Anda di halaman 1dari 25

Laporan Kasus :

Pterygium
Pembimbing :
dr. Minggaringrum, Sp.M

Oleh :
Azmilla Nurrachmalia Adha
201620401011136

SMF Ilmu Kesehatan Mata


RS Bhayangkara Kediri
Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Usia : 60 th
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Mojoroto, Kediri
Pekerjaan : Penjual gorengan
Anamnesis
Keluhan Utama : Pandangan kabur
Riwayat Penyakit Sekarang : Mata terasa kabur 3 minggu ini. Mata
kanan kiri terdapat selaput berbentuk segitiga 10 tahun, mata kanan
lebih dahulu muncul. Kena matahari terasa ulap. Sejak Jumat, mata
kiri keluar cairan putih. Mata merah (-), gatal (-), nyeri (-), cekot-cekot
(-). Penglihatan menurun (+). Tidak menggunakan kacamata baca.
Riwayat Penyakit Dahulu : Sakit mata sebelumnya (-). Sakit seperti
ini (-). HT (+). DM (+). Riwayat operasi gangren kaki kiri. Riwayat
alergi obat amoksisilin/ampisilin
Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini, Diabetes Mellitus (+) dan
hipertensi (+)
Riwayat Psiko-Sosial :

Berjualan gorengan di rumah setiap harinya


Pemeriksaan Fisik
Status Generalis Vital Sign
Kesadaran : Compos mentis TD : 130 / 90 mmHg
Status gizi : Baik Nadi : 88 kali / menit
RR : 20 kali / menit
Suhu : 36,5
OD OS

Palpebrae Edema (-), Hiperemi (-) Edema (-), Hiperemi (-)

Konjungtiva Penebalan konjungtiva (+),CVI Penebalan konjungtiva (+), CVI


(-), hiperemi (+), Sekret (-) (-), hiperemi (+), Sekret(+)

Kornea PCVI (-), terdapat jaringan PCVI (-), terdapat jaringan


fibrovaskuler bentuk segitiga di fibrovaskuler bentuk segitiga di
bagian nasal yang sudah bagian nasal yang sudah
melewati limbus kornea >2mm melewati limbus kornea >2mm

BMD Cukup dalam, jernih, TE (-) Cukup dalam, jernih, TE (-)

Iris Reguler, sinekia (-) Reguler, sinekia (-)

Pupil Refleks pupil (+), bulat (+) 3 Refleks pupil (+), bulat (+) 3
mm mm

Lensa Kesan jernih Kesan jernih

Segmen (-) dievaluasi (-) dievaluasi


Posterior
DIAGNOSIS
ODS Pterigium grade III

DIAGNOSIS BANDING
Pseudopterigium
Pinguekula
KOMPLIKASI
Astigmatisme Ireguler
TERAPI
ODS Pterygium grade III membesar dan meluas melebihi 2 mm kornea tetapi tidak
melebihi pinggiran pupil konsultasi sp. Mata lesi harus diangkat dengan bedah :
Teknik bare sclera, simple closure, sliding flap, rotational flap, Autograf conjungtiva, atau
Amniotik membran
Prognosis
Prognosis pterigium umumnya baik, namun sering terjadi rekurensi
dari penyakit setelah pembedahan.
Diskusi
Kedua mata pasien di diagnosa dengan pterygium. Dalam studi
kepustakaan, menurut American Academy of Opthalmology pterygium
(berasal dari bahasa Yunani yaiutu pterygos yang artinya sayap) adalah
proliferasi jaringan subkonjungtiva berupa granulasi fibrovaskular dari
sebelah nasal konjungtiva bulbar yang berkembang menuju kornea
hingga akhirnya menutupi permukaan kornea. Pterygium adalah suatu
perluasan pinguecula ke kornea, seperti daging berbentuk segitiga, dan
umumnya bilateral di sisi nasal. (Voughan & Ashbury, 2008). Keadaan ini
diduga merupakan fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet, pengeringan,
dan lingkungan dengan angin banyak. (Voughan & Ashbury, 2008)
Diagnosa berdasarkan anamnesis (faktor resiko terpapar sinar
matahari, debu, pasir dan angin), pemeriksaan fisik (penebalan
konjungtiva bulbi yang makin lama meluas ke kornea), pemeriksaan
patologis (lapisan bowman kornea digantikan oleh jaringan hialin
dan elastik). (Voughan & Ashbury, 2008)
Pterygium dapat tidak memberikan keluhan atau memberikan
keluhan seperti mata iritatif, merah, dan gangguan penglihatan oleh
karena astigmatisma. (Sidharta, 2013)
Regenerasi epitel
UV-B Limbal stem cell kornea
Mutagen p53 tumor
supressor gene

gejala dari defisiensi limbal adalah


Transforming terjadi pembentukan pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
growth factor-beta jaringan konjungtiva vaskularisasi, inflamassi kronis,
meningkat pada permukaan kerusakan membran basement dan
kornea pertumbuhan jaringan fibrotik.

