SINUSITIS MAXILARIS
Diajukan sebagai salah satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL Universitas Syiah Kuala
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Oleh:
M. Rizqi Farchan
Andi Fri Nanda
Rizqan Akbar Pratama
Ori Janu Perma
Siti Rizka Zahrina
Pembimbing:
dr. Lily Setiani , Sp.THT-KL
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkat dan rahmat-Nya yang telah memberikan kesehatan dan waktu untuk
penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas laporan kasus ini.
Tujuan pembuatan tugas laporan kasus yang berjudul “Sinusitis
Maxillaris” ini adalah untuk memenuhi tugas dalam menjalankan Kepaniteraan
Klinik Senior (KKS) di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL FKUnsyiah-RSUD
dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pembimbing
dr. Lily Setiani, Sp.THT-KLyang telah membimbing, memberi saran, dan kritik
sehingga terselesaikannya tugas ini, juga kepada teman-teman dokter muda yang
turut membantu dalam pembuatan tugas ini.
Akhirnya Penulis mohon maaf segala kekurangan dalam tulisan ini, kritik,
dan saran sangat penulis harapkan dari pembaca sekalian untuk kesempurnaan
tulisan ini, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
KATA PENGANTAR........................................................................................ ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
PENDAHULUAN.............................................................................................. 1
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................... 3
Anatomi Sinus Paranasal.............................................................................. 3
Defenisi Sinusitis.......................................................................................... 4
Patofisiologi.................................................................................................. 5
Etiologi dan faktor predisposisi.................................................................... 9
Gejala Klinis................................................................................................ 9
Pemeriksaan Fisik......................................................................................... 10
Pemeriksaan Radiologi................................................................................. 11
Tatalaksana................................................................................................... 16
LAPORAN KASUS...........................................................................................
Identitas Pasien.............................................................................................
Anamnesis....................................................................................................
Pemeriksaan Fisik ........................................................................................
PemeriksaanPenunjang.................................................................................
Diagnosis Banding.......................................................................................
DiagnosaUtama............................................................................................
Tatalaksana...................................................................................................
Prognosis......................................................................................................
PEMBAHASAN.................................................................................................
KESIMPULAN .................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila
berbentuk seperti piramid. Dinding anterior sinus maksila dibentuk oleh
permukaan fasial os maksila (fosa kanina), dinding posterior terbentuk oleh
permukaan infra-temporal maksila, bagian medial sinus maksila adalah dinding
lateral rongga hidung, dinding superior terbentuk oleh dasar orbita, dan dinding
inferior terbentuk oleh prosesus alveolaris dan palatum.4
Secara klinis, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah
dasar dari sinus maksila (dinding inferior) sangat berdekatan dengan akar gigi
rahang atas, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas dan menyebabkan
terjadinya sinusitis. Sinusitis maksila dapat menimbulkan terjadinya komplikasi
orbita karena dinding superior sinus maksila dibenuk oleh dasar orbita. Ostium
sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya
tergantung dari pergerakan silia.3,4
2.2. Definisi
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi sinus yang
terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal
dan sinusitis sfenoid.1,2,3 Yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan
sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusuitis sfenoid lebih jarang.
4
Sinus maksila disebut juga dengan antrum highmore, merupakan sinus
yang sering terinfeksi, oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar,
(2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase
dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila
adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat
menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus
medius, di sekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.1
Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang atau kronis. Sinusitis
maksilaris akut berlangsung tidak tanpa adanya residu kerusakan jaringan
mukosa. Sinusitis berulang terjadi lebih sering tapi tidak terjadi kerusakan
signifikan pada membran mukosa. Sinusitis kronis berlangsung selama 3 bulan
atau lebih dengan gejala yang terjadi selama lebih dari dua puluh hari (lebih dari
tiga minggu). Sinusitis akut dapat sembuh sempurna jika diterapi dengan baik. 1,2,5
2.3 Patofisiologi
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara
lain (1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3) membantu
keseimbangan kepala, (4) resonansi suara, (5) peredam perubahan tekanan udara
dan (6) membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung.1,3
Fungsi sinus paranasal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
pertahanan mukosilier, ostium sinus yang tetap terbuka dan pertahanan tubuh baik
lokal maupun sistemik.2,3,5 Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga
terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak
secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti
jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.
