Anda di halaman 1dari 13

TUGAS

OTITIS EKSTERNA MALIGNA


Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL
di RSUD Panembahan Senopati Bantul

Diajukan kepada:
dr. Agung Raharjo, Sp. THT-KL

Disusun oleh:
Nur Laela
20174011067

SMF ILMU KESEHATAN TELINGA, HIDUNG, TENGGOROK, KEPALA DAN


LEHER
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
2019
1. DEFINISI
Otitis eksterna maligna (necrotizing otitis externa) adalah infeksi difus di liang telinga luar
dan struktur lain disekitarnya (Sosialisman, Hafil, & Helmi, 2007). Infeksi dimulai sebagai
peradangan kanal pendengaran eksternal yang kemudian menyebar ke struktur yang lebih
dalam, seperti tulang rawan dan tulang pangkal tengkorak. Hal ini juga disebut sebagai
necrotizing otitis externa atau osteomielitis dasar tengkorak dari sifat agresif dan keterlibatan
dasar tengkorak pada beberapa pasien (Bhat, Aziz, Bhandary, Aroor, Kamath, & Saldanha,
2015).
Biasanya terjadi pada orang tua dengan penyakit diabetes mellitus. Pada penderita
diabetes mellitus PH serumennya lebih tinggi dibandingkan PH serumen non diabetes.
Kondisi ini menyebabkan penderita diabetes lebih mudah mengalami otitis eksterna. Akibat
adanya faktor immunocompromize dan mikroangiopati, otitis eksterna berlanjut menjadi otitis
eksterna malignan (Sosialisman, Hafil, & Helmi, 2007).
Otitis eksterna maligna membutuhkan diagnosis dan perawatan segera. Perawatan yang
paling efektif adalah dengan mengendalikan diabetes dan untuk melawan infeksi dengan
antibiotik yang tepat dan debridemen jaringan nekrotik; kadang-kadang, manajemen bedah
yang agresif dilakukan. (Karaman, Yilmaz, Ibrahimov, Haciyev, & Enver, 2012).
Pada otitis eksterna malignan peradangan meluas secara progresif kelapisan subkutis,
tulang rawan dan tulang disekitarnya. Sehingga dapat timbul kondroitis, osteitis, dan
osteomielitis yang menghancurkan tulang temporal (Sosialisman, Hafil, & Helmi, 2007).
Pada tahun 1959, Meltzer dan Kelemen menggambarkan infeksi ini dalam laporan
kasus pasien dengan diabetes dan osteomielitis tulang temporal yang berasal
dari otitis eksterna (Hobson, Moy, Bye, Raz, Hirsch, & McCall, 2014).

2. EPIDEMIOLOGY
Otitis eksterna maligna sebagian besar terjadi padapasien lanjut usia dan / atau
penderita diabetes. Ulasan terbaru mengutip prevalensi diabetes pada otitis eksterna ganas
sebanyak 90-100%. Immunocompromised juga merupakan faktor risiko untuk perkembangan
otitis eksterna maligna (dengan atau tanpa diabetes), termasuk Human Immunodeficiency
Virus (HIV) infection, acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), neoplasia, leukemia,
limfoma, splenektomi dan imunosupresi, anemia, pasca transplantasi renal (Bhat, Aziz,
Bhandary, Aroor, Kamath, & Saldanha, 2015). Otitis eksterna maligna jarang ditemukan pada
anak. Namun, pada umumnya bisa ditemui pada anak terkait dengan immunocompromised
(baik keganasan atau malnutrisi) (Hollis & Evans, 2011)
3. ETIOLOGI
Kultur dari telinga dapat ditemukan pertumbuhan Bacillus pyocyanea, yang sekarang
dikenal sebagai Pseudomonas aeruginosa. Keberadaan Pseudomonas dianggap salah satu ciri
khasnya dari otitis eksterna maligna. Methicillin-resistant S aureus (MRSA) dilaporkan
menjadi patogen penyebab otitis eksterna maligna (Hobson, Moy, Bye, Raz, Hirsch, &
McCall, 2014). Ada banyak laporan yang diterbitkan mengenai resistensi terhadap antibiotik
dalam kasus otitis eksterna maligna yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa. Otitis
eksterna maligna (nekrotikan) bersifat progresif pada infeksi saluran pendengaran eksternal.
Otitis eksterna maligna merupakan infeksi pseudomonal pada telinga luar yang menyebabkan
cranial base osteomyelitis pada lansia dan penderita diabetes (Hollis & Evans, 2011).
Tetapi juga terdapat agen etiologi lainnya dari otitis yaitu : bakter (Staphylococcus
aureus, Proteus mirabilis, Klebsiella oxytoca, Pseudomonas cepacia) atau jamur
(Aspergillus, Pseudallescheria, Candida, Malassezia) (Karaman, Yilmaz, Ibrahimov,
Haciyev, & Enver, 2012).

