Anda di halaman 1dari 37

Referat

AUDIOMETRI

Oleh:
Anugerah Indah Mareta, S.Ked 04084821921030
Ainun Mardiyyah, S.Ked 04084821921086
Angela Maria Linata, S.Ked 04054822022093
Mitha Novita, S.Ked 04084821921091
Nanda Syauqiwijaya, S.Ked 04084821921149

Pembimbing:
dr. Ahmad Hifni, Sp. T.H.T.K.L

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL RSMH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Judul:
Audiometri

Disusun oleh:
Anugerah Indah Mareta, S.Ked 04084821921030
Ainun Mardiyyah, S.Ked 04084821921086
Angela Maria Linata, S.Ked 04054822022093
Mitha Novita, S.Ked 04084821921091
Nanda Syauqiwijaya, S.Ked 04084821921149

Pembimbing:
dr. Ahmad Hifni, Sp. T.H.T.K.L

Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang periode 6 Juli – 22 Juli 2020.

Palembang, Juli 2020


Pembimbing

dr. Ahmad Hifni, Sp. T.H.T.K.L

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Audiometri” untuk
memenuhi tugas referat yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran dan penilaian
kepaniteraan klinik, khususnya Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.Ahmad
Hifni, Sp. T.H.T.K.L selaku pembimbing yang telah membantu memberikan ajaran dan
masukan sehingga referat ini dapat selesai.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa yang
akan datang. Semoga referat ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi kita semua.

Palembang, Juli 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ..i


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Pendengaran ...................................................................................... 2
2.2. Fisiologi Pendengaran ...................................................................................... 4
2.3. Gangguan Pendengaran .................................................................................... 5
2.4. Audiometri Nada Murni ................................................................................... 6
2.4.1. Definisi Audiometri ................................................................................ 6
2.4.2. Manfaat Audiometri ............................................................................... 7
2.4.3. Tujuan Audiometri ................................................................................. 7
2.4.4. Istilah dalam Audiometri Nada Murni ................................................... 7
2.4.5. Mekanisme Kerja Audiometri ................................................................ 9
2.4.6. Syarat Pemeriksaan Audiometri Nada Murni......................................... 10
2.4.7. Prosedur Pemeriksaan ............................................................................ 11
2.5. Audiometri Objektif ......................................................................................... 13
2.5.1. Audiometri Impedans ............................................................................. 13
2.5.2. Elektrokokleagrafi .................................................................................. 14
2.5.3. Evoked Response Audiometry ................................................................ 14
2.5.4. Otoaccoustic Emission (OAE) ............................................................... 16
2.6. Audiometri Khusus........................................................................................... 17
2.6.1. Tes Sisi ................................................................................................... 18
2.6.2. Tes ABLB............................................................................................... 18
2.6.3. Tes Kelelahan (Tone Decay) .................................................................. 19
2.6.4. Audiometri Tutur (Speech Audiometry) ................................................. 20
2.6.5. Audiometry Bekessy ................................................................................ 21

iv
2.7. Pemeriksaan Audiologi Khusus ....................................................................... 22
2.8. Interpretasi Audiogram ..................................................................................... 22
2.9. Jenis dan Derajat Ketulian ................................................................................ 28

BAB III SIMPULAN ............................................................................................. 30


DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 31

v
BAB I
PENDAHULUAN

Audiologi adalah ilmu pendengaran yang meliputi evaluasi pendengaran dan


rehabilitasi individu dengan masalah komunikasi sehubungan dengan gangguan
pendengaran.6 Audiometri berasal dari kata audire dan metrios yang berarti mendengar
dan mengukur (uji pendengaran). Audiometri tidak saja dipergunakan untuk mengukur
ketajaman pendengaran, tetapi juga dapat dipergunakan untuk menentukan lokalisasi
kerusakan anatomis yang menimbulkan gangguan pendengaran.10,11
Pemeriksaan pendengaran dapat meningkatkan presisi dalam mendiagnosis lokus
patologis dan penyakit-penyakit spesifik. Pasien-pasien dengan penyakit berbeda pada
daerah yang sama (misalnya ketulian dan sindrom Meniere keduanya melibatkan
koklearis) melaporkan pengalaman pendengaran yang berbeda dan akan memberikan
temuan audiometri yang berbeda pula. Kualitas gangguan pendengaran akan
mengakibatkan keterbatasan dalam keahlian yang memerlukan perhatian,
perkembangan berbahasa, presisi bicara dan efektivitas komunikasi umum sesuai
dengan derajat dan jenis gangguan.6
Kemampuan pasien untuk mendengar dapat ditentukan dengan berbagai cara
mulai dari prosedur informal hingga pengukuran tepat berstandar tinggi yang
memerlukan peralatan khusus. Rencana- rencana untuk mengadakan pendidikan khusus
dan rehabilitasi harus dipengaruhi dan dituntun oleh hasil pemeriksaan pendengaran
bersamaan dengan variabel penting lainnya seperti intelegensi, motivasi dan dukungan
keluarga. Dengan semakin sering atau menjadi rutinnya pemeriksaan pendengaran
dilakukan di ruang praktek, maka semakin besar keahlian yang dapat dikembangkan
pemeriksa dalam aplikasi praktis dan pengunaannya. Terdapat berbagai metode uji
pendengaran yaitu uji penala, audiometri nada murni, audiometri bicara, uji-uji khusus
dan audiometri pediatrik. Ini sangat penting untuk mengetahui fungsi pendengaran dan
mengetahui penyakit-penyakit gangguan pendengaran.6

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI PENDENGARAN

Gambar 1. Anatomi Pendengaran


Telinga luar
Telinga luar berfungsi menangkap rangsang getaran bunyi atau bunyi dari luar.
Telinga luar terdiri dari: (1) Daun telinga (pinna auricularis), (2) Saluran telinga (canalis
auditorius externus). (1) Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Bagian-
bagian daun telinga lobula, heliks, anti heliks, tragus, dan antitragus. (2) Liang telinga
atau saluran telinga berbentuk huruf S, yang mengandung rambut-rambut halus dan
kelenjar sebasea sampai di membrane timpani, dengan rangka tulang rawan pada 1/3
bagian luar, sedangkan 2/3 bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-
kira 2,5-3 cm. Saluran telinga mengandung rambut-rambut halus dan kelenjar lilin, yang
berfungsi melindungi lorong telinga dari kotoran, debu dan serangga, serta
menghasilkan serumen. Serumen adalah hasil produksi kelenjar sebasea, kelenjar

2
seruminosa, epitel kulit yang terlepas dan partikel debu. Pada 1/3 bagian luar kulit liang
telinga terdapat banyak kelenjar serumen (kelenjar keringat) dan rambut. Kelenjar
keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada 2/3 kulit bagian dalam hanya
sedikit dijumpai kelenjar serumen.1

