Anda di halaman 1dari 38

BAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN OKTOBER


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

CHOLESTEATOMA PRIMER

Oleh:
Iqra Ayudia Syahra
105101101920

Pembimbing :
dr. Yunida Andriani, M.Kes., Sp.THT-KL.

Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MAKASSAR
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menerangkan bahwa:

Nama : IQRA AYUDIA SYAHRA

Judul Referat : CHOLESTEATOMA PRIMER

Telah menyelesaikan referat dalam rangka Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit

THT-KL Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah

Makassar.

Makassar, Oktober 2022

Pembimbing,

dr. Yunida Andriani, M.Kes., Sp.THT-KL

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas rahmat, hidayah, kesehatan dan

kesempatan-Nya sehingga referat dengan judul “Cholesteatoma Primer” ini dapat

terselesaikan. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW, sang

pembelajar sejati yang memberikan pedoman hidup yang sesungguhnya.

Pada kesempatan ini, secara khusus penulis mengucapkan terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dosen pembimbing, dr. Yunida Andriani,

M.Kes., Sp.THT-KL yang telah memberikan petunjuk, arahan dan nasehat yang sangat

berharga dalam penyusunan sampai dengan selesainya referat ini.

Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak terdapat kelemahan dan kekurangan

dalam penyusunan referat ini, baik dari isi maupun penulisannya. Untuk itu kritik dan

saran dari semua pihak senantiasa penulis harapkan demi penyempurnaan referat ini.

Demikian, semoga refarat ini bermanfaat bagi pembaca secara umum dan penulis

secara khususnya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL ..................................................................................................................

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... i

KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 2

A. ANATOMI TELINGA .................................................................................. 2

B. FISIOLOGI PENDENGARAN..................................................................... 8

C. DEFINISI ...................................................................................................... 12

D. EPIDEMIOLOGI .......................................................................................... 13

E. PATOGENESIS ............................................................................................ 14

F. KLASIFIKASI .............................................................................................. 20

G. DIAGNOSIS .................................................................................................. 20

H. DIAGNOSIS BANDING .............................................................................. 25

I. PENATALAKSANAAN .............................................................................. 30

J. KOMPLIKASI .............................................................................................. 30

K. PROGNOSIS ................................................................................................. 31

BAB III KESIMPULAN ......................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 33

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Kolesteatoma adalah suatu kista epiterial yang berisi deskuamasi epitel (keratin).
Deskuamasi terbentuk terus lalu menumpuk sehingga kolesteatoma bertambah besar.
Istilah kolesteatoma mulai diperkenalkan oleh Johanes Muller pada tahun 1838 karena
disangka kolesteatoma merupakan suatu tumor, yang ternyata bukan. Beberapa istilah
lain yang diperkenalkan oleh para ahli antara lain adalah keratoma (Schucknecht),
squamous epiteliosis (Birrel, 1958), kolesteatosis (Birrel, 1958), epidermoid
kolesteatoma (Friedman, 1959), kista epidermoid (Ferlito, 1970), epidermosis (Sumarkin,
1988)1.

Kolesteatoma bisa bawaan atau didapat, yang dimana kolesteatoma didapat terjadi
jauh lebih sering. Kolesteatoma didapat dapat timbul melalui tiga mekanisme
patogenetik. Tanda klinis kolesteatoma dapat bervariasi dari waktu ke waktu. Pada
awalnya kolesteatoma dapat tumbuh secara diam-diam dan dapat mencapai ukuran yang
signifikan tanpa menyebabkan gejala apapun selain gangguan pendengaran. Seiring
waktu, kolesteatoma biasanya akan terinfeksi, menyebabkan keluarnya cairan berbau
tidak sedap. Kotoran dapat merespon pengobatan dengan antibiotik tetes telinga, tetapi
perbaikan biasanya hanya sementara. Kotoran telinga yang berulang atau terus-menerus
harus membuat satu kecurigaan kolesteatoma, bahkan ketika lesi tidak terbukti secara
klinis2.

Insiden kolesteatoma bervariasi di seluruh dunia, tergantung pada setiap populasi.


Manolidis et al. mempelajari epidemiologi kolesteatoma di Yunani dari tahun 1960
hingga 1987 dan menemukan frekuensi yang sama di antara pasien dari semua kelas
sosial. Nelson et al. mengungkapkan kejadian kolesteatoma sebagai sekitar 1,4 kali lebih
tinggi pada pria dibandingkan dengan wanita. Potsic et al. menunjukkan prevalensi tinggi
pada populasi Kaukasia, diikuti oleh keturunan Afro dalam studi epidemiologi mereka.
Kolesteatoma jarang terlihat pada orang Asia3.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI TELINGA
Organ pendengaran dan keseimbangan dibagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar,
telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar adalah bagian yang memanjang dari luar
kepala hingga membran timpani. Telinga tengah adalah ruang berisi udara yang
terletak di medial membran timpani. Telinga bagian dalam adalah satu set ruang berisi
cairan di medial telinga tengah. Telinga luar dan tengah hanya terlibat dalam
pendengaran, sedangkan telinga bagian dalam berfungsi baik dalam pendengaran
maupun keseimbangan4.

Gambar 1. Anatomi Telinga4

Telinga Luar
Daun telinga (auricle) adalah bagian berdaging dari telinga luar di bagian luar
kepala. Daun telinga membuka ke meatus akustik eksternal, sebuah lorong yang
mengarah ke membran timpani. Daun telinga mengumpulkan gelombang suara dan
mengarahkannya ke meatus akustik eksternal, yang mentransmisikannya ke membran
timpani. Meatus akustik eksternal dilapisi dengan rambut dan kelenjar serumen, yang

2
menghasilkan cerumen, sebum yang dimodifikasi yang biasa disebut kotoran telinga.
Rambut dan serumen membantu mencegah benda asing mencapai membran timpani
yang halus. Membran timpani adalah membran tipis yang memisahkan telinga luar
dari telinga tengah. Ini terdiri dari lapisan tipis jaringan ikat yang diapit di antara dua
lapisan epitel. Gelombang suara yang mencapai membran timpani menyebabkannya
bergetar4.

Telinga Tengah
Telinga tengah ialah rongga yang berisi udara pada medial membran timpani.
Terdapat dua bukaan tertutup, oval window dan round window di sisi medial telinga
tengah, menghubungkan telinga tengah dengan telinga bagian dalam. Pada telinga
tengah terdapat tiga tulang pendengaran yaitu malleus, incus dan stapes. Tulang-tulang
ini mentransmisikan getaran dari membran timpani ke oval window. Malleus melekat
pada permukaan medial membran timpani. Incus menghubungkan malleus ke stapes.
Dasar stapes terletak di oval window dan dikelilingi oleh ligamen yang fleksibel4.
Dua otot kecil di telinga tengah membantu meredam getaran tulang-tulang
pendengaran yang disebabkan oleh suara keras. Otot tensor timpani melekat pada
maleus dan dipersarafi oleh nervus trigeminus. Otot stapedius melekat pada stapes dan
dipersarafi oleh nervus facialis4.

Gambar 2. Telinga Tengah4


Terdapat dua lubang yang merupakan saluran udara dari telinga tengah. Satu
bagian membuka ke sel udara mastoid di proses mastoid tulang temporal. Lorong

3
lainnya adalah tabung pendengaran, juga disebut tabung pharyngotympanic atau tuba
eustachius. Tabung pendengaran membuka ke dalam faring dan memungkinkan
tekanan udara menjadi seimbang antara udara luar dan rongga telinga tengah4.
Ketika seseorang berada di ketinggian, tekanan udara di luar membran timpani
berubah relatif terhadap tekanan udara di telinga tengah. Dengan peningkatan
ketinggian, tekanan di luar membran timpani menjadi kurang dari tekanan udara di
dalam telinga tengah dan membran timpani terdorong keluar. Dengan penurunan
ketinggian, tekanan udara di luar telinga menjadi lebih besar daripada di telinga tengah
dan membran timpani terdorong ke dalam. Distorsi membran timpani dapat membuat
suara terdengar teredam dan merangsang rasa sakit. Gejala-gejala ini dapat dikurangi
dengan membuka tabung pendengaran untuk memungkinkan udara melewati tabung
pendengaran untuk menyamakan tekanan udara. Menelan, menguap, mengunyah, dan
menutup hidung dan mulut sambil dengan lembut mencoba memaksa udara keluar dari
paru-paru adalah metode yang digunakan untuk membuka tabung pendengaran4.

