Anda di halaman 1dari 28

Referat

Manajemen Tinitus Subjektif pada Pasien Tinitus

dengan Tinnitus Retraining Therapy (TRT)

Disusun Oleh :
Lisdawaty Naomi Siregar
H1AP13012

Pembimbing :
dr. Andri Sudjatmoko, Sp.KJ

SMF BAGIAN ILMU PSIKIATRI

RUMAH SAKIT KHUSUS JIWA PROVINSI BENGKULU

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BENGKULU

2019
LEMBAR PENGESAHAN

Nama mahasiswa : Lisdawaty Naomi Siregar

NPM : H1AP13012

Bagian : Kepaniteraan Klinik Ilmu Psikiatri

Judul : Manajemen Tinitus Subjektif pada Pasien Tinitus dengan


Tinnitus Retraining Therapy (TRT)

Pembimbing : Dr. Andri Sudjatmoko, Sp.KJ

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan tugas di


Kepaniteraan Klinik Ilmu Psikiatri di Rumah Sakit Khusus Jiwa Provinsi
Bengkulu.

Bengkulu, Agustus 2019

dr. Andri Sudjatmoko, Sp.KJ


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul “Manajemen Tinitus Subjektif pada Pasien Tinitus dengan Tinnitus
Retraining Therapy (TRT)” dengan baik. Referat ini disusun untuk memenuhi
tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas
Bengkulu.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini telah melibatkan


banyak pihak, untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Dr. Andri Sudjatmoko, Sp.KJ., selaku Konsulen yang telah


meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan banyak
arahan dan petunju dalam penulisan referat ini. Penulis berharap
referat ini dapat bermanfaat.
2. Keluarga dan semua teman – teman yang telah memberikan dukungan
baik moril, materiil, dan spiritual kepada penulis selama penyusunan
referat ini.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan


sehingga penulis sangat mengharapkan masukan, kritik dan saran yang
membangun untuk perbaikan kedepannya. Akhir kata semoga referat ini dapat
bermanfaat bagi banyak pihak.

Bengkulu, Agustus 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... i

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................7

2.1. Definisi ..........................................................................................................7

2.2. Klasifikasi ......................................................................................................7

2.3. Diagnosis ......................................................................................................8

2.4. Tatalaksana ..................................................................................................11

2.5. Manajemen Tinitus dengan TRT .................................................................16

2.6. Deskripsi TRT .............................................................................................17

2.7. Tahapan Pelaksanaan TRT ..........................................................................24

BAB III KESIMPULAN ......................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................27

4
BAB I
PENDAHULUAN

Tinitus merupakan salah satu keluhan yang banyak ditemukan dalam

praktik kedokteran keluarga1. Tinnitus merupakan persepsi bunyi yang diterima

oleh telinga penderita tanpa adanya rangsangan bunyi dari luar 2. Suara yang

terdengar begitu nyata dan serasa berasal dari dalam telinga atau kepala. Pada

sebagian besar kasus, gangguan ini tidak begitu menjadi masalah, namun bila

terjadinya makin sering dan berat maka akan menganggu juga3.

Tinitus berasal dari bahasa latin “tinnere” yang berarti berdenging3.

Tinnitus dapat bersifat objektif dan sunjektif. Tinnitus subjektif paling banyak

ditemukan dalam praktik kehidupan seharii-hari, sedangkan tinnitus objektif

jarang terjadi4. Tinitus subjektif adalah tinnitus yang hanya dirasakan oleh telinga

penderita tanpa dirasakan oleh telinga orang lain atau pemeriksa. Tinnitus objektif

adalah tinnitus yang dapat ditemukan adanya sumber suara berasal dari organ

dalam telinga seperti akibat kelainan vascular atau disfungsi otot1.

Angka kejadian tinnitus bervariasi. Sekitar 30-40% populasi dewasa

pernah mengalami tinnitus di dalam hid upnya dan 0,5-2,5% diantara

populasi tersebut mengalami gangguan kualitas hidup5. Di Indonesia prevalensi

tinnitus terus meningkat sampai tahun 2015 mencapai 70-80% pada jumlah total

kelainan gangguan pendengaran6. Divisi Neurotologi bagian THT-KL RSUP Dr.

M. Djamil periode 1 Januari – 31 Desember 2016 mencatat bahwa 22 pasien yang

datang ke poliklinik dengan keluhan tinnitus yang disebabkan oleh berbagai

5
penyebab3. Prevalensi tinnitus lebih tinggi daripada jumlah pasien yang mencari

pengobatannya7.

Pasien tinnitus memiliki risiko lebih tinggi untuk berkembang menjadi

gangguan anxietas-depresi dan menurunkan kualitas hidup8. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Anna Rita et al pada tahun 2016 dari Departemen

THT Katolik Roma bahwa terdapat korelasi yang linear antara derajat distress

yang disebabkan oleh keluhan tinnitus dengan prevalensi anxietas dan depresi

yang dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup penderita.

