Anda di halaman 1dari 33

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN T.H.T.K.

L REFERAT
FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2019
UNIVERSITAS HASANUDDIN

POLIP HIDUNG

OLEH:
Audina Ulfa Adria C014181020
Anastazia Adeela C014181052
Rahmi Islamiana Heri C014181060

RESIDEN PEMBIMBING:
dr. Lidya Allo Datu Turupadang

SUPERVISOR PEMBIMING:
dr. Azmi Mir’ah Zakiah, M. Kes, Sp.THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN T.H.T.K.L
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat : Polip Hidung

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa

Audina Ulfa Adria C014181020


Anastazia Adeela C014181052
Rahmi Islamiana Heri C014181060

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada departemen


Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Makassar, 17 Oktober 2019

Residen Pembimbing Supervisor Pembimbing

dr. Lidya Allo Datu Turupadang dr. Azmi Mir’ah Zakiah, M. Kes, Sp.THT-KL

ii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ........................................................................................................I

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................... II

DAFTAR ISI ........................................................................................................ III

BAB I PEDAHULUAN ................................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................... 2

1. Definisi .......................................................................................................................... 2

2. Anatomi ......................................................................................................................... 2

3. Epidemiologi ................................................................................................................. 5

4. Etiologi .......................................................................................................................... 5

5. Patofisiologi .................................................................................................................. 8

6. Diagnosis ..................................................................................................................... 12

7. Diagnosis Banding ......... .............................................................................................15

8. Penatalaksanaan ......................... .................................................................................15

9. Prognosis .................................... .................................................................................17

BAB III PENUTUP ...................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Polip berasal dari bahasa Yunani Polyponus yang kemudian dilatinkan


menjadi Polyposis yang berarti berkaki banyak. Polip merupakan penyakit pada
hidung dengan salah satu gejalanya yaitu sumbatan pada hidung. Sumbatan
hidung merupakan salah satu keluhan utama penyakit atau kelainan pada hidung,
yang biasanya sering dikeluhkan oleh pasien kepada dokter yang dapat berasal
dari struktur seperti perubahan jaringan, trauma dan gangguan kongenital maupun
sumbatan yang berasal dari sistemik seperti karena perubahan fisiologis maupun
patologis

Polip nasi merupakan penyakit inflamasi kronik pada sistem respirasi


bagian atas yang etiologi pastinya belum diketahui. Prevalensi penderita polip
nasi belum diketahui pasti karena hanya sedikit laporan dari hasil studi
epidemiologi serta tergantung pada pemilihan populasi penelitian dan metode
diagnostik yang digunakan. Di Indonesia studi epidemiologi menunjukkan bahwa
perbandingan pria dan wanita 2-3:1 dengan prevalensi 0,2%-4,3% 1,2

Untuk mengetahui massa di rongga hidung merupakan polip perlu


diketahui anatomi hidung juga perlu dikuasai cara pemeriksaan yang dapat
menyingkirkan kemungkinan diagnosa lain. Di dalam referat ini akan dijelaskan
mengenai anatomi, definisi, etiologi serta patofisiologi, gejala klinis, diagnosa dan
penatalaksanaan pada polip nasi.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Polip hidung merupakan penyakit multifaktorial, mulai dari
infeksi, inflamasi non infeksi, kelainan anatomis, serta abnormalitas
genetik. Banyak teori yang mengarahkan polip ini sebagai manifestasi dari
inflamasi kronis, oleh karena itu, tiap kondisi yang menyebabkan adanya
inflamasi kronis pada rongga hidung dapat menjadi faktor predisposisi
polip. Kondisi-kondisi ini seperti rinitis alergi ataupun non alergi,
sinusitis, intoleransi aspirin, asma, Churg-strauss syndrome cystic fibrosis,
katagener syndrome, dan Young syndrome.
Polip hidung merupakan massa jinak didalam rongga hidung yang
berwarna putih keabuan jernih dnegan permukaan licin,bertangkai dan
jumlahnya dapat tunggal ataupun multiple, polip dapat kemerahan akibat
trauma berulang dan infeksi hidung. 4
Polip hidung asalnya dari mukosa hidung atau mukosa sinus
paranasal yang pada umumnya berasal dari sinus etmoid dan sinus
maksila. Polip yang berasal dari sius etmoid lebih sering terjadi,bilateral
dan multiple. Sedangkan yang dari sinus maksila dikenal sebagai polip
atrokoanal. 4

2. Anatomi
Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah: 1) pangkal hidung (bridge), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4)
ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar
dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil

2
yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasalis), 2) prosesus
frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga
sebagai kartilago ala mayor, 3) beberapa pasang kartilago ala minor dan 4)
tepi anterior kartilago septum.2,15

Gambar 2.1 Anatomi Hidung


Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi
kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian
depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior
(koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.2 Bagian
kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares
anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut vibrise.3 Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu
dinding medial, lateral, inferior dan superior. 2

Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh


tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah (1) lamina prependikularis

3
os

Gambar 2.2 Dinding lateral kavum nasi


etmoid, (2) vomer, (3) Krista nasalis os maksila dan (4) krista nasalis os
palatine. Bagian tulang rawan adalah (1) kartilago septum (lamina
kuadrangularis) dan (2) kolumela. Bagian superior dan posterior disusun
oleh lamona prependikularis os etmoid dan bagian anterior oleh kartilago
septum (quadrilateral), premaksila, dan kolumna membranousa. Bagian
inferior, disusun oleh vomer, maksila, dan tulang palatine dan bagian
posterior oleh lamina sphenoidalis. Septum dilapisi oleh perikondrium
pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan
diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.

Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi
dan di belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar
dinding lateral hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang
terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang
lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi adalah konka superior,
sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini
biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media,
superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. 2

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga


sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus
yaitu meatus inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak
diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus

4
nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus
unsinatus, hiatus semilnaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris
merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus
frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior
yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat
muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid. Dinding inferior
merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum.2,15

Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga
hidung. Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika,
sedangkan a. oftalmika berasal dari a. karotis interna.2

Bagian atas rongga hidung mendapat vaskularisasi dari cabang a.


etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika
dari a. karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat
vaskularisasi dari cabang a. maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a.
palatine mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat
vaskularisasi dari cabang-cabang a. fasialis.15

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-


cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan
a.palatina mayor yang disebut Plexus Kiesselbach (Little’s area). Plexus
Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga
sering menjadi sumber epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada
anak.15

5
Vena-vena hidung memiliki nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar
hidung bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai
ke intrakranial.15

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris


dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris,
yang berasal dari n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya, sebagian
besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion
sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan
sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk
mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari
n.maksila (N.V2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor
dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion
sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior
konka media. Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.15

Gambar 2.1. Dinding lateral hidung

6
Kompleks Osteomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral
hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur
anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosessus unsinatus,
infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan
resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat
ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus
maksila, etmoid anterior dan frontal.15

3. Fisiologi
Hidung adalah pintu masuk ke saluran pernapasan bagian bawah serta
sebagai indra penciuman. Dalam perjalanan masuk melalui hidung, udara
yang masuk akan melewati kantong alveolar. Mukosa hidung berfungsi
sebagai membersihkan diri dan mengatur kondisi udara tersebut. Peranan
hidung sebagai resonator kepada semua orang yang pernah menderita
pilek. Sebagai jalur napas
 Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke
atas setinggi konka media dan kemudia turun ke bawah ke arah
nasofaring sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau
arkus. Pada ekspirasi udara masuk melalui koana dan mengikuti
jalan yang sama seperti udara insprirasi. Akan tetapi di bagian
depan aliran udara memecah sebagian lagi kembali kebelakang
membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.
 Pengatur kondisi udara Mengatur kelembapan udara, fungsi ini
dilakukan oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hampir
kering oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan
pada musim dingin sebaliknya.6) Mengatur suhu, fungsi ini
dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah epitel
dan adanya permukaan konka dan septum yang luas,sehingga
radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu
udara setelah melalui hidung kurang lebih 37°C.

7
 Sebagai penyaring dan pelindung Fungsi ini berguna unruk
membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri yang
dilakukan oleh rambut pada vestibulum nasi, silia, palut lendir
(mucosa blanket), dan enzimyang dapat menghancurkan beberapa
jenis bakteri disebut lysozime.
 Indra penghidu Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu
dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka
superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau
bila menarik napas dengan kuat. e. Refleks nasal Mukosa hidung
merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskular, dan pernapasan. Contohnya iritasi mukosa
hidung menyebabkan refleks bersin dan napas terhenti.

4. Epidemiologi
Prevalensi penderita polip nasi belum diketahui pasti karena hanya
sedikit laporan dari hasil studi epidemiologi serta tergantung pada
pemilihan populasi penelitian dan metode diagnostik yang digunakan.
Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan
4,2% di Finlandia. Di Amerika Serikat prevalensi polip nasi diperkirakan
antara 1-4%. Pada anak-anak sangat jarang ditemukan dan dilaporkan
hanya sekitar 0,1%. Penelitian Larsen dan Tos di Denmark
memperkirakan insidensi polip nasi sebesar 0,627 per 1000 orang per
tahun. Di Indonesia studi epidemiologi menunjukkan bahwa perbandingan
pria dan wanita 2-3:1 dengan prevalensi 0,2%-4,3% 1,3,16,17

8
5. Etiologi
Bermacam-macam teori mengenai penyebab timbulnya polip hidung telah
sering diajukan, tetapi belum ada teori yang dapat diterima dengan mutlak.
Timbulnya polip disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor. Teori tersebut akan
dijabarkan sebagai berikut
 Alergi
Alergi merupakan faktor yang banyak menjadi sorotan karena tiga
hal, yaitu karena sebagian besar polip hidung terdiri dari eosinofil,
berhubungan dengan asma, serta temuan klinis pada nasal yang
menyerupai gejala dan tanda alergi. Paparan alergen udara menahun,
diduga berperan dalam terjadinya polip hidung melalui inflamasi
yang terus-menerus pada mukosa hidung.11
 Ketidak Seimbangan Vasomotor
Teori ini dikemukakan karena pada banyak kondisi tidak
ditemukan adanya tanda-tanda atopi dan tidak ada riwayat pajanan
alergen yang ditemukan. Akan tetapi pasien cenderung mengalami
rinitis prodromal sebelum pada akhirnya berkembang menjadi polip
hidung. Polip hidung bisanya memiliki vaskularisasi yang kurang dan
berkurangnya inervasi vasokonstriktor. Selanjutnya gangguan dalam
regulasi vaskular dan peningkatan permeabilitas dapat menyebabkan
edema dan pembentukan polip.11
 Bernouli Fenomena
Fenomena Bernoulli terjadi karena adanya penurunan tekanan
yang selanjutnya menyebabkan konstriksi. Hal ini akan menimbulkan
tekanan negatif dalam Komleks Osteomeatal, yang mempengaruhi
mukosa disekitarnya. Karena tekanan negatif ini kemudia akan terjadi
inflamasi mukosa yang selanjutnya menjadi awal terbentuknya
polip.12
 Teori Rupture Epithel
Rupturnya epitel dari mukosa nasal karena alergi atau karena
infeksi dapat menyebabkan prolaps dari lamina propria, yang