Telinga Dalam

Telinga bagian dalam berisi organ sensorik untuk pendengaran dan


keseimbangan. Terdiri dari interkoneksi, terowongan berisi cairan dan ruang di dalam
tulang temporal yang disebut tulang labirin. Tulang labirin dilapisi dengan endosteum.
Tulang labirin dibagi menjadi tiga wilayah yaitu cochlea, vestibulum dan kanalis
semisirkularis. Vestibulum dan kanalis semisirkularis terlibat terutama dalam
keseimbangan dan koklea terlibat dalam pendengaran4.
Di dalam tulang labirin terdapat terowongan dan ruang membran yang bentuknya
sama tetapi lebih kecil yang disebut membran labirin. Membran labirin diisi dengan
cairan bening yang disebut endolymph dan ruang antara labirin membran dan tulang
diisi dengan cairan yang disebut perilymph. Perilimfe sangat mirip dengan cairan
cerebrospinal, tetapi endolimfe memiliki konsentrasi kalium yang tinggi dan
konsentrasi natrium yang rendah, yang berlawanan dengan perilimfe dan cairan
cerebrospinal. Membran labirin koklea memisahkan labirin tulang menjadi dua
bagian4.

4
Gambar 3. Telinga Dalam4

Koklea berbentuk seperti cangkang siput yaitu tabung yang melingkar. Dasar
koklea terhubung ke ruang depan dan puncak koklea adalah ujung tabung melingkar.
Inti tulang koklea di sekeliling tabung yang melingkar, berbentuk seperti sekrup
dengan benang yang disebut lamina spiral. Kompleks membran berbentuk Y membagi
koklea menjadi tiga bagian. Dasar dari Y adalah lamina spiral, satu cabang dari Y
adalah membran vestibular dan cabang lainnya adalah membran basilar. Ruang antara
membran ini disebut duktus koklearis. Kompleks membrane yang berbentuk Y ini
adalah labirin membranosa dan dipenuhi dengan endolimfe. Jika Y dipandang miring
ke kanan, ruang di atas Y disebut skala vestibuli dan ruang di bawahnya Y disebut
skala timpani, dan kedua ruang ini diisi dengan perilimfe4.
Oval window menghubungkan telinga tengah dengan vestibulum telinga bagian
dalam, yang pada gilirannya menghubungkan ke skala vestibuli. Skala vestibuli
memanjang sepanjang koklea dan menghubungkan ke skala timpani di puncak koklea.
Bukaan yang menghubungkan dua ruang disebut helicotrema sebuah lubang di ujung
heliks atau spiral. Skala timpani memanjang dari puncak koklea ke round window,
yang menghubungkan ke telinga tengah yang ditutup dengan membran4.

5
Gambar 4. Struktur Koklea4

Sel-sel di dalam duktus koklearis sangat dimodifikasi untuk membentuk struktur


yang disebut organ spiral, atau organ Corti yang terletak pada membran basilar. Organ
spiral mengandung sel epitel pendukung dan sel sensorik khusus yang disebut sel
rambut, yang memiliki tonjolan seperti rambut di ujung apikalnya. Proyeksinya adalah
mikrovili yang sangat panjang yang disebut stereosilia. Sel rambut tidak memiliki
akson, tetapi daerah basilar dari setiap sel rambut ditutupi oleh terminal sinaptik
neuron sensorik. Stimulasi neuron-neuron ini oleh sel-sel rambut menghasilkan
produksi potensial aksi, yang ditransmisikan ke otak. Sel-sel rambut tersusun dalam
empat baris panjang yang memanjang sepanjang duktus koklearis. Setiap baris berisi
3500-4000 sel rambut. Baris dalam terdiri dari sel-sel rambut, yang merupakan sel-sel
rambut yang terutama bertanggung jawab untuk pendengaran. Tiga baris terluar berisi
sel-sel rambut luar. Ujung stereosilia terpanjang dari sel rambut luar tertanam dalam
lapisan gelatin aselular yang disebut membran tektorial, yang melekat pada lamina

6
spiral. Sel-sel rambut luar terlibat dalam mengatur ketegangan membran basilar dan
dipisahkan dari sel-sel rambut dalam oleh celah di membran basilar. Stereosilia dari
satu sel rambut bagian dalam membentuk kelompok kerucut yang disebut bundel
rambut. Panjang masing-masing stereosilia dalam seikat rambut meningkat secara
bertahap dari satu sisi sel rambut ke sisi lainnya. Stereosilia sel rambut luar tersusun
dalam garis lengkung4.
Tautan ujung menghubungkan ujung setiap stereosilia dalam bundel rambut ke
sisi stereosilia yang lebih panjang berikutnya. Setiap ujung penghubung adalah
gerbang pegas, sepasang untaian mikrotubulus yang menempel pada gerbang saluran
K+ yang terjaga keamanannya. Saluran K+ sel rambut terbuka secara mekanis. Saat
stereosilia menekuk, gerbang pegas menarik gerbang K+ terbuka. Waktu respons
untuk mekanisme semacam itu sangat singkat. Stereosilia dikelilingi oleh perilimfe,
yang memiliki konsentrasi K+ yang tinggi. Ketika saluran K+ terbuka, K+ bermuatan
positif bergerak ke dalam stereosilia, menghasilkan depolarisasi sel-sel rambut. Sel-
sel rambut melepaskan neurotransmitter glutamat, yang menghasilkan produksi
potensial aksi di neuron sensorik yang mempersarafi sel-sel rambut4.

Gambar 5. Proses Tautan Stereosilia4

7
B. FISIOLOGI PENDENGARAN
Pendengaran adalah persepsi energi suara oleh saraf. Pendengaran melibatkan dua
aspek yaitu identifikasi suara dan lokalisasinya. Gelombang suara adalah getaran udara
yang merambat. Gelombang suara terdiri dari daerah-daerah yang bertekanan tinggi
akibat kompresi molekul udara dan bergantian dengan daerah-daerah bertekanan
rendah akibat peregangan molekul. Setiap alat yang mampu menghasilkan gangguan
pola molekul udara seperti itu adalah sumber suara. Contoh sederhana adalah garpu
tala. Ketika garpu tala dipukulkan, bilahnya akan bergetar. Sewaktu bilah garputala
bergerak ke satu arah, molekul-molekul udara di depannya terdorong saling merapat
atau memadat, dan meningkatkan tekanan di daerah ini. Secara bersamaan, sewaktu
bilah maju ke depan, molekul-molekul udara dibelakangnya menyebar, atau teregang,
dan menurunkan tekanan di daerah tersebut. Sewaktu bila bergerak ke arah berlawanan
tercipta gelombang pemadatan dan peregangan yang berlawanan. Meskipun masing-
masing molekul hanya bergerak dalam jarak dekat ketika bilah bergetar, gelombang
pemadatan dan peregangan menyebar ke jarak yang jauh seperti riak air. Molekul-
molekul udara yang “terganggu” akan mengganggu molekul-molekul di dekatnya,
membentuk daerah-daerah baru pemadatan dan peregangan, demikian seterusnya.
Energi suara secara bertahap melemah sewaktu gelombang suara berjalan menjauh
dari sumbernya energi suara akhirnya hilang ketika gelombang suara terakhir terlalu
lemah untuk mengganggu molekul-molekul udara disekitarnya5.
Gelombang suara juga dapat merambat melalui media selain udara, misalnya air
namun perambatan ini kurang efisien diperlukan tekanan lebih besar untuk
menimbulkan pergerakan cairan dibandingkan dengan pergerakan udara karena inersia
(resistensi terhadap perubahan) cairan yang lebih besar5.
Suara ditandai oleh nadanya (pitch), intensitasnya (kekuatan), dan warna suaranya
(timbre). Nada suatu suara ditentukan oleh frekuensi getaran. Semakin besar frekuensi
getaran, semakin tinggi nada. Telinga manusia dapat mendeteksi gelombang suara
dengan frekuensi dari 20 hingga 20.000 siklus per detik atau, hertz (Hz) tetapi paling
peka untuk frekuensi antara 1000 dan 4.000 Hz. Intensitas atau kekuatan suara
bergantung pada amplitudo gelombang suara atau perbedaan tekanan antara daerah
pemadatan bertekanan tinggi dan daerah peregangan bertekanan rendah. Dalam
rentang pendengaran, semakin besar amplitude, semakin keras suara. Telinga manusia

