Anda di halaman 1dari 28

RESPONSI KASUS

SUDDEN SENSORINEURAL HEARING LOSS

Oleh :
Bhisma Dewabratha 1702612080
Ni Kadek Yunita Arsita Dewi 1702612172
Putu Meitri Nirmala Utami 1702612184

Pembimbing :
dr. Made Wiranadha, Sp.T.H.T.K.L(K)., FICS

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DEPARTEMEN/KSM ILMU KESEHATAN THT-KL
FK UNUD/RSUP SANGLAH
DENPASAR
2019

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkah dan rahmat-Nyalah pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan
laporan responsi ini yang mengangkat kasus “Sudden Sensorineural Hearing
Loss” tepat pada waktunya. Laporan responsi ini disusun dalam rangka mengikuti
Kepaniteraan Klinik Madya (KKM) di Departemen/KSM Ilmu Penyakit Telinga-
Hidung-Tenggorok dan Kepala-Leher (THT-KL) FK UNUD/RSUP Sanglah
Denpasar.
Dalam penyusunan dan penulisan laporan responsi ini, penulis banyak
mendapatkan bimbingan dan bantuan, baik berupa informasi maupun bimbingan
moral. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih
kepada :
1. dr. Eka Putra Setiawan, Sp.T.H.T.K.L(K).,FICS selaku kepala
Bagian/SMF Ilmu Penyakit THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah
Denpasar.
2. dr. I Ketut Suanda, Sp.T.H.T.K.L selaku koordinator pendidikan di
Bagian/SMF Ilmu Penyakit THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah
Denpasar.
3. dr. Made Wiranadha, Sp.T.H.T.K.L(K)., FICS selaku pembimbing
responsi di Bagian/SMF Ilmu Penyakit THT-KL FK UNUD/RSUP
Sanglah Denpasar.
4. Dokter-dokter spesialis THT-KL di Bagian/SMF THT-KL FK
Unud/RSUP Sanglah Denpasar.
5. Rekan-rekan sejawat (Dokter Residen dan Dokter Muda) di Bagian/SMF
Ilmu Penyakit THT-KL FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.
6. Semua pihak lain yang telah membantu dalam penyusunan laporan
responsi ini.
Penulis menyadari bahwa laporan responsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak sangat diharapkan dalam rangka penyempurnaan laporan ini. Penulis
mengharapkan semoga laporan ini dapat memberikan manfaat di bidang ilmu
pengetahuan kedokteran.

Denpasar, 28 Mei 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................3
2.1 Definisi Sudden Sensorineural Hearing Loss ...................................................3
2.2 Anatomi Telinga ...............................................................................................4
2.3 Fisiologi Pendengaran ......................................................................................6
2.4 Klasifikasi Tuli .................................................................................................6
2.5 Etio-Pathogenesis Sudden Sensorineural Hearing Loss ...................................7
2.6 Manifestasi Klinis Sudden Sensorineural Hearing Loss...................................9
2.7 Diagnosis Sudden Sensorineural Hearing Loss ...............................................9
2.8 Diagnosis Banding Sudden Sensorineural Hearing Loss ...............................11
2.9 Penatalaksanaan Sudden Sensorineural Hearing Loss....................................12
2.10 Prognosis Sudden Sensorineural Hearing Loss ............................................12
BAB III LAPORAN KASUS ...............................................................................14
3.1 Identitas Pasien ...............................................................................................14
3.2 Anamnesis .......................................................................................................14
3.3 Pemeriksaan Fisik............................................................................................16
3.4 Pemeriksaan Penunjang ..................................................................................18
3.5 Diagnosis ........................................................................................................19
3.6 Penatalaksanaan ..............................................................................................19
BAB IV PEMBAHASAN ....................................................................................20
BAB V KESIMPULAN .......................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Sudden Sensorineural Hearing Loss (SSNHL) umumnya dikenal sebagai


tuli mendadak, sering didefinisikan sebagai gangguan atau kehilangan
pendengaran yang tidak dapat dijelaskan, cepat dan biasanya terjadi pada satu
telinga (NIDCD, 2014). SSNHL merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan
otologi yang memerlukan penanganan segera dan didiagnosis dengan melakukan
tes pendengaran. Jika tes menunjukkan hilangnya setidaknya 30 desibel (desibel
adalah ukuran suara) dalam tiga frekuensi yang terhubung (frekuensi adalah
ukuran pitch - tinggi ke rendah), gangguan pendengaran didiagnosis sebagai
SSNHL (Kuhn M et al,. 2011).
Menurut The United States National Institute for Deafness and
Communication Disorders (NICDC, 2014), SSNHL merupakan gangguan atau
hilangnya pendengaran, lebih dari atau sama dengan 30 desibel, dalam tiga
frekuensi berturut-turut dan terjadi kurang dari atau sama dengan 72 jam. SSNHL
adalah keluhan yang relatif umum dalam praktik otologik dan audiologik yakni
sekitar 1,5-1,7% per 100 pasien. Pada 7% hingga 45% pasien, penyebab dapat
diidentifikasi. Mayoritas pasien dengan SNHL mendadak tidak memiliki
penyebab dari gangguan pendengaran dan diklasifikasikan sebagai "idiopatik"
(Kuhn M et al,. 2011).
Insiden dari SNHL mendadak di Amerika Serikat adalah sekitar 5-20 per
100.000 orang per tahun dengan 4000 kasus baru pertahunnya. Kejadian
sebenarnya dari SSNHL mungkin lebih tinggi dari perkiraan ini karena individu
yang pulih dengan cepat tidak melakukan perawatan medis. Meskipun individu
dari segala usia dapat terpengaruh, kejadian ini paling banyak terjadi pada usia 50
hingga 60 tahun. SSNHL terjadi dengan insiden yang sama pada pria dan wanita.
Hampir semua kasus bersifat unilateral; kurang dari 2% pasien memiliki
keterlibatan bilateral (Jarvis SJ et al,. 2011).
Meskipun penelitian mengenai SNHL mendadak banyak dilakukan, tetap
ada kontroversi dalam etiologi dan perawatan yang tepat pada pasien dengan
SSNHL idiopatik. Terlepas dari etiologi, pemulihan ambang pendengaran pada