9
selanjutnya akan membentuk polip. Defek dari faktor ini mungkin
semakin membesar karena pengaruh gravitasi atau drainase vena
mengalami obstruksi. 9
 Intoleransi Aspirin dan NSAIDs (non-steroidal antiinflamatory)
Aspirin (acetylsalicylic acid) dan non-steroidal antiinflamatory drugs
(NSAIDs) memiliki pebedaan patogenesis dalam mengakibatkan polip
hidung. Gejala dari intoleransi NSAIDs dan AIA (aspirin-induced asthma)
yang paling sulit untuk diobati, dan memiliki resiko untuk terjadinya polip
hidung. Beberapa konsep telah dijelaskan dalam patogenesis dari AIA
yaitu mengenai inhibisi COX (enzim siklooksigenase), di saluran
pernapasan mengakibatkan bronkonstriksi. Inhibisi dari COX merangsang
reaksi biokimia spesifik yang bisa menyebabkan asma. Beberapa teori
mengenai COX yaitu:
1. NSAIDs dengan aktivitas anti siklooksigenase mengakibatkan
bronkokonstriksi pada pasien yang sensitif terhadap aspirin
2. NSAIDs yang tidak memiliki aktivitas tidak mengganggu COX tidak
mengakibatkan bronkospasme
3. Ada hubungan positif antara NSAIDs yang memiliki potensi
menghambat COX dalam menginduksi asma pada pasien yang
sensitif.
Biasanya kebanyakan pasien mengalami keluhan pada umur 30-40 tahun.
Biasanya keluhan utama dimulai dengan gejala rhinitis vasomotor yang
terjadi intermittent dengan rinore. Setelah beberapa bulan atau tahun, akan
terjadi sumbatan di hidung, dan lama kelamaan akan muncul polip hidung
pada pemeriksaan fisik.. 10
 Cystic Fibrosis
Cystic Fibrosis merupakan salah satu penyakit autosomal resesif
pada kelompok orang kulit putih. Cystic fibrosis disebabkan karena
mutasi gen tunggal pada kormosom 7 yang disebut CFTR (cystic
fibrosis transmembrane regulator). Hal ini menyebabkan tidak adanya
cyclic AMP-regulated chloride chanel yang menyebabkan

10
impermeabilitas klorida dan peningkatan absorpsi natrium. Peningkatan
absorpsi natrium dan penurunan sekresi klorida menyebabkan
pergerakan air ke sel dan ruang interstitial, selanjutnya menimbulkan
retensi cairan, dan membentuk polip. Defek migrasi protein CFTR juga
menyebabkan terjadinya inflamasi kronis skunder. 13
 Nitric Oxide
Nitric Oxide merupakan radikal bebas, yang memiliki peran besar
dalam terjadinya reaksi imunologis nonspesifik, regulasi dari tonus
vaskular, pertahanan host, dan inflamasi pada berbagai jaringan.
Radikal bebas biasanya dipertahankan dalam keadaan seimbang oleh
antioxidant defense system superoxidedismutase, catalase dan
glutahione peroxidase. Ketika radikal bebas ini dapat melebihi
kemampuan pertahanan dari antioksidan, maka akan terjadi defek
seluler, defek jaringan, dan penyakit kronis.14
 Infeksi
Bagaimana infeksi dapat menjadi faktor yang juga penting
terhadap pembentukan polip, diduga terkait dengan adanya gangguan
pada epitel dengan proliferasi jaringan granulasi. Hal ini biasanya
terjadi pada infeksi Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus,
atau Bacteroides fragilis (semua jenis patogen yang sering ditemukan
pada rinosinusitis).9
 Superantigen Hipotesis
Staphylococcus aureus ditemukan sekitar 60-70% pada daerah
mukus didekat polip masif. Organisme ini selalu memproduksi toxin,
staphylococcus enterotoxin A (SEA), staphylococcus enterotoxin B
(SEB) dan toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1) yang akan
berperan sebagai superantigen, menyebabkan aktifasi dan ekspansi
klonal dari limfosit pada lateral hidung. Aktifasi dari limfosit ini,
akan menghasilkan sitokin Th1 dan Th2 (IFN-gama. IL-2, IL-4, IL-4),
hal ini akan menyebabkan chronic lymphocytic-eosinophilmuchosal
disease. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya antibodi spesifik

11
IgE terhadap SEA dan SEB sebanyak 50% pada penderita polip
hidung.9

6. Patofisiologi
Epitel mukosa hidung secara terus menerus terekspos lingkungan
luar melalui udara yang diinspirasi yang berpotensial menyebabkan
kerusakan epitel dan infeksi. Polip nasi terjadi karena adanya
peradangan kronis pada membran mukosa hidung dan sinus yang
disebabkan oleh kerusakan epitel akibat paparan iritan, virus atau bakteri.
Banyak faktor yang berperan dalam pembentukan polip nasi. Kerusakan
epitel terlibat dalam patogenesis polip. Sel epitel dapat mengalami aktivasi
dalam respon terhadap alergen, polutan maupun agen infeksius. Sel akan
mengeluarkan berbagai faktor yang berperan dalam respon inflamasi dan
pemulihannya, antara lain neuropeptide-degrading enzym, endothelin,
nitric oxide, asam arakidonat, sitokin inflamasi yang mempengaruhi sel
inflamasi. Faktor-faktor tersebut akan menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, adhesi leukosit, sekresi mukus, stimulasi
fibroblas dan kolagen.10
Beberapa faktor inflamasi telah dapat diisolasi dan dibuktikan
dihasilkan pada polip nasi. Faktor-faktor tersebut meliputi endothelial
vascular cell adhesion molecule (VCAM)-1, nitric oxide synthese,
granulocyte-macrophage colony–stimulating factor (GM-CSF), eosinophil
survival enhancing activity (ESEA), cys-leukotrienes (Cys-LT) dan sitokin
lainnya.
Radikal bebas adalah molekul yang sangat reaktif yang
kemungkinan berperan juga dalam terjadinya polip. Radikal bebas dapat
menyebabkan kerusakan selular yang pada akhirnya dapat menyebabkan
kerusakan jaringan.Tubuh menghasilkan endogenous oxidants sebagai
respon dari bocornya elektron dari rantai transport elektron, sel fagosit dan
sistem endogenous enzyme (MAO, P450, dsb).

