Sinusitis Jamur
Pembimbing :
Penyusun :
030.12.019
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Sinusitis
Jamur” tepat pada waktunya. Penyusunan referat ini ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh kepaniteraan klinik di bagian Ilmu
Penyakit THT. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar besarnya kepada dr. Donald
Marpaung, Sp.THT-KL. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari
sempurna, hal tersebut tidak lepas dari segala keterbatasan kemampuan yang peneliti
miliki. Oleh karena itu bimbingan dan kritik yang membangun dari semua pihak
sangatlah diharapkan.
Penulis
i
LEMBAR PENGESAHAN
“Sinusitis jamur”
ii
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.2. Bola jamur oleh Aspergillus pada pemeriksaan histopatologi. ...... 14
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Sinusitis adalah peradangan yang terjadi pada rongga sinus. Beberapa penyebab
dapat menjadi pencetus terjadinya sinusitis, salah satunya adalah jamur, selain ada pula
penyebab lain seperti bakteri, ataupun virus. Secara umum banyak jamur tumbuh subur
sebagai saprofit yang berubah menjadi patogen invasif yang dapat mematikan,
tergantung pada kondisi inang dan lingkungan. Sejak dua dekade terakhir, jamur
semakin diakui sebagai penyebab signifikan morbiditas dan mortalitas di antara pasien
karena penggunaan lebih luas dari antibiotik spektrum luas, terapi imunosupresif,
kemoterapi kanker, peningkatan insidensi penyakit defisiensi imun dan peningkatan
penggunaan intervensi perawatan intensif. 1, 2
Kolonisasi jamur pada hidung dan sinus paranasal tampaknya menjadi temuan
umum pada orang yang sehat dan sakit. Dalam beberapa tahun terakhir prevalensi
sinusitis jamur telah meningkat. Prevalensi ini bahkan lebih besar di negara-negara
tropis seperti India. Prevalensi tinggi sinusitis jamur dalam sebuah penelitian sekitar
sebanyak 30% disebabkan oleh tingginya prevalensi diabetes melitus tipe 2. Insiden
penyakit tidak diketahui dan tampaknya mencapai hingga 10% kasus pembedahan
namun, infeksi campuran bakteri dan jamur mewakili 13% - 28,5% dari semua kasus
sinusitis maksila. 1,3-5
1
melaporkan sinusitis jamur pada pasien dari 18 hingga 48 tahun dengan rasio pria dan
wanita 1,18: 1. Prevalensi rinosinusitis jamur yang meningkat menyebabkan gejala
fisik yang signifikan, mempengaruhi kualitas hidup dan secara substansial dapat
mengganggu fungsi sehari-hari. Diagnosis dini dan klasifikasi akurat dari rinosinusitis
jamur yang tergantung pada manifestasi klinis jamur dapat membantu dalam
memutuskan perawatan dan mencegah beberapa prosedur bedah, dan dapat mengarah
pada perawatan yang efektif. 1,5
Spesies Aspergillus adalah agen etiologi utama sinusitis jamur tetapi jamur lain
seperti Schizophyllum commune, Alternaria, Curvularia dan Bipolaris juga tidak
jarang. Histopatologi penting untuk membedakan jenis invasif dari jenis non-invasif
karena diferensiasi ini membantu menentukan pengobatan. Atas dasar histopatologi,
sinusitis jamur dikategorikan ke dalam non-invasif dan invasif. Histopatologi
membutuhkan sampel biopsi dan karenanya merupakan prosedur invasif. Tetapi
prosedur ini sangat penting dalam mengkategorikan sinusitis jamur.5
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah 1)
dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu (P1 dan P2),
molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan
akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi
mudah naik ke atas dan menyebabkan sinusitis; 2) Sinusitis maksila dapat
menimbulkan komplikasi orbita; 3) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari
dasar sinus sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga
harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus
etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis. 2
3
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah
lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 6-10 tahun dan akan mencapai ukuran
maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris,
satu lebih besar daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis
tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan
kurang lebih 5% sinus frontalisnya tidak berkembang. 2
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2
cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya
gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen
menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif
tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah
menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di
resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid. 2
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan dianggap
paling penting karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada
orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior.
Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tingginya 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di
bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Sinus etmoid berongga-rongga terdiri
dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral
os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. 2
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang
bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus
superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior
terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium
sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan
4
sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis
maksila. 2
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid dari
rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus
sfenoid. Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya
adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi
dari 5 sampai 7,5 ml. Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media
dan kelenjar hipofisis, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan a. karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan
di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons. 2
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara-
muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior. Daerah ini
rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks osteomeatal (KOM) terdiri dari
infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis,
bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut
lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir
menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada
dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transpor mukosiliar dari sinus. Lendir yang
berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan
ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus
posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-
superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post
nasal drpi), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung. 2
5
Gambar 2.1. Anatomi sinus paranasal.6
Secara fisiologis sinus paranasalis memiliki peran yang sangat penting bagi
manusia. Beberapa fungsi sinus paranasal, antara lain (1) sebagai pengatur kondisi
udara (air conditioning). Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk mamanaskan
dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi
sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan
beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus; (2) Sebagai panahan suhu
(thermal insulators), sinus paranasal berfungsi sebagai (buffer) panas, melindungi
orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah; (3) Membantu
keseimbangan kepala. Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat
tulang muka. Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini tidak
dianggap bermakana; (4) Membantu resonansi udara. Sinus mungkin berfungsi sebagai
rongga untuk resonansi udara dan mempengaruhi kualitas udara. Akan tetapi ada yang
berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai
6
resonansi yang efektif; (5) Sebagai peredam perubahan tekanan udara. Fungsi ini akan
berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu
bersin dan beringus; (6) Membantu produksi mukus. Mukus yang dihasilkan oleh sinus
paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung,
namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dalam udara. 2
2.4 Epidemiologi
7
62 pasien rinosinusitis kronis) menderita rinosinusitis akibat jamur. Di Malaysia
didapatkan 16 kasus dari 30 kasus rinosinusitis kronik merupakan rinosinusitis akibat
jamur. Penelitian di India tahun 2008 penderita rinosinusitis jamur terbanyak pada jenis
kelamin perempuan dengan jumlah 54,50%. Berbeda dengan penelitian Kamal et al
yang dikutip oleh Indriany S et al9 di Bangladesh tahun 2011 didapati pasien
rinosinusitis akibat jamur terbanyak berjenis kelamin laki-laki (53,33%). 9
2.5 Etiologi
Spesies jamur yang berbeda dihirup, beberapa mampu bertahan hidup pada
suhu tubuh dan menghindari pertahanan inang individu sehat. Sejumlah kecil jamur
yang menyebabkan infeksi adalah patogen sejati yang paling terkenal adalah patogen
yang menyebabkan mikosis endemik: Coccidioides spp, Histoplasma spp, Blastomyces
dermatitidis, dan Paracoccidioides brasiliensis. Patogen lain, seperti Aspergillus spp
dan Cryptocptus dapat menyerang pertahanan innate ketika dihirup dalam jumlah besar
atau ketika pasien memiliki kelainan pada kekebalan innate. Aspergilus merupakan
jamur yang paling sering menyebabkan sinusitis jamur. Jamur lainnya yang sering
yaitu Rhizopus, Mucor, Cladosporium dan Candida. Jamur Dematiaceous, termasuk
Alternaria spp dan Curvularia spp, kadang-kadang dapat diisolasi pada sinusitis jamur