8
dapat mendengar intensitas suara dengan kisaran yang lebar, dari bisikan paling lemah
hingga bunyi pesawat lepas landas yang memekakkan telinga. Kekuatan suara diukur
dalam desibel (dB), yaitu ukuran logaritmik intensitas dibandingkan dengan suara
paling lemah yang masih terdengar atau ambang pendengaran. Karena hubungannya
yang logaritmik setiap 10 dB menunjukkan peningkatan 10 kali lipat kekuatan suara.
Suara yang lebih besar daripada 100 dB dapat merusak secara permanen perangkat
sensorik sensitif di koklea5.
Warna suara, atau kualitas, suatu suara bergantung pada overtone, yaitu frekuensi
tambahan yang mengenai nada dasar. Garpu tala memiliki nada murni, tetapi Sebagian
besar suara tidaklah murni. Sebagai contoh, campuran kompleks overtone
menimbulkan suara yang yang berbeda pada berbagai alat musik yang memainkan
nada yang sama. Overtone juga berperan menyebabkan perbedaan karakteristik suara
orang. Warna suara memungkinkan pendengar membedakan sumber gelombang suara
karena setiap sumber suara menghasilkan pola overtone yang berbeda-beda5.
Sel-sel reseptor khusus untuk pendengaran terletak di telinga dalam yang berisi
cairan. Gelombang suara di udara harus dapat disalurkan ke arah dan dipindahkan ke
dalam telinga dalam, dengan kompensasi pengurangan energi yang terjadi secara alami
dalam proses ketika gelombang suara berpindah dari udara ke air. Fungsi ini
dilaksanakan oleh telinga luar dan telinga tengah5.
Pinna (daun telinga) mengumpulkan gelombang suara dan mengarahkannya ke
meatus akustikus eksternal. Gelombang suara merambat relatif lambat di udara, 332
m/s, dan selang waktu yang kecil dapat berlalu antara waktu gelombang suara
mencapai satu telinga dan waktu mencapai telinga lainnya. Otak dapat menafsirkan
interval ini untuk menentukan arah datangnya suara. Gelombang suara dilakukan
melalui meatus akustikus eksternal dan mengenai membran timpani, menyebabkannya
bergetar4.
Getaran membran timpani menyebabkan getaran dari tiga tulang pendengaran di
telinga tengah, dan dengan hubungan mekanis ini getaran ditransfer ke jendela oval.
Jendela oval kira-kira 20 kali lebih kecil dari membran timpani. Gaya mekanik getaran
diperkuat sekitar 20 kali lipat saat melewati dari membran timpani melalui ossicles
pendengaran ke jendela oval karena perbedaan ukuran ini. Amplifikasi ini diperlukan

9
karena lebih banyak gaya yang diperlukan untuk menyebabkan getaran dalam cairan,
seperti perilimfe telinga bagian dalam, daripada yang dibutuhkan di udara4.
Otot tensor timpani dan stapedius melekat pada tulang-tulang pendengaran. Suara
yang terlalu keras menyebabkan otot-otot ini secara refleks berkontraksi dan meredam
gerakan tulang-tulang pendengaran. Reflektor redaman suara ini melindungi struktur
telinga bagian dalam yang halus dari kerusakan akibat suara keras. Refleksi redaman
suara merespons paling efektif terhadap suara frekuensi rendah dan dapat mengurangi
hingga 100 kali energi yang mencapai jendela oval. Reflektor terlalu lambat untuk
mencegah kerusakan akibat suara bising yang tiba-tiba, seperti suara tembakan, dan
tidak dapat berfungsi secara efektif selama lebih dari sekitar 10 menit, sebagai respons
terhadap kebisingan yang berkepanjangan4.
Saat stapes bergetar dapat menghasilkan gelombang suara di perilimfe skala
vestibuli. Getaran perilimfe ditransmisikan melalui membran vestibular dan
menyebabkan getaran simultan pada endolimfe. Efek mekanisnya adalah seolah-olah
perilimfe dan endolimfe adalah cairan tunggal karena membran vestibular sangat tipis.
Getaran endolimfe menyebabkan distorsi membran basilar, yang paling penting untuk
pendengaran. Saat membran basilaris bergerak, sel-sel rambut yang berada di atasnya
bergerak relatif terhadap membran tektorial, yang tetap diam. Stereosilia sel rambut
bagian dalam bengkok saat bergerak melawan membran tektorial, menghasilkan
pelepasan neurotransmitter dan produksi potensial aksi di neuron sensorik4.
Membran basilar tidak seragam sepanjang panjangnya. Membran lebih sempit dan
lebih padat di dekat jendela oval dan lebih lebar dan kurang padat di dekat puncak
koklea. Berbagai daerah membran dapat dibandingkan dengan senar pada piano, yang
memiliki senar dengan panjang dan ketebalan yang bervariasi. Sebagai hasil dari
organisasi ini, suara dengan nada yang lebih tinggi menyebabkan basilar membran di
dekat jendela oval akan terdistorsi secara maksimal, sedangkan suara dengan nada
yang lebih rendah menyebabkan membran basilar yang lebih dekat dengan puncak
koklea terdistorsi secara maksimal. Tergantung pada sel rambut mana yang dirangsang
sepanjang membran basilar, otak menafsirkan nada dan timbre suara. Volume suara,
atau kenyaringan, adalah fungsi dari amplitudo gelombang suara. Dengan
meningkatnya volume suara, getaran membran basilar meningkat, stimulasi sel-sel

10
rambut meningkat, dan produksi potensial aksi meningkat. Otak menafsirkan frekuensi
potensial aksi yang lebih tinggi sebagai suara yang lebih keras4.
Sel-sel rambut luar terlibat dalam mengatur ketegangan membran basilar, sehingga
meningkatkan kepekaan telinga bagian dalam terhadap suara. Stimulasi sel-sel rambut
bagian dalam oleh sistem saraf merangsang kontraksi filamen aktin di dalam sel-sel
rambut, menyebabkan mereka memendek. Penyesuaian tinggi sel rambut luar, yang
melekat pada membran basilar dan membran tektorial, menyempurnakan ketegangan
membran basilar dan jarak antara membran basilar dan membran tektorial. Gelombang
suara di perilimfe skala vestibuli juga ditransmisikan sepanjang skala vestibuli dan
melalui helikotrema ke perilimfe skala timpani. Transmisi gelombang suara mungkin
tidak terlalu berpengaruh karena helico trema sangat kecil. Getaran membran basilaris
menghasilkan sebagian besar gelombang suara di perilimfe skala timpani. Gelombang
suara pada skala timpani perilimfe menyebabkan getaran pada membran jendela
bundar. Getaran membran jendela bundar penting untuk pendengaran karena bertindak
sebagai pelepasan mekanis gelombang suara dalam skala timpani. Jika jendela ini
padat, itu akan memantulkan gelombang suara, yang akan mengganggu dan meredam
gelombang suara selanjutnya. Jendela bundar juga memungkinkan pelepasan tekanan
di perilimfe karena cairan tidak dapat dikompresi, sehingga mencegah kerusakan
kompresi pada organ spiral4.

Gambar 6. Transmisi gelombang suara4

11
Akson neuron sensorik yang mensuplai sel rambut membentuk saraf koklea.
Neuron sensorik ini adalah neuron bipolar, dan badan selnya berada di koklea atau
spiral dan ganglion terletak di inti tulang koklea. Saraf koklea bergabung dengan saraf
vestibular menjadi saraf vestibulocochlear, yang melintasi meatus akustikus internal
dan memasuki rongga tengkorak. Indra khusus pendengaran dan keseimbangan
keduanya ditransmisikan oleh saraf vestibulocochlear. Istilah vestibular mengacu pada
ruang depan telinga bagian dalam, yang terlibat dalam keseimbangan. Istilah koklea
mengacu pada koklea telinga bagian dalam, yang terlibat dalam pendengaran. Saraf
vestibulocochlear berfungsi sebagai dua saraf terpisah yang membawa informasi dari
dua struktur yang terpisah tetapi terkait erat4.
Jalur pendengaran di dalam sistem saraf pusat sangat kompleks, dengan jalur yang
bersilangan dan tidak bersilangan. Kerusakan sistem saraf pusat unilateral biasanya
memiliki sedikit efek pada pendengaran. Neuron dari ganglion koklea bersinaps
dengan neuron sistem saraf pusat di nukleus koklea di medula oblongata. Neuron-
neuron ini selanjutnya bersinaps atau melewati nukleus olivarius superior di medula
oblongata. Neuron yang berakhir di nukleus olivarius superior dapat bersinaps dengan
neuron eferen yang kembali ke koklea untuk memodulasi persepsi nada. Serabut saraf
dari nukleus olivarius superior juga berproyeksi ke nukleus trigeminal, yang
mengontrol tensor timpani dan nukleus fasialis, yang mengontrol otot stapedius. Ini
adalah bagian dari jalur reflex redaman suara. Neuron asendens dari nukleus olivarius
superior bersinaps di kolikulus inferior, dan neuron dari sana berproyeksi ke thalamus,
di mana mereka bersinaps dengan neuron yang memproyeksikan ke korteks. Neuron
ini berakhir di korteks pendengaran. Neuron dari colliculi inferior juga
memproyeksikan ke colliculi superior, di mana refleks yang memutar kepala dan mata
sebagai respons terhadap suara keras dimulai4.