12
Epitel polip nasi terdapat hiperplasia sel goblet dan hipersekresi
mukus yang kemungkinan besar berperan dalam menimbulkan obstruksi
nasal dan rinorrhea. Sintesis mukus dan hiperplasia sel globet diduga
terjadi karena peranan epidermal growth factors (EGF). 10
Adanya proses peradangan kronis menyebabkan hiperplasia
membran mukosa rongga hidung, adanya cairan serous di celah-celah
jaringan, tertimbun dan menimbulkan edema, kemudian karena pengaruh
gaya gravitasi. Akumulasi cairan edema ini menyebabkan prolaps mukosa.
Keadaan ini menyebabkan terbentuknya tangkai polip, kemudian
terdorong ke dalam rongga hidung oleh gaya berat.
Struktur stroma polip nasi dapat mempunyai vasodilatasi pembuluh
darah sedikit atau banyak, variasi kepadatan tipe sel yang berbeda, seperti
eosinofil, neutrofil, sel mast, plasma sel dan lain-lain. Eksudasi plasma
mikrovaskular berperan dalam perkembangan kronik edem pada polip
nasi.
Gambaran histopatologi dari polip nasi bervariasi dari jaringan
yang edem dengan sedikit kelenjar sampai peningkatan kelenjar. Eosinofil
dapat muncul, menandakan komponen alergi. Hal ini menunjukkan adanya
proses dinamis yang nyata pada polip nasal yang dipengaruhi oleh banyak
faktor seperti aliran udara, faktor lain yang dapat mempengarui epitel
polip dan proses regenerasinya, perbedaan epitel dan ketebalannya, ukuran
polip, infeksi dan alergi.
Beberapa buku menyebutkan alergi sebagai penyebab utama polip
nasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya penimbunan eosinofil dalam
jumlah besar dari jaringan polip atau dalam sekret hidung. Polip hidung
yang disebabkan oleh alergi seringkali dialami penderita asma dan rinitis
alergi.
Infeksi virus dan bakteri juga dikatakan sebagai salah satu
penyebab dari polip nasi. Pada polip nasi yang disebabkan oleh infeksi
ditemukan infiltrasi sel-sel neutrofil, sedangkan sel eosinofil tidak
ditemukan.

13
Menurut Ogawa dari hasil penelitiannya pada penderita polip
hidung disertai deviasi septum, polip lebih sering didapatkan pada rongga
hidung dengan septum yang cekung. Deviasi septum hidung akan
menyebabkan aliran udara pada bagian rongga hidung dengan septum
yang cekung, akan lebih cepat dari bagian cembung di rongga hidung sisi
lain. Percepatan ini terjadi pada rongga hidung bagian atas dan
menimbulkan tekanan negatif. Tekanan negatif ini merupakan rangsangan
bagi mukosa hidung sehingga meradang dan terjadi edema.2
Pada intoleransi aspirin, terjadinya polip nasi disebabkan karena
inhibisi cyclooxygenase enzyme. Inhibisi tersebut menyebabkan pelepasan
mediator radang, yaitu cysteinyl leucotrienes.10
Secara makroskopis polip merupakan massa bertangkai dengan
permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-
abuan, agak bening, lobular, dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif
(bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang pucat tersebut
disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah
ke polip.bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip
dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun
warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung
jaringan ikat. Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks ostio-
meatal di meatus medius dan sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan
dengan endoskop, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Ada
polip yang tumbuh kearah belakang dan membesar dinasofaring. disebut
polip koana.polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan
disebut juga polip antro-koana. Ada juga sebagian kecil polip koana yang
berasal dari sinus etmoid.6
Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan
mukosa hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan
submukosa yang sembab. Sel-selnya terdiri dari limfosit, sel plasma,
eosinofil, neutrofil dan makrofag. Mukosa mengandung sel-sel goblet.
Pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama

14
dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran udara,
menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi
Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan menjadi 2
yaitu polip tipe eosinofilik dan tipe neutrofilik.6

