara sebelum masuk ke orofaring. Penghangatan dilakukan
oleh jaringan pembuluh darah dan pelembaban dilakukan oleh konka. Selain itu
hidung juga berfungsi sebagai penyeimbang tekanan. Fungsi kedua yaitu penghidu.
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Fungsi lainnya yaitu fonetik untuk resonansi suara, membantu proses

5
pembentukan kata-kata yang dibentuk lidah, bibir dan palatum molle, dan fungsi
refleks nasal dimana iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin.3
2.3 Definisi tumor hidung dan sinus paranasal
Tumor hidung dan paranasal adalah pertumbuhan abnormal yang dimulai di
dalam dan di sekitar dalam hidung (rongga hidung). Tumor hidung dimulai di
rongga hidung. Tumor paranasal dimulai di ruang berisi udara di sekitar hidung
yang disebut sinus paranasal.5
Karsinoma sinonasal adalah tumor ganas yang tidak biasa dan merupakan
penyebab 3% dari semua tumor ganas kepala dan leher. Sinus paranasal merupakan
rongga yang tersembunyi di bawah tengkorak yang tidak dapat dideteksi dengan
pemeriksaan fisik. Kelainan pada sinus paranasal biasanya asimptomatik pada awal
perjalanan penyakit.6,7

2.4 Epidemiologi

Keganasan sinonasal merupakan keganasan yang jarang terjadi, hanya 1%


(0,2 - 1%) dari seluruh keganasan di tubuh, dan 3% dari keganasan di kepala dan
leher. Keganasan sinonasal lebih sering pada laki-laki dengan perbandingan laki-
laki dengan perempuan 2:1. Keganasan ini sering terdiagnosis pada usia 50 sampai
70 tahun. Lebih kurang 60% keganasan ini berasal dari sinus maksila, dikuti kavum
nasi 20-30%, sinus etmoid 10-15% dan sinus sfenoid dan sinus frontal 1%. Bila
tumor kavum nasi tidak dimasukkan maka, 77% berasal dari sinus maksila, 22%
dari sinus etmoid dan 1% dari sfenoid dan frontal.2
Insiden tertinggi tumor ganas hidung dan sinus ditemukan di Jepang yaitu
2- 3,6 per 100.000 penduduk pertahun. Di bagian THT FKUI-RSCM, keganasan ini
ditemukan pada 10,1% dari seluruh tumor ganas THT dan berada di peringkat kedua
sesudah tumor ganas nasofaring. Keganasan jenis ini tertinggi ditemukan di Jepang,
China dan India. Kebanyakan penderita berasal dari golongan sosioekonomi
rendah.8
2.5 Jenis histopatologi tumor hidung dan sinus paranasal

Sistem klasifikasi WHO membagi tumor sinonasal ke dalam kategori


berdasarkan histologi yaitu tumor jinak dan ganas. Tumor jinak tersering adalah
papiloma skuamosa. Secara makroskopis mirip dengan polip, tetapi lebih vaskuler,