Telinga tengah
Telinga tengah berbentuk kubus dengan batas luar : membran timpani, batas
depan : tuba eustachius, batas bawah : vena jugularis (bulbus jugularis), batas belakang
: aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis, batas atas : tegmen timpani
(meningen/otak), batas dalam : berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis
horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round
window) dan promontorium. Pada bagian ruang tengah telinga terdapat bagian-bagian
sebagai berikut:2,3
a. Membrane timpani
Membran timpani berfungsi sebagai penerima gelombang bunyi. Setiap ada
gelombang bunyi yang memasuki lorong telinga akan mengenai membran timpani,
selanjutnya membran timpani akan menggelembung ke arah dalam menuju ke telinga
tengah dan akan menyentuh tulang-tulang pendengaran yaitu maleus, inkus dan stapes.
Tulang-tulang pendengaran akan meneruskan gelombang bunyi tersebut ke telinga
bagian dalam.
b. Tulang tulang pendengaran
Tulang-tulang pendengaran yang terdiri atas maleus (tulang martil), incus (tulang
landasan) dan stapes (tulang sanggurdi). Ketiga tulang tersebut membentuk rangkaian
tulang yang melintang pada telinga tengah dan menyatu dengan membran timpani.
c. Tuba auditiva eustachius
Tuba auditiva eustachius atau saluran eustachius adalah saluran penghubung
antara ruang telinga tengah dengan rongga faring. Adanya saluran eustachius,
memungkinkan keseimbangan tekanan udara rongga telinga telinga tengah dengan
udara luar.

3
Telinga dalam
Telinga dalam terletak pada bagian dalam dari struktur tulang lobus temporal,
tepatnya di dalam struktur rongga yang tisebut labyrinthus osseus atau labirin bertulang.
Di dalam struktur ini terdapat pula struktur tuba yang dilapisi membran dan berisi cairan
yang sebut sebagai labyrinthus membranosa. Reseptor-reseptor yang berperan pada
fungsi keseimbangan dan pendengaran berada di dalam epitelium sensoris yang
merupakan bagian dari lapisan struktur labyrinthus membranosa ini.4
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau
puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan
skala vestibuli.4
Kanalis semisirklularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk
lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibule
sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media (duktus kokleans) di
antaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala limfa
berisi endomedia. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa.
Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibule disebut sebagai membran
vestibuli (Reissner’s Membrane)sedangkan dasar skala media adalah membrane basalis.
Pada membran ini terdapat organ corti.3,4
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membrane
tektoria, dan pada membrane basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut
dalam, sel rambut luar, dan kanalis corti, yang membentuk organ corti.

2.2 FISIOLOGI PENDENGARAN


Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran
tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian
tulang pendengaran yang akan mengimplikasi getaran melalui daya ungkit tulang
pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong.
Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan

4
tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan
melalui membrane Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan
gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan
rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut,
sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel.
Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan
neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf
auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area
39-40) di lobus temporalis,2,5,6

2.3 GANGGUAN PENDENGARAN


Menurut World Health Organization, pengertian gangguan pendengaran adalah
istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan kehilangan pendengaran di satu
atau kedua telinga. Gangguan pendengaran didefinisikan sebagai pengurangan dalam
kemampuan seseorang untuk membedakan suara.7 Menurut Khabori dan Khandekar,
gangguan pendengaran menggambarkan kehilangan pendengaran di salah satu atau
kedua telinga. Tingkat penurunan gangguan pendengaran terbagi menjadi ringan,
sedang, sedang berat, berat, dan sangat berat. 7,8
Gangguan pendengaran berbeda dengan ketulian. Gangguan pendengaran (hearing
impairment) berarti kehilangan sebagian dari kemampuan untuk mendengar dari salah
satu atau kedua telinga. Ketulian (deafness) berarti kehilangan mutlak kemampuan
mendengar dari salah satu atau kedua telinga.8
Definisi gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau total
untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga. Pembagian gangguan
pendengaran berdasarkan tingkatan beratnya gangguan pendengaran, yaitu mulai dari
gangguan pendengaran ringan (20-39dB),gangguan pendengaran sedang (40-69 dB) dan
gangguan pendengaran berat (70-89 dB).9

5
Klasifikasi gangguan pendengaran6,8,9
a. Tuli konduktif disebabkan oleh kondisi patologis pada kanal telinga eksterna,
membrane timpani, atau telinga tengah. Tuli konduktif terjadi akibat kelainan telinga
luar, seperti infeksi, serumen atau kelainan telinga tengah seperti otitis media atau
otosklerosis.
b. Tuli sensorineural disebabkan oleh kerusakan atau malfungsi koklea, saraf
pendengaran dan batang otak sehingga bunyi tidak dapat diproses sebagaimana
mestinya.Bila kerusakan terbatas pada sel rambut di koklea, maka sel ganglion dapat
bertahan atau mengalami degenerasi transneural. Penyebabnya antara lain adalah:
kelainan bawaan, genetik,penyakit/kelainan pada saat anak dalam kandungan, proses
kelahiran, infeksi virus, pemakaian obat yang merusak koklea (kina, antibiotika seperti
golongan makrolid), radang selaput otak, kadar bilirubin yang tinggi. Penyebab utama
gangguan pendengaran ini disebabkan genetic atau infeksi.
Tuli campuran bila gangguan pendengaran atau tuli konduktif dan sensorineural
terjadi bersamaan. Gangguan jenis ini merupakan kombinasi dari gangguan
pendengaran jenis konduktif dan gangguan pendengaran jenis sensorineural. Mula-mula
gangguan pendengaran jenis ini adalah jenis hantaran (misalnya otosklerosis), kemudian
berkembang lebih lanjut menjadi gangguan sensorineural. Dapat pula sebaliknya, mula-
mula gangguan pendengaran jenis sensorineural, lalu kemudian disertai dengan
gangguan hantaran (misalnya presbikusis), kemudian terkena infeksi otitis media. kedua
gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama. misalnya trauma kepala yang berat
sekaligus mengenai telinga tengah dan telinga dalam.

2.4 AUDIOMETRI NADA MURNI


2.4.1 DEFINISI
Audiometri berasal dari kata audire dan metrios yang berarti mendengar dan
mengukur (uji pendengaran). Audiometri tidak saja dipergunakan untuk mengukur
ketajaman pendengaran, tetapi juga dapat dipergunakan untuk menentukan lokalisasi
kerusakan anatomis yang menimbulkan gangguan pendengaran Nada murni berarti
bunyi yang hanya mempunyai satu frekuensi, dinyatakan dalam jumlah getaran per

6
detik. Audiometri nada murni/ pure tune audiometry (PTA) adalah salah satu jenis uji
pendengaran untuk menilai fungsi pendengaran.10,11

2.4.2 MANFAAT AUDIOMETRI


1. Untuk mengukur batas pendengaran pada konduksi udara dan tulang serta derajat
atau tipe ketulian.
2. Merekam hasil dapat disimpan dan dapat dugunakan untuk rujukan masa akan
datang.
3. Audiogram berguna sebagai ukuran untuk pengunaan alat bantu dengar.
4. Membantu untuk mencari derajat kecacatan untuk tujuan medikolegal. 11

2.4.3 TUJUAN AUDIOMETRI


Ada empat tujuan audiometri, yaitu:11
1. Kegunaan diagnostik penyakit telinga
2. Mengukur kemampuan pendengaran dalam menangkap percakapan sehari-hari.
Atau validitas sosial pendengaran seperti untuk tugas dan pekerjaan, apakah butuh
alat bantu dengar, ganti rugi seperti dalam bidang kedokteran kehakiman dan
asuransi.
3. Skrining pada anak balita dan sekolah dasar
4. Monitor pekerja yang bekerja di tempat bising.