C. DEFINISI
Kolesteatoma primer tidak ada riwayat otitis media sebelumnya atau tidak ada
perforasi sebelumnya. Kolesteatoma juga sering disebut keratoma. Merupakan
pertumbuhan epitel skuamosa keratinisasi yang berasal dari lapisan luar membran
timpani atau saluran telinga yang menginvasi celah telinga tengah (ruang berisi udara
yang berada di medial bidang membran timpani). Kolesteatoma memiliki dua

12
komponen yaitu debris keratin aselular yang membentuk isi kantung, dan matrix yang
membentuk kantung itu sendiri. Matriks kolesteatoma terdiri dari lapisan dalam epitel
skuamosa berkeratin dan lapisan luar jaringan ikat sub epitel (perimatrix). Matriks
adalah komponen aktif biologis dari kolesteatoma dimana lapisan epitel menghasilkan
keratin, sedangkan lapisan subepitel mengandung sel mesenkim yang dapat menyerap
tulang dan memberikan sifat invasif pada kolesteatoma2.

D. EPIDEMIOLOGI
Perkiraan berdasarkan analisis retrospektif data operasi rumah sakit dan populasi
yang dilayani telah menunjukkan insiden 0,3/10,000 per tahun di Denmark, 0,7/10,000
per tahun pada anak-anak di Iowa 0,9/10,000 per tahun di Finlandia, 1,3/10,000 per
tahun di Skotlandia dan 0,1-1,6/10,000 per tahun di Irlandia Utara. Di Gothenburg
dilaporkan 0,04/10.000 per tahun dan 6,6/10.000 per tahun di Israel. Hal ini
memungkinkan untuk memperkirakan prevalensi kolesteatoma dari studi epidemiologi
gangguan membran timpani. Studi berbasis populasi ini umumnya mengamati
populasi kurang dari 10.000 pasien dan mungkin tidak akurat jika prevalensi
kolesteatoma sangat rendah. Sebuah survei di Yerusalem telah menyarankan
prevalensi kolesteatoma setinggi 7/10.000 anak-anak, dengan survei di Vietnam
menunjukkan prevalensi yang sama dari 6/10.000 anak-anak. Populasi Inuit, yang
memiliki insiden tinggi otitis media supuratif kronis, memiliki prevalensi
kolesteatoma yang agak lebih rendah yaitu 0,5/10.000 dalam survei berbasis populasi
pada anak-anak. Pada anak-anak Aborigin, prevalensi kolesteatoma adalah 5/10.000
dalam sebuah penelitian terhadap 7.326 telinga6.
Kolesteatoma mempengaruhi sekitar tiga kali lipat pada pria dibandingkan pada
wanita. Proporsi laki-laki dan perempuan pada masa kanak-kanak pada penduduk
berusia kurang dari 16 tahun secara statistik tidak berbeda dengan rasio pada masa
dewasa. Distribusi patologi membran timpani pada kolesteatoma pada anak-anak
berbeda dengan orang dewasa. Pada anak-anak ada tingkat kolesteatoma yang secara
signifikan lebih tinggi terkait dengan patologi pars tensa dibandingkan pada orang
dewasa. Pada orang dewasa, kolesteatoma attic lebih sering terjadi. Penyebaran
kolesteatoma telinga tengah melalui tulang temporal juga berbeda pada anak-anak
dibandingkan dengan orang dewasa. Kolesteatoma pediatrik lebih sering melibatkan

13
bagian ekstrem dari ruang telinga tengah (tuba eustachius, mesotympanum anterior,
daerah retrolabirin dan ujung mastoid) daripada kolesteatoma pada orang dewasa.
Kolesteatoma dewasa, bagaimanapun, lebih sering melibatkan epitympanum anterior6.

E. PATOGENESIS
Kolesteatoma primer mengacu pada kolesteatoma yang timbul dari retraksi
sederhana pars flaccida. Kolesteatoma didapat sekunder mengacu pada kolesteatoma
yang muncul dalam pengaturan perforasi membran timpani, biasanya di kuadran
posterosuperior telinga tengah. Ada 4 teori utama yang diajukan untuk menjelaskan
etiopatogenesis kolesteatoma primer: (1) invaginasi membran timpani; (2) migrasi
epitel melalui perforasi membran timpani; (3) hiperplasia sel basal; dan (4) metaplasia
skuamosa. Mekanisme kelima, implantasi, juga terbentuk dan membutuhkan sedikit
penjelasan. Dalam kasus implantasi, sel epitel skuamosa dipindahkan ke ruang telinga
tengah baik secara iatrogenik (misalnya, timpanoplasty, penempatan tabung
timpanostomy) atau secara traumatis. Ini adalah mekanisme yang tidak biasa misalnya,
prevalensi kolesteatoma setelah pemasangan tabung ventilasi kurang dari 1%7.

1. Teori Invaginasi
Kolesteatoma teori invaginasi umumnya dianggap sebagai salah satu mekanisme
utama pembentukan kolesteatoma attic. Kantong retraksi pars flaccida menjadi
lebih dalam karena tekanan negatif telinga tengah dan kemungkinan inflamasi
berulang. Saat kantong retraksi semakin dalam, keratin yang mengalami
deskuamasi tidak dapat dibersihkan dari reses, dan terjadi kolesteatoma. Awal
kolesteatoma saku retraksi tersebut dianggap disfungsi tuba eustachius dengan
resultan tekanan negatif telinga tengah (ex vacuo theory). Biasanya, pars flaccida
yang kurang berserat dan kurang tahan terhadap perpindahan, adalah sumber
kolesteatoma. Hasil dari kolesteatoma jenis ini (disebut kolesteatoma primer)
adalah defek yang jelas pada kuadran posterosuperior membran timpani dan erosi
dinding saluran yang berdekatan. Meskipun kelainan ini memiliki penampilan
perforasi marginal, itu bukan perforasi, melainkan invaginasi. Sadé menunjukkan
bahwa pola migrasi epitel dalam kantong retraksi attic diubah. Kegagalan migrasi
epitel ini memungkinkan akumulasi keratin dalam kantong retraksi, dengan

14
pembesaran berikutnya hanya dari akumulasi keratin dalam ruang yang relatif
tertutup. Teori ini telah didukung oleh percobaan pembuatan kantong retraksi
dengan menggunakan obstruksi tuba eustachius, dan ligasi kanalis auditorius
eksternal. Ruah dan rekan menyarankan bahwa peradangan telinga tengah dan
mesenkim persisten menyebabkan reaksi inflamasi yang lebih besar di pars flaccida
dan kuadran posterosuperior membran timpani tulang temporal manusia dengan
otitis media serosa dan purulen pada anak-anak. Temuan ini mendukung teori
kolesteatoma didapat primer pada anak-anak. Kantong retraksi dianggap sebagai
prekursor kolesteatoma. Bakteri dapat menginfeksi matriks keratin, membentuk
biofilm yang menyebabkan infeksi persisten kronis. Kehadiran biofilm bakteri
dalam matriks kolesteatoma dapat menyebabkan proliferasi epitel dan invasi
kolesteatoma8.

2. Teori Migrasi Epitel


Teori migrasi epitel menyatakan bahwa epitel skuamosa keratinisasi dari
permukaan membran timpani menginvasi atau bermigrasi ke telinga tengah dari
perforasi pada membran timpani. Teori ini didukung oleh observasi klinis dan bukti
eksperimental. Weiss menunjukkan bahwa sel-sel epitel dapat bermigrasi di
sepanjang permukaan dengan proses yang disebutnya panduan kontak, dan ketika
mereka bertemu dengan permukaan epitel lain mereka berhenti bermigrasi, yang di
gunakan istilah penghambatan kontak. van Blitterswijk dan Grote melaporkan
bahwa sitokeratin 10 yang terlihat pada epidermis meatus dan epitel yang
bermigrasi lebih disukai diekspresikan dalam matriks kolesteatoma daripada di
mukosa telinga tengah. Temuan ini menunjukkan asal epidermal kolesteatoma. Kim
dan Chole menunjukkan peningkatan ekspresi sitokeratin 10 di daerah perifer pars
tensa kolesteatoma yang diinduksi oleh ligasi saluran telinga dan di daerah perifer
dan tengah pars tensa kolesteatoma yang diinduksi oleh obstruksi tuba eustachius.
Temuan penelitian ini juga mendukung hipotesis hiperplasia sel basal untuk
patogenesis kolesteatoma primer, berkaitan dengan hiperproliferasi, migrasi, dan
perubahan diferensiasi keratinosit. Tingginya kadar fibronektin dan tenascin dan
gangguan fokal dari membran basal, dilaporkan pada kolesteatoma telinga tengah,
mendukung konsep teori invasi8.

