Anda di halaman 1dari 45

Referat

SUDDEN DEAFNESS

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani


Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS-1) Divisi Neurotologi I
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

Oleh:
dr. Darmayanti
NIM: 1907601070006

Pembimbing:
dr. Novina Rahmawati,M. Si. Med., Sp. THT-KL, FICS

BAGIAN/ SMF ILMU KESEHATAN THT - KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2020

1
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat

dan karunia-nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan Laporan kasus ini.

Shalawat beserta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah

membawa kita dari zaman kebodohan ke zaman yang penuh dengan ilmu

pengetahuan seperti saat ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Novina Rahmawati,

M.Si. Med., Sp.T.H.T.K.L,FICS yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk

membimbing Penulis dalam penyusunan Referat yang berjudul “Sudden

Deafness”, serta para dokter spesialis di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL

yang telah memberikan arahan serta bimbingan hingga Referat ini selesai.

Penulis menyadari laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna dan

banyak kekurangan serta keterbatasan. Oleh karena itu, Penulis sangat

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun terhadap referat ini

demi perbaikan di masa yang akan datang.

Banda Aceh, Juli 2020

Penulis

DAFTAR ISI

2
KATA PENGANTAR….........................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................iii
DAFTAR TABEL………………………………………………………………………...iv
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN...................................................................3
2.1 Anatomi telinga….....................................................................................3
2.1.1.Telinga dalam..................................................................................3
2.2 Vaskularisasi telinga dalam.......................................................................5
2.3 Persarafan telinga dalam.........................................................................7
2.4 Fisiologi pendengaran…….......................................................................7
2.5 Sudden deafness.....................................................................................8
2.5.1 Definisi ................................................................................................8
2.5.2 Epidemiologi .......................................................................................9
2.5.3 Etiologi................................................................................................10
2.5.4 Patogenesis........................................................................................11
2.5.5 Diagnosis .............................................................................................15
2.5.6 Penatalaksanaan................................................................................20
2.5.7
Prognosis..............................................................................................33
BAB III KESIMPULAN.......................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................37

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Identifikasi penyebab sudden deafness ……………………………..10


Tabel 2. Standar diagnosis sudden deafness………………………………….16

3
Tabel 3. Derajat ketulian………………………………………………………….17
Tabel 4. Dosis pemberian kortikosteroid………………………………………..22
Tabel 5. Farmakokinetik kortikosteroid………………………………………….22
Tabel 6. Perbandingan terapi kortikosteroid oral dan intratimpani……………
24

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Telinga dalam.……………………………………………………………………………………..…….3

Gambar 2. Potongan melintang koklea………………………………………………………………………..4

4
Gambar 3. Perdarahan telinga dalam…………………………………………………………………………..6

Gambar 4. Fisiologi pendengaran…………………………………………………………………………………8

Gambar 5. Gambaran MRI pada vestibular schwannoma……………………………………………20

Gambar 6. Efek pemberian terapi oksigen hiperbarik dalam waktu 1 minggu,1-2 minggu,

2-3 minggu dan setelah 3 minggu…………………………………………………………….26

Gambar 7. Perbaikan level pendengaran, efek pemberian terapi oksigen hiperbarik


dimulai hari ke-4 dari timbul gejala………………………………………………….………27

Gambar 8. Gambaran audiogram pada pemakaian kortikosteroid dan anti virus………28

Gambar 9. Gambaran pengaruh pemberian rheoferesis …………………………………………..30

BAB I

PENDAHULUAN

5
Penurunan pendengaran sangat sering terjadi dan memiliki risiko
kecacatan yang besar namun hampir tidak terdeteksi di awal sehingga dapat
menimbulkan kerugian yang besar. Penurunan pendengaran dapat terjadi
pada usia berapapun. Hampir 10 % dari populasi orang dewasa memiliki
gangguan pendengaran dan sekitar sepertiga dari orang yang berusia di atas
65 tahun kehilangan pendengaran yang cukup berat sehingga membutuhkan
alat bantu dengar. Gangguan pendengaran bisa terjadi akibat gangguan pada
daun telinga, canalis auditorius externus, telinga tengah, telinga dalam atau
jalur pendengaran sentral. Secara umum, lesi di daun telinga, canalis
auditorius externus, atau telinga tengah menyebabkan gangguan
pendengaran konduktif. Gangguan pendengaran sensorineural terjadi akibat
lesi di telinga bagian dalam atau pada saraf kranial kedelapan. Gangguan
pendengaran dapat terjadi karena kerusakaan sel-sel rambut yang
disebabkan oleh suara bising, infeksi virus, fraktur tulang temporal,
meningitis, otosklerosis koklea, Penyakit Ménière, dan penuaan. Banyak juga
obat yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural
(misalnya Salisilat, Kuinin, Aminoglikosida, Loop diuretic, dan beberapa agen
kemoterapi).(1)
Menurut hasil penelitian oleh WHO pada tahun 2013 bahwa terdapat
360 juta orang di dunia mengalami gangguan pendengaran atau tuli. Dari
data tersebut dapat disimpulkan bahwa 5,3% populasi di seluruh dunia
menderita tuli. Dari 360 juta penderita tuli, sebanyak 183 juta berjenis kelamin
laki-laki dan 145 juta lainnya berjenis kelamin perempuan. Telah diperkirakan
bahwa pada tahun 2030-2050 populasi penderita tuli akan terus meningkat
akibat bertambah tua, pemeriksaan yang tidak dilakukan dengan baik, hingga
akses ke pelayanan yang belum optimal.(2)
Asia Selatan, Asia Timur, dan Afrika merupakan wilayah dengan
prevalensi gangguan pendengaran atau tuli tertinggi, baik pada orang
dewasa maupun pada anak-anak. Pada anak-anak, sering kali disebabkan
oleh tingginya angka infeksi seperti otitis media kronis, meningitis, rubella,
campak, penggunaan obat-obatan ototoksik, dan paparan terhadap suara
keras, penggunaan obat-obat ototoksik, dan meningkatnya jumlah populasi
usia lanjut sehingga menyebabkan tingginya pula angka kejadian presbikusis.
(2)

6
Sudden deafness atau tuli mendadak adalah tuli yang terjadi secara
tiba-tiba. Jenis ketuliannya sensorineural, biasanya idiopatik, tanpa adanya
permasalahan pada telinga yang jelas sebelumnya, sering unilateral.
Penurunan pendengaran sensorineural 30 db atau lebih, paling sedikit tiga
frekuensi berturut-turut pada pemeriksaan audiometri dan berlangsung dalam
waktu kurang dari 3 hari.(3)(4)
Pada tuli mendadak, insiden keseluruhan adalah 5 hingga 20 kasus per
orang pertahun; rata-rata keseluruhan usia orang yang mengalami kondisi ini
adalah 46 hingga 49 tahun. Telinga kanan dan kiri terkena seimbang, dan
terdapat distribusi jenis kelamin yang hampir sama. 10% kasus terjadi
bilateral. Penyebab yang mungkin adalah virus, vascular, dan kekebalan
tubuh.(5)
Etiologi dari sudden deafness atau sudden sensorineural hearing loss
(SSNHL) biasanya adalah idiopatik, hanya sekitar 10 hingga 15 % kasus
yang dapat diidentifikasi penyebabnya seperti iskemia kokhlea, infeksi virus,
trauma kepala, trauma bising yang keras, perubahan tekanan atmosfer,
autoimun, paparan obat ototosik, penyakit Meniere, dan neuroma akustik.(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga


2.1.1 Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua
setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis
semisirkularis. Ujung atau puncak disebut helikotrema, menghubungkan
perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.(7)
Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak

7
skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media
(duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi
perilimfa (tinggi natrium, rendah kalium), sedangkan skala media berisi
endolimfa, satu-satunya cairan ekstraselular dalam tubuh yang tinggi kalium
dan rendah natrium. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda
dengan endolimfa. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli
disebut sebagai membran vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar
skala media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ corti
(Gambar 1). Bagian vestibularis (pars superior) berhubungan dengan
keseimbangan, sementara bagian koklearis (pars inferior) merupakan organ
pendengaran kita.(9)
Gambar 1. Telinga Dalam(8)
Koklea manusia adalah tabung melingkar, bertulang kira-kira
sepanjang 35 mm, dibagi menjadi skala vestibuli, skala media, dan skala
tympani (Gambar 3). Skala vestibuli dan timpani mengandung cairan
perilimfe, berisi bahan seperti cairan ekstraseluler dengan konsentrasi kalium
4 mEq / L dan konsentrasi natrium sebesar 139 mEq / L. Skala media dibatasi
oleh membran Reissner’s, membran basilar dan spiral lamina osseous, dan
dinding lateral, berisi endolimfe, cairan intraseluler dengan konsentrasi kalium
dari 144 mEq / L dan konsentrasi natrium dari 13 mEq / L. Skala media
memiliki potensi istirahat positif langsung saat ini (DC) sekitar 80 mV yang
menurun sedikit dari basis ke puncak. Energi potensial endokoklear ini
dihasilkan oleh stria vaskularisasi dari dinding lateral koklea. Natrium-kalium-
adenosin triphosphatase (Na + -K + -ATPase) dipompa oleh sejumlah sel
khusus dari stria vaskularis yang berkontribusi pada potensial aksi ini.(9)(10)
Energi akustik memasuki koklea melalui piston seperti aksi tapak kaki
stapes pada jendela oval dan digabungkan secara langsung ke perilimfe dari
skala vestibuli. Perilimfe dari skala vestibuli berkomunikasi dengan perilimfe
dari skala timpani melalui lubang kecil di puncak koklea yang dikenal sebagai
helikotrema. Organ Corti bertumpu pada membran basilar dan osseous spiral

8
lamina (Gambar 2). Membran basilar kira-kira 0,12 mm lebar di dasar dan
meningkat menjadi sekitar 0,5 mm di puncak. Komponen utama dari organ
Corti adalah sel-sel rambut luar dan dalam, sel pendukung (Deiters, Hensen,
Claudius), membran tektorial, dan kompleks pelat lamina-cuticular retikuler.
Sel pendukung menyediakan dukungan struktural dan metabolik untuk organ
Corti. Proses falangeal dari sel Deiters membentuk sambungan sel yang ketat
dari lamina retikuler.(7)