4. PATOFISIOLOGI
Otitis eksterna maligna merupakan infeksi granulomatosa invasif pada saluran
pendengaran eksternal dan skull base, biasanya berasal di persimpangan tulang tulang rawan
dan kanalis auditori eksternal kanal. Pseudomonas aeruginosa hampir selalu menjadi
organisme penyebabnya. Diabetes dan usia sering dikaitkan dengan gangguan mikrovaskular
dan cenderung menjadi faktor risiko otitis eksterna maligna, dan dapat menyerang pembuluh
darah menyebabkan vaskulitis dengan trombosis dan koagulasi nekrosis di jaringan
sekitarnya. Selain itu, pasien diabetes terdapat sel-sel polimorfonuklear yang mengganggu
fungsi kekebalan tubuh sehingga cenderung relatif terinfeksi (Hollis & Evans, 2011).
Di tahap awal, sangat mirip dengan otitis eksternal akut yang parah, tetapi otitis
eksterna maligna dapat berkembang menjadi osteomielitis parah pada tulang temporal,
menyerang saraf kranial yang berdekatan (VII-XII), pembuluh darah, dan jaringan lunak, dan
akhirnya jika tidak dirawat, dapat menyebabkan kematian karena osteomielitis melias pada
tengkorak dan menyebabkan septic thromboemboli of the brain (Karaman, Yilmaz,
Ibrahimov, Haciyev, & Enver, 2012).
. Penyakit ini dimulai di kanal pendengaran eksternal dan kemudian menyebar ke dasar
tengkorak melalui celah-celah Santorini. Selain itu, penyakit ini menyebar ke stylomastoid
dan foramina jugularis. Keterlibatan saraf kranial dapat terjadi sebagai akibat dari
perkembangan infeksi. Saraf wajah adalah saraf kranial yang paling sering terlibat, tetapi
keterlibatan nervus glossofaringeal, vagus, aksesori, atau hipoglosus juga dapat terjadi. Otitis
eksterna maligna juga diperberat dengan parotitis, mastoiditis, trombosis vena jugularis,
meningitis, dan kematian (Kaya, et al., 2018).