7. Gejala Klinis
Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa
sumbatan di hidung. Sumbatan ini tidak hilang - timbul dan makin lama
semakin berat keluhannya. Pada sumbatan yang hebat dapat menyebabkan
gejala hiposmia atau anosmia. Bila polip ini menyumbat sinus paranasal,
maka sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis dengan keluhan nyeri
kepala dan rinore.2
Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah
bersin dan iritasi di hidung. Pasien dengan polip yang masif biasanya
mengalami sumbatan hidung yang meningkat, hiposmia sampai anosmia,
perubahan pengecapan, dan drainase post nasal persisten. Sakit kepala dan
nyeri pada muka jarang ditemukan dan biasanya pada daerah periorbita
dan sinus maksila. Pasien polip dengan sumbatan total rongga hidung atau
polip tunggal yang besar memperlihatkan gejala sleep apnea obstruktif dan
pernafasan lewat mulut yang kronik.2
Pasien dengan polip soliter seringkali hanya memperlihatkan gejala
obstruktif hidung yang dapat berubah dengan perubahan posisi. Walaupun
satu atau lebih polip yang muncul, pasien mungkin memperlihatkan gejala
akut, rekuren, atau rinosinusitis bila polip menyumbat ostium sinus.
Beberapa polip dapat timbul berdekatan dengan muara sinus, sehingga
aliran udara tidak terganggu, tetapi mukus bisa terperangkap dalam sinus.
Dalam hal ini dapat timbul perasaan penuh di kepala, penurunan
penciuman, dan mungkin sakit kepala. Mukus yang terperangkap tadi
cenderung terinfeksi, sehingga menimbulkan nyeri, demam, dan mungkin
perdarahan pada hidung.

15
Manifestasi polip nasi tergantung pada ukuran polip. Polip yang
kecil mungkin tidak menimbulkan gejala dan mungkin teridentifikasi
sewaktu pemeriksaan rutin. Polip yang terletak posterior biasanya tidak
teridenfikasi pada waktu pemeriksaan rutin rinoskopi posterior. Polip yang
kecil pada daerah dimana polip biasanya tumbuh dapat menimbulkan
gejala dan menghambat aliran saluran sinus, menyebabkan gejala-gejala
sinusitis akut atau rekuren.

Gejala Subjektif:
o Hidung terasa tersumbat
o Hiposmia atau Anosmia (gangguan penciuman)
o Nyeri kepala
o Rhinore
o Bersin
o Iritasi di hidung (terasa gatal)
o Post nasal drip
o Nyeri muka Suara bindeng
o Telinga terasa penuh
o Mendengkur
o Gangguan tidur
o Penurunan kualitas hidup

Gejala Objektif:
o Oedema mukosa hidung
o Submukosa hipertropi
o Terlihat massa lunak yang berwarna putih atau kebiruan

16
8. Diagnosis
a) Anamnesis
Keluhan utama penderita polip nasi adalah hidung
tersumbat. Kemudian juga terdapat rhinore yang jernih hingga
purulen, hiposmia atau anosmia, bersin-bersin, dan sakit kepala
daerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati post
nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul
adalah bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan
tidur dan penurunan kualitas hidup.16,17
Selain itu dapat juga menyebabkan gejala pada saluran
napas bawah, berupa batuk kronik dan mengi, terutama pada
penderita polip nasi dengan asma.5
Gejala-gejalanya pada dasarnya sama pada rinosinusitis
intermiten dan persisten serta pada polip hidung, tetapi pola dan
intensitas gejala dapat bervariasi. Bentuk infeksi akut, yang
bersifat intermiten akut dan eksaserbasi akut, biasanya memiliki
gejala yang lebih jelas dan seringkali lebih berat. 18
Polip hidung dapat menyebabkan sumbatan hidung yang
konstan dan non-periodik, yang dapat memiliki rasa seperti katup
yang hanya memungkinkan aliran udara lewat dalam satu arah saja.
Polip hidung dapat menyebabkan hidung tersumbat, yang bisa
menjadi sensasi tekanan dan kepenuhan di hidung dan sinus. Ini
adalah tipikal dari polip hidung pada sinus ethmoid, yang pada
kasus parah dapat menyebabkan pembesaran sinus hidung dan
paranasal yang terlihat pada pemeriksaan radiologis, dan dalam
kasus ekstrim, hiperelioritas. Gangguan bau lebih sering terjadi
pada pasien dengan polip hidung dibandingkan pasien lain dengan
rinosinusitis kronis.18

17
b) Pemeriksaan Fisis
Rinoskopi Anterior Memperlihatkan massa translusen pada
rongga hidung. Deformitas septum membuat pemeriksaan menjadi
lebih sulit. Tampak sekret mukus dan polip multipel atau soliter.
Polip kadang perlu dibedakan dengan konka nasi inferior, yakni
dengan cara memasukan kapas yang dibasahi dengan larutan
efedrin 1% (vasokonstriktor), konka nasi yang berisi banyak
pembuluh darah akan mengecil, sedangkan polip tidak mengecil.
Polip dapat diobservasi berasal dari daerah sinus etmoidalis,
ostium sinus maksilaris atau dari septum. Pada rinoskopi posterior
terkadang dapat dijumpai polip koanal. Sekret mukopurulen ada
kalanya berasal dari daerah etmoid atau rongga hidung bagian
superior, yang menandakan adanya rinosinusitis5

Pembagian stadium polip menurut MacKay dan Lund


(1997)
Stadium 1 Polip terbatas dimeatus media (MM) tidak
keluar ke rongga hidung. Tidak tampak
dengan pemeriksaan rinoskopi anterior
hanya terlihat dengan pemeriksaan
endoskopi.


Stadium 2 Polip sudah keluar dari MM dan tampak


dirongga hidung tetapi tidak memenuhi /
menutupi rongga hidung.

Stadium 3 Polip sudah memenuhi rongga


Hidung.