Gambar 2. Potongan melintang koklea

Sel-sel rambut luar dan dalam dari organ Corti penting dalam
transduksi energi mekanik (akustik) menjadi energi listrik (saraf). Sel-sel
rambut luar secara radikal berbeda dari sel-sel rambut bagian dalam. Selain
perbedaan morfologis antara sel rambut luar dan dalam, persarafan neural
berbeda. Ganglion spiral, badan sel saraf pendengaran, mengirimkan akson
ke inti koklea batang otak, sedangkan sel dendrit melalui lamina spiral
osseous. Dari 50.000 neuron yang menginervasi koklea, 90% hingga 95%
bersinaps secara langsung pada sel-sel rambut bagian dalam. Ini disebut
neuron tipe I. Setiap sel rambut bagian dalam dipersarafi oleh sekitar 15
hingga 20 tipe I neuron. Sebaliknya, 5% hingga 10% dari 50.000 neuron
mempersarafi sel-sel rambut luar (tipe II neuron). Setiap neuron tipe II cabang
untuk menginstervasi sekitar 10 sel rambut luar. Selain pola persarafan
aferen dari koklea, sekitar 1.800 serat eferen, berasal dari kompleks olivaris
superior ipsilateral dan kontralateral, proyek ke koklea.(3)
Transduksi dimulai dari perpindahan membran basilar sebagai
respons terhadap pergerakan stapes karena energi akustik. Pola pergerakan
membran basilar adalah gelombang berjalan. Membran basilar lebih kaku di
dasar daripada di puncak. Komponen ini didistribusikan terus menerus. Oleh
karena itu, gelombang perjalanan selalu berkembang dari dasar ke puncak.
Amplitudo maksimal dari perpindahan membran basilar bervariasi sebagai
fungsi dari frekuensi stimulus. Gelombang yang dihasilkan oleh suara
frekuensi tinggi (10 kHz) memiliki perpindahan maksimal dekat pangkal
koklea, sedangkan gelombang ke suara frekuensi rendah (125 Hz) memiliki
maksimum ke arah daerah apikal. Gelombang perjalanan yang dihasilkan
oleh suara frekuensi tinggi tidak mencapai wilayah apikal dari koklea,

9
sedangkan gelombang ke suara frekuensi rendah dapat melakukan
perjalanan seluruh panjang membran basilar.(11)
Gelombang mekanis dianggap sebagai respon yang diatur secara
luas, dengan pengaturan yang lebih halus kemudian di transduksi, saraf
pendengaran, dan Sistem Saraf Pusat.(11)

2.2 Vaskularisasi telinga dalam

Vaskularisasi telinga dalam memiliki arti yang penting terhadap


implifikasi klinis. Labirin menerima suplai darah dari arteri labirin, disebut juga
arteri auditori internal yang merupakan cabang dari arteri celebelar
anteroinferior yang berasal dari cabang arteri basillaris atau arteri vertebralis.
Arteri auditori interna bercabang dua menjadi arteri vestibularis anterior dan
arteri kokhlearis. Arteri vestibularis anterior memperdarahi sakulus, utrikulus,
dan kanalis semisirkularis. Sedangkan arteri kokhlearis akan membagi diri
menjadi arteri vestibulokokhlearis dan arteri kokhlea utama. Arteri
vestibulokokhlearis memperdarahi satu setengah sampai dua per tiga
kumparan basal kokhlea, sebagian besar sakula, bagian badan dari utrikulus,
dan bagian posterior, superior dan lateral kanalis semisirkularis. Arteri
kokhlea utama memperdarahi daerah yang tersisa dari kokhlea. Kadang -
kadang, arteri kokhlea utama mungkin menghilang dan digantikan oleh arteri
vestibulocochlearis cabang kokhlea.(12)
Drainase vena labirin melalui vena akuaduktus kokhlea. Vena
modiolar spiral basal dan apical merupakan drainase dari vena kokhlea.
Terdapat rute drainase tambahan vena kokhlearis yang dibentuk oleh
anastomosis vena vena disekitar tulang dan vena pada meatus auditorius
interna (vena auditori interna). Drainase vena yang berasal dari duktus
semisirkularis menuju ke vena vestibularis anterior dan posterior dan akhirnya
mengalir ke vena kokhlearis.(12)

10
Gambar 3. Perdarahan telinga dalam(12)

Gejala klinis berikut secara langsung berkaitan dengan pasokan darah dari
telinga dalam adalah:

1. Arteri labirin adalah arteri terminal; oklusi dari AICA menyebabkan tuli
mendadak dan kehilangan total fungsi vestibular pada sisi yang
terkena.
2. Arteri vestibular anterior tidak memiliki kollateral yang dapat
menggantikannya mensuplai darah daerah yang diperdarahinya;
obstruksi pada arteri ini dapat mengakibatkan episode pusing.
Kadang-kadang, obstruksi arteri ini membebaskan otoliths utricular
yang mencapai kanalis semisirkularis posterior, dalam kasus ini,
episode vertigo postural akan terjadi setelah terjadi vertigo mendadak
sebagai kompensasi (sindrom Lindsay-Hemenway).
3. Arteri vestibular posterior memiliki banyak kollateral intraosseous yang
dapat mengkompensasi suplsi darah bila terjadi obstruksi pada arteri
ini.
4. Defisit sirkulasi dari arteri koklearis dan arteri vestibular posterior
dapat menentukan gangguan pendengaran frekuensi tinggi.(12)

2.3 Persarafan telinga dalam

Persarafan telinga dalam melalui n. vestibulokoklearis (n. akustikus)


yang dibentuk oleh bagian koklear dan vestibular, di dalam meatus akustikus

11
internus bersatu pada sisi lateral akar n. fasilalis dan masuk ke batang otak
Antara pons dan medulla. Sel-sel sensoris vestibularis dipersarafi oleh n.
koklearis dengan ganglion vestibularis (scarpa) terletak di dasar dari meatus
akustikus internus. Sel-sel sensoris pendengaran dipersarafi n.koklearis
dengan ganglion spiralis corti terletak di modiolus.

2.4 Fisiologi Pendengaran

12
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh
daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau
tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani
diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang
akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan
perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi
getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli
bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang mendorong

endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran


basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik
yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga
kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan
sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga
melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan
potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius
sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.(7)

Gambar 4. Fisiologi pendengaran

2.5 Sudden deafness

13
2.5.1 Definisi

Sudden deafness atau dikenal juga dengan istilah Sudden


Sensorineural Hearing Loss (SSNHL) merupakan gangguan pendengaran
karena serangan mendadak atau terjadi dalam hitungan menit, jam atau
bahkan dalam beberapa hari. Gangguan pendengaran bervariasi tergantung
pada intensitas dan frekuensi suara yang terkena, umumnya unilateral (98-
99% kasus).(13) Berdasarkan beberapa Peneliti mendefinisikan sudden
deafness adalah kondisi dimana penurunan pendengaran sensorineural 30
db atau lebih, paling sedikit tiga frekuensi berturut-turut pada pemeriksaan
audiometri dan berlangsung dalam waktu kurang dari 3 hari.(3)(4)

2.5.2. Epidemiologi

Kejadian sudden deafness dilaporkan berkisar antara 5 hingga 20 per


100.000 setiap orang dan meningkat seiring usia. Dari beberapa penelitian
dilaporkan risiko tuli mendadak meningkat pada pasien dengan Diabetes
mellitus, lupus eritematous sistemik, penyakit ginjal kronis, otitis media kronik,
osteoporosis, psoriasis, anemia defisiensi besi, dan HIV (Human
Immunodefisiensi virus).(14)

Meskipun bidang neurotologi dan otologi berkembang pesat dalam


beberapa dekade terakhir, namun penyebab pasti sudden deafness masih
kontroversial, dan tampaknya penyebab sudden deafness merupakan
penyakit multifaktorial. Berdasarkan beberapa tinjauan sistematis ditetapkan
kemungkinan etiologi untuk sudden deafness adalah 71,0% idiopatik, 12,8%
infeksi, 4,7% otologis, 4,2% dari trauma, 2,8% dari gangguan pembuluh
darah atau hematologi, 2,3% dari neoplasma, dan 2,2% dari penyebab lain.
(14)

Dari survey epidemiologi di Jepang oleh Nakashima et al,


mengungkapkan bahwa kejadian sudden deafness adalah 60,9 per 100.000
penduduk. Insidensinya meningkat pada kelompok usia, 50-70 tahun.
Perempuan lebih banyak daripada laki-laki pada usia yang lebih muda.(15)

Dari sebuah penelitian pertama untuk menganalisis kejadian dan


aspek klinis sudden deafness unilateral di Korea Selatan oleh Kim et al,

14
ditemukan angka kejadian berkisar rata-rata 11,6 hingga 24,2 kasus per
100.000 populasi. Rasio pria:wanita 1:1,35, menunjukkan bahwa sudden
deafness unilateral lebih sering pada wanita, dengan kejadian tertinggi pada
pasien berusia 60 tahunan.(16)

Di Indonesia, dari penelitian Hidayat et al, di Poliklinik THT-KL RSUD


M.Jamil Padang Sumatera Barat, didapatkan Insidensi sudden deafness
didapatkan berkisar 37 orang per tahun. Distribusi Laki-laki dan perempuan
hampir sama dengan puncak usia antara 50-60 tahun dengan faktor risiko
berupa hipertensi dan diabetes melitus.(17)

2.5.3 Etiologi

Etiologi dari sudden deafness menurut Singh et al, biasanya adalah


idiopatik (75%), hanya sekitar 10 hingga 15 % kasus yang dapat diidentifikasi
penyebabnya.(18)

Sudden deafness dapat disebabkan oleh berbagai hal antara lain oleh
iskemia kokhlea, infeksi virus, trauma kepala, trauma bising yang keras,
perubahan tekanan atmosfer, autoimun, paparan obat ototosik, penyakit
Meniere, dan neuroma akustik, tetapi yang biasanya dianggap sebagai
etiologi dan sesuai dengan definisi sudden deafness adalah iskemia kokhlea
dan infeksi virus (Tabel 1).(3),(7)

Tabel 1. Identifikasi penyebab Sudden deafness(6)