2.4.4 ISTILAH DALAM AUDIOMETRI NADA MURNI


1. Nada murni (pure Tone): merupakan bunyi yang hanya mempunyai satu
frekuensi, dinyatakan dalam jumlah getaran per detik.10,12
2. Bising: merupakan bunyi yang mempunyai banyak frekuensi, terdiri dari
spectrum terbatas (Narrow band), spektrum luas (White noise).10,12
3. Frekuensi : merupakan nada murni yang dihasilkan oleh getaran suatu benda
yang sifatnya harmonis sederhana (simple harmonic motion). Dengan satuannya
dalam jumlah getaran per detik dinyatakan dalam Hertz (Hz).10,12

7
4. Intensitas bunyi: dinyatakan dalam desibel (dB). Dikenal dB HL (hearing level),
dB SL (sensation level), dB SPL (sound pressure level). dB HL dan dB SL
dasarnya adalah subjektif, dan inilah yang biasanya digunakan pada audiometer,
sedangkan dB SPL digunakan apabila ingin mengetahui intensitas bunyi yang
sesungguhnya secara fisika (ilmu alam).10,12
5. Ambang dengar: merupakan bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi
tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga seseorang. Terdapat ambang
dengar menurut konduksi udara (AC) dan menurut konduksi tulang (BC). Bila
ambang dengar ini dihubung-hubungkan dengan garis, baik AC maupun BC,
maka akan didapatkan audiogram. Dari audiogram dapat diketahui jenis dan
derajat ketulian.10,12
6. Nilai nol audiometrik (audiometric zone) dalam dB HL dan dB SL, yaitu
intensitas nada murni yang terkecil pada suatu fekuensi tertentu yang masih dapat
didengar oleh telinga rata-rata dewasa muda yang normal (18-30 tahun). Pada tiap
frekuensi intensitas nol audiometrik tidak sama. Pada audiogram angka-angka
intensitas dalam dB bukan menyatakan kenaikan linier, tetapi merupakan
kenaikan logaritmik secara perbandingan. Terdapat dua standar yang dipakai
adalah ISO (International Standard Organization) dan ASA (American standard
Association). Dengan nilai berupa:
0dB ISO = -10 dB ASA atau 10dB ISO = 0 dB ASA.10,12
7. Notasi pada audiogram. Untuk pemeriksaan audiogram dipakai grafik AC, yaitu
dibuat dengan garis lurus penuh (intensitas yang diperiksa antara 125 – 8000 Hz)
dan grafik BC yaitu dibuat dengan garis terputus-putus (intensitas yang diperiksa:
250 – 4000 Hz). Untuk telinga kiri dipakai warna biru sedangkan untuk telinga
kanan, warna merah.10,12

8
Gambar 2: Simbol-simbol notasi pada audiogram 12

2.4.5 MEKANISME KERJA AUDIOMETRI


Audiometer nada murni merupakan uji sensitivitas prosedur masing masing
telinga dengan menggunakan alat listrik yang dapat menghasilkan bunyi nada-nada
murni dari frekuensi bunyi yang berbeda beda, yaitu 250, 500, 1000, 2000, 4000 dan
8000 Hz dan dapat diatur intensitasnya dalam satuan desibel (dB). Bunyi dihasilkan
dari dua sumber yaitu sumber pertama adalah dari earphone yang ditempelkan pada
telinga, manakala sumber kedua adalah suatu osilator atau vibrator hantaran tulang yang
ditempelkan pada mastoid (atau dahi) melalui satu head band. Vibrator menyebabkan
osilasi tulang tengkorak dan menggetarkan cairan dalam koklear. Bunyi yang dihasilkan
disalurkan melalui ear phone atau melalui bone conductor ke telinga orang yang
diperiksa pendengarannya.13 Hasil pemeriksaan digambar sebagai audiogram dan akan
diperiksa secara terpisah, untuk bunyi yang disalurkan melalui ear phone mengukur
ketajaman pendengaran melalui hantaran udara, sedangkan melalui bone conductor
telinga mengukur hantaran tulang pada tingkat intensitas nilai ambang. Dengan
membaca audiogram yang dihasilkan kita dapat mengetahui jenis dan derajat kurang
pendengaran seseorang. Gambaran audiogram rata-rata sejumlah orang yang
berpendengaran normal dan berusia sekitar 18-30 tahun merupakan nilai ambang baku
pendengaran untuk nada murni.10,13

9
Tujuan pemeriksaan adalah menentukan tingkat intensitas terendah dalam dB dari
tiap frekuensi yang masih dapat terdengar pada telinga seseorang, dengan kata lain
ambang pendengaran seseorang terhadap bunyi.10

2.4.6 SYARAT PEMERIKSAAN AUDIOMETRI NADA MURNI


i) Alat Audiometer 12
Audiometer yang tersedia di pasaran terdiri dari enam komponen utama yaitu;
a. Oksilator yang menghasilkan berbagai nada murni,
b. Amplifier untuk menaikkan internsitas nada murni hingga dapat terdengar,
c. Pemutus (interrupter) yang memungkinkan pemeriksa menekan dan mematikan
tombol nada murni secara halus tanpa tedengar bunyi lain,
d. Attenuator agar pemeriksa dapat menaikkan dan menurunkan intensitas ke tingkat
yang dikehendaki,
e. Earphone yang mengubah gelombang listrik menjadi bunyi yang dapat didengar,
f. Sumber suara pengganggu (masking) yang sering diperlukan untuk meniadakan
bunyi ke telinga yang tidak diperiksa. Narrow band masking noise atau garis
selubung suara sempit merupakan suara putih atau white noise (sejenis suara mirip
aliran uap atau deru angin) yang sudah disaring dari enegi suara yang tidak
dibutuhkan uantuk menyelubungi bunyi tertentu yang sedang digarap. Ini adalah
bunyi masking yang paling efektif untuk audiometerik nada murni.

Gambar 3. Alat-alat audiometer 11

10
Pada audiometri terdapat pilihan nada dari oktaf yaitu 125, 250, 500, 1000,
2000, 4000 dan 8000 Hz yang memungkinkan intensitas lebih dari 110 dB.
Standar alat yang digunakan berdasarkan BS EN 60645-1(IEC 60645-1).10,11,12
Alat audiometer harusnya selalu dapat dikalibrasi dengan exhaustive
electroacoustic calibrations oleh badan pengkalibrasian nasional. Pemeriksaan
termasuk pemeriksaan cara pakai, dan penyesuaian bioakustik seharusnya
dilakukan tiap hari sebelum digunakan, sesuai standar BS EN ISO 389 series.11,12

ii) Lingkungan Pemeriksaan yang Baik


Orang yang diperiksa seharusnya dapat dilihat sepenuhnya oleh pemeriksa.
Orang tersebut tidak boleh melihat atau mendengar pemeriksa dan audiometernya.
Pemeriksaan dilakukan di dalalam ruangan dengan tingkat kebisingan terendah
sehingga kepekaan pendengaran pasien tidak terganggu. Suara tambahan tidak
boleh lebih dari 38 dB. Pemeriksaan ini sesuai standard BS EN ISO 8253-1.11,12

iii) Kontrol Infeksi


Alat yang telah terkena kontak dengan pasien harus dilakukan prosedur
kontrol infeksi. Alat yang dipakai harus dibersihkan dan disinfeksi setiap kali
pemakaian. Pemakaian disposable ear phone sangat direkomendasikan.
Pemeriksa harus cuci tangan dengan sabun ataupun alkohol sebelum menyentuh
pasien.11