18
c) Pemeriksaan Penunjang
Adanya Fasilitas endoskopi nasal akan sangat membantu
diagnosis kasus polip baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang tidak
terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan
pemeriksaan nasoendoskopi.5
Nasoendoskopi dilakukan dengan dan tanpa skor
dekongestion dan semi-kuantitatif untuk polip, edema, discharge,
krusta dan jaringan parut (pasca operasi). Polip stadium awal tidak
terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan
pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering
dapat terlihat tangkai polip yang berasal dari ostium assesorius
sinus maksila 18

Endoscopic Appearance (Melitzer et al)

Score 0 Tidak terdapat Polip

Score 1 Tampak polip pada meatus medius

Score 2 Tampak multipel polip pada meatus


medius

Score 3 Polip keluar dari meatus medius

Score 4 Polip memnuhi cavitas nasal

Tabel 6.1 Klasifikasi Polip Hidung dari Endoskopi


Menurut Melitzer.

19
Gambar 6.1 Polip Hidung Pada Naso Endoskopi

Gambar 6.2 Klasifikasi Polip Hidung dari


Endoskopi Menurut Melitzer.

Pada Foto polos sinus paranasal (posisi waters, lateral,


Caldwell dan AP) dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan
adanya batas udara cairan di dalam sinus, tetapi sebenarnya kurang
bermanfaat pada kasus polip nasi karena dapat memberikan kesan
positif palsu atau negative palsu dan tidak dapat memberikan
informasi mengenai keadaan dinding lateral hidung dan variasi
anatomis di daerah kompleks osteomeatal. Pemeriksaan tomografi
computer sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di
hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radng, kelainan
anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks osteomeatal.
Terutama pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi
medikamentosajika ada komplikasi dari sinusitis dan pada
perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi. Biasanya
untuk tujuan penapisan dipakai potongan koronal, sedangkan polip
yang rekuren juga diperlukan potongan aksial.6

20
Gambar 6.4 CT-Scan Sinus menunjukkan polip dan
obstruksi pada ostium sinus maxillaris. P = polyp; O
= ostium; MT = middle turbinate; IT = inferior
turbinate; E = ethmoid sinuses.

Pemeriksaan lain yang mungkin perlu dilakukan adalah tes alergi


yang sebaiknya dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat alergi
lingkungan atau riwayat alergi pada keluarganya. Untuk membedakan
polip alergi atau non alergi. Pada polip alergi ditemukan eosinofil pada
swab hidung, sedang pada polip non alergi ditemukannya neutrofil yang
menandakan adanya sinusitis kronis. Biopsi bila ada kecurigaan keganasan
dan kultur polip nasi

9. Diagnosis Banding
Polip didiagnosa bandingkan dengan konka polipoid, yang ciri
cirinya sebagai berikut: Tidak bertangkai, sulit digerakkan nyeri bila
ditekan dengan pinset mudah berdarah dapat mengecil pada pemakai
anvasokonstriktor (kapas adrenalin). Pada pemeriksaan rinoskopi anterior
cukup mudah untuk membedakan polip dan konka polipoid, terutama
dengan pemberian vasokonstriktor yang juga harus hati - hati
pemberiannya pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena bisa
menyebabkan vasokonstriksi sistemik, maningkatkan tekanan darah yang
berbahaya pada pasien dengan hipertensi dan dengan penyakit jantung
lainnya.

21
Diagnosis banding polip nasi termasuk tumor-tumor jinak yang
dapat tumbuh dihidung seperti kondroma, neurofibroma, angiofibroma dan
lain-lain. Papiloma inversi (Inverted papiloma) adalah tumor hidung yang
secara histologis jinak tapi perangai klinisnya ganas dapat menyebabkan
pendesakan / destruksi dan sering kambuh kembali, penampakannya
sangat merupai polip. Tumor ganas hidung seperti karsinoma atau
sarkoma biasanya unilateral, ada rasa nyeri dan mudah berdarah, sering
menyebabkan destruksi tulang.
Diagnosis banding lain adalah meningokel / meningoensefalokel
pada anak. Biasanya akan menjadi lebih besar pada saat mengejan atau
menangis.6

10. Penatalaksanaan
Tujuan untuk pengobatan adalah untuk elminasi atau mengurangi
ukuran polip secara signifikan yang akan menghasilkan hilangnya keluhan
obstruksi nasal, memperbaiki drainase sinus, dan mengembalikan fungsi
penghidu.
Karena etiologi yang mendasari pada polip nasi adalah reaksi
inflamasi, maka penatalaksanaan medis ditujukan untuk pengobatan yang
tidak spesifik. Pada terapi medikamentosa dapat diberikan kortikosteroid.
Kortikosteroid dapat diberikan secara sistemik ataupun intranasal.
Pemberian kortikosteroid sistemik diberikan dengan dosis tinggi
dalam waktu yang singkat, dan pemberiannya perlu memperhatikan efek
samping dan kontraindikasi. Kortikosteroid oral adalah pengobatan paling
efektif untuk pengobatan jangka pendek dari polip nasi, dan kortikosteroid
oral memiliki efektivitas paling baik dalam mengurangi inflamasi polip.
Kortikosteroid juga dapat diberikan secara intranasal dalam bentuk spray
steroid, yang dapat mengurangi atau menurunkan pertumbuhan polip nasi
yang kecil, tetapi secara relatif tidak efektif untuk polip yang masif.
Steroid intranasal paling efektif pada periode post operatif untuk
mencegah atau mengurangi relaps.