5. DIAGNOSIS
Otitis eksterna maligna didiagnosis berdasarkan tiga parameter: temuan klinis (misal
granulasi polipoidal jaringan yang timbul dari saluran pendengaran eksternal); peningkatan
penanda serum inflamasi (terutama laju sedimentasi eritrosit, meskipun banyak laboratorium
sekarang hanya melakukan pengukuran protein C-reaktif secara rutin); dan bukti radiografi
soft tissue (dengan atau tanpa erosi tulang) di bagian luar kanal pendengaran dan fossa
infratemporal. Pasien biasanya akan mengeluh otorrhoea, otalgia yang tak membaik, rasa
penuh pada telinga dan gangguan pendengaran (yang akan bersifat konduktif). Sakit kepala,
nyeri sendi temporomandibular dan trismus mungkin dapat dialami (Hollis & Evans, 2011).
Selain itu juga dapat ditemukan adanya palsy nervus facialis dalam beberapa kasus (Bhat,
Aziz, Bhandary, Aroor, Kamath, & Saldanha, 2015). Saat jaringan granulasi diperiksa
histopatologi maka dapat menunjukkan bahwa saluran pendengaran eksternal terdapat
peradangan epidermis dan dermis (Hollis & Evans, 2011).
Kriteria Levenson berguna untuk diagnosis otitis eksterna maligna. Kriteria termasuk
refractory otitis externa, otalgia nokturnal yang berat, otorrhea purulen, adanya jaringan
granulasi di saluran pendengaran eksternal, pertumbuhan Pseudomonas dalam kultur dari
usap telinga, dan adanya diabetes atau keadaan immunocompromised. Nervus facialis
merupakan saraf kranial yang paling sering terkena, karena kedekatan foramen stylomastoid.
Palsy nervus facialis tidak pulih bahkan setelah selesainya pengobatan otitis eksterna maligna
(Bhat, Aziz, Bhandary, Aroor, Kamath, & Saldanha, 2015).
Diagnosis otitis eksterna maligna ditentukan dari kombinasi temuan klinis,
laboratorium, dan radiologis dan pencitraan nuklir. Pada tahun 1987, Cohen dan Friedman
menerbitkan kriteria diagnostik untuk otitis eksterna maligna, yaitu diagnostik utama (wajib)
dan minor (sesekali) dari otitis eksterna maligna ditunjukkan pada tabel di bawah ini (Kaya,
et al., 2018):
6. GEJALA KLINIS DAN PEMERIKSAAN FISIK
Gejalanya dapat dimulai dengan rasa gatal pada liang telinga yang dengan cepat diikuti
oleh nyeri yang hebat dan sekret yang banyak dan pembengkakan liang telinga. Rasa nyeri
tersebut semakin meningkat menghebat, liang telinga tertutup oleh tumbuhnya jaringan
granulasi yang tumbuh secara cepat. Saraf fasial dapat terkena, sehingga menimbulkan
paresis dan paralisis fasial (Sosialisman, Hafil, & Helmi, 2007). Penebalan endotel yang
mengiringi diabetes melitus berat bersama-sama dengan kadar gula darah yan tinggi yang
diakibatkan oleh infeksi yang sedang aktif menimbulkan kesulitan pengobatan yang adekuat
(Susana, 2009). Gejala dan tanda mungkin adalah otalgia, otorrhea, dan keterlibatan berbagai
saraf kranial. Adanya granulasi jaringan di external auditory canal (EAC), erythrocyte
sedimentation rate (ESR) yang tinggi, dan kelainan pada pemerksaan pencitraan juga
merupakan parameter diagnosa. (Karaman, Yilmaz, Ibrahimov, Haciyev, & Enver, 2012).
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan (Nussenbaum, 2011):
 Adanya inflamasi yang terlihat pada liang telinga luar dan jaringan lunak periaurikuler
 Nyeri yang hebat, yang ditandai adanya kekakuan pada jaringan lunak pada ramus
mandibula dan mastoid
 Jaringan granulasi terdapat pada dasar hubungan tulang dan tulang rawan. Jaringan ini
patognomonik pada otitis eksterna maligna. Pemeriksaan otoskopi juga dapat melihat
keterlibatan tulang.
 Nervus kranialis (V-XII) harus diperiksa
 Status mental harus diperiksa. Gangguan status mental dapat menunjukkan komplikasi
intrakranial
 Membran timpani biasanya intak
 Demam tidak umum terjadi

Gambar 1. Otitis eksterna Maligna

(Nussenbaum, 2011):