2.4.7 PROSEDUR PEMERIKSAAN


Sebelum dilakukan pemeriksaan, anamnesis mengenai riwayat penyakit harus
telah didapatkan dan pemeriksaan otoskopi telah dilakukan. Tanyakan apakah
menderita tinnitus atau apakah tidak tahan suara keras. Tanyakan pula telinga yang
mendengar lebih jelas. Usahakan pasien lebih kooperatif. 10,11

11
i) Pemeriksaan liang telinga
Hanya untuk memastikan kanal tidak tersumbat. Telinga harus bebas dari
serumen. Alat bantu dengar harus dilepas setelah instruksi pemeriksa sudah
dijalankan.14

ii) Pemberian instruksi


Berikan perintah yang sederhana dan jelas. Jelaskan bahwa akan terdegar
serangkaian bunyi yang akan terdengar pada sebelah telinga. Pasien harus
memberikan tanda dengan mengangkat tangannya, menekan tombol atau
mengatakan “ya” setiap terdengar bunyi bagaimanapun lemahnya.13

iii) Pemasangan earphone atau bone conductor


Lepaskan dahulu kacamata atau giwang, regangkan headband, pasangkan di
kepalanya dengan benar, earphone kanan ditelinga kanan kemudian kencangkan
sehingga terasa nyaman. Perhatikan membrane earphone tepat di depan liang
telinga di kedua sisi.10,13

iv) Seleksi telinga


Mulailah dengan telinga yang sehat dahulu. 15

v) Urutan frekuensi
Prosedur dasar pemeriksaan ini adalah, a) dimulai dengan signal nada yang
sering didengar (familiarization), b) pengukuran ambang pendengaran. Dua cara
menentukan nada familiarization: 11,13
1. Dengan memulai dari 1000 Hz, dimana pendengaran paling stabil, lalu secara
bertahap meningkatkan oktaf lebih tinggi hingga terdengar.
2. Pemberian nada 1000 Hz pada 30 dB. Jika terdengar, lakukan pemeriksaan
ambang pendengaran. Jika tidak terdengar nada awal di tinggkatkan intensitas
bunyi hingga 50 dB, dengan menaikkan tiap 10 dB hingga tedengar.

12
Familiarization tidak selalu dilakukan pada setiap kasus. Terutama pada
kasus forensik atau pasien dengan riwayat ketulian.11

vi) Masking
Pada pemeriksaan audiometri, kadang-kadang perlu diberi masking. Suara
masking, diberikan berupa suara seperti angina (bising), pada headphone telinga
yang tidak diperiksa supaya telingayang tidak diperiksa tidak dapat mendengar
bunyi yang diberikan pada telinga yang diperiksa.Pemeriksaan dengan masking
dilakukan apabila telinga yang diperiksa mempunyai pendengaran yang mencolok
bedanya dari telinga yang satu lagi. Oleh karena AC pada 45 dB atau lebih
dapatditeruskan melalui tengkorak ke telinga kontralateral, maka pada telinga
kontralateral (yang tidak diperiksa) diberi bising supaya tidak mendengar bunyi
yang diberikan pada telinga yang diperiksa.10,12,14
• Narrow bandnoise (NB) = masking audiometri nada murni
• White noise (WN) = masking audiometri tutur (speech)

2.5 AUDIOMETRI OBJEKTIF


Pada pemeriksaan ini pasien tidak harus bereaksi. Terdapat 4 cara pemeriksaan,
yaitu audiometri impedans, elektrokokleografi (E.Coch), evoked response audiometry
dan oto accoustic emmision (emisi otoakustik).16

2.5.1 AUDIOMETRI IMPEDANS


Pada pemeriksaan ini diperiksa kelenturan membran timpani dengan tekanan
tertentu pada meatus akustikus eksterna.16,17,18
Didapatkan istilah :
• Timpanometri, yaitu untuk mengetahui keadaan dalam kavum timpani. Misalnya,
ada cairan, gangguan rangkaian tulang pendengaran (ossicular chain), kekakuan
membran timpani dan membran timpani yang sangat lentur
• Fungsi tuba Eustachius, untuk mengetahui tuba Eustachius terbuka atau tertutup

13
• Refleks stapedius. Pada telinga normal, refleks stapedius muncul pada rangsangan
70-80 dB diatas ambang dengar.
Pada lesi di koklea, ambang rangsang refleks sapedius menurun, sedangkan pada
lesi retrokoklea, ambang itu naik.16,17,18

2.5.2 ELEKTROKOKLEAGRAFI
Pemeriksaan ini digunakan untuk merekam gelombang-gelombang yang khas dari
evoke electropotential cochlea. Caranya ialah dengan elektroda jarum, membran
timpani ditusuk sampai promontorium, kemudian dilihat grafiknya. Pemeriksaan ini
cukup infasuf sehingga saat ini sudah jarang dilakukan. Pengembangan pemeriksaan ini
yang lebih lanjut dengan elektrode permukaan (surface elekctrode), disebut BERA
(brain evoked response audiometry).16

2.5.3 EVOKED RESPONSE AUDIOMETRY


Dikenal juga sebagai Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA), Evoked
Response Audiometry (ERA) atau Auditory Brainstem Response (ABR) yaitu suatu
pemeriksaan untuk menilai fungsi pendengaran dan fungsi N. VIII. Caranya dengan
merekam potensial listrik yang dikeluarkan sel koklea selama menempuh perjalanan
mulai telinga dalam hingga inti-inti tertentu di batang otak. Pemeriksaan dilakukan
dengan menggunakan elektroda permukaan yang dilekatkan pada kulit kepala atau dahi
dan prosesus mastoid atau lobulus telinga. Cara pemeriksaan ini mudah, tidak invasif
dan bersifat objektif.16
Prinsip pemeriksaan BERA adalah menilai perubahan potensial listrik di otak
setelah pemberian rangsangan sensoris berupa bunyi. Rangsang bunyi yang diberikan
melalui head phone akan menempuh perjalanan melalui saraf VIII di koklea
(gelombang I), nukleus koklearis (gelombang II), nukleus olvarius superior (gelombang
III), lemnikus lateralis (gelombang IV), kolikulus inferior (gelombang V), kemudian
menuju ke kortex auditorius di lobulus temporal otak. Perubahan potensial listrik di
otak akan di terima oleh ketiga elektroda di kulit kepala, dari gelombang yang timbul di
setiap nukleus saraf sepanjang jalur saraf pendengaran tersebut dapat dinilai bentuk