15
Teori ini juga didukung oleh penelitian pada model kolesteatoma hewan dan
tulang temporal manusia. Jackson dan Lim memberikan bukti histologis dan
ultrastruktural bahwa epitel keratinisasi dapat bermigrasi ke bula kucing melalui
panduan kontak. Kemungkinan pada beberapa perforasi membran timpani,
peradangan merusak lapisan mukosa dalam membran timpani, memungkinkan
epitel keratinisasi luar bermigrasi ke dalam dan menghasilkan kolesteatoma. Hueb
dan rekan menunjukkan bukti serupa pada chinchilla. Palva dan rekan
menunjukkan bukti histologis untuk teori ini pada tulang temporal manusia.
Kolesteatoma yang berasal dari fraktur tulang temporal dapat terjadi akibat
mekanisme ini; fraktur di dalam saluran telinga memungkinkan pertumbuhan ke
dalam epitel keratinisasi dengan panduan kontak. 7,12 Dimethylbenz[a]antrasena,
suatu bahan kimia karsinogen, dapat menginduksi perkembangan epitel skuamosa
keratinisasi ke dalam atau di bawah lapisan mukosa, dan pertumbuhan ke dalam
dan menyebar ke rongga telinga tengah dan tuba eustachius di telinga tikus8.

3. Teori Hiperplasia Sel Basal


Mekanisme lain yang mungkin untuk histogenesis kolesteatoma dikemukakan
oleh Lange pada tahun 1920-an. Dalam teori ini, ia mengusulkan bahwa sel-sel
epitel (sel prickle) dari pars flaccida dapat menyerang jaringan subepitel melalui
proliferasi kolom sel epitel. Hampir 40 tahun kemudian, Ruedi mendukung
hipotesis ini dengan bukti klinis dan eksperimental. Agar epitel dapat menginvasi
ke dalam lamina propria, lamina basal (membran dasar) harus diubah. Gangguan
lamina basal sekarang telah didokumentasikan pada kolesteatoma manusia dan
hewan8.
Huang, Masaki dan rekan memberikan dukungan eksperimental teori ini dengan
menunjukkan bahwa pertumbuhan epitel dari membran timpani dapat diinduksi
oleh penanaman propilen glikol ke telinga tengah chinchilla. Pecahnya lamina basal
ini memungkinkan invasi kerucut epitel ke dalam jaringan ikat subepitel dan
pembentukan mikrokolesteatoma. Mekanisme ini dapat menjelaskan beberapa jenis
kolesteatoma manusia, bahkan yang terjadi di belakang membran timpani yang
utuh. Menurut teori ini, mikrokolesteatoma dapat membesar dan kemudian
mengalami perforasi sekunder melalui membran timpani, meninggalkan gambaran

16
khas kolesteatoma attic. Urutan kejadian ini belum didokumentasikan, meskipun
pergantian dalam diferensiasi keratinosit dan lapisan sel basal matriks kolesteatoma
telah diamati dalam beberapa penelitian8.
Distribusi abnormal dari penanda diferensiasi epidermal, seperti filaggrin dan
involucrin, protein c-jun dan p53, dan peningkatan reseptor faktor pertumbuhan
epidermal, telah ditunjukkan pada matriks kolesteatoma telinga tengah.
Peningkatan kadar protein sitokeratin 13 dan sitokeratin 16, yang merupakan
penanda diferensiasi dan hiperproliferasi, juga ditemukan. Kim dan Chole
menunjukkan peningkatan ekspresi sitokeratin 13 dan sitokeratin 16 di daerah
perifer pars tensa kolesteatoma yang diinduksi oleh ligasi saluran telinga dan di
daerah perifer dan tengah pars tensa kolesteatoma yang diinduksi oleh obstruksi
tuba eustachius. Sakamoto dan rekan menemukan protein ErbB-2 diekspresikan
secara berlebihan, dan proliferasi sel dan apoptosis keratinosit dipercepat. Caspase
memainkan peran kunci dalam apoptosis; Miyao dan rekan kerja menyarankan
bahwa caspase-8, yang diaktifkan oleh induksi tumor necrosis factor-α, mengarah
pada aktivasi caspase-3, yang mengaktifkan nuklease apoptosis di jaringan
kolesteatoma8.
Reseptor seperti tol manusia sangat penting dalam induksi dan aktivasi
kekebalan bawaan selama infeksi. Ekspresi toll-like receptor-3 pada epitel dan
beberapa sel di dalam perimatrix dan adanya sel T dapat menunjukkan bahwa selain
respon imun bawaan, mekanisme imunitas adaptif juga bekerja pada kolesteatoma.
Data dari Parisier dan rekan menyarankan bahwa fibroblas di subepitel
kolesteatoma menunjukkan fenotipe invasif, sedangkan fibroblas dari kulit
postauricular dan saluran telinga muncul baik invasif lemah atau tidak invasif.
Dalam penelitian serupa, Chole dan rekan menemukan bahwa fibroblas normal dan
fibroblas dari kolesteatoma yang diinduksi tidak menunjukkan karakteristik
fenotipe invasif dari sel neoplastik sejati8.
Bukti lain mendukung teori hiperplasia atau migrasi sel basal. Peningkatan
ekspresi molekul adhesi antar sel manusia-1 dan molekul adhesi antar sel-2 telah
ditunjukkan, menunjukkan peran dalam migrasi sel ke dalam jaringan. Kehadiran
protein kejut panas 60 dan 70 menyarankan proliferasi dan diferensiasi aktif
keratinosit basal di kolesteatoma. Ada beberapa laporan bahwa respon imun terlibat

17
dalam keadaan hiperproliferatif epitel kolesteatoma. Sel langerhans dapat memulai
reaksi imun dan mendorong proliferasi epitel keratinisasi melalui mekanisme
interleukin (IL)-1α dan transforming growth factor (TGF)-β 8.

4. Teori Metaplasia Squamous


Wendt berteori bahwa epitel skuamosa atau kuboid sederhana dari celah telinga
tengah dapat mengalami transformasi metaplastik menjadi epitel keratinisasi. Sadé
mendukung teori ini, mencatat bahwa sel epitel bersifat pluripoten dan dapat
dirangsang oleh peradangan untuk menjadi keratinisasi. Menurut teori ini, area
epitel keratinisasi di dalam telinga tengah akan membesar karena akumulasi debris
dan kontak dengan membran timpani. Dengan infeksi dan peradangan penyerta,
kolesteatoma akan menyebabkan lisis membran timpani dan perforasi, yang
menghasilkan gambaran khas kolesteatoma loteng. Teori ini didukung oleh
demonstrasi bahwa spesimen biopsi dari telinga tengah anak-anak dengan otitis
mediates eksternus terkadang mengandung pulau epitel keratinisasi8.
Beberapa bukti eksperimental mendukung anggapan bahwa mukosa telinga
tengah dapat menjadi metaplastik dan berkeratin. Chole dan Frush menunjukkan
bahwa kekurangan vitamin A yang ekstrim menyebabkan pembentukan epitel
keratinisasi di dalam telinga tengah dan tuba eustachius tikus. Tak satu pun dari
hewan percobaan mereka telah mengembangkan kolesteatoma. Akibatnya, tidak
ada bukti langsung bahwa kolesteatoma timbul oleh metaplasia skuamosa dari
mukosa telinga tengah8.
Dari perspektif klinis, tampaknya masing-masing mekanisme patogen ini
menyumbang proporsi kolesteatoma yang didapat. Terlepas dari patogenesis
kolesteatoma aural, mereka semua memiliki sifat tertentu. Kolesteatoma rentan
terhadap infeksi berulang, dan mereka secara khas mengikis tulang ossicles dan
kapsul otic. Kolesteatoma yang berasal dari sekitar membran timpani menunjukkan
pola pertumbuhan yang khas ke dalam tulang temporal. Karena sebagian besar
kolesteatoma didapat berasal dari invaginasi pars flaccida, pertumbuhannya
dibatasi oleh lipatan mukosa dan ligamen suspensorium ossicles. Pars flaccida
dapat berinvaginasi ke bagian paling lateral epitympanum (ruang Prussak) dan
kemudian ke relung epitimpanum di posterior, lateral korpus inkus, di inferior ke

18
telinga tengah melalui kantong von Tröltsch, atau ke anterior, ke dalam
protimpanum8.

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 7. (a) Teori invaginasi, (b) Teori hiperplasia sel basal, (c) Teori migrasi
epitel, (d) Teori metaplasia squamous8

19
F. KLASIFIKASI
1. Kolesteatoma Kongenital
Kolestatoma kongenital muncul dari sel epidermis embrio yang terletak di celah
telinga tengah atau tulang temporal. Kolesteatoma kongenital terjadi di tiga tempat
yaitu telinga tengah, apeks petrosa dan cerebellopontine angle, menimbulkan gejala
tergantung pada lokasinya. Kolesteatoma kongenital telinga tengah muncul sebagai
massa putih di belakang membran timpani yang utuh dan menyebabkan gangguan
pendengaran konduktif. Dapat ditemukan pada pemeriksaan rutin anak-anak atau
pada saat miringotomi. Ini juga dapat secara spontan pecah melalui membran
timpani dan muncul dengan telinga yang mengeluarkan cairan yang tidak dapat
dibedakan dari kasus otitis media supuratif kronis9.