1
pasien SSNHL mungkin tidak dapat terjadi, mungkin parsial, atau bisa lengkap.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemulihan pendengaran termasuk usia saat
onset kehilangan pendengaran, tingkat keparahan gangguan pendengaran dan
frekuensi yang terkena, adanya vertigo, dan waktu antara onset gangguan
pendengaran dan kunjungan ke dokter (Chau et al,. 2010).
Pasien dengan SSNHL harus segera mengunjungi dokter karena peluang
pemulihan lebih besar jika gangguan pendengaran ditangani sejak dini. Kadang-
kadang, orang-orang dengan SSNHL menunda pergi ke dokter karena mereka
mengira gangguan pendengaran mereka disebabkan oleh alergi, infeksi sinus,
kotoran telinga yang menusuk saluran telinga, atau kondisi umum lainnya.
Namun, menunda diagnosis dan pengobatan SSNHL dapat menurunkan
efektivitas pengobatan (Kuhn M et al,. 2011).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Sudden Sensorineural Hearing Loss (SSNHL)

Tuli mendadak atau sudden sensorineural hearing loss (SSNHL)


didefinisikan sebagai bentuk sensasi subjektif kehilangan pendengaran
sensorineural pada satu atau kedua telinga yang berlangsung secara cepat
dalam periode 72 jam, dengan kriteria audiometri berupa penurunan
pendengaran ≥30 dB sekurang-kurangnya pada 3 frekuensi berturut-turut,
yang menunjukkan adanya abnormalitas pada koklea, saraf auditorik, atau
pusat persepsi dan pengolahan impuls pada korteks auditorik di otak. Jika
penyebab tuli mendadak tidak dapat diidentifikasi setelah pemeriksaan yang
adekuat, disebut idiopathic sudden sensorineural hearing loss (ISSNHL)
(NICDC, 2014; Stachler RJ et al,. 2012).

Keparahan tuli mendadak berdasarkan derajat penurunan pendengaran,


menurut WHO, terbagi atas beberapa tingkatan sebagaimana tersaji dalam
tabel berikut.

Tabel 2.1. Derajat Penurunan Pendengaran (WHO, 2010)

3
2.2. Anatomi Telinga

1. Telinga Luar
Telinga luar merupakan komponen luar telingan yang terdiri dari
auricular dan meatus akusticus eksternus yang berfungsi sebagai
resonator dan meningkatkan transmisi suara (Hallowell and Silverman,
1970). Aurikula terdiri dari beberapa bagian yang terdiri dari tulang
rawan yang kenyal yang ditutupi kulit. Meatus akusticus eksternus
meluas dari concha auricularis sampai ke membrane timpani berbentuk
huruf S dengan panjang kira-kira 2,5-3 cm, sepertiga bagian luar tersusun
atas tulang rawan dan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari
tulang. Pada sepertiga bagian luar kulit aurikula terdapat banyak kelenjar
serumen dan rambut, sedangkan pada dua pertiga bagian dalam hanya
sedikit dijumpai kelenjar serumen (Soepardi, et al., 2017). Tulang rawan
dan kulit telinga akan berkurang elastisitasnya sesuai dengan
pertambahan usia (Hallowell and Silverman, 1970; Soepardi, et al.,
2017).
2. Telinga Tengah
Telinga tengah adalah ruangan berisi udara yang terletak di pars
petrosa ossis temporalis, terdiri dari kavum timpai, tuba eustasius
berserta celulae mastoideus dibelakngnya dan 3 tulang artikulasi. Tiga
tulang artikulasi yang dihubungkan ke dinding ruang timpani oleh
ligamen, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Membran timpani memisahkan
telinga tengah dari kanalis akustikus eksternus. Vibrasi membran timpani
menyebabkan tulang-tulang artikulasi bergerak dan mentransmisikan
gelombang bunyi melewati ruang ke foramen ovale. Vibrasi kemudian
bergerak melalui cairan dalam telinga tengah dan merangsang reseptor
pendengaran. Bagian membran yang tegang yaitu pars tensa, sedangkan
bagian membran yang sedikit tegang adalah pars flaksida. Proses
penuaan menyebabkan perubahan atrofi pada membran yang
mengakibatkan membran lebih dangkal dan retraksi (teregang) (Soepardi,
et al., 2017).