5
Gambar 3. Perubahan silia pada sinusitis
Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya
berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir
tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi didalam sinus,
sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang di produksi mukosa sinus
menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri
patogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan terjadi hipoksia dan retensi lendir
sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob.1 Bakteri yang sering ditemukan pada
sinusitis kronik adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,
Moraxella catarrhalis, Streptococcus B hemoliticus, Staphylococcus aureus,
kuman anaerob jarang ditemukan.1 Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi
hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista.1,2,3
6
Gambar 4. Perubahan mukosa pada sinus yang terinfeksi
7
Gambar 5. Sinusitis akut menjadi sinusitis kronik
Ada tiga kategori utama pada mekanisme terjadinya sinusitis kronis, yaitu:5
1. Sinusitis yang berhubungan dengan hiperplasia karena peradangan.
2. Sinusitis sebagai bagian dari alergi umum saluran napas.
3. Sinusitis karena salah satu diatas disertai infeksi sekunder.
8
Gambar 6. Mekanisme terjadinya sinusitis kronis
2.4 Etiologi dan Faktor Predisposisi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil,
polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka,
sumbatan kompleks osteo-meatal, infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik,
diskinesia silia seperti pada sindroma Kartegener, dan di luar negeri adalah
penyakit fibrosis kistik.
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis
sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuhkan rhinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan
foto polos leher posisi lateral. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah
lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering, serta kebiasaan merokok.
Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.
9
Gambar 7. Pus pada meatus medius
10
Tabel 1. Kriteria diagnosis sinusitis 9,10
Mayor Minor
Nyeri atau rasa tertekan pada wajah Sakit kepala
Sekret nasal dan post nasal purulen Batuk
Demam (fase akut) Rasa lelah
Kongesti nasal Halitosis (bau mulut)
Obstruksi nasal Nyeri gigi
Hiposmia atau anosmia Nyeri atau rasa tertekan /penuh pada
telinga
sama lain.11
Gambar 10. Foto lateral menunjukkan gambaran air fluid level di sinus maksila
12
menilai dinding posterior sinus sfenoid dengan baik. 11
Pemeriksaan foto polos kepala air fluid level merupakan gambaran yang
paling umum pada sinusitis bakteri akut dan umumnya tidak terlihat dalam bentuk
lain dari sinusitis. Pemeriksaan ini paling baik dan paling utama untuk
mengevaluasi sinus paranasal. Karena banyaknya unsur-unsur tulang dan jaringan
lunak yang tumpang tindih pada daerah sinus paranasal, kelainan-kelainan
13
jaringan lunak, erosi tulang kadang-kadang sulit dievaluasi. Pemeriksaan ini dari
sudut biaya cukup ekonomis dan pasien hanya mendapat radiasi yang minimal.11
Pemeriksaan CT-Scan
CT scan sinus bidang koronal telah menjadi metode pencitraan standar
internasional untuk mengevaluasi sinus paranasal yang terkena sinusitis.
Pemeriksaan harus mencakup penilaian terhadap pola, batas, dan kemungkinan
penyebab penyakit, serta rincian anatomi yang relevan dan diperlukan untuk
perencanaan penatalaksanaan.6,9
Pada sinusitis akut dapat dilihat tingkat air-fluid, penebalan mukosa, dan
completeopacification sinus. Apabila terdapat darah di sinus karena trauma ini
mungkin dapat meniru air fluid level dalam sinus, namun mudah dibedakan
dengan pengukuran kepadatan. 11
Dalam sinusitis kronis, sinus etmoid umumnya terlibat. Temuan meliputi
penebalan mukosa, completeopacification, remodeling tulang dan penebalan
karena osteitis, dan poliposis. 6,9
Gambar 14. Foto CT scan posisi Gambar 15. Foto CT scan posisi
coronal menggambarkan Sinusitis coronal menggambarkan sinusitis pada
jamur. Jaringan lunak menempati sisi kanan sinus spenoethmodal.
sinus maksilaris kanan dan ethmoid
dengan daerah hyperattenuating
pusat khas jamur sinusitis. Dinding
medial sinus yang terkena terkikis.