14
gelombang dan waktu yang diperlukan dari saat pemberian rangsang suara sampai
mencapai nukleus-nukleus saraf tersebut. Dengan demikian setiap keterlambatan waktu
untuk mencapai masing-masing nukleus saraf dapat memberi arti klinis keadaan saraf
pendengaran, maupun jaringan otak sekitarnya. BERA dapat memberikan informasi
mengenai keadaan neurofisiologi, neuroanatomi dan saraf-saraf tersebut hingg apusat-
pusat yang lebih tinggi dengan menilai gelombang yang timbul lebih akhir atau latensi
yang memanjang.16
Pemeriksaan BERA sangat bermanfaat terutama pada keadaan tidak
memungkinkan dilakukan pemeriksaan pendengaran biasa, misalnya pada bayi, anak
dengan gangguan sifat dan tingkah laku, intelegensia rendah, cacat ganda, kesadaran
menurun. pada orang dewasa dapat untuk memeriksa orang yang berpura-pura tuli
(malingering) atau ada kecurigaan tuli saraf retrokoklea.16
Cara melakukan pemeriksaan BERA, menggunakan 3 buah elektroda yang
diletakkan di verteks atau dahi dan dibelakang kedua telinga (pada prosesus
mastoideus), atau pada kedua lobulus preaurikuler yang dihumbungkan dengan
preamplifier. Untuk menilai fungsi batang otak umumnya digunakan bunyi rangsang
click, karena dapat mengurangi artefak. Rangsang ini diberikan melalui head phone
secara unilateral dan rekaman dilakukan pada masing-masing telinga. Reaksi yang
timbul akibat rangsang suara sepanjang jalur saraf pendengaran dapat dibedakan
menjadi beberapa bagian. Pembagian ini berdasarkan waktu yang diperlukan mulai dari
saat pemberian rangsang suara sampai menimbulkan reaksi berbentuk gelombang, yaitu
: early response timbul dalam waktu kurang dari 10 mili detik, merupakan reaksi dari
batang otak. Midle response antara 10-50 mili detik, merupakan reaksu dari talamus dan
korteks auditorius primer, late response antara 50-500 mili detik, merupakan reaksi dari
area auditorius primer dan sekitarnya. Penilaian BERA :16
• Masa laten absolut gelombang I,II,V
• Beda masing-masing masa laten absolut (interwave latency I-V, I-III, III-V)
• Beda masa laten absolut telinga kanan dan kiri (interaural latency)
• Beda masa laten pada penurunan intensitas bunyi (latency intensity function)

15
• Rasio amplitudo gelombang V/I, yaitu rasio antara nilai puncak gelombang V
kepuncak gelombang I, yang akan meningkat dengan menurunnya intensitas.

2.5.4 OTOACCOUSTIC EMISSION(OAE)


Emsis otoakustik merupakan respons koklea yang dihasilkan oleh sel-sel rambut
luar yang dipancarkan dalam bentuk energi akustik. Sel-sel rambut luar dipersrafi oleh
serabut saraf eferen dan memiliki elektromotilitas. Sehingg apergerakan rambut akan
menginduksi depolarisasi sel. Pergerakan mekanik yang kecil diinduksi menjadi besar,
akibatnya suara yang kecil diubah menjadi lebih besar. Hal inilah yang menunjukan
bahwa emisi otoakustik adalah gerakan sel rambut luar dan merefleksikan fungsi
koklea. Dedangkan sel rambut dalam dipersarafi serabut aferen yang berfungsi
mengubah suara menjadi bangkitan listrik dan tidak ada gerakan dari sel rambut
sendiri.16
Pemeriksaan OAE dilakukan dengan cara memasukkan sumbat telinga (probe) ke
dalam liang telinga luar. Dalam probe tersebut terdapat mikrofon dan pengeras suara
(loudspeaker) yang berfungsi memberikan stimulus suara. Mikrofon berfungsi
menangkap suara yang dihasilkan koklea setelah pemberian stimulus. Sumbat telinga
dihubungkan dengan komputer untuk mencatat respon yang timbul dari koklea.
Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan yang sunyi atau kedap suara, hal ini untuk
mengurangi bising lingkungan.16
Emsisi otoakustik terbagi menjadi dua kelompok, yaitu : Emisi otoakustik spontan
(Spontaneus Otoaccoustic Emmision/ SOAE) dan Evoked Otoaccoustic
Emmision/EOAE. SOAE merupakan emisi otoakustik yang dihasilkan koklea tanpa
stimulus dari luar, didapatkan 60 % pada telinga sehat, bernada rendah dan mempunyai
nilai klinis yang rendah. EOAEmerupakan respon koklea yang timbul dengan adanya
stimulus suara. Terdapat 3 jenis EOAE yang dikenal, yaitu :16
1. Stimulus frequency otoaccoustic emmision (SFOAE), adalah respon yang
dibangkitkan oleh nada murni yang terus menerus, jenis ini tidak mempunyai arti
klinis dan jarang digunakan.

16
2. Transiently evoked otoaccoustic emmision (TEOAE), merupakan respon stimulus
klik dengan waktu cepat yang timbul 2-2,5 ms setelah pemberian stimulus,
TEOAE tidak dapat dideteksi pada telinga dengan ambang dengar lebih dari 40
dB.
3. Distortion product otoaccoustic emmision (DPOAE). Terjadi karena stimulus dua
nada murni (F1, F2) dengan frekuensi tertentu. Nada murni yang diberikan akan
merangsang daerah koklea secara terus menerus.

2.6 AUDIOMETRI KHUSUS


Untuk mempelajari audiometri khusus diperlukan pemahaman istilah rekrutmen
(recruitment) dan kelelahan (decay/fatigue). Rekrutmen adalah suatu fenomena, terjadi
peningkatan sensitifitas pendengaran yang berlebihan diatas ambang dengar. Keadaan
ini khas pada tuli koklea. Pada tuli koklea pasien dapat membedakan bunyi 1 dB ,
sedangkan orang normal dapat membedakan bunyi 5 dB. Misalnya pada orang yang tuli
30 dB,ia dapat membedakan bunyi 31 dB. Pada orang tua bila mendengar suara
perlahan, ia tidak dapat mendengar, sedangkan bila mendengar suara keras dirasakan
nyeri di telinga.17
Kelelahan (decay/fatigue) merupakan adaptasi abnormal, merupakan tanda khas
dari tuli retrokoklea.saraf pendengaran cepat lelah bila dirangsang terus menerus. Bila
diberi istirahat maka akan pulih kembali.Fenomena tersebut dapat dilacak pada pasien
tuli saraf dengan melakukan pemeriksaan khusus, yaitu :17
• Tes SISI (Short Increment Sensitivity Index)
• Tes ABLB (Alternate Binaural Loudness Balans Test)
• Tes kelelahan ( Tone Decay)
• Audiometri tutur (Speech Audiometri)
• Audiometri Bekesey