4
3. Telinga Dalam
Telinga dalam atau auris interna terletak didalam pars petrosa dari
tulang temporal. Secara umum auris interna dibagi menjadi labyrinthus
osseus dan labyrinthus membranaseus. Labyrinthus membranesus berupa
selaput yang diliputi oleh perilimfe dan terbenam dalam labyrinthus
osseus. Secara fungsinya auris interna terbagi menjadi 2 yaitu koklea
(rumah siput) untuk pendengaran dan vestibuler berupa tiga buah kanalis
semisirkularis untuk keseimbangan (Soepardi, et al., 2017).
Koklea melingkar seperti rumah siput dengan dua dan satu setengah
putaran. Aksis dari spiral tersebut dikenal sebagai modiolus, berisi berkas
saraf dan suplai arteri dan arteri vertebralis. Serabut saraf kemudian
berjalan menerobos suatu lamina tulang yaitu lamina spiralis oseus untuk
mencapai sel-sel sensorik organo corti. Rongga koklea bertulang dibagi
menjadi tiga bagian oleh ductus koklearis yang panjangnya 35 m dan
berisi endolimf dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh membran
Reisner yang tipis (Hallowell and Silverman, 1970; Soepardi, et al.,
2017).
Skala vestibuli dan skala timpani mengandung perilimfe dan unsur
potasium dengan konsentrasi 4mEq/L dan konsentrasi sodium sebesar
139 mEq/L, sedangkan skala media mengandung endolimfe mengandung
unsur potasium sebesar 144 mEq/L dan sodium sebesar 13 mEq/L.
Perilimfe pada skala vestibuli berhubungan dengan perilimfe pada skala
timpani di daerah apeks koklea yang disebut helikotrema (Soepardi, et
al., 2017).
Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran Reisnner (membrane
vestibule) dan dasar skala media adalah membran basilaris. Pada
membran ini terletak organ corti. Komponen sebagian besar organ corti
adalah sel sensoris (tiga baris sel rambut luar dan satu baris sel rambut
dalam), sel-sel penunjang (Deiters, Hensen, Claudius), membran
tektorial, dan lamina retikular-kutikular. Saraf pendengaran
menghubungkan sel sensoris ke saraf otak. Tipe fiber saraf pendengaran
ada dua, yaitu tipe serabut yang lebih besar, bermielin, neuron bipolar

5
yang menginervasi sel rambut dalam sebanyak 90-95%. Tipe fiber yang
kedua lebih kecil, tidak bermielin, menghubungkan sel rambut luar
sebanyak 5- 10% (Hallowell and Silverman, 1970). Vaskularisasi telinga
dalam berasal dari A. Labirintin cabang A. Cerebelaris anteroinferior
atau cabang dari A. Basilaris atau A. Verteberalis

2.3. Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun


telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke
telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan
mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan
perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi
getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfe pada skala vestibuli
bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reisnner yang mendorong
endolimfe sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris
dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang
menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal
ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel.
Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga
melepaskan neurotransmitter ke dalam sinaps yang akan menimbulkan
potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius
sampai ke korteks pendengaran di lobus temporalis (Soepardi, et al., 2017).

2.4. Klasifikasi Tuli

Terdapat 2 jenis utama tuli, yaitu tuli konduksi dan tuli sensorineural,
tetapi ada kemungkinan dimana kedua jenis tuli timbul bersamaan, hal ini
yang disebut sebagai tuli campuran.
2.4.1 Tuli Sensorineural
Tuli sensorineural biasa dikenal sebagai tuli koklea atau tuli
telinga dalam. Tuli sensorineural permanen merupakan hasil dari

6
kerusakan sel rambut didalam koklea atau saraf pendengaran atau
keduanya (Haris and Rucheristein, 1996; Isaacson and Vora, 2003).
Terjadinya kerusakan pada organ corti menyebabkan kemampuan sel
rambut untuk menstimulasi saraf pendengaran menjadi berkurang,
selain itu dapat juga terjadi masalah metabolik pada telinga dalam
(Isaacson and Vora, 2003). Kerusakan pada koklea dapat terjadi secara
natural karena proses penuaan tetapi ada beberapa penyebab lainnya,
seperti paparan suara bising berkepanjangan, penggunaan obat
ototoksik yang lama, infeksi, trauma kepala, dan faktor predisposisi
pada pasien (Haris and Rucheristein, 1996).
2.4.2 Tuli Konduksi
Tuli konduksi terjadi karena suara tidak dapat dihantarkan ke
dalam telinga tengah. Hal ini biasa terjadi karena adanya sumbatan pada
telinga luar atau tengah, seperti menumpukna sekret telinga atau cairan
karena infeksi, adanya abnormalitas pada struktur telinga luar atau
tengah, ataupun karena rusaknya gendang telinga. Tuli konduksi
menyebabkan penurunan intensitas dari suara, sehingga suara yang
sampai di telinga dalam lebih rendah daripada suara awal/asli. (Isaacson
and Vora, 2003)
2.4.3 Tuli Campuran
Tuli campuran merupakan tuli sensorineural dengan adanya
komponen tuli konduksi pada hasil tes audiometri. Tuli campuran
disebabkan karena adanya masalah pada telinga dalam atau saraf
pendengaran yang didukung dengan adanya disfungsi pada telinga
tengah, sehingga memperparah pendengaran pasien (Isaacson and Vora,
2003).