6
padat dan tidak mengkilap. Ada 2 jenis papiloma, pertama eksofitik atau fungiform
dan yang kedua endofitik disebut papiloma inverted. Tumor ini bersifat sangat
invasif, dapat merusak jaringan sekitarnya. Tumor ini sangat cenderung untuk
residif dan dapat berubah menjadi ganas (pada 10% kasus).9
Tumor jinak termasuk papilloma terbalik (inverted papiloma), osteoma,
juvenile angiofibroma (JA), hemangioperiositoma, hemangioma, schwannoma,
adenoma pleomorfik, dan meningioma. Semua area rongga hidung dan sinus
paranasal dapat dipengaruhi, tetapi dinding lateral, etmoid, dan sinus maksilaris
adalah situs primer yang paling umum. Sinus frontal dan sphenoid adalah situs
primer langka karena alasan yang tidak diketahui.1
Squamous cell carcinoma (SCC) adalah tumor ganas yang paling umum,
tetapi tumor dari setiap jenis histologi dapat terjadi. Tumor epitel yang lebih umum
termasuk adenokarsinoma, neuroblastoma, melanoma maligna, dan karsinoma
kistik adenoid. Sarkoma, mis. tumor chondrosarcoma dan rhabdomyosarcoma dan
haemoproliferative, mis. limfoma juga dapat terjadi.1
Klasifikasi World Health Organization edisi ke-4 tahun 2017 mengenai
tumor kepala dan leher, khususnya yang berkaitan dengan rongga hidung, sinus
paranasal, dan dasar tengkorak (saluran sinonasal) mengalami perubahan total.
Saluran sinonasal mencakup keragaman entitas yang luas, tetapi secara signifikan,
jumlah entitas telah berkurang dengan menghilangkan tumor atau lesi mirip tumor
ketika mereka tidak terjadi secara eksklusif atau dominan di situs tersebut.
Klasifikasi tumor dibagi mulai dari tumor epitel ganas yang paling umum yaitu
karsinoma sel skuamosa diikuti oleh karsinoma NUT yang baru dimasukkan
kemudian karsinoma neuroendokrin, adenokarsinoma, dan teratocarcinosarcoma,
sebelum proliferasi epitel jinak (papilloma, lesi epitel reaktifatorik dan tumor
kelenjar ludah) dibahas. saluran sinonasal. Berikut dijelaskan tumor yang baru
ditambahkan pada klasifikasi WHO terbaru.10

7
Gambar 2.3. Jenis histopatologi tumor sinonasal.11

Karsinoma sel skuamosa


Karsinoma sel skuamosa terbagi menjadi terkeratinisasi dan non-
keratinisasi. Karsinoma sel skuamosa sejauh ini merupakan keganasan tersering
pada saluran sinonasal. Karsinoma sel skuamosa sinonasal terutama ditemukan di
dalam sinus maksilaris (sekitar 60-70%), diikuti oleh kavum nasi (sekitar 10-15%)
dan sinus sfenoid dan frontal (sekitar 1%). 8,10
Keratinizing (KSCC), non-keratinizing (NKSCC), sel spindle
(sarcomatoid), dan varian limfoepitel dikenali. Variasi lain, termasuk veruka,
papiler, basaloid, adenosquamous, dan acantholytic, jarang ditemukan di situs
anatomi ini. KSCC secara histologis identik dengan tumor-tumor yang timbul di
tempat lain di saluran aerodigestif atas. NKSCC menyumbang 15 hingga 25% dari

8
sinonasal SCC. Mereka memiliki pola pertumbuhan yang berbeda. HPV risiko
tinggi yang aktif secara transkripsi lebih sering terdeteksi di NKSCC daripada di
KSCC (35-50 dan 0-15%, masing-masing), meskipun signifikansi klinis HPV
positif pada SCC sinonasal belum secara konklusif dinilai untuk orofaring.10

Karsinoma NUT (nuclear protein in testis)

Karsinoma NUT, sebelumnya dikenal sebagai karsinoma garis tengah NUT


merupakan subtipe karsinoma skuamosa langka yang dibedakan oleh perilaku
klinisnya yang agresif. Karsinoma NUT merupakan wujud karsinoma yang baru-
baru ini ditandai yang terdaftar dalam klasifikasi WHO untuk tumor sinonasal untuk
pertama kalinya. Karsinoma NUT didefinisikan sebagai karsinoma yang
berdiferensiasi buruk, sering dengan bukti diferensiasi skuamosa, yang menyajikan
penataan ulang protein nuklir pada gen testis (NUTM1) pada kromosom 15q14.
Karsinoma ini mempengaruhi pasien dari segala usia dengan kecenderungan untuk
orang dewasa muda. Secara histologis, karsinoma ini merupakan karsinoma
bermutu tinggi dengan diferensiasi buruk dengan morfologi sel biru bulat. 10,12

Gambar 2.4. Morfologi karsinoma NUT (nuclear protein in testis).10

Karsinoma neuroendokrin
Edisi sebelumnya menyebut ini sebagai tumor neuroendokrin dan
menggunakan istilah karsinoid khas, karsinoid atipikal, dan karsinoma sel kecil, tipe