Proses kolagenase
meningkat dan
terjadi angiogenesis

Patofisiologi
Perubahan
degenerasi kolagen

subkonjungtiva kornea

degenerasi elastoik dan Kerusakan ppada lapisan


proliferasi jaringan membran Bowman oleh
vaskuler bawah epithelium pertumbuhan jaringan
yang kemudian menembus fibrovaskuler yang sering
kornea disertai dengan inflamasi
ringan.
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterigium menunjukkan
perubahan phenotype, yaitu lapisan fibroblast mengalami
proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterigium
menunjukkan matriks metalloproteinase, yaitu matriks
ekstraselular yang berfungsi untuk memperbaiki jaringan yang
rusak, penyembuhan luka, dan mengubah bentuk. Hal ini
menjelaskan penyebab pterigium cenderung terus bertambah dan
berinvasi ke stroma kornea sehingga terjadi reaksi fibrovaskuler dan
inflamasi.
Indikasi operasi pada pasien pterygium adalah pterygium yang
menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus, mencapai jarak
lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil, sering memberikan
keluhan mata merah, berair dan silau karena astigmatismus dan
kosmetik.
Tidak perlu dilakukan pengobatan karena sifatnya yang rekuren
terutama pada pasien muda. Bila pterigium meradang dapat
diberikan steroid atau tetes mata dekongestan. (Sidharta, 2013)
Visus OD pasien 3/60 dan OS 1/300, diduga bisa karena
katarak senilis atau Retinopati Diabetik, atau Retinopati
Hipertensi mengingat pasien memiliki riwayat DM dan HT.
Komplikasi hiperglikemia kronis pada retina akan
menyebabkan perfusi yang kurang adekuat akibat kerusakan
jaringan pembuluh darah organ, termasuk kerusakan pada
retina itu sendiri. Kerusakan sel yang terjadi sebagai hasil
proses biokimiawi akibat hiperglikemia kronis terjadi pada
jaringan saraf (saraf optik dan retina), vaskular retina dan
lensa.
Gangguan konduksi saraf di retina dan saraf optik akan
menyebabkan hambatan fungsi retina dalam menangkap
rangsang cahaya dan menghambat penyampaian impuls
listrik ke otak. Proses ini akan dikeluhkan penderita
retinopati diabetik dengan gangguan penglihatan berupa
pandangan kabur. Pandangan kabur juga dapat
disebabkan oleh edema makula sebagai akibat
ekstravasasi plasma di retina, yang ditandai dengan
hilangnya refleks fovea pada pemeriksaan funduskopi
Pada keadaan hipertensi, pembuluh darah retina akan mengalami
beberapa seri perubahan patofisiologis sebagai respon terhadap
peningkatan tekanan darah. Pada tahap awal, pembuluh darah
retina akan mengalami vasokonstriksi secara generalisata.
Peningkatan tekanan darah secara persisten akan menyebabkan
terjadinya penebalan intima pembuluh darah, hiperplasia dinding
tunika media dan degenerasi hyalin. Pada tahap ini akan terjadi
penyempitan arteriolar yang lebih berat dan perubahan pada
persilangan arteri-vena yang dikenal sebagai arteriovenous
nicking. Terjadi juga perubahan pada refleks cahaya arteriolar
yaitu terjadi pelebaran dan aksentuasi dari refleks cahaya sentral
yang dikenal sebagai copper wiring.
Setelah itu akan terjadi tahap pembentukan eksudat, yang
akan menimbulkan kerusakan pada sawar darah-retina,
nekrosis otot polos dan sel-sel endotel, eksudasi darah dan
lipid, dan iskemik retina. Perubahan-perubahan ini
bermanifestasi pada retina sebagai gambaran
mikroaneurisma, hemoragik, hard exudate dan infark
pada lapisan serat saraf yang dikenal sebagai cotton-wool
spot. Edema diskus optikus dapat terlihat pada tahap ini
Berdasarkan stadium pterygium dibagi ke dalam 4
stadium yaitu:
Stadium Keterangan

Stadium 1 jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea

Stadium 2 jika pterygium sudah melewati limbus, tidak lebih dari 2 mm


melewati kornea

Stadium 3 jika pterygium sudah melebihi stadium II tetapi tidak


melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal
(diameter pupil sekitar 3-4 mm)