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain :
1) Pemeriksaan Laboratorium (Nussenbaum, 2011)
a. Jumlah leukosit
- Jumlah leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi
- Adanya pergeseran ke kiri
b. Laju endap darah (Nussenbaum, 2011)
- Laju endap darah meningkat bervariasi dengan rata-rata 87 mm/jam
- Laju endap darah dapat digunakan untuk mendukung diagnosis klinik dari otitis
eksternal akut atau keganasan pada telinga yang tidak menyebabkan peningkatan
tes ini.
c. Kimia darah (Nussenbaum, 2011)
- Pasien yang diketahui dengan diabetik perlu pemeriksaan kimia darah untuk
menentukan intoleransi glukosa basal.
- Pasien tanpa riwayat diabetes perlu diperiksa toleransi glukosanya
d. Kultur dan tes sensivitas dari liang telinga (Nussenbaum, 2011)
- Kultur dari drainase telinga perlu dilakukan sebelum pemberian antibiotik
- Organisme penyebab utama otitis eksterna maligna adalah P. Aeruginosa (95 %).
Organisme ini anaerobik, gram negatif. Spesies pseudomonas mempunyai lapisan
mukoid untuk fagositosis. Eksotoksin (yaitu eksotoksin A, kolagenase, elastase)
dapat menyebabkan nekrosis jaringan, dan beberapa strain menghasilkan
neurotoksin yang menyebabkan neuropati cranial.
e. Mikrobiologi (Hollis & Evans, 2011).
Patogen penyebab paling umum pada otitis externa maligna adalah Pseudomonas
aeruginosa. Hasil kultur positif telah dilaporkan sebanyak 75 persen pasien, meskipun
Pseudomonas sering tidak diisolasi pada pasien menerima antibiotik yang diresepkan
sebelum dilakukan pemeriksaan mikrobiologi spesimen. Dalam beberapa kasus,
spesies Sseudomonas telah berhasil diisolasi dan mengandung lapisan permukaan
mukoid yang melindungi bakteri dari phagocytosis. Bakteri lain dalam kasus otitis
eksterma maligna dapat ditemukan Klebsiella, Staphylococcus aureus dan S.
epidermidis. Pada pasien imunosupresi, non-diabetes dengan otitis eksterna maligna,
jamur relatif lebih sering terisolasi, terutama pada pasien dengan HIV-AIDS. Jamur
yang paling sering terlibat adalah subtipe aspergillus yaitu Aspergillus fumigatus,
Aspergillus niger, Aspergillus flavus.
f. Histopatologi
Pada biopsi tulang diperlukan untuk membedakan otitis eksterna maligna dari
kanker tulang temporal dan karsinoma sel skuamosa.
(Hollis & Evans, 2011).
2) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan ini penting untuk menentukan adanya osteomielitis, perluasan penyakit,
dan respon terapi, antara lain : CT scan dan MRI keduanya berguna untuk memeriksa
perluasan inflamasi terhadap anatomi jaringan lunak, pembentukan abses, komplikasi
intracranial (Nussenbaum, 2011).
Computed tomography (CT) scan dapat ditemukan pengurangan kepadatan dasar
tengkorak, kekeruhan pada mastoid, dan inflamasi pada jaringan lunak fossa subtemporal
(Karaman, Yilmaz, Ibrahimov, Haciyev, & Enver, 2012).
Pada computed tomography (CT) scan tulang temporal dan pangkal tengkorak, yang
sering dijalani di awal masuk pasien. Erosi tulang hanya ditunjukkan pada CT scan. Oleh
karena itu, CT scan merupakan penyelidikan awal yang bermanfaat untuk menilai tingkat
anatomi pasien dengan otitis eksterna maligna di Indonesia. Sayangnya, tidak ada satu
pun radiologis penyelidikan yang menyediakan anatomi dan fisiologis secara detail untuk
mendiagnosis otitis eksternal maligna. Technetium scanning (using Tc 99m methylene
diphosphonate) dapat bermanfaat dalam kasus otitis eksterna maligna sebagai radiotracer
terakumulasi di situs aktivitas osteoblastik. Pemindaian Gallium (menggunakan gallium
citrate Ga67) dilihat bersamaan dengan emisi foton tunggal CT scan juga telah digunakan
pada pasien dengan keganasan otitis externa, karena ini memberikan informasi yang lebih
rinci tentang area spesifik peningkatan fokal serapan (dan infeksi aktif). Dalam
praktiknya, CT scan tetap menjadi alat pencitraan awal yang bermanfaat, dengan
perkembangan atau resolusi dipantau menggunakan resonansi magnetik pencitraan
(MRI). Pada 2005, Okpala et al. menyarankan bahwa pemindaian CT harus digunakan
untuk menjabarkan anatomi tingkat penyakit, sementara pemindaian MRI dijelaskan oleh
Grandis et al., berguna dalam kasus keterlibatan dasar tengkorak untuk menguraikan
perubahan jaringan lunak (khususnya keterlibatan ruang tulang medullary dan
peningkatan dural) (Hollis & Evans, 2011).

