Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

Sinusitis Jamur

Pembimbing :

dr. Donald Marpaung, Sp.THT-KL

Penyusun :

Andri Ade Saputra

030.12.019

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT

RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARDJO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 11 DESEMBER 2017 – 12 JANUARI 2018


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Sinusitis
Jamur” tepat pada waktunya. Penyusunan referat ini ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh kepaniteraan klinik di bagian Ilmu
Penyakit THT. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar besarnya kepada dr. Donald
Marpaung, Sp.THT-KL. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari
sempurna, hal tersebut tidak lepas dari segala keterbatasan kemampuan yang peneliti
miliki. Oleh karena itu bimbingan dan kritik yang membangun dari semua pihak
sangatlah diharapkan.

Jakarta, Januari 2018

Penulis

i
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT DENGAN JUDUL

“Sinusitis jamur”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk


menyelesaikan KEPANITERAAN KLINIK ILMU Penyakit THT

RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARDJO

Jakarta, Januari 2018

dr. Donald Marpaung, Sp.THT-KL

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... 3

2.1 Anatomi sinus paranasal ..................................................................................... 3

2.3 Definisi sinusitis jamur ....................................................................................... 7

2.4 Epidemiologi ....................................................................................................... 7

2.5 Etiologi ................................................................................................................ 8

2.6 Klasifikasi ........................................................................................................... 8

2.6.1 Sinusitis jamur non-invasif .............................................................................. 9

2.6.2 Sinusitis jamur invasif .................................................................................... 10

2.7 Patogenesis ........................................................................................................ 11

2.9 Diagnosis ........................................................................................................... 13

2.7 Penatalaksanaan ................................................................................................ 16

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 19

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Anatomi sinus paranasal .................................................................. 6

Gambar 2.2. Bola jamur oleh Aspergillus pada pemeriksaan histopatologi. ...... 14

Gambar 2.3. Gambaran jamur granulomatosa invasif ........................................ 14

Gambar 2.4. Gambaran sinusitis jamur invasif. .................................................. 16

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Sinusitis adalah peradangan yang terjadi pada rongga sinus. Beberapa penyebab
dapat menjadi pencetus terjadinya sinusitis, salah satunya adalah jamur, selain ada pula
penyebab lain seperti bakteri, ataupun virus. Secara umum banyak jamur tumbuh subur
sebagai saprofit yang berubah menjadi patogen invasif yang dapat mematikan,
tergantung pada kondisi inang dan lingkungan. Sejak dua dekade terakhir, jamur
semakin diakui sebagai penyebab signifikan morbiditas dan mortalitas di antara pasien
karena penggunaan lebih luas dari antibiotik spektrum luas, terapi imunosupresif,
kemoterapi kanker, peningkatan insidensi penyakit defisiensi imun dan peningkatan
penggunaan intervensi perawatan intensif. 1, 2

Kolonisasi jamur pada hidung dan sinus paranasal tampaknya menjadi temuan
umum pada orang yang sehat dan sakit. Dalam beberapa tahun terakhir prevalensi
sinusitis jamur telah meningkat. Prevalensi ini bahkan lebih besar di negara-negara
tropis seperti India. Prevalensi tinggi sinusitis jamur dalam sebuah penelitian sekitar
sebanyak 30% disebabkan oleh tingginya prevalensi diabetes melitus tipe 2. Insiden
penyakit tidak diketahui dan tampaknya mencapai hingga 10% kasus pembedahan
namun, infeksi campuran bakteri dan jamur mewakili 13% - 28,5% dari semua kasus
sinusitis maksila. 1,3-5

Sinusitis jamur yang sebelumnya dianggap langka, sekarang diakui dan


dilaporkan dengan frekuensi yang semakin meningkat di seluruh dunia. Di India,
penyakit ini dilaporkan sebelumnya hanya dari wilayah utara negara itu, tetapi
sekarang semakin diakui dari bagian lain juga. Dalam penelitian Singh AK et alsingh,
insiden sinusitis jamur adalah 48,7%. Studi lain dari wilayah India Utara dan Selatan
di negara itu juga telah melaporkan kejadian serupa mulai dari 21% hingga 46,7%.
Studi dari Delhi oleh Kaur R et al yang dikutip oleh Singh AK et alsingh telah