2. Kolesteatoma akuisital
Kolesteatoma akuisital atau cholesteatoma acquired yang terbagi atas dua, yaitu:
(a) Kolesteatoma akuisital primer
Kolesteatoma yang terbentuk tanpa didahului oleh perforasi membrane
timpani. Kolesteatoma timbul akibat terjadi proses invaginasi dari membrane
timpani pars flaccida karena adanya tekanan negative di telinga tengah akibat
gangguan tuba (Teori invaginasi)1.
(b) Kolesteatoma akuisital sekunder
Kolesteatoma akuisital sekunder terbentuk setelah adanya perforasi membran
timpani. Kolesteatoma terbentuk sebagai akibat dari masuknya epitel kulit dari
liang telinga atau dari pinggir perforasi membrane timpani ke telinga tengah
(Teori migrasi) atau terjadi akibat metaplasia mukosa kavum timpani karena
iritasi infeksi yang berlangsung lama (Teori metaplasia)1.

G. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Kolesteatoma sering tanpa gejala selama bertahun-tahun karena akumulasi keratin
pada kolesteatoma lambat. Namun, infeksi meningkatkan laju pengelupasan dan massa
keratin pada kolesteatoma yang terinfeksi dapat tumbuh dengan cepat. Gejala
utamanya adalah10:

20
• Otorrhoea, biasanya sekretnya tidak banyak, tetapi selalu berbau.
• Pendarahan, terjadi dari granulasi atau polip
• Nyeri pada telinga, hal ini karena peradangan pada kulit meatus atau
menunjukkan abses ekstradural
• Gangguan pendengaran, ini dapat bervariasi dari ambang pendengaran normal
hingga tuli total
• Tinnitus
• Pusing, menunjukkan adanya fistula labirin
• Sakit kepala, menunjukkan ekstensi intrakranial.

2. Pemeriksaan Otoskopi

Kolesteatoma tidak dapat disingkirkan sampai seluruh membran timpani diperiksa.


Inspeksi telinga sering memerlukan dua tahap yaitu memperoleh gambaran membran
timpani dan pemeriksaan sistematis membran timpani. Mukus, keratin, polip atau
bahkan serumen dapat menghalangi pandangan yang jelas dari membran timpani.
Setelah mucus, keratin atau serumen telah dikeluarkan dari telinga, pemeriksaan lebih
lanjut dapat mengungkapkan apakah ada polip yang mengisi lumen. Setelah polip
dihilangkan dasarnya diberikan agen kaustik untuk mendapatkan hemostasis6.
Setelah membran timpani dapat terlihat dengan jelas, maka harus diperiksa secara
sistematis untuk mencari area retraksi. Pertama-tama harus ditentukan apakah seluruh
membran timpani dapat dilihat. Saluran telinga sempit atau berliku-liku dan hanya
sebagian dari membran timpani yang dapat terlihat. Ini adalah persyaratan minimum
bahwa seluruh membran timpani harus diperiksa. Kelainan pada pars tensa harus
diperhatikan, bersama dengan lokasi dan ukurannya. Yang paling penting untuk
diperhatikan adalah apakah defek tersebut merupakan perforasi atau kantong retraksi.
Jika pars tensa normal, kemudian memeriksa pars flaccida sepenuhnya. Dalam
kebanyakan kasus, retraksi pars flaccida dapat dengan mudah diidentifikasi.
Terkadang kantung kolesteatoma dapat dilihat melalui membran timpani normal
sebagai massa putih samar dengan batas cembung6.

21
Gambar 8. Pemeriksaan otoskopi
menunjukkan pars tensa dan pars flaccida
membran timpani yang intak, tetapi
mengalami retraksi11.

Gambar 9. Otoskopi telinga kanan tampak


kolesteatoma attic supuratif (tanda panah)
dikombinasikan dengan perforasi sentral
(tanda bintang)10.

A B

Gambar 10. (A) Pemeriksaan otoskopi telinga kiri menunjukkan membran timpani
pars tensa dan pars flaccida intak, (B) Membran timpani intak dengan retraksi attic
yang kecil11.

Gambar 11. Kolesteatoma mesotimpani


dimulai di bagian posterior pars tensa dan
tumbuh ke medial kemudian ke dalam
cavum timpani2.

22
A B

Gambar 12. (A) Kolesteatoma kongenital (tanda bintang) di telinga tengah anak
kecil yang terletak di belakang kuadran anterosuperior membran timpani10, (B)
Kolesteatoma kongenital berbentuk kantung epitel atau mutiara di belakang
membran timpani yang utuh (tanda panah)2.

3. Pemeriksaan Penunjang
• Audiology
Penting untuk mendapatkan ukuran pendengaran di kedua telinga sebelum
operasi. Dalam semua kasus, pasien harus diberi tahu bahwa pendengaran pada
telinga yang dioperasi dapat memburuk. Jika konduksi udara ipsilateral sebelum
operasi normal, kehilangan pendengaran pada telinga yang dioperasi akan lebih
berdampak jika pendengaran kontralateral terganggu. Jika konduksi udara
ipsilateral sebelum operasi terganggu, kemungkinan untuk memperbaiki
pendengaran melalui pembedahan harus ditentukan. Jika ambang konduksi tulang
ipsilateral terganggu, pasien harus diberi tahu bahwa peningkatan pendengaran
yang disebabkan oleh pembedahan saja tidak mungkin. Jika ambang batas
konduksi tulang normal, masih ada kemungkinan pendengaran dapat diperbaiki
dengan pembedahan, tetapi kemungkinan terjadinya hal ini akan tergantung pada
penyebab gangguan pendengaran6.

• Computed Tomography (CT)


CT menentukan ukuran dan lokasi kolesteatoma dan memberikan informasi
penting tentang integritas tulang pendengaran, kanalis semisirkularis lateral,
koklea, tegmen antroattikal, dan tulang kortikal fossa tengah dan posterior. Pada
CT scan potongan koronal tampak penumpulan skutum (tepi tulang atas dari
saluran pendengaran eksternal). CT juga dapat mendeteksi ekstensi intrapetrous
(apikal, supralabyrinthine, infralabyrinthine dan translabyrinthine)10.

23
CT adalah modalitas pilihan untuk penilaian diagnostik kolesteatoma, dimana
muncul sebagai daerah atenuasi jaringan lunak, memberikan efek massa dan
mengakibatkan erosi tulang. Temuan tergantung pada kolesteatoma muncul dari
bagian membran timpani yaitu; (a) pars flaccida ekstensi superior yang paling
umum, meluas ke ruang Prussak, akhirnya mengikis skutum dan menggusur
tulang-tulang pendengaran ke medial, (b) Pars flaccida ekstensi inferior lebih
sering terlihat pada anak-anak, (c) Pars tensa posterosuperior meluas ke medial
inkus dan menggeser tulang-tulang pendengaran ke lateral12.

Gambar 13. Pencitraan CT-Scan resolusi tinggi dari kolesteatoma primer sisi
kiri. Kolesteatoma terlihat sebagai massa kepadatan jaringan lunak (panah
putih), membungkus tulang-tulang telinga tengah pada gambar aksial (kanan)
dan koronal (kiri)7.

• Magnetic Resonance (MR)


Magnetic resonance (MR) saat ini kurang umum digunakan dalam penilaian
kolesteatoma karena kurang menggambarkan anatomi tulang secara memadai.
Meskipun kolesteatoma memiliki karakteristik sinyal yang spesifik, pemindaian
MR belum cukup membedakan antara radang telinga tengah kronis lainnya dan
kolesteatoma, terutama bila kolesteatoma berdiameter kurang dari 0,5 cm.
Magnetic resonance berpotensi dapat membedakan kekeruhan non-spesifik dari
kolesteatoma. Hal ini sangat berguna dalam pengaturan pasca operasi ketika CT
tidak jelas, karena jaringan granulasi, jaringan parut dan kolesteatoma berulang
tampak serupa. Pemindaian MR memiliki nilai khusus dalam menentukan adanya
kecurigaan komplikasi telinga bagian dalam dan intrakranial kolesteatoma6,12.