Ketidaknyamanan subjektif yang dipicu oleh persepsi tinnitus merupakan kriteria

utama untuk rencan evaluasi neuropsikiatrik, dalam rangka membangun

farmakologikal atau terapi perilaku kognitif8. Penatalaksanaan terkini yang

dikemukakan oleh Jastreboff, berdasarkan pada model neurofisiologinya adalah

berupa kombinasi konseling terpimpin, terapi akustik dan medikamentosa bila

diperlukan. Metode ini disebut dengan Tinnitus Retraining Therapy. Tujuan dari

terapi ini adalah memicu dan menjaga reaksi habituasi dan persepsi tinitus dan

atau suara lingkungan yang mengganggu. Penatalaksanaan TRT banyak dipakai

dewasa ini9.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Tinnitus 3,9,10

Tinitus adalah salah satu bentuk gangguan pendengaran berupa sensasi suara

tanpa adanya rangsangan dari luar, dapat berupa sinyal mekanoakustik maupun

listrik. Keluhan suara yang di dengar sangat bervariasi, dapat berupa bunyi

mendenging, menderu, mendesis, mengaum, atau berbagai macam bunyi lainnya.

Suara yang didengar dapat bersifat stabil atau berpulsasi. Keluhan tinitus dapat

dirasakan unilateral dan bilateral.

Serangan tinitus dapat bersifat periodik ataupun menetap. Kita sebut periodik

jika serangan yang datang hilang timbul. Episode periodik lebih berbahaya dan

mengganggu dibandingkan dengan yang berifat menetap. Hal ini disebabkan

karena otak tidak terbiasa atau tidak dapat mensupresi bising ini. Tinitus pada

beberapa orang dapat sangat mengganggu kegiatan sehari – harinya. Terkadang

dapat menyebabkan timbulnya keinginan untuk bunuh diri

Tinitus dapat dibagi atas tinitus objektif dan tinitus subjektif. Dikatakan

tinitus objektif jika suaranya juga dapat di dengar oleh pemeriksa dan dikatakan

tinitus subjektif jika tinitus hanya dapat didengar oleh penderita.

2.2. Klasifikasi Tinnitus 3,9,10

Berdasarkan objek yang mendengar, tinitus dapat dibagi menjadi:

2.2.1. Tinitus Objektif

Tinitus yang suaranya juga dapat di dengar oleh pemeriksa dengan

auskultasi di sekitar telinga. Tinitus objektif biasanya bersifat vibratorik,

7
berasal dari transmisi vibrasi sistem muskuler atau kardiovaskuler di sekitar

telinga.

Umumnya tinitus objektif disebabkan karena kelainan vaskular,

sehingga tinitusnya berdenyut mengikuti denyut jantung. Tinitus berdenyut

ini dapat dijumpai pada pasien dengan malformasi arteriovena, tumor glomus

jugular dan aneurisma. Tinitus objektif juga dapat dijumpai sebagai suara klik

yang berhubungan dengan penyakit sendi temporomandibular dan karena

kontraksi spontan dari otot telinga tengah atau mioklonus palatal. Tuba

Eustachius paten juga dapat menyebabkan timbulnya tinitus akibat hantaran

suara dari nasofaring ke rongga tengah.

2.2.2. Tinitus Subjektif

Tinitus yang suaranya hanya dapat didengar oleh penderita saja. Jenis

ini sering sekali terjadi. tinitus subjektif bersifat nonvibratorik, disebabkan

oleh proses iritatif dan perubahan degeneratif traktus auditoris mulai sel – sel

rambut getar sampai pusat pendengaran.

Tinitus subjektif bervariasi dalam intensitas dan frekuensi

kejadiannya. Beberapa pasien dapat mengeluh mengenai sensasi pendengaran

dengan intensitas yang rendah, sementara pada orang yang lain intensitas

suaranya mungkin lebih tinggi.

2.3. Diagnosis Tinnitus 9,11

Protokol dalam mendiagnostik Tinitus antara lain anamnesis, pemeriksaan

fisik, identifikasi kondisi psikologis atau psikiatrik (menggunakan pengukuran

8
derajat beratnya dan keparahan tinitus, dan pengukuran kecemasan dan depresi),

dan pengukuran psikoakustik dari tinitus.

Tidak ada tes objektif untuk kebanyakan kasus tinitus, dan diagnosis dibuat

hanya berdasarkan anamnesis dan penilaian terhadap kondisi pasien dan

keluarganya. Pertanyaan penting seputar tinitus antara lain; lokasi dan

karakteristik tinitus, dengan komponen ritmik atau pulsatil. Tinitus pulsatil

termasuk kasus yang jarang dan dapat dideteksi dengan auskultasi. Pertanyaan

penting seputar akibat dari tinitus termasuk efek terhadap tidur dan konsentasi.