22
Pengobatan juga dapat ditujukan untuk mengurangi reaksi alergi
pada polip yang dihubungkan dengan rhinitis alergi. Pada penderita dapat
diberikan antihistamin oral untuk mengurangi reaksi inflamasi yang
terjadi. Bila telah terjadi infeksi yang ditandai dengan adanya sekret yang
mukopurulen maka inng dapat diberikan antibiotik.7
a) Medikamentosa
Steroid oral dan topikal di berikan pada pengobatan
pertama pada nasal polip. Antihistamin, dekongestan dan sodium
cromolyn memberikan sedikit keuntungan. Imunoterapi mungkin
dapat berguna untuk pengobatan rhinitis alergi, tapi bila di
gunakan sendirian, tak dapat berguna pada polip yang telah ada,
pemberian antibiotik bila terjadi superimposed infeksi bakteri.7
Kortikosteroid adalah pengobatan pilihan, baik secara
topikal maupun sistemik. Injeksi langsung pada polip tidak
dibenarkan oleh Food and Drug Administrationkarena dilaporkan
terdapat 3 pasien dengan kehilangan penglihatan unilateral setelah
injeksi intranasal langsung dengan kenalog. Keamanan mungkin
tergantung pada ukuran spesifik partikel. Berat molekuler yang
besar seperti Aristocort lebih aman dan sepertinya sedikit yang di
pindahkan ke area intrakranial. Hindari injeksi langsung ke dalam
pembuluh darah.19
Steroid oral paling efektif pada pengobatan medis untuk
nasal polipoid. Pada dewasa penulis banyak menggunakan
prednison (30-60mg) selama 4-7 hari dan diturunkan selama 1-3
minggu. Variasi dosis pada anak- anak, tetapi maksimum biasanya
1mg/kb/hari selama 5-7 hari dan diturunkan selama 1-3 minggu.
(13)
Respon dengan kortikosteroid tergambar dari ada atau
tidaknya eosinofilia, jadi pasien dengan polip dan rhinitis alergi
atau asma seharusnya respon dengan pengobatan ini.13

23
Pasien dengan polip yang sedikit eosinofil mungkin tidak
respon terhadap steroids. Penggunaan steroid oral jangka panjang
tidak direkomendasikan karena efek sampingnya yang merugikan
(seperti gangguan pertumbuhan, Diabetes Melitus, hipertensi,
gangguan psikis, gangguan pencernaan, katarak, glukoma,
osteoporosis). Pemberian topikal kortikosteroid di berikan secara
umum karena lebih sedikit efek yang merugikan dibandingkan
pemberian sistemik karena bioavaibilitasnya yang terbatas.
Pemberian jangka panjang khususnya dosis tinggi dan kombinasi
dengan kortiko steroid inhalasi, terdapat resiko penekanan
hipotalamus-pituari-adrenal aksis, pembentukan katarak, gangguan
pertumbuhan, perdarahan hidung, dan pada jarang kasus terjadi
perforasi septum.
Kortikosteroid merupakan antiinflamasi yang biasa
diberikan padapasien polip hidung. Namun, memberikan efek
samping yang serius seperti perdarahan usus bila diberikan dalam
dosis yang besar dan dalam waktu yang lama. Inhibitor COX-2
juga mempunyai efek anti inflamasi dan dikenal tidak memberikan
efek samping pada gastrointestinal.7

b) Pembedahan
Pembedahan dilakukan jika:
o Polip menghalangi saluran nafas
o Polip menghalangi drainase dari sinus sehingga sering
terjadi infeksi sinus
o Polip berhubungan dengan tumor
o Pada anak-anak dengan multipel polip atau kronik
rhinosinusitis yang gagal maksimum dengan obat- obatan.
pengobatan
Beberapa metode pembedahan yang dapat dilakukan yaitu :

24
Polipektomi dilakukan pada kasus polip yang tidak membaik
dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif
dipertimbangkan untuk bedah. Polipektomi sederhana dapat secara
efektif meringankan gejala-gejala pada hidung, khususnya untuk
polip yang terisloasi atau polip dengan jumlah kecil. Operasi ini
menggunakan senar polip atau cunam dengan anelgesi lokal,
etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk
etmoid.
Operasi Caldwell Luc Operasi Caldwell-Luc (CWL) adalah
sebuah operasi yang pada umumnya dilakukan untuk sinusitis
maksilaris kronik dengan beberana nenyebab seperti polip hidung,
dan trauma langsung pada wajah. Operasi ini dilakukan dengan
cara membuat insisi kecil antara gusi dan bibir atas, dan sebagian
kecil tulang maksila biasanya diangkat. Pembukaan sinus yang
menuju ke hidung biasanya diperluas agar drainase sekret menjadi
lebih baik. Operasi ini dapat menimbulkan beberapa efek samping,
seperti pembengkakan pada wajah yang akan mereda dalam
beberapa hari. Efek samping lainnya adalah memar pada leher,
mati rasa pada bibir atas dan daerah sekitar pipi, sakit saat menelan
dan mengunyah dan kadang-kadang perubahan warna pada gigi.
Operasi ini tidak menimbulkan skar karena insisi dilakukan pada
bibir atas.2
BSEF (bedah sinus endoskopi fungsional) adalah teknik
yang lebih baik yang tidak hanya mengangkat polip tetapi juga
membuka katup pada meatus media, yaitu tempat dimana polip
sering terbentuk dan menurunkan angka rekurensi. Prosedur
operasi yang dibutuhkan, apakah komplit atau aerasi sederhana
pada sinus, tidak dapat dtentukan secara pasti karena studi yang
dilakukan masih sangat terbatas. Beberapa studi perbandingan
menunjukkan bahwa complete extirpation memiliki efektifitas
yang lebih baik disbanding aerasi inus, dimana. angka komplikasi

25
rendah bila dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman.
Penggunaan surgical microdebrider telah membuat prosedur ini
lebih cepat dan lebih aman, dan mengurangi kemungkinan
hemostasis dengan visual isasi yang lebih baik.