9
neuroendokrin. Carcinoid yang khas sangat langka di situs ini; itu tidak ditangani
secara khusus. Tetapi, sesuai dengan situs anatomi lainnya, karsinoma
neuroendokrin adalah nomenklatur yang lebih disukai, dipisahkan menjadi sel kecil
dan tipe sel besar. Sinonasal neuroen-docrine carcinoma (SNEC) adalah neoplasma
epitel ganas tingkat tinggi yang menunjukkan morfologi dan fitur imunohistokimia
dari diferensiasi neuroendokrin.10

Adenokarsinoma

Adenokarsinoma sinonasal dibedakan sebagai tipe intestinal dan tipe non-


intestinal. Adenokarsinoma tipe intestinal secara morfologis dan imunofenotip
mirip dengan adenokarsinoma primer pada usus. Adenokarsinoma tipe non-
intestina secara histologis memiliki arsitektur tubulo-glandular atau papiler dan
terdiri dari sel kuboid hingga kolumnar dengan hanya atypia ringan fokal. Dalam
edisi baru ini, diakui bahwa kasus yang jarang secara histologis menyerupai
karsinoma ginjal metastatik dan contoh-contoh tersebut ditetapkan sebagai
adenokarsinom ‘ren cell like’ sinonasal. 10

Melanoma mukosa maligna

Melanoma mukosa (MM) maligna merupakan keganasan yang jarang.


Melanoma ini terjadi sekitar 1% dari semua melanoma. Sinonasal dari kepala dan
leher adalah situs yang paling umum untuk tumor langka ini. MM dikelola dengan
pendekatan bedah agresif dengan maksud eksisi lengkap dari tumor diikuti oleh
radioterapi ajuvan. Prognosis, bagaimanapun, umumnya buruk bahkan dengan
strategi perawatan agresif ini. Literatur telah melaporkan tingkat kelangsungan
hidup di bawah 5 tahun setelah pendekatan modalitas gabungan.13

Papiloma (inverted, onkositik dan eksofitik)

Papilloma terbalik (inverted) adalah tumor sinonasal jinak yang paling


umum, dengan insidensi 0,6-1,5 kasus per 100 000 penduduk per tahun. Inverted
papilloma (IP) pertama kali dideskripsikan pada tahun 1854. Papiloma ini adalah
tumor rongga hidung dan sinus paranasal, dengan 3 karakteristik utama yang
membedakannya dari tumor sinonasal lainnya; agresi lokal relatif, tingkat
kekambuhan tinggi, baik awal atau lambat , dan kemungkinan berhubungan dengan

10
karsinoma, didiagnosis pada awal atau saat rekuren. Pada klasifikasi WHO 2017,
papiloma Schneiderian (dinamai Konrad Viktor Schneider) direklasifikasi sebagai
papilloma sinonasal, sambil tetap mempertahankan tiga subtipe utama: inverted,
oncocytic, dan exophytic, subtipe identik seperti yang digunakan dalam edisi
sebelumnya. Ada pembaruan pada etiologinya yang berkaitan dengan Human
papilloma virus yaitu adanya pengaktifan mutasi pada gen EGFR, dan penampilan
histologis unik dari tipe oncocytic. Meskipun tumor jinak, berbagai sistem staging
menggunakan tingkat penyakit yang diukur dengan temuan radiografi atau
endoskopi dapat digunakan. 10,14,15