2.5. Etio-Pathogenesis

Penyebab tuli mendadak masih belum diketahui secara jelas; banyak


teori dugaan penyebab yang dikemukakan oleh para ahli. Sebuah data
memperkirakan 1% kasus tuli mendadak disebabkan oleh kelainan
retrokoklea yang berhubungan dengan vestibular schwannoma, penyakit

7
demielinisasi, atau stroke, 10-15% kasus lainnya disebabkan oleh penyakit
Meniere, trauma, penyakit autoimun, sifilis, penyakit Lyme, atau fistula
perilimfe (Stachler RJ et al,. 2012). Dalam praktik, 85-90% kasus tuli
mendadak bersifat idiopatik yang etiopatogenesisnya tidak diketahui pasti.
Pada sebuah systematic review, diuraikan beberapa kemungkinan penyebab
tuli mendadak, yaitu idiopatik (71%), penyakit infeksi (12,8%), penyakit
telinga (4,7%), trauma (4,2%), vaskular dan hematologik (2,8%), neoplasma
(2,3%), serta penyebab lainnya (2,2%) (Chau et al,. 2010).
Table 2.2. Penyebab Tuli Mendadak

Etiologi yang masih belum diketahui pada sebagian besar pasien


SSNHL diklasifikasikan sebagai idiopatik. Banyak hipotesis dari patofisiologi
SSNHL idiopatik telah diajukan. Teori yang paling banyak diterima adalah
kelainan vaskular, pecahnya membran koklea dan infeksi virus (Jarvis SJ et
al,. 2011). Beberapa penulis mengemukakan bahwa SSNHL idiopatik
didasari oleh kelainan pembuluh darah. Suplai darah ke koklea muncul dari
dua arteri terminal kecil. Karena diameter kecil pembuluh darah di dalam
suplai arteri dan kurangnya suplai darah kolateral, koklea rentan terhadap
cedera melalui berbagai penghinaan vaskular. Presentasi klinis SNHL
mendadak adalah unilateral sebanding dengan presentasi klinis penyakit
vaskular iskemik seperti serangan iskemik transien dan amaurosis fugax.
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa faktor risiko untuk penyakit
vaskular iskemik, termasuk merokok, hipertensi, dan hiperlipidemia,
merupakan faktor risiko untuk pengembangan SSNHL idiopatik, meskipun

8
yang lain tidak menemukan hubungan faktor-faktor risiko ini dengan SSNHL
idiopatik (Chau et al,. 2010; Kuhn M et al,. 2011).
Menurut teori etiologi vaskular, kehilangan pendengaran mendadak
dapat terjadi akibat perdarahan vaskular akut, oklusi oleh emboli, penyakit
vaskular, vasospasme, atau perubahan viskositas darah. Iskemia koklea
merupakan penyebab utama tuli mendadak. Koklea memperoleh asupan
darah dari arteri labirintin atau arteri auditiva interna. Pembuluh darah ini
merupakan end artery yang tidak memiliki vaskularisasi kolateral, sehingga
jika terganggu dapat mengakibatkan kerusakan koklea. Kelainan yang
menyebabkan iskemia koklea atau oklusi pembuluh darah, seperti trombosis
atau embolus, vasopasme, atau berkurangnya aliran darah yang dapat
mengakibatkan degenerasi luas sel ganglion stria vaskularis dan ligamen
spiralis yang diikuti pembentukan jaringan ikat dan penulangan (Ballesteros
et al., 2009; Novita S dan Yuwono N, 2013).

2.6. Manifestasi Klinis Sudden Sensorineural Hearing Loss (SSNHL)

Keluhan pasien pada umumnya berupa hilangnya pendengaran pada


satu sisi telinga saat bangun tidur. Sebagian besar kasus bersifat unilateral,
hanya 1-2% kasus bilateral. Kejadian hilangnya pendengaran dapat bersifat
tiba-tiba, berangsur-angsur hilang secara stabil atau terjadi secara cepat dan
progresif. Kehilangan pendengaran bisa bersifat fluktuatif, tetapi sebagian
besar bersifat stabil. Tuli mendadak ini sering disertai dengan keluhan sensasi
penuh pada telinga dengan atau tanpa tinitus; terkadang didahului oleh
timbulnya tinitus. Selain itu, pada 28-57% pasien dapat ditemukan gangguan
vestibular, seperti vertigo atau disequilibrium (Novita S dan Yuwono N,
2013, Stachler RJ et al,. 2012).

2.7. Diagnosis Sudden Sensorineural Hearing Loss (SSNHL)

Menurut AAO-HNS (American Academy of Otolaryngology-Head and


Neck Surgery) guideline, langkah pertama diagnosis tuli mendadak adalah
membedakan tuli sensorineural dan tuli konduktif melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, tes penala, pemeriksaan audiometri, dan pemeriksaan