15
Sindrom metabolik seperti hipertensi, obesitas, diabetes mellitus,
hiperkolesterolemia, merokok juga dianggap sebagai faktor yang dapat
menyebabkan sudden deafness. Dari penelitian yang dilakukan oleh Chient
et al dikatakan penyakit metabolik dapat meningkatkan resiko terhadap
sudden deafness sebanyak 3,54 kali dibandingkan dengan mereka yang
bukan penderita penyakit metabolik. Penyakit metabolik seperti diabetes
melitus juga dapat memperburuk prognosis dalam tatalaksana sudden
deafness.(19)

2.5.4 Patogenesis

Etiologi pasti sudden deafness masih belum diketahui, pada sebagian


besar pasien datang dengan keluhan penurunan pendengaran tiba-tiba tanpa
diketahui penyebabnya. Oleh karena itu, sejumlah hipotesis patofisiologi
sudden deafness dikemukakan.Terdapat empat teori utama yang
mencoba menjelaskan patogenesis sudden deafness, yaitu infeksi virus,
gangguan vaskular, rupture membrane intracochlea, dan autoimun.(3)(6)
I. Infeksi Virus
Banyak Ahli Otologi percaya bahwa infeksi virus (atau reaktifasi virus
laten) adalah penyebab paling penting dari Sudden deafness. Dari studi klinis
pada hewan coba ditemukan tingkat serum antibody antivirus yang signifikan,
termasuk antibody terhadap Sitomegalovirus, herpes zoster, herpes simpleks
tipe 1, Influenza B, Mumps, Enterovirus dan Rubeola. Virus tersebut dapat
menyebabkan hilangnya sel rambut kokhlea dan sel penunjangnya, atropi
membran tektorial, atropi stria vaskularis, atrofi organ Corti, vestibular labirin
dan hilangnya respon saraf pendengaran. Selain itu, virus seperti Herpes
Simplex dapat menetap di jaringan saraf selama bertahun-tahun dimana
Infeksi virus atau reaktivasi virus di telinga bagian dalam menyebabkan
peradangan koklea atau kerusakan pada struktur telinga bagian dalam yang
berat.(4)(6)
II. Gangguan Vaskular

16
Kokhlea mendapat suplai darah dari arteri labirin tanpa ada pembuluh
darah kollateral yang lain. Telinga bagian dalam adalah organ dengan tingkat
metabolisme yang sangat tinggi, tanpa suplai darah kolateral.(3)
Fungsi kokhlea sangat sensitif terhadap perubahan aliran darah akibat
thrombosis, embolus, kurangnya aliran darah, vasospasme sering
mengakibatkan sudden deafness keluhan hilang pendengaran yang terjadi
secara mendadak dan cepat, hal ini berhubungan dengan gangguan aliran
darah ke kokhlea, akibatnya oksigenasi kokhlea berkurang. Perubahan
tekanan oksigen perilymph sama dengan perubahan tekanan darah sistemik
maupun tekanan parsial CO2 (PCO2).(3)
Iskemia kokhlea merupakan penyebab utama sudden deafness, yang
disebabkan oleh spasme, thrombosis, atau perdarahan arteri auditiva interna.
Pembuluh darah ini merupakan arteri ujung (end artery), sehingga bila terjadi
gangguan pembuluh darah ini, kokhlea sangat mudah mengalami kerusakan.
Iskemia mengakibatkan degenerasi luas pada sel-sel ganglion striavaskularis
dan ligament spiralis. Kemudian diikuti oleh pembentukan jaringan ikat dan
penulangan. Kerusakan sel-sel rambut tidak luas dan membran basal jarang
terkena.(7)
Selain itu gangguan vaskular juga dapat terjadi pada sindroma metabolik
dimana sindroma metabolik dapat menginduksi akumulasi lipid, sehingga
adiposit menjadi lebih besar, dan akan mengeluarkan lemak serta
adipokinesia yang akan menyebabkan lipotoxicity pembuluh darah, sehingga
menyebabkan arterosklerosis dan kerusakan endotel pembuluh darah yang
mengakibatkan terjadi mikroangiopati pada pembuluh darah kokhlea sehingga
terjadi penurunan suplai darah ke kokhlea yang dapat menyebabkan sudden
deafness.(3)
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa faktor risiko dari penyakit
iskemik vaskular yaitu merokok, hipertensi, dan hyperlipidemia merupakan
faktor risiko pada sudden deafness. Selain itu kehilangan pendengaran
mendadak juga dapat terjadi karena perdarahan vaskular akut.(4)
Pada penyebab vaskular, masalahnya mungkin pada dinding pembuluh
darah, seperti halnya pada artritis dan kejang, atau intravaskuler, seperti
emboli gas, emboli lemak, polisitemia, hiperviskositas, anemia sel sabit, dan

17
lainnya. Kerusakan koklea sekunder akibat anoksia atau hipoksia yang
ditimbulkan dapat terjadi karena tiga mekanisme yang berbeda, yaitu:

a. Oklusi pembuluh darah total dan permanen


b. Oklusi pembuluh darah dan sementara
c. Aliran darah yang rendah pada pembuluh darah koklea
Oklusi total dan permanen pembuluh darah akan menyebabkan
anoksia, sehingga dapat terjadi nekrosis selaput labirin, fibrosis dan osifikasi
telinga bagian dalam. Toleransi iskemia pada koklea sangat terbatas,
potensial aksi mulai terganggu setelah 60 detik dari anoksia. Ketika ada
penyumbatan sirkulasi total, tetapi sementara, setelah 30 menit sel-sel
rambut, sel-sel ganglion dan ligament sudah terkena, terjadi gangguan pada
neuron dan perubahan pada membran. Jika aliran darah kembali normal,
potensial aksi dapat terganggu secara irreversibel. Setelah 1 jam obstruksi
pembuluh darah,fungsi koklea tidak dapat kembali lagi, dan setelah 6 bulan
akan terjadi invasi jaringan fibrous dan kalsifikasi pada ruang telinga bagian
dalam. Mekanisme ini menjelaskan penurunan pendengaran bergantung
lamanya oklusi vaskuler berlangsung dan perbaikan ambang batas tonus.
Aliran darah yang rendah dapat menyebabkan hiperviskositas,
hipooksigenasi (insufisiensi metabolismekoklea), dan menurunkan fugsi
koklea.(4)(6)(13)
III. Ruptur Membran Intra Koklea
Pada kokhlea terdapat membran basilar dan membran reissner diantara
perilymph dan endolimph. Ruptur salah satu atau kedua membran ini secara
teoritis akan menyebabkan ketulian jenis sensorineural. Kebocoran cairan
perilymph kedalam telinga tengah melalui round window atau oval window
telah diakui dapat memicu ketulian yang disebabkan oleh hidrops endolimph
atau karena pecahnya membran intrakokhlea, yang mengakibatkan cairan
perilymph dan endolimph bercampur sehingga dapat menyebabkan fistula
perilmfatik.(4)(13)
IV. Autoimun
Sistem imun berperan penting dalam melindungi telinga bagian dalam
dari kerusakan yang disebabkan oleh bakteri, virus dan mikroorganisme
patogen lainnya. Respon imun di telinga bagian dalam tergantung pada

18
sitokin terutama IL-1β, IL-2 dan TNF- α, yang berperan penting dalam
mengatur respon imun telinga bagian dalam. Beberapa sel radang di telinga
dalam yang juga terlibat adalah makrofag (mirip mikroglia), limfosit T dan
leukosit.
Telinga bagian dalam memulai respon imun melalu invasi antigen
external, pada peneliatian yang pernah ada menunjukkan saccus limfatikus
mengandung beberapa komponen respon imun yang merupakan respon
imun utama. Antigen pada telinga dalam dijadikan targen pada proses respon
imun, adanya antigen maka terjadi pelepasan IL-1β yang memicu respon
imun adaptif. Sitokin dikeluarkan kemudian limfosit T dikeluarkan dari system
peredaran darah ke telinga bagian dalam sehingga menyebabkan kerusakan
jaringan secara irreversibel. Limfosit dalam pembuluh darah sebagian
bermigrasi ke pembuluh darah spiral. IL-1 berperan dalam respon imun
bawaan yang berperan sebagai agonis sel T helper menghasilkan IL-2 yang
mengaktifkan limfosit B dan berperan dalam mengatur respon imun bagian
dalam. Oleh karena itu, jika koklea mengalami kerusakan terjadi respon imun
spesifik yang secara langung menyerang antigen telinga bagian dalam, dan
secara bersamaan mengeluarkan IL-1α dan TNF-α yang menyebabakan efek
inflamasi dan kerusakan yang luas pada jaringan telinga bagian dalam.
Karena adanya antibodi terhadap antigen di telinga bagian dalam dan
pembentukan sistem kompleks di stria vaskularis, ductus dan saccus
endolimfatik, penyakit autoimun dapat dipertimbangkan sebagai penyebab
lebih sering gangguan pendengaran yang tiba-tiba atau progresif. McCabe
(1979) memperkenalkan konsep sudden deafness disebabkan oleh autoimun.
(13)
Gangguan pendengaran karena autoimun dapat terjadi sendiri, bukan
dari organ spesifik, seperti tiroiditis Hashimoto, atau yang berhubungan
dengan salah satu penyakit sistemik bukan penyakit organ spesifik, seperti
sindrom Cogan, poliartritis nodosa, Lupus Eritematous sistemik, rheumatoid
artritis, penyakit Berget, sindrom Sjögren, sindrom Behcet, colitis ulcerative,
dan lainnya.(13)