24
Gambar 14. Pencitraan magnetic resonance, tampak kolesteatoma yang
melibatkan tulang temporal kiri7.

H. DIAGNOSIS BANDING
1. Otitis Media Supuratif Kronis Tipe Benigna
Otitis media supuratif kronis (OMSK) ialah infeksi kronis di telinga tengah
dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus
menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa
nanah. Otitis media akut dengan perforasi membran timpani menjadi otitis media
supuratif kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Bila proses infeksi
kurang dari 2 bulan, disebut otitis media supuratif subakut. Beberapa faktor yang
menyebabkan otitis media akut menjadi otitis media supuratif kronis ialah terapi
yang terlambat diberikan, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya
tahan tubuh pasien rendah (gizi kurang) hygiene buruk1.
Letak perforasi di membran timpani penting untuk menentukan tipe atau jenis
OMSK. Perforasi membrane timpani dapat ditemukan daerah sentral, marginal atau
attic. Pada perforasi sentral, perforasi terdapat di pars tensa, sedangkan di seluruh
tepi perforasi masih ada sisa membran timpani. Pada perforasi marginal sebagian
tepi perforasi langsung berhubungan dengan anulus atau sulkus timpanikum.
Perforasi atik ialah perforasi yang terletak di pars flaccida1.
OMSK dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu (1) OMSK tipe aman (tipe mukosa/tipe
benigna) dan (2) OMSK tipe bahaya (tipe tulang/tipe maligna). Beberapa aktivitas

25
sekret yang keluar dikenal juga OMSK aktif dan OMSk tenang. OMSK aktif ialah
OMSK dengan sekret yang keluar dari cavum tympani secara aktif, sedangkan
OMSK tenang ialah yang keadaan cavum tympaninya terlihat basah atau kering.
Proses peradangan pada OMSK tipe aman terbatas pada mukosa saja, dan biasanya
tidak mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral. Umumnya OMSK tipe aman
jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Pada OMSK tipe aman tidak
terdapat kolesteatoma. Yang dimaksud dengan OMSK tipe maligna ialah OMSK
yang disertai dengan kolesteatoma. OMSK ini dikenal juga dengan OMSK tipe
bahaya atau OMSK tipe tulang. Perforasi pada OMSK tipe bahaya letaknya
marginal atau di atik, kadang-kadang terdapat juga kolesteatoma pada OMSK
dengan perforasi subtotal. Sebagian besar komplikasi yang berbahaya atau fatal
timbul pada OMSK tipe bahaya1.

Gambar 15. Otitis media kronis stadium aktif pada telinga kiri10.

Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan otoskopi.


Pemeriksaan penala merupakan pemeriksaan sederhana untuk mengetahui adanya
gangguan pendengaran. Untuk mengetahui jenis dan derajat gangguan pendengaran
dapat dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni, audiometri tutur (speech
audiometry) dan pemeriksaan BERA (brainstem evoked response audiometry) bagi
pasien atau anak yang tidak kooperatif dengan pemeriksaan audiometri nada murni.
Pemeriksaan penunjang lain berupa foto rontgen mastoid serta kultur dan uji
resistensi kuman dari sekret telinga1.

26
2. Kolesteatoma Sekunder
Kolesteatoma sekunder sebelumnya sudah ada perforasi di pars tensa. Hal ini
sering dikaitkan dengan perforasi marginal posterosuperior atau terkadang perforasi
sentral yang besar. Teori pembentukan kolesteatoma sekunder: (a) Migrasi epitel
skuamosa, keratin epitel skuamosa dari saluran pendengaran eksternal atau
permukaan luar membran timpani bermigrasi melalui perforasi ke telinga tengah.
Perforasi, yang melibatkan anulus timpani seperti pada otitis media nekrotikans
akut, lebih mungkin untuk memungkinkan pertumbuhan epitel skuamosa. (b)
Metaplasia, mukosa telinga tengah mengalami metaplasia karena infeksi berulang
pada telinga tengah melalui perforasi yang sudah ada sebelumnya9.

Gambar 16. Kolesteatoma sekunder


dengan perforasi total2.

Gambar 17. Kolesteatoma sekunder


timbul dari migrasi epitel skuamosa
keratinisasi ke dalam ruang telinga tengah
dari perforasi membran timpani (tanda
panah)2.

3. Granuloma Kolesterol
Granuloma kolesterol tulang temporal adalah lesi mukoid berwarna kuning
kecoklatan dan pertama kali dijelaskan oleh Manasse pada tahun 1894. Disebut juga
kista kolesterol, membran drum biru, kista kubah biru, pseudokista kolestrin, atau
kolesteatoma hitam oleh beberapa ahli, granuloma kolesterol tulang temporal
timbul sebagai akibat otitis media kronik pada 20% tulang temporal. Dalam sebuah
penelitian terhadap 144 tulang temporal dari pasien dengan otitis media kronik,

27
21% dari 28 sampel dengan perforasi membran timpani dan 12% dari 116 sampel
tanpa perforasi membran timpani mengungkapkan timpanosklerosis. Meskipun
dapat terjadi di setiap bagian tulang temporal yang mengalami pneumatisasi, hal ini
paling sering ditemukan di apeks petrosa dan merupakan lesi primer yang paling
umum di tempat ini. Ini pada dasarnya adalah reaksi benda asing yang steril
terhadap kristal kolesterol dan, oleh karena itu, dapat timbul di bagian tubuh mana
pun. Meskipun paling umum di tulang temporal, juga telah ditunjukkan di situs
seperti sinus paranasal, rahang, paru-paru, pleura, mediastinum, orbit, testis, dan
ginjal7.
Meskipun etiologinya tidak jelas, granuloma kolesterol muncul dari faktor yang
sama yang menyebabkan otitis media kronik. Biasanya terjadi bersamaan dengan
efusi telinga tengah mukoid dan retraksi membran timpani, kemungkinan akibat
peningkatan tekanan negatif telinga tengah dari aerasi dan drainase yang terganggu.
Tekanan negatif dan peradangan menyebabkan perdarahan ke daerah tersebut.
Pemecahan membran eritrosit melepaskan kolesterol, memulai pembentukan kristal
dan reaksi inflamasi steril. Secara mikroskopis, sel raksasa benda asing berinti
banyak terlihat menelan dan mengelilingi kristal kolesterol. Peradangan
menyebabkan pembentukan jaringan granulasi akhirnya, dan perdarahan berulang
menghasilkan lesi yang tumbuh dalam ukuran7.
Granuloma kolesterol mungkin tidak menunjukkan gejala sama sekali.
Sebaliknya, dapat muncul dengan efek massa dengan gejala seperti gangguan
pendengaran, tinitus, vertigo, atau kedutan wajah. Pemeriksaan otoskopi dapat
mengungkapkan lesi kental berwarna kuning kecoklatan di telinga tengah. Jika lesi
tidak terlihat di telinga tengah dan kemungkinan melibatkan apeks petrosa,
pencitraan radiografi sangat membantu dalam diagnosis dan perencanaan
praoperasi. Pada CT, granuloma kolesterol memiliki batas yang halus, isodense
terhadap parenkim otak dan tidak meningkat dengan kontras intravena karena
avaskularitasnya. MRI paling membantu dan biasanya menegakkan diagnosis. Lesi
dicirikan oleh hiperintensitas pada gambar dengan pembobotan T1 dan T2 dan tidak
membaik setelah pemberian gadolinium. Hiperintensitas unik pada gambar
berbobot T1 dianggap terkait dengan keberadaan kristal, kandungan protein, dan
perdarahan. Jika granuloma kolesterol hidup berdampingan dengan kolesteatoma,

28
hal itu dapat dibedakan dengan fakta bahwa kolesteatoma menunjukkan intensitas
sinyal yang tinggi hanya pada gambar dengan pembobotan T27.

Gambar 18. Timpanum biru khas yang


disebabkan oleh granuloma kolesterol. Warna
biru disebabkan oleh kristal hemosiderin.
Granuloma tidak hanya mengenai telinga tengah
tetapi juga umumnya meluas ke mastoid10.

Gambar 19. Membran timpani berwarna biru


disebabkan oleh granuloma kolesterol. Retraksi
epitimpani karena disfungsi tuba Eustachius
juga terjadi10.

Bentuk pengobatan untuk granuloma kolesterol didasarkan pada lokasinya di


dalam tulang temporal serta status pendengaran pasien. Kekambuhan granuloma
kolesterol yang dieksisi dengan pembedahan tidak jarang, dan, oleh karena itu,
pengobatan konservatif umumnya diperlukan untuk granuloma kolesterol tanpa
komplikasi dari celah telinga tengah atau mastoid. Jika aerasi sistem telinga tengah
tidak terpengaruh, observasi dapat digunakan. Jika granuloma kolesterol ada dalam
pengaturan ventilasi dan drainase telinga tengah yang buruk, tabung ventilasi
diperlukan. Lesi kecil tanpa gejala pada apeks petrosa dapat diikuti dengan CT
serial atau MRI. Pendekatan bedah untuk lesi simptomatik pada apeks petrosa
termasuk fossa kranial tengah, fossa infratemporal tipe B, infralabirin, pendekatan
infrakoklear transkanal, transsfenoidal, dan retrosigmoid. Tujuan pembedahan
adalah untuk mencapai drainase dan aerasi7.