Beberapa kuesioner kesehatan menilai efek dari tinitus, antara lain; tinnitus

handicap inventory dan tinnitus functional index. Kuesioner untuk menilai gejala

yang berkaitan seperti hiperakusis dan distres psikologis. Audiometri nada murni

seharusnya dilakukan, dan karena beberapa pasien mengeluhkan sensasi tersumbat

pada telinga, timpanometri juga dapat diterapkan. Pasien dengan tinitus asimetris,

pendengaran asimetris dengan audiometri nada-murni, atau gejala dan tanda yang

berkaitan dengan kelainan neurologis perlu digali lebih lanjut, dan umumnya

memerlukan modalitas MRI.

9
Riwayat kasus Penilaian beratnya tinitus Pemeriksaan Klinis Pemeriksaan Audiologi
(lihat gambar 2.6) (lihat gambar 2.7)  Pemeriksaan otologi  Audiometri dan speech
 Tinnitus handicap inventory  Auskultasi audiometry
+  Tinnitus questionnaire +  Pemeriksaan kraniomandibular +  Tinnitus matching
 Tinnitus handicap dan leher  Minimum masking level
questionnaire  Timpanometri
 Tinnitus functional index

 Debilitating tinnitus?
 Tinitus akut dengan
kehilangan pendengaran Tidak Tidak perlu ditindaklanjuti
mendadak akut?
 Tinitus post – trauma?
 Tinitus pulsatil akut?

Tinitus non – pulsatil Ya Tinitus pulsatil


Konseling

Tinitus akut dengan Tinitus dengan Tinitus Tinitus Tinitus dengan Tinitus dengan Tinitus post Diagnosa
kehilangan gangguan dengan dengan komorbiditas komponen – traumatik neurovaskuler,
pendengaran akut pendengaran vertigo nyeri kepala psikiatrik somatosensorik jantung

Diagnostik Diagnosa Diagnosa Diagnostik Diagnosa


vestibular banding banding fungsional leher banding
nyeri kepala dan mandibular

Terapi awal Tinitus dengan Terapi Terapi Terapi spesifik Terapi spesifik Terapi spesifik Terapi spesifik
kehilangan hearing aid, spesifik, spesifik jika komorbiditas sekuele trauma penyakit
cochlear implant, Meniere’
pendengaran akut dll s disease mungkin psikiatrik vaskuler

Jika pasien masih mengidap tinitus: terapi berorientasi pada gejala

Cognitive behavioural therapy Stimulasi akustik atau terapi suara Neuromodulasi atau neurostimulasi
2.4. Tatalaksana Tinitus 1,4,12

Penatalaksanaan tinitus merupakan masalah yang kompleks dan merupakan

fenomena psikoakustik murni sehingga tidak dapat diukur. Perlu diketahui

penyebab tinitus agar dapat diobati sesuai penyebabnya. Terapi definitif untuk

menghilangkan tinitus sampai saat ini belum ada. Tujuan dari tatalaksana tinitus

saat ini adalah untuk menurunkan gangguan yang diakibatkan oleh tinitus

sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup. Pendekatan manajemen tinitus saat

ini berupa gabungan dari beberapa pendekatan yaitu psikologis, stimulasi

auditorik, farmakologi, dan stimulasi otak. Pendekatan – pendekatan ini telah

diteliti mampu mengurangi tingkat keparahan dan memperbaiki kualitas hidup

dari penderita tinitus.

1. Terapi Psikologis

 Konseling dan Psikoedukasi

Konseling dilakukan oleh audiologis atau otologis mengenai

penjelasan informasi tentang tinitus. Penjelasan informasi yang

diberikan biasanya berupa anatomi dan patologi koklea, hilang

pendengaran, proses mekanisme bagaimana suara dapat didengar,

mekanisme tinitus, stress, serta manajemennya. Pentingnya

melakukan konseling ini sebelum memulai terapi lain agar pasien

mendapatkan penjelasan yang baik mengenai gejala ini sehingga

termotivasi pula dalam program yang akan dijalankan.


 Tinnitus Retraining Therapy (TRT)

Penatalaksanaan terkini yang dikemukakan oleh Jastreboff, berdasar

pada model neurofisiologi adalah kombinasi konseling terpimpin,

terapi akustik, dan medikamentosa bila diperlukan. Metode ini

dikenal dengan Tinnitus Retraining Therapy (TRT). Tujuan dari

TRT adalah memicu dan menjaga reaksi habituasi dan persepsi

tinitus dan atau suara lingkungan yang mengganggu. Habituasi

diperoleh sebagai hasil dari modifikasi hubungan sistem auditorik ke

sistem limbik dan sistem saraf otonom. TRT walau tidak dapat

menghilangkan tinitus dengan sempurna, tetapi dapat memberikan

perbaikan yang bermakna berupa penurunan toleransi terhadap

suara.