19
Jaringan koklea sendiri menjadi target dari reaksi autoimun, mungkin
karena bocornya jaringan labirin membran, mungkin yang dapat memicu
mekanisme autoimun(13)
Reaksi Imun pada telinga bagian dalam disebabkan oleh endolimfatik
yang lebih banyak daripada di telinga tengah. Hal ini ditandai dengan adanya
infiltrasi sel (dimulai oleh makrofag, diikuti oleh limfosit T-helper) dan setelah
3 minggu, sel T supresor yang berasal dari sirkulasi darah. Adanya reaksi
inflamasi meningkatkan antibodi lokal dan cairan intrakoklear, dengan akibat
rusaknya telinga dalam (degenerasi spiral ganglion dan stria vascularis, organ
Corti, dan atrofi duktus koklearis), selain itu juga pada saccus endomfatik, jika
rusak maka akan mengurangi respon imun. Selama respon kedua, sel
endotel dari vena spiral modiolus aktif ditandai dengan diferensiasi pembuluh
darah endotel, dan menarik limfosit ke sirkulasi darah.(13)
Meskipun sistem imun labirin mirip dengan otak (sawar labirin-darah
terpisah dari labirin ke sirkulasi darah, menjaga karakteristik ion didalam
lingkungan koklea), imunitas telinga dalam tampak lebih responsif terhadap
imun, karena antigen terdapat pada koklea merangsang secara cepat
imunitas sistemik.(13)
2.5.5. Diagnosis
Diagnosis sudden deafness ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik THT-KL, audiologi, laboratorium serta pemeriksaan
penunjang lain.
a. Anamnesa
Anamnesis yang teliti mengenai proses terjadinya ketulian, gejala
awal, gejala yang menyertai serta faktor predisposisi penting untuk
mengarahkan diagnosis. Semakin cepat diagnosis ditegakkan akan
semakin cepat terapi diberikan maka prognosis untuk penyembuhan
penyakitnya akan semakin baik. Informasi tentang onset penyakit,
waktu kejadian, gejala yang berhubungan, riwayat kesehatan
sebelumnya, terutama yang menjadi faktor resiko sudden deafness,
riwayat penggunaan obat obatan sangat diperlukan untuk mencari
penyebab dari tuli mendadak. Pada anamnesa didapatkan pasien
datang dengan gangguan pendengaran unilateral yang terjadi tiba-tiba

20
tanpa terlihat jelas penyebab sebelumnya. Pada pasien juga
ditanyakan adanya riwayat trauma, nyeri pada telinga luar dan saluran
telinga, drainase telinga, demam, dan gejala sistemik lainnya. Pasien
sudden deafness biasanya melaporkan adanya Tinitus, rasa penuh
pada telinga atau vertigo. Pada pasien dengan gangguan
pendengaran perlu dibedakan tuli konduktif atau tuli sensorineural
karena keluhannya hampir serupa.(3)(7)

Sudden deafness mempunyai tiga karakteristik yaitu bersifat akut,


tuli sensorineural dan etiologi tidak diketahui. Karakteristik tambahan
dapat berupa vertigo, tinitus dan tidak adanya keterlibatan saraf
kranialis.

Tabel 2. Standar diagnosis Sudden deafness(20)

I. Gejala primer A.Onset mendadak


B.Sensorineural
C.Penyebab tidak diketahui
II. Gejala sekunder A.Sering disertai gejala tinnitus
B.Kadang disertai pusing, mual
dan muntah tetapi tidak
berulang
Standar diagnosis  Sudden deafnes: jika semua
gejala primer dan sekunder
ditemukan
 Sangkaan sudden deafness:
Jika ditemukan gejala A dan
B dari gejala primer

b. Pemeriksaan Fisik
Pada kasus sudden deafness, penting diketahui keadaan tanda
vital pada pasien seperti pengukuran tekanan darah, mengingat
hipertensi merupakan salah satu penyebab sudden deafness. Pada

21
pemeriksaan otoskopi, kita tidak mendapatkan adanya kelainan
dari telinga luar atau telinga tengah.(7)
c. Penunjang
1. Tes Penala
Pemeriksaan penunjang paling sederhana yang harus diperiksa
untuk menilai pendengaran yaitu tes penala, dari pemeriksaan tes
penala didapatkan Rinne (+), Weber lateralisasi ke telinga yang
sehat, dan Schwabah memendek dengan kesan Tuli
Sensorineural(21)
2.Audiometri
Pemeriksaan audiometri yang dapat dilakukan pada pemeriksaan
sudden deafness seperti:
 Pemeriksaan audiometri nada murni wajib dilakukan untuk
mendiagnosis secara pasti sudden deafness, dengan menggunakan
audiometri nada murni maka kita dapat membedakan tuli konduktif
atau tuli sensorineural,dan menetapkan ambang batas dan
frekuensi pendengaran yang spesifik, berdasarkan literatur untuk
mendiagnosis sudden deafness dijumpai gangguan pendengaran
≥30 dB pada 3 frekuensi berturut-turut yang terjadi dalam periode
72 jam.(21)
Tabel 3. Derajat Ketulian(7)
0-25 dB Normal
>25-40 dB Tuli ringan
>40-55 dB Tuli sedang
>55-70 dB Tuli sedang berat
>70-90 dB Tuli berat
>90 dB Tuli sangat berat

Audiometri nada murni merupakan standar untuk menentukan kriteria


diagnosis sudden deafness, selain itu juga dapat menentukan
karakteristik untuk prognostik, dengan audiometri nada murni dapat
dilihat proses pemulihan, evaluasi pengobatan, skrining untuk
kekambuhan, dan juga untuk menyingkirkan gangguan pendengaran
pada telinga kontralateral.(6)
Tipe kehilangan pendengaran diklasifikasikan menjadi 4 kelompok
yaitu ascending type (frekuensi 250-500Hz), descending type

22
(frekuensi 4000-8000), flat type (<20dB perbedaan antara yg

terbaik dan terburuk), total atau sub total (>85dB). Ascending type
memiliki prognosis yang lebih baik bila dibandingkan dengan
descending, flat serta total atau sub total. Sedangkan menurut Atay
pembagian tipe kehilangan pendengaran terdiri dari upward-sloping
type (gangguan lebih berat pada frekuensi rendah), downward-
sloping type (gangguanlebih berat pada frekuensi tinggi), flat type
(tidak lebih dari 10dB dari ambang dengar) dan profound type (lebih
dari 70dB pada semua frekuensi)(6)(22)
 Speech audiometri diperiksa dalam keheningan dan kebisingan,
dengan masking yang tepat untuk mengukur tingkat ambang
pendengaran untuk rangsangan bicara, Audiometri tutur (Speech
audiometri) SDS (Speech discrimination score) kurang dari 100%,
kesan tuli sensorineural. Skor pengenalan kata diukur dalam
persentase jawaban yang benar harus di evaluasi, tingkat sensasi
40 dB relative terhadap pengenalan suara ambang batas dengan
daftar kata standar. Ini menegaskan kinerja sesuai dengan
audiometri nada murni, memungkinkan identifikasi asimetri yang
tidak biasa yang tidak diprediksi oleh ambang batas pendengaran,
dan membantu dalam membuat terapi dan untuk rehabilitasi.(21)
 Tes impendan dilakukan untuk mengukur fungsi telinga tengah
untuk menyingkirkan tuli konduktif termasuk timpanometri,
impendan statis dan menilai reflek akustik, dalam menilai reflex
akustik akan menghasilkan rangsangan intensitas tinggi (misalnya
120 dB) Tindakan reflek akustik dapat menyebabkan kehilangan
pendengaran permanen dan tinnitus, beberapa penulis
menyarankan agar level presentasi tidak melebihi 110 dB. Dalam
melakukan tes ini harus sangat hati-hati karena pada sudden
deafness (mengalami gangguan pendengaran koklea) mungkin
lebih sensitif terhadap suara keras dan juga berpotensi lebih rentan
terhadap trauma bising pada akut dan fase subakut.(21)
 Pemeriksaan OAE (Otoacustic Emisi) dilakukan untuk menentukan
fungsi koklea, fungsi sel rambut luar sangat diperlukan untuk
menentukan ambang dengar. Pada kasus tuli mendadak terjadi
kerusakan pada sel rambut luar, sehingga pemeriksaan OAE dapat

23
digunakan sebagai indikator untuk menentukan prognosis pada
sudden deafness.(23)

3.Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan termasuk
pemeriksaan darah lengkap, profil koagulasi, serum elektrolit, dan
sedimentasi eritrosit. Pemeriksaan autoimun dan pemeriksaan
metabolisme untuk diabetes, hyperlipidemia dan disfungsi tiroid dapat
diperiksa untuk mencari etiologi spesifik dan faktor risiko metabolik,
karena dari penetilian didapatkan hiperkolesterolemia dilaporkan pada
35-40% pada pasien sudden deafness dan hiperglikemia dilaporkan
pada 18-37% pasien.(3)(21)
4.Pencitraan medis
Magnetic resonance imaging (MRI) telah diterima sebagai
metode pencitraan yang tidak sensitif untuk mengidentifikasi lesi
pada cerebello-pontine angle (CPA), saluran pendengaran internal
dan bagian dalam pada pasien dengan sudden deafness. Akademi
Otolaringologi Amerika - Bedah Kepala dan Leher
merekomendasikan bahwa pasien dengan sudden deafness
menjalani audiometri dan MRI dari telinga dan telinga bagian
dalam.(24)
Salah satu aspek terpenting dari menentukan penyebab
sudden deafness adalah menyingkirkan patologi retrokoklear.
Vestibuler schwannoma telah teridentifikasi pada 1,4-6,1% dari
pasien yang datang dengan sudden deafness, dan pada 10-20%
vestibuler schwannoma datang dengan penurunan pendengaran
mendadak. MRI dengan kontras dapat menilai cerebellopontin
angle (CPA), saluran liang tenga dalam, dan telinga bagian dalam.
(21)
Dari sebuah studi (Plontke, 2017) 198 gambar resonansi
magnetik dijelaskan, telah dilakukan untuk diagnosa pasien
dengan gangguan pendengaran akut, sensorineural berat hingga
sangat berat (> 90 dB HL) atau dengan ketulian akut (anacusis,
mis. Tidak ada ambang batas yang dapat diukur). Berbagai

24
temuan patologis sepanjang atau dekat jalur pendengaran
menegaskan pentingnya bahwa tidak hanya schwannoma
vestibular harus dikeluarkan dalam konteks diagnostik gangguan
pendengaran mendadak, tetapi bahwa jalur pendengaran lengkap

dari telinga bagian dalam ke gyrus temporal superior harus di


screening dengan menggunakan pencitraan resonansi magnetik.
Dalam studi MRI ini, 83 pasien (41,9%) mengungkapkan temuan
patologis yang terkait dengan gangguan pendengaran akut. Pada
115 pasien lainnya (58,1%) dengan gangguan pendengaran
mendadak, MRI tanpa temuan patologis sehubungan dengan jalur
pendengaran. Namun, tidak ada korelasi antara keparahan
gangguan pendengaran mendadak dan probabilitas temuan MRI
patologis.