17
2.6.1 TES SISI
Tes ini khas untuk mengetahui adanya kelainan koklea, dengan memakai
fenomena rekrutmen, yaitu keadaan koklea yang dapat mengadaptasi secara berlebihan
peninggian intensitas yang kecil, sehingg apasien dapat membedakan selisih intensitas
yang kecil itu (sampai 1 dB).18
Cara pemeriksaan itu, ialah dengan menentukan ambang dengar pasien terlebih
dahulu, misalnya 30 dB. Kemudian diberikan rangsangan 20 dBdiatas ambang
rangsang, jaid 50 dB. Setelah itu ditambahkan rangsangan 5 dB, lalu diturunkan 4 dB,
lalu 3, dB, 2 dB, dan terakhir 1 dB. Bila pasien dapat membedakan berarti tes SISI
positif.18
Cara lain ialah tiap 5 detik dinaikkan 1 dB sampai 20 kali. Kemudian dihitung
berapa kali pasien dapat membedakan perbedaan itu. Bila 20 kali benar, berarti 100 %,
jadi khas. Bila yang benar sebanyak 10 kali, 50 % benar. Dikatakan rekrutmen positif,
bila skor 70-100 %. Bila terdapat skor antara 0-70 %, berarti tidak khas. Mungkin
pendengaran normal atau tuli perseptif lain.18

2.6.2 TES ABLB


Pada tes ABLB diberikan intensitas bunyi tertentu pada frekuensi yang sama pada
kedua telinga, sampai kedua telinga mencapai persepsi yang sama, yang disebut balans
negatif. Bila balans tercapai terdapat rekrutmen positif. Catatan: pada rekrutmen fungsi
koklea lebih sensitif.17,18
Interpretasi :
Grafik berupa laddergram, recruitment (+) menujukkan tuli kokhlea

18
Gambar 4. Grafik ABLB A : recruitment (+) B : recruitment (-)17

2.6.3 TES KELELAHAN (TONE DECAY)


Terjadinya kelelahan saraf oleh karena perangsangan terus menerus. Jadi, kalau
telinga yang dirangsang terus menerus, maka terjadi kelelahan. Tandanya ialah pasien
tidak dapat mendengar pada telinga yang diperiksa itu. Ada 2 cara :18
• TTD : Threshold Tone Decay
• STAT : Supra Threshold Adaptation Test

a. TTD
Pemeriksaan ini ditemukan oleh Garhart dan Rosenberg memodifikasinya. Cara
Garhart ialah dengan melakukan rangsangan terus menerus pada telinga yang diperiksa
dengan intensitas yang sesuai dengan ambang dengar, misalnya 40 dB. Bila setelah 60
detik masih dapat mendengar, berarti tidak terdapat kelelahan (decay), jadi hasil tes
negatif. Sebaliknya, bila setelah 60 detik tidak mendengar, berarti terdapat kelelahan,
hasilnya positif.18
Kemudian intensitas bunyi ditambah 5 dB (jadi 45 dB), maka pasien dapat
mendengar lagi. Rangsangan dapat diteruskan dengan 45 dB dan seterusnya, dalam 60
detik dihitung berapa penambahan intensitasnya.18
Penambahan 0-5 dB : normal, 10-15 dB : ringan (tidak khas), 20-25 dB : sedang
(tidak khas), > 30 dB : berat (khas terdapat kelelahan).18
Pada rosenberg : bila penambahan kurang dari 15 dB dinyatakan normal,
sedangkan lebih dari 30 dB : sedang.18

19
b. STAT
Prinsipnya ialah pemeriksaan pada 3 frekuensi : 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz pada
110 dB SPL. SPL adalah intensitas yang ada secara fisika sesungguhya. 110 dB SPL =
100 dB SL (pada frekuensi 500 dan 2000 Hz).18
Artinya nada murni pada frekuensi 500, 1000, 2000 Hz pada 110 dB SPL,
diberikan terus menerus selama 60 detik dan dapat mendengar, berarti tidak terdapat
kelelahan. Bila kurang dari 60 detik maka terdapat kelelahan (decay)18

2.6.4 AUDIOMETRI TUTUR (SPEECH AUDIOMETRY)


Pada tes ini dipakai kata-kata yang sudah disusun dalam silabus (suku kata).
Monosilabus = satu suku kata, bisilabus = dua suku kata. Kata-kata ini disusun dalam
daftar yang disebut : phonetically balance word LBT (PB, LIST).17,18
Pasien diminta untuk mengulangi kata-kata yang didengar melalui kaset tape
recorder. Pada tuli perseptif koklea, pasien sulit membedakan bunyi S, R, N,C H, CH,
sedangkan pada tuli retrokoklea lebih sulit lagi.17,18
Misalnya pada tuli perseptif koklea, kata “kadar” didengarnya “kasar”, sedangkan
kata “pasar” didengarnya “padar”.
Apabila kata yang betul berdasarkan Speech Discrimination Score:17,18
• 90-100 % : pendengaran normal
• 75-90 % : tuli ringan
• 60-75 % : tuli sedang
• 50-60 % : kesukaran mengikuti pembicaraan sehari-hari
• < 50 % : tuli berat
Guna pemeriksaan ini adalah untuk menilai kemampuan pasien dalam
pembicaraan sehari-hari, dan untuk menilai pemberian alat bantu dengar (hearing aid)18

20
Istilah :
• SRT : (speech reception test) : kemampuan untuk mengulangi kata-kata yang
benar sebanyak 50 %, biasanya 20-30 dB diatas ambang pendengaran17,18
• SDS (speech discrimination score) : skor tertinggi yang dapat dicapai oleh
seseorang pada intensitas tertentu.17,18

2.6.5 AUDIOMETRY BEKESSY


Macam audiometri ini otomatis dapat menilai ambang pendengaran seseorang.
Prinsip pemeriksaan ini ialah dengan nada yang terputus (intrupted sound) dan nada
yang terus menerus (continues sound). Bila da suara masuk, maka pasien memencet
tombol. Akan didaptkan grafik seperti gigi gergaji, garis yang menarik adalah periode
suara yang dapat didengar, sedangkan garis yang turun ialah suara yang tidak di dengar.
Pada telinga normal , amplitudo 10 dB. Pada rekrutmen amplitudo lebih kecil. 17,18

17/1/2007 LR/PB

Gambar 5. Grafik Audiometri Bekessy19


Tipe I : Normal/tuli konduktif, Tipe II : tuli kokhlear,
Tipe III : gangguan N VIII, Tipe IV : gangguan N VIII/tuli kokhlear

21
2.7 PEMERIKSAAN AUDIOLOGI KHUSUS
Tuli sensorineural terbagi atas tuli sensorineural koklea dan retrokoklea. Tuli
sensorineural koklea disebabkan aplasia, labirintitis, intoksikasi obat ototoksik atau
alkohol. Dapat juga disebabkan tuli mendadak, trauma kapitis, trauma akustik, dan
pemaparan bising.22
Tuli sensorineural retrokoklea disebabkan neuroma akustik, tumor sudut pons-
serebelum, mieloma multipel, cedera otak, perdarahan otak, atau kelainan otak
lainnya.22
Untuk membedakan tuli koklea dan tuli retrokoklea diperlukan pemeriksaan
audiologi khusus seperti tes Tone decay, tes Short Increment Sensitivity Index {SISI},
tes Alternate Binaural Loudness Balance {ABLB}, audiometri tutur, audiometri
Bekessy), audiometri objektif (audiometri impedans, elektrokokleografi, Brain Evoked
Reponse Audiometry {BERA}, pemeriksaan tuli anorganik (tes Stenger, audiometri
nada murni secara berulang, impedans) dan pemeriksaan audiometri anak.22,23,24

2.8 INTEPRETASI AUDIOGRAM


Audiogram dapat diinterpretasikan sesuai dengan derajat ketulian, pola dan
konfigurasi ketulian, serta hubungan hantaran tulang-udara.20 Terdapat ambang dengar
menurut konduksi udara (AC) dan menurut konduksi tulang (BC). Bila ambang dengar
ini dihubung-hubungkan dengan garis, baik AC maupun BC, maka akan didapatkan
audiogram.21
Sejauh ini peranan interpretasi audiogram yang terpenting adalah pada hubungan
antara ambang hantaran udara dan hantaran tulang, yaitu ada tidaknya beda udara-
tulang. Secara garis besar hubungan ini dapat dijetaskan sebagai berikut20:
1. Bila ambang hantaran tulang lebih baik (lebih peka) dari ambang hantaran udara
sebesar 10 dB atau lebih dan normal, maka tuli bersifat konduktif.