TRT dimulai dengan anamnesis awal untuk mengidentifikasi

masalah dan keluhan pasien, menentukan pengaruh tinitus dan

penurunan toleransi terhadap suara di sekitarnya, mengevaluasi

kondisi emosional dan derajat stres pasien, mendapatkan informasi

untuk memberikan konseling yang tepat dan membuat data dasar

yang akan digunakan untuk evaluasi terapi.

 Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan suatu pendekatan

untuk membantu mengubah pola pikir penderita terhadap tinitus

dengan cara meminimalisir pikiran negatif penderita terhadap gejala

tinitus. Pendekatan ini terutama dilakukan dengan bantuan psikolog

12
dan harus rutin dijalankan beberapa waktu. Beberapa literatur

menunjukkan bahwa dengan gabungan antara CBT dan sound

therapy/stimulasi auditorik menunjukkan peningkatan kualitas hidup

pada pasien yang terganggu.

2. Stimulasi Auditorik

 Sound Therapy

Baik suara dari lingkungan atau suara yang dibuat sendiri keduanya

dapat dipakai untuk penanganan tinitus. Penghasil suara lingkungan

merupakan suatu alat kecil yang menghasilkan suara alam seperti

bunyi ombak, air terjun, hujan, dan bunyi lainnya yang bertujuan

untuk merelaksasi dan menurunkan persepsi pasien terhadap suara

tinitus.

 Alat Bantu Dengar

Alat bantu dengar sudah banyak dipakai untuk tatalaksana pasien

tinitus yang disertai dengan kehilangan pendengaran (baik unilateral

atau derajat ringan) untuk mengkompensasi input auditorik pada

batas frekuensi yang terganggu. Namun, suara amplifikasi yang

dihasilkan oleh alat bantu dengar terbatas pada frekuensi tinggi dan

tidak dapat memunculkan input auditorik pada beberapa kasus

kehilangan rambut organ korti. Sebuah studi observasi menunjukkan

manfaat dari penggunaan alat bantu dengar pada pasien dengan

tinitus hanya dapat kurang dari 6000 Hz dan harus di dalam jarak

amplifikasi alat bantu dengar. Masih dibutuhkan studi – studi dengan

13
randomized controlled trial untuk membuktikan efekasi dari alat

bantu dengar ini.

 Cochlear Implants

Pada pasien dengan sensorineural hearing loss disertai tinitus,

sebuah penelitian melaporkan penurunan dari derajat tinitus dengan

dilakukannya cochlear implant. Studi lain juga membuktikan

manfaat implan koklear pada kasus berkurangnya pendengaran

sebelah dengan. Hal ini membuktikan implantasi koklear

menawarkan supresi tinitus yang bersifat jangka panjang pada pasien

dengan SNHL berat dengan cara merestorasi input auditorik ke

sistem pendengaran pusat.

3. Farmakologi

Saat ini belum ada terapi medikamentosa untuk tinitus. Terapi

farmakologis yang ada bertujuan untuk meringankan gejala tambahan seperti

stres dan cemas yang diakibatkan oleh tinitus dengan penggunaan obat

golongan benzodiazepine atau carbamazepine. Beberapa penelitian

menyebutkan obat – obatan tersebut juga meningkatkan reaksi individu

tersebut terhadap tinitus, namun karena efek samping dan ketergantungan

maka tidak disarankan obat – obatan tersebut untuk menjadi terapi primer

bagi tinitus.

Pada penderita tinitus penggunaan berlebih dari alkohol, kafein, atau obat

yang merangsang sistem saraf pusat harus dihindari. Beberapa obat yang

14
sering dipakai sehari – hari seperti aspirin, juga diketahui dapat menyebabkan

tinitus.

4. Stimulasi Otak

Stimulasi otak terapetik memungkinkan modulasi fokal dari aktivitas

neuronal dan diteliti dapat menormalisasi tinitus yang terkait dengan

abnormalitas dari aktivitas neuronal. Repetitive transcranial magnetic

stimulation dalam sebuah studi randomized trial menunjukkan penurunan

derajat keparahan tinitus setelah dilakukan terapi ini. Kekurangan dari

tatalaksana ini adalah variasi efek antar individu yang tinggi, durasi dari efek

yang sangat singkat sehingga harus dilakukan secara berulang dengan biaya

yang cukup mahal.

Tabel 2.3 Rekomendasi manajemen dan tatalaksana tinitus4

15
2.4. Manajemen Tinnitus dengan Tinnitus Retraining Therapy (TRT) 8,13

Keparahan ketidaknyamanan tinnitus subjektif sangat berkaitan dengan

distress psikologikal yang diukur dengan HADS. Berdasarkan hasil studi yang

dilakukan oleh Anna Rita et al 2016 menunjukkan bahwa penggunaan rutin

kuisioner HADS, secara spesifik ditujukan pada pasien non-psikiatrik, sangat

berguna pada subjek dengan risiko tinggi berkembangnya gejala anxious-

depressive. HADS merupakan kuisioner yang sangat sensitif, menggambarkan

fitur yang menonjol dari spektrum psikiatri. Penggunaannya berguna dalam

memperbaiki konseling audiologikal dan mengarahkan pasien untuk evaluasi

neuropsikiatrik spesifik atau terapi perilaku kognitif. Berdasarkan literatur yang