Gambar 5. Gambaran MRI pada vestibular Schwannoma

2.5.6 Penatalaksanaan

25
Regimen pengobatan untuk sudden deafness sangat banyak dan
beragam. Ini mencerminkan bahwa terdapat banyak etiologi yang berbeda-beda
yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran mendadak dan sangat sulit
untuk menentukan penyebab pastinya sehingga sering juga disebut ISSNHL
(Idiopatic sudden sensorineural hearing loss). Pengobatan primer seharusnya
sangat tergantung oleh penyebab yang spesifik, jika dapat diidentifikasi. Namun,
sebagaimana dibahas sebelumnya, tidak ada penyebab spesifik diidentifikasi
dalam sebagian besar kasus, sehingga perawatan empiris dapat
dipertimbangkan. Terapi lainnya yang dianjurkan adalah tirah baring selama 2
minggu, diet rendah garam dan rendah kolesterol, penggunaan neurotonik,
vitamin C, vitamin E, dan preparat herbal (Gingko biloba). Terapi sudden
deafness dapat dikelompokkan berdasarkan mekanisme kerja: (a) agen anti-
inflamasi, (b) oksigen hiperbarik (c) agen rheologic, (d) vasodilator (e)agen
antivirus (f) diuretik, (g) Gingko biloba dan (h) Pembedahan.(3)
Penatalaksanaan tuli mendadak cukup kontroversial. Banyak literatur
medis memperkenalkan berbagai variasi regimen terapi tuli mendadak.
Namun apabila etiologinya ditemukan, terapi harus ditujukan pada etiologi
tersebut. Berdasarkan Pedoman praktik klinis sudden hearing loss (update)
Chandrasekhar et al, terapi sudden deafness dimulai dalam 2 minggu
pertama onset gejala.(4)(21)
1. Kortikosteroid Sistemik
Publikasi pertama kali yang menunjukkan bukti yang meyakinkan
tentang efektifitas kortikosteroid oleh Wilson et al, ketika pada tahun 1980
mereka menunjukkan dalam uji klinis acak bahwa pasien yang mendapat
terapi kortikosteroid oral mencapai pemulihan yang lebih banyak
dibandingkan pasien yang menerima placebo, 78% pasien yang mendapat
kortikosteroid oral membaik dibandingkan dengan 32% yang menerima
placebo.(4)
Menurut pedoman praktik primer steroid oral dosis tinggi
direkomendasikan dan harus diberikan sesegera mungkin, dengan perbaikan
terbaik selama 2 minggu pertama, tetapi pengobatan harus dilanjutkan hingga
6 minggu. Ketika harus memilih terapi steroid untuk sudden deafness atau
risiko yang dapat memperparah gangguan pendengaran yang permanen,
maka dokter dan pasien harus memperhatikan keuntungan dan kerugian dari

26
penggunaan steroid.(25)
Efek samping dari steroid harus dipertimbangkan dalam pemberian
steroid, beberapa efek samping jangka pendek yang dapat terjadi yaitu
glaucoma eksaserbasi, peningkatan koagulabilitas, thrombosis intravaskuler,
nekrosis avaskuler, insomnia. Kontraindikasi relatif terhadap penggunaan
steroid sistemik termasuk menyusui, sindrom Cushing, diverticulitis, penyakit
ulkus peptikum dan ulkus perdarahan, diabetes, gagal jantung, myasthenia
gravis, osteoporosis, psikosis, penyakit ginjal, dan colitis ulseratif.
Penggunaan proton pump inhibitor atau antagonis H2 harus dipertimbangkan
dalam kasus-kasus gangguan pencernaan, pemberian obat sedatif juga dapat
dipertimbangkan pada kondisi insomnia. Mekanisme kerja kortikosteroid
pada telinga bagian dalam diduga menyebabkan vasodilatasi dengan
terjadinya peningkatan mikrovaskular aliran darah di koklea sehingga
menurunkan hidrops endolimfatikus dan mengurangi peradangan. Di Jerman
Prednisolon dosis tinggi diberikan secara intravena (250 mg/hari)sehingga
menghasilkan tingkat kortisol perilimfatik yang tinggi.(25)(26)

Tabel 4. Pemberian Dosis Regimen Prednison dan Dexamethasone(25)

Tabel 4. Dosis Regimen Prednison dan Dexamethasone

27
Tabel 5. Farmakokinetik Prednison dan Dexamethasone(25)

Tabel 5. Perbandingan farmakokinetik Prednison dan Dexamethasone

Dari tinjauan sistematis Raghunandhan et al, Pemberian kortikosteroid


intravena dosis tinggi untuk pasien sudden deafness sangat dianjurkan, Dari
pemeriksaan hasil pendengaran pada pasien rawat inap, didapatkan hasil
yang lebih baik terutama tanpa ada komorbiditas. Terapi steroid Intravena
memiliki hasil terbaik dimulai dalam waktu 6 jam setelah munculnya sudden
deafness yang merupakan periode kritis untuk pemulihan total cochleopati.
Pasien dengan gangguan frekuensi tinggi mengalami peningkatan pada akhir
perawatan.(27)

2. Kortikosteroid Intra Timpani


Penggunaan steroid intratimpani pada sudden deafness dilaporkan
pertama kali oleh Silverstein pada tahun 1996, meskipun efektivitasnya
belum sepenuhnya terbukti, namun banyak digunakan pada sudden
deafness di Amerika Serikat.(26)
Penggunaan steroid intratimpani telah berkembang menjadi 3
pedoman utama untuk sudden deafness yaitu:
- Sebagai pengobatan awal atau primer pada sedden deafness tanpa
steroid sistemik

28
- Sebagai pengobatan tambahan yang diberikan bersamaan dengan
steroid sistemik pada sudden deafness
- Sebagai terapi pengganti jika steroid sistemik gagal pada sudden
deafness

Alasan utama penggunaan steroid intratimpani tanpa steroid sistemik


yaitu pada pasien yang tidak memungkinkan untuk penggunaan secara
sistemik atau pasien yang berisiko komplikasi lebih besar (seperti Diabetes
Melitus).(26)

Dari penelitian meta analisis oleh Zhao et al, Kortikosteroid sistemik yang
diberikan dalam semua percobaan melalui rute oral atau intravena aalah
Prednison, Deksametason dan Metilprednisolon dengan dosis 30-60 mg/hari
(oral) atau 10 mg /hari (intravena) selama 7-10 hari. Pemberian steroid intra
timpani diberikan sekitar 4 kali selama periode pengobatan 1 bulan, dengan
dosis 1-40 mg/injeksi (Deksametason) atau 5 mg. Dari meta analisis yang
didapatkan menunjukkan bahwa dosis dalam pengobatan steroid intratimpani
jauh lebih rendah dibandingkan diberikan melalui sistemik.(19)
Menurut Demirhan et al, steroid intratimpani perbandingan penggunaan
Dexamethasone dan Metilprednisolon sama-sama memiliki efektivitas yang
sama,meskipun memiliki farmakokinektik yang berbeda, jika terdapat rasa
sakit di telinga bagian tengah maka Metilprednisolon lebih efektif
dibandingkan Dexamethasone.(28)
Keuntungan pemberian steroid secara intratimpani yaitu:
1. Obat langsung pada targetnya dan dosis nya tercapai maksimum
2. Tidak ada absorbsi secara sistemik sehingga dapat meminimalkan
efek samping obat
3. Komplikasi lebih rendah dan efek samping lokal
4. Tidak melewati first pass metabolisme
5. Dosis yang diberikan bisa dikurangi dibandingkan secara sistemik(18)

Tabel 6. Perbandingan terapi kortikosteroid oral dan intratimpani (21)

Oral kortikosteroid Intratimpani


kortikosteroid
Waktu pengobatan Segera, ≤ 14 hari pertama. Segera,
Keberhasilan dilaporkan Salvage (rescue) setelah

29
hingga 6 minggu onset tuli pengobatan sistemik gagal
mendadak
Dosis Prednison Dexamethasone
1 mg/kg/hr (maks 60 mg/hr) 24 mg/ml atau 16 mg/ml
atau (ditambah), atau 10 mg/ml (stok)
Metilprednisolone 48 mg/hr Metilprednisolone
atau 40 mg/ml atau 30 mg/ml
Deksametason
10 mg/hr
Durasi/ frekuensi Dosis penuh selama 7-14 Injeksi 0,4-0,8 ml ke telinga
hari, dilanjutkan dengan tengah setiap 3-7 hari untuk 3-4
tappering sesi
Teknik Jangan membagi dosis Diberikan obat bius topikal, lalu
penyuntikkan ke kuadran
posterior inferior dengan jarum
suntik untuk mengisi ruang telinga
tengah.
Kepala posisi otologic (telinga
yang sakit berada diatas) selama
15-30 menit
Pemantauan Audiogram : Audiogram :
Setelah selesai pengobatan Sebelum setiap suntikan, setelah
dan pada delayed interval selesai pengobatan dan pada
delayed interval
Periksa membran timpani (TM)
untuk memastikan penyembuhan
setelah selesai pengobatan dan
pada delayed interval
Modifikasi Efek samping seperti Dapat dipasang tabung
insomnia bertekanan jika direncanakan
Memantau hiperglikemia, beberapa kali suntikan, tetapi
dan hipertensi pada pasien meningkatkan risiko perforasi
yang rentan membran timpani
Dapat juga dipertimbangkan
menambahkan jalur transportasi
jendela bundar

3. Vasodilator
Vasodilator adalah obat yang memperlebar pembuluh darah dan
dengan demikian meningkatkan aliran darah. Zat vasoaktif / reologi
meningkatkan aliran melalui pembuluh darah dengan cara lain (seperti
dengan mengubah viskositas cairan).
Vasodilator Secara teoritis dapat meningkatkan suplai darah ke
koklea. Mencegah hipoksia. Histamin, Nicotinic acid, Papaverin, Prokain,
Niasin, dan Carbogen telah digunakan dalam upaya untuk meningkatkan
aliran darah ke koklea. Inhalasi Carbogen (5% karbon dioksida dan 95%
oksigen) telah terbukti meningkatkan tekanan oksigen perilimph.(3)