29
I. PENATALAKSANAAN
1. Terapi Konservatif
Pengamatan berkala dapat diindikasikan pada kasus kolesteatoma kering yang
terbatas pada satu-satunya telinga atau pada pasien lanjut usia, atau pada individu
dengan kesehatan yang sangat buruk10.
2. Terapi Bedah
Kolesteatoma memerlukan perawatan bedah biasanya dengan eksplorasi
mastoid. Prioritasnya adalah menghilangkan penyakit dan menutup celah telinga
tengah. Rekonstruksi tulang pendengaran dapat dilakukan segera atau pada tahap
selanjutnya. Kolesteatoma dapat diangkat melalui prosedur canal wall up (teknik
menutup) atau canal wall down (teknik terbuka). Teknik tertutup, terutama
diindikasikan pada anak-anak dengan mastoid dengan pneumatisasi yang baik.
Teknik terbuka, terutama diindikasikan pada mastoid sklerotik dan pada operasi
revisi untuk rekurensi10.

J. KOMPLIKASI
Perluasan kolesteatoma dapat menyebabkan erosi tulang pada tulang-tulang
pendengaran, kapsula otika, saluran falopi, tegmen timpani, dan tegmen mastoideum.
Komplikasi ini dapat menyebabkan komplikasi intrakranial. Erosi ossicles, paling
sering di incus, dapat menyebabkan gangguan pendengaran konduktif. Tingkat
keparahan gangguan pendengaran berhubungan dengan status tulang-tulang
pendengaran dan posisi kantung kolesteatoma. Erosi kapsul otika paling sering terjadi
di kanalis semisirkularis lateral dan jarang di koklea. Fistula labirin telah dilaporkan
pada 10% kolesteatoma pada orang dewasa dan anak-anak, yang dapat menyebabkan
gangguan pendengaran sensorineural dan vertigo. Gangguan pendengaran
sensorineural dapat terjadi akibat labirinitis supuratif sekunder atau dari hilangnya sel
rambut koklea yang berdekatan dengan kolesteatoma. Paralisis nervus fasialis dapat
terjadi secara akut sebagai akibat infeksi atau secara perlahan akibat perluasan
kolesteatoma. Erosi tegmen tympani atau tegmen mastoideum dapat menyebabkan
perkembangan hernia otak atau kebocoran cairan serebrospinal. Karena kolesteatoma
mengandung puing-puing keratin yang tertutup dalam ruang jaringan, mereka dapat
mengalami infeksi berulang. Bakteri yang ditemukan pada kolesteatoma yang

30
terinfeksi berbeda dari bakteri yang ditemukan pada otitis media akut. Bakteri aerob
yang paling umum adalah Pseudomonas aeruginosa, dan mikroorganisme anaerob
yang paling umum adalah Bacteroides sp8.

K. PROGNOSIS
o Tindak lanjut otoskopi klinis jangka panjang diperlukan untuk mendeteksi
kolesteatoma residual dan kekambuhan.
o Pada mastoidektomi dinding saluran bawah, diperlukan pemeriksaan otoskopi
serial dengan pembersihan rongga mastoid.
o Pada teknik canal wall up kolesteatoma, residual atau rekurensi terjadi pada 10-
20% kasus. Pembedahan kedua dianjurkan setelah 1 tahun pembedahan pertama
untuk sisa kolesteatoma dan untuk memulihkan pendengaran, jika perlu CT dapat
membantu tindak lanjut10.

31
BAB III

KESIMPULAN

Kolesteatoma adalah istilah kuno yang telah digunakan selama beberapa generasi.
Kolesteatoma juga sering disebut keratoma yang merupakan pertumbuhan epitel
skuamosa keratinisasi yang berasal dari lapisan luar membran timpani atau saluran telinga
yang menginvasi celah telinga tengah. Insiden kolesteatoma bervariasi di seluruh dunia,
tergantung pada setiap populasi. Kejadian kolesteatoma sekitar 1,4 kali lebih tinggi pada
pria dibandingkan dengan wanita. Proporsi anak-anak secara statistik tidak berbeda
dengan rasio pada masa dewasa. Prevalensi tinggi pada populasi Kaukasia, diikuti oleh
keturunan Afro dalam studi epidemiologi mereka. Kolesteatoma jarang terlihat pada
orang Asia.
Kolesteatoma didapat dapat timbul melalui mekanisme patogenetik, dimana ada
4 teori utama yang diajukan untuk menjelaskan etiopatogenesis kolesteatoma primer ialah
invaginasi membran timpani, migrasi epitel melalui perforasi membran timpani,
hiperplasia sel basal dan metaplasia skuamosa. Kolesteatoma bisa bawaan atau didapat,
dimana kolesteatoma yang didapat terjadi jauh lebih sering. Klasifikasi dari kolesteatoma
yaitu kolesteatoma kongenital, kolesteatoma primer dan kolesteatoma sekunder.
Kolesteatoma sering tanpa gejala selama bertahun-tahun karena akumulasi keratin
pada kolesteatoma lambat. Gejala yang biasa timbul otore, pendarahan, nyeri pada
telinga, gangguan pendengaran, tinnitus, pusing, sakit kepala. Prosedur diagnostik
berdasarkan standar eropa ialah otoskopi, audiometri, CT scan atau MRI. Penatalaksanan
kolesteatoma bisa dengan terapi konservatif ataupun pembedahan. Dengan pembedahan
ada 2 teknik yang paling sering dilakukan ialah Teknik canal wall up dan Teknik canal
wall down.
Prognosis kolesteatoma diperlukan tindak lanjut otoskopi klinis jangka panjang
diperlukan untuk mendeteksi kolesteatoma residual dan kekambuhan, pada
mastoidektomi dinding saluran bawah, diperlukan pemeriksaan otoskopi serial dengan
pembersihan rongga mastoid, pada teknik residual canal wall up kolesteatoma terjadi
rekurensi pada 10-20% kasus, pembedahan kedua dianjurkan setidaknya setelah 1 tahun
untuk sisa kolesteatoma dan untuk memulihkan pendengaran.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Hafil AF, Sosialisman, Helmi. Kelainan Telinga Luar. Dalam: Soepardi EA, Iskandar

N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL FK UI. Edisi 7.

Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012. h 55-56, 63-64.

2. Black B, Que Hee C. Cholesteatoma. Vol. 41, Current Therapeutics. 2000. h 1–2.

3. de Aquino JEAP, Filho NAC, de Aquino JNP. Epidemiology of middle ear and

mastoid cholesteatomas. study of 1146 cases. Braz J Otorhinolaryngol [Internet].

2011;77(3):342–3. Available from: http://dx.doi.org/10.1590/S1808-

86942011000300012

4. Tate Philip. Chapter 13 The Special Sense. Dalam: Seeley’s Principles of Anatomy

& Physiology. Edisi 2. New York: McGraw-Hill; 2012. h 389-398.

5. Sherwood Lauralee. Sistem Saraf Tepi: Divisi Aferen; Indra Khusus. Dalam:

Introduction to Human Physiology, Edisi Internasional. Edisi 8. China: Brooks/Cole

Cengage Learning; 2013. h 227-229.

6. Hamilton J. Chronic otitis media in Childhood. Dalam: Gleeson Michel et al. Scott-

Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. Edisi 7. UK: Hodder

Arnold. 2008. h 994-996.

7. Chole RA, Nason R. Chronic Otitis Media and Cholesteatoma. Dalam: Snow JB,

Wackym PA. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi 17.

India: BC Decker Inc. 2009. h 219-220.

8. Chole RA, Sudhoff HH. Chronic Otitis Media, Mastoiditis, and Petrositis. Dalam:

William C, Paul WF. Cummings Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Edisi 5.

Philadelphia: Mosby Elsevier. 2010. h 1967-1968.

33
9. PL Dhingra, Shruti D, Deeksha D. Cholesteatoma and Chronic Otitis Media. Dalam:

Disease of Ear, Nose, anf Throat & Head and Neck Surgery. Edisi 7. India: Elsevier

RELX. 2018. h 73-74.

10. Martin C, Arnold W, Sterker O, Iurato S. Cholesteatoma of The Middle Ear. Dalam;

Anniko M, Sprekelsen MB, Bonkowsky V, et al. Otorhinolaryngology, Head and

Neck Surgery. Berlin: Springer. 2010. h 70-74.

11. Lee JH o., Hong SM i., Kim CW o., Park YH oo., Baek SH. Attic cholesteatoma

with tiny retraction of pars flaccida. Auris Nasus Larynx [Internet]. 2015;42(2):107–

12. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.anl.2014.08.006

12. Badenhorst Jacques. 02 Januari 2022. Acquired Cholesteatoma. [Online] Tersedia:

https://radiopaedia.org/articles/acquired-cholesteatoma?lang=us [18 Oktober 2022].

34

Anda mungkin juga menyukai