Pemeriksaan MRI
Meskipun CT scan tetap menjadi modalitas utama untuk kriteria standar
diagnosis sinusitis, tetapi MRI diindikasikan pada kasus-kasus klinis yang
14
dicurigai dapat menjadi komplikasi, terutama pada pasien dengan komplikasi
intrakranial dan infeksi yang besifat extension atau pada mereka yang suspek
superior sagittal venous thrombosis. 9
MRI meningkatkan diferensiasi jaringan lunak, tetapi itu tidak membantu
dalam mengevaluasi tulang. MRI jelas menggambarkan tumor dari inflamasi pada
jaringan sekitar dan sekresi pada sinus. Pada MRI T2-weighted, membran edema
dan lendir jelas terlihat hiperintens.9
15
Pemeriksaan USG
Secara umum, ultrasonografi belum dianggap berguna dalam diagnosis
sinusitis. Namun, beberapa karya yang diterbitkan telah menunjukkan bahwa
USG menjadi lebih akurat daripada MRI atau radiografi polos dalam
mendiagnosis sinusitis maksilaris. Ultrasonografi telah menjadi alat yang handal
dalam diagnosis sinusitis maksilaris akut. Namun, kontroversi masih ada
mengenai keandalan ultrasonografi dalam mendeteksi retensi cairan atau
pembengkakan mukosa pada pasien dengan rinosinusitis polypous kronis atau
dalam transantrally operated-on maxillary sinuses.9
Ultrasonografi memiliki beberapa keterbatasan dalam diagnosis sinusitis
tetapi ultrasonografi juga dapat menunjukkan hasil diagnosa positif dengan
adanya cairan antral, tapi sonogram tidak mendefinisikan penyebab cairan.
Sonogram tidak bisa memberikan informasi tentang detil tulang, dan sulit
mendiagnosis sinus apa yg terkena. Ultrasonografi juga tidak dapat digunakan
untuk membedakan penyakit sinus dari bakteri, virus, jamur, dan penyebab alergi.
2.8 Penatalaksanaan
Terapi sinusitis maksilaris umumnya terdiri dari : 9,10
1. Istirahat
2. Antibiotika
Antibiotika yang dipilih adalah antibiotika spektrum luas yang relatif murah
dan aman. Lama pemberian antibiotika yang disarankan oleh beberapa
kepustakaan juga bervariasi tergantung kondisi penderita. Pada kasus akut,
antibiotika diberikan selama 5-7 hari sedangkan pada kasus kronik diberikan
selama 2 minggu hingga bebas gejala selama 7 hari. Antibiotika yang dapat
diberikan antara lain :
a. Amoksisilin 3 kali 500 mg
b. Ampicillin 4 kali 500 mg
c. Eritromisin 4 kali 500 mg
d. Sulfametoksasol – TMP
e. Doksisiklin
16
3. Dekongestan lokal (tetes hidung) atau sistemik (oral) merupakan Alpha
adrenergik agonis menyebabkan vasokontriksi, sehingga memperlancar drainase
sinus.