2.6 Etiopatogenesis

Penyebab pasti belum diketahui, namun kontak dengan debu kayu diketahui
merupakan faktor risiko utama yang berhubungan dengan keganasan ini. Mulculnya
keganasan biasanya sekitar 40 tahun setelah kontak pertama. Peningkatan risiko
keganasan ini juga didapatkan pada pekerja pemurnian nikel dan pabrik pigmen
kromat. Di samping itu, dilaporkan bahwa kontak dengan formaldehid, diisoprofil
sulfat, dikloroetil sulfide dan merokok juga meningkatkan risiko timbulnya
keganasan ini. 2
Karsinoma sel skuamosa keratinisasi dapat dipengaruhi beberapa
karsinogen tersebut, sedangkan pada karsinoma sel skuamosa non-keratinisasi
dipengaruhi oleh Human papilloma virus (HPV). HPV 1 risiko tinggi paling sering
dikaitkan dengan sel skuamosa non-keratinisasi karsinoma. Beberapa papiloma
sinonasal (2-10%) dapat bertransformasi ganas, biasanya menjadi KSCC dan lebih
jarang menjadi karsinoma sel skuamosa non keratinisasi. Pada umumnya, NKSCC
memiliki faktor risiko yang serupa dengan sel skuamosa keratinisasi, tetapi 30-50%
kasus mengandung HPV aktif transkripsi berisiko tinggi. 11
Proses karsinogenesis (proses terjadinya kanker) terdiri dari tiga langkah
utama: Inisiasi, di mana perubahan ireversibel terjadi pada gen seluler; promosi, di
mana sel-sel yang telah melalui inisiasi berproliferasi diri yang mengarah ke
pertumbuhan abnormal dan langkah terakhir yaitu progresi di mana sel-sel
melepaskan diri dari tumor primer dan menyerang organ dan jaringan lain,
membentuk pertumbuhan metastatik. Angiogenesis memainkan peran penting
dalam metastasis tumor.16

11
2.7 Gejala Klinis

Gejala klinis tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya.
Tumor di dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor
besar, sehingga mendesak atau menembus dinding tulang meluas ke rongga hidung,
rongga mulut, pipi, orbita atau intrakranial. Gejala nasal berupa obstruksi hidung
unilateral dan rinorea. Sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis.
Tumor yang besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas
hidung. Khas pada tumor ganas sekret hidung berbau karena mengandung jaringan
nekrotik. Gejala awal seperti penyumbatan hidung, keluarnya noda darah dan
hilangnya bau ini sering diabaikan sehingga Presentasi yang terlambat sering terjadi
perluasan selanjutnya ke dalam orbita, sistem nasolacrimal, rongga kranial anterior,
sinus kavernosa, fisura pterigomaksila, palatum, dan fossa infratemporal. 1,8
Pada gejala orbital ada perluasan tumor ke arah orbita menimbulkan gejala
diplopia, proptosis (penonjolan bola mata), oftalmoplegia, gangguan visus, dan
epifora. Pada gejala oral dapat disertai perluasan tumor ke rongga mulut
menyebabkan penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien
mengeluh gigi palsunya tidak tepat melekat atau gigi geligi goyang. Sering kali
pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi
yang sakit telah dicabut. 8
Pada pasien dengan gejala fasial adanya perluasan tumor ke area wajah
dimana akan menyebabkan penonjolan pipi. Gejala dapat disertai nyeri, hilang
sensasi (anesthesia atau parastesia) jika mengenai nervus trigeminus. Sementara
perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan sakit kepala hebat,
oftalmoplegia, dan gangguan visus, yang dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak
yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf
otak lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat
terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia daerah yang
dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis. 8

2.8 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis mulai dari etiologi dan gejala
klinis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan histopatologi. Jika tumor tampak di kavum nasi atau rongga mulut,