9
penunjang lainnya. Ketulian atau hearing loss diklasifikasikan menjadi tuli
konduktif, tuli sensorineural, atau campuran (Novita S dan Yuwono N, 2013).
Pada anamnesis ditanyakan onset dan proses terjadinya ketulian
(berlangsung tiba-tiba, progresif cepat atau lambat, fluktuatif, atau stabil),
persepsi subjektif pasien mengenai derajat ketulian, serta sifat ketulian
(unilateral atau bilateral). Selain itu, ditanyakan juga gejala yang menyertai
seperti sensasi penuh pada telinga, tinitus, vertigo, disequilibrium, otalgia,
otorea, nyeri kepala, keluhan neurologis, dan keluhan sistemik lainnya.
Riwayat trauma, konsumsi obat-obat ototoksik, operasi dan penyakit
sebelumnya, pekerjaan dan pajanan terhadap kebisingan, serta faktor
predisposisi lain yang penting juga perlu ditanyakan (Ballesteros et al., 2009;
Novita S dan Yuwono N, 2013) .
Pada pemeriksaan fisik, dilakukan inspeksi saluran telinga dan
membran timpani untuk membedakan tuli konduktif dan tuli sensorineural.
Penyebab tuli konduktif berupa impaksi serumen, otitis media, benda asing,
perforasi membran timpani, otitis eksterna yang menyebabkan edema saluran
telinga, otosklerosis, trauma, dan kolesteatoma. Sebagian besar kondisi ini
dapat didiagnosis dengan pemeriksaan otoskopi. Di lain pihak, pemeriksaan
otoskopi pada pasien tuli sensorineural hampir selalu mendapatkan hasil
normal. Pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan neurologis juga dilakukan,
terutama pada pasien dengan tuli mendadak bilateral, tuli mendadak dengan
episode rekuren, dan tuli mendadak dengan defisit neurologis fokal, untuk
mencari kelainan serta penyakit penyerta lainnya Ballesteros et al., 2009;
Chau et al,. 2010; Novita S dan Yuwono N, 2013).
Pemeriksaan audiometri lengkap, termasuk audiometri nada murni,
audiometri tutur (speech audiometry) dan audiometri impedans (timpanometri
dan pemeriksaan refleks akustik), merupakan pemeriksaan yang wajib
dilakukan dalam mendiagnosis tuli mendadak. Hal ini sesuai dengan salah
satu kriteria definisi tuli mendadak menurut NIDCD 2014, yakni terdapat
penurunan pendengaran ≥30 dB sekurang-kurangnya pada 3 frekuensi
berturut-turut pada pemeriksaan audiometri (NIDCD, 2014). Pemeriksaan
audiometri diperlukan untuk membuktikan ketulian dan menentukan derajat

10
penurunan pendengaran. Hantaran tulang dan hantaran udara dalam
audiometri nada murni membantu menentukan jenis ketulian, baik tuli
konduktif, tuli sensorineural, maupun tuli campuran. Audiometri tutur dapat
digunakan untuk memverifikasi hasil audiometri nada murni. Timpanometri
dan pemeriksaan refleks akustik juga dapat membedakan tuli konduktif dan
tuli sensorineural serta memberikan petunjuk tambahan untuk etiologi. (Chau
et al,. 2010; Kuhn M et al,. 2011). Timpanometri dapat membantu dalam
mengeksklusi kemungkinan adanya komponen konduktif pada pasien dengan
penurunan pendengaran sangat berat. Pemeriksaan laboratorium dilakukan
berdasarkan keluhan dan riwayat pasien serta kemungkinan etiologi.
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak spesifik tidak direkomendasikan sebab
jarang terbukti membantu menentukan etiologi tuli mendadak (Novita S dan
Yuwono N, 2013).

2.8. Diagnosis Banding Sudden Sensorineural Hearing Loss (SSNHL)

Beberapa penyakit yang menunjukan gejala berupa penurunan


pendengaran harus disingkirkan sebelum mendiagnosis tuli mendadak.
Penyakit seperti presbikusis, gangguan pendengaran akibat bising, dan
penyakit Meniere (Isaacson and Vora, 2003; Soepardi, et al., 2017).
Presbikusis merupakan penurunan pendengaran yang timbul seiring
dengan bertambahnya usia, bersifat simetris bilateral dan progresif lambat
umumnya pada suara atau nada – nada tinggi, dan terdapat penurunan dalam
pemahaman kata – kata yang diucapkan oleh lawan bicara (Soepardi, et al.,
2017).
Gangguan pendengaran akibat bising biasa terjadi jika terdapat riwayat
paparan bising sebelumya yang bersifat simetris bilateral dan progresif
lambat. Sedangkan penyakit Meniere disebabkan karena adanya masalah
pada telinga dalam yang megakibatkan terjadinya vertigo, penurunan
pendengaran yang fluktuatif dan bersifat unilateral, serta tinnitus (Isaacson
and Vora, 2003).

11
2.9. Penatalaksanaan Sudden Sensorineural Hearing Loss (SSNHL)

Beberapa penatalaksaan yang dilakukan pada pasien tuli mendadak


meliputi (Soepardi, et al., 2017; Wilson, Byl, and Laird, 1980):
- Tirah baring total, istirahat fisik dan mental selama 2 minggu untuk
menghilangkan atau mengurangi stress yang memiliki pengaruh besar
terhadap kegagalan neurovascular.
- Terapi oral kortikosteroid yaitu, methylprednisolone 1 mg/kgBB/hari,
tapering off setiap 3-5 hari. Namun harus hati-hati pada pasien diabetes
mellitus.
- Bila terjadi penurunan pendengaran yang berat >70 dB dapat diberikan
methylprednisolone IV dengan dosis antara 250-500 mg/hari.
- Bila tidak ada perubahan dapat diberikan intra timpani kortikosteroid.
- Terapi Hiperbarik O2
- Diet rendah garam dan kolestrol
- Bila gangguan pendengaran tidak sembuh dengan pengobatan, dapat
dipertimbangkan pemasangan alat bantu dengar.
Pada pasien diabetes mellitus sebaiknya kortikosteroid diberikan secara
injeksi dengan pemeriksaan gula darah rutin setiap hari. Evaluasi
pendengaran dilakukan rutin setiap minggu selama satu bulan (Soepardi, et
al., 2017).