kronik. Pada sinusitis jamur granulomatosa, Aspergillus avus adalah spesies yang
paling umum diindikasikan dan hifa jarang di jaringan dan biasanya ada di dalam sel
raksasa. Pada sinusitis jamur non invasif ditemukan Zygomycetes (biasanya pada
pasien diabetes), spesies Aspergillus (pada pasien neutropenic), Mucor spp., Rhizopus
spp., Rhizomucor spp., dan Lichtheimia spp. 4,8,10
2.6 Klasifikasi
8
yang berada di luar sinus paranasal. Meskipun perbedaan antara bentuk invasif dan
noninvasif berdasarkan presentasi klinis, modalitas radiologi dan konfirmasi dengan
pemeriksaan histopatologi juga diperlukan. 9,11
Pada sinusitis jamur non invasif ditemukan jamur yang tidak menginvasi ke
jaringan sekitar dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologi. Terdapat 2 tipe sinusits
jamur non invasif yaitu sinusitis alergi jamur dan sinusitis bola jamur. Sinusitis alergi
jamur merupakan bentuk sinusitis jamur yang paling umum dan sering terjadi pada
iklim yang lembap. Insiden sinusitis alergi jamur secara keseluruhan diperkirakan
sebesar 5% hingga 10% dari semua kasus penyakit sinus hipertrofi yang akan melalui
tahap pembedahan. Sinusitis jenis ini pertama kali dilaporkan sebagai aspergilosis
alergi oleh Millar dan rekan11 pada tahun 1981 yang menemukan persamaan
karakteristik eksudat sinus yang mengandung jamur pada sinusitis jamur dengan yang
ditemukan pada bronkus pasien yang terkena aspergillosis bronkopulmonal
alergika.9,11
Sinusitis alergi jamur mengacu pada proses patologi non-invasif seperti mukus
dan debris yang dihasilkan dari respon alergi terhadap kolonisasi jamur di dalam
rongga sinus. Perlu dicatat bahwa jumlah elemen jamur dalam sinus yang terinfeksi
9
bervariasi, seringkali hanya sedikit. Proses inflamasi sekunder yang dihasilkan tidak
bergantung pada jumlah jamur yang ada. Oleh karena itu, peran jamur dalam awal mula
patogenesis penyakit ini kontroversial dan oleh beberapa orang dianggap tidak
langsung mempengaruhi patogenesisnya. 11
Sinusitis jamur invasif terdiri dari sinusitis jamur invasif akut, kronis dan
sinusitis jamur invasif granuloma. Sinusitis jamur invasif akut merupakan infeksi jamur
pada rongga hidung dan sinus paranasal dengan onset yang cepat yaitu kurang dari 4
minggu. Terdapat hubungan invasif antara unsur jamur dengan pembuluh darah dan
jaringan lunak sekitarnya. Pasien yang terinfeksi akan mengeluh sakit berat dan
menunjukkan gejala imunokompromais. Pasien dengan sinusitis jenis ini biasanya
memiliki imunitas yang rendah, terutama gangguan fungsi netrofil, keganasan darah,
anemia aplastik, hemokromatosis, diabetes yang tidak terkontrol, tranplantasi organ,
dan pasien yang sedang mengkonsumsi obat imunosupresan seperti steroid sistemik.
Namun, pasien dengan sistem imun yang baik juga dapat mengalami sinusitis jenis
ini.11
Penyakit invasif ditandai sebagai akut atau kronis berdasarkan lamanya waktu
gejala hadir. Pasien dengan penyakit invasif akut biasanya imunokompromais dan,
menurut definisi, hadir dengan gejala yang berdurasi kurang dari satu bulan. Entitas ini
10
ditandai dengan adanya bentuk-bentuk jamur yang menyerang ke dalam jaringan
submukosa sinonasal dan diperlukan intervensi cepat. Pasien dengan penyakit invasif
kronis datang dengan gejala lebih dari tiga bulan lamanya. Dua bentuk penyakit invasif
kronis, yaitu sinusitis jamur invasif kronis dan granulomatosa kronis sering yang
memerlukan terapi bedah. 12
Sinusitis jamur invasif kronis merupakan infeksi jamur pada rongga hidung dan
sinus paranasal dengan onset lebih dari 4 minggu hingga 12 minggu. Memiliki
persamaan dengan Sinusitis jamur invasif akut, sinusitis jamur invasif kronis sering
terjadi pada pasien dengan status imunokompromais seperti pada diabetes melitus yang
tidak terkontrol atau yang sedang mengkonsumsi obat imunosupresan seperti steroid
sistemik. Sinusitis jamur invasif granuloma sama seperti sinusitis jamur invasif kronis
yang memiliki onset progresif. Pasien dengan sinusitis ini biasanya imunokompeten
dan disertai sinusitis kronik. Sinusitis jenis ini memiliki prevalensi tinggi di Afrika dan
Asia Tenggara. Etiologi dari sinusitis ini ialah genus Aspergillus. 11
2.7 Patogenesis
11
jamur ditemukan di seluruh lingkungan dan paparan jamur menjadi sering terjadi.
Barang-barang seperti buah yang membusuk, sayuran, tanaman, tanah, roti yang sudah
lama, dan pupuk kandang semua bisa membawa spora jamur. Namun, infeksi sering
tidak terjadi pada pasien imunokompenten. 9,13
12
2.8 Gejala Klinis
2.9 Diagnosis
Anamnesis yang baik mengenai gejala penyakit sistemik apa pun harus
dilakukan. Namun diagnosis sinusitis jamur tergantung pada pemeriksaan mikroskopis
langsung, kultur dan histopatologi jaringan atau sekret yang diperoleh dari sinus.
Kultur jamur dan biopsi merupakan metode penegakkan diagnosis yang diandalkan.