12
maka biopsi harus segera dilakukan melalui tindakan rinoskopi atau melalui operasi
Caldwell-Luc yang insisinya melalui sulkus ginggivo-bukkal. 8
Pasien dengan tumor sinus hidung dan paranasal datang dengan berbagai
gejala tergantung pada lokasi tumor dan keterlibatan struktur yang berdekatan.
Gejala yang paling umum dari tumor rongga hidung termasuk penyumbatan aliran
udara melalui hidung, keluarnya cairan dari hidung, nyeri, dan epistaksis.
Neoplasma sinus sphenoid yang melibatkan sinus kavernosa lateral dapat
menyebabkan kerusakan saraf kranial ketiga, keempat, dan keenam. Tumor sinus
paranasal bermanifestasi secara diam-diam, seringkali tersembunyi di dalam rongga
sinus dan meniru sinusitis atau sakit kepala sampai keterlibatan struktur yang
berdekatan seperti mata, saluran nasolacrimal, fossa pterigopalatin, palatum, dan
kiasma optik menyebabkan gejala seperti perubahan visual, epifora, kehilangan
sensasi, melonggarnya gigi, dan penglihatan ganda. Sayangnya, presentasi
berbahaya ini menjelaskan presentasi stadium lanjut dari tumor sinus paranasal.4
Temuan pemeriksaan fisik khusus untuk patologi pada sinus hidung dan
paranasal sering dilakukan pada pemeriksaan kepala dan leher lengkap.
Pemeriksaan kulit menyeluruh dapat mengungkapkan eritema halus dari
peradangan tumor yang mendasarinya. Pemeriksaan intraoral dapat
mengungkapkan erosi tumor ke dalam palatum molle dan durum atau melonggarnya
gigi yang menunjukkan kepenuhan subkutalis atau bahkan tumor. Pemeriksaan
saraf kranial dapat mengungkapkan perubahan visual dari keterlibatan saraf optik,
anestesi pada distribusi saraf trigeminal, kelumpuhan okular dari abdomen dan
keterlibatan saraf trochlear, dan anestesi pada neurosom yang disuplai oleh saraf
nasopalatine dan saraf infraorbital. Mata kering menunjukkan kemungkinan
keterlibatan saraf Vidian, sementara epifora dapat menunjukkan keterlibatan
saluran nasolacrimal. Palpasi leher memberikan perhatian khusus pada kelenjar
getah bening perifacial, submental, parotid yang membantu secara klinis
menentukan tingkat penyakit. 4

13
Gambar 2.5. Erosi tumor sinonasal ke palatum durum.4

Endoskopi adalah komponen penting dari evaluasi tumor sinonasal. Hal ini
memungkinkan untuk pemeriksaan lesi anatomi yang parah dari lesi dan dapat
memandu biopsi. Namun mungkin terbatas, terutama dalam pengaturan klinik,
dalam pemeriksaan situs yang tersembunyi seperti kubah kranial anterior, orbit, dan
fossa pterigopalatina. Computed tomography telah menjadi pencitraan andalan
sinus paranasal, terutama untuk penyakit inflamasi. Ini memberikan detail yang
sangat baik ketika pencitraan dinding bertulang tipis seperti antara sel-sel sinus,
lamina papyracea, dan cribriform plate. Penebalan mukosa mudah diapresiasi.
Namun, magnetic resonance imaging (MRI) lebih berguna dalam membedakan
tumor jinak dari tumor ganas. Selanjutnya, infiltrasi tumor dapat dilihat dengan
lebih mudah dengan MRI. 4
Computerized tomography (CT) lebih unggul daripada MRI untuk
menunjukkan lesi fibroosseous seperti osteoma, fibroma yang mengeras, dan
displasia fibrosa. MRI biasanya lebih unggul daripada CT scan untuk delineasi
jaringan lunak. Lesi jaringan lunak jinak seperti papilloma terbalik dan
angiofibroma nasofaring menunjukkan kualitas karakteristik pada pencitraan yang
dapat membantu dalam diagnosis.4

14
Gambar 2.6. Karsinoma sel skuamosa pada pencitraan CT scan.17

Pencitraan sangat penting dalam memetakan tingkat tumor. Kebanyakan


keganasan sinonasal timbul dari sinus maksilaris, sedangkan situs yang paling
umum berikutnya adalah daerah nasoethmoidal. Analisis pencitraan yang hati-hati
untuk tumor nasoetmoidal harus mencakup penilaian integritas orbit, dasar fossa
kranial anterior, dan sinus sphenoid. Topografi emisi positron menyatu / computed
tomography (PET / CT) semakin banyak digunakan dalam penentuan stadium dan
manajemen kanker kepala dan leher. Namun, kurangnya literatur tentang perannya
dalam manajemen tumor sinonasal membuat rekomendasi yang kuat tidak
mungkin.4
Biopsi penting dalam menegakkan diagnosis tumor sebelum memutuskan
perawatan definitif. Selain itu, harus ada sedikit kecurigaan untuk patologi
intrakranial seperti ensefalokel atau tumor pembuluh darah. Namun, seandainya
asal usul tumor tidak mungkin untuk dipastikan atau jika diduga angiofibroma
nasofaring atau tumor yang tampak vaskular dicurigai, mungkin lebih bijaksana
untuk mendapatkan pencitraan untuk menyingkirkan lesi tersebut. Biopsi di ruang