terbaru, pasien tinnitus biasanya tidak memenuhi kriteria diagnostik untuk major

depressive disorders tapi sering menunjukkan gejala psikiatrik yang ringan, yang

menyebabkan terganggunya kualitas hidup. Investigasi epidemiologi secara luas

menunjukkan rentan persentasi antara 10% dan 20% populasi umum yang

menderita tinnitus, namun hanya beberapa pasien yang terpengaruh oleh

ketidaknyamanan yang menyebabkan penurunan kualitas hidup. Hubungan sebab

akibat antara keparahan tinnitus dan gangguan psikologikal/psikiatrik masih

kontroversi. Ketidaknyamanan subjektif yang dipicu oleh persepsi tinnitus

merupakan kriteria utama untuk rencan evaluasu neuropsikiatrik, dalam rangka

membangun farmakologikal atau terapi perilaku kognitif. Kehadiran gejala negatif

terkait, seperti kecemasan, depresi dan insomnia, sangat penting untuk penurunan

kualitas hidup. 8

16
Penatalaksanaan terkini yang dikemukakan oleh Jastreboff, berdasar pada

model neurofisiologi adalah kombinasi konseling terpimpin, terapi akustik, dan

medikamentosa bila diperlukan. Metode ini dikenal dengan Tinnitus Retraining

Therapy (TRT). Tinnitus Retraining Therapy (TRT) adalah intervensi non medis

dengan menggunakan Directive Counseling (DC) dan terapi suara tingkat rendah

atau Low Level Sound Therapy (ST) untuk membiasakan pasien terkait dengan

reaksi (gangguan) emosional negatif terhadap tinnitus, persepsi (kesadaran), dan


13
pada akhirnya berdampak pada kehidupan pasien . Low Level Sound Therapy

(ST) atau terapi suara nada rendah yang dapat diberikan antara lain dengan

Environmental Sound Generator atau Custom Sound Generator. Directive

Counseling (DC) pada TRT yang dipakai adalah berupa terapi Cognitif

Behavioral Therapy (CBT). CBT merupakan istilah umum untuk berbagai

pendekatan dan intervensi yang bertujuan memodifikasi pengalaman internal

individu dengan mengubah kognisi dan perilakunya14. CBT adalah intervensi

psikologis yang bertujuan membantu individu menyadari, mementingkan, dan

menghubungkan antara pikiran, perasaan, perilaku, dan gejala fisik, dengan

menggunakan teknik kognitif dan perilaku15, CBT memiliki tiga proporsi

fundamental yang sama, yaitu:

(a) Aktivitas kognitif dapat mempengaruhi perilaku;

(b) Aktivitas kognitif dapat dipantau atau diubah; dan

(c) Perubahan perilaku yang diharapkan dapat dipengaruhi melalui

pengubahan kognitif.

Mahoney dan Arnkoff mencoba untuk mengorganisasikan CBT kedalam tiga

17
focus tujuan terapi, yaitu:

a. Cognitive restructuring (restrukturisasi kognitif)

Distress emosional merupakan konsekuensi dari berbagai pikiran yang

maladaptif. Oleh karena itu, tujuan dari restrukturisasi kognitif ini adalah

untuk memunculkan pola berpikir yang lebih adaptif.

b. Coping skills therapies

Fokus tujuan terapi yang kedua ini menekankan pada pengembangan

kemampuan berulang (repertoire of skills) individu yang berguna untuk

membantunya menghadapi berbagai macam situasi yang menekan.

c. Problem solving therapies

Terapi ini merupakan kombinasi dari beberapa teknik restrukturisasi

kognitif dan prosedur pelatihan keterampilan coping. Fokusnya adalah

pada pengembangan strategi-strategi umum untuk menghadapi berbagai

macam masalah pribadi yang dialami individu. Dalam pelaksanaan terapi

ini, diperlukan kerja sama yang baik antara klien dan terapis untuk

merancang perencanaan program treatment.