1
melaporkan sinusitis jamur pada pasien dari 18 hingga 48 tahun dengan rasio pria dan
wanita 1,18: 1. Prevalensi rinosinusitis jamur yang meningkat menyebabkan gejala
fisik yang signifikan, mempengaruhi kualitas hidup dan secara substansial dapat
mengganggu fungsi sehari-hari. Diagnosis dini dan klasifikasi akurat dari rinosinusitis
jamur yang tergantung pada manifestasi klinis jamur dapat membantu dalam
memutuskan perawatan dan mencegah beberapa prosedur bedah, dan dapat mengarah
pada perawatan yang efektif. 1,5

Spesies Aspergillus adalah agen etiologi utama sinusitis jamur tetapi jamur lain
seperti Schizophyllum commune, Alternaria, Curvularia dan Bipolaris juga tidak
jarang. Histopatologi penting untuk membedakan jenis invasif dari jenis non-invasif
karena diferensiasi ini membantu menentukan pengobatan. Atas dasar histopatologi,
sinusitis jamur dikategorikan ke dalam non-invasif dan invasif. Histopatologi
membutuhkan sampel biopsi dan karenanya merupakan prosedur invasif. Tetapi
prosedur ini sangat penting dalam mengkategorikan sinusitis jamur.5

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi sinus paranasal

Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga


terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam
rongga hidung. Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus
maksila, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal
terbagi menjadi sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid. Sinus
maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume
6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran
maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior
sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya
adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral
rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah
prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior
dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum
etmoid.2

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah 1)
dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu (P1 dan P2),
molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan
akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi
mudah naik ke atas dan menyebabkan sinusitis; 2) Sinusitis maksila dapat
menimbulkan komplikasi orbita; 3) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari
dasar sinus sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga
harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus
etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis. 2

3
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah
lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 6-10 tahun dan akan mencapai ukuran
maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris,
satu lebih besar daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis
tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan
kurang lebih 5% sinus frontalisnya tidak berkembang. 2

Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2,4 cm dan dalamnya 2
cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya
gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen
menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif
tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah
menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di
resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid. 2

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan dianggap
paling penting karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada
orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior.
Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tingginya 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di
bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Sinus etmoid berongga-rongga terdiri
dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral
os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. 2

Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang
bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus
superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior
terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium
sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan

4
sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis
maksila. 2

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid dari
rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus
sfenoid. Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya
adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya bervariasi
dari 5 sampai 7,5 ml. Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media
dan kelenjar hipofisis, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan a. karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan
di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons. 2

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara-
muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior. Daerah ini
rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks osteomeatal (KOM) terdiri dari
infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis,
bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.
Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut
lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir
menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada
dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transpor mukosiliar dari sinus. Lendir yang
berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan
ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus
posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-
superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post
nasal drpi), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung. 2

5
Gambar 2.1. Anatomi sinus paranasal.6

2.2 Fisiologi sinus paranasal

Secara fisiologis sinus paranasalis memiliki peran yang sangat penting bagi
manusia. Beberapa fungsi sinus paranasal, antara lain (1) sebagai pengatur kondisi
udara (air conditioning). Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk mamanaskan
dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi
sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan
beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus; (2) Sebagai panahan suhu
(thermal insulators), sinus paranasal berfungsi sebagai (buffer) panas, melindungi
orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah; (3) Membantu
keseimbangan kepala. Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat
tulang muka. Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan
memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini tidak
dianggap bermakana; (4) Membantu resonansi udara. Sinus mungkin berfungsi sebagai
rongga untuk resonansi udara dan mempengaruhi kualitas udara. Akan tetapi ada yang
berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai

6
resonansi yang efektif; (5) Sebagai peredam perubahan tekanan udara. Fungsi ini akan
berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu
bersin dan beringus; (6) Membantu produksi mukus. Mukus yang dihasilkan oleh sinus
paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung,
namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dalam udara. 2

2.3 Definisi sinusitis jamur

Sinusitis jamur adalah peradangan mukosa yang disebabkan infeksi oleh


berbagai macam jamur pada sinus paranasal. Sinusitis merupakan suatu keadaan yang
tidak jarang ditemukan. Angka kejadiannya meningkat dengan meningkatnya
pemakaian antibiotik, kortikosteroid, obat imunosupresan dan radioterapi. Kondisi
yang merupakan predisposisi antara lain diabetes melitus, neutropenia, penyakit AIDS
dan perawatan lama di rumah sakit. 7,8

2.4 Epidemiologi

Sinusitis jamur yang sebelumnya dianggap langka, sekarang diakui dan


dilaporkan dengan frekuensi yang semakin meningkat di seluruh dunia. Di India,
penyakit ini dilaporkan sebelumnya hanya dari wilayah utara negara itu, tetapi
sekarang semakin diakui dari bagian lain juga. Dalam penelitian Singh AK5, insiden
sinusitis jamur adalah 48,7%. Studi lain dari wilayah India Utara dan Selatan di negara
itu juga telah melaporkan kejadian serupa mulai dari 21% hingga 46,7%. Studi dari
Delhi oleh Kaur R et al yang dikutip oleh Singh AK5 telah melaporkan sinusitis jamur
pada pasien dari 18 hingga 48 tahun dengan rasio pria dan wanita 1,18: 1.5

Prevalensi rinosinusitis kronis akibat jamur, beragam di seluruh dunia. Di Iran


didapati 14,46% penderita rinosinusitis kronis disebabkan jamur. Di Indonesia pada
9
penelitian Andika yang dikutip oleh Indriany S et al didapati dari 30 penderita
rinosinusitis maksilaris kronis terdapat 15 penderita dengan hasil kultur jamur positif
(50%) dan paling banyak berusia 37-46 sebanyak 5 orang (33,3%) dengan jenis
kelamin perempuan sebanyak 9 orang (59,9%). Di Iran didapat 25,8% (16 pasien dari

7
62 pasien rinosinusitis kronis) menderita rinosinusitis akibat jamur. Di Malaysia
didapatkan 16 kasus dari 30 kasus rinosinusitis kronik merupakan rinosinusitis akibat
jamur. Penelitian di India tahun 2008 penderita rinosinusitis jamur terbanyak pada jenis
kelamin perempuan dengan jumlah 54,50%. Berbeda dengan penelitian Kamal et al
yang dikutip oleh Indriany S et al9 di Bangladesh tahun 2011 didapati pasien
rinosinusitis akibat jamur terbanyak berjenis kelamin laki-laki (53,33%). 9

2.5 Etiologi

Spesies jamur yang berbeda dihirup, beberapa mampu bertahan hidup pada
suhu tubuh dan menghindari pertahanan inang individu sehat. Sejumlah kecil jamur
yang menyebabkan infeksi adalah patogen sejati yang paling terkenal adalah patogen
yang menyebabkan mikosis endemik: Coccidioides spp, Histoplasma spp, Blastomyces
dermatitidis, dan Paracoccidioides brasiliensis. Patogen lain, seperti Aspergillus spp
dan Cryptocptus dapat menyerang pertahanan innate ketika dihirup dalam jumlah besar
atau ketika pasien memiliki kelainan pada kekebalan innate. Aspergilus merupakan
jamur yang paling sering menyebabkan sinusitis jamur. Jamur lainnya yang sering
yaitu Rhizopus, Mucor, Cladosporium dan Candida. Jamur Dematiaceous, termasuk
Alternaria spp dan Curvularia spp, kadang-kadang dapat diisolasi pada sinusitis jamur
kronik. Pada sinusitis jamur granulomatosa, Aspergillus avus adalah spesies yang
paling umum diindikasikan dan hifa jarang di jaringan dan biasanya ada di dalam sel
raksasa. Pada sinusitis jamur non invasif ditemukan Zygomycetes (biasanya pada
pasien diabetes), spesies Aspergillus (pada pasien neutropenic), Mucor spp., Rhizopus
spp., Rhizomucor spp., dan Lichtheimia spp. 4,8,10

2.6 Klasifikasi

Sinusitis jamur secara luas diklasifikasikan berdasarkan histopatologi menjadi


dua kelompok besar yaitu bentuk invasif dan noninvasif. Meskipun sinusitis jamur
dapat disebabkan oleh semua jenis jamur, sebagian besar etiologi sinusitis jamur ialah
Aspergillus. Bentuk invasif dibedakan dari noninvasif berdasarkan pada unsur jamur

8
yang berada di luar sinus paranasal. Meskipun perbedaan antara bentuk invasif dan
noninvasif berdasarkan presentasi klinis, modalitas radiologi dan konfirmasi dengan
pemeriksaan histopatologi juga diperlukan. 9,11

Pasien dengan sinusitis jamur noninvasif biasanya disebabkan oleh sinusitis


kronis yang gagal merespon dengan antibiotik berulang dan pembedahan. Sinusitis
jamur invasif biasanya terjadi dengan onset akut ditandai dengan demam, batuk, dan
kadang-kadang ulserasi mukosa hidung. Biasanya bentuk invasif ini terlihat pada
pasien imunokompromais. Terdapat sinusitis jamur invasif yang kronis penyakit
invasif yang dapat memiliki presentasi klinis yang tidak berbahaya, tetapi biasanya
menunjukkan perburukan gejala secara progresif dengan kecurigaan terlibatnya
struktur anatomi sekitar, seperti gangguan penglihatan yang menunjukkan adanya
invasi orbital. 11

2.6.1 Sinusitis jamur non-invasif

Pada sinusitis jamur non invasif ditemukan jamur yang tidak menginvasi ke
jaringan sekitar dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologi. Terdapat 2 tipe sinusits
jamur non invasif yaitu sinusitis alergi jamur dan sinusitis bola jamur. Sinusitis alergi
jamur merupakan bentuk sinusitis jamur yang paling umum dan sering terjadi pada
iklim yang lembap. Insiden sinusitis alergi jamur secara keseluruhan diperkirakan
sebesar 5% hingga 10% dari semua kasus penyakit sinus hipertrofi yang akan melalui
tahap pembedahan. Sinusitis jenis ini pertama kali dilaporkan sebagai aspergilosis
alergi oleh Millar dan rekan11 pada tahun 1981 yang menemukan persamaan
karakteristik eksudat sinus yang mengandung jamur pada sinusitis jamur dengan yang
ditemukan pada bronkus pasien yang terkena aspergillosis bronkopulmonal
alergika.9,11

Sinusitis alergi jamur mengacu pada proses patologi non-invasif seperti mukus
dan debris yang dihasilkan dari respon alergi terhadap kolonisasi jamur di dalam
rongga sinus. Perlu dicatat bahwa jumlah elemen jamur dalam sinus yang terinfeksi

9
bervariasi, seringkali hanya sedikit. Proses inflamasi sekunder yang dihasilkan tidak
bergantung pada jumlah jamur yang ada. Oleh karena itu, peran jamur dalam awal mula
patogenesis penyakit ini kontroversial dan oleh beberapa orang dianggap tidak
langsung mempengaruhi patogenesisnya. 11

Aspergiloma atau yang disebut sebagai bola jamur, dilaporkan memiliki


kumpulan gejala klinis dan bentuk yang berbeda dari penyakit jamur noninvasif
lainnya. Aspergiloma mengacu pada pertumbuhan hifa jamur yang menghambat di
rongga sinus sampai massa terbentuk. Pasien yang terkena aspergiloma merupakan
pasien imunokompeten, nonatopik, dan sehat. Beberapa penelitian telah melaporkan
bahwa penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita yang lebih tua. Namun dapat
mempengaruhi pasien dari semua usia. Sinus maksila merupakan lokasi yang paling
umum. Proses patofisiologi yang berperan ialah mekanisme pembersihan mukosiliar.11

2.6.2 Sinusitis jamur invasif

Sinusitis jamur invasif terdiri dari sinusitis jamur invasif akut, kronis dan
sinusitis jamur invasif granuloma. Sinusitis jamur invasif akut merupakan infeksi jamur
pada rongga hidung dan sinus paranasal dengan onset yang cepat yaitu kurang dari 4
minggu. Terdapat hubungan invasif antara unsur jamur dengan pembuluh darah dan
jaringan lunak sekitarnya. Pasien yang terinfeksi akan mengeluh sakit berat dan
menunjukkan gejala imunokompromais. Pasien dengan sinusitis jenis ini biasanya
memiliki imunitas yang rendah, terutama gangguan fungsi netrofil, keganasan darah,
anemia aplastik, hemokromatosis, diabetes yang tidak terkontrol, tranplantasi organ,
dan pasien yang sedang mengkonsumsi obat imunosupresan seperti steroid sistemik.
Namun, pasien dengan sistem imun yang baik juga dapat mengalami sinusitis jenis
ini.11

Penyakit invasif ditandai sebagai akut atau kronis berdasarkan lamanya waktu
gejala hadir. Pasien dengan penyakit invasif akut biasanya imunokompromais dan,
menurut definisi, hadir dengan gejala yang berdurasi kurang dari satu bulan. Entitas ini

10
ditandai dengan adanya bentuk-bentuk jamur yang menyerang ke dalam jaringan
submukosa sinonasal dan diperlukan intervensi cepat. Pasien dengan penyakit invasif
kronis datang dengan gejala lebih dari tiga bulan lamanya. Dua bentuk penyakit invasif
kronis, yaitu sinusitis jamur invasif kronis dan granulomatosa kronis sering yang
memerlukan terapi bedah. 12

Sinusitis invasif kronis dan sinusitis jamur granulomatosa adalah penyakit


terpisah atau presentasi fenotip yang sama masih belum jelas. Sinusitis jamur invasif
kronis terlihat di seluruh dunia pada pasien dengan diabetes atau yang menggunakan
terapi steroid, sedangkan jenis granulomatosa terlihat pada orang sehat di wilayah yang
secara geografis terbatas antara Sudan dan India. Hifa yang melimpah dengan
campuran inflamasi dan isolasi Aspergillus fumigatus adalah ciri khas dari sinusitis
jamur invasif kronis. Jamur Dematiaceous, termasuk Alternaria spp dan Curvularia
spp, kadang-kadang diisolasi. Pada sinusitis jamur granulomatosa, Aspergillus avus
adalah spesies yang paling umum diindikasikan, dan hifa jarang di jaringan dan
biasanya ada di dalam sel raksasa. 10

Sinusitis jamur invasif kronis merupakan infeksi jamur pada rongga hidung dan
sinus paranasal dengan onset lebih dari 4 minggu hingga 12 minggu. Memiliki
persamaan dengan Sinusitis jamur invasif akut, sinusitis jamur invasif kronis sering
terjadi pada pasien dengan status imunokompromais seperti pada diabetes melitus yang
tidak terkontrol atau yang sedang mengkonsumsi obat imunosupresan seperti steroid
sistemik. Sinusitis jamur invasif granuloma sama seperti sinusitis jamur invasif kronis
yang memiliki onset progresif. Pasien dengan sinusitis ini biasanya imunokompeten
dan disertai sinusitis kronik. Sinusitis jenis ini memiliki prevalensi tinggi di Afrika dan
Asia Tenggara. Etiologi dari sinusitis ini ialah genus Aspergillus. 11

2.7 Patogenesis

Jamur terdapat di berbagai area lingkungan, bersifat saprofit atau komensal,


hidup berdampingan tanpa menimbulkan efek pada tuan rumahnya. Spora dari berbagai

11
jamur ditemukan di seluruh lingkungan dan paparan jamur menjadi sering terjadi.
Barang-barang seperti buah yang membusuk, sayuran, tanaman, tanah, roti yang sudah
lama, dan pupuk kandang semua bisa membawa spora jamur. Namun, infeksi sering
tidak terjadi pada pasien imunokompenten. 9,13

Spora jamur di udara, misalnya, Aspergillus dan Alternaria, masuk ke saluran


pernapasan atas dan bawah melalui inhalasi, tapi jarang bersifat patogen pada orang
sehat. Meskipun demikian, jamur di udara dapat menjadi patogen pada rinosinusitis
kronis. Keberadaan jamur bisa menyebabkan inflamasi pada mukosa hidung dan sinus
paranasal. Ada enam tahapan patogenesis rinosinusitis alergi jamur yaitu; (1) terjadi
sensitisasi (peka) pada host terhadap antigen jamur; (2) spora jamur terperangkap di
dalam hidung atau mukosa sinus dan berkembang biak; (3) pada rinitis alergi musiman
dan tahunan, pro l sitokin T-sel dalam jaringan hidung sesuai dengan profil Th2,
dengan produksi sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, dan granulosit-macrofag colony-
stimulating factor. Sitokin ini menimbulkan produksi IgE dengan degranulasi sel mast
lokal dan akumulasi eosinofil dan sel Th2 alergen spesifik pada jaringan hidung yang
alergi; (4) eosinofil menyerang hifa jamur dan berdegranulasi; (5) proses inflamasi
eosinofil melepaskan beberapa sitokin dan faktor pertumbuhan, yang dapat
berkontribusi untuk remodeling saluran napas dan pembentukan polip hidung. 9

Infeksi jamur yang agresif dan mempengaruhi pasien yang terjangkit


imunokompromais adalah spesies dari genus Aspergillus dan ordo Mucorales, yang
meliputi Absidia, Mucor, Rhizomucor, dan Rhizopus. Mucor telah sangat terkait
dengan menginfeksi pasien ketoasidosis diabetik. Mucor dan Aspergillus menyebar
dengan menyerang pembuluh darah arteri. Nekrosis jaringan sekunder akibat aliran
darah terhalang menyebabkan jaringan infark yang pucat, abu-abu, atau hitam. Infeksi
juga dapat menyebabkan invasi perineural dan menyebar ke seluruh jaringan. Tanpa
sistem kekebalan yang berfungsi dengan baik, infeksi dibiarkan tanpa hambatan dan
dapat terus berlanjut ke struktur yang lebih vital.13

12
2.8 Gejala Klinis

Sinusitis alergi jamur merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap alergen


jamur termasuk antigen dan metabolit jamur di permukaan mukosa saluran sinonasal
pada individu atopik. Manifestasi klinis muncul dengan tanda-tanda yang berbeda yang
terdiri dari hidung tersumbat, deformitas wajah, diplopia, kerusakan osteolitik, dan
keterlibatan dasar tengkorak. Insiden penyakit tidak diketahui dan tampaknya
mencapai hingga 10% kasus pembedahan namun, infeksi campuran bakteri dan jamur
mewakili 13% - 28,5% dari semua kasus sinusitis maksila. Diagnosis sinusitis jamur
alergi didukung oleh adanya mucin alergi menebal yang terbukti pada operasi dan
pewarnaan histopatologi positif untuk hifa jamur. Jamur bola adalah jenis sinusitis
jamur kronis noninvasif tanpa penebalan musin alergi. Musini ini terdiri dari hifa
jamur, fibrin, sel inflamasi, debris tak berbentuk, dan lendir di rongga paru. Biasanya
muncul pada sinus maksilaris dan sphenoid. 4

2.9 Diagnosis

Sinusitis jamur harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan sinusitis


kronis, terutama yang berhubungan dengan gambaran klinis tertentu seperti gejala yang
tidak dapat diobati walaupun telah dilakukan pengobatan yang memadai untuk sinusitis
bakteri, rinitis alergi, asma, poliposis hidung, (jenis non invasif) atau demam, sakit
kepala, epistaksis, diabetes, ulkus mukosa hidung, sindrom orbital apex, proptosis (tipe
invasif). 12

Anamnesis yang baik mengenai gejala penyakit sistemik apa pun harus
dilakukan. Namun diagnosis sinusitis jamur tergantung pada pemeriksaan mikroskopis
langsung, kultur dan histopatologi jaringan atau sekret yang diperoleh dari sinus.
Kultur jamur dan biopsi merupakan metode penegakkan diagnosis yang diandalkan.
Kultur yang digunakan adalah media sabauraud. Mikroskopi langsung membantu
dalam diagnosis etiologi jamur dan biakan membantu dalam identifikasi agen etiologi.
Histopatologi penting untuk membedakan jenis invasif dari jenis non-invasif.

13
Perbedaannya lebih mudah dan dapat didiagnosis bahkan secara klinis ketika invasi
struktur menular telah terjadi. Tetapi ketika lesi terbatas pada sinus, demonstrasi invasi
histopatologis dari membran mukosa adalah satu-satunya kriteria yang diandalkan. 8,12

Gambar 2.2. Bola jamur oleh Aspergillus pada pemeriksaan histopatologi.12

Gambar 2.3. Gambaran jamur granulomatosa invasif pada pemeriksaan


histopatologi.12

Semua pasien juga menjalani endoskopi nasal diagnostik untuk menyingkirkan


variasi anatomis dari kompleks osteomeatal, adanya polip, dan cairan hidung.
Endoskopi nasal diagnostik harus dilakukan dan operator harus mengevaluasi mucin
alergi, kotoran berwarna kehitaman atau kecoklatan, erosi palatum, mukosa hidung

14
pucat atau gelap. Spesimen untuk kultur jamur dan pemeriksaan patologis diperoleh
dengan endoskopi nasal selama operasi. Meatus tengah dikenakan kalium hidroksida,
dan, jika elemen jamur diidentifikasi, maka kultur jamur dapat dilakukan. Setelah
operasi, jaringan yang diambil dari sinus dikirim ke ahli patologi. Spesimen difiksasi
dalam formalin buffer 10%. Semua spesimen secara teratur diproses dan ditanam
dalam parafin. Pewarnaan periodik Schiff, Gomori methenamine silver, dan kapas
laktofenol yang diwarnai biru digunakan untuk organisme jamur. Semua spesimen
menjadi sasaran pemasangan kalium hidroksida dan kultur jamur (agar Sabouraud
dextrose). Untuk kultur jamur, spesimen diinkubasi pada 25 ° C dan 37 ° C selama 4
minggu. 3,8

Pencitraan radiografi dan computed tomography hidung dan sinus paranasal


dilakukan pada semua kasus sinusitis jamur untuk menilai patensi kompleks
osteomeatal, keterlibatan sinus, dan erosi tepi tulang atau ekspansi rongga sinus. CT
scan non kontras pada tahap awal sinusitis kronis menunjukkan penebalan mukosa
yang hipoatenuasi. Pada kasus kronis, penumpukan jaringan lunak yang hiper atenuasi
dapat dilihat pada satu atau lebih sinus. Sering menunjukkan massa dengan penampilan
menyerupai keganasan seperti erosi dinding tulang sinus disertai penyebaran ke
jaringan sekitarnya. 3,8

Diagnosis sinusitis jamur invasif akut meliputi identifikasi histopatologis


bentuk jamur invasif jaringan, yang sering dilakukan selama intraoperatif. Sebagian
besar kasus tumbuh Aspergillus sp. atau Rhizopus sp. Patogen langka lainnya seperti
Fusarium sp. dan spesies dematiaceous juga dapat menyebabkan sinusitis jamur invasif
akut, namun sekitar 30% dari pasien sinusitis jamur invasif akut, kultur jamur
menunjukkan hasil negatif. Kriteria diagnostik yang diusulkan untuk sinusitis jamur
invasif termasuk (1) penebalan mukosa atau tingkat air cell yang konsisten dengan
sinusitis pada pencitraan dan (2) bukti histopatologi dari hifa jamur dalam mukosa
sinus, submukosa, pembuluh darah, atau tulang. Pemeriksaan fisik dan endoskopi
hidung adalah penting untuk mencari tanda-tanda edema yang signifikan, pucat,

15
iskemia, atau nekrosis mukosa sinus hidung dan paranasal. Pemeriksaan fisik dan
endoskopi dengan biopsi, sangat penting dalam penegakkan diagnosis sinusitis jamur
invasif. 13,14

Gambar 2.4. Gambaran sinusitis jamur invasif. 13

2.10 Penatalaksanaan

Pada kasus bola jamur (fungus ball), tatalaksana pilihannya ialah pembedahan
dengan bantuan endoskopi. Untuk kasus rsinusitis jamur invasif, pengobatan termasuk
kombinasi debridemen dengan endoskopi, diikuti oleh terapi anti jamur. Terapi anti
jamur termasuk penggunaan amfoterisin B dan itrakonazol intravena. Amfoterisin-B

16
parenteral adalah obat pilihan untuk sinusitis jamur invasif; dosis dititrasi berdasarkan
pemantauan berdasarkan parameter fungsi ginjal dan elektrolit. 3,11

Pengobatan sinusitis jamur invasif terdiri dari (1) membalikkan imomosupresi


yang mendasarinya, (2) terapi antijamur, dan (3) debridemen bedah agresif.
Meningkatkan jumlah neutrofil mutlak pada pasien dengan neutropenia kuantitatif
merupakan langkah penting dalam pengobatan penyakit jamur invasif. Peningkatan
manajemen diabetes dan kontrol gula darah yang berfluktuasi sangat penting untuk
membantu pasien yang menderita sinusitis jamur invasif sekunder akibat ketoasidosis
diabetik. Pasien yang menderita pengobatan imunosupresif kemungkinan harus
menghentikan terapi mereka. Upaya untuk menyelesaikan neutropenia dapat dilakukan
dengan menggunakan faktor stimulasi koloni granulosit. Isolasi organisme jamur juga
diperlukan untuk memandu terapi antijamur. Agen antijamur oral dan intravena dapat
diimplementasikan berdasarkan keparahan infeksi, agen penyebab, dan adanya
imunosupresi yang sedang berlangsung atau gangguan yang mendasarinya. 13

Bedah debridemen adalah standar emas untuk menghilangkan penyakit jamur


invasif. Perawatan bedah seringkali melalui teknik endoskopi dengan atau tanpa
kombinasi pendekatan eksternal tergantung pada luasnya penyakit. Temuan yang
paling umum di bedah adalah edema mukosa dan atau mukosa pucat. Semua jaringan
pucat atau nekrotik harus dikeluarkan dari sinus paranasal dan rongga hidung. Reseksi
harus dilakukan sampai jaringan perdarahan divisualisasikan. Spesimen biopsi bagian
beku lebih lanjut dapat dikirim secara intraoperatif untuk menunjukkan margin negatif.
Kultur jamur juga harus dikirim pada saat operasi untuk membantu identifikasi jamur.
Eksentasi orbital dapat diindikasikan jika pengangkatan mata dapat mencegah
penyebaran intrakranial. Pembedahan dan terapi antijamur dapat membantu
meringankan beban jamur sampai status kekebalan pulih. Pasien harus dipantau setelah
operasi awal dengan endoskopi tindak lanjut, perbaikan, dan debridemen serial sesuai
kebutuhan. Tindak lanjut jangka panjang diindikasikan sampai terjadi remusinisasi
sinus, resolusi pengerasan kulit, dan penghentian sekuestrasi tulang. 13

17
Tatalaksana pilihan utama sinusitis alergi jamur yaitu operasi. Steroid sistemik
dapat diindikasikan setelah operasi dilakukan dan diagnosis dikonfirmasi. Beberapa
penulis menyarankan dosis rendah prednison (0,5 mg / kg) dalam dosis tapering
dengan dosis alternatif selama periode 3 bulan. Steroid nasal topikal sangat membantu
pasca operasi. Cuci hidung dengan air garam yang agresif dianjurkan. Terapi imun
untuk alergen spesifik masih kontroversial, meskipun beberapa laporan menyarankan
manfaat dari perawatan ini. Antijamur sistemik tidak diindikasikan pada jenis non-
invasif. 15

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Krishnan KU, Selvi R, Agatha D. Fungal rhinosinusitis: A clinicomycological


perspective. Indian J Med Microbiol. 2015; 33(1): 120.

2. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus Paranasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar


N, Bashiruddin J, Restuti R.D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Ed VI. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. Hlm 145-150.

3. Suresh S, Arumugam D, Zacharias G, Palaninathan S, Vishwanathan R,


Venkatraman V. Prevalence and clinical profile of fungal rhinosinusitis. Allerg
Rhinol. 2016; 7(2): 115–120.
4. Mohammadi A, Hashemi SM, Abtahi SH, Lajevardi SM, Kianipour S,
Mohammadi R. An investigation on non-invasive fungal sinusitis; Molecular
identification of etiologic agents. J Res Med Sci. 2017; 22: 67.
5. Singh AK, Gupta P, Verma N, Khare V, Ahamad A, Verma V, et al. Fungal
Rhinosinusitis: Microbiological and Histopathological Perspective. J Clin Diag
Research. 2017; 11(7): 10-2.
6. PDQ Adult Treatment Editorial Board. Anatomy of the paranasal sinuses
(spaces between the bones around the nose. [online]. Cited on 2018. Available
at:https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK66003/figure/CDR0000258028_
_276/
7. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti R.D. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Ed VI. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. Hlm 150-4.
8. Swarajyalakshmi M, Jyothilakshmi G. Candida kefyr in Invasive Paranasal
Sinusitis. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 2012; 66(S1): 371-4.

19
9. Indriany S, Munir DT, Rambe AY, Adnan A, Yunita R, Sarumpaet S. Proporsi
karakteristik penderita rinosinusitis kronis dengan kultur jamur positif. ORLI.
2016; 46 (1): 26-35.
10. Denning DW, Chakrabarti A. Pulmonary and sinus fungal diseases in non-
immunocompromised patients. The Lancet Infectious Diseases. 2017; 17(11):
e357–e366.
11. Raz E, Win W, Hagiwara M, Lui YW, Cohen B, Fatterpekar GM. Fungal
sinusitis. Neuroimag Clin N Am. 2015; 25(4): 1-8.
12. Navya BN, Vivek TG, Sudhir, Kariappa TM, Shwetha VP, Ahalya R. Role of
Histopathology in the Diagnosis of Paranasal Fungal Sinusitis. IOSR J Dental
Med Scie. 2015; 14(1): 97-101.
13. Duggal P, Wise SK. Invasive fungal rhinosinusitis. Am J Rhinol Allergy. 2013;
27(3): 28-30.
14. Montone KT. Pathology of Fungal Rhinosinusitis: A Review. Head Neck
Pathol. 2016; 10(1): 40–6.
15. Ramadan H. Fungal Sinusitis Treatment & Management. [online]. Accessed on
2019. Available at: https://emedicine.medscape.com/article/863062-treatment

20

Anda mungkin juga menyukai