Kultur yang digunakan adalah media sabauraud. Mikroskopi langsung membantu
dalam diagnosis etiologi jamur dan biakan membantu dalam identifikasi agen etiologi.
Histopatologi penting untuk membedakan jenis invasif dari jenis non-invasif.
13
Perbedaannya lebih mudah dan dapat didiagnosis bahkan secara klinis ketika invasi
struktur menular telah terjadi. Tetapi ketika lesi terbatas pada sinus, demonstrasi invasi
histopatologis dari membran mukosa adalah satu-satunya kriteria yang diandalkan. 8,12
14
pucat atau gelap. Spesimen untuk kultur jamur dan pemeriksaan patologis diperoleh
dengan endoskopi nasal selama operasi. Meatus tengah dikenakan kalium hidroksida,
dan, jika elemen jamur diidentifikasi, maka kultur jamur dapat dilakukan. Setelah
operasi, jaringan yang diambil dari sinus dikirim ke ahli patologi. Spesimen difiksasi
dalam formalin buffer 10%. Semua spesimen secara teratur diproses dan ditanam
dalam parafin. Pewarnaan periodik Schiff, Gomori methenamine silver, dan kapas
laktofenol yang diwarnai biru digunakan untuk organisme jamur. Semua spesimen
menjadi sasaran pemasangan kalium hidroksida dan kultur jamur (agar Sabouraud
dextrose). Untuk kultur jamur, spesimen diinkubasi pada 25 ° C dan 37 ° C selama 4
minggu. 3,8
15
iskemia, atau nekrosis mukosa sinus hidung dan paranasal. Pemeriksaan fisik dan
endoskopi dengan biopsi, sangat penting dalam penegakkan diagnosis sinusitis jamur
invasif. 13,14
2.10 Penatalaksanaan
Pada kasus bola jamur (fungus ball), tatalaksana pilihannya ialah pembedahan
dengan bantuan endoskopi. Untuk kasus rsinusitis jamur invasif, pengobatan termasuk
kombinasi debridemen dengan endoskopi, diikuti oleh terapi anti jamur. Terapi anti
jamur termasuk penggunaan amfoterisin B dan itrakonazol intravena. Amfoterisin-B
16
parenteral adalah obat pilihan untuk sinusitis jamur invasif; dosis dititrasi berdasarkan
pemantauan berdasarkan parameter fungsi ginjal dan elektrolit. 3,11
17
Tatalaksana pilihan utama sinusitis alergi jamur yaitu operasi. Steroid sistemik
dapat diindikasikan setelah operasi dilakukan dan diagnosis dikonfirmasi. Beberapa
penulis menyarankan dosis rendah prednison (0,5 mg / kg) dalam dosis tapering
dengan dosis alternatif selama periode 3 bulan. Steroid nasal topikal sangat membantu
pasca operasi. Cuci hidung dengan air garam yang agresif dianjurkan. Terapi imun
untuk alergen spesifik masih kontroversial, meskipun beberapa laporan menyarankan
manfaat dari perawatan ini. Antijamur sistemik tidak diindikasikan pada jenis non-
invasif. 15
18
DAFTAR PUSTAKA
19
9. Indriany S, Munir DT, Rambe AY, Adnan A, Yunita R, Sarumpaet S. Proporsi
karakteristik penderita rinosinusitis kronis dengan kultur jamur positif. ORLI.
2016; 46 (1): 26-35.
10. Denning DW, Chakrabarti A. Pulmonary and sinus fungal diseases in non-
immunocompromised patients. The Lancet Infectious Diseases. 2017; 17(11):
e357–e366.
11. Raz E, Win W, Hagiwara M, Lui YW, Cohen B, Fatterpekar GM. Fungal
sinusitis. Neuroimag Clin N Am. 2015; 25(4): 1-8.
12. Navya BN, Vivek TG, Sudhir, Kariappa TM, Shwetha VP, Ahalya R. Role of
Histopathology in the Diagnosis of Paranasal Fungal Sinusitis. IOSR J Dental
Med Scie. 2015; 14(1): 97-101.
13. Duggal P, Wise SK. Invasive fungal rhinosinusitis. Am J Rhinol Allergy. 2013;
27(3): 28-30.
14. Montone KT. Pathology of Fungal Rhinosinusitis: A Review. Head Neck
Pathol. 2016; 10(1): 40–6.
15. Ramadan H. Fungal Sinusitis Treatment & Management. [online]. Accessed on
2019. Available at: https://emedicine.medscape.com/article/863062-treatment
20