30
4. Terapi oksigen hiperbarik
Terapi oksigen hiperbarik telah diteliti sebagai salah satu perawatan
untuk gangguan pendengaran sejak 1970-an. Efek dari terapi okigen
hiperbarik pada sudden deafness sebagian besar adalah
kemampuannya untuk memperbaiki perilimfatik yang mengalami hypoxia
dengan meningkatkan tekanan oksigen parsial, konsentrasi oksigen di
telinga bagian dalam dan dengan meningkatkan mikrosirkulasi dan profil
darah. Terapi oksigen hiperbarik juga memiliki pengaruh pada kompleks
imun karena dapat memberikan efek anti inflamasi dan dapat mengurangi
iskemia perfusi jaringan. (29)
Terapi Oksigen Hiperbarik adalah terapi dengan memberikan oksigen
100% pada tekanan lingkungan yang lebih besar dari satu atmosfer untuk
mengobati sudden deafness dengan meningkatkan tekanan parsial
oksigen yang dialirkan ke telinga bagian dalam. Perawatan biasanya
dilakukan selama 1 sampai 2 jam sekali atau dua kali sehari. Dapat
dilakukan 20 sampai 40 kali perawatan.(3)
Dari sebuah studi kasus oleh Zarichta, Terapi oksigen hiperbarik
digunakan untuk terapi sudden deafness dikarenakan koklea dan stuktur
di dalamnya terutama stria vascularis dan organ corti membutuhkan
suplai oksigen yang tinggi. Namun pasokan langsung vaskular ke organ
Corti sangat sedikit. Oksigenasi jaringan ke struktur dalam koklea terjadi
melalui difusi oksigen dari jaringan kapiler koklea ke dalam perilimf dan
kortilimf. Perilimf adalah sumber utama oksigen ke struktur intrakoklear,
terapi oksigen hiperbarik adalah satu-satunya terapi yang diketahui dapat
meningkatkan oksigenasi ke dalam cairan telinga bagian dalam. (30)
Metode pemberian terapi oksigen hiperbarik:
Terapi oksigen hiperbarik dilakukan dalam sebuah ruang besar,
tekanan udara dikompresi menjadi 2 ATA selama 7 menit, kemudian 2
ATA dipertahankan selama 60 menit dan didekompresi menjadi 1 ATA
selama 13 menit, di bawah tekanan udara, oksigen disuplai melalui
masker oksigen, terapi oksigen hiperbarik dilakukan setiap hari, biasanya
14-20 kali perawatan.(31)

31
Dari sebuah studi kasus, prognosis yang paling baik adalah pada
pasien dengan gangguan pendengaran derajat sedang atau berat (>41
dB), yang diberikan terapi oksigen hiperbarik dalam 14 hari setelah
terjadinya gejala gangguan pendengaran (Gambar 5). (30)

Gambar 6. Efek pemberian terapi oksigen hiperbarik dalam waktu 1 minggu,1-2


minggu,2-3 minggu dan setelah 3 minggu(31)

Dari kasus lainnya, kombinasi dengan kortikosteroid dan terapi oksigen


hiperbarik secara dini dilakukakan sejak 4 hari gejala awal, dapat
mengembalikan pendengaran secara baik. Dari beberapa penelitian terapi
oksigen hiperbarik dikombinasikan dengan kortikosteroid sistemik
memberikan hasil terapi yang sangat baik. Terapi oksigen hiperbarik dapat
menjadi terapi adjuvan terutama pada pasien di bawah usia 60 tahun yang
mendapat kortikosteroid.(31)

32
Gambar 7. Perbaikan level pendengaran, efek pemberian terapi oksigen
hiperbarik dimulai hari ke-4 dari timbul gejala.(31)

Terapi oksigen hiperbarik dikombinasikan dengan terapi lain dan memberikan


hasil lebih baik dan dapat berperan sebagai:

1. Sebagai terapi penyelamat


2. Pada gangguan pendengaran yang berat (≥70 dB)
3. Pasien yang dirawat selama total perawatan setidaknya 1200
menit(18)

5. Anti Virus
Virus dapat menyebabkan gangguan pendengaran yang mendadak
baik sebagai infeksi akut atau laten dari virus yang aktif kembali. Virus
yang sering menjadi penyebab yaitu herpes zoster otikus dan herpes
simplex tipe 1. Dimana teori ini didukung karena adanya isolasi partikel
virus dari koklea manusia dan obat anti virus (Ganciclovir) memiliki efek

33
yang menguntungkan dalam mencegah penurunan pendengaran ketika
diberikan pada bayi yang terinfeksi gejala dengan infeksi cytomegalovirus
yang bersifat genital. Ketika di uji pada labirintitis herpes simpleks,
pengobatan kombinasi yang terdiri dari prednisolon dan acyclovir
menghasilkan pemulihan pendengaran sebelumnya dan pengurangan
gangguan koklear yang kurang luas dibandingkan dengan monoterapi
prednisolon atau aciclovir.(32)
Dari sebuah studi klinis Uri et al, Aciclovir yang diberikan bersama
dengan hidrokortison tidak memiliki efek aditif pada proses pemulihan
sudden deafness. Berikut adalah gambaran audiometri perbandingan
studi acyclovir dan hidrokortison:(33)

Gambar 8. Gambaran audiogram pada pemakaian kortikosteroid dan anti


virus

6. Agen rheology
Peningkatan viskositas darah dan viskositas plasma menyebabkan
gangguan sirkulasi mikro pada telinga bagian dalam, Gangguan pendengaran
pada tahap awal sudden deafness ditentukan oleh faktor-faktor risiko
gangguan mikrosirkulasi. Terapi hemorheologis (gabungan hemodelusi) dapat
menjadi terapi standar pada sudden deafness. Efikasi rheoferesis

34
berdasarkan terori pada sudden deafness, adanya keterkaitan dengan
vascular dan iskemia koklear yang dianggap berkontribusi pada gangguan
pendengaran.(34)

Dari sebuah tinjauan sistematis Ohinata et al, mengukur tingkat


pendengaran dengan audiogram nada murni serta viskositas darah dan
kemampuan menyaring sel darah merah pada 93 subjek berusia 50-75 tahun
yang memiliki berbagai tingkat gangguan pendengaran. Dia menemukan
bahwa viskositas darah meningkat dan filterabilitas sel darah merah
berkorelasi dengan gangguan pendengaran nada rendah serta dengan
gangguan pendengaran nada tinggi. Hildesheimer et al. menemukan
peningkatan viskositas darah pada pasien dengan gangguan pendengaran
sensorineural bilateral yang tidak diketahui penyebabnya dan menyarankan
bahwa itu mungkin salah satu penyebab gangguan pendengaran. Gatehouse
et al. mencatat korelasi positif antara tingkat pendengaran dalam audio nada
murni dan viskositas darah pada 124 pasien dengan kehilangan pendengaran
sensorineural dan tingkat korelasi yang lebih tinggi antara viskositas darah
pada tingkat geser yang lebih tinggi dan gangguan pendengaran pada
audiografi nada tinggi. Di sisi lain, Ciuffetti et al. menemukan peningkatan
yang signifikan dalam tingkat filtrasi sel darah merah pada 16 pasien dengan
sudden deafness. Mereka menyarankan bahwa perubahan dalam sirkulasi
mikro ini terkait dengan etiologi sudden deafness. Browning et al. menyelidiki
hubungan antara tingkat rata-rata gangguan pendengaran dan viskositas
darah atau viskositas plasma pada 49 pasien dengan gangguan
pendengaran idiopatik dan menemukan bahwa gangguan pendengaran di
daerah nada tinggi terkait langsung dengan viskositas darah pada tingkat
geser yang lebih tinggi dan berbanding terbalik dengan viskositas plasma.(34)
Agen Rheologi bekerja dengan mengubah viskositas darah sehingga dapat
meningkatkan aliran darah dan oksigen ke kokhlea. Secara teori penggunaan
dekstran dengan berat molekul rendah, Pentoxifyllin, dan antikoagulan heparin
dan Warfarin. Dextran akan menyebabkan hipervolemik hemodilusi dan
mempengaruhi faktor VIII, yang mempengaruhi aliran darah. Pentoxifilline
memungkinkan deformabilitas platelet yang lebih besar. dan antikoagulan
mengganggu kaskade koagulasi.(3)

35
Dalam pedoman dari AAO-HNS, pentingnya serum fibrinogen tidak
dibahas dan terapi farmakologis untuk mengurangi viskositas darah tidak
sangat direkomendasikan. Ini mungkin karena belum ada literatur yang
berfokus pada serum fibrinogen dan terapi lainnya, termasuk defibrinogenasi.
Penelitian sebelumnya oleh penulis menunjukkan bahwa terapi
defibrinogenasi lebih efektif untuk pasien dengan SSNHL yang memiliki kadar
fibrinogen lebih tinggi.

Dari sebuah studi meta analisis oleh Oya et al, perbandingan terapi
defibrinogenasi dengan kortikosteroid,lebih cocok untuk pasien dengan
gangguan pendengaran berat. Ada pasien yang terapi steroidnya tidak sesuai
tetapi terapi defibrinogenasi dan terapi lain mungkin tepat. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa terapi steroid mungkin tidak cukup untuk pasien
dengan sudden deafness yang memiliki hiperfibrinogenemia, dan terapi lain
yang dapat mengurangi viskositas darah harus dipilih sebagai pengganti atau
sebagai tambahan dari terapi standar. Sebuah uji coba terkontrol plasebo
baru-baru ini melaporkan bahwa tidak ada perbedaan antara terapi sistemik
steroid
dan kontrol plasebo (32).
Gambar 9. Gambaran pengaruh pemberian rheoferesis sebagai terapi pada
sudden deafness