2.10. Prognosis Sudden Sensorineural Hearing Loss (SSNHL)

Prognosis tuli mendadak bergantung pada beberapa faktor, yaitu:


kecepatan pemberian obat, respon 2 minggu pengobatan pertama, usia,
derajat tuli saraf, dan adanya faktor predisposisi. Pada umumnya, makin cepat
diberikan pengobatan makin besar kemungkinan untuk sembuh, bila sudah
lebih dari 2 minggu kemungkinan sembuh menjadi lebih kecil (Soepardi, et
al., 2017; Fettermant, Saunders, and Luxford, 1996; Haris and Rucheristein,
1996).

Penyembuhan dapat sebagian atau lengkap, tetapi dapat juga tidak


sembuh, hal ini disebabkan oleh faktor predisposisi pada pasien, seperti

12
pasien yang menggunakan obat ototoksik dalam jangka waktu yang lama,
pasien diabetes mellitus, atau pasien kardiovaskular (Soepardi, et al., 2017).

Usia juga berpengaruh terhadap prognosis tuli mendadak, usia muda


memiliki angka perbaikan yang lebih besar dibandingkan dengan usia tua.
Selain itu, derajat tuli yang semakin berat akan memiliki prognosis yang lebih
buruk (Soepardi, et al., 2017; Fettermant, Saunders, and Luxford, 1996).

BAB III
LAPORAN KASUS

13
1. Identitas Pasien

Nama : NNS

Umur : 45 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Suku Bangsa : Bali

Agama : Hindu

Status Perkawinan : Menikah

Pekerjaan : Petani

Alamat : Br Kawan Desa Ambengan Buleleng

Tanggal Pemeriksaan : 24 Mei 2019

2. Anamnesis
a. Keluhan Utama : Penurunan pendengaran.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli THT-KL RSUD Buleleng mengeluh
mengalami penurunan pendengaran pada telinga kiri sejak dua minggu
yang lalu. Keluhan penurunan pendengaran dirasa semakin memberat
sejak 3 hari yang lalu. Keluhan awal yang dirasakan yaitu penurunan
pendengaran pada telinga kanan sejak dua bulan yang lalu yang muncul
secara tiba-tiba saat pagi baru bangun tidur. Keluhan muncul secara
perlahan-lahan dan semakin lama semakin memberat. Pasien mengatakan
bahwa keluhan dirasakan terus menerus sepanjang hari semenjak awal
munculnya keluhan tersebut. Kemudian saat pasien selesai bekerja,
pasien merasa mual dan kemudian muntah. Saat itulah telinga kiri pasien
dirasa berdenging dan pasien merasa semakin sulit untuk mendengar. Hal
ini menyebabkan pasien merasa terganggu dalam aktivitas sehari-harinya
dalam berkomunikasi dengan orang lain. Pasien mengeluh bahwa suara
orang terdengar seperti berbisik meskipun mereka berbicara dengan
volume yang normal. Hal ini membuat pasien kesulitan untuk mendengar

14
dan memahami apa yang dikatakan oleh orang lain. Penurunan
pendengaran ini disertai dengan suara seperti mendenging yang hilang
timbul dengan sendirinya. Keluhan suara mendenging dikatakan pasien
mulai timbul saat mendengar suara yang keras atau bising. Suara
mendenging tetap dirasakan hingga sekarang. Riwayat keluar cairan dari
telinga, trauma pada telinga, pusing berputar, dan infeksi telinga
disangkal oleh pasien. Riwayat mual dan muntah (+).

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat Penyakit Sebelumnya :

Pasien tidak memiliki riwayat penyakit pada telinga sebelumnya.


Semenjak muncul, keluhan ini pertama kali dirasakan pasien dan terus
berlangsung hingga saat ini. Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus
sejak 6 tahun yang lalu. Riwayat penyakit sistemik lain seperti penyakit
ginjal dan jantung serta infeksi pada otak sebelumnya disangkal oleh
pasien.

Riwayat Pengobatan:

Pasien saat ini mengonsumsi insulin untuk mengobati diabetes


mellitusnya. Namun pasien belum pernah mengonsumsi atau
menggunakan obat untuk mengurangi keluhan penurunan pendengaran
yang dirasakannya. Riwayat penggunaan alat bantu dengar sebelumnya
disangkal oleh pasien.

Riwayat Alergi:

Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan dan


makanan tertentu.

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan yang sama
seperti yang dialami oleh pasien. Riwayat penyakit sistemik lainnya pada
keluarga seperti hipertensi, diabetes melitus, hiperkolesterol, penyakit
ginjal dan jantung disangkal pasien.

15
e. Riwayat Pribadi/Sosial
Pasien saat ini sudah menikah dan memiliki 3 orang anak. Pasien
sebelumnya merupakan seorang petani yang sehari-hari bekerja di sawah
dan mengurus suami serta kedua anaknya. Riwayat merokok disangkal
oleh pasien.