22
Gambar 6. Ambang hantaran tulang normal dan ambang hantaran udara yang berkurang (beda udara-
tulang) khas untuk gangguan pendengaran konduktif. 20

2. Bila ambang hantaran tulang sama dengan ambang hantaran udara dan keduanya
tidak normal, maka tuli bersifat sensorineural.

Gambar 7. Ambang hantaran tulang dan udara keduanya berkurang sama besarnya, khas untuk
gangguan pendengaran sensorineural.20

23
3. Bila ambang hantaran tulang berkurang namun masih lebih baik dari ambang
hantaran udara sebesar 10 dB atau lebih, maka tuli besifat campuran atau
kombinasi.

Gambar 8. Ambang hantaran tulang dan udara keduanya berkurang tidak sanra besar dengan retensi
beda udara-tulang, khas untuk gangguan pendengaran campuran atau kombinasi. 20

24
1. Audiogram Normal
Secara teoritis, bila pendengaran normal, ambang dengar untuk hantaran udara
maupun hantaran tulang tercatat sebesar 0 dB. Pada anakpun keadaan ideal seperti ini
sulit tercapai terutama pada frekuensi rendah bila terdapat bunyi lingkungan (ambient
noise).25 hasil audiogram dapat dikatakan normal apabila AC dan BC sama atau kurang
dari 25 dB serta garis AC dan BC berimpit atau tidak ada gap diantara keduanya.21

Gambar 9 . Gambar audiogram pada orang normal 25

2. Tuli Konduktif
Diagnosis gangguan dengar konduktif ditegakkan berdasarkan prinsip bahwa
gangguan konduktif (telinga tengah) menyebabkan gangguan hantaran udara yang lebih
besar daripada hantaran tulang. Pada keadaan tuli konduktif murni, keadaan koklea
yang baik (intak) menyebabkan hantaran tulang normal, yaitu 0 dB pada audiogram.21,25
Pengecualian adalah pada tuli konduktif karena fiksasi tulang stapes (misalnya
pada otosklerosis). Disini terdapat ambang hantaran tulang turun menjadi 15 dB pada
2000Hz. Diperkiran keadaan ini bukan karena ketulian sensorineural, tapi belum
diketahui sebabnya. Penyebab ketulian koduktif seperti penyumbatan liang telinga,
contohnya serumen, terjadinya OMA, OMSK, penyumbatan tuba eustachius. Setiap
keadaan yang menyebabkan gangguan pendengaran seperti fiksasi kongenital fiksasi
karena trauma, dislokasi rantai tulang pendengaran, juga akan menyebabkan peninggian

25
amabang hantaran udara dengan hantaran tulang normal. Gap antara hantran tulang
dengan hantaran udara menunjukkan beratnya ketulian konduktif. 21,25
Derajat ketulian yang disebabkan otitis media sering berfluktuasi. Eksarsebasi dan
remisi sering terjadi pada penyakit telinga tenga terutama otitis media serosa. Pada
orang tua sering mengeluhkan pendengaran anaknya bertambah bila sedang pilek,
sesudah berenang atau sedang tumbuh gigi. dapat juga saat perubahan pada musim
tertentu karena alergi.21,25
Penurunan Pendengaran akan menetap sekitar 55-60 dB pada pasien otitis media.
Selama koklea normal, gangguan pendengaran maksimum tidak melebihi 60 dB.
Konfigurasi audiogram pada tuli konduktif biasanya menunjukkan pendengaran lebih
pada frekuensi rendah. Dapat pula berbentuk audiogram yang datar.21,25

a. b.
25
Gambar 10. a. Audiogram tuli konduktif b. Audiogram datar tuli konduktif pada telinga kanan. 26

3. Tuli Sensorineural (SNHL)


Tuli sensorineural terjadi bila didapatkan ambang pendengaran hantaran tulang
dan udara lebih dari 25 dB. Tuli sensorineural ini terjadi bila terdapat gangguan koklea,
N.auditorius (NVIII) sampai ke pusat pendengaran termasuk kelainan yang terdapat
didalam batang otak.21 Kelainan pada pusat pendengaaran saja (gangguan pendengaran
sentral) biasanya tidak menyeababkan gangguan dengar untuk nada murni, namun tetap
terdapat gangguan pendengaran tertentu. Gangguan pada koklea terjadi karenadua cara,
pertama sel rambut didalam koklea rusak, kedua karena stereosilia dapat hancur. Proses

26
ini dapat terjadi karenainfeksi virus, obat ototoxic, dan biasa terpapar bising yang lama,
dapat pula terjadi kongenital. Istilah retrokoklea digunakan untuk sistem pendengaran
sesudah koklea, tetapi tidak termasuk korteks serebri (pusat pendengaran), maka yang
termasuk adalah N.VIII dan batang otak. 25
Berdasarkan hasil audiometrik saja tidak dapat membedakan jenis tuli koklea atau
retrokoklea. Maka perlu dilakukan pemeriksaan khusus. Pada ketulian Meniere,
pendengaran terutama berkurang pada frekuensi tinggi. Tuli sensorineural karena
presbikusis dan tuli suara keras biasanya terjadi pada nada dengan frekuensi tinggi.25
Apabila tingkat konduksi udara normal, hantaran tulang harusnya normal pula. Bila
konduksi udara dan konduksi tulang keduaduannya abnormal dan pada level yang sama,
maka pastilahnya masalah terletak pada koklea atau N. VIII, sedangkan telinga tengah
normal.25

Gambar 11. Audiogram tuli sensorineural 25

4. Tuli Campuran
Kemungkinan tarjadinya kerusakan koklea disertai sumbatan serumen yang padat
dapat terjadi. Level konduksi tulang menunjukkan gangguan fungsi koklea ditambah
dengan penurunan pendengaran karena sumbatan konduksi udara mengambarkan
tingkat ketulian yang disebabkan oleh komponen konduktif.21
Perbedaan anatara level hantaran udara dan tulang dikenal sebagai “jarak udara-
tulang” atau “air-bone gap”. Jarak udara-tulang merupakan suatu ukuran dari komponen

27
konduktif dari suatu gangguan pendengaran. Level hantaran udara menunjukkan tingkat
patologi koklea, kadang disebut sebagai “cochlear reserve” atau cabang koklea.25

Gambar 12. Audiogram tuli campuran25

2.9 JENIS DAN DERAJAT KETULIAN


Dari audiogram dapat dilihat apakah pendengaran normal (N) atau tuli, jenis
ketulian yaitu tuli konduktif, tuli sensorineural atau tuli campur.