Penatalaksanaan terkini yang dikemukan oleh Jastreboff, berdasar pada

model neurofisiologi adalah kombinasi antara konseling terpimpin, terapi akustik,

dan medikamentosa bila diperlukan. Tujuan dari TRT adalah memicu dan

menjaga reaksi habituasi dan persepsi tinitus dan atau suara lingkungan yang

mengganggu. Habituasi diperoleh sebagai hasil dari modifikasi hubungan sistem

auditorik ke sistem limbik dan sistem saraf otonom. TRT walau tidak dapat

18
menghilangkan tinitus dengan sempurna, tetapi dapat memberikan perbaikan yang

bermakna berupa penurunan toleransi terhadap suara. 12,13

2.7. Deskripsi TRT (Tinnitus Retraining Therapy) 8,12,13,16

TRT didasarkan pada model neurofisiologis tinitus yang dijelaskan oleh

Jastreboff (1990). Model ini terus berkembang sebagai upaya untuk menyatukan

beberapa perbedaan yang dialami oleh penderita dalam berbagai literature terkait

tinnitus. Beberapa pasien mengatakan bahwa tidak adanya kesulitan atau distress

yang timbul dari keluhan yang dialami mereka, sementara 1 hingga 2 % dari

populasi umum, pasien mengeluh keadaan tersebut melemahkan kondisi mereka

dan mengganggu kehidupan. Setiap pasien tinnitus memiliki pandangan subjektif

yang berbeda – beda dengan keluhan yang mereka alami. Beberapa pasien dengan

profil psikoakustik yang sama dapat menunjukkan persepsi subjektif yang berbeda

pula.

Diagram blok yang ditunjukkan pada Gambar 1 menggambarkan model

neurofisiologis tinnitus Jastreboff yang terdiri dari 5 tahapan yaitu:

1. Sistem Auditori Perifer

2. Struktur Auditori Subcortical

3. Cortical Centers

4. Sistem Limbik „

5. Struktur Saraf Autonom

Berdasarkan model ini, jika pasien menyadari keluhan tinitus, tetapi tidak

mengalami reaksi emosional negatif yang kuat terhadap keluhan tersebut, maka

19
hanya tahap 1 sampai 3 yang terlibat. Aktivasi tambahan pada tahap 4 dan 5

menjelaskan tekanan yang tidak terkendali yang dialami oleh pasien tinitus serta

meningkatnya stres, kecemasan, kehilangan kesejahteraan, masalah tidur, dan

gangguan umum pada tinitus. Dalam hal ini keluhan tinitus menjadi sebuah

stressor yang menimbulkan derajat distress. Pasien yang mengalami aktivasi dari

semua tahap adalah mereka yang memerlukan penatalaksanaan komprehensif dan

merupakan kandidat untuk manejemen TRT.

Model ini didukung dari teknik pencitraan fungsional yang menunjukkan

peningkatan dari aktivasi sistem limbik dan area kortikal, yang biasanya

dihubungkan dengan kondisi emosial pada pasien tinitus. Peningkatan aktivasi ini,

digambarkan dalam Gambar 1 oleh panah yang tebal yang menunjukkan kekuatan

relatif aktivasi di sepanjang jalur yang menghubungkan berbagai tahapan, hal

tersebut dipengaruhi oleh besarnya reaksi emosional negatif pasien terhadap

tinitus. Pada saat kekuatan reaksinya meningkat, pasien akan memusatkan

perhatian lebih besar pada tinitus, yang pada gilirannya akan meningkatkan

deteksi subkortikal terhadap tinitus. Peningkatan ini, pada akhirnya akan

memperburuk aktivasi sistem limbik dan otonom, membentuk seperti “lingkaran

setan berkelanjutan”, Pada akhirnya, dalam kasus yang parah, reaksi yang

diinduksi tinnitus sistem limbik dan autonom akan mengambil sifat refleks yang

terkondisikan seperti sebelumnya dalam suatu lingkaran umpan balik atau

mekanisme feedback.

20
21
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Anna Rita et al tahun 2016

dengan hipotesis pertamanya bahwa tinnitus menentukan kondisi psikiatrik;

sebaliknya kelainan terkompensasi yang sebelumnya ada akan ditemukan karena

tinnitus. Ditambah lagi tinnitus yang ditoleransi dengan baik dapat muncul

kembali karena timbulnya psikosis; gangguan tidur dan insomnia juga sering

disebabkan oleh tinnitus kronis dan berhubungan dengan penigkatan depresi,

anxietas dan keparahan gejala somatik. Rauschecker dkk fokus pada peran

jaringan limbik-kortikostriatal dalam persepsi subjektif tinnitus. Telah dijelaskan

bahwa, dalam kondisi fisiologis, jaringan limbik, termasuk daerah

parahippocampal, korteks singulata anterior, amigdala, insula dan lobus frontal

merupakan filter untuk informasi sensorik mencapai tingkat kesadaran. Hal

tersebut mencegah sinyal tinnitus mencapai korteks auditori. Akibatnya, jika

sirkuit yang melibatkan amigdala dan area subkalosus rusak, inhibisi aktivasi

talamus berikutnya hilang, dan sinyal diteruskan ke korteks di mana hal tersbut

dipersepsikan sebagai tinnitus. Telah dikemukakan bahwa, dalam jangka panjang,

reorganisasi korteks auditori yang maladaptif ini menyebabkan terjadinya tinnitus

kronik tanpa adanya stimuli perifer dan amplifikasi persepsi emosional yang

abnormal.