36
7. Ekstrak Ginkgo Biloba
Dari sebuah penelitian oleh Koo et al, EGb761 adalah ekstrak Ginkgo
biloba yang mengandung flavon dan terpene. Zat ini dapat mencegah
perkembangan radikal bebas dalam kasus cedera iskemik dan juga
mencegah kontraksi pembuluh darah, yang dapat memfasilitasi
pemulihan fungsional sel-sel rambut koklea yang rusak. Meskipun, dari
penelitian terdapat efek terapi EGb761 pada 60 hingga 80% pasien
dengan sudden deafness, namun pada pedoman praktik klinis terbaru
merekomendasikan untuk tidak menggunakan EGb761 karena masih
kurangnya bukti dan efek samping potensial.(35)
Efek terapi EGb761 dilaporkan melalui peningkatan sirkulasi mikro
dan mengurangi radikal bebas di telinga bagian dalam, yang berbeda
dengan mekanisme kerja steroid. Oleh karena itu, dalam kombinasi
dengan steroid, EGb761 dapat diharapkan memiliki efek terapi tambahan
dalam pengobatan sudden deafness.(35)
Dasar Mekanisme farmakologis EGb761, yaitu meningkatkan aliran
darah dan memblokir faktor pengaktif trombosit, dan melindungi koklea
dari radikal bebas, yang dapat bekerja dalam pengobatan sudden
deafness. Efek EGb761 pada perlindungan telinga bagian dalam telah
ditemukan berulang kali dalam beberapa model hewan dari ototoksisitas,
gangguan pendengaran yang berkaitan dengan penuaan, kerusakan
suara, kerusakan hipoksia, dan labyrinthitis yang diinduksi endotoksin.
Dibandingkan dengan penelitian pada hewan, hanya beberapa uji klinis
yang telah mengevaluasi efeknya. EGb761 pada pasien dengan
gangguan pendengaran.(35)
Reisser dan Weidauer membandingkan efikasi dan efek samping
EGb761 dan pentoxifylline, yang digunakan sebagai bahan referensi
untuk perbandingan dengan agen terapeutik rheologis lainnya. EGb761
menunjukkan keunggulan dibandingkan dengan pentoxifylline. (35)
Dari penelitian Burschka et al, EGb 761 (oral) tampaknya dapat
mempercepat dan meningkatkan pemulihan pasien-pasien dengan
sudden deafness tanpa komplikasi yang memiliki peluang bagus untuk
pulih sepenuhnya. Di antara 23 pasien dengan penurunan pendengaran

37
rata-rata dan tidak ada tanda-tanda tinnitus yang diobati dengan 120 mg
EGb 761 dua kali sehari, semua mendapat lebih baik dan semua kecuali
satu pasien yang penurunan pendengaran lebih baik dari 10 dB pada
semua frekuensi yang diukur. Dosis tinggi meningkatkan kemungkinan
penyembuhan dibandingkan dengan dosis rendah, dan manfaatnya
sudah dapat dilihat setelah satu minggu perawatan. Efek samping
terlepas dari dosis tampaknya sebanding dengan plasebo. Karena
pengobatan ini dapat ditoleransi dengan baik, mungkin lebih baik
daripada terapi infus dalam kasus yang tidak rumit dari sudden deafness
yang cukup parah. Namun, hasil penelitian ini bersifat eksploratif dan
bukan konklusif, sebagian besar karena tingkat pemulihan masih rendah.
(36)

8. Diuretik

Diduga beberapa gangguan pendengaran terjadi karena gangguan


dari homeostasis endolimfatik sekunder. Endolimf ditandai dengan
konsentrasi kalium tinggi ( 150-180mM ) , kadar natrium rendah
( <1m ) dan potensial listrik positif ( 80-100mV fluid. Cairan seperti
intraseluler ini mengisi kompartemen endolimfatik dan sangat penting
dalam proses transduksi yang terjadi di organ Corti. Pada perkembangan
sudden deafness, struktur sekretorik endolimf, termasuk stria vascularis,
liga spiral dan sel pendukung, dapat dirusak oleh virus dan / atau
mediator inflamasi. Selanjutnya, fitur elektrokimia endolymph diubah dan
akhirnya menyebabkan gangguan pendengaran. Juga, volume endolimfa
dapat berubah sebagai akibat dari perubahan elektrokimia. Ini mungkin
menjelaskan beberapa gejala hidrop endolimfatik seperti nyeri dan vertigo
yang terlihat pada beberapa kasus sudden deafness. Pada beberapa
kasus sebelumnya telah dilaporkan 20 kasus dengan gejala hidropatik
endofaring dalam 160 kasus sudden deafness. Yoon et al. telah
melaporkan perubahan hidro endolimfatik pada 4 dari 11 kasus sudden
deafness pada penelitian tulang temporal. Futake. et al. telah
menemukan tes Furosemid positif pada 3 dari 6 kasus sudden deafness.
Dalam penelitian ini, agen diuretik efektif dalam 4 dari 8 kasus di mana
pengobatan konvensional dengan vasodilator, pengencer darah dan agen

38
neurotropik telah gagal meningkatkan pendengaran. Ketika digunakan
dalam pengobatan awal, agen diuretik menghasilkan peningkatan
pendengaran dan gejala lainnya pada semua 5 kasus. Hasil-hasil ini
menunjukkan bahwa hidrops endolimfatik dapat berperan dalam
patofisiologi sudden deafness dalam beberapa kasus.
Agen diuretik digunakan dalam 8 kasus dengan keluhan telinga
penuh dalam seri ini. Tes furosemid dan gliserin kurang informative untuk
menjadi pedoman dengan pengobatan diuretik. Hasil dari tes tersebut
tidak selalu konsisten dengan gejala hidrop endolimfatik klinis di laporan
lainnya. Oleh karena itu menurut penulis keluhan telinga terasa penuh
kemungkinan karena adanya hidrops endolimfatik. Dalam penelitian ini,
kedua agen herbal dihydrochlorothiazide dan Chinese digunakan dan
menunjukkan tingkat kemanjuran tertentu. Penulis menyatakan bahwa
trihterdihydrochlorothiazide / triamterene mungkin tepat untuk usia muda
dan pasien yang sehat, sedangkan agen herbal mungkin aman pada
orangtua. Dapat disimpulkan hidrops endolimfatik mungkin terlibat dalam
beberapa kasus sudden deafness dan jika tidak dikontraindikasikan
pengobatan dapat dikombinasi dengan agen diuretik.(37)

9. Pembedahan

Repair oval window dan round window pada sudden deafness dilakukan
pada fistula perilymph yang diketahui dari tes fistula positif atau terdapat
riwayat trauma kepala baru dan barotrauma. Kebocoran perilymph bisa
menghasilkan gangguan pendengaran mendadak sesuai dengan teori ruptur
membran intrakokhlea. tekanan perilymph rendah dapat menghasilkan
keadaan relatif hidrop endolymphatik koklea. Perbaikan bedah fistula
perilymphatik masih terdapat kontroversi karena tidak ada standar universal
yang ada untuk identifikasi positif fistula. Tes transferin pada cairan perilimfe
belum terbukti bermanfaat dalam diagnosis entitas ini.

II.4.7 Prognosis
Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor yaitu
kecepatan pemberian obat, respon pengobatan 2 minggu pertama, usia, derajat

39
ketulian, dan adanya faktor predisposisi. Derajat ketulian menurut ISO
diklasifikasikan sebagai ringan (>25-40), sedang (>40-55), sedang berat (>55-
70), berat (>70-90), sangat berat (>90), sesuai rata-rata nada murni pada

frekuensi 500Hz, 1000Hz, 2000Hz, 4000Hz. Semakin berat derajat ketulian


maka prognosis menjadi lebih rendah. Tipe kehilangan pendengaran
diklasifikasikan menjadi 4 kelompok yaitu ascending type (frekuensi 250-500Hz),
descending type (frekuensi 4000-8000), flat type (<20dB perbedaan antara yg

terbaik dan terburuk), total atau sub total (>85dB). Ascending type memiliki
prognosis yang lebih baik bila dibandingkan dengan descending, flat serta total
atau sub total. Sedangkan menurut Atay pembagian tipe kehilangan
pendengaran terdiri dari upward-sloping type (gangguan lebih berat pada
frekuensi rendah), downward-sloping type (gangguan lebih berat pada frekuensi
tinggi), flat type (tidak lebih dari 10dB dari ambang dengar) dan profound type
(lebih dari 70dB pada semua frekuensi).(6)(7)(22)
Awal mulai pengobatan oleh Kasaplogu dkk dibagi menjadi 2 kelompok
yaitu early (5 hari pertama), late (hari ke 5-15). Pengobatan dimulai kurang dari
lima hari akan memberikan hasil yang lebih baik.(38)
Tingkat pemulihan spontan untuk sudden deafness umumnya baik,
berkisar antara 47% sampai 63%. Menurut Jones menyatakan sudden deafness
mengalami pemulihan spontan sekitar 32-70%. Matox menyatakan sekitar 65%
kasus sudden deafness terjadi pemulihan spontan, sedangkan Battaglia
menyatakan sekitar 32-64% tuli mendadak dapat mengalami pemulihan spontan
Matox dan Simmons berpendapat pemulihan sempurna sudden deafness
pada pemeriksaan audiometri nada murni menyamai telinga yang sehat. dan
pemulihan yang baik dengan audiometri nada murni kurang dari 40 dB atau lebih
dari 50 dB perbaikan dari audiogram awal. Tingkat pemulihan untuk kedua
kelompok adalah 63%.(3)
Pasien yang cepat mendapat pemberian kortikosteroid dan atau
vasodilator mempunyai angka kesembuhan yang lebih tinggi. Demikian pula
dengan kombinasi pemberian steroid dengan heparinisasi dan Carbogen serta
steroid dengan obat fibrinolisis. Usia muda mempunyai angka perbaikan yang
lebih besar dibandingkan usia tua, tuli sensorineural berat dan sangat berat
mempunyai prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan tuli sensori neural

40
nada rendah dan menengah karena dikaitkan dengan luasnya kerusakan sel-sel
rambut dalam.(29)
Pasien dengan penyakit penyerta seperti sindroma metabolik mempunyai
prognosis yang tidak baik bila dikaitkan dengan mikroangiopati yang disebabkan
oleh sindroma metabolik, yang dapat mencegah agen terapetik mencapai
jaringan yang terganggu melalui sirkulasi darah, dan sel-sel rambut bagian dalam
tidak akan mendapatkan perbaikan yang signifikan.(6)

Evaluasi pemulihan sudden deafness menurut Filippo tahun 2010 dibagi


menjadi 4 kelompok yaitu pulih total dengan ambang dengar kurang dari 25
dB, pulih bermakna dengan peningkatan ambang dengar lebih dari 30 dB,
pulih minimal dengan peningkatan ambang dengar sekitar 10-30 dB, dan tidak
terjadi pemulihan dengan peningkatan ambang dengar kurang dari 10 dB.
(18)

Sedangkan Siegel membagi kriteria perbaikan pendengaran setelah


3 bulan terapi menjadi : sembuh sempurna bila perbaikan lebih dari 30 dB dan
pendengaran lebih baik dari 25 dB, penyembuhan parsial bila perbaikan lebih
dari 15 dB dan pendengaran antara 25–45 dB, penyembuhan ringan (slight)
bila perbaikan lebih dari15 dB tetapi pendengaran lebih buruk dari 45 dB, tidak
ada perbaikan bila perbaikan kurang dari 15 dB dan pendengaran lebih buruk
dari 75 dB.(18)

41
BAB III

KESIMPULAN

Sudden deafness adalah kondisi dimana penurunan pendengaran


sensorineural 30 db atau lebih, paling sedikit tiga frekuensi berturut-turut pada
pemeriksaan audiometri dan berlangsung dalam waktu kurang dari 3 hari.
Etiologi pasti sudden deafness masih belum diketahui, pada sebagian
besar pasien datang dengan keluhan penurunan pendengaran tiba-tiba tanpa
diketahui penyebabnya. Oleh karena itu, sejumlah hipotesis patofisiologi
sudden deafness dikemukakan.Terdapat empat teori utama yang
mencoba menjelaskan patogenesis sudden deafness, yaitu infeksi virus,
gangguan vaskular, rupture membrane intracochlea, dan autoimun.