Staging (Nussenbaum, 2011)


Stage I : Otitis eksterna nekrotikan (otalgi yang menetap, terbatas pada liang telinga luar,
tidak ada kelumpuhan n. fasialis)
Stage II : Osteomielitis pada basis tengkorak yang terbatas (kelumpuhan nevus fasialis pada
foramen jugualar bagian lateral)
Stage III : Osteomielitis pada basis tengkorak yang ekstensif (Ekstensi sampai foramen
jugular dan lebih medial bawah dari kepala).

8. DIAGNOSA BANDING
Otitis eksterna malignan didiagnosis banding dengan herpes zoster otikus, mastoiditis,
otitis media kronik dan tumor ganas tulang temporal (Nussenbaum, 2011).

9. PENALATALAKSANAAN
Jika ditemukan kecurigaan secara klinis, antibiotik intravena empiris dapat diberikan.
Jika kultur spesimen telah dilakukan, maka fluoroquinolone (biasanya ciprofloxacin) atau
sefalosporin antipseudomonal (mis. ceftazidime) dapat diberikan. Strategi manajemen utama
adalah: pemantauan ketat dengan aural toilet, terapi sistemik antipseudomonas, dan kontrol
glikemik yang ketat pada pasien diabetes (Hollis & Evans, 2011). Otitis eksterna maligna
sering dikaitkan dengan riwayat komplikasi vaskular diabetik. Kadar A1C juga telah
dikorelasikan dengan waktu pemulihan, menunjukkan pentingnya kontrol glikemik yang
ketat selama pengobatan (Hatch, Bauschard, Nguyen, Lambert, Meyer, & McRackan, 2018).
Pada pasien yang immunocompromised dan tidak responsif dengan pengobatan dapat
dilakukan diagnosis dengan mikrobiologis dan pencarian patogen yang cermat seperti
candida harus dilakukan. Fluoroquinolon oral tetap menjadi terapi lini pertama pada kasus ini
(Hollis & Evans, 2011).
Antibiotik oral atau intravena biasanya diberikan selama 4-6 minggu. Kultur bakteri
memberikan dasar untuk pemilihan antibiotik. Jika hasil kultur negatif, ciprofloxacin dengan
atau tanpa rifampisin, fluoroquinolones generasi baru, atau sefalosporin generasi ketiga
umumnya dapat digunakan. Shavit et al. melaporkan bahwa hampir 65 (73%) dari 88 pasien
diobati dengan ceftazidime intravena, sedangkan sisanya diobati dengan kuinolon oral dosis
tinggi. Selain itu, vorikonazol diberikan kepada lima pasien. Dalam sebuah penelitian oleh
Rubin Grandis et al., fluoroquinolon sistemik atau topikal telah memungkinkan perawatan
rawat jalan yang efektif dan telah mengurangi lama tinggal di rumah sakit (Kaya, et al.,
2018).
Kuinolon oral (seperti ciprofloxacin) telah diberikan dan terbukti memiliki penetrasi
yang sangat baik ke tulang. Secara khusus, antibiotik kuinolon merupakan inhibitor enzim
tipe II (DNA gyrase dan topoisomerase IV) . Fluoroquinolon yang lebih tua seperti
ciprofloxacin (diberikan sebagai dosis oral 750 mg dua kali sehari), memiliki aktivitas
dominan melawan basil Gram-negatif aerobik, dengan ciprofloxacin memiliki sebagian besar
aktivitas kelompok obat ini terhadap P. aeruginosa. Dimana P. aeruginosa terlibat dalam
osteomielitis, fluoroquinolone oral lebih disukai untuk pengobatan (Hollis & Evans, 2011).
Quinolones terbukti sebagai agen terapi awal yang sangat baik di Indonesia, tetapi
kemudian, infeksi menjadi resisten terhadap kuinolon. Sefalosporin antipseudomonal atau
agen antimikroba lainnya terbukti lebih efektif. Dalam beberapa kasus, infeksi jamur dapat
muncul setelah beberapa minggu dengan pengobatan antimikroba selama perjalanan
penyakit. Pembedahan memiliki peran terbatas dalam pengobatan MOE. Seringkali, operasi