Hasil studi ini menunjukkan pada pasien yang mengalami ketidaknyamanan

berat terkait tinnitus, deteksi awal dan sensitif gejala anxitas-depresi dapat dicapai

dengan menggunakan kuisioner HADS. Masalah klinis ini membantu

mengarahkan strategi terapi, terutama mengingat kurangnya terapi obat yang

ditoleransi baik, dan yang sudah ditetapkan untuk tinnitus. Tidak ada rekomendasi

22
dalam penggunaan medikasi rutin oleh US FDA untuk terapi tinnitus. Namun,

penyataan ini tidak berlaku pada pasien yang secara bersamaan mengalami

gangguan anxietas atau depresi. Di antara beberapa obat yang diuji pada pasien

tinnitus, sudah termasuk antidepressan trisiklik, selective serotonin reuptake

inhibitors (SSRIs) dan benzodiazepin. Meskipun obat tersebut tidak langsung

mengurangi persepsi tinnitus, penggunaannya dapat direkomendasikan pada

pasien yang terkena gejala anxietas-depresi, terlepas dari hubungan kausal dengan

tinnitus, dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan, dengan

secara tidak langsung menghilangkan distress terkait tinnitus. Ketidaknyamanan

subjektif yang dipicu oleh persepsi tinnitus merupakan kriteria utama untuk

rencana evaluasi neuropsikiatrik, dalam rangka membangun farmakologikal atau

terapi perilaku kognitif. Penatalaksanaan terkini yang dikemukakan oleh

Jastreboff, berdasar pada model neurofisiologi adalah kombinasi konseling

terpimpin, terapi akustik, dan medikamentosa bila diperlukan. Metode ini dikenal

dengan Tinnitus Retraining Therapy (TRT). Metode ini dikenal dengan Tinnitus

Retraining Therapy (TRT).

2.6. Tahapan Pelaksanaan Tinnitus Retraining Therapy (TRT)4,5

Tinnitus Retraining Therapy (TRT) adalah intervensi non medis dengan

menggunakan Directive Counseling (DC) dan terapi suara tingkat rendah atau

Low Level Sound Therapy (ST) untuk membiasakan pasien terkait dengan reaksi

(gangguan) emosional negatif terhadap tinnitus, persepsi (kesadaran), dan pada

akhirnya berdampak pada kehidupan pasien. Prinsip pertama adalah konseling

direktif yang ditujukan untuk reklasifikasi tinnitus ke kategori sinyal

23
netral, sementara prinsip kedua adalah terapi suara yang ditujukan untuk

melemahkan aktivitas neuron terkait tinnitus. Tujuan dari terapi ini adalah

memicu dan menjaga reaksi habituasi dan persepsi tinitus dan atau suara

lingkungan yang mengganggu. Habituasi diperoleh sebagai hasil modifikasi

hubungan system auditorik ke sistem limbik dan system saraf otonom. TRT walau

tidak dapat menghilangkan tinitus dengan sempurna, tetapi dapat memberikan

perbaikan yang bermakna berupa penurunan toleransi terhadap suara. TRT

biasanya digunakan jika dengan medikasi tinitus tidak dapat dikurangi atau

dihilangkan. TRT adalah suatu cara dimana pasien diberikansuara lain sehingga

keluhan telinga berdenging tidak dirasakan lagi. Tahapan pelaksanaan Tinnitus

Retraining Therapy (TRT) adalah:

1. Anamnesis awal untuk mengidentifikasi masalah dan keluhan pasien.

Diperuntukan tenaga terapi / profesional untuk mengumpulkan

informasi lengkap pasien yang nantinya akan mencangkup tentang

sejarah tinnitus, pendengaran, vertigo, gaya hidup, diet, pekerjaan

bahkan masalah psikologis apapun yang sedang dialami pasien. Dalam

hal ini juga mencakup menentukan pengaruh tinitus dan penurunan

toleransi terhadap suara sekitarnya.

2. Mengevakuasi kondisi emosional pasien. Penggunaan alat-alat yang

digunakan di belakang telinga dan menghasilkan suara broadband

untuk mengalihkan perhatian pasien dari tinnitus.

3. Mendapatkan informasi untuk memberikan konseling yang tepat dan

membuat data dasar yang akan digunakan untuk evaluasi terapi atau

24
Pengajaran terapi psikologi terhadap pasien untuk menghiraukan

suara-suara di telinga karena tinnitus. Tahap ini dikombinasikan

dengan latihan-latihan relaksasi serta manajemen stress. Obyeknya di

sini adalah menyingkirkan rasa cemas yang dialami pasien, sehingga

tinnitus tidak lagi dianggap sebagai sebuah bahaya. Dengan demikian,

hal ini sekaligus mengalihkan perhatian pasien dari suara-suara tinnitus

yang dihadapinya.

Pada dasarnya, tujuan akhir dari serangkaian proses terapi tinnitus ini adalah

habituasi atau rasa sepenuhnya terbiasa dengan suara-suara di telinga pasien.