15
operasi memberikan pengaturan yang lebih terkontrol karena kehilangan darah yang
signifikan dari biopsi tumor yang rapuh tidak jarang. 4

2.9 Staging
American Joint Committee on Cancer (AJCC) membuat klasifikasi tumor /
node / metastasis (TNM) untuk kanker rongga hidung dan sinus paranasal. Sistem
TNM adalah suatu cara untuk menggambarkan stadium kanker. Sistem TNM
didasarkan atas 3 kategori. Masing–masing kategori dibagi lagi menjadi
subkategori untuk menggambarkan keadaan masing– masing pada T, N, dan M
dengan memberi indeks angka dan huruf. Tiap–tiap indeks angka dan huruf
mempunyai arti masing-masing untuk tiap jenis atau tipe kanker. Untuk satu jenis
kanker tertentu tidak semua indeks harus dipakai. Penentuan stadium tumor ganas
hidung dan sinus paranasal menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC)
2010, yaitu: 18

Tabel 2.1. Klasifikasi T sinus maksilaris.18

Sinus Maksillaris
Tx Tumor primer tidak dapat ditentukan
T0 Tidak terdapat tumor primer
Tis Karsinoma in situ
Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi
T1
dan destruksi tulang.
Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga
T2 palatum dan atau meatus media tanpa melibatkan dinding
posterior sinus maksilaris dan fossa pterigoid.
Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus
T3 maksilaris, jaringan subkutaneus, dinding dasar dan medial
orbita, fossa pterigoid, sinus etmoidalis.
Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa
T4a pterigoid, fossa infratemporal, fossa kribriformis, sinus
sfenoidalis atau frontal.
Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater,
T4b otak, fossa kranial medial, nervus kranialis selain dari divisi
maksilaris nervus trigeminal V2, nasofaring atau klivus.

16
Tabel 2.2. Klasifikasi T kavum nasi dan etmoid. 18

Kavum Nasi dan Ethmoidal


Tx Tumor primer tidak dapat ditentukan
T0 Tidak terdapat tumor primer
Tis Karsinoma in situ
Tumor terbatas pada salah satu bagian dengan atau tanpa
T1
invasi tulang
Tumor berada di dua bagian dalam satu regio atau tumor
T2 meluas dan melibatkan daerah nasoetmoidal kompleks,
dengan atau tanpa invasi tulang
Tumor menginvasi dinding medial atau dasar orbita, sinus
T3
maksilaris, palatum atau fossa kribriformis.
Tumor menginvasi salah satu dari bagian anterior orbita,
T4a kulit hidung atau pipi, meluas minimal ke fossa kranialis
anterior, fossa pterigoid, sinus sfenoidalis atau frontal.
Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, dura, otak,
T4b fossa kranial medial, nervus kranialis selain dari V2,
nasofaring atau klivus.

Tabel 2.3. Nodus regional, metastase kelenjar limfe regional.18

Kelenjar Getah Bening Regional (N)


Nx Tidak dapat ditentukan pembesaran kelenjar
N0 Tidak ada pembesaran kelenjar
N1 Pembesaran kelenjar ipsilateral ≤3 cm
Pembesaran satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm, atau
N2 multipel kelenjar ipsilateral <6 cm atau metastasis
bilateral atau kontralateral < 6 cm
Metastasis satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm
N2a
Metastasis multipel kelanjar ipsilateral, tidak lebih dari
N2b
6 cm
Metastasis kelenjar bilateral atau kontralateral, tidak
N2c
lebih dari 6 cm
N3 Metastasis kelenjar limfe lebih dari 6 cm