Gambar 8.1 Algoritme Penanganan Rhinosinusitis


Kronik dengan Nasal Polyp Menuru EPOS

11. Komplikasi
Berikut beberapa komplikasi yang dapa terjadi pada polip nasi:
Polip yang masif yang mengakibatkan sumbatan pada jalan napas (polip
antro coanai) dapat menyebabkan gejala obstrucuve sleep dyspneu,
pernapasan mulut yang berlangsung kronis. Pada kasus fibrosis istik yang
disertai polip nasi juga dapat menyebabkan proptosis, hipertelorisme, dan
diplopia Sinusitis kronik karena terjadi penghambatan drainase sinus.
Obstruktive sleep apneu, suatu kondisi yang serius dimana pernapasan

26
dapat berhenti selama masa tidur. Pada kasus polip nasi yang disertai
kelainan kraniofacial dapat menyebabkan gangguan neurologis yang
menyebabkan penurunan daya pandang.

12. Prognosis
Polip nasi tidak berhubungan dengan angka mortilitas tapi hanya
berpengaruh pada kualitas hidup penderitanya. Polip nasi bersifat rekuren
walaupun telah dilakukan terapi baik medikasi atau
pembedahan.Penggunaan steroid topical dapat memperlambat waktu
rekurensi sehingga kualitas hidup penderita dapat menjadi lebih baik.

27
BAB III

KESIMPULAN

1. Polip nasi merupakan salah satu penyakit yang memberikan keluhan


sumbatan pada hidung yang menetap dan semakin lama semakin berat
dirasakan.
2. Etiologi polip diliteratur terbanyak merupana akibat reaksi
hipersensitivitas yaitu pada proses alergi, sehingga banyak didapatkan
bersamaan dengan adanya rinitis alergi
3. Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan obstruksi hidung, gangguan
penghidu, adanya riwayat rhinitas alergi, keluhan sakit kepala daerah
frontal dengan adanya rinitis alergi.
4. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior ditemukan massa yang lunak dan
halus, tidak nyeri tekan dan tidak mengecil pada pemberian
vasokonstriktor lokal
5. Pentalaksanaan untuk polip nasi ini bisa secara konservatif maupun
operatif, yang biasanya dipertimbangkan dari ukuran polip dan keluhan
pasien.
6. Pasien dengan riwayat rhinitias alergi, polip nasi mempunyai
kemungkinan yang lebih besar untuk rekuren. Sehingga kemungkinan
pasien harus menjalani polipektomi beberapa kali dal

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Amaliyah Taufik FP,2013. bilateral recurrent nasal polyps stadium 2 in


women with history of polypectomy and persistent allergic rhinitis.
Medula, Volume 1, Nomor 5.
2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 2012. Polip Hidung
Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan
Leher, edisi ke-7. Jakarta: FKUI
3. Ahmad Maymane Jahroni. The Epidemological & Clinical aspect of
Nasal Polyps that Require Surgery. Iranian Journal Of
Otorhynolaryngology.2012 : 2 (4) : 72-75
4. Ardani D,Pawarrti D.2008. Polip hidung dan penatalaksaanVol. 1 - No. 1
page : 32 – 40
5. Jobran B, Alotaibi AE, Asiri A, Alhayyani RM, Almanie N. 2017. Nasal
Polyps and its Histo-Pathological Evaluation. The Egyption Journal of
Hospital Medicine Vol 70. Halaman 2022-2024
6. Bestari BJ, Asyari A. 2013. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis
Dengan Polip Nasi. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
7. Rajguru N. 2014. Nasal Polyposis: Current Trends. Indian J Otolaryngol
Head Neck Surg (January 2014) 66(Suppl 1):S16–S21
8. Ahmad MaymaneJahroni. The Epidemological & Clinical aspect of
Nasal Polyps that Require Surgery. Iranian Journal Of
Otorhynolaryngology. 2012 : 2 (4) : 72-75
9. Hulse, Kathryn E., et al. "Pathogenesis of nasal polyposis." Clinical &
Experimental Allergy 45.2 (2015): 328-346.
10. Makowska, Joanna; Lewandowska–Polak, Anna; Kowalski, Marek L.
Hypersensitivity to aspirin and other NSAIDs: diagnostic approach in
patients with chronic rhinosinusitis. Current allergy and asthma reports,
2015, 15.8: 47.

29
11. Gelardi, M., et al. Allergic and non-allergic rhinitis: relationship with
nasal polyposis, asthma and family history. Acta Otorhinolaryngologica
Italica, 2014, 34.1: 36.
12. Varshney, Himanshu, et al. Importance of CT scan of paranasal sinuses in
the evaluation of the anatomical findings in patients suffering from
sinonasal polyposis. Indian Journal of Otolaryngology and Head & Neck
Surgery, 2016, 68.2: 167-172.
13. MAINZ, Jochen G.; KOITSCHEV, Assen. Pathogenesis and management
of nasal polyposis in cystic fibrosis. Current allergy and asthma reports,
2012, 12.2: 163-174.
14. Jeong, Jin Hyeok, et al. Nasal and exhaled nitric oxide in chronic
rhinosinusitis with polyps. American journal of rhinology & allergy, 2014,
28.1: e11-e16.
15. Tortora, Gerald J., & Derrickson, B. 2014. Principles of Anatomy &
Physiology. USA: John Wiley & Sons. Inc
16. Maharjan S,Puja N et all. 2017.Nasal Polyposis volume 8 issue 2.
17. Soltankhah Saleh M,Majidi Rezak M,et all, Medical Treatment of Nasal
Polyp, Rev Clin Med 2015; Vol 2 (No 1)
18. Fokken W., et al. 2012. European Position Paper on Rhinosinusitis and
Nasal Polyps.

30

Anda mungkin juga menyukai