Diagnosis sudden deafness ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik THT-KL, audiologi, laboratorium serta pemeriksaan
penunjang lain.
Terapi sudden deafness dapat dikelompokkan berdasarkan
mekanisme kerja: (a) agen anti-inflamasi, (b) oksigen hiperbarik (c) agen
rheologic, (d) vasodilator (e)agen antivirus (f) diuretik, (g) Gingko biloba
dan (h) Pembedahan.
Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor yaitu
kecepatan pemberian obat, respon pengobatan 2 minggu pertama, usia,
derajat ketulian, dan adanya faktor predisposisi.

42
DAFTAR PUSTAKA
1. Perry M. Head,Neck and Dental Emergencies. Vol. 53, Oxford University
Press. 2018. 1689–1699 p.
2. Duthey B. Background Paper 6.21 Hearing Loss. World Heal Organ.
2013;1(February):6.
3. Bailey J. Head and Neck Surgery Otolaryngology. Fourth. Philadelpia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2006. 2598–2594 p.
4. Margaretha L. Casselbrant, MD P, Ellen M. Mandel M, Paola Marchisio M.
Ballenger’s Otorhinolaryngology: Head and Neck Surgery 18th Ed.
People’s Medical Publishing House-USA. People’s Medical Publishing
House-USA; 2016. 734–766 p.
5. Lucente FE, Har-El G. Essentials of Otolaryngology - Fifth Edition. 2004. p.
446.
6. Kuhn M, Heman-Ackah SE, Shaikh JA, Roehm PC. Sudden Sensorineural
Hearing Loss: A Review of Diagnosis, Treatment, and Prognosis. Trends
Amplif. 2011;15(3):91–105.
7. Soepardi EA., Iskandar N., Basyiruddin J. et all. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. ketujuh. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2017. 128–139 p.
8. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. sixth. United States:
Saunders,Elsevier; 2014. 94–100 p.
9. Higler boies adam. Boies Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Philadelphia:
EGC; 1997. 33–34 p.
10. K.Lalwani A. Inner Ear in Current and Treatment in otolaryngology head
and neck surgery. Mc Graw Hill Lange; 2012.
11. Gates GA MJ. Presbycusis. pubmed. 2005;1111–20.
12. Luiz Mangabeira Albernaz pedro, Zuma e maia Francisco, Carmona
Sergio, Valerio Rodriques cal Renato ZG. The New Neurotology.
Switzerland: Springer; 2019. 25–26 p.
13. Lazarini PR, Camargo ACK. Idiopathic sudden sensorineural hearing
loss: Etiopathogenic aspects. Braz J Otorhinolaryngol [Internet].
2006;72(4):554–61. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/S1808-
8694(15)31004-1
14. Luan CW, Chang JJ, Hsu CM, Tsai MS, Chang GH, Huang EI, et al. Risk
of sudden sensorineural hearing loss in patients with dysrhythmia: A

43
nationwide population-based cohort study. PLoS One. 2019;14(6):1–13.
15. Nakashima T, Sato H, Gyo K, Hato N, Yoshida T, Shimono M, et al.
Idiopathic sudden sensorineural hearing loss in Japan. Acta Otolaryngol.
2014;134(11):1158–63.
16. Kim SH, Kim SJ, Im H, Kim TH, Song JJ, Chae SW. A Trend in Sudden
Sensorineural Hearing Loss: Data from a Population-Based Study. Audiol
Neurotol. 2018;22(6):311–6.
17. Hidayat H, Edward Y, Hilbertina N. Gambaran Pasien Tuli Mendadak di
Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang. J Kesehat Andalas.
2016;5(2):416–20.
18. Singh A, Kumar Irugu DV. Sudden sensorineural hearing loss – A
contemporary review of management issues. J Otol [Internet].
2020;15(2):67–73. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.joto.2019.07.001
19. Zhao D, Tong B, Wang Q, Hellstrom S, Duan M. ScienceDirect A
comparison of effects of systemic and intratympanic steroid therapies for
sudden sensorineural hearing loss : A meta-analysis. J Otol [Internet].
2016;11(1):18–23. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.joto.2016.02.002
20. Watanabe T, Suzuki M. Analysis of the audiogram shape in patients with
idiopathic sudden sensorineural hearing loss using a cluster analysis.
Ear, Nose Throat J. 2018;97(7).
21. Chandrasekhar SS, Tsai Do BS, Schwartz SR, Bontempo LJ, Faucett EA,
Finestone SA, et al. Clinical Practice Guideline: Sudden Hearing Loss
(Update). Otolaryngol - Head Neck Surg (United States).
2019;161(1_suppl):S1–45.
22. Atay G, Kayahan B, Çınar BÇ, Saraç S, Sennaroğlu L. Prognostic factors
in sudden sensorineural hearing loss. Balkan Med J. 2016;33(1):87–93.
23. Bramantyo B, Bashiruddin J, Alviandi W, Risdawati R. Pemeriksaan
Otoacoustic Emission (OAE) untuk menilai keberhasilan terapi
metilprednisolon. Oto Rhino Laryngol Indones. 2019;49(1):1.
24. Jeong KH, Choi JW, Shin JE, Kim CH. Abnormal Magnetic Resonance
Imaging Findings in Patients with Sudden Sensorineural Hearing Loss:
Vestibular Schwannoma as the Most Common Cause of MRI
Abnormality. Med (United States). 2016;95(17):1–5.
25. Leung MA, Flaherty A, Zhang JA, Hara J, Barber W, Burgess L. Sudden
Sensorineural Hearing Loss: Primary Care Update. Hawaii J Med Public
Health. 2016;75(6):172–4.
26. Haynes DS, O’Malley M, Cohen S, Watford K, Labadie RF. Intratympanic
dexamethasone for sudden sensorineural hearing loss after failure of
systemic therapy. Laryngoscope. 2007;117(1):3–15.
27. Raghunandhan S, Agarwal AK, Natarajan K, Murali S, Anand Kumar RS,

44
Kameswaran M. Effect of Intravenous Administration of Steroids in the
Management of Sudden Sensori-Neural Hearing Loss: Our Experience.
Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 2013;65(3):229–33.
28. Demirhan H, Gökduman AR, Hamit B, Yürekli Altındağ MF, Yiğit Ö.
Contribution of intratympanic steroids in the primary treatment of sudden
hearing loss*. Acta Otolaryngol [Internet]. 2018;138(7):648–51. Available
from: https://doi.org/10.1080/00016489.2018.1438660
29. Khater A, El-Anwar MW, Nofal AAF, Elbahrawy AT. Sudden
sensorineural hearing loss: Comparative study of different treatment
modalities. Int Arch Otorhinolaryngol. 2018;22(3):245–9.
30. Olex-Zarychta D. Successful treatment of sudden sensorineural hearing
loss by means of pharmacotherapy combined with early hyperbaric
oxygen therapy: Case report. Med (United States). 2017;96(51):5–7.
31. Nakashima,Yanagita N.Fukuta Shigeji YN. Hyperbaric oxygen therapy for
Sudden Deafness. adv Otorhinolaryngol. 1998;54(1):100–9.
32. Mosnier I, Bouccara D, Sterkers O. Management of idiopathic sudden
sensorineural hearing loss. Oto-Rhino-Laryngologia Nov. 1999;9(5):217–
23.
33. Uri N, Doweck I, Cohen-Kerem R, Greenberg E. Acyclovir in the
treatment of idiopathic sudden sensorineural hearing loss. Otolaryngol -
Head Neck Surg. 2003;128(4):544–9.
34. Klingel R, Fassbender C, Fassbender T, Erdtracht B, Berrouschot J.
Rheopheresis : Rheologic , Functional , and Structural Aspects.
2000;4(5):348–57.
35. Koo JW, Chang MY, Yun SC, Kim TS, Kong SK, Chung JW, et al. The
efficacy and safety of systemic injection of Ginkgo biloba extract,
EGb761, in idiopathic sudden sensorineural hearing loss: a randomized
placebo-controlled clinical trial. Eur Arch Oto-Rhino-Laryngology.
2016;273(9):2433–41.
36. Burschka MA, Hassan HAH, Reineke T, Van Bebber L, Caird DM,
Mösges R. Effect of treatment with Ginkgo biloba extract EGb 761 (oral)
on unilateral idiopathic sudden hearing loss in a prospective randomized
double-blind study of 106 outpatients. Eur Arch Oto-Rhino-Laryngology.
2001;258(5):213–9.
37. Chang–you J, Hong–tao L, Ding–rong Z, Ji–chuan C, Yi–nan W, Li–qian
G, et al. Diuretic Agents in Treatment of Sudden Deafness. J Otol.
2008;3(1):35–8.
38. Lalwani AK MJ. Pharmacologic and Molecular Therapies of the Cochlear
and Vestibular Labyrinth. 5th ed. Cummings Otolaryngology Head & Neck
Surgery. Otology, Neuro-otology and SBS 3, editor. Philadelphia:
Elsevier; 2010. 202–2179 p.

45

Anda mungkin juga menyukai