Derajat ketulian berdasarkan ISO 1964: 21


Ambang Interpretasi
pendengaran
0-25 dB Normal
26-40 dB Tuli ringan
41-54 dB Tuli sedang
55-70 dB Tuli sedang - berat
71-90 dB Tuli berat
> 90 dB Tuli total

28
Menurut kepustakaan terbaru frekuensi 4000 Hz berperan penting untuk
pendengaran, sehingga perlu turut diperhitungkan, sehingga derajat ketulian dihitung
dengan menambahkan ambang dengar 4000 Hz dengan ketiga ambang dengar di atas,
kemudian dibagi empat. 21

Ambang dengar (AD) = AD 500 Hz + AD 1000 Hz + A.D 2000 Hz + AD 4000 Hz


4

Dapat dihitung ambang dengar hantaran udara (AC) atau hantaran tulang (BC).
Pada interpretasi audiogram harus ditulis (a) telinga yang mana, (b) apa jenis
ketuliannya, (c) bagaimana derajat ketuliannya, misalnya : telinga kiri tuli campur
sedang. Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung hanya ambang dengar
hantaran udaranya (AC) saja.21

29
BAB III
SIMPULAN

Audiometri dipergunakan untuk mengukur ketajaman pendengaran dan dapat


dipergunakan untuk menentukan lokalisasi kerusakan anatomis yang menimbulkan
gangguan pendengaran. Terdapat berbagai macam audiometri yaitu audiometri nada
murni/ pure tune audiometry (PTA) berarti bunyi yang hanya mempunyai satu
frekuensi, dinyatakan dalam jumlah getaran per detik, audiometri objektif yang terdiri
dari audiometri impedans, elektrokokleagrafi, evoked response audiometry, dan
otoaccoustic emission (OAE) juga terdapat audiometri khusus yaitu tes sisi, tes ABLB,
tes kelelahan (Tone Decay), audiometri tutur (Speech Audiometry), dan audiometry
bekessy.
Tuli dibagi atas tuli konduktif, tuli sensorineural (sensorineural deafness) serta tuli
campur (mixed deafness). Pada tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara,
disebabkan oleh kelainan atau penyakit di telinga luar atau di telinga tengah. Pada tuli
sensorineural (perseptif) kelainan terdapat pada koklea (telinga dalam), nervus VIII atau
di pusat pendengaran, sedangkan tuli campur disebabkan kombinasi tuli konduktif dan
tuli sensorineural.
Tuli sensorineural terbagi atas tuli sensorineural koklea dan retrokoklea. Tuli
sensorineural koklea disebabkan aplasia, labirintitis, intoksikasi obat ototoksik atau
alkohol. Dapat juga disebabkan tuli mendadak, trauma kapitis, trauma akustik, dan
pemaparan bising. Tuli sensorineural retrokoklea disebabkan neuroma akustik, tumor
sudut pons-serebelum, mieloma multipel, cedera otak, perdarahan otak, atau kelainan
otak lainnya.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Djaafar ZA, Helmi, Restuti DR. Kelainan Telinga Tengah. Dalam Soepardi AE,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti DR. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala dan leher. Edisi 7. 2012. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. h.57-66
2. Sherwood, Lauralee. Human Physiology. 6thed. USA: The Thomson Corporation.
2007
3. Guyton A.C. Physiology of The Human Body. 11th ed. Philadelphia: W.B. Saunders
Company. 2003.
4. McKinley, M., O&#39;Loughlin, V., O&#39;Brien, E. and Harris, R., 2015. Human
Anatomy. 4th ed. [ebook] New York, NY: McGraw-Hill Education, pp.584-589.
5. Katz, Jack. Handbook Of Clinical Audiology. 7th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer.
2009.
6. Levine S. Audilogi. Dalam : BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta. Penerbit
Buku Kedokteran EGC;1997; 46-74.
7. Dhingra PL: Assessment of hearing, Disease of ENT, 4 th edition: Elsevier: 2007
8. Skurr,B. Pemeriksaan Otology. Kumpulan Kuliah. Pada Kursus Audiologi Praktis.
Bandung. 13-14 Mei 1991; 12-63
9. Canalis.F Rinaldo. The Ear Comprehensive Otology. Lippincott Williams & Wilkins.
Philadelphia. 2000;559-570.
10. Soepardi, Efiaty Arsyad et al. Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga. Dalam :
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala Leher. Jakarta.
Balai Penerbit FKUI; 2008; 10-22.
11. Dhingra PL: Assessment of hearing, Disease of ENT, 4 th edition: Elsevier: 2007
12. Kutz, Joe Walter ; Meyers, Arlend ; Bauer, Carol A, et al. Audiology Pure-Tone
Testing. http://www.emedicine.medscape.com/article/1822962-overview
Diakses pada tanggal 15 juli 2020.
13. Levine S. Audiologi. Dalam : BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta. Penerbit
Buku Kedokteran EGC;1997; 46-74.

31
14. Hopkins, Johns. Pure Tone Audiometry. Available at.
http://www.johnshopkinsmedicine.org/puretoneaudiometry.html Diakses pada
tanggal 15 juli 2020.
15. Prihardini D, dkk. Sensori dan Persepsi Auditif. Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia. 2010.
16. Lee.KJ. Audiology. Essential Otolaryngology. Eight edition. Mc Graw Hill
Companies. United States. 2003;24-64
17. Katz, Jack. Handbook Of Clinical Audiology. 7th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer.

2009.

18. Cummings,W Charles. Auditory Function Test. Otolaryngology Head and Neck
Surgery. Second edition. Mosby Year Book. St Louis. 1993;2698-2715
19. Canalis.F Rinaldo. The Ear Comprehensive Otology. Lippincott Williams &
Wilkins. Philadelphia. 2000;559-570.
20. Lassman,FM. Audiology. Adam GL. BOIES Fundamentals of Otolaryngology. Sixth
edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia. 1989; 46 – 66
21. Soepardi, Efiaty Arsyad et al. Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga. Dalam :
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala Leher. Jakarta.
Balai Penerbit FKUI; 2008; 10-22.
22. Canalis.F Rinaldo. The Ear Comprehensive Otology. Lippincott Williams &
Wilkins.
Philadelphia. 2000;559-570.
23. Katz, J. The Acoustic Reflex. Handbook of Clinical Audiology. Fifth edition.
Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. 2000; 205- 232.
24. Cummings,W Charles. Auditory Function Test. Otolaryngology Head and Neck
Surgery. Second edition. Mosby Year Book. St Louis. 1993;2698-2715
25. Hendarmin,H. Gangguan Pendengaran Pada Bayi dan Anak. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi ke 5. FKUI. Jakarta. 2001; 28-30
26. Jennifer,J.W., et.al. Audiometri Screening and Interpretetion.AAFP.2013.87(1). 44p

32

Anda mungkin juga menyukai