a. Sol Efedrin 1-2 % sebagai tetes hidung
b. Sol Oksimetasolin HCL 0,05% (semprot hidung untuk dewasa)
c. Oksimetasolin HCL 0,025% (semprot hidung untuk anak-anak)
d. Tablet pseudoefedrin 3 kali 60 mg (dewasa)
4. Analgetika dan antipiretik: parasetamol atau metampiron
5. Antihistamin
Antagonis histamine H1 yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada
reseptor H1 sel target. Bekerja dengan menghambat hipersekresi kelenjar mukosa
dan sel goblet dan menghambat peningkatan permeabilitas kapiler sehingga
mencegah rinore dan sebagai vasokontriksi sinusoid untuk mencegah hidung
tersumbat. Antihistamin berguna untuk mengurangi obstruksi KOM pada pasien
alergi yang menderita sinusitis akut. Terapi antihistamin ini tidak
direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada pasien dengan sinusitis akut,
karena dapat menimbulkan komplikasi melalui efeknya yang mengentalkan dan
mengumpulkan sekresi sinonasal.
6. Mukolitik
Secara teori, mukolitik seperti bromehexin atau ambroxol hidroklorida
memiliki kelebihan dalam mengurangi sekresi dan memperbaiki drainase. Namun
tidak biasa digunakan dalam praktek klinis untuk mengobati sinusitis akut.
7. Tindakan operatif
a. Pungsi dan Irigasi sinus maksilaris (antrum wash out)
Tujuan dilakukan Irigasi antrum adalah 1) sebagai tindakan diagnostik
untuk memastikan ada tidaknya sekret pada sinus maksilaris, 2) untuk
mengeluarkan sekret yang terkumpul didalam rongga sinus maksilaris, 3)
memperbaiki aliran mukosiliar, 4) jika dalam waktu 10 hari, penderita tidak
menunjukkan tanda-tanda perbaikan dengan terapi konservatif, atau telah
didapatkan adanya air fluid level dalam antrum, 5) untuk memperoleh material
yang dapat digunakan untuk kultur dan tes sensitifitas.
17
Tindakan ini dapat dilakukan dengan :
Mukosa hidung disemprot dengan larutan 10% kokain dan adrenalin 1/1000.
kemudian dengan sepotong kapas yang dibasahi dengan larutan yang sama
ditempatkan pada meatus inferior. Ditunggu selama 15 menit.
Dengan menggunakan trokar (misal Trokar dari Lichwits) dibuat drainase
melalui meatus inferior atau celah bukalis gusi menembus fosa insisiva
dengan menempatkan ujung trokar pada bagian atas dari meatus nasi inferior,
kearah kanthus lateralis 1-1/2 inch dari lobang hidung atau tepi atas daun
telinga. Trokar didorong masuk dengan arah sedikit memutar sampai terasa
menembus tulang. Trokar dicabut dengan meninggalkan kanul.
Dilakukan irigasi antrum dengan larutan salin steril hangat ke dalam antrum
maksilaris. Selanjutnya mengalirkan larutan saline hangat, akan mendorong
pus ke luar melalui ostium alami ke rongga hidung atau mulut. cairan irigasi
ditampung dan dikirim untuk pemeriksaan bakteriologi dan uji kepekaan
kuman.
Antrum wash out dilakukan lima-enam kali dengan selang waktu 4- 5 hari (2
kali dalam seminggu). Bila tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak
sekret purulen, berarti mukosa sinus tidak dapat kembali normal (perubahan
irreversible), maka perlu dilakukan operasi radikal.
Antibiotika diberikan sesuai dengan pemeriksaan bakteriologi dan tes uji
kepekaan.
1. Pembedahan radikal
Indikasi pembedahan radikal ini adalah 1) kegagalan respon terapi konservatif
yakni sinusitis kronik refrakter terhadap terapi medis yang maksimal terhadap
terapi antibiotik, 2) tindakan irigasi terutama pada sinusitis kronik dan persisten
dengan mukosa sinus yang irreversible. Sinusitis akut jarang membutuhkan
pembedahan, kecuali jika terjadi komplikasi seperti bentukan mukopiokele
dengan kecurigaan penyebaran ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang
hebat karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.
Terapi radikal dilakukan dengan pembedahan Caldwel-luc, yaitu dengan
mengangkat mukosa yang patologis dan membuat drainasesinus.