hanya terbatas pada biopsi dari jaringan granulasi (Bhat, Aziz, Bhandary, Aroor, Kamath, &
Saldanha, 2015).
Rubin et al. telah menyarankan bahwa penambahan rifampisin untuk melengkapi terapi
ciprofloxacin. Rifampicin (600 mg dua kali sehari) ditambahkan ke rezim terapi karena tidak
mengubah farmakokinetik siprofloksasin bila digunakan bersamaan, dan bisa juga diberikan
sebagai persiapan oral. Terapi menggunakan ceftazidime intravena sebagai alternatif
siprofloksasin dengan penambahan aminoglikosida jika tidak ada perbaikan yang terlihat atau
jika resistensi ditemui (Hollis & Evans, 2011).
Pengobatan otitis eksterna maligna termasuk memperbaiki imunosupresi, pengobatan
lokal pada liang telinga, terapi sistemik antibiotik jangka panjang, pada pasien tertentu
dilakukan pembedahan (Nussenbaum, 2011).
Pengobatan tidak boleh ditunda-tunda sesuai dengan hasil kultur dan resistensi.
Mengingat kuman tersering penyebabnya adalah Pseudomonas aerigenosa, diberikan
antibiotik dosis tinggi yang sesuai dengan Pseudomonas aerigenosa. Sementara menunggu
hasil kultur dan resistensi, diberikan golongan fluorokuinolon (ciprofloxasin) dosis tinggi
peroral. Pada keadaan yang lebih berat dapat diberikan antibiotic parenteral kombinasi
dengan antibiotic golongan aminoglikosida yang diberikan selama 6-8 minggu. Antibiotik
yang sering digunakan adalah ciprofloxasin, ticarcilin-clavulanat, piperacilin (dikombinasi
dengan aminoglikosida), ceftriaxone, ceftazidin, cefepime (maxipime), tobramicin (kombinasi
dengan aminoglikosida) gentamicin (kombinasi dengan golongan penicillin), sebab penyakit
akan segera menyerang bagian-bagian penting di sekitarnya (Sosialisman, Hafil, & Helmi,
2007). Karena gentamisin dan tobramisin bersifat nefrotoksik dan ototoksik, maka kadar
kreatinin dan urin harus diawasi ketat dan pendengaran diperiksa secara periodic
(Nussenbaum, 2011).
Terapi antibiotik sistemik menurut hasil pemeriksaan bakteriologis (aminoglikosida,
penisilin semisintetik, sefalosporin generasi ketiga dan keempat, fluoroquinolones) diterima
secara umum (Karaman, Yilmaz, Ibrahimov, Haciyev, & Enver, 2012).
Kultur usap telinga mungkin tidak selalu menggambarkan adanya organisme patogen
yang menginfeksi tulang temporal pada otitis eksterna maligna. Ketidaksesuaian antara usap
dan kultur tulang telah menunjukan adanya osteomielitis kaki diabetik. Beberapa studi
merekomendasikan biopsi jaringan pada kasus di mana tidak ada respons terhadap terapi
yang diberikan sesuai dengan kultur usap telinga. Banyak pasien diobati dengan antibiotik
intravena, sedangkan sensitivitas disarankan bahwa antibiotik oral bisa digunakan. Karena
MRSA adalah organisme yang menyebabkan otitis eksterna maligna. Pasien yang terinfeksi
MRSA dapat diobati dengan oral trimethoprim-sulfamethoxazole. Meskipun sensitivitas
menunjukkan bahwa organisme tersebut rentan terhadap antibiotik ini. Jika pasien tidak
responsif terhadap terapi tersebut, maka dapat diobati dengan terapi vankomisin intravena
(Hobson, Moy, Bye, Raz, Hirsch, & McCall, 2014).
Namun, nefrotoksisitas dan ototoksisitas perlu dipantau kapan pemberian
aminoglikosida sebagai penderita diabetes berisiko compromised renal function. Durasi
pengobatan lebih lama kasus otitis eksterna. Respons terhadap pengobatan dapat ditentukan