3. Pemeriksaan Fisik
a. Vital Sign
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Nadi : 82 x/menit
Respirasi : 16 x/menit
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Temperatur : 36,4°C
Berat Badan : 65 kg

b. Status General
Kepala : Normocephali
Muka : Simetris, paresis nervus fasialis (-/-)
Mata : Anemis (-/-), ikterus (-/-), reflek pupil (+/+) isokor
THT : Sesuai status lokalis THT
Leher : Pembesaran kelenjar limfe (-/-)
Pembesaran kelenjar parotis (-/-)
Kelenjar tiroid (-)
Thorax : Cor : S1S2 normal, reguler, murmur (-)
Pulmo : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : Distensi (-), Bising usus (+) Normal
Ekstremitas : Akral hangat +/+, edema -/-

c. Status Lokalis THT:

Telinga Kanan Kiri

16
Daun telinga Normal Normal
Nyeri tarik aurikuler Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada
Liang telinga Lapang Lapang
Sekret - -
Membran timpani Intak Intak
Tumor - -
Mastoid Normal Normal
Tes pendengaran
Berbisik Tidak dievaluasi
Weber Sulit dievaluasi Sulit dievaluasi
Rinne + +
Schwabah Memendek Memendek
BOA Tidak dievaluasi
Timpanometri Tipe A
Audiometri nada Tuli sensorineural
murni
BERA Tidak dievaluasi
OAE Tidak dievaluasi
Tes alat keseimbangan Tidak dievaluasi

Hidung Kanan Kiri


Hidung luar Normal Normal
Cavum nasi Lapang Lapang
Septum Tidak ada deviasi
Sekret - -
Mukosa Tenang Tenang
Tumor Tidak ada Tidak ada
Konka Dekongesti Dekongesti

17
Sinus Normal Normal

Tenggorok
Mukosa faring Merah muda
Dinding belakang Post nasal drip tidak ada
faring
Dispneu Tidak ada
Sianosis Tidak ada
Suara Normal
Stridor Tidak ada

Tonsil Kanan Kiri


Pembesaran T1 T1
Hiperemis Tidak ada Tidak ada
Permukaan mukosa Rata Rata
Kripte Normal Normal
Detritus Tidak ada Tidak ada
Fiksasi Normal Normal

4. Pemeriksaan Penunjang
Tes Audiometri nada murni dengan hasil:

18
AD = AC = 109 AS = AC = 54
BC = 52 BC = 44

Kesan: AD= SNHL sangat berat, AS= SNHL sedang

5. Diagnosis
Sudden Deafness/Sudden Sensorineural Hearing Loss

6. Usulan Penatalaksanaan
Medikamentosa:
- Vitamin B kompleks tab tiap 24 jam
Non Medikamentosa:
- Pemasangan alat bantu dengar
- Rehabilitasi pendengaran (latihan membaca ujaran dan latihan
mendengar)
KIE :
- Pemasangan alat bantu dengar yang dikombinasikan dengan latihan
membaca gerak bibir dapat membuat hasil terapi yang lebih baik.

19
- Kontrol ke dokter spesialis THT-KL rutin dilakukan untuk pemeriksaan
telinga dan mencegah terjadinya gangguan telinga lainya.

BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis tuli mendadak ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti audiologi serta pemeriksaan

20
laboratorium. Berdasarkan anamnesis, pasien perempuan berusia 45 tahun
mengeluh mengalami penurunan pendengaran pada telinga kiri sejak dua minggu
yang lalu. Keluhan penurunan pendengaran dirasa semakin memberat sejak 3 hari
yang lalu. Keluhan awal yang dirasakan yaitu penurunan pendengaran pada
telinga kanan sejak dua bulan yang lalu yang muncul secara tiba-tiba saat pagi
baru bangun tidur. Keluhan muncul secara perlahan-lahan dan semakin lama
semakin memberat. Hal ini menyebabkan pasien merasa terganggu dalam
aktivitas sehari-harinya dalam berkomunikasi dengan orang lain. Pasien mengeluh
bahwa suara orang terdengar seperti berbisik meskipun mereka berbicara dengan
volume yang normal. Hal ini membuat pasien kesulitan untuk mendengar dan
memahami apa yang dikatakan oleh orang lain. Penurunan pendengaran ini
disertai dengan suara seperti mendenging yang hilang timbul dengan sendirinya.
Suara mendenging tetap dirasakan hingga sekarang.
Kondisi pasien tersebut sesuai dengan gejala penderita tuli mendadak,
dimana tuli mendadak merupakan tuli sensorineural yang terjadi pada satu atau
kedua telinga yang berlangsung secara cepat dalam periode 72 jam, dengan
kriteria audiometri berupa penurunan pendengaran ≥30 dB sekurang-kurangnya
pada 3 frekuensi berturut-turut, yang menunjukkan adanya abnormalitas pada
koklea, saraf auditorik, atau pusat persepsi dan pengolahan impuls pada korteks
auditorik di otak.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan status generalis dalam batas normal.
Status lokalis THT pada pasien ditemukan keadaan telinga luar dalam batas
normal dan tidak ditemukan adanya kelainan pada MAE. Pemeriksaan otoskopik
tampak membran timpani intak. Pada tes garpu tala didapatkan hasil pemeriksaan
yaitu tes rinne positif pada kedua telinga dan tes schwabach ditemukan memendek
pada kedua telinga. Pada tes garpu tala dapat disimpulkan terdapat tuli
sensorineural di kedua telinga pasien. Pemeriksaan penunjang yang perlu
dilakukan adalah pemeriksaan audiometri dan didapatkan tuli sensorineural.
Pemeriksaan hidung dan tenggorok tidak didapatkan adanya kelainan atau tanda-
tanda infeksi.
Usulan penatalaksanaan pada pasien adalah dengan pemberian vitamin B
kompleks tiap 24 jam, istirahat fisik dan mental, pemasangan alat bantu dengar,

21
rehabilitasi pendengaran (latihan membaca ujaran dan latihan mendengar). Prinsip
terapi pasien tuli mendadak adalah menangani masalah sensorineural pada telinga
pasien. Salah satu cara menanganinya adalah dengan menggunakan alat bantu
dengar yang akan disesuaikan ambang batas dengarnya oleh dokter spesialis THT-
KL sesuai dengan hasil tes yang sudah dilakukan. Kontrol rutin dengan dokter
juga diperlukan untuk menangani masalah telinga lainya yang mungkin dapat
mempengaruhi fungsi pendengaran. Untuk hasil yang lebih baik pemasangan alat
bantu dengar dapat dikombinasikan dengan latihan membaca ujaran (speech
reading) dan latihan mendengar (audiotory training).