Stadium 4 jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga


mengganggu penglihatan
Komplikasi yang disebabkan oleh pterygium adalah astigmat
karena pterygium dapat menyebabkan perubahan bentuk
kornea akibat adanya mekanisme penarikan oleh pterygium
serta terdapat pendataran daripada meridian horizontal pada
kornea yang berhubungan dengan adanya astigmat.
Mekanisme pendataran itu sendiri belum jelas. Hal ini diduga
akibat tear meniscus antara puncak kornea dan peninggian
pterygium. Astigmat yang ditimbulkan oleh pterygium adalah
astigmat with the rule dan ireguler astigmat
Beberapa teknik operasi yang dilakukan adalah:
Teknik bare sclera yaitu dengan eksisi kepala dan tubuh pterygium,
tidak ada jahitan, bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva
dengan permukaan sklera di depan insersio tendon rektus,
menyisakan area sklera yang terkena. Teknik ini sudah tidak dipakai
karena tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan.
Teknik simple closure yaitu menyatukan langsung sisi konjungtiva
yang terbuka, dimana teknik ini dilakukan bila luka pada
konjungtiva relatif kecil.
Teknik Sliding flap yaitu insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi
untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
Teknik Rotational flap yaitu insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas
eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian
diletakkan pada bekas eksisi.
Teknik autograft konjungtiva yaitu pengambilan autograft, biasanya dari
konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di
eksisi pterygium tersebut.
Teknik cangkok membran amnion yaitu membran Amnion ditempatkan di
atas sklera , dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma
menghadap ke bawah.
Terapi adjuvant intraoperatif dan pasca operasi mitomycin C tetap
paling sering digunakan sebagai terapi tambahan medis untuk
pencegahan rekurensi pterygium. Aplikasi mitomycin C dipakai
intraoperasi dimana spons bedah direndam dalam larutan
mitomycin C kemudian diterapkan langsung ke sklera setelah eksisi
pterygium, dan penggunaan pasca operasi miomycin C topikal
sebagai obat tetes mata (Ang Kpl, et all, 2006).
Daftar Pustaka
American Academy of Opthalmology. 2012. Available from:
http://www.aao.org/publications/eyenet/201011/upload/Pearls-Nov-Dec-2010.pdf
Ang Kpl, Chua Lji, Dan Htd. 2006. Current Concept and Techniques in Pterygium Surgery. Curr Opin
Opthalmol.page 308 313.
Chui, J., et all, 2011, Ophthalmic Pterygium A Stem Cell Disorder with Premalignant Features, American
Journal of Pathology, Vol. 178., No. 2., Page 817 827.
Elmira, Miya. 2012. Pterygium. Departemen Ilmu Kesehatan Mata. Bandung.
G Gazzard, S-M Saw, M Farook, D Koh, D Widjaja, S-E Chia, C-Y Hong, D T H Tan. 2002. Pterygium in
Indonesia: prevalence, severity and risk factors. Br J Ophthalmol 2002;86:13411346
http://www.mhprofessional.com/handbookofoptics/pdf/Handbook_of_Optics_vol3_ch21.pdf
Jerome, P Fisher. 2011. Pterygium. [cited 2017 May 21] http://emedicine.medscape.com/article/1192527-
overview
Ilyas, Sidarta. 2013. Ilmu Penyakit Mata. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Lang, GK. 2000. In: Ophtalmology a short textbook: retina. 1st ed. New York, Thieme Stuttgart Germany. p.
299-314, 323-5
Pandelaki, K. 2007. Retinopati Diabetik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV Jilid III. Editor: Aru
W. Sudoyo dkk. Departemen ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
Pandey, AN, et all, 2013, A Clinical Study of Pterygium and Result of Treatment by Excision and Limbal
Autograft or Augmented with Post-Op Mitomycin C, Open Journal of Ophthalmology, page 97 102.
Riordan-Eva, Paul & Whitcher, John P. 2008. Voughan & Asbury: Oftalmologi Umum ed 17. EGC: Jakarta.
Sehu WK, Lee WR, editors. 2005. In: Ophtalmic pathology an illustrated guide for clinicians: retina: vascular
diseases, degenerations and dystrophies. 1st ed. Carlton Australia, Blackwell Publishing Limited. p. 204, 213-4
Wong TY, Mitchell P, editors. 2004. Current concept hypertensive retinopathy. The New England Journal of
Medicine http://www.nejm.org/cgi/reprint/351/22/2310.pdf

Anda mungkin juga menyukai