oleh peningkatan gejala, studi pencitraan, dan radionuklida scan tulang. Diperlukan enam
hingga delapan minggu terapi untuk menyelesaikannya remisi penyakit ini (Bhat, Aziz,
Bhandary, Aroor, Kamath, & Saldanha, 2015).
Aspergillus fumigatus adalah organisme jamur paling umum yang menyebabkan otitis
eksterna maligna. A. flavus adalah patogen yang kurang sering dan sangat jarang diisolasi di
otitis eksterna maligna. Vorikonazol adalah pilihan pengobatan pertama untuk infeksi
Aspergillus. Baik bentuk intravena dan oral dapat digunakan dalam otitis eksterna maligna
karena infeksi jamur. Terapi vorikonazol intravena dapat diberikan dengan 200 mg dua kali
sehari. Mungkin ada efek samping pada ginjal dari vorikonazol, dan fungsi ginjal karenanya
harus dimonitor. Terapi amfoterisin B dan / atau Iitraconazole adalah pilihan pengobatan lain
untuk otitis eksterna maligna karena infeksi jamur. Dosis amfoterisin B harus dikurangi,
karena efek sampingnya, terutama gagal ginjal (Kaya, et al., 2018).
Disamping obat-obatan, seringkali diperlukan juga tindakan membersihkan luka
(debridement) secara radikal. Tindakan membersihkan luka yang kurang bersih akan dapat
menyebabkan semakin cepatnya perjalanan penyakit. Telinga harus dibersihkan dengan teliti
setiap hari dan diolesi salep gentamisin. Diantara waktu membersihkan, harus diberikan obat
tetes gentamisin setiap 4-6 jam. Setelah terapi diberikan dan infeksi terkontrol, maka
pengangkatan jaringan granulasi manapun yang menetap di liang telinga dan biasanya
dilakukan dengan obat anastesi lokal, akan mempercepat penyembuhan. Kecuali kadang-
kadang diperlukan debrideman meatus akustikus eksternus. Biasanya tidak diperlukan
pembedahan. Tetapi bila keadaan pasien konstan atau memburuk walaupun telah diberikan
terapi medis, mungkin diperlukan mastoidektomi radikal. (Sosialisman, Hafil, & Helmi,
2007).
Peran operasi, dan debridemen khususnya, kontroversial dalam pengelolaan otitis
externa maligna. Manajemen bedah digunakan untuk mendapatkan bahan biopsi dan
menghilangkan area nekrosis pada tulang (Hollis & Evans, 2011).
Meskipun mastoidektomi yang diperluas merupakan bentuk terapi yang banyak dipilih,
namun dengan temuan antibiotik spesifik pseudomonas, maka kini intervensi dengan
antibiotik sistemik merupakan bentuk utama terapi. Ada dugaan bahwa pembedahan invasif
tanpa perlindungan antibiotik akan mendukung penyebaran infeksi pada pasien-pasien yang
telah mengalami kemunduran ini. Oleh sebab itu pembedahan sebaiknya dibatasi pada
pengangkatan sekuestra, drainase abses, debridemant lokal jaringan granulasi (Susana, 2009).
Pembedahan memiliki peran terbatas dalam pengelolaan otitis eksterna maligna. Peran
dari pembedahan adalah debridement dari bahan nekrotik. Mastoidektomi sebagai bagian dari
debridemen. Manajemen bedah dalam bentuk pengangkatan granulasi dan biopsi dapat
dilakukan. Pemeriksaan histopatologis mengungkapkan peradangan granulasi (Bhat, Aziz,
Bhandary, Aroor, Kamath, & Saldanha, 2015).
10. KOMPLIKASI
Komplikasi OEM yang dapat terjadi meliputi lower cranial neuropathies, paresis atau
paralisis nervus fasial, meningitis, abses otak dan kematian. Pada otitis eksterna maligna
peradangan meluas secara progresif ke lapisan subkutis, tulang rawan, dan ke tulang
disekitarnya, sehingga timbul kondritis, osteitis, osteomielitis, yang menghancurkan tulang
temporal (Nussenbaum, 2011).