BAB V
SIMPULAN

Tuli mendadak merupakan tuli sensorineural yang terjadi pada satu atau
kedua telinga yang berlangsung secara cepat dalam periode 72 jam, dengan
kriteria audiometri berupa penurunan pendengaran ≥30 dB sekurang-kurangnya

22
pada 3 frekuensi berturut-turut, yang menunjukkan adanya abnormalitas pada
koklea, saraf auditorik, atau pusat persepsi dan pengolahan impuls pada korteks
auditorik di otak. Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan tuli mendadak,
seperti paparan suara bising berkepanjangan, penggunaan obat ototoksik yang
lama, infeksi, trauma kepala, dan faktor predisposisi pada pasien.
Telah diuraikan laporan kasus seorang perempuan, berusia 45 tahun
dengan diagnosis tuli mendadak, dimana penegakkan kasus ini didasarkan pada
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan
anamnesis diketahui pasien mengeluh mengalami penurunan pendengaran pada
telinga kiri sejak dua minggu yang lalu, yang awalnya bermula pada telinga kanan
sejak dua bulan yang lalu yang muncul secara tiba-tiba saat pagi baru bangun
tidur. Keluhan muncul secara perlahan-lahan dan semakin lama semakin
memberat. Hasil anamnesis didapatkan sesuai dengan gejala yang dikeluhkan oleh
pasien.
Pada pemeriksan fisik ditemukan pasien tekanan darah normal. Hasil tes
penala didapatkan tuli sensorineural pada kedua telinga. Hal ini sesuai dengan
yang ditemukan pada pasien tuli mendadak. Pada pasien ini penatalaksanaan yang
diberikan berupa vitamin B kompleks dan alat bantu dengar yang disesuaikan
ambang batas dengarnya oleh dokter spesialis THT-KL sesuai dengan hasil tes
yang sudah dilakukan. Untuk hasil yang lebih baik pemasangan alat bantu dengar
dapat dikombinasikan dengan latihan membaca (speach reading) dan latihan
mendengar (audiotory training).

DAFTAR PUSTAKA

Ballesteros, F., Alobid, I., Tassies, D., Reverter, J. C., Scharf, R. E., Guilemany, J.
M., & Bernal-Sprekelsen, M. 2009. Is there an Overlap between sudden

23
neurosensorial hearing loss and cardiovascular risk factors? Audiology and
Neurotology. 14(3): 139-145.
Chau JK, Lin JR, Atashband S, Irvine RA, Westerberg BD. 2010. Systematic
Review of the Evidence for the Etiology of Adult Sudden Sensorineural
Hearing Loss. Laryngoscope. 120(5): 1011-21.
Fettermant, B.L., Saunders J., Luxford W. Prognosis and Treatment of Sudden
Sensoryneural Hearing Loss. The American Journal of Otology. 1996; 17:
529-36.

Hallowell, Davis dan S. Richard Silverman (Ed.), (1970). Hearing and Deafness,
3ed., Holt, Rinehart and Winston.
Haris, J.P. and Rucheristein M.J. 1996. Sudden Sensoryneural Hearing Loss.
Baltimore: William and Wilkins.
Isaacson J, Vora N. Differential Diagnosis and Treatment of Hearing Loss.
American Family Physician. 2003;68(6):1125-1132.

Jarvis SJ, Giangrande V, John V dan Thornton A. 2011. Management of Acute


Idiopathic Sensorineural Hearing Loss: A Survey of UK ENT Consultants.
Acta Otorhinolaryngologica Italica. 31(2): 85-89.
Kuhn M, Selena E, Jamil A dan Pamela C. 2011. Sudden Sensorineural Hearing
Loss: A review of Diagnosis, Treatment, Prognosis. Trend in Amplification.
15(3): 91-105.
NIDCD. 2014. National Institute of Deafness and Communication Disorders.
Sudden Deafness. https://www.nidcd.nih.gov/sites/default/files/Documents/
health/hearing/NIDCD-Sudden-Deafness.pdf. [cited 27 Mei 2019]
Novita S dan Yuwono N. 2013. Diagnosis dan Tatalaksana Tuli Mendadak.
Cermin Dunia Kedokteran. 40(11): 820-826.

Soepardi, Efiaty A., I. Nurbaiti, B. Jenny, dan R. Ratna Dwi (Ed.), 2017. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL. 7ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

Stachler RJ, Chandrasekhar SS, Archer SM, Rosenfeld RM, Schwartz SR, Barrs
DM, et al. 2012. Clinical Practice Guideline Sudden Hearing Loss:
Recommendations of the American Academy of Otolaryngology-Head and
Neck Surgery. Otolaryngology Head Neck Surgery. 146:S1.

24
Wilson, W.R., Byl F.M., Laird N. The Efficacy of Steroids in The Treatment of
Idiopathic Sudden Hearing Loss: A Double Blind Clinical Study. Arch
Otolaryngol 1980; 106:772-6.

25

Anda mungkin juga menyukai