Tabel 2.4. Metastase jauh.18

Metastasis Jauh (M)


Mx Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak terdapat metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh

17
Tabel 2.5. Stadium tumor ganas dan sinus paranasal.18

Stadium Tumor Ganas dan Sinus Paranasal


0 Tis N0 M0
I T1 N0 M0
II T2 N0 M0
III T3 N0 M0
T1 N1 M0
T2 N1 M0
T3 N1 M0
IVa T4a N0 M0
T4a N1 M0
T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N2 M0
T4a N2 M0
IVb T4b Semua N M0
Semua T N3 M0
IVc Semua T Semua N M1

2.10 Tatalaksana

Penatalaksanaan primer dari tumor sinonasal adalah reseksi bedah. Berguna


untuk memikirkan operasi sinus hidung dan paranasal berupa insisi eksternal,
pemotongan tulang, dan kubah tengkorak. Dengan cara ini, insisi eksternal yang
berbeda dapat digunakan atau dikombinasikan untuk mengakses tulang yang
mendasarinya. Sebagai contoh, insisi rinotomi lateral dan pendekatan degloving
midface keduanya memberikan akses yang sebanding untuk maksilektomi.
Pilihannya bergantung pada kenyamanan dan pengalaman dokter bedah. Makalah
baru-baru ini menggambarkan tingkat kontrol tumor yang sebanding ketika
menggunakan pendekatan endoskopi atau pendekatan terbuka untuk operasi tumor

18
sinus paranasal. Penerangan dan pembesaran yang disediakan oleh endoskopi kaku
lebih unggul daripada yang diberikan oleh pembesaran pembesar daya rendah
dengan penerangan lampu utama.4
Pendekatan endoskopi mewakili teknik kontemporer yang menarik untuk
sayatan minimal, dengan reseksi maksimal, tumor intranasal dan sinus. Prosedur
endoskopi telah terbukti mempersingkat lama rawat inap di rumah sakit
dibandingkan dengan operasi terbuka. Tidak adanya jaringan parut wajah
merupakan keuntungan besar selanjutnya dari operasi endoskopi. Tingkat
kekambuhan rendah baru-baru ini dilaporkan telah dicapai apabila menggunakan
pendekatan endoskopi. 15
Selain pembedahan, radioterapi merupakan pilihan tatalaksana lainnya yang
lebih bermakna. Radioterapi dapat diterapkan baik sebagai tatalaksana utama untuk
pasien yang tidak dapat dioperasi, atau sebagai terapi pasca operasi. Kombinasi
radioterapi dengan pembedahan lebih baik dibandingkan dengan radiasi saja.
Reseksi bedah total disertai dengan radiasi pasca operasi dianggap sebagai
penatalaksanaan utama kanker sinonasal. Sebuah studi mengungkapkan bahwa
radioterapi konvensional beserta reseksi bedah meningkatkan survival rate selama
5 tahun sekitar 40%. Namun, kekurangan radioterapi konvensional yaitu tidak
mampu mencakup banyak target dan efek toksisitas yang berat. Karena dekat
dengan struktur vital, seperti saraf optik, mata dan retina, kebutaan akibat radiasi,
retinopati dan neuropati adalah efek samping yang sering terjadi setelah radioterapi
konvensional.19
2.11 Prognosis

Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang


mempengaruhi prognosis keganasan nasal dan sinus paranasal. Faktor-faktor
tersebut seperti perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan tumor,
pengobatan yang diberikan sebelumnya, batas sayatan, terapi adjuvan yang
diberikan, status imunologis, lamanya follow up dan banyak lagi faktor lain yang
dapat berpengaruh terhadap agresivitas penyakit dan hasil pengobatan yang
tentunya berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini. Walaupun demikian,
pengobatan yang agresif secara multimodalitas akan memberikan hasil yang terbaik

19
dalam mengontrol tumor primer dan akan meningkatkan angka ketahanan hidup 5
tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor.8