Habituasi diperoleh sebagai hasil dari modifikasi hubungan sistem auditorik ke

sistem limbik dan sistem saraf otonom. TRT walau tidak dapat menghilangkan

tinitus dengan sempurna, tetapi dapat memberikan perbaikan yang bermakna

berupa penurunan toleransi terhadap suara.

25
BAB III
KESIMPULAN

Pasien yang menderita tinnitus memiliki risiko yang lebih tinggi berkembang

menjadi penyakit tertentu, seperti insomnia, anxietas, depresi dan menunjukkan

secara keseluruhan kualitas hidup yang menurun. Ketidaknyamanan subjektif

yang dipicu oleh persepsi tinnitus merupakan kriteria utama untuk rencana

evaluasi neuropsikiatrik, dalam rangka membangun farmakologikal atau terapi

perilaku kognitif. Penatalaksanaan terkini yang dikemukakan oleh Jastreboff,

berdasar pada model neurofisiologi adalah kombinasi konseling terpimpin, terapi

akustik, dan medikamentosa bila diperlukan. Metode ini dikenal dengan Tinnitus

Retraining Therapy (TRT). Tujuan dari TRT adalah memicu dan menjaga reaksi

habituasi dan persepsi tinitus dan atau suara lingkungan yang mengganggu.

Habituasi diperoleh sebagai hasil dari modifikasi hubungan sistem auditorik ke

sistem limbik dan sistem saraf otonom. TRT walau tidak dapat menghilangkan

tinitus dengan sempurna, tetapi dapat memberikan perbaikan yang bermakna

berupa penurunan toleransi terhadap suara.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Yew S. Kenneth. 2014. Diagnostic Approach to Patients with Tinnitus.

American Family Physician, Vol. 89, Number 2.

2. Kim Hyun-Jong et al., 2015. Analysis of the Prevalence and Associated Risk

Factors of Tinnitus inAdults. Plos One. DOI:10.1371/journal.pone.0127578.

3. Bashiruddin J, Soetirto I. 2012. Gangguan pendengaran akibat bising. Dalam:

SoepardiEA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi ke 7. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Press, pp: 49 –52.

4. Langguth B et al. 2013. Tinnitus: causes and clinical management.

LancetNeurol.12:920-930.

5. Franke Wallha ̈usser -E, Brade J , Balkenhol T, D‟Amelio R , Seegmu ̈ ller A ,

Delb W. 2012. Tinnitus: Distinguishing between Subjectively Perceived

Loudness and Tinnitus-Related Distress. Plos One. Vol. 7, Issue 4.

6. Nugroho D A. 2015. Hubungan Frekuensi dan intensitas tinitus subjektif

dengan kualitas hidup pasien, FK Undip, ORLI Vol.45 No.1.

7. Henry J. A., Dennis C. K., Schechter M. A. 2005. General Review of

Tinnitus: Prevalence, Mechanisms, Effects, and Management.Journal of

Speech, 1204 Language, and Hearing Research, Vol. 48, pp 1204–1235.

8. Rita A. F., Lucidi D., Deloso E., et al. 2016. Departement Head and Neck

Surgery – Institute of Otorhinolaryngology, Catholic University of Secred

Heart Rome Italy. International Tinnitus Journal-Editorial Manager System.

20(2):76-82.

27
9. Baguley, D. M., McFerran D., Hall Deborah. 2013. Tinnitus. The Lancet.

Vol, 382, No.9904, pp 1600-1607.

10. Cieśla K, Lewandowska M, Skarżyński H. 2016. Health-related quality of

life and mental distress in patients with partial deafness: preliminary findings.

Eur Arch Otorhinolaryngol: 273:767-76.

11. Hoare DJ, Hall DA. Clinical Guidelines and Practice. 2011. A Commentary

of the Complexity of Tinnitus Management. Evaluation & the Health

Professions: 34(4):413-420.

12. Soepardi E., Iskandar N. 2004. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher

Edisi ke Enam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

13. Zachriat, C., & Kro ̈ner-Herwig, B. 2004. Treating chronic

tinnitus:Comparison of cognitive-behavioural and habituation-based

treatments. Cognitive Behaviour Therapy: (33).187-198.

14. Craig F., Scherer W. R., 2013. Tinnitus Retrainning Therapy Manual of

Procedures Version 1.8. Data Coordinating Center Director.

15. Lesmana, J. M. (2009). Teori-TeoriKognitif dan Cognitive Behavior Therapy.

Depok: FakultasPsikologiUniversitasIndonesia.

16. Indriasari, N. (2011). Manajeme Stres dengan Pendekatan Kognitif Perilaku

pada Wanita dengan Kanker Payudara Pasca-Pengobatan. Depok: Fakultas

Psikologi Universitas Indonesia.

17. Jastreboff PJ, Gray W.C., Gold SL. Neurophysiological approach to tinnitus

patients. Am J Otol. 1996. 17:236-40.

28

Anda mungkin juga menyukai