11. PROGNOSIS
Rekurensi penyakit dilaporkan sekitar 9-27% dari pasien. Hal ini berhubungan dengan
lamanya pemberian terapi yang tidak cukup dan manifestasinya biasanya berupa sakit kepala
dan otalgi. Laju endap darah mulai meningkat. Otitis eksterna maligna kambuh sekitar satu
tahun pengobatan komplit. Chandler melaporkan rata-rata kematian 50% tanpa pengobatan.
Kematian berkurang sampai 20% dengan ditemukannya antibiotik yang cocok dan perbaikan
modalitas imaging. Penelitian sekarang melaporkan kematian turun sampai 10%, tetapi
kematian tetap tinggi pada pasien dengan neuropati atau adanya komplikasi intracranial
(Sosialisman, Hafil, & Helmi, 2007).
DAFTAR PUSTAKA

Bhat, V., Aziz, A., Bhandary, S. K., Aroor, R., Kamath, S. D., & Saldanha, M. (2015).
Malignant Otitis Externa - A Retrospective Study of 15 Patients Treated in a Tertiary
Healthcare Center. The Journal Of International Advanced Otology.

Hatch, J. L., Bauschard, M. J., Nguyen, S. A., Lambert, P. R., Meyer, T. A., & McRackan, T.
R. (2018). Malignant Otitis Externa Outcomes: A Study of the University
HealthSystem Consortium Database. Annals of Otology, Rhinology & Laryngology.

Hobson, C. E., Moy, J. D., Bye, K. E., Raz, r., Hirsch, B. E., & McCall, A. A. (2014).
Malignant Otitis Externa: Evolving Pathogens and Implications for Diagnosis and
Treatment. Otolaryngology -- Head and Neck Surgery.

Hollis, S., & Evans, K. (2011). Management of malignant (necrotising) otitits externa. The
Journal of Laryngology & Otology, 125, 1212–1217.

Karaman, E., Yilmaz, M., Ibrahimov, M., Haciyev, Y., & Enver, O. (2012). Malignant Otitis
Externa. The Journal of Craniofacial Surgery.

Kaya, İ., Sezgin, B., Eraslan, S., Öztürk, K., Göde, S., Bilgen, C., et al. (2018). Malignant
Otitis Externa: A Retrospective Analysis and Treatment Outcomes. Turk Arch
Otorhinolaryngology, 56(2): 106-10.

Nussenbaum, B. (2011). External Ear, Malignant External Otitis. Retrieved March 26, 2019,
from http://emedicine.medscape.com/article/845525-overview

Sosialisman, Hafil, A. F., & Helmi. (2007). Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Susana. (2009). Retrieved March 26, 2019, from http://www.ssmedika.com/


index.php?option=com_content&view=article&id=53:nyeritelinga&catid=38:telinga
&Itemid=61

Anda mungkin juga menyukai