20
DAFTAR PUSTAKA
1. A Lund VJ, Clarke PM, Swift AC, McGarry GW, Kerawala C, Carnell D.
Nose and paranasal sinus tumours: United Kingdom National
Multidisciplinary Guidelines. J Laryngol Otol. 2016; 130 (Suppl 2): 111–8.
2. Rahman S, Firdaus A. Tumor Sinus Paranasal Dengan Perluasan Intrakranial
dan Metastasis ke Paru. J Kesehatan Andalas. 2012; 1(3): 150-6.
3. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Hidung. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ed 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2010. Hlm.118-21.
4. Robinson AD, Liang J, Luu Q. Tumors of the Nose and Paranasal Sinuses. In:
Chang C, Incaudo G, Gershwin M. Diseases of the Sinuses. New York:
Springer; 2014. p 535-5.
5. Nasal and paranasal tumors. [online]. Accessed on 2019. Available at:
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/nasal-paranasal-
tumors/symptoms-causes/syc-20354136
6. Prakash S, Narshimhan A, Kalyani R. Sinonasal Carcinoma – A Report of
Two Cases. J Clin Diagnostic Research. 2014; 2(8): 149-50.
7. Fadly F, Farhat, Asnir RA. Profile of sinonasal malignant tumor patients in
Adam Malik General Hospital Medan-Indonesia. Bali Med J. 2018; 1(7):
137-40.
8. Roezin A, Armiyanto. Tumor Hidung dan Sinonasal. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ed 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2010. Hlm.178-181.
9. McCollister KB, Hopper BD, Michel MA. Sinonasal neoplasms: Update on
classification, imaging features, and management. Appl Radiol. 2015; 44(12):
7-15
10. Thompson LD, Franchi A. New tumor entities in the 4th edition of the World
Health Organization classification of head and neck tumors: Nasal cavity,
paranasal sinuses and skull base. Virchows Archiv. 2017; 472(3): 315–30.
11. El-Naggar AK, Chan JC, Grandis JR, Takata T, Slootweg PJ. WHO
Classification of Head and Neck Tumours. Ed 4th. Lyon: International
Agency for Research on Cancer; 2017. p12-9.
12. French CA. NUT Carcinoma: Clinicopathologic features, pathogenesis, and
treatment. Pathol Int. 2018; 68(11): 1–13.
13. Karim MU, Khan K, Nasir A, Ikram M. Sino-nasal mucosal malignant
melanoma. BMJ Case Rep. 2015; 2015: bcr2014206745.
14. Lisan Q, Laccourreye O, Bonfils P. Sinonasal inverted papilloma: From
diagnosis to treatment. Euro Ann Otorhinolaryngol Head Neck Dis. 2016;
133(5): 337–41.
15. Attlmayr B, Derbyshire SG, Kasbekar AV, Swift AC. Management of
inverted papilloma: review. J Laryngol Otol. 2017; 131(04): 284–9.
16. Khambete N, Kumar R. Carcinogens and cancer preventors in diet. Int J of
Nutrition, Pharmacology, Neurological Diseases. 2014; 4 (1): 4-10.
17. Kawaguchi M, Kato H, Tomita H, Mizuta K, Aoki M, Hara A, et al. Imaging
Characteristics of Malignant Sinonasal Tumors. J Clin Med. 2017; 6(12): 116.

21
18. Aroeman NA. Deteksi dini keganasan sinonasal. Prosiding Deteksi Dini
Keganasan Kepala Leher dan Manajemen Nodul Tiroid The 4nd ORL-HNS
Oncology Training World Head and Neck Cancer Day. Bandung: Fakultas
Kedokteran Universitas Padjajaran; 2018.
19. Askoxylakis V, Hegenbarth P, Timke C, Ebrahimi LS, Debus J, Roder F, et
al. Intensity modulated radiation therapy (IMRT) for sinonasal tumors: a
single center long-term clinical analysis. Rad Oncol. 2016; 11:17.

22

Anda mungkin juga menyukai