1. Pembedahan tidak radikal
18
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus
Surgery (FESS) merupakan tehnik penanganan terkini dari sinusitis oleh karena
pembedahan dengan metode Caldwel-luc sudah jarang dipakai. Prinsipnya ialah
membuka dan membersihkan daerah KOM yang menjadi sumber penyumbatan
dan infeksi, sehingga ventilasi sinus dan drainase sinus dapat lancer kembali
melalui ostium alami dan mengembalikan fungsi mukosilier. Pendekatan
terdahulu untuk membuat saluran nasoantral dalam sinus maksilaris (untuk
memfasilitasi gravitasi drainase) adalah tidak efektif, karena pembersihan normal
mukosilier adalah satu arah dan melawan gravitasi. Oleh karena itu, pembersihan
normal mukosilier tidak akan berubah walaupun telah dibuatkan saluran
nasoantral.
19
BAB IV
PEMBAHASAN
BAB V
KESIMPULAN
20
DAFTAR PUSTAKA
21
2. Wanri, A.Tonsilektomi. Palembang: Departemen Telinga, Hidung Dan
Tenggorok,Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya; 2007.
3. Wiatrak, B.J., Woolley, A.L. Pharyngitis and Adenotonsillar Disease
dalam Cummings Otolaryngology – Head & Neck Surgery. 4th Edition.
Elsevier Mosby Inc.; 2005.
4. Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan:
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi IV. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. 2007.
5. Anonim. Host Defence Againts Pneumococcal Disease. Available at:
http://www.ethesis.helsinki.fi/julkaisut/laa/haart/vk/nieminen/review.htm .
Accessed on September 23th, 2012.
6. Budapest Student. The Waldeyer’s Ring. Available at:
http://www.tulip.ccny.cuny.edu . Accessed on September 23th, 2012.
7. Staff. Palatine Tonsil. Available at: http://www.webmd.com . Accessed on
September 23th, 2012.
8. Staff. Atlas of Human Anatomy. Available at:
http://www.anatomyatlases.org . Accessed on September 23th, 2012.
9. Eibling, D.E.The Oral Cavity, Pharynx and Esophagus dalam Essential
Otolaryngology Head & Neck Surgery. 8th Edition. New York: McGraw
Hill Medical Publishing Division; 2003.
10. Hermani, B., Fachrudin, D., Hutauruk, S.M., Riyanto, B.U., Susilo, Nazar,
H.N. Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa.Jakarta: Health Technology
Assessment (HTA) Indonesia; 2004.
11. Fachruddin, Darnila.Abses Leher Dalam dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorokan.Edisi III Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 1998.
12. Adam. Peritonsillar Abcess. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov .
Accessed on September 23th, 2012.
13. Adams GL, Boies LR, Higler PA. BOIES: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi
IV. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1994.
14. Kartosoediro S, Rusmarjono. Abses Leher Dalam. Edisi VI. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2007.
22
15. Fasano CJ, Chudnofsky C, Vanderbeek P. Bilateral peritonsillarabscesses:
not your usual sore throat. J Emerg Med 2005;29:45-7.
16. Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. Pharyngitis, sinusitis, otitis,and other
upper respiratory tract infections. In: Fauci AS,Braunwald E, Kasper DL,
et al., editors. Harrison’s principlesof internal medicine. 17th ed. New
York (NY): McGraw Hill;2008. p. 210-4.
17. Brochu B, Dubois J, Garel L, et al. Complications of ENT
infections:pseudoaneurysm of the internal carotid artery. PediatrRadiol
2004;34:417-20.
18. Galer C, Holbrook E, Treves J, et al. Grisel’s syndrome: a casereport and
review of the literature. Int J Pediatr Otorhinolaryngol2005;69:1689-92.
19. Johnson RF, Stewart MG, Wright CC. An evidence-basedreview of the
treatment of peritonsillar abscess. OtolaryngolHead Neck Surg
2003;128:332-43.
20. Mobley SR. Bilateral peritonsillar abscess: case report and presentationof
its clinical appearance. Ear Nose Throat J 2